3.
SEPERTI APAKAH RASANYA KHUSYU’ itu?
Sekarang diri kita sudah berupaya
dengan segenap daya untuk mendirikan
SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu, lalu seperti apakah rasanya SHALAT
yang Khusyu itu? Apakah
SHALAT yang Khusyu’ itu memiliki rasa ataukah ada sesuatu yang dapat kita
rasakan jika kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu? Jika kita
mengacu kepada hadits yang kami kemukakan di bawah ini, SHALAT yang Khusyu’
dapat dipastikan memiliki rasa atau SHALAT yang Khusyu’ menimbulkan suatu
perasaan yang dapat kita rasakan.
“Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan shalat tetapi
mereka belum merasakan shalat”.
(HR Ahmad)
dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibumu dalam Keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi
kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.
(surat
An Nahl (16) ayat 78)
Sekarang
komponen dalam diri yang manakah yang akan dapat merasakan hasil dari kekhusyu’an SHALAT yang
kita dirikan? Komponen dalam diri yang akan dapat merasakan rasa dari
kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan dari
waktu ke waktu adalah Af’idah yang diletakkan di dalam Hati
Ruhani. Apa buktinya kita memiliki Af’idah?
kemudian Dia menyempurnakan
dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu
pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
(surat
As Sajdah (32) ayat 9)
Berdasarkan surat An Nahl
(16) ayat 78 dan surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas, setiap manusia telah
diberikan oleh ALLAH SWT apa yang dinamakan dengan Af’idah atau Perasaan yang
diletakkan di dalam Hati Ruhani. Adanya Af’idah dalam Hati Ruhani maka kita
akan dapat merasakan rasa dari SHALAT yang kita dirikan atau merasakan rasa
dari nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT. Sekarang apa jadinya jika rasa
dari SHALAT tidak dapat kita rasakan atau SHALAT yang Khusyu’ tidak dapat kita
rasakan? Berdasarkan 2(dua) hadits yang kami kemukakan di bawah ini, jika SHALAT yang Khusyu’ tidak bisa kita
rasakan, atau rasa dari SHALAT yang kita dirikan tidak dapat kita rasakan maka
ada dua hal yang akan kita peroleh dari SHALAT yaitu Jasmani merasa lelah dan
payah serta akhlak tidak berubah (maksudnya shalat tetap shalat, perbuatan keji
dan munkar jalan terus).
Banyak orang yang mendirikan SHALAT, sementara ia
hanya mendapatkan rasa lelah dan payah.
(HR
Abu Dawud)
Kececeran yang pertama akan kamu alami dari agamamu
ialah amanat, dan kececeran yang terakhir ialah shalat. Dan sesungguhnya (akan
terjadi) orang-orang melakukan shalat sedang mereka tidak berakhlak.
(HR
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Sekarang Af’idah atau perasaan
sudah kita miliki, dan sudah pula menempati Hati Ruhani, lalu
bisakah Af’idah ini bekerja sebagaimana mestinya yaitu merasakan sesuatu rasa
jika apa yang kita kerjakan tidak menimbulkan rasa? Sepanjang yang kita kerjakan, katakan mendirikan SHALAT, tidak menimbulkan rasa atau menumbuhkan
perasaan dalam diri, atau perasaan ditolong oleh ALLAH SWT, atau perasaan
doanya didengar oleh ALLAH SWT maka Af’idah tidak akan bisa merasakan rasa dari
hasil SHALAT yang kita dirikan kecuali Jasmani yang merasakan Lelah dan Letih.
Selanjutnya agar diri kita mampu
merasakan rasa yang didapat dari setiap ibadah yang kita lakukan, apakah
SHALAT, apakah Syahadat, apakah Zakat, Apakah Puasa, apakah Haji maka Af’idah
yang ada di dalam diri harus kita gunakan sesuai peruntukan yang sebenarnya,
dalam hal ini adalah bersyukur. Apa maksudnya? Untuk menjawab pertanyaan ini,
kita kembali dahulu kepada perintah mandi dan gosok yang telah diperintahkan
oleh orang tua kepada diri kita. Adanya
perintah mandi dan gosok gigi yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri
kita maka kita dapat merasakan kesehatan tubuh serta kesehatan mulut dan gigi.
Selanjutnya setelah merasakan betapa enaknya kesehatan tubuh, setelah merasakan
kesegaran tubuh serta kesehatan mulut dan gigi itu, lalu bisakah kita berbuat
seenaknya yang menyakitkan hati pemberi perintah mandi dan gosok gigi? Sebagai
orang yang tahu diri dan sebagai orang yang tahu berterima kasih maka kita
harus bersyukur atas kesehatan badan dan kesehatan mulut dan gigi yang didapat
dari adanya perintah orang tua, yang dilanjutkan kita harus dapat mempergunakan
itu semua di jalan kebaikan. Selanjutnya jika mandi dan gosok gigi saja kita
harus seperti itu, sekarang bagaimana dengan adanya perintah ALLAH SWT kepada
diri kita? Hal yang samapun harus pula terjadi jika kita telah diberikan
Af’idah atau perasaan oleh ALLAH SWT yaitu kita harus dapat berbuat sesuatu yang sesuai apa yang dikehendaki
oleh ALLAH SWT, atau kita harus bisa melaksanakan apa yang paling disenangi
oleh ALLAH SWT selaku pemberi Af’idah dan jika kita mampu melaksanakan ini
semua berarti kita telah bersyukur kepada ALLAH SWT. Akan
tetapi jika kita tidak mampu bersyukur atas Af’idah yang telah diberikan oleh
ALLAH SWT sehingga kita berbuat dan berkehendak sesuai dengan kehendak Syaitan
maka bersiaplah mempertanggung jawabkan itu semua dihadapan ALLAH SWT.
Selanjutnya seperti apakah rasa dari mendirikan SHALAT yang Khusyu’ itu
sehingga mampu dirasakan oleh Af’idah yang berada di dalam Hati Ruhani? Berikut
ini akan kami kemukakan beberapa rasa atau beberapa perasaan yang dapat kita
rasakan jika kita mampu mendirikan
SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu, yaitu :
A.
Menundukkan muka sambil menangis
Salah satu rasa atau salah satu
perasaan yang dapat dirasakan oleh manusia yang mampu mendirikan SHALAT yang
Khusyu’ dari waktu ke waktu adalah yang bersangkutan akan merasakan adanya rasa
haru serta timbul tangis sambil menundukkan muka karena kita merasa kecil
dihadapan ALLAH SWT atau menangis haru
sambil sujud bersimpuh dihadapan ALLAH SWT. Apa dasarnya? Hal ini
berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 107-108-109 yang kami kemukakan di bawah
ini. Dalam kehidupan sehari-hari kita juga sering merasakan rasa haru, kita
sering menangis sambil menundukkan muka, atau menangis sambil sujud dihadapan ALLAH SWT, apakah yang kita rasakan tersebut
sudah dapat dikatakan kita telah Khusyu’ mendirikan SHALAT? Rasa haru, rasa sedih, menangis yang didapat
dari SHALAT yang Khusyu’ bukanlah rasa haru yang sembarangan, bukan pula
menangis yang sembarangan. Akan tetapi rasa haru dan menangis yang
memiliki makna yang mendalam yang didapat dari Af’idah karena telah merasakan
Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT melalui
SHALAT yang kita dirikan.
Katakanlah:
"Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).
Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran
dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
dan mereka berkata:
"Maha suci Tuhan Kami, Sesungguhnya janji Tuhan Kami pasti dipenuhi".
dan mereka menyungkur atas
muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu'.
(surat Al Israa' (17) ayat
107-108-109)
Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama sujud
yang kita lakukan saat mendirikan SHALAT dimana Sujud yang kita lakukan sudah dihadapan
ALLAH SWT, kemudian apakah kita sudah paham dengan sujud tersebut, apakah kita
telah mengerti apa yang kita katakan kepada ALLAH SWT saat kita sujud? Saat
kita sujud, berarti kita telah memberikan sebuah pernyataan sikap kepada ALLAH
SWT yang sudah begitu dekat dengan kita, yaitu “Maha
Suci Engkau Ya ALLAH Tuhan kami” dan jika AL LAH SWT sudah kita
nyatakan “Maha Suci” lalu bagaimanakah tingkat kesucian kita saat menghadap
ALLAH SWT atau saat sujud dihadapan ALLAH SWT?
Subhaanakallaahummaa rabbana
wa bihamdika allahummaghfirli
Maha
suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan memujimu Ya Allah, aku mohon
ampunilah aku.
(HR Bukhari, Muslim
dari Aisyah)
Hal
yang terjadi adalah kita merasa tidak suci dibandingkan dengan ALLAH SWT, kita
kotor, kita hina dihadapan ALLAH SWT. Selanjutnya kita memohon dan meminta
langsung kepada ALLAH SWT dengan mengatakan “Ya Allah, Aku mohon
Ampunilah Aku”. Adanya perbedaan kondisi diri kita yang tidak
suci, kotor dan hina dibandingkan dengan ALLAH SWT, adanya permohonan kita
kepada ALLAH SWT maka pada
saat diri kita sujud dihadapan ALLAH SWT akan timbul sebuah perasaan sedih,
haru, jika sampai ALLAH SWT tidak mau mengampuni diri kita, jika sampai ALLAH
SWT tidak mau mengabulkan apa yang kita mohonkan kepada-Nya. Adanya
perasaan seperti ini setelah diri kita sujud maka Af’idah merasakan hal itu
sehingga keluarlah rasa haru, tangis dihadapan ALLAH SWT.
Timbul
pertanyaan, setelah diri kita sujud bersimpuh dihadapan ALLAH SWT Yang Maha
Suci, lalu apakah akan begitu saja setelah kita SHALAT yang Khusyu’? Untuk
membuktikan diri kita telah bertemu dengan Yang Maha Suci, untuk membuktikan kita telah berhadapan
dengan Yang Maha Suci, untuk membuktikan kita telah berkomunikasi dengan yang Maha Suci,
seharusnya SHALAT yang Khusyu’ mampu menjadikan diri kita suci pula seperti
ALLAH SWT yang Maha Suci sehingga tingkat kesucian diri kita (maksudnya
Ruh/Ruhani diri kita ) tetap terjaga dari waktu ke waktu serta selalu bertindak dan berbuat yang tidak
membuat kesucian diri menjadi kotor kembali.
Sekarang
sudahkah seperti itu setelah diri kita mendirikan SHALAT yang Khusyu? Jika
tingkat kesucian diri kita tidak berubah menjadi lebih baik setelah diri kita
bertemu, berhadapan, berkomunikasi dengan Yang Maha Suci berarti SHALAT yang
kita dirikan belum dapat dikatakan dengan Khusyu’. Apa dasarnya? SHALAT adalah
sarana untuk mensinergikan apa-apa yang ada pada diri kita (dalam hal ini
Ruhani dan Amanah 7 serta Celupan Asmaul Husna) dengan pemilik dan pencipta
dari Ruhani dan Amanah 7. Sehingga dengan adanya sinergi ini maka kondisi diri
kita dapat tertolong, ditolong oleh ALLAH SWT menjadi lebih baik lagi. Katakan
sebelum diri kita SHALAT kondisi ilmu kita lemah maka dengan SHALAT yang
Khusyu’ bisa meningkatkan ilmu yang lemah menjadi lebih kuat. Adanya kondisi seperti ini maka seseorang
belum dapat dikatakan telah mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ jika orang
tersebut belum bisa membuktikan hasil dari pertemuan dengan ALLAH SWT, jika
orang tersebut belum bisa membuktikan hasil komunikasi dengan ALLAH SWT, yang pada
akhirnya segala perbuatan orang tersebut tidak bisa sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh ALLAH SWT.
A. Tunduk merendahkan diri karena
takut kepada ALLAH SWT
Berdasarkan surat Al Hasyr (59) ayat 21 yang kami kemukakan di bawah ini ALLAH SWT memberikan perumpaan kepada gunung yang tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada ALLAH SWT karena diturunkannya Al-Qur’an kepadanya. Timbul pertanyaan, atas dasar apakah gunung bersikap seperti itu kepada ALLAH SWT? Ketakutan gunung kepada ALLAH SWT karena gunung tahu, gunung mengerti, gunung paham tentang ALLAH SWT serta gunung telah merasakan kemahaan dan kebesaran ALLAH SWT. Selanjutnya, takutkah diri kita kepada ALLAH SWT?
kalau Sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah
gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan
ketakutannya kepada Allah. dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk
manusia supaya mereka berfikir.
(surat Al Hasyr (59) ayat
21)
Jika
kita mengacu kepada gunung yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Hasyr
(59) ayat 21, maka sebagai
perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi sudah seharusnya pula kita takut
kepada ALLAH SWT melebihi takutnya gunung kepada ALLAH SWT. Apa Dasarnya?
Hal ini dikarenakan diri kita adalah KHALIFAH di muka bumi yang sejak awal
diciptakan oleh ALLAH SWT adalah Makhluk yang terhormat dibandingkan dengan
makhluk ALLAH SWT yang lainnya. Dan jika
sekarang kita tidak takut kepada ALLAH SWT dengan berani melanggar perintah
mendirikan SHALAT berarti gunung lebih baik dari pada diri kita.
Selanjutnya jika ALLAH SWT memerintahkan diri kita untuk berfikir memang sudah
seharusnya diri kita berfikir jika tidak mau dikatakan sebagai manusia yang
tidak memiliki perasaan atau sudah tidak punya akal lagi karena tidak bisa
berfikir dengan jernih.
Sekarang
dimana letaknya takut kepada ALLAH SWT jika dilihat dari adanya perintah
mendirikan SHALAT yang Khusyu’? Orang yang
mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dapat dipastikan orang tersebut pasti tahu
siapa dirinya dan siapa itu ALLAH SWT serta tahu dan mengerti apa yang
diperintahkan ALLAH SWT kepada dirinya dan juga yang bersangkutan telah
mengerti,telah paham bahwa di balik perintah ALLAH SWT ada manfaat bagi yang mengerjakannya
dan ada resiko yang akan ditanggung jika kita tidak mau mengerjakan SHALAT. Selanjutnya
adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa hanya orang-orang yang mampu
mendirikan SHALAT yang Khusyu’ sajalah yang tahu dan yang mengerti bahwa yang
sesungguhnya membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ adalah dirinya sendiri dan orang
yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ pasti tahu segala resiko yang akan
dipikulnya jika melanggar perintah ALLAH SWT.
dan kamu akan
melihat mereka dihadapkan ke neraka dalam Keadaan tunduk karena (merasa) hina,
mereka melihat dengan pandangan yang lesu. dan orang-orang yang beriman
berkata: "Sesungguhnya orang-orang yang merugi ialah orang-orang yang
kehilangan diri mereka sendiri dan (kehilangan) keluarga mereka pada hari kiamat[1346].
Ingatlah, Sesungguhnya orang- orang yang zalim itu berada dalam azab yang
kekal.
(surat
Asy Syuura (42) ayat 45)
[1346] Yang dimaksud dengan kehilangan diri dan
keluarga ialah tidak merasakan kenikmatan hidup abadi karena disiksa.
Selanjutnya jika ini adalah kondisi
dasar orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ maka perasaan yang ada
pada diri orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ adalah ia akan merasa
takut kepada ALLAH SWT atau ia mampu merendahkan diri dihadapan ALLAH SWT
karena takut akan kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT. Akan tetapi jika hal
ini tidak terjadi (maksudnya adalah perasaan takut kepada ALLAH SWT tidak
timbul dalam diri orang yang mendirikan SHALAT) dapat dipastikan ada sesuatu
yang salah saat orang tersebut melaksanakan perintah mendirikan SHALAT. Timbul
pertanyaan, setelah diri kita memiliki rasa takut kepada ALLAH SWT lalu apa
yang harus kita perbuat dengan rasa takut tersebut? Rasa takut kepada ALLAH SWT
belum bisa dinilai jika rasa takut kepada ALLAH SWT belum dibuktikan. Bagaimana
caranya? Setelah diri kita memiliki
rasa takut maka kita pun harus bisa merasakan ketakutan kepada ALLAH SWT dengan
berbuat, bertindak, bertingkah laku, yang sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh ALLAH SWT yang kita takuti sehingga kita berada di dalam Nilai-Nilai
Ilahiah. Akan tetapi jika rasa takut kepada ALLAH SWT hanya sebatas perasaan saja
tanpa di-iringi dengan perbuatan yang menunjukkan diri kita takut kepada ALLAH SWT maka sia-sialah rasa takut kepada ALLAH SWT tersebut karena tidak bisa kita
buktikan.
Selain daripada itu, orang yang
mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu maka orang tersebut
akan merasa dirinya hina, merasa dirinya kecil, merasa dirinya tidak ada
apa-apanya dihadapan ALLAH SWT. Apa buktinya? Untuk itu perhatikanlah
dengan seksama apa yang kita katakan kepada ALLAH SWT saat kita mendirikan
SHALAT yaitu hampir sebahagiaan besar isinya berupa pernyataan diri kita
tentang kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT serta sebagian kecil berisi doa dan
permohonan kita kepada ALLAH SWT. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti
posisi diri kita saat mendirikan SHALAT yang Khusyu’ adalah hina, kecil, tidak
ada apa-apanya dihadapan ALLAH SWT. Hal ini terjadi karena adanya pernyataan
diri kita kepada ALLAH SWT dan juga adanya permohonan doa kita kepada ALLAH
SWT. Sekarang bisakah suatu pernyataan sikap dan permohonan kepada
sesuatu yang lebih tinggi kedudukannya bisa diterima dengan baik jika
disampaikan secara datar saja atau disampaikan secara tidak sopan? Agar pernyataan dan permohonan diri kita bisa
diterima oleh ALLAH SWT maka kita harus tahu diri dan tahu siapa ALLAH SWT,
lalu sampaikan apa yang kita nyatakan dan mohonkan kepada ALLAH SWT sesuai
dengan kedudukan ALLAH SWT yang sebenarnya. Jika hal ini bisa kita
laksanakan dengan baik maka rasa atau perasaan tahu diri akan tumbuh di dalam
diri kita sehingga kita mampu menyatakan bahwa diri kita itu kecil, hina dan
tidak ada apa-apanya sedangkan ALLAH SWT adalah segala-galanya.
C. Hatinya
tunduk karena mengingat ALLAH SWT
Perasaan
atau rasa yang bisa dirasakan oleh orang yang beriman atau orang yang mampu
mendirikan SHALAT yang Khusyu’ adalah Hati mereka tunduk karena mengingat ALLAH
SWT atau kita merasa ingat terus kepada ALLAH SWT dimanapun, kapanpun dan dalam
kondisi apapun juga. Sekarang apa yang kita ingat dari ALLAH SWT setelah diri
kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’?
Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka
mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan
janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa
yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. dan kebanyakan di
antara mereka adalah orang-orang yang fasik.
(surat
Al Hadiid (57) ayat 16)
Ingat
kepada ALLAH SWT bukanlah ingat sembarang ingat. Ingat kepada ALLAH SWT diawali
dengan sebut, atau menyebut yang dilanjutkan paham atas apa yang disebut, lalu
mengerti yang dilanjutkan dengan berbuat, bertindak, berperilaku sesuai dengan
kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT Yang
Maha Besar lagi Maha Suci. Apa maksudnya? Jika kita ingat ALLAH SWT adalah
pencipta dan pemilik dari alam semesta ini dapat dipastikan bahwa di alam
semesta ini yang berlaku adalah undang-undang ALLAH SWT, hukum-hukum ALLAH SWT,
ketentuan dan peraturan ALLAH SWT dan jika kita ingat kepada ALLAH SWT maka
kita harus mentaati segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang yang
telah ALLAH SWT tetapkan berlaku.
Selanjutnya jika ALLAH SWT sudah menetapkan kita harus melaksanakan Diinul
Islam secara Kaffah, dan jika kita ingat kepada ALLAH SWT maka kitapun harus
melaksanakannya dengan sebaik mungkin. Jika ALLAH SWT telah menetapkan Syaitan
adalah musuh bagi diri kita maka kitapun harus melaksanakannya. Lalu jika ingat
bahwa ALLAH SWT adalah satu maka kitapun harus menunjukkannya dalam perbuatan
kita, yaitu tidak akan pernah menduakan ALLAH SWT dengan yang lainnya. Serta jika
ALLAH SWT telah menetapkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul
terakhir maka jika ingat kepada ALLAH SWT jangan pernah menjadikan diri kita
menjadi Nabi ataupun Rasul baru setelah Nabi Muhammad SAW tiada.
Hamba ALLAH SWT, selain 3(tiga)
buah rasa, atau perasaan yang telah kami kemukakan di atas yang dapat kita
rasakan saat mendirikan SHALAT yang Khusyu’ melalui Af’idah yang ada di dalam
Hati Ruhani. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa rasa, atau beberapa
perasaan lainnya yang dapat kita rasakan pula jika kita mampu mendirikan SHALAT
yang Khusyu’, dari waktu ke waktu, yaitu :
1. Orang yang
mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan
merasakan pandangan (maksudnya penglihatan) yang dimilikinya tunduk ke
bawah karena tidak mampu melihat kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT, atau
merasakan suatu kondisi dimana kita tunduk ke bawah karena merasa diri kita
hina, merasa diri kita kecil, merasa diri kita tidak ada apa-apanya dihadapan
ALLAH SWT. Sehingga yang nampak oleh diri kita hanyalah kemahaan dan kebesaran
ALLAH SWT semata.
sambil
menundukkan pandangan-pandangan mereka keluar dari kuburan seakan-akan mereka
belalang yang beterbangan
(surat
Al Qamar (54) ayat 7)
2. Orang yang mampu mendirikan
SHALAT yang Khusyu’ akan merasakan nikmatnya saat bersyukur kepada ALLAH SWT
sehingga ia tidak mampu lagi menghitung-hitung segala nikmat ALLAH SWT yang
telah diberikan kepadanya. Apa maksudnya?
dan jika kamu
menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(surat
An Nahl (16) ayat 18)
Kelebihan rezeki, atau memiliki harta kekayaan yang
banyak, belum tentu dapat menimbulkan
rasa di dalam diri sepanjang diri kita tidak mau bersyukur atas apa-apa yang
telah kita miliki. Dan hanya orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’lah
yang mampu merasakan nikmatnya rasa bersyukur memiliki harta dan kekayaan, atau
kelebihan rezeki setelah diri kita mau berbagi kepada sesama secara Ikhlas. Hal
ini dikarenakan orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ pasti dia tahu
dari mana asalnya kelebihan rezeki, harta dan kekayaan yang dia perolehnya
sehingga ia mau berbagi kepada sesame tanpa ragu-ragu yang kesemuanya bukan untuk
pamer dihadapan orang.
3. Orang yang mampu mendirikan SHALAT yang
Khusyu’ akan merasakan rasa dari penyerahan diri kita secara total kepada ALLAH SWT saat diri mengadukan segala
persoalan yang kita hadapi kepada ALLAH SWT dan berharap ALLAH SWT akan
menolong diri kita dari belitan persoalan yang kita hadapi.
Katakanlah:
"Apakah akan aku jadikan pelindung selain dari Allah yang menjadikan
langit dan bumi, Padahal Dia memberi Makan dan tidak memberi makan?"
Katakanlah: "Sesungguhnya aku diperintah supaya aku menjadi orang yang pertama
kali menyerah diri (kepada Allah), dan jangan sekali-kali kamu masuk golongan
orang musyrik."
(surat An An'am (6) ayat 14)
dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada
Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada
mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan
ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. mereka memperoleh pahala di sisi
Tuhannya. Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya.
(surat Ali Imran (3)
ayat 199)
Selain
daripada itu orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan dapat
merasakan rasa bangga dengan ayat-ayat yang telah diturunkan ALLAH SWT sehingga
ia tidak akan mau menjual ayat-ayat ALLAH SWT dengan harga yang murah, atau
orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ akan merasakan rasa dari apa
yang dikatakannya kepada ALLAH SWT merupakan sesuatu yang harus di dengarkan
dan juga harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang ia dengarkan.
Selanjutnya
jika orang yang mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ mampu merasakan Kalam
ALLAH SWT di setiap ia mendirikan SHALAT berarti orang yang mampu mendirikan
SHALAT yang Khusyu’ dapat dipastikan pula ia mampu melaksanakan apa-apa yang
telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, atau mampu menjadikan Al-Qur’an sebagai
pedoman hidup saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Sebagai KHALIFAH yang
sangat-sangat membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ dan sebagai KHALIFAH yang juga
harus dapat mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan, sudahkah diri kita mampu
mendirikan SHALAT yang Khusyu’ di setiap SHALAT yang kita dirikan, apakah itu
SHALAT Wajib maupun SHALAT sunnah, sehingga mampu menghantarkan diri kita
merasakan rasa yang ada di balik SHALAT yang Khusyu’ atau yang mampu menghantarkan
diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT saat menjadi
KHALIFAH di muka bumi?
Jika
sampai dengan hari ini kita tidak pernah bisa merasakan apa yang dinamakan
dengan SHALAT yang Khusyu’ berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita
karena kita tidak mampu melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai
dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Dan yang pasti perintah mendirikan SHALAT yang asalnya dari ALLAH SWT tidak akan pernah salah. Untuk
itu tidak ada jalan lain bagi diri kita, mulai saat ini melakukan introspeksi
diri yang dilanjutkan dengan meng-install ulang seluruh program Ilmu tentang
SHALAT yang sudah kita miliki saat ini dengan Ilmu tentang SHALAT yang sesuai
dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT, dalam hal ini adalah
ALLAH SWT serta dirikanlah SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad
SAW. Jika kita tidak mau merubah atau tidak mau mengganti seluruh program
Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan pemberi perintah mendirikan SHALAT,
berarti kita tidak membutuhkan SHALAT saat hidup di muka bumi, berarti kita
berkeinginan untuk pulang kampung ke Neraka Jahannam bersama Syaitan serta
bersiap-siaplah menghadapi Ahwa seorang diri serta hadapilah Syaitan yang
jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia, secara sendirian pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar