Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 13 April 2016

PUASA : JASMANI vs RUH/RUHANI YANG MANAKAH YANG HARUS DIPUASAKAN



Perintah melaksanakan ibadah puasa, dalam hal ini puasa wajib di bulan Ramadhan, tidak terlepas dari apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam firman-Nya yang terdapat di surat Al Baqarah (2) ayat 183 seperti yang kami kemukakan bawah ini. Perintah melaksanakan ibadah Puasa yang diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi merupakan aturan, hukum, ketentuan, undang-undang, peraturan yang berlaku di langit dan di muka bumi ini. Jika kita merasa tidak pernah sekalipun menciptakan dan memiliki langit dan bumi ini atau jika kita merasa orang yang sedang menumpan di langit dan di muka bumi ini  maka sudah seharusnya kita melaksanakan aturan, hukum , ketentuan, undang-undang, peraturan yang telah diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi ini tanpa terkecuali dan tanpa bantahan apapun.


 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(surat Al Baqarah (2) ayat 183)


Sebuah perintah yang diperintahkan oleh pemberi perintah kepada yang diperintah dapat dipastikan bahwa yang memerintah mempunyai maksud dan tujuan yang hakiki dari perintah yang diperintahkannya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita bahwa  pemberi perintah tidak memiliki kepentingan apapun atas maksud dan tujuan yang hakiki dari apa yang diperintahkannya. Pemberi Perintah memerintahkan sesuatu dikarenakan pemberi perintah sangat mengasihi dan menyayangi kepada yang diperintah. Jika ini kondisi dasar dari perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan berarti perintah yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukan  untuk kepentingan ALLAH SWT selaku pemberi perintah melainkan  untuk yang diperintah, dalam hal ini orang beriman yang di dalamnya adalah diri kita, keluarga, anak dan keturuna kita.  


Untuk mempertegas uraian di atas, katakan kita memerintahkan kepada anak untuk mandi. Lalu apakah mandi yang menjadi tujuan dari perintah kita kepada anak ataukah sehat dan segar yang akan dinikmati oleh anak. Perintah mandi yang kita perintahkan kepada anak dikarenakan kita sayang kepada anak sehingga kita tidak memiliki kepentingan apapun kepada perintah mandi tersebut selain anak merasakan sehat dan segar melalui mandi yang di laksanakannya. Hal yang samapun berlaku kepada perintah melaksanakan puasa yang diperintahkan ALLAH SWT.  Adanya perintah mendirikan puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita berarti puasa yang diperintahkan melalui wahyu oleh  ALLAH SWT bukanlah tujuan akhir dari perintah yang diperintahkan oleh ALLAH SWT tersebut. Perintah mendirikan puasa adalah sarana atau alat bantu bagi yang mendirikan puasa, dalam hal ini diri kita dan setiap orang yang beriman, untuk memperoleh manfaat dan hikmah yang hakiki yang  terdapat dibalik perintah mendirikan puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT.


Untuk itu mari kita lihat apa yang terjadi dalam kehidupan kita dimana kita tidak bisa terhindar dari apa yang dinamakan dengan aktifitas jasmani dan juga pengaruh lingkungan yang mengakibatkan diri kita berkeringat, bau badan, adanya daki yang mengakibatkan tubuh kita lesu dan kotor. Hanya melalui aktivitas mandi yang baik dan benarlah maka tubuh kita menjadi segar dan sehat. Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi, dimana kita tidak akan mungkin terhindar dari ahwa dan juga syaitan yang mengakibatkan diri kita tidak fitrah lagi, tidak bisa menjadi menjadi khalifah yang dikehendaki ALLAH  SWT., tidak bisa di jalan lurus yang dikehendaki ALLAH SWT atau menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur.  Salah satu cara ALLAH SWT untuk mengembalikan diri kita sesuai dengan kehendak-Nya maka ALLAH SWT memerintahkan kepada diri kita untuk melakasanakan puasa di bulan Ramadhan.


Hal yang harus kita ketahui dan pahami dari apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 adalah :

1.         Perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, selain perintah ALLAH SWT yang telah diperintahkan, ia juga bagian dari Rukun Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan pelaksaaan Diinul Islam secara kaffah. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah melaksanakan perintah yang bersifat Rukun sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak pemberi perintah juga tidak bisa dipisahkan dengan Rukun Iman dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan di dalam melaksanaan Diinul Islam secara Kaffah.


2.         Orang Yang Beriman adalah orang yang  diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan belum tentu semuanya adalah orang yang beriman, ada pula orang yang beragama Islam yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Adanya kondisi ini maka tidak salah ALLAH SWT menyatakan dengan kata-kata “Agar Kamu Bertaqwa atau Semoga Kamu Menjadi Orang Yang Bertaqwa”. Alangkah tidak adilnya ALLAH SWT langsung menjadikan seluruh orang yang berpuasa menjadi orang yang bertaqwa padahal kondisi orang yang melaksanakan puasa berbeda-beda kualitasnya.


3.      Sebuah perintah yang telah diperintahkan oleh pencipta dan pemilik langit dan bumi tidak lain adalah  aturan, hukum, ketentuan, undang-undang yang yang wajib berlaku di langit dan di muka bumi ini. Sebagai orang yang sedang menumpang atau menjadi tamu di langit dan di muka bumi ini maka kita wajib mempelajari, mengetahui, memahami lalu melaksanakan aturan main tersebut sesuai dengan kehendak pemberi perintah, dalam hal ini ALLAH SWT. Dan yang pasti ALLAH SWT selakui pemberi perintah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan yang diperintah untuk mendirikan perintah.


4.         Hal yang harus kita pahami adalah penerima perintah belum tentu mampu memahami makna yang hakiki  dari perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT atau bahkan tidak mampu memaknai hakekat yang sesungguhnya yang terdapat di balik perintah puasa di bulan Ramadhan. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa pemaknaan  yang ada di tengah masyarakat terhadapa perintah ALLAH SWT, yaitu:

a.    Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebatas melaksanakan rukun islam semata. Jika ini yang kita lakukan maka sebatas itulah kita memperoleh makna dan hakekat dari perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

b.   Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebagai sebuah penggugur kewajiban semata, sehingga apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT kita laksanakan tanpa melihat makna yang tersembunyi yang ada di balik perintah melaksnakan puasa di bulan Ramadhan. Jika ini konsep ini yang kita lakukan maka ibadah puasa yang kita lakukan akan dilaksanakan secara terpaksa atau unsur keterpaksaan menjadi lebih dominan yang pada akhirnya hanya haus, letih, dan lelah yang diperoleh dari puasa yang kita laksanakan.

c.    Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT untuk mencari nilai atau pahala dari ibadah puasa  yang kita laksanakan, sehingga nilai atau pahala lah yang menjadi tujuan kita melaksanakan perintah ALLAH SWT. Jika konsep ini yang lakukan saat melaksanakan ibadah puasa berarti kita melaksanakan perintah ALLAH SWT sebatas untuk mendapatkan iming-iming atau  hadiah berupa pahala yang pada akhirnya kita tidak akan menikmati hadirnya ALLAH SWT di dalam ibadah puasa yang kita laksanakan.

d.   Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sekedar menyenangkan pemberi perintah semata sehingga kita tidak pernah merasakan hakekat yang terdapat di balik perintah melaksanakan ibadah puasa..

e.    Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebagai sebuah kebutuhan yang hakiki bagi diri kita. Jika konsep ini  mampu kita laksanakan berarti kita mampu melihat apa-apa yang terdapat dibalik perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramdhan, atau kita mampu melihat ada sesuatu yang luar bisa yang siap kita rasakan  atau akan kita dapatkan dari ibadah puasa yang kita laksanakan. Jika ini kondisinya maka dapat dipastikan orang yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan sebagai sebuah kebutuhan maka ia akan melaksanakan ibadah puasa secara suka rela tanpa keterpaksaan bahkan merasa bahagia saat melaksanakannya.


ALLAH SWT selaku pemberi perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhant, mempersilahkan diri kita untuk memilih makna dari perintah-Nya. Ingat, pilihan dari memaknai perintah akan memberikan dampak yang berbeda beda pula. Awas jangan sampai salah memaknai perintah ALLAH SWT. Dilain sisi ada satu hal yang harus kita ketahui sebelum diri kita melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, apakah itu? Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 110 dan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah satu-satunya ibadah yang diperuntukkan untuk ALLAH SWT semata dan ALLAH SWT sendirilah yang akan membalas-Nya tanpa melalui perantaraan siapapun juga. Selain daripada itu, melalui hadist di bawah ini menunjukkan ALLAH SWT  memiliki hak yang harus diambil dari diri kita terutama ibadah Puasa , atau ALLAH SWT menuntut kepada diri kita atas hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita melalui ibadah Puasa.

dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 110)


Abu Hurairah, ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Semua amal ibadah anak Adam menyangkut dirinya pribadi kecuali ibadah puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Pada waktu berpuasa, janganlah seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, membuat keributan dan bertengkar. Jika seseorang mencaci atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata: “Aku sedang berpuasa”. Demi tuhan yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi. Dan bagi orang yang berpuasa tersedia dua kegembiraan, gembira ketika berbuka puasa dan gembira kelak menemui Tuhannya.
(Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, An Nasa’I dan Ibnu Hibban; 272:122)


Jika ini kondisi dasar dari ibadah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT, berarti ibadah puasa yang kita laksanakan sangat berarti bagi diri kita karena ALLAH SWT yang langsung membalas kebaikan-kebaikan yang terdapat dibalik perintah melaksanakan puasa serta adanya keterkaitan diri kita dengan ALLAH SWT yang tidak bisa terpisahkan.


Sebelum kami membahas lebih lanjut tentang ibadah puasa, perkenankan kami mengemukakan ilustrasi sebagai berikut : Saat kita masih kecil, kita diperintahkan oleh orang tua untuk mandi, sekarang mandikah yang diharapkan orang tua ataukah sehat dan segar yang diharapkan oleh orang tua? Sebagai orang tua yang memerintahkan anak untuk mandi, maka orang tua berharap anak dapat memperoleh sehat dan segar melalui mandi. Sekarang bagaimana jadinya jika anak yang telah kita perintahkan mandi tetapi setelah mandi masih juga menggaruk-garuk kegatalan? Jika ini yang terjadi pada anak kita berarti akan ada tiga kemungkin yang terjadi, pertama karena anak tidak bisa melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak orang tua; yang kedua, karena anak tidak percaya dengan perintah mandi yang telah diperintahkan kepadanya; dan yang ketiga karena anak memang tidak mau melaksanakan mandi dengan baik dan benar.


Perintah mandi sampai dengan kapanpun tidak akan pernah salah  atau perintah mandinya tidak salah. Akan tetapi yang diperintahkan untuk mandilah yang memiliki masalah. Sekarang bagaimana dengan perintah melaksanakan Puasa, baik yang wajib ataupun sunnah, yang berasal dari pemilik dan pencipta langit dan bumi kepada diri kita dan juga kepada orang yang beriman? Hal yang samapun berlaku kepada perintah melaksanakan puasa, dimana  ALLAH SWT selaku pemberi perintah juga berkehendak agar yang diperintahkan untuk berpuasa dapat memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang ada dibalik perintah puasa.Dan jika setelah berpuasa atau setelah hari raya idhul fitri, kita tidak bisa memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa berarti ada tiga kemungkinan yang terjadi pada diri kita,yaitu: yang pertama, karena kita tidak mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa; yang kedua, karena kita tidak mempercayai perintah puasa; dan yang ketiga, karena kita memang tidak mau berpuasa. Adanya kondisi ini dapat dipastikan perintah puasa yang diperintah oleh ALLAH SWT tidak pernah salah (perintah puasanya tidak akan pernah salah), akan tetapi yang diperintahkan puasalah yang memiliki masalah.


Dalam kehidupan sehari-hari, ada ketentuan suatu manfaat dan hikmah yang hakiki tidak datang dengan tiba-tiba, atau tidak turun dari langit begitu saja kepada diri kita. Hal ini dikarenakan manfaat dan hikmah merupakan hasil dari suatu proses, atau disebut juga dengan output yang dihasilkan dari suatu input yang diproses secara konsisten dari waktu ke waktu. Untuk itu jika kita ingin memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah dari puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, maka kita harus terlebih dahulu memiliki ilmu tentang puasa, kita harus pula mengerti tentang syarat yang dikehendaki oleh pemberi perintah puasa, kita juga harus mengerti tentang bagaimana puasa harus dilaksanakan (kita harus memiliki ilmu tentang syariat puasa) dan juga kita harus paham betul apa maksud dan tujuan, apa makna yang hakiki yang ada di balik perintah puasa.Jika kita mampu melakukan hal-hal di atas, insya Allah, modal dasar untuk mendapatkan dan merasakan manfaat dan hikmah dari puasa telah kita miliki.


Sekarang untuk siapakah makna hakiki dari puasa itu?Sepanjang puasa mampu kita lakukan sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa, maka makna dan tujuan yang hakiki dari puasa bukanlah untuk yang memerintahkan puasa karena yang memerintahkan puasa sudah Maha dan akan Maha selamanya. Akan tetapi seluruh makna dan tujuan yang hakiki yang terkandung di balik perintah puasa adalah untuk yang melaksanakan puasa dan yang tidak mungkin pernah terjadi adalah yang tidak melaksanakan puasa akan memperoleh makna yang hakiki dari perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki Ilmu tentang puasa?Jika sampai diri kita tidak miliki Ilmu tentang puasa, bagaiamana mungkin kita bisa melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa.


Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 183 yang kami kemukakan di atas, syarat yang dikehendaki ALLAH SWT untuk melaksanakan perintah puasa adalah Orang Yang Beriman. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah pengertian Iman yang termaktub di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183, bukanlah pengertian Iman secara partial, atau Iman yang berdiri sendiri-sendiri.Akan tetapi pengertian Iman yang dikehendaki oleh  ALLAH SWT adalah orang yang mampu melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah. Apa maksudnya? Hal ini dikarenakan Iman atau beriman kepada ALLAH SWT merupakan bagian dari Diinul Islam, dimana Diinul Islam harus dilaksanakan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan (inilah yang disebut dengan pengertian Rukun). Adanya kondisi ini jika kita ingin melaksanakan puasa, baik wajib ataupun sunnah, yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa maka kitaharus melaksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan secara satu kesatuan yang tidak terpisahkan.. Hal yang kedua setelah kita paham tentang syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, maka kita juga harus tahu tentang Syariat Puasa, atau tentang tata cara berpuasa yang sesuai dengan Sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang ketiga, kita harus tahu dan mengerti untuk apa kita berpuasa, apa tujuan akhir dari puasa, apa yang hendak kita capai setelah puasa, apa makna hakiki yang akan kita raih dari puasa yang kita lakukan, Jika sampai tujuan dari puasa tidak pernah kita ketahui, berarti  kita tidak pernah tahu pencapaian apa yang akan kita peroleh, kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan dari puasa yang kita lakukan.


Selanjutnya jika perintah mandi saja memiliki tujuan yang hakiki berupa sehat dan segar, sekarang apakah tujuan dari puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT? Tujuan puasa yang hakiki bukanlah untuk menahan makan dan minum (atau menahan lapar dan haus) serta menahan Syahwat semata dari subuh sampai magrib. Tujuan puasa yang hakiki bukan pula untuk turut merasakan penderitaan orang yang miskin. Tujuan puasa yang hakiki puasa yang pertama adalah untuk menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT sehingga mampu  bermanfaat bagi sesama. Hal ini dikarenakan orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT dijamin segala sesuatunya oleh ALLAH SWT dan juga karena ALLAH SWT tidak menilai seseorang dari besar kecil hartanya. ALLAH SWT juga tidak menilai  dari penampilan phisik seseorang.  ALLAH SWT menilai seseorang dari ketaqwaannya.Tujuan kedua dari puasa adalah menjadikan diri kita kembali kepada fitrah,dan yang ketiga, menjadikan diri kita menjadi Aulia atau kekasih ALLAH SWT atau menjadi hamba yang dicintai oleh ALLAH SWT.

Hal yang harus kita pahami adalah Fitrah yang dikehendaki oleh ALLAH SWT bukanlah Fitrah yang pengertiannya adalah suci seperti dilahirkan kembali. Akan tetapi sudahkah diri kita kembali sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia, seperti jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruh, sehingga segala perbuatan diri kita selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) yang sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna  ALLAH SWT;  diri kita adalah pemenang, syaitan adalah pecundang di dalam permainan kekhalifahan di muka bumisehingga diri kita adalah calon penghuni Syurga, pengakuan Ruh yang bertuhankan kepada ALLAH SWT masih tetap utuh tidak terpengaruh oleh sebab apapun juga.Sekarang butuhkah diri kita dengan Taqwa, dengan Fitrah dan dicintai ALLAH SWT? Jika kita merasa butuh dengan Taqwa, dengan Fitrah dan dicintai oleh ALLAH SWT, berarti kita sangat membutuhkan puasa dan berarti pula perintah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukanlah perintah yang bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat asal-asal dan juga perintah yang bersifat memberatkan diri kita, akan tetapi perintah melaksanakan puasa adalah untuk kepentingan diri kita sendiridan tidak ada hubungannya dengan orang lain baik yang berpuasa ataupun tidak.


Dilain sisi, setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruhani.Dimana Jasmani asalnya dari alam, sehingga sifat-sifat alamiah Jasmani (disebut juga Insan) yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (disebut juga dengan Ahwa). Sedangkan Ruhani asalnya dari ALLAH SWT, sehingga Ruhani akan membawa sifat-sifat Ilahiah (disebut juga dengan Nass) yang mencerminkan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT (disebut juga dengan Nafs/Anfuss). Jika saat ini kita masih hidup, berarti pada saat ini terjadi apa yang dinamakan dengan proses tarik menarik antara kepentingan Jasmani yang membawa Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) dengan kepentingan Ruhani yang membawa Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss). Jika Jasmani mampu mengalahkan Ruhani, maka kondisi kejiwaan kita dimasukkan ke dalam Jiwa Fujur, sehingga perbuatan diri kita sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah. Dan sebaliknya jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka kondisi kejiwaan kita dimasukkan ke dalam Jiwa Taqwa sehingga perbuatan diri kita sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Selain daripada itu, pada saat diri kita hidup maka pada saat itu pula Syaitan akan melakukan aksinya kepada diri kita melalui Jasmani dan juga melalui sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan) yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) sepanjang tahun tanpa pernah berhenti.


Sekarang mari kita lihat dan pelajari kehidupan yang kita jalani satu tahun ini, yang mana kita tidak bisa menghindar dari Ahwa dan Syaitan. Adanya dua musuh utama manusia, dalam hal ini ahwa dan syaitan, membuat diri kita tidak bisa selalu di dalam kehendak ALLAH SWT atau selalu di dalam jalan yang lurus atau kita tidak bisa selalu berada di dalam jiwa muthmainnah. Kadang kita kalah karena gangguan ahwa dan juga syaitan atau kadang kita masih berbuat dosa yang mengakibatkan kefitrahan diri kita menjadi kotor atau ternoda oleh sebab perbuatan kita sendiri. Dilain sisi, kita juga sudah berusaha untuk mendirikan shalat 5 waktu sehari semalam, kita juga sudah berbuat amal shaleh. Selanjutnya pernahkah kita menghitung berapa banyak kesalahan yang kita perbuat yang mengakibatkan ALLAH SWT marah, ALLAH SWT tidak suka kepada diri kita yang mengakibatkan noda hitam di dalam hati ruhani. Dampak dari perbuatan yang kita lakukan yang tidak sesuai dengan kehendak ALLAH SWT tentunya akan mengakibatkan Ruh/Ruhani diri kita tidak bisa menjangkau ALLAH SWT atau mengakibatkan Ruh/Ruhani tidak mampu mengendalikan atau mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan. Walaupun kita sudah berusaha sekuat tenanga untuk melaksanakan Shalat wajib dan Sunnah, bersedekah, selalu berdzikir dari waktu ke waktu agar kita selalu berada di dalam kehendak ALLAH SWT.      


Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas berarti kita tidak mampu lagi menjadikan diri kita sesungguhnya adalah Ruh, karena Ruh sudah menjadi tidak fitrah lagi karena perbuatan dosa yang kita lakukan, Ruh menjadi tidak suci lagi karena selalu dipengaruhi Jasmani atau selalu kalah melawan Jasmani yang didukung oleh Syaitan, sifat-sifat alamiah Ruhani yang seharusnya menjadi perilaku diri kita, justru tenggelam dikalahkan oleh sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) sehingga perilaku dan perbuatan diri kita sangat sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah padahal perbuatan kita yang asli bukan seperti itu, hidup yang kita laksanakan bukannya menjadikan diri kita menjadi calon penghuni Syurga, akan tetapi justru menjadikan diri kita sebagai calon penghuni neraka. Dilain sisi walaupun Syaitan di ikat selama bulan Ramadhan, akan tetapi pengaruh buruk yang mengakibatkan Ruhani diri kita menjadi kotor (menjadi tidak fitrah lagi,padahal aslinya fitrah), yang telah dilakukan Syaitan selama sebelas bulan melalui sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) yang sesuai dengan koridor Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) tidak akan hilang begitu saja walaupun Syaitan telah diikat oleh ALLAH SWT.


Timbul pertanyaan, bagaimana caranya kita mengembalikan diri kita agar selalu di dalam Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sedangkan kondisi kita sudah berada di dalam koridor Nilai ba-Nilai Keburukan yang sesuai dengan kehendak Syaitan, bagaimana caranya memenuhi hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita, serta bagaimana caranya kita mengembalikan kefitrahan Ruhani yang telah dikotori oleh perbuatan Ahwa dan Syaitan? Adanya kondisi yang tidak menguntungkan bagi diri kita, disinilah ALLAH SWT menunjukkan kasih sayangnya dengan memerintahkan  diri kita berpuasa di bulan Ramadhan dalam rangka mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruh, menjadikan diri kita memiliki Jiwa Muthmainnah, atau dalam rangka menjadikan diri kita sesuai dengan konsep awal penciptaannya, atau dalam rangka menjadikan diri kita pemenang sedangkan Syaitan sebagai pecundang serta untuk mendapatkan manfaat yang hakiki dari puasa yang terdiri dari Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH SWT. Dan jika ini kondisi yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, sekarang tergantung diri kita maukah kita berpuasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?



Ingat-Ingat-Ingat

Setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruh/Ruhani, dimana Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya. Ruh/Ruhani sebagai jati diri manusia adalah bagian Nur
ALLAH SWT sehingga Ruh/Ruhani tidak boleh dipisahkan dengan ALLAH SWT dari waktu ke waktu



Selanjutnya seperti apakah puasa yang dikehendaki ALLAH SWT dan yang juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW? Hal yang harus kita lakukan selama diri kita berpuasa, apakah itu puasa Sunnah ataupun Wajib, yang harus berpuasa mulai dari subuh sampai magrib hanyalah Jasmani semata, dengan tidak boleh makan dan minum dan juga boleh melalukan hubungan badan selama puasa kita lakukan.  Dengan dipuasakannya Jasmani selama waktu tertentu berarti kita melemahkan Jasmani termasuk di dalamnya  melemahkan atau menghilangkan sifat-sifat atau perbuatan dari Jasmani yang mencerminkan nilai- nilai keburukan (ahwa). Di lain sisi dengan dihilangkannya ahwa dalam diri maka pada saat bersamaan diganti dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari Ruh/Ruhani.

Lalu bagaimana dengan Ruh/Ruhani saat Jasmani dipuasakan? Ruh/Ruhani selama kita berpuasa tidak boleh sedetikpun dipuasakan (Ruh/Ruhani jangan pernah berpuasa selama Jasmani dipuasakan).Ruh/Ruhani harus selalu diberi makan dengan makanan yang bergizi sebanyak-banyaknya selama Jasmani berpuasa melalui Tadarus, melalui Dzikir, melalui Infaq, melalui Shadaqah, melalui memberi makan orang yang berbuka (ingat memberi makan orang yang berbuka pahalanya sama dengan orang yang berbuka), melalui Tadabbur Al-Qur;an, melalui Shalat taraweh dan lain sebagainya yang tentunya harus sesuai dengan Syariat yang berlaku. Hal ini dipertegas melalui hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan selama bulan Ramadhan, ibadah Sunnah menjadi Wajib sedangkan ibadah Wajib dilipatgandakan oleh ALLAH SWT. Fasilitas ini diberikan oleh ALLAH SWT bukanlah untuk kepentingan Jasmani, melainkan untuk kepentingan Ruh/Ruhani diri kita. Selain daripada itu , kondisi ini diberlakukan oleh ALLAH SWT  bukan lah untuk memberikan iming-iming kepada yang berpuasa. Akan tetapi fasilitas untuk mempercepat pemuliham Ruh/Ruhani yang telah terjajah oleh Ahwa dan syaitan untuk cepat kembali kepada fitrah. Namun yang terjadi di masyarakat fasilitas ini dilihat sebagai sebuah iming-iming untuk mendapatkan pahala semata.Adanya kondisi ini berarti ALLAH SWT memberikan kesempatan kepada diri kita untuk meningkatkan kualitas Ruh/Ruhani, agar mampu menghadapi Ahwa dan Syaitan, yang pada akhirnya sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) yang berasal dari sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT menjadi meningkat pula. Sekarang coba anda bayangkan jika sampai Ruh/Ruhani dipuasakan sedangkan Jasmani juga berpuasa? Puasa akan terasa berat. Puasa akan menjadi beban. Namun dengan Ruh/Ruhani tidak dipuasakan atau bahkan diberi fasilitas lebih oleh ALLAH SWT maka puasa yang kita laksanakan akan terasa ringan dan menambah keimanan kita.


Sekarang mari kita lihat  pengaruh ibadah puasa dari sisi Jasmani. Ditinjau dari sisi Jasmani, dengan dipuasakannya Jasmani maka sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan) yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) menjadi berkurang kekuatannya, menjadi lemah pengaruhnya kepada Ruh/Ruhani serta dengan berpuasanya Jasmani maka kesehatan Jasmani itu sendiri dapat terbantu, atau puasa memiliki pengaruh positif kepada kesehatan Jasmani. Lalu apa yang terjadi? Disinilah letak pentingnya puasa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, yaitu adanya penurunan kualitas sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) atau turunnya kualiatas dan pengaruh Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang dibawa oleh Jasmani karena Jasmani dipuasakan, maka pada saat yang bersamaan sifat-sifat Alamiah Ruhani (Nass) meningkat, atau naiknya Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) karena selalu diberi makanan yang bergizi yang sesuai dengan Syariat, akan terjadi hal-hal sebagai berikut : Ruhani akan mampu mengalahkan Jasmani, Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani akan mampu menggantikan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani sedangkan jasmaninya sendiri menjadi lebih sehat karena memperoleh manfaat dari sisi kesehatan.


Contohnya, jika sebelum berpuasa kita masih pelit (bakhil) maka setelah berpuasa kita menjadi lebih dermawan.Jika sebelum berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka setelah berpuasa kita menjadi orang yang sabar.Jika sebelum berpuasa kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah puasa kita tidak mau lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah puasa kita bisa toleran kepada sesama. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT.

Ingat-Ingat-Ingat
Setiap dzat memiliki sifat, setiap sifat akan menjadi perilaku atau perbuatan dzat. Contohnya gula memiliki sifat manis, maka perilaku gula akan memaniskan apa apa yang diliputinya. Hal yang samapun dengan jati diri kita yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani. Ruh/Ruhani telah disifati oleh ALLAH SWT dengan Asmaul Husna sehingga Ruh/Ruhani memiliki sifat Asmaul Husna. Sekarang sudahkah sifat yang disifati pada Ruh/Ruhani menjadi perilaku kita. Jika Ruh/Ruhani memiliki sifat Rahman dan Rahiem sudahkah kasih sayang menjadi perilaku diri kita sehingga orang menjadi bahagia oleh sebab keberadaan diri kita? Jika belum berarti kita belum pantas menjadi khalifah ALLAH SWT  dimuka bumi ini.


Selain daripada itu jika kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT maka kita bisa terbebas dari pertanggungjawaban kepada ALLAH SWT atas hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita, serta kesempatan untuk merasakan manfaat yang hakiki dari puasa sudah kita peroleh. Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri, masih selalu tergesa, masih menyakiti orang lain, masih korupsi, masih kolusi, masih nepotisme, masih suka KDRT, masih suka narkoba, masih suka menjadi teroris, masih suka menipu, berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.

Sekarang sampai kapan kita harus berpuasa? Perintah melaksanakan puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berlaku sampai dengan hari kiamat kelak. Akan tetapi secara pribadi-pribadi, masa berlaku puasa bisa bersifat umum dan juga bisa bersifat khusus.Secara umum, masa berlaku puasa di mulai saat kewajiban puasa sudah jatuh tempo kepada diri (akil baligh) sampai dengan ruh belum berpisah dengan jasmani.Sedangkan secara khusus, dimulai dari akil baligh sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak melaksanakan lagi puasa.Lalu adakah batasan diri kita untuk berpuasa?

ALLAH SWT hanya mewajibkan kepada diri kita dan juga kepada orang yang beriman,hanya berpuasa satu bulan penuh saat bulan Ramadhan.Akan tetapi jika kita ingin lebih dari itu, maka kita bisa melaksanakannya melalui puasa Sunnah.Adanya kondisi ini maka kita bisa lebih dari satu bulan melaksanakan puasa dalam setahun. Hal yang harus menjadi pedoman bagi diri kita adalah  lamanya berpuasa bukanlah patokan atas keberhasilan diri di dalam melaksanakan perintah puasa. Akan tetapi yang harus kita jadikan pedoman adalah Hasil akhir dari puasa yang kita lakukan (seperti Taqwa, Fitrah dan Dicintai ALLAH SWT) tidak hanya bisa kita rasakan selama sebulan saja atau lebih. Akan tetapi hasil dari kita berpuasa harus bisa terus kita rasakan sepanjang bulan sampai bertemu kembali dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya serta tidak hanya untuk diri kita semata, namun anak, istri, suami, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara juga turut merasakan apa yang telah kita rasakan, dalam bentuk kebaikan yang kita perbuat.  

Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini, berarti saat ini kita harus melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa dan juga setelah bulan puasa berakhir, atau setelah Idhul Fitri kita harus mampu pula mendapatkan dan merasakan makna hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa seperti Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH SWT.Akan tetapi jika Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH SWT, tidak ada pada diri kita, berarti ada beberapa kemungkinan yang terjadi, pertama karena kita tidak mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa; yang kedua karena kita belum percaya kepada ALLAH SWT yang telah memerintahkan puasa; yang ketiga karena kita sendiri yang tidak mau berpuasa.

Sekarang tolong perhatikan hadits yang kami kemukakan di bawah ini, dimana ALLAH SWT menjadikan puasa menjadi perisai/pelindung bagi diri kita dari api neraka. Ingat fasilitas ini hanya berlaku  jika kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Untuk itu bertanyalah kepada diri sendiri sudahkah kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga kita dilindungi dari api neraka. Jika belum mampu berarti ada yang salah di dalam puasa yang kita laksanakan.

Abu Hurairah ra, berkata: Nabi saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Puasa itu laksana perisai yang melindungi hamba-Ku dari api neraka.
(diriwayatkan oleh Ath Thabarani dan Al Baihaqi: 272:86)



Dan jika Nabi Muhammad SAW telah mengindikasikan banyak orang yang berpuasa, tetapi yang didapatkan hanyalah haus dan lapar serta menahan syahwat semata, hal ini memang bukanlah isapan jempol belaka namun hal ini sudah menjadi kenyataan( Jangan sampai diri kita mengalami hal ini).Untuk itu segeralah memformat ulang seluruh program puasa yang kita laksanakan, semoga dengan adanya format ulang kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga dengan puasa ini kita mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT dimanapun, kapanpun, tidak hanya sekali, namun selama hayat masih dikandung badan kita mampu terus merasakannya tanpa henti. Dan ingat kesempatan untuk meraih dan merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT hanya ada pada sisa usia kita, atau sebelum Malaikat Izrail datang melaksanakan tugasnya memisahkan Ruh dengan Jasmani serta karena tidak ada peribahasa di muka bumi yang menyatakan Penyesalan adanya di muka dan waktu bisa diputar ulang. 

SETELAH PUASA, ...... KEMBALI KE FITRAH, LALU..........................................!



Untuk dapat menciptakan sesuatu, harus di mulai dari adanya Kehendak, adanya Kemampuan dan adanya Ilmu, dalam satu kesatuan. Hal ini dikarenakan jika yang ada hanya Kehendak saja, tanpa diiringi oleh Kemampuan dan Ilmu berarti yang ada hanyalah angan-angan. Sedangkan jika yang ada hanyalah Kemampuan saja, tanpa diiringi dengan Kehendak dan Ilmu berarti yang ada hanya omongan semata. Demikian pula jika yang ada hanya Ilmu saja, tanpa dibarengi dengan adanya Kehendak dan Kemampuan maka yang ada hanyalah konsep semata. Sekarang langit dan bumi sudah ada dan diri kitapun sudah menetap di muka bumi, timbul pertanyaan wajibkah pencipta langit dan bumi beserta isinya memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu dalam satu kesatuan yang sangat maha? Berdasarkan akal sehat manusia, pencipta langit dan bumi beserta isinya wajib memiliki Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang sangat hebat dalam satu kesatuan. Sekarang siapakah yang memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu yang sangat hebat dalam satu kesatuan sehingga mampu menciptakan langit dan bumi beserta isinya?

tidakkah kamu perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan hak[784]? jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti(mu) dengan makhluk yang baru,
(surat Ibrahim (14) ayat 19)

[784] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.

Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy[1188]. tidak ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at[1189]. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?
(surat As Sajdah (32) ayat 4)

[1188] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan kesucian-Nya.
[1189] Syafa'at: usaha perantaraan dalam memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at bagi orang-orang kafir.

Berdasarkan surat Ibrahim (14) ayat 19 dan surat As Sajdah (32) ayat 4, yang kami kemukakan di atas, ALLAH SWT lah yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak dan jika ALLAH SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak berarti ALLAH SWT pasti memiliki Kehendak, pasti memiliki Kemampuan serta pasti memiliki Ilmu yang sangat hebat dalam satu kesatuan sehingga seluruh ketentuan dan hukum yang wajib berlaku di muka bumi ini adalah ketentuan dan hukum dari pencipta dan pemilik langit dan bumi.Lalu bagaimana dengan keberadaan diri kita yang saat ini sedang menempati langit dan bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT dengan Hak, apakah diri kita ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan sedangkan langit dan bumi ada yang menciptakan? 

Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 54 dan surat Al Baqarah (2) ayat 30 yang kami kemukakan di bawah ini, keberadaan seluruh manusia, termasuk di dalamnya keberadaan orang tua kita, keberadaan diri kita, keberadaan anak dan kerurunan kita, di langit dan di bumi ini, tidak datang dengan sendirinya.

Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha mengetahui lagi Maha Kuasa.
(surat Ar Ruum (30) ayat 54)

ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)


Semuanya ada karena ada yang menciptakan, dalam hal ini adalah ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti keberadaan manusia, termasuk di dalamnya keberadaan diri kita, tidak akan mungkin bisa dilepaskan dari adanya Kehendak ALLAH SWT, adanya Kemampuan ALLAH SWT serta adanya Ilmu ALLAH SWT yang sangat hebat dalam satu kesatuan. Dan jika ini adalah kondisi dasar dari ALLAH SWT saat menciptakan manusia, atau saat menciptakan diri kita berarti keberadaan diri kita di dunia saat ini, bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, bukan pula sesuatu yang bersifat Insidentil, sehingga  tanpa ada perencanaan yang matang, tanpa ada maksud dan tujuan yang jelas. Keberadaan manusia sudah direncanakan dengan matang oleh  ALLAH SWT untuk dijadikan sebagai KHALIFAH di muka bumi atau dijadikan sebagai perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi.


Sebagai KHALIFAH di muka bumi, tahukah kita, sadarkah kita bahwa keberadaan diri kita, keberadaan langit dan bumi yang kita tempati saat ini, bukan kita yang menjadi inisiatornya, bukan pula kita yang menciptakannya, bukan pula kita yang memilikinya, atau merasakah kita menciptakan jasmani, ruhani, langit, bumi, air serta udara yang kita butuhkan atau mampukah kita menciptakan, jasmani, ruhani, amanah 7, hati ruhani, akal, perasaan, langit dan bumi beserta isinya serta Diinul Islam? Jika kita termasuk orang yang Tahu Diri, Tahu siapa diri kita yang sesungguhnya dan Tahu siapa ALLAH SWT yang sesungguhnya, maka kita harus menyatakan bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan; jasmani, ruhani, amanah, hubbul, akal, perasaan ada karena ada yang menciptakan; langit dan bumi beserta isinya ada karena ada yang menciptakan; jika ini kondisi dasar dari diri kita, lalu punya apakah diri kita saat hadir ke muka bumi ini?


 Jika kita termasuk orang yang sudah sadar diri maka kita wajib mengatakan kita tidak mempunyai apapun juga saat ada di muka bumi dan jika saat ini kita memiliki Jasmani, memiliki Ruhani, memiliki Amanah 7, memiliki Hubbul, memiliki Hati, memiliki Perasaan, memiliki Akal, karena ada yang memberikan, dalam hal ini adalah ALLAH SWT. Lalu sebagai apakah diri kita di muka bumi ini? Jika kita merasa tidak pernah menciptakan segala sesuatu di langit dan di bumi  berarti saat ini kita sedang menumpang di langit dan di bumi ALLAH SWT, atau kita sedang menjadi tamu di langit dan di bumi ALLAH SWT, atau dapat kita sedang menjadi pemain di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi yang diciptakan oleh  ALLAH SWT.

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
 (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 183-184)

[114] Maksudnya memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.

Selanjutnya agar diri kita tidak dinilai oleh pencipta langit dan bumi, sebagai penumpang, sebagai tamu, sebagai KHALIFAH  yang tidak tahu diri, maka sudah sepatutnya dan sepantasnyalah kita melaksanakan segala ketentuan dan segala hukum yang berlaku di muka bumi ini. Jika di langit dan di bumi ALLAH SWT, ada ketentuan yang termaktub dalam surat  Al Baqarah (2) ayat 183 dan ayat 184 di atas, apa yang harus kita sikapi? Jika kita merasa penumpang yang tahu diri, jika kita merasa tamu yang tahu diri, jika kita merasa KHALIFAH yang tahu diri, maka sudah seharusnya kita melaksanakan ketentuan  ALLAH SWT di atas, dalam hal ini melaksanakan perintah melaksanakan Puasa.


Adanya kondisi ini berarti Perintah melaksanakan Puasa yang berlaku di muka bumi ini bukanlah perintah yang biasa-biasa saja, karena perintah melaksanakan Puasa adalah perintah yang berasal dari pencipta dan pemilik langit dan bumi beserta isinya. Perintah melaksanakan Puasa merupakan ketentuan yang tertulis yang harus dipatuhi, yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia yang merasa dirinya beriman kepada ALLAH SWT. Perintah melaksanakan Puasa adalah sebuah perintah yang bersifat individualistik sehingga hanya individu-individu tertentu saja yang mampu merasakan segala manfaat dan hikmah yang ada di balik perintah puasa dan juga ia tahu dan mengerti apa yang harus diperbuat setelah puasa Ramadhan berlalu. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa manfaat dan hikmah yang hakiki dari perintah Puasa, tidak datang dengan tiba-tiba, atau tidak turun dari langit begitu saja kepada diri kita. Hal ini dikarenakan, hikmah dan manfaat dari perintah Puasa merupakan hasil dari suatu proses, atau disebut juga dengan output yang dihasilkan dari suatu input yang diproses secara konsisten dari waktu ke waktu secara berkesinambungan.


Untuk itu jika kita ingin memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah dari puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, maka kita harus terlebih dahulu memiliki ilmu tentang puasa, kita harus pula mengerti tentang syarat yang dikehendaki oleh pemberi perintah melaksanakan puasa, kita juga harus mengerti tentang bagaimana puasa harus dilaksanakan (kita harus memiliki ilmu tentang syariat puasa) dan juga kita harus paham betul apa maksud dan tujuan, apa makna yang hakiki yang ada di balik perintah melaksanakan puasa yang diperintahkan ALLAH SWT. Jika kita mampu melakukan hal-hal di atas, insya Allah, modal dasar untuk mendapatkan dan merasakan manfaat dan hikmah dari puasa telah kita miliki. Selanjutnya dengan adanya perintah puasa yang berasal dari ALLAH SWT yang termaktub di dalam kitab suci Al-Qur’an maka kita tidak bisa asal-asalan di dalam melaksanakan puasa, kita tidak bisa seenaknya saja melaksanakan puasa, terkecuali jika kita tidak butuh dengan manfaat dan hikmah yang ada dibalik perintah puasa, atau jika kita hanya ingin merasakan haus dan lapar serta menahan syahwat semata.

Selanjutnya, jika kita memperhatikan dengan seksama surat Al Baqarah (2) ayat 183 dan 184 di atas, perintah melaksanakan puasa secara tersurat hanyalah perintah ALLAH SWT kepada seluruh umatnya yang telah mengaku beriman. Akan tetapi perintah ini akan berubah menjadi sebuah kebutuhan, jika kita telah memiliki ilmu tentang Puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga kita tahu dan mengerti bahwa dibalik perintah puasa terdapat manfaat yang hakiki untuk kepentingan diri kita sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain. Untuk itu kita dapat memperbandingkannya dengan perintah mandi yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita. Perintah mandi awalnya juga perintah dari orang tua kepada diri kita, lalu setelah kita mampu merasakan manfaat yang hakiki dari mandi maka mandi berubah menjadi sebuah kebutuhan karena kita butuh dengan segar dan sehat yang di dapat dari aktivitas mandi. Hal yang sama juga berlaku dengan perintah puasa. Dimana Puasa akan menjadi sebuah kebutuhan bagi diri kita, sepanjang diri kita mampu merasakan langsung manfaat yang hakiki yang terdapat dibalik perintah Puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT.


 (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
(surat Al Baqarah (2) ayat 185)


Selanjutnya jika perintah mandi saja memiliki tujuan yang hakiki berupa sehat dan segar, berarti puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT pasti memiliki tujuan yang hakiki, dimana tujuan hakiki inilah yang harus kita capai, harus kita raih dan harus pula dapat kita rasakan. Hal yang harus kita pahami adalah bahwa tujuan puasa yang hakiki bukanlah menahan makan dan minum serta menahan Syahwat semata, bukan pula untuk merasakan penderitaan orang yang miskin dan kaum dhuafa.Tujuan puasa yang hakiki puasa yang pertama adalah untuk menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT sehingga berguna bagi masyarakat luas, terutama orang miskin. Hal ini dikarenakan orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT dijamin segala sesuatunya oleh ALLAH SWT dan juga karena ALLAH SWT tidak menilai seseorang dari besar kecil hartanya, dari penampilan phisik seseorang, akan tetapi ALLAH SWT menilai seseorang dari ketaqwaannya kepada ALLAH SWT. Tujuan kedua dari puasa adalah menjadikan diri kita kembali kepada fitrah,dan yang ketiga, menjadikan diri kita menjadi Aulia atau kekasih ALLAH SWT, yang ke empat menjadikan diri kita bersyukur. Semoga kita mampu memperoleh dan merasakan hikmah puasa yang kami kemukakan di atas.

 Selanjutnya apa yang dimaksud dengan Fitrah itu, atau apa yang dimaksud dengan kembali kepada fitrah. Fitrah secara harfiah artinya suci, murni, bersih, belum ternoda. Akan tetapi kembali kepada Fitrah bukanlah berarti suci, murni, bersih, belum ternoda, tetapi apakah kondisi dan keadaan diri kita  masih sesuai dengan kondisi awal penciptaan manusia,atau apakah diri kita masih sesuai dengan kondisi aslinya, atau apakah diri kita masih sesuai dengan program ALLAH SWT saat menciptakan manusia, atau apakah diri kita masih sesuai dengan Konsep Awal Penciptaan Manusia.


ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)


Adanya kondisi ini berarti jika kita dikatakan dalam kondisi fitrah atau kembali ke fitrah maka keadaan diri kita harus masih sesuai dengan kodrat awal penciptaannya seperti yang dikemukakan oleh ALLAH SWT di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 serta pada saat ALLAH SWT mempersilahkan Iblis dan Syaitan untuk menggoda anak dan keturunan Nabi ADAM a.s. Sekarang seperti apakah kodrat awal manusia yang masih fitrah itu atau seperti apakah kembali kepada fitrah itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kondisi-kondisi awal dari manusia yang masih fitrah, yaitu :


a.       Ruhani adalah jati diri manusia yang sebenarnya dan jika ini adalah ketentuannya maka yang sebenarnya menjadi KHALIFAH di muka bumi adalah Ruhani. Ruhani asalnya dari ALLAH SWT dan hanya ALLAH SWT sajalah yang memiliki ilmu tentang Ruhani, hanya ALLAH SWT sajalah yang mampu menciptakan Ruhani tanpa bantuan dari siapapun juga sehingga ALLAH SWT sajalah yang mampu merawat Ruhani. Sekarang jika manusia kembali kepada fitrah berarti puasa yang kita laksnakan harus dapat mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruhani. Dan jika Ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya berarti sifat-sifat alamiah Ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) harus menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Jika sikap dan perbuatan diri kita setelah puasa Ramadhan belum mencerminkan sifat-sifat alamiah Ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) berarti diri kita belum Kembali ke Fitrah.


Contohnya, jika sebelum berpuasa kita pelit (bakhil) maka setelah berpuasa kita menjadi lebih dermawan.Jika sebelum berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka setelah berpuasa kita menjadi orang yang sabar.Jika sebelum berpuasa kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah puasa kita tidak mau lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah puasa kita bisa toleran kepada sesama. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT. Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri dan kelompok tertentu saja, masih selalu tergesa-gesa, masih menyakiti orang lain melalui kata-kata atau perbuatan, masih juga korupsi secara sendiri-sendiri atau berjamaah, masih suka kolusi, masih suka nepotisme, masih suka menjadi teroris, masih tetap menjadi pecandu narkoba, masih suka menipu, masih suka pamer aurat masih berjudi, yang kesemuanya pada sesuai dengan kehendak Syaitan sang lakanatullah, maka berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, terkecuali jika mampu menahan panasnya api Neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali api dunia.


b.      Ada Syurga ada Neraka berarti saat ini akan ada calon penghuni Syurga dan ada calon penghuni Neraka. Sekarang dimanakah letak Kembali ke Fitrah dalam persoalan ini? Kembali ke Fitrah berarti melalui puasa yang kita laksanakan kita berusaha mempertahankan posisi diri kita selalu menjadi calon penghuni Syurga, atau berusaha menjadikan diri kita tetap menjadi calon penghuni Syurga sebab kampung halaman kita yang asli adalah Syurga.


c.       ALLAH SWT menciptakan Manusia untuk dijadikan KHALIFAH di muka bumi, ini berarti Manusia sudah sejak awal ditempatkan, diletakkan, diposisikan oleh ALLAH SWT lebih terhormat dari apa-apa yang akan dikhalifahinya, dalam hal ini adalah Jasmani sebagai arena kecil dan bumi sebagai arena besar. Jika manusia kembali kepada fitrah berarti manusia (maksudnya Ruhani) adalah subyek sedangkan jasmani dan bumi adalah obyek. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti kembali ke fitrah adalah suatu kondisi dimana subyek harus dapat mengendalikan obyek. Sedangkan jika obyek mengendalikan subyek setelah diri kita puasa Ramadhan berarti diri kita belum dapat dikatakan telah kembali ke fitrah.  

d.      ALLAH SWT mewajibkan kepada setiap manusia jika ingin selamat atau sukses menjadi KHALIFAH di muka bumi yang sekaligus Makhluk yang Terhormat maka harus menjadikan Iblis dan juga Syaitan sebagai Musuh Utama manusia. Adanya kondisi ini berarti kembali ke fitrah adalah suatu kondisi dimana kita harus saling bermusuhan dengan syaitan. Ingat, bukan menjadikan Syaitan sebagai sahabat, teman, konco, konsultan, apalagi menjadikan Iblis dan Syaitan sebagai pimpinan.Jika setelah puasa Ramadhan kita justru berkawan akrab dengan Syaitan, atau menjadikan Syaitan menjadi Pemenang sedangkan diri kita menjadi Pecundang berarti kita sudah tidak fitrah lagi atau sudah tidak sesuai lagi dengan konsep awal penciptaan manusia.

e.       Manusia terdiri dari Jasmani dan Ruhani, dimana Jasmani berasal dari saripati tanah sedangkan Ruhani berasal dari ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka Jasmani akan mewarisi atau mempunyai sifat-sifat alamiah yang berasal dari alam (insan) yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa). Sedangkan Ruhani akan mempunyai sifat sifat alamiah yang berasal dari ALLAH SWT (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah (Nafs/Anfuss). Sekarang jika jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruhani berarti kondisi kembali ke fitrah adalah suatu keadaan dimana perbuatan diri kita harus mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan sebagai perbuatan kita sehari-hari. Sekarang jika yang terjadi adalah perbuatan diri kita setelah berpuasa Ramadhan masih mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) berarti diri kita sudah tidak fitrah lagi karena sudah sesuai dengan Nilai-Nilai Syaitani.


f.       Manusia diwajibkan oleh ALLAH SWT untuk selalu  mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi konsep Halal dan Baik (lawannya adalah Haram lagi Syaiat). Adanya makanan dan minuman yang memenuhi konsep Halal dan Baik,akan menghasilkan sperma dan sel telur yang juga memenuhi konsep Halal dan Baik pula. Dilain sisi, setiap manusia harus terikat di dalam ikatan pernikahan terlebih dahulu sebelum mempertemukan Sperma dan Sel Telur serta diwajibkan untuk membaca doa saat mempertemukan Sperma dan Sel Telur.

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 168)

Sekarang apa jadinya jika diri kita mengkonsumsi makanan yang haram lagi syaiat? Apa jadinya jika mempertemukan Sperma dan Sel Telur tanpa ikatan pernikahan ditambah tanpa membaca doa? Jika ini yang terjadi berarti kita sudah keluar dari fitrah yang telah ditetapkan ALLAH SWT.

g.       Ruhani yang masih Fitrah akan mempunyai kemampuan yang tidak mengenal jarak, ruang maupun waktu sedangkan kemampuan Jasmani mempunyai banyak keterbatasan dan kemampuan akibat pengaruh jarak, ruang dan waktu. Sekarang dimanakah letaknya fitrah? Jika Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya berarti fitrah adalah kemampuan Ruhani wajib melebihi kemampuan Jasmani sehingga Ruhani mampu mengendalikan Jasmani (jiwanya Jiwa Muthmainnah), atau yang sesungguhnya menjadi KHALIFAH di muka bumi adalah Ruhani.

h.      Hidup merupakan saat bersatunya Ruhani dengan Jasmani sehingga di saat manusia Hidup, akan terjadi pertarungan antara Jasmani dengan Ruhani untuk memperebutkan Amanah 7 dan Hubbul. Apabila Jasmani menang atas Ruhani  maka sifat-sifat alam yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan(Ahwa) akan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa Fujur. Sedangkan jika Ruhani yang menang melawan Jasmani maka Nilai-Nilai Ilahiahakan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa Taqwa. Sekarang dimanakah letak fitrah dalam jiwa manusia? Jika jati diri manusia yang sesungguhnya  adalah Ruhani berarti Fitrah manusia adalah Jiwa Taqwa. 

i.        Ruhani di saat masih di dalam rahim seorang Ibu (terdapat di dalam surat Al A’raaf (7) ayat 172), telah mengakui atau telah memberikan pernyataan bahwaALLAH SWT adalah Tuhannya dengan demikian pernyataan Ruhani kepada ALLAH SWT harus tetap FITRAH tidak tergoyahkan oleh sebab apapun sampai dengan hari kiamat. Sekarang dimanakah letaknya fitrah?

dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)

Jika saat ini kondisi pernyataan bertuhankan kepada ALLAH SWT kualitasnya masih seperti saat di dalam rahim ibu, atau belum berubah, atau belum mengalami degradasi kualitas akibat pengaruh Ahwa dan Syaitan, itulah Fitrah yang berlaku bagi diri kita.


j.        ALLAH SWT memberikan kepada setiap Manusia apa yang di sebut dengan AMANAH 7 yang berasal dari bagian dari Sifat Ma’ani ALLAH SWT yang terdiri:  Qudrat, Iradat, Sami’, Bashir, Kalam, Hayat, Ilmu, yang kesemuanya harus dipergunakan, didayagunakan dengan sebaik-baiknya di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan sebab akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh ALLAH SWT. Sekarang dimanakah letaknya fitrah? Letak fitrah bagi Amanah 7 adalah terletak pada saat diri kita mempergunakannya, yaitu harus sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan Kehendak   ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti kita tidak bisa sembarangan mempergunakan Amanah 7 karena akan dimintakan pertanggungjawabannya oleh ALLAH SWT. Hal lain yang harus juga kita perhatikan adalah hanya Manusia sajalah yang memiliki Amanah 7 dalam satu kesatuan yang sempurna, ini berarti bahwa kemampuan Manusia harus lebih hebat dari makhluk ALLAH SWT yang lainnya, inilah Fitrah yang berlaku bagi diri kita.  


k.      ALLAH SWT juga telah memberikan apa yang disebut dengan HUBBUL yang terdiri dari: Hubbul Huriah, Hubbul Syahwat, Hubbul Riasah, Hubbul Istitlaq, Hubbul Maadah, Hubbul Jam’i. serta Hubbul Maal, yang kesemuanya adalah motor penggerak bagi manusia untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT dan juga kehendak Syaitan.Sekarang dimanakah letaknya fitrah? Jika penggunaan Hubbul yang diberikan oleh ALLAH SWT mampu dipergunakan dan didayagunakan sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani yang ada akhirnya dapat menghantarkan diri kita sebagai KHALIFAH yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, itulah Fitrah. Jika tidak, bersiaplah untuk mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan ALLAH SWT kelak.


l.        Manusia di dalam mempergunakan Amanah 7 dan Hubbul harus di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani sehingga akan timbul di dalam diri manusia apa yang disebut dengan Jiwa TAQWA. Apabila Amanah 7 dan Hubbul dipengaruhi atau dikendalikan oleh Jasmani maka yang akan timbul adalah Jiwa FUJUR. Sekarang dimanakah letaknya fitrah? Jika Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya berarti Ruhani adalah pengendali Amanah 7 dan Hubbul yang pada akhirnya akan tercermin dari adanya Jiwa Taqwa pada diri manusia.


m.    ALLAH SWT juga telah memberikan apa yang disebut dengan Hati Ruhani, dimana di dalam Hati Ruhani diletakkan ALLAH SWT berbagai macam manfaat seperti tempat diletakkannya akal dan perasaan, tempat diletakkannya petunjuk, hikmat, hidayah, pemahaman, ketenangan, titik-titik noda, serta sarana bagi manusia untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan ALLAH SWT sehingga dapat dikatakan bahwa Hati adalah Raja bagi manusia. Ingat langit-langit dan bumi tidak dapat menjangkau ALLAH SWT yang dapat menjangkau ALLAH SWT adalahHati Mukmin atau Kalbu orang Mukmin dan ALLAH SWT mencintai Akal dibandingkan dengan ciptaan-Nya yang lain.Jika kondisi fitrah manusia masih utuh, berarti apa-apa yang dapat dijangkau dan diraih oleh Hati Ruhani dapat kita rasakan saat ini atau nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT dapat kita rasakan dari waktu ke waktu.


n.      Ruhani disebut juga dengan Jati Diri Manusia yang sesungguhnya sebab Ruhani inilah yang akan kekal selamanya, yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia adalah Ruhani. Ruhani yang akan menerima ganjaran, Ruhani yang akan pulang ke Syurga atau ke Neraka, sedangkan Jasmani setelah berpisah dengan Ruhani akan kembali ke asalnya yaitu tanah. Sekarang dimanakah letaknya fitrah? Fitrah manusia adalah pulang kampung ke Syurga dan jika manusia pulang kampung ke Neraka berarti manusia sudah tidak fitrah lagi.


Inilah beberapa ketentuan Fitrah, yang artinya masih sesuaikah kondisi dan keadaan diri kita dengan konsep awal penciptaan manusia saat pertama kali diciptakan oleh ALLAH SWT. Selanjutnya Fitrah yang telah kita peroleh setelah puasa Ramadhan atau setelah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, tidak akan bisa dipindahtangankan, tidak bisa diperjualbelikan, tidak bisa diwariskan walaupun kepada anak dan keturunan kita sendiri.Serta manfaat yang terdapat dibalik perintah puasa yang telah kita peroleh, apakah itu taqwa, fitrah dan dicintai oleh ALLAH SWT, harus tetap terjaga dan terpelihara dari waktu ke waktu sampai dengan puasa Ramadhan berikutnya, jika tidak berarti kita memiliki masalah dengan puasa yang kita laksanakan, atau karena kita tidak mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.


Timbul pertanyaan yang mendasar, untuk apakah Fitrah itu dan butuhkah diri kita dengan Fitrah?ALLAH SWT adalah Dzat yang Maha Fitrah (Maha Suci) dan jika kita kembali ke Fitrah berarti antara diri kita dengan ALLAH SWT berada di dalam kesesuaian Fitrah atau diri kita sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh  ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti syarat untuk memperoleh janji-janji ALLAH SWT sudah kita miliki dan selanjutnya bersiaplah merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT. Sekarang bertanyalah kepada diri kita sendiri butuhkah kita dengan janji-janji ALLAH SWT, butuhkah kita dengan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT saat hidup di dunia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah cerminan langsung dari diri kita sendiri atas butuh atau tidaknya diri kita dengan Fitrah atau kesesuaian Fitrah dengan ALLAH SWT.


Sekarang sampai kapankah Fitrah atau kesesuaian Fitrah dengan ALLAH SWT kita butuhkan? Panjang atau pendeknya fitrah yang kita butuhkan bukanlah ALLAH SWT yang menentukan, akan tetapi diri kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini dikarenakan ALLAH SWT tidak butuh dengan Fitrah diri kita, tetapi kitalah yang sangat membutuhkan fitrah selama hayat masih dikandung badan, selama ahwa dan syaitan masih menjadi musuh diri kita (selama kita tidak mampu mengalahkan ahwa dan syaitan seorang diri). Hal yang harus kita perhatikan adalah dampak kembali ke fitrah tidak hanya kita rasakan setelah hari Raya Idhul Fitri saja, akan tetapi harus terus selama hayat masih di kandung badan serta berdampak pula kepada diri, keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara.


Adanya kondisi ini berarti perintah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukanlah perintah yang bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat asal-asal dan juga perintah yang bersifat memberatkan diri kita, akan tetapi perintah melaksanakan puasa adalah perintah untuk kepentingan diri kita sendiriyang tidak ada hubungannya dengan orang lain.Dan jika Nabi Muhammad SAW telah mengindikasikan banyak orang yang berpuasa, tetapi yang didapatkan hanyalah haus dan lapar serta menahan syahwat semata, hal ini memang bukanlah isapan jempol belaka, namun hal ini sudah menjadi kenyataan ( Jangan sampai diri kita mengalami hal ini). Dan yang harus pula kita jadikan pedoman saat hidup di dunia adalah Syaitan asalnya dari api, jika Syaitan pulang kampung ke Neraka. Hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena memang Neraka adalah kampung halaman Syaitan.Akan tetapi kenapa kita yang kampung halaman yang aslinya adalah Syurga, justru mau di ajak pulang kampung ke Neraka oleh Syaitan.Sekarang Syaitankah yang pintar membodohi kita, ataukah kita sendiri yang mau dibodohi Syaitan untuk mau menukar Syurga dengan Neraka?


Sekarang katakan kita sudahdi bulan Syawal, lalu apa buktinya kita telah mampu melaksanakan puasa Ramadhan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau setelah diri kita mampu memperoleh, mampu merasakan nikmat dari  Taqwa, kembali ke Fitrah, dan dicintai oleh ALLAH SWT, apa yang harus kita perbuat dengan itu semuanya setelah Ramadhan berlalu? Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, perkenankan kami mengemukakan hal-hal sebagai berikut:  Jika saat ini kita masih hidup berarti kita tidak akan mungkin hanya berdiam diri saja. Kita wajib bekerja, berusaha, melakukan aktivitas  jasmani yang pada akhirnya akan menimbulkan keringat, bau badan serta adanya aktivitas buang air baika besar maupun kecil.


Selain daripada itu kitapun tidak bisa menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan, seperti angin, debu, polusi, yang mengakibatkan tubuh kita menjadi kotor serta menjadikan diri kita menjadi tidak bersemangat, lesu dan lelah. Jalan keluar yang paling baik untuk mengatasi hal-hal yang kami kemukakan di atas hanyalah dengan mandi yang sesuai dengan ilmu kesehatan. Selanjutnya apakah cukup hanya sekali saja kita mandi, sedangkan aktivitas jasmani maupun pengaruh lingkungan terus terjadi selama kita hidup di dunia? Sepanjang pengaruh dari dalam diri akibat aktivitas jasmani tidak bisa kita hindarkan, sepanjang pengaruh lingkungan tidak bisa kita elakkan, sepanjang tubuh kita mengalami kemunduran akibat lelah, maka sepanjang itu pula kita membutuhkan mandi.


Hal yang samapun terjadi saat diri kita melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi, atau selama Ruhani belum berpisah dengan Jasmani,  kita tidak akan pernah bisa menghindar dari adanya saling pengaruh mempengaruhi atau perang antara kepentingan Jasmani yang membawa Nilai-Nilai Keburukan (yang disebut dengan Ahwa) yang didukung oleh Syaitan dengan kepentingan Ruhani yang membawa Nilai-Nilai Kebaikan (yang disebut dengan Nafs/Anfuss) yang di dukung oleh Malaikat. Jika Ruhani sampai dikalahkan oleh Jasmani berarti Jiwa kita dimasukkan ke dalam kelompok Jiwa Fujur, sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani berartu jiwa kita dimasukkan dalam kelompok Jiwa Taqwa. Adanya kondisi yang tidak akan mungkin bisa dihindarkan oleh siapapun juga (maksudnya adalah perang melawan Ahwa dan juga perang melawan Syaitan) sedangkan kita harus bisa mempertahankan kefitrahan diri kita yang sesungguhnya adalah Ruhani, oleh ALLAH SWT diberikan jalan keluar untuk mengalahkan ahwa, untuk meningkatkan kualitas Ruhani, kita diperintahkan untuk  melaksanakan puasa (maksudnya melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah). Sekarang apakah cukup hanya dengan sekali saja kita melaksanakan puasa Ramadhan maka kita akan sanggup menghadapi ahwa dan syaitan selama hayat masih dikandung badan, sedangkan Ahwa dan Syaitan akan tetap ada mempengaruhi diri kita sepanjang Ruhani belum berpisah dengan Jasmani?


Sepanjang pengaruh ahwa (perang melawan ahwa) tidak bisa kita hindarkan, sepanjang pengaruh buruk dari syaitan tidak bisa kita elakkan, sepanjang kita ingin mempertahankan Ruhani sebagai jati diri kita yang sesungguhnya, sepanjang kita harus mempertahankan kefitrahan diri, sepanjang kita ingin pulang kampung ke Syurga, maka sepanjang itu pula kita membutuhkan puasa, atau melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Jika ini kondisi dasar yang harus kita hadapi saat melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi, berarti kita sangat membutuhkan manfaat yang hakiki yang terdapat dibalik puasa Ramadhan.


Adanya kondisi ini berarti hakekat dari pelaksanaan ibadah Puasa di bulan Ramadhan  bukan akhir dari suatu perjalanan. Ibadah di bulan Ramadhan bukan pula puncak pencapaian. Ibadah di bulan Ramadhan adalah awal dari pembelajaran dan pelatihan yang harus di aplikasikan dalam kehidupan secara sungguh-sungguh di dalam menghadapi ahwa dan syaitan, menjaga dan merawat fitrah yang telah kita peroleh serta untuk mempertahankan Ruhani sebagai jati diri kita yang sesungguhnya. Adanya kondisi ini, berarti kita harus bisa melaksanakan apa-apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Ahqaaf (46) ayat 13 dibawah ini, apakah itu?


Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah[1388] Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
(surat Al Ahqaaf (46) ayat 13)

[1388] Istiqamah ialah teguh pendirian dalam tauhid dan tetap beramal yang saleh.


Berdasarkan apa-apa yang kami uraikan di atas, serta berdasarkan surat Al Ahqaaf (46) ayat 13 yang kami kemukakan di atas, setelah diri kita melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, maka pasca Ramadhan kita harus tetap melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, kita harus tetap bertuhankan kepada ALLAH SWT, kita harus tetap beramal shaleh, kita harus tetap melaksanakan ibadah-ibadah Sunnah, kita harus tetap Istiqamah, karena setelah puasa Ramadhan belum tentu Ruhani kita berpisah dengan Jasmani. Terkecuali jika kita mampu mengalahkan ahwa seorang diri, mampu mengalahkan Syaitan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia seorang diri. Selanjutnya hal-hal sebagai berikut harus dapat kita laksanakan setelah pasca Ramadhan, yaitu :

1.      Ramadhan telah berlalu berarti ketentuan ibadah sunnah yang dinilai menjadi ibadah wajib, sedangkan ibadah wajib yang dilipatgandakan pahalanya, menjadi tidak berlaku lagi. Adanya kondisi ini bukan berarti setelah Ramadhan berlalu kita tidak melakukan lagi ibadah wajib dan ibadah sunnah lagi, justru kita harus tetap mempertahankan ke dua ibadah tadi semaksimal mungin, sehingga ibadah sunnah yang kita lakukan seperti Shalat Sunnah, Puasa Sunnah, mampu menjadi penyempurna, mampu menjadi penyeimbang, mampu menjadi penambah nilai, bagi ibadah-ibadah wajib yang kita laksanakan setelah bulan Ramadhan berlalu.

   
2.      Puasa Ramadhan yang telah berlalu bukanlah puasa untuk merasakan susahnya kaum dhuafa, akan tetapi puasa Ramadhan yang kita laksanakan harus berguna bagi kaum dhuafa. Adanya kondisi ini setelah puasa Ramadhan berlalu, kita harus terus berguna bagi kaum dhuafa, karena kaum dhuafa harus hidup sepanjang tahun, atau jangan sampai setelah Ramadhan berlalu kita kembali kenyang lalu kaum dhuafa kembali lapar kerena tidak ada lagi pembagian zakat, tidak ada pembagian shadaqah dan jariah.


3.      Saat bulan Ramadhan yang berpuasa adalah Jasmani, dengan dipuasakannya Jasmani berarti kita berusaha mengalahkan atau menghilangkan sifat-sifat Alamiah Jasmani yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan, untuk diganti dengan sifat-sifat Alamiah Ruhani yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan, melalui Ruhani yang tidak pernah sedetikpun dipuasakan saat kita melaksanakan Puasa Ramadhan. Sekarang untuk mempertahankan kondisi ini maka setelah bulan Ramadhan berlalu kita tidak  boleh sedetikpun mempuasakan Ruhani oleh sebab apapun juga. Ruhani harus tetap tidak boleh dipuasakan, walaupun Jasmani sudah tidak berpuasa lagi. Ruhani harus tetap diberi makan sekenyang-kenyangnya melalui Tadarus, melalui Dzikir, melalui Infaq, melalui Shadaqah, melalui Tadabbur Al-Qur;an, melalui Shalat sunnah Rawatib, melalui shalat Dhuha, melalui shalat Tahajud dan lain sebagainya yang tentunya harus sesuai dengan Syariat yang berlaku sepanjang Ruhani itu sendiri belum berpisah dengan Jasmani.


4.      Bulan Ramadhan telah berlalu bukan berarti Jasmani yang sebulan penuh dipuasakan lalu setelah Ramadhan berlalu menjadi bebas lagi. Jasmani harus tetap kita kontrol melalui makanan dan minuman yang kita konsumsi yang sesuai dengan syariat berlaku. Jika hal ini mampu kita lakukan setelah puasa Ramadhan, akan menjadikan sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan) yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang dibawa oleh Jasmani yang sudah dilemahkan saat berpuasa Ramadhan, menjadi berkurang kekuatannya, menjadi lemah kekuatannya, karena  Jasmani diberi makanan dan minuman yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, yaitu yang memenuhi kriteria  Halal lagi Thayib, dibacakan basmalah, serta membaca doa sebelum makan dan minum.


5.      Bulan Ramadhan berlalu bukan berarti Jasmani yang telah memperoleh manfaat positif dari berpuasa, atau puasa yang mampu menjadi penyembuh, atau puasa yang mampu memberikan kesehatan bagi Jasmani lalu setelah Ramadhan berlalu Jasmani bisa seenaknya saja dibiarkan sakit kembali dengan tidak melakukan pola hidup sehat? Sepanjang Ruhani belum berpisah dengan Jasmani maka sepanjang itu pula baik Jasmani maupun Ruhani harus kita rawat, tidak hanya saat bulan Ramadhan saja, karena jika keduanya sehat akan memudahkan kita melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi ini.


6.      Puasa Ramadhan berlalu bukan berarti turunnya kualitas sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) atau turunnya kualiatas dan pengaruh Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang dibawa oleh Jasmani dibiarkan terpendam dalam diri. Akan tetapi perubahan penurunan kualitas dan pengaruh Nilai-Nilai Keburukan yang terjadi pada diri kita,  harus bisa dibuktikan setelah Ramadhan berlalu yang tercermin dalam perbuatan kita sehari-hari, atau setelah Ramadhan berlalu merupakan saat bagi diri kita membuktikan hasil dari manfaat yang hakiki yang telah kita peroleh dari puasa Ramadhan.

Contohnya, jika sebelum berpuasa kita masih pelit (bakhil) maka setelah berpuasa kita menjadi lebih dermawan. Jika sebelum berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka setelah berpuasa kita menjadi orang yang sabar. Jika sebelum berpuasa kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme serta melakukan pornoaksi dan pornografi, setelah puasa kita tidak mau lagi melakukan hal-hal tersebut selamanya. Jika sebelum puasa kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah puasa Ramadhan kita bisa toleran kepada sesama. Demikian seterusnya terjadi, sampai kita bertemu kembali dengan Ramadhan tahun berikutnya. Jika hal ini tidak bisa kita lakukan, memang kitalah yang memiliki masalah dengan perintah puasa, karena perintah puasa sampai kapanpun tidak akan pernah salah.


7.      Puasa Ramadhan berlalu bukan berarti perkataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan “banyak orang yang berpuasa, tetapi yang didapatkan hanyalah haus dan lapar serta menahan syahwat semata” menjadi tidak berlaku lagi setelah Ramadhan berlalu. Ketentuan ini masih tetap berlaku, namun bukan untuk perintah melaksanakan Puasa, akan tetapi untuk perintah-perintah ALLAH SWT yang lainnya seperti perintah mendirikan SHALAT, perintah menunaikan ZAKAT, perintah untuk pergi HAJI dan lain sebagainya.


Akan datang satu masa atas manusia, dimana mereka shalat padahal sebenarnya mereka tidak shalat.
(HR Ahmad)

Banyak orang yang mendirikan Shalat, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah.
(HR Abu Dawud)

Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan Shalat tetapi mereka belum merasakan Shalat.
(HR Ahmad)

 Kececeran yang pertama akan kamu alami dari agamamu ialah amanat, dan kececeran yang terakhir ialah Shalat. Dan sesungguhnya (akan terjadi) orang yang melakukan Shalat sedang mereka tidak berakhlak.
(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Untuk itu, kita harus bisa melaksanakan seluruh apa yang diperintahkan oleh  ALLAH SWT tidak hanya berkualitas saat di bulan Ramadhan saja, melainkan juga di luar bulan Ramadhan kita harus tetap melaksanakan itu semua dengan cara berkualitas, yang tentunya harus sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.


8.      Ramadhan berlalu bukan berarti Ruhani yang sudah dimenangkan oleh ALLAH SWT  untuk mengalahkan Jasmani melalui Ibadah Sunnah yang dinilai wajib, serta melalui Ibadah wajib yang dilipatgandakan pahalanya, lalu kita biarkan kembali karena kita melalaikan ibadah sunnah dan ibadah wajib serta melakukan kembali perbuatan-perbuatan yang paling dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah setelah Ramadhan berlalu? Ruhani yang sudah menang, harus tetap kita jaga kemenangannya dengan tetap melakukan perbuatan-perbuatan yang paling dikehendaki oleh ALLAH SWT, Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri, masih selalu tergesa, masih menyakiti orang lain, masih korupsi, masih kolusi, masih nepotisme, masih suka KDRT, masih suka narkoba, masih suka menjadi teroris, masih suka menipu, berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.


Selanjutnya dalam rangka menambah wawasan tentang apa yang harus kita laksanakan pasca Ramadhan, berikut ini akan kami kemukakan kutipan dari artikel yang dikemukakan oleh Dr H Briliantono M Soenarwo. SpOT, yang kami ambil dari harian Republika tanggal 27 Agustus 2011. Setidaknya ada beberapa hal yang harus selalu kita perhatikan setelah Puasa Ramadhan kita laksanakan sesuai dengan kehendak pemberi perintah melaksanakan puasa, yaitu:

1.      Menyadari kelemahan diri bahwa kita belum maksimal memanfaatkan momen Ramadhan untuk perbaikan kita dengan ALLAH SWT.

2.      Merasakan kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan Ramadhan, seraya memohon dan berharap kepada ALLAH SWT agar diberi kesempatan lagi bertemu Ramadhan tahun depan.

3.      Bersyukur kepada ALLAH SWT bahwa telah diberi kepercayaan untuk menjalankan puasa dan Ibadah Ramadhan lainnya, karena dengan demikian ALLAH SWT memberi kesempatan kepada Ruh kita untuk mendekatkan diri  kepada-Nya, jiwa kita ditenangkan, dan jasad (tubuh) kita diistirahatkan dari tugas berat hariannya. Sehingga ketika keluar dari Ramadhan kita menjadi sehat lahir dan bathin.

4.      Lebih memberikan perhatian dan kecintaan kepada saudara-saudara kita yang setiap hari “Berpuasa” dikarenakan ketiadaan makanan. Merekalah kaum dhuafa, fakir miskin.

5.      Meluaskan silaturrahim dan saling memaafkan. Kita menamakan Hari Raya Idul Fitri sebagai lebaran. Artinya adalah hasil dari pe-lebar-an. Kita memperlebar jalinan kasih sayang. Melebarkan zona kedamaian dengan saling memberi dan meminta maaf, agar setiap muslim lebih optimis memandang dan menapaki masa depan.
6.      Ujian pertama memasuki 1 syawal adalah ujian menahan diri atau mengendalikan emosi. Banyaknya makanan yang terhidang di depan mata jangan sampai membuat kita khilaf, melahap semuanya hingga membuat kita sulit bergerak karena kekenyangan.

7.      Tetap meneruskan pola hidup sehat seperti yang selama Ramadhan kita jalankan, yaitu:

a.       Menjaga kebersihan hati, menghilangkan buruk sangka kepada sesama. Menjalani semua aktivitas dalam rangka ibadah kepada ALLAH SWT.
b.      Menjaga pola makan dengan gizi seimbang: 50 persen karbohidrat dan makanan berserat tinggi, 20 persen vitamin dan mineral; 20 persen protein, 10 persen lemak.
c.       Meninggalkan kebiasaan buruk yang berakibat langsung  bagi terganggunya kesehatan tubuh, misalnya merokok, minuman keras.
d.      Meneruskan kebiasaan beribadah sunnah sebagai ibadah tambahan.
e.       Melanjutkan bangun pagi untuk menjadi orang-orang pertama yang meraih keberkahan, disamping bisa menghirup udara pagi yang bersih.
 
8.      Mulai berolah raga untuk melatih otot, tulang dan sendi, agar kuat dan bisa berfungsi sebagaimana mestinya.


Sebagai KHALIFAH di muka bumi, katakan kita sudah kembali Fitrah, lalu apa yang harus kita lakukan setelah bulan Ramadhan berlalu, apakah cukup dengan itu saja maka kefitrahan dalam diri bisa tetap terjaga, sedangkan ahwa dan syaitan selalu siap mengganggu dan menggoda diri kita? Adanya Ahwa dan juga Syaitan akan membuat kefitrahan yang ada  dalam diri menjadi tidak konstan, akan mengalami penurunan, akan mengalam degradasi kualitas, yang pada akhirnya fitrah akan bisa hilang jika dibiarkan tidak dipelihara, tidak dijaga dari waktu ke waktu.  Selanjutnya sudahkah kita tahu cara untuk mempertahankan kefitrahan diri?


Agar diri kita selalu berkesesuaian dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh  ALLAH SWT maka kita tidak bisa menerapkan standard ganda atau mempergunakan tolak ukur yang berasal dari diri kita sendiri saat melaksanakan ketentuan yang wajib berlaku di muka bumi ini. Untuk itu jika kita merasa tamu yang terhormat atau jika kita ingin mempertahankan kehormatan yang telah kita miliki atau jika kita ingin mempertahankan dan menjaga kefitrahan yang ada pada diri kita, ketahuilah bahwa kita harus memiliki ilmu dan juga pengetahuan tentang itu semua dengan sebaik-baiknya. Berikut ini akan kami kemukakan cara untuk mempertahankan kefitrahan, atau untuk mendapatkan kefitrahan dan juga untuk memperoleh Kehendak ALLAH SWT, yaitu:


A.  IKUTI CAHAYA ALLAH SWT MELALUI KITAB-NYA


Apabila kita berharap dan berkeinginan untuk memperoleh siaran televisi yang jernih gambarnya serta bening suaranya, tahan lama, tidak sering ngadat seperti yang dikemukakan oleh Pabrikan, maka kita diharuskan memenuhi Syarat dan Ketentuan yang berlaku dalam Buku Manual. Jika di dalam Buku Manual mengharuskan memakai Antena Luar, maka pakailah Antena Luar, dan jika diharuskan memakai Stabilizer maka pakailah Stabilizer serta jika diharuskan memakai listrik bertegangan 110 Volt maka gunakanlah itu. Sepanjang apa-apa yang dipersyaratkan oleh Pabrikan kita penuhi maka kita akan memperoleh gambar yang jernih dan suara yang bening, tahan lama dan tidak sering ngadat. Selanjutnya jika Televisi saja diharuskan seperti itu, bagaimana dengan ALLAH SWT kepada Manusia? Melalui surat Asy Syuura (42) ayat 51-52, ALLAH SWT pun menetapkan hal yang serupa dengan Pabrikan, yaitu Manusia diharuskan untuk mengikuti apa-apa yang dikemukakan ALLAH SWT di dalam Buku Manual  yaitu Al-Qur'an.


Adanya informasi yang ALLAH SWT kemukakan di dalam Al-Qur'an menandakan bahwa ALLAH SWT sangat Terbuka, Tidak berat sebelah, sehingga Manusia diberi kebebasan untuk memilih jalan untuk pulang kampung, apakah melalui jalan yang lurus ataukah melalui jalan yang tidak di-ridhainya. Hal yang harus di ingat adalah hasil akhir dari apa-apa yang kita kerjakan di dunia akan memberikan dampak kepada hasil akhir yang berbeda pula. Selanjutnya, sebagai bahan perbandingan lihatlah Kepolisian sewaktu membuat Rambu atau Marka Jalan, kemudian apakah Rambu atau Marka yang dibuat oleh Kepolisian di buat untuk menyesatkan pengguna jalan, atau untuk mencelakakan pengguna jalan? Rambu atau Marka Jalan di buat untuk keselamatan dan kelancaran pengguna jalan sehingga selamat sampai tujuan. Selanjutnya jika kita sudah melakukan hal tersebut mungkinkah Polisi akan Menilang kita atau Polisi akan menghukum kita?

dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. dan Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami. sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah  Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(surat Asy Syuura (42) ayat 51-52)

[1347] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.


Sebagai pembuat ketentuan maka Kepolisian akan berbuat adil terhadap pengguna dan pemakai jalan. Selanjutnya bagaimana dengan ALLAH SWT? ALLAH SWT pun akan melakukan hal yang sama kepada manusia, yaitu sebagai Regulator, sebagai Inisiator, sebagai Pencipta, sebagai Pemelihara dan Pengawas Manusia maka ALLAH SWT pun menetapkan Syarat dan Ketentuan bagi Manusia jika ia ingin selamat dan berhasil menjadi KHALIFAH di muka bumi yang sekaligus Makhluk Pilihan atau jika manusia ingin pulang ke Neraka ataupun ke Syurga. Sekarang apa yang harus kita perhatikan dengan Syarat dan Ketentuan ALLAH SWT? Syarat dan Ketentuan ALLAH SWT dapat kita artikan sebagai Perintah ALLAH SWT.


ALLAH SWT menetapkan Perintah kepada manusia bukanlah sembarang perintah. Untuk itu janganlah kita hanya melihat kata Perintah saja, namun lihatlah dan renungkanlah ada apa di balik Perintah ALLAH SWT tersebut. Sebagai contoh, kita memerintahkan anak mandi sesudah  bermain, perintah mandikah yang menjadi tujuan kita kepada anak itu atau kesehatan dan kebersihan tubuhkah yang kita inginkan yang terjadi pada anak kita melalui perintah mandi? Sekarang,  jika mandi tidak dapat menjadikan tubuh anak bersih dan sehat atau sesudah mandi masih menimbulkan gatal-gatal, apakah hal ini sudah dapat dikatakan mandi? Mandi yang baik dan benar harus dapat menjadikan anak kita bersih dan sehat. Sekarang bagaimana dengan Perintah untuk Mengikuti Cahaya ALLAH SWT melalui Al-Qur'an? Jika mandi saja dapat memberikan dampak kepada kesehatan tubuh, maka dengan mengikuti cahaya ALLAH SWT melalui petunjuk Al-Qur'an tentu akan memberikan dampak yang sangat luar biasa bagi kefitrahan diri. Sekarang sudahkah kita merasakan Nur/Cahaya dari ALLAH SWT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi? Jika tidak, pasti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.  

B.  BERIKAN CINTA KEPADA ALLAH SWT SAJA


Untuk menerangkan hal ini, akan kami ilustrasikan sebagai berikut: Jika kita mempunyai dua orang anak, dimana anak yang pertama jika meminta sesuatu kepada kita tidak pernah meminta secara langsung  atas keperluan sekolahnya. Sedangkan anak yang ke dua ia selalu berkomunikasi kepada kita dan menempatkan kita selayaknya sebagai orang tua. Jika keadaan ini terjadi apa yang kita lakukan? Kepada anak yang pertama tentu kita akan merasa bahwa anak itu tidak menghargai keberadaan kita selaku orang tuanya, sehingga ada kemungkinan kita marah atau tidak menyukai sikap yang dilakukannya. Kepada anak yang kedua, tentu kita akan merasa senang dan tersanjung atas apa-apa yang diperbuat oleh anak tersebut sehingga kitapun akan senang hati memberikan apa yang ia minta atau yang ia butuhkan. Berdasarkan ilustrasi di atas, terjadi dua keadaan yang kontradiktif di dalam diri kita. Di lain sisi,  sebagai orang tua yang bertanggung jawab kepada dua anak tersebut, kita diwajibkan untuk menjaga dan memelihara mereka, akan tetapi akibat perbuatan yang mereka lakukan, maka kitapun akan memberikan sesuatu yang berbeda kepada ke dua anak tersebut. Sekarang jika kita saja berbuat seperti itu, bagaimana dengan ALLAH SWT, jika makhluknya melakukan perbuatan yang sama?


Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
(surat Al Maaidah (5) ayat 54)


ALLAH SWT pasti bersikap adil kepada hambanya, jika hambanya berbuat tidak sesuai dengan Kehendak-Nya maka iapun memperoleh balasan yang juga tidak sesuai Kehendak-Nya. Sedangkan jika hambanya berbuat dan berkehendak yang bersesuaian, sejalan dengan Kehendak ALLAH SWT maka iapun akan memperoleh apa-apa yang telah dijanjikan  ALLAH SWT kepada hambanya. Jika demikian keadaannya, perlukah kita selalu selaras, serasi dan seimbang dengan ALLAH SWT? perlukah kita bersinergi dengan ALLAH SWT? perlukah kita dalam keseimbangan dengan ALLAH SWT? Hadits Qudsi dan surat Al Maaidah (5) ayat 54 yang kami kemukakan di atas, dapat kita jadikan pedoman atau patokan di dalam berkomunikasi dengan  ALLAH SWT.
Abu Hurairah ra berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR Al Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abuhurairah; 272:17)

Anas ra berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Aku selalu menurutkan persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, dan Aku selalu menyertainya (membantu padanya) selama ia berdzikir (ingat dan menyebut) nama-Ku.
(HQR Muslim, Al Hakim; 272:68)


Kunci dari itu semua adalah yang pertama kita harus berpikiran Positif kepada ALLAH SWT, yang dilanjutkan dengan Kita Harus Aktif kepada ALLAH SWT. Kita tidak bisa menunggu dan menunggu untuk mendapatkan janji-janji ALLAH SWT kepada diri kita. Hal ini dikarenakan sikap ALLAH SWT sangat tergantung kepada sikap kita terhadap ALLAH SWT. Jika kita merasa ALLAH SWT adalah Tuhan maka ALLAH SWT akan bertindak sebagai Tuhan. Jika kita diam saja kepada ALLAH SWT maka ALLAH SWT juga akan diam saja kepada diri kita. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, jangan pernah berharap memperoleh atau mendapatkan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT jika kita tidak pernah berusaha untuk mendapatkan itu semua. Sekarang tergantung diri kita sendiri bersikap kepada ALLAH SWT, yang pasti ALLAH SWT tidak butuh dengan sikap kita, tetapi kitalah yang membutuhkan ALLAH SWT.

C.  BERBUAT AMAL SHALEH SEBANYAK-BANYAKNYA


ALLAH SWT melalui surat An Nuur (24) ayat 38 & ayat 36  menerangkan bahwa untuk mendapatkan apa-apa yang telah dijanjikan ALLAH SWT kepada manusia dikehendaki-Nya maka kita diharuskan berbuat Lebih Baik atau berbuat Lebih Banyak dari apa-apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan orang. Kenapa kita diharuskan berbuat demikian? Lihatlah sewaktu kita masih belajar di bangku sekolah dahulu, siapa murid yang lebih diperhatikan bapak dan ibu guru? Kemungkinan pertama adalah murid yang paling baik daripada murid-murid lainnya atau kemungkinan kedua adalah murid yang paling kurang di antara murid-murid lainnya. Contoh lainnya yang kita alami adalah semakin banyak saldo pulsa yang kita miliki maka semakin banyak dan semakin mudah kita memperoleh fasilitas dari operator selular. Hal yang sama juga diterapkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita, jika kita ingin mendapatkan hal yang lebih dari manusia kebanyakan seperti Karunia dan Rezeki maka lakukanlah Amal Sheleh yang lebih  melebihi dari apa-apa yang telah dilakukan manusia secara kebanyakan. Jika kita mampu melakukan hal itu, maka              ALLAH SWTpun akan memberikan apa-apa yang telah dijanjikannya kepada diri kita.


 (Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
(surat An Nuur (24) ayat 38)

Bertasbih[1041] kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang,
(surat An Nuur (24) ayat 36)

[1041] Yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut pada ayat 37 berikut.
Sekarang lihatlah keadaan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, dimana sebuah Operator Selular baru akan memberikan seluruh fasilitas layanan telekomunikasi jika pengguna telepon telah memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan Operator Selular. Sekarang bagaimana jadinya jika saldo pulsa yang kita miliki hanya Rp.50,- tetapi kita berharap memperoleh SLI, SLJJ, GPRS, MMS dan lain sebagainya? Jika ini yang terjadi jangan pernah berharap Operator Selular mau memberikan segala fasilitas yang dimilikinya kepada diri kita. Sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT?

ALLAH SWT pun tidak akan pernah memberikan kepada diri kita segala fasilitas atau segala janjinya, jika diri kita tidak mau memenuhi segala syarat dan ketentuan yang telah ditentukan ALLAH SWT. Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita tidak mau memenuhi segala ketentuan ALLAH SWT tetapi berharap Syurga atau berharap memperoleh segala yang dijanjikan oleh ALLAH SWT seolah-olah cukup dengan Miss Call kepada ALLAH SWT maka selesai sudah kewajiban diri kita kepada ALLAH SWT. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, buang jauh-jauh harapan tadi, jangan pernah lakukan ibadah wajib dan sunnah secara Miss Call, sekarang lakukan aktivasi keimanan, lakukan ibadah wajib dan sunnah serta selalu isi saldo amal shaleh dari waktu ke waktu sebanyak mungkin, tanpa harus menunggu waktu.


D.  JANGAN DUSTAKAN AYAT-AYAT ALLAH SWT


Kembali kepada cerita tentang Televisi yang kita beli, setelah menerima Buku Manual dari Pabrikan, bolehkah kita melanggar apa-apa yang telah dikemukakan di dalam Buku Manual? Sepanjang kita menginginkan Televisi  berfungsi dengan baik yaitu Gambar dan Suara yang jelas dan terang, tahan lama serta tidak sering ngadat, lakukan apa-apa yang diperintahkan Pabrikan dan apa-apa yang dilarang Pabrikan jangan pernah lakukan. Ini berarti antara Pabrikan  dan Buku Manual tentang Televisi merupakan satu kesatuan atau Buku Manual sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan Pabrikan. Selanjutnya jika Televisi saja harus di operasikan dan dijalankan sesuai dengan Buku Manualnya, sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT dengan Al-Qur'an yang merupakan Buku Manual bagi Manusia? Jika Manusia atau diri kita mau seperti Televisi, maka kitapun Wajib melaksanakan Buku Manual yang telah ALLAH SWT berikan yaitu Al-Qur'an, terkecuali manusia memang tidak mau Selamat atau memang ingin bergabung dengan Syaitan pulang kampung ke Neraka Jahannam.

Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah[469].
(surat Al An'am (6) ayat 33)

[469] Dalam ayat ini Allah menghibur Nabi Muhammad s.a.w. dengan menyatakan bahwa orang-orang musyrikin yang mendustakan Nabi, pada hakekatnya adalah mendustakan Allah sendiri, karena Nabi itu diutus untuk menyampaikan ayat-ayat Allah.


Jika Pabrikan dan Buku Manualnya merupakan hal yang tidak terpisahkan maka           ALLAH SWT dengan Al-Qur'an (atau dengan Kalam-Nya atau dengan Wahyu-Nya) juga hal yang tidak terpisahkan sehingga kita harus beriman kepada ALLAH SWt dan juga beriman kepada kitab yang diturunkannya (maksudnya adalah Al-Qur'an). Untuk itu jika kita mematuhi dan melaksanakan Al-Qur'an maka kita pun Harus pula tunduk dan patuh kepada ALLAH SWT sebab apa-apa yang tertera di dalam Al-Qur'an tidak lain adalah Kalam ALLAH SWT itu sendiri. Sekarang jika kita ingin selamat, ingin bertemu dengan ALLAH SWT kelak di hari akhirat maka jangan pernah dustakan serta jangan pernah pula mengurangi, menambah apalagi berani membantah Ayat-Ayat ALLAH SWT yang tertuang dalam Buku Manual bagi umat manusia yaitu Al-Qur'an. 

E.   JANGAN IKUTI AJAKAN AHWA (HAWA NAFSU)


AHWA adalah perbuatan atau pekerjaan dari sifat-sifat alamiah yang dimilki oleh Jasmani manusia. Salah satu sifat Jasmani adalah Lemah, maka AHWA daripada Jasmani adalah Melemahkan apa-apa yang ditempatinya atau apa-apa yang dipengaruhinya, dalam hal ini adalah Ruhani. Jika AHWA tadi dapat mengalahkan atau mempengaruhi Ruhani maka yang timbul di dalam diri manusia adalah Rasa Malas, Rasa Pesimis, Rasa Rendah Diri sehingga merasa kalah sebelum perang. Selanjutnya jika hal ini yang terjadi pada diri manusia, berarti manusia telah keluar dari Kehendak ALLAH SWT.
dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
(surat Al Maaidah (5) ayat 48)

[421] Maksudnya: Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya.
[422] Maksudnya: umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.


Untuk itu ALLAH SWT memberikan petunjuk-Nya melalui surat Al Maaidah (5) ayat 48, bahwa Ahwa dapat mengeluarkan manusia dari jalan yang terang atau Ahwa dapat mengakibatkan manusia meninggalkan kebenaran. Untuk itu ALLAH SWT selaku Pencipta memberikan kepada manusia aturan dan jalan yang lurus melalui Al-Qur'an yang juga berfungsi sebagai Buku Manual bagi Manusia jika ingin tetap berada di dalam gelombang dan siaran ALLAH SWT. Yang menjadi persoalan adalah sudahkah kita selalu senantiasa berada dari waktu ke waktu di dalam gelombang dan siaran ALLAH SWT di dalam upaya memperoleh atau mendapatkan segala yang dikehendaki ALLAH SWT? 


F.   JANGAN SYERIKATKAN ALLAH SWT DENGAN SELAINNYA


Sebelum membahas sub bab ini, ada sebuah pertanyaan yang akan kami ajukan kepada pembaca, yaitu jika kita adalah orang tua yang mempunyai kemampuan baik moril dan materiil lebih dari cukup, akan tetapi anak kandung kita sendiri malah justru selalu membandingkan diri kita dengan tetangga sebelah rumah, kemudian malah anak itu mengatakan bahwa tetangga sebelah rumah lebih baik diri kita sehingga ia meminta uang jajan kepada tetangg, apa yang anda rasakan? Sebagai orang tua, kita akan  marah kepada anak itu. Timbul pertanyaan, atas dasar apakah kita marah kepada anak tersebut? Tindakan yang dilakukan oleh anak itu mengindikasikan kepada kita bahwa anak itu telah melakukan pelecehan dan penghinaan sehingga kita dianggap tidak layak dan tidak pantas menjadi orang tuanya atau pada intinya anak tersebut menganggap diri kita tidak ada dan tidak mampu. Selanjutnya bagaimana dengan ALLAH SWT jika kita perbandingkan atau kita syerikatkan dengan sesuatu?
(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, Maka Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika Dia menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan Allah).
(surat Al An'am (6) ayat 41)

dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak memperkutukan(Nya). dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka.
(surat Al An'am (6) ayat 107)

ALLAH SWT pun akan mempunyai kondisi dan keadaan yang sama dengan diri kita selaku orang tua. Timbul pertanyaan, kenapa ALLAH SWT sampai tidak mau sedikitpun disyerikatkan dengan sesuatu? Tindakan mensyerikatkan ALLAH SWT adalah sebuah tindakan yang tidak akan pernah ditolerir oleh ALLAH SWT sebab Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT telah dihina atau telah dilecehkan atau telah di anggap tidak mumpuni atau dengan kata lain tindakan mensyerikatkan ALLAH SWT dengan sesuatu adalah sebuah tindakan yang menodai kedudukan dan kebesaran ALLAH SWT sebagai PEMILIK yang sekaligus PENCIPTA, PEMELIHARA, PENGAWAS dari langit dan bumi beserta isinya.

Selanjutnya tindakan mensyerikatkan ALLAH SWT dengan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung dapat pula di artikan kita telah melakukan sebuah Penghinaan atas Keberadaan ALLAH SWT, atau dapat pula berarti Menganggap ALLAH SWT tidak mampu berbuat, atau ALLAH SWT tidak layak menjadi Pemilik yang sekaligus Pencipta, Pengawas, Pemelihara, Pengayom dari langit dan bumi beserta segala isinya. Sekarang jika ALLAH SWT marah serta tidak memberikan maaf kepada orang yang melakukannya, adalah sebuah kepantasan dan sebuah kepatutan yang harus diterima oleh yang berani berbuat seperti itu. Selanjutnya jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri maka kita sudah pasti kita tidak akan pernah berani mensyerikatkan ALLAH SWT dengan sesuatu apapun juga. Yang menjadi persoalan sekarang, sudahkah kita memiliki Ilmu tentang Mengenal Diri Sendiri sebagai langkah awal untuk menempatkan ALLAH SWT pada posisi yang sesungguhnya?       

G.  JANGAN IKUTI DUGAAN, IKUTI PETUNJUK ALLAH SWT


Setelah menerima Buku Manual Televisi, maka kita diharapkan oleh Pabrikan untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Pabrikan, apakah itu petunjuk pengoperasian Televisi maupun cara-cara merawat Televisi . Selanjutnya baik dan buruknya kualitas gambar dan suara Televisi tergantung Konsumen melaksanakan Buku Manual yang dikeluarkan Pabrikan atau Pabrikan sangat mengharapkan kepada seluruh  Konsumennya untuk mempercayai apa-apa yang dikemukakannya di dalam Buku Manual yang telah dikeluarkannya.


Sekarang bolehkah kita mengoperasionalkan Televisi dengan cara-cara kita sendiri dengan mengabaikan Buku Manual? Jika kita tetap melaksanakan cara-cara kita sendiri maka Pabrikan akan lepas tanggung jawab terhadap mutu dan kualitas dari gambar dan suara Televisi yang kita beli atau Resiko menjadi tanggung jawab sendiri. Kenapa sampai Pabrikan bersikap seperti itu? Pabrikan bersikap keras seperti itu dikarenakan Pabrikan tahu betul atau mengerti betul selak beluk dari Televisi yang diproduksinya sehingga jika konsumen bersikap di luar apa-apa yang dibuatnya maka Pabrikan lepas tangan. Selanjutnya jika  Pabrikan saja sudah mengkondisikan diri untuk dipercayai oleh konsumen melalui apa-apa yang dikemukakannya dalam Buku Manual serta mengkondisikan juga tahu dan mengerti betul dengan apa-apa yang diproduksinya, sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT yang telah menciptakan Langit, Bumi beserta isinya, Manusia dengan Kehendak-Nya serta telah pula menurunkan Al-Qur'an kepada manusia sebagai Buku Manual?

orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu apapun." demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada kami?" kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta.
Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya".
(surat Al An'am (6) ayat 148-149)


ALLAH SWT juga mempunyai ketentuan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan Pabrikan, yaitu dengan menerapkan serta melaksanakan hal-hal sebagai berikut yaitu: Manusia wajib mempercayai ALLAH SWT; Manusia wajib mengerti dan mengetahui keberadaan  ALLAH SWT atau wajib memiliki Ilmu tentang  ALLAH SWT; Manusia  wajib menempatkan dan meletakkan ALLAH SWT sesuai dengan kemahaan yang dimiliki-Nya.


Timbul pertanyaan, kenapa hal ini harus dilakukan oleh Manusia? Hal ini  dikarenakan ALLAH SWT adalah Inisiator, Pemilik yang sekaligus Pencipta, Pemelihara, Pengayom, Pengawas dari langit dan bumi termasuk diri kita di dalamnya. Adanya kondisi seperti ini maka hanya ALLAH SWT sajalah yang tahu persis terhadap apa-apa yang telah diciptakan-Nya atau tahu persis terhadap apa-apa yang dikehendaki-Nya. Sekarang bagaimana jika kita malah merubah, menambah, menyangkal, mengurangi, atau bahkan tidak mempercayai apa-apa yang ALLAH SWT kemukakan di dalam Al-Qur'an sebagai Buku Manual manusia atau bahkan manusia  malah tidak mempercayai ALLAH SWT itu sendiri sehingga lebih senang dengan informasi yang abu-abu? Jika Pabrikan saja lepas tanggung jawab kepada konsumennya, maka ALLAH SWT pun akan lepas tanggung jawab kepada manusia yang telah keluar dari Kehendak-Nya atau tidak akan bertanggung jawab kepada manusia yang tidak mau menempatkan ALLAH SWT sebagai Tuhan. Akan tetapi jika manusia ingin tetap mendapatkan dan memperoleh apa-apa yang telah dijanjikan oleh ALLAH SWT atau memperoleh dan mendapatkan Kehendak ALLAH SWT jangan pernah melakukan tindakan-tindakan melecehkan ALLAH SWT dengan berbuat musyrik dan syirik, dengan membantah isi   Al-Qur'an, dengan lebih mempercayai bisikan Syaitan, mengganti Diinul Islam dengan yang lainnya. Pilihan sekarang ada pada diri kita sendiri.
H.  JANGAN TINGGALKAN AD DIIN atau DIINUL ISLAM

Mengacu kepada Televisi yang kita beli, dimana kita tidak diperbolehkan atau dilarang oleh Pabrikan untuk keluar atau meninggalkan petunjuk atau apa-apa yang telah dituangkan oleh Pabrikan  di dalam Buku Manual. Apabila kita keluar dari Buku Manual, ini berarti Pabrikan lepas tanggung jawab atas segala resiko yang akan timbul akibat dari ketidakpatuhan konsumen kepada Buku Manual. Sekarang, jika Pabrikan saja dapat seperti itu kepada konsumennya, selanjutnya bagaimana dengan ALLAH SWT yang telah memerintahkan Manusia untuk selalu menghadapkan wajahnya ke Diinul Islam atau menyuruh manusia selalu di dalam Diinul Islam? ALLAH SWT pun akan memperlakukan hal yang sama kepada Manusia jika ia meninggalkan Diinul Islam yang telah ditetapkan-Nya. Selanjutnya bagaimana dengan manusia yang berani meninggalkan Diinul Islam atau dengan sengaja melanggar ketentuan Diinul Islam?
 
dan Demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka agama-Nya[509]. dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggallah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
(surat Al An'am (6) ayat 137)

[509] Sebahagian orang Arab itu adalah penganut syariat Ibrahim. Ibrahim a.s. pernah diperintahkan Allah mengorbankan anaknya Isma'il. kemudian pemimpin-pemimpin agama mereka mengaburkan pengertian berkorban itu, sehingga mereka dapat menanamkan kepada pengikutnya, rasa memandang baik membunuh anak-anak mereka dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah, Padahal alasan yang Sesungguhnya ialah karena takut miskin dan takut ternoda.


Manusia yang telah keluar dari apa-apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT maka ALLAH SWT akan lepas tanggung jawab kepada orang tersebut sehingga ia berhak mendapatkan apa-apa yang dikehendakinya sendiri berupa hamba Syaitan atau pulang kampung bersama Syaitan ke Neraka Jahannam. Akan tetapi jika kita ingin selamat sampai ke Syurga maka jangan pernah keluar dari Diinul Islam atau jangan lakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa-apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT atau tetaplah selalu  berada di dalam Diinul Islam atau selalu berada dalam Fitrah ALLAH SWT.


I.    JANGAN IKUTI LANGKAH-LANGKAH SYAITAN SELAKU MUSUH MANUSIA


ALLAH SWT menetapkan bahwa Syaitan itu adalah MUSUH bagi KHALIFAH di muka bumi atau musuh diri kita. Syaitan sebagai Musuh tentu akan berupaya dengan segala cara, untuk dapat mengalahkan Musuhnya. Hal yang harus menjadi perhatian bagi kita adalah Iblis atau Syaitan sejak peristiwa di laknat dan di usir dari Syurga oleh ALLAH SWT sampai dengan hari kiamat hanya memiliki Satu pekerjaan tetap yaitu Spesialis yang Profesional di dalam Menyesatkan dan Menjerumuskan Manusia ke lembah nista. Di lain sisi ALLAH SWT sebagai perencana dari adanya Kekhalifahan di muka bumi tentu mempunyai alasan-alasan tersendiri kenapa Manusia harus bermusuhan dengan Syaitan atau kenapa Iblis dan Syaitan diperbolehkan oleh ALLAH SWT untuk menyesatkan dan menjerumuskan Manusia atau kenapa ALLAH SWT menyuruh manusia untuk tidak mengikuti langkah-langkah Syaitan. Jika kita adalah seorang pelatih SILAT dan kemudian memilih beberapa anak didik kita untuk mengikuti kejuaraan SILAT, atas dasar apakah kita memilih anak tersebut untuk mengikuti kejuaraan silat?


 Kita memilih dan menentukan anak tersebut dikarenakan kita yakin bahwa anak tersebut mampu melakukan dengan baik sehingga kita yakin pula ia dapat memenangkan pertandingan. Ini berarti kunci dari itu semua adalah adanya Keyakinan dan Optimisme untuk memenangkan kejuaran silat menjadikan diri kita mengikuti kejuaraan SILAT. Sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT yang telah atau sudah menetapkan di dalam Ilmu-Nya atau di dalam rencana-Nya bahwa Syaitan diperbolehkan atau Syaitan direstui untuk melakukan tindakan menyesatkan dan menjerumuskan manusia dalam rangka memperebutkan tempat kembali yaitu Syurga atau Neraka, apa yang mendasari itu semua? ALLAH SWT sebagai Inisiator dari segala apa-apa yang ada di langit dan di bumi, tentu sudah memikirkan dalam Ilmu-Nya yang sangat tinggi tentang keadaan ini sehingga dapat dikatakan bahwa  ALLAH SWT sudah tahu dan mengerti dengan segala tindakannya.
   
dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya (dan Allah berfirman): "Hai golongan jin, Sesungguhnya kamu telah banyak menyesatkan manusia", lalu berkatalah kawan-kawan meraka dari golongan manusia: "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya sebahagian daripada Kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain)[504] dan Kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka Itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha mengetahui.
(surat Al An'am (6) ayat 128)

[504] Maksudnya syaitan telah berhasil memperdayakan manusia sampai manusia mengikuti perintah-perintah dan petunjuk-petunjuknya, dan manusiapun telah mendapat hasil kelezatan-kelezatan duniawi karena mengikuti bujukan-bujukan syaitan itu.

 dan Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia)[499]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
(surat Al An'am (6) ayat 112)

[499] Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi.


Seperti telah kita ketahui bersama bahwa  jati diri manusia yang sesungguhnya  RUH ditambah dengan AMANAH 7 dan HATI RUHANI, inilah konsep dasar ALLAH SWT sewaktu menciptakan KEKHALIFAHAN di muka bumi pertama kali. Adanya kondisi dan keadaan ini maka ALLAH SWT sudah mempunyai Keyakinan bahwa Manusia itu sudah di atas Syaitan atau Manusia sudah ditempatkan oleh  ALLAH SWT lebih sempurna dibandingkan Syaitan sehingga  manusia pasti menang lawan Syaitan. Adanya kondisi dan keyakinan seperti itu maka ALLAH SWT memperkenankan atau merestui Syaitan untuk menyesatkan dan menjerumuskan manusia. Selanjutnya jika ALLAH SWT sudah berketetapan bahwa Manusia (dalam hal ini bahwa diri kita yang sebenarnya adalah RUHANI ditambah AMANAH7) mampu menang melawan Syaitan, kenapa justru sekarang banyak Manusia menjadi Pecundang dibandingkan dengan Syaitan. Timbul pertanyaan SYAITANkah yang sekarang dibela oleh ALLAH SWT ataukah Manusia yang salah di dalam mengenal dirinya sendiri? ALLAH SWT sampai kapanpun akan tetap melaknat Iblis/Jin/Syaitan, jika demikian maka kondisi dan keadaan Iblis/Jin/Syaitan tidak akan berubah atau tidak akan dirubah oleh ALLAH SWT menjadi makhluk yang terpuji. Selanjutnya bagaimana dengan Manusia? Manusia akibat tidak Tahu Diri maka ia kini dapat dikalahkan oleh Syaitan atau manusia kini mengikuti langkah-langkah Syaitan. Manusia yang seperti itu adalah Manusia yang tidak Tahu Diri  sebab di dalam diri setiap Manusia sudah ada bagian dari ALLAH SWT berupa RUH serta AMANAH 7 sehingga bagaimana mungkin RUH dan AMANAH 7 dapat dikalahkan dengan mudah oleh Syaitan sang Laknatullah dan jika sekarang ALLAH SWT memberikan rambu-rambu kepada Manusia untuk jangan pernah mengikuti langkah-langkah Syaitan merupakan bentuk kasih sayang ALLAH SWT kepada Manusia agar Manusia selamat sampai tujuan yaitu pulang kampung ke Syurga.


Sekarang apa yang harus kita lakukan? Kenali diri, sadar diri, tahu diri, lalu yakinkan diri bahwa kita hidup di dunia tidak sendirian melainkan sudah bersama ALLAH SWT atau sudah tidak terpisahkan dengan ALLAH SWT. Untuk itu sambutlah, rebutlah, manfaatkanlah apa-apa yang telah dipersiapkan  ALLAH SWT untuk diri kita, jadikan ALLAH SWT sebagai TUHAN bagi diri kita lalu jadilah hamba  ALLAH SWT yang paling dikehendaki-Nya. Semoga kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak dapat kita rasakan, sehingga kita dapat bertemu langsung dengan yang Maha Terhormat, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke Neraka Jahannam bersama Syaitan sang laknatullah.

Sebagai penutup, ada satu pertanyaan yang mendasar yang harus kita jawab, sudah berapa kali kita melaksanakan puasa Ramadhan saat hidup di dunia ini, lalu apa yang sudah kita peroleh? Jawablah pertanyaan ini dengan sejujur-jujurnya dan ingat ALLAH SWT tidak akan bisa kita bohongi. Selanjutnya mari kita perhatikan dua buah pelajaran yang dapat kita jadikan pembanding bagi diri kita saat menjalankan tugas di muka bumi melalui 2(dua) makhluk ALLAH SWT berikut ini:


1.      Jika setelah Ramadhan, kita masih juga senang mengambil hak orang lain, atau masih suka melaksanakan Korupsi, kolusi, Nepotisme baik berjamaah maupun perseorangan, ada baiknya kita berguru kepada kucing yang malu mengambil makanan dengan cara mencuri. Lihatlah kucing yang diberi makan langsung oleh kita, lalu perbandingkan kucing yang makan makanan dengan cara mencuri? Kucing jika diberi makan oleh kita langsung ia akan tenang melahap makanannya, tetapi kucing akan waspada, tidak tenang saat makan makanan dari hasil mencuri. Sekarang jika kucing saja tahu dan mengerti bahwa mencuri makanan itu tidak baik bagi dirinya, lalu kenapa kita yang telah diangkat jadi KHALIFAH oleh ALLAH SWT justru berbuat sebaliknya dibandingkan dengan kucing. Sekarang siapakah yang lebih tahu diri? 

dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(surat Al A’raaf (7) ayat 179)


2.      Jika setelah Ramadhan, kita masih juga masuk ke dalam lubang yang sama untuk ke dua kalinya (maksudnya masih melakukan perbuatan yang dikehendaki oleh Syaitan secara berulang-ulang), seperti masih menyakiti orang lain melalui perkataan ataupun perbuatan, masih suka berbuat onar, menyebarkan berita bohong, masih suka korupsi. Ada baiknya bertanya dan berguru langsung kepada keledai yang tidak pernah masuk ke lubang yang sama dua kali. Sekarang siapakah yang lebih tahu diri?


Jawaban dari pertanyaan di atas, hanya diri kita sendirilah yang tahu, untuk itu kami sangat berharap jangan sampai diri kita dinilai oleh ALLAH SWT lebih rendah dari binatang seperti yang dikemukakan ALLAH SWT dalam surat Al A’raaf (7) ayat 179 di atas.



Akhir kata, semoga tulisan ini berguna bagi Khalayak, mohon maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenaan. Semoga kita bisa diberi kesempatan oleh ALLAH SWT untuk bertemu kembali bulan dengan Ramadhan tahun berikut dan semoga kita menjadi makhluk yang terhormat, yang mampu pulang kampung ke tempat yang terhormat, dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghormati. Amien.