Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 10 April 2016

SHALAT KHUSYU' - part 3 of 3






3. SEPERTI APAKAH RASANYA KHUSYU’ itu?


Sekarang diri kita sudah berupaya dengan segenap daya  untuk mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu, lalu seperti apakah rasanya SHALAT yang Khusyu itu? Apakah SHALAT yang Khusyu’ itu memiliki rasa ataukah ada sesuatu yang dapat kita rasakan jika kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu? Jika kita mengacu kepada hadits yang kami kemukakan di bawah ini, SHALAT yang Khusyu’ dapat dipastikan memiliki rasa atau SHALAT yang Khusyu’ menimbulkan suatu perasaan yang dapat kita rasakan. 


“Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan shalat tetapi mereka belum merasakan shalat”.
(HR Ahmad)
dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
(surat An Nahl (16) ayat 78)

Sekarang komponen dalam diri yang manakah yang akan dapat  merasakan hasil dari kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan? Komponen dalam diri yang akan dapat merasakan rasa dari kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan dari  waktu ke waktu adalah Af’idah yang diletakkan di dalam Hati Ruhani. Apa buktinya kita memiliki Af’idah? 


kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(surat As Sajdah (32) ayat 9)

Berdasarkan surat An Nahl (16) ayat 78 dan surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas, setiap manusia telah diberikan oleh ALLAH SWT apa yang dinamakan dengan Af’idah atau Perasaan yang diletakkan di dalam Hati Ruhani. Adanya Af’idah dalam Hati Ruhani maka kita akan dapat merasakan rasa dari SHALAT yang kita dirikan atau merasakan rasa dari nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT. Sekarang apa jadinya jika rasa dari SHALAT tidak dapat kita rasakan atau SHALAT yang Khusyu’ tidak dapat kita rasakan? Berdasarkan 2(dua) hadits yang kami kemukakan di bawah ini, jika SHALAT yang Khusyu’ tidak bisa kita rasakan, atau rasa dari SHALAT yang kita dirikan tidak dapat kita rasakan maka ada dua hal yang akan kita peroleh dari SHALAT yaitu Jasmani merasa lelah dan payah serta akhlak tidak berubah (maksudnya shalat tetap shalat, perbuatan keji dan munkar jalan terus).



Banyak orang yang mendirikan SHALAT, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah.
(HR Abu Dawud)


Kececeran yang pertama akan kamu alami dari agamamu ialah amanat, dan kececeran yang terakhir ialah shalat. Dan sesungguhnya (akan terjadi) orang-orang melakukan shalat sedang mereka tidak berakhlak.
(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)


Sekarang Af’idah atau perasaan sudah kita miliki, dan sudah pula menempati Hati Ruhani, lalu bisakah Af’idah ini bekerja sebagaimana mestinya yaitu merasakan sesuatu rasa jika apa yang kita kerjakan tidak menimbulkan rasa? Sepanjang yang kita kerjakan, katakan mendirikan SHALAT,  tidak menimbulkan rasa atau menumbuhkan perasaan dalam diri, atau perasaan ditolong oleh ALLAH SWT, atau perasaan doanya didengar oleh ALLAH SWT maka Af’idah tidak akan bisa merasakan rasa dari hasil SHALAT yang kita dirikan kecuali Jasmani yang merasakan Lelah dan Letih.

Selanjutnya agar diri kita mampu merasakan rasa yang didapat dari setiap ibadah yang kita lakukan, apakah SHALAT, apakah Syahadat, apakah Zakat, Apakah Puasa, apakah Haji maka Af’idah yang ada di dalam diri harus kita gunakan sesuai peruntukan yang sebenarnya, dalam hal ini adalah bersyukur. Apa maksudnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita kembali dahulu kepada perintah mandi dan gosok yang telah diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita. Adanya perintah mandi dan gosok gigi yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita maka kita dapat merasakan kesehatan tubuh serta kesehatan mulut dan gigi. Selanjutnya setelah merasakan betapa enaknya kesehatan tubuh, setelah merasakan kesegaran tubuh serta kesehatan mulut dan gigi itu, lalu bisakah kita berbuat seenaknya yang menyakitkan hati pemberi perintah mandi dan gosok gigi? Sebagai orang yang tahu diri dan sebagai orang yang tahu berterima kasih maka kita harus bersyukur atas kesehatan badan dan kesehatan mulut dan gigi yang didapat dari adanya perintah orang tua, yang dilanjutkan kita harus dapat mempergunakan itu semua di jalan kebaikan. Selanjutnya jika mandi dan gosok gigi saja kita harus seperti itu, sekarang bagaimana dengan adanya perintah ALLAH SWT kepada diri kita? Hal yang samapun harus pula terjadi jika kita telah diberikan Af’idah atau perasaan oleh ALLAH SWT yaitu kita harus dapat berbuat sesuatu yang sesuai apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, atau kita harus bisa melaksanakan apa yang paling disenangi oleh ALLAH SWT selaku pemberi Af’idah dan jika kita mampu melaksanakan ini semua berarti kita telah bersyukur kepada ALLAH SWT. Akan tetapi jika kita tidak mampu bersyukur atas Af’idah yang telah diberikan oleh ALLAH SWT sehingga kita berbuat dan berkehendak sesuai dengan kehendak Syaitan maka bersiaplah mempertanggung jawabkan itu semua dihadapan ALLAH SWT. Selanjutnya seperti apakah rasa dari mendirikan SHALAT yang Khusyu’ itu sehingga mampu dirasakan oleh Af’idah yang berada di dalam Hati Ruhani? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa rasa atau beberapa perasaan yang dapat kita rasakan jika kita mampu  mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu, yaitu :


A. Menundukkan muka sambil menangis


Salah satu rasa atau salah satu perasaan yang dapat dirasakan oleh manusia yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu adalah yang bersangkutan akan merasakan adanya rasa haru serta timbul tangis sambil menundukkan muka karena kita merasa kecil dihadapan ALLAH SWT atau menangis haru  sambil sujud bersimpuh dihadapan ALLAH SWT. Apa dasarnya? Hal ini berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 107-108-109 yang kami kemukakan di bawah ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering merasakan rasa haru, kita sering menangis sambil menundukkan muka, atau menangis sambil sujud dihadapan  ALLAH SWT, apakah yang kita rasakan tersebut sudah dapat dikatakan kita telah Khusyu’ mendirikan SHALAT? Rasa haru, rasa sedih, menangis yang didapat dari SHALAT yang Khusyu’ bukanlah rasa haru yang sembarangan, bukan pula menangis yang sembarangan. Akan tetapi rasa haru dan menangis yang memiliki makna yang mendalam yang didapat dari Af’idah karena telah merasakan Kemahaan dan Kebesaran  ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.


Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
dan mereka berkata: "Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi".
dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.
(surat Al Israa' (17) ayat 107-108-109)


Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama sujud yang kita lakukan saat mendirikan SHALAT dimana Sujud yang kita lakukan sudah dihadapan ALLAH SWT, kemudian apakah kita sudah paham dengan sujud tersebut, apakah kita telah mengerti apa yang kita katakan kepada ALLAH SWT saat kita sujud? Saat kita sujud, berarti kita telah memberikan sebuah pernyataan sikap kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan kita, yaitu “Maha Suci Engkau Ya ALLAH Tuhan kami” dan jika ALLAH SWT sudah kita nyatakan “Maha Suci” lalu bagaimanakah tingkat kesucian kita saat menghadap ALLAH SWT atau saat sujud dihadapan ALLAH SWT?


    Subhaanakallaahummaa rabbana wa bihamdika allahummaghfirli
Maha suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan memujimu Ya Allah, aku mohon ampunilah aku.
(HR Bukhari, Muslim dari Aisyah)

Hal yang terjadi adalah kita merasa tidak suci dibandingkan dengan ALLAH SWT, kita kotor, kita hina dihadapan ALLAH SWT. Selanjutnya kita memohon dan meminta langsung kepada ALLAH SWT dengan mengatakan “Ya Allah, Aku mohon Ampunilah Aku”. Adanya perbedaan kondisi diri kita yang tidak suci, kotor dan hina dibandingkan dengan ALLAH SWT, adanya permohonan kita kepada ALLAH SWT maka pada saat diri kita sujud dihadapan ALLAH SWT akan timbul sebuah perasaan sedih, haru, jika sampai ALLAH SWT tidak mau mengampuni diri kita, jika sampai ALLAH SWT tidak mau mengabulkan apa yang kita mohonkan kepada-Nya. Adanya perasaan seperti ini setelah diri kita sujud maka Af’idah merasakan hal itu sehingga keluarlah rasa haru, tangis dihadapan ALLAH SWT.


Timbul pertanyaan, setelah diri kita sujud bersimpuh dihadapan ALLAH SWT Yang Maha Suci, lalu apakah akan begitu saja setelah kita SHALAT yang Khusyu’? Untuk membuktikan diri kita telah bertemu dengan Yang Maha Suci,  untuk membuktikan kita telah berhadapan dengan Yang Maha Suci, untuk membuktikan kita telah  berkomunikasi dengan yang Maha Suci, seharusnya SHALAT yang Khusyu’ mampu menjadikan diri kita suci pula seperti ALLAH SWT yang Maha Suci sehingga tingkat kesucian diri kita (maksudnya Ruh/Ruhani diri kita ) tetap terjaga dari waktu ke waktu serta  selalu bertindak dan berbuat yang tidak membuat kesucian diri menjadi kotor kembali.


Sekarang sudahkah seperti itu setelah diri kita mendirikan SHALAT yang Khusyu? Jika tingkat kesucian diri kita tidak berubah menjadi lebih baik setelah diri kita bertemu, berhadapan, berkomunikasi dengan Yang Maha Suci berarti SHALAT yang kita dirikan belum dapat dikatakan dengan Khusyu’. Apa dasarnya? SHALAT adalah sarana untuk mensinergikan apa-apa yang ada pada diri kita (dalam hal ini Ruhani dan Amanah 7 serta Celupan Asmaul Husna) dengan pemilik dan pencipta dari Ruhani dan Amanah 7. Sehingga dengan adanya sinergi ini maka kondisi diri kita dapat tertolong, ditolong oleh ALLAH SWT menjadi lebih baik lagi. Katakan sebelum diri kita SHALAT kondisi ilmu kita lemah maka dengan SHALAT yang Khusyu’ bisa meningkatkan ilmu yang lemah menjadi lebih kuat. Adanya kondisi seperti ini maka seseorang belum dapat dikatakan telah mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ jika orang tersebut belum bisa membuktikan hasil dari pertemuan dengan ALLAH SWT, jika orang tersebut belum bisa membuktikan hasil komunikasi dengan ALLAH SWT, yang pada akhirnya segala perbuatan orang tersebut tidak bisa sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT.   



A.  Tunduk merendahkan diri karena takut kepada ALLAH SWT

    
Berdasarkan surat Al Hasyr (59) ayat 21 yang kami kemukakan di bawah ini ALLAH SWT memberikan perumpaan kepada gunung yang tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada ALLAH SWT karena diturunkannya Al-Qur’an kepadanya. Timbul pertanyaan, atas dasar apakah gunung bersikap seperti itu kepada ALLAH SWT? Ketakutan gunung kepada ALLAH SWT karena gunung tahu, gunung mengerti, gunung paham tentang ALLAH SWT serta gunung telah merasakan kemahaan dan kebesaran ALLAH SWT. Selanjutnya, takutkah diri kita kepada ALLAH SWT?


kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
(surat Al Hasyr (59) ayat 21)



Jika kita mengacu kepada gunung yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Hasyr (59) ayat 21, maka sebagai perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi sudah seharusnya pula kita takut kepada ALLAH SWT melebihi takutnya gunung kepada ALLAH SWT. Apa Dasarnya? Hal ini dikarenakan diri kita adalah KHALIFAH di muka bumi yang sejak awal diciptakan oleh ALLAH SWT adalah Makhluk yang terhormat dibandingkan dengan makhluk ALLAH SWT yang lainnya. Dan jika sekarang kita tidak takut kepada ALLAH SWT dengan berani melanggar perintah mendirikan SHALAT berarti gunung lebih baik dari pada diri kita. Selanjutnya jika ALLAH SWT memerintahkan diri kita untuk berfikir memang sudah seharusnya diri kita berfikir jika tidak mau dikatakan sebagai manusia yang tidak memiliki perasaan atau sudah tidak punya akal lagi karena tidak bisa berfikir dengan jernih.



Sekarang dimana letaknya takut kepada ALLAH SWT jika dilihat dari adanya perintah mendirikan SHALAT yang Khusyu’? Orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dapat dipastikan orang tersebut pasti tahu siapa dirinya dan siapa itu ALLAH SWT serta tahu dan mengerti apa yang diperintahkan ALLAH SWT kepada dirinya dan juga yang bersangkutan telah mengerti,telah paham bahwa di balik perintah ALLAH SWT ada manfaat bagi yang mengerjakannya dan ada resiko yang akan ditanggung jika kita tidak mau mengerjakan SHALAT. Selanjutnya adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ sajalah yang tahu dan yang mengerti bahwa yang sesungguhnya membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ adalah dirinya sendiri dan orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ pasti tahu segala resiko yang akan dipikulnya jika melanggar perintah ALLAH SWT.

dan kamu akan melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam Keadaan tunduk karena (merasa) hina, mereka melihat dengan pandangan yang lesu. dan orang-orang yang beriman berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada hari kiamat[1346]. Ingatlah, Sesungguhnya orang- orang yang zalim itu berada dalam azab yang kekal.
(surat Asy Syuura (42) ayat 45)

[1346] Yang dimaksud dengan kehilangan diri dan keluarga ialah tidak merasakan kenikmatan hidup abadi karena disiksa.


Selanjutnya jika ini adalah kondisi dasar orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ maka perasaan yang ada pada diri orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ adalah ia akan merasa takut kepada ALLAH SWT atau ia mampu merendahkan diri dihadapan ALLAH SWT karena takut akan kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT. Akan tetapi jika hal ini tidak terjadi (maksudnya adalah perasaan takut kepada ALLAH SWT tidak timbul dalam diri orang yang mendirikan SHALAT) dapat dipastikan ada sesuatu yang salah saat orang tersebut melaksanakan perintah mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan, setelah diri kita memiliki rasa takut kepada ALLAH SWT lalu apa yang harus kita perbuat dengan rasa takut tersebut? Rasa takut kepada ALLAH SWT belum bisa dinilai jika rasa takut kepada ALLAH SWT belum dibuktikan. Bagaimana caranya? Setelah diri kita memiliki rasa takut maka kita pun harus bisa merasakan ketakutan kepada ALLAH SWT dengan berbuat, bertindak, bertingkah laku, yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang kita takuti sehingga kita berada di dalam Nilai-Nilai Ilahiah. Akan tetapi jika rasa takut kepada ALLAH SWT hanya sebatas perasaan saja tanpa di-iringi dengan perbuatan yang menunjukkan diri kita takut kepada  ALLAH SWT maka sia-sialah rasa takut kepada  ALLAH SWT tersebut karena tidak bisa kita buktikan. 


Selain daripada itu, orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu maka orang tersebut akan merasa dirinya hina, merasa dirinya kecil, merasa dirinya tidak ada apa-apanya dihadapan ALLAH SWT. Apa buktinya? Untuk itu perhatikanlah dengan seksama apa yang kita katakan kepada ALLAH SWT saat kita mendirikan SHALAT yaitu hampir sebahagiaan besar isinya berupa pernyataan diri kita tentang kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT serta sebagian kecil berisi doa dan permohonan kita kepada ALLAH SWT. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti posisi diri kita saat mendirikan SHALAT yang Khusyu’ adalah hina, kecil, tidak ada apa-apanya dihadapan ALLAH SWT. Hal ini terjadi karena adanya pernyataan diri kita kepada ALLAH SWT dan juga adanya permohonan doa kita kepada ALLAH SWT. Sekarang bisakah suatu pernyataan sikap dan permohonan kepada sesuatu yang lebih tinggi kedudukannya bisa diterima dengan baik jika disampaikan secara datar saja atau disampaikan secara tidak sopan? Agar pernyataan dan permohonan diri kita bisa diterima oleh ALLAH SWT maka kita harus tahu diri dan tahu siapa ALLAH SWT, lalu sampaikan apa yang kita nyatakan dan mohonkan kepada ALLAH SWT sesuai dengan kedudukan ALLAH SWT yang sebenarnya. Jika hal ini bisa kita laksanakan dengan baik maka rasa atau perasaan tahu diri akan tumbuh di dalam diri kita sehingga kita mampu menyatakan bahwa diri kita itu kecil, hina dan tidak ada apa-apanya sedangkan ALLAH SWT adalah segala-galanya.  


C. Hatinya tunduk karena mengingat ALLAH SWT


Perasaan atau rasa yang bisa dirasakan oleh orang yang beriman atau orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ adalah Hati mereka tunduk karena mengingat ALLAH SWT atau kita merasa ingat terus kepada ALLAH SWT dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun juga. Sekarang apa yang kita ingat dari ALLAH SWT setelah diri kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’?


Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan  Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(surat Al Hadiid (57) ayat 16)



Ingat kepada ALLAH SWT bukanlah ingat sembarang ingat. Ingat kepada ALLAH SWT diawali dengan sebut, atau menyebut yang dilanjutkan paham atas apa yang disebut, lalu mengerti yang dilanjutkan dengan berbuat, bertindak, berperilaku sesuai dengan kebesaran dan kemahaan  ALLAH SWT Yang Maha Besar lagi Maha Suci. Apa maksudnya? Jika kita ingat ALLAH SWT adalah pencipta dan pemilik dari alam semesta ini dapat dipastikan bahwa di alam semesta ini yang berlaku adalah undang-undang ALLAH SWT, hukum-hukum ALLAH SWT, ketentuan dan peraturan ALLAH SWT dan jika kita ingat kepada ALLAH SWT maka kita harus mentaati segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang yang telah  ALLAH SWT tetapkan berlaku. Selanjutnya jika ALLAH SWT sudah menetapkan kita harus melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, dan jika kita ingat kepada ALLAH SWT maka kitapun harus melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Jika ALLAH SWT telah menetapkan Syaitan adalah musuh bagi diri kita maka kitapun harus melaksanakannya. Lalu  jika ingat bahwa ALLAH SWT adalah satu maka kitapun harus menunjukkannya dalam perbuatan kita, yaitu tidak akan pernah menduakan ALLAH SWT dengan yang lainnya. Serta jika ALLAH SWT telah menetapkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul terakhir maka jika ingat kepada ALLAH SWT jangan pernah menjadikan diri kita menjadi Nabi ataupun Rasul baru setelah Nabi Muhammad SAW tiada.


Hamba ALLAH SWT, selain 3(tiga) buah rasa, atau perasaan yang telah kami kemukakan di atas yang dapat kita rasakan saat mendirikan SHALAT yang Khusyu’ melalui Af’idah yang ada di dalam Hati Ruhani. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa rasa, atau beberapa perasaan lainnya yang dapat kita rasakan pula jika kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’, dari waktu ke waktu, yaitu :

1.      Orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan  merasakan pandangan (maksudnya penglihatan) yang dimilikinya tunduk ke bawah karena tidak mampu melihat kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT, atau merasakan suatu kondisi dimana kita tunduk ke bawah karena merasa diri kita hina, merasa diri kita kecil, merasa diri kita tidak ada apa-apanya dihadapan ALLAH SWT. Sehingga yang nampak oleh diri kita hanyalah kemahaan dan kebesaran ALLAH SWT semata. 


sambil menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka belalang yang beterbangan
(surat Al Qamar (54) ayat 7)


2. Orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan merasakan nikmatnya saat bersyukur kepada ALLAH SWT sehingga ia tidak mampu lagi menghitung-hitung segala nikmat ALLAH SWT yang telah diberikan kepadanya. Apa maksudnya?


dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(surat An Nahl (16) ayat 18)


Kelebihan rezeki, atau memiliki harta kekayaan yang banyak,  belum tentu dapat menimbulkan rasa di dalam diri sepanjang diri kita tidak mau bersyukur atas apa-apa yang telah kita miliki. Dan hanya orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’lah yang mampu merasakan nikmatnya rasa bersyukur memiliki harta dan kekayaan, atau kelebihan rezeki setelah diri kita mau berbagi kepada sesama secara Ikhlas. Hal ini dikarenakan orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ pasti dia tahu dari mana asalnya kelebihan rezeki, harta dan kekayaan yang dia perolehnya sehingga ia mau berbagi kepada sesame tanpa ragu-ragu yang kesemuanya bukan untuk pamer dihadapan orang.


3.   Orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan merasakan rasa dari penyerahan diri kita secara total  kepada ALLAH SWT saat diri mengadukan segala persoalan yang kita hadapi kepada ALLAH SWT dan berharap ALLAH SWT akan menolong diri kita dari belitan persoalan yang kita hadapi. 


Katakanlah: "Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi, Padahal Dia memberi Makan dan tidak memberi makan?" Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan orang musyrik."
(surat An An'am (6) ayat 14)

dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya.
(surat Ali Imran (3) ayat 199)


Selain daripada itu orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan dapat merasakan rasa bangga dengan ayat-ayat yang telah diturunkan ALLAH SWT sehingga ia tidak akan mau menjual ayat-ayat ALLAH SWT dengan harga yang murah, atau orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan merasakan rasa dari apa yang dikatakannya kepada ALLAH SWT merupakan sesuatu yang harus di dengarkan dan juga harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang ia dengarkan. 


Selanjutnya jika orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ mampu merasakan Kalam ALLAH SWT di setiap ia mendirikan SHALAT berarti orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dapat dipastikan pula ia mampu melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, atau mampu menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Sebagai KHALIFAH yang sangat-sangat membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ dan sebagai KHALIFAH yang juga harus dapat mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan, sudahkah diri kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ di setiap SHALAT yang kita dirikan, apakah itu SHALAT Wajib maupun SHALAT sunnah, sehingga mampu menghantarkan diri kita merasakan rasa yang ada di balik SHALAT yang Khusyu’ atau yang mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi?


Jika sampai dengan hari ini kita tidak pernah bisa merasakan apa yang dinamakan dengan SHALAT yang Khusyu’ berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita karena kita tidak mampu melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Dan yang pasti perintah mendirikan SHALAT yang asalnya dari      ALLAH SWT tidak akan pernah salah. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi diri kita, mulai saat ini melakukan introspeksi diri yang dilanjutkan dengan meng-install ulang seluruh program Ilmu tentang SHALAT yang sudah kita miliki saat ini dengan Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT, dalam hal ini adalah ALLAH SWT serta dirikanlah SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Jika kita tidak mau merubah atau tidak mau mengganti seluruh program Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan pemberi perintah mendirikan SHALAT, berarti kita tidak membutuhkan SHALAT saat hidup di muka bumi, berarti kita berkeinginan untuk pulang kampung ke Neraka Jahannam bersama Syaitan serta bersiap-siaplah menghadapi Ahwa seorang diri serta hadapilah Syaitan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia, secara sendirian pula.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar