Perintah
melaksanakan ibadah puasa, dalam hal ini puasa wajib di bulan Ramadhan, tidak
terlepas dari apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam firman-Nya yang
terdapat di surat Al Baqarah (2) ayat 183 seperti yang kami kemukakan bawah
ini. Perintah melaksanakan ibadah Puasa yang diperintahkan oleh pemilik dan
pencipta langit dan bumi merupakan aturan, hukum, ketentuan, undang-undang,
peraturan yang berlaku di langit dan di muka bumi ini. Jika kita merasa tidak
pernah sekalipun menciptakan dan memiliki langit dan bumi ini atau jika kita
merasa orang yang sedang menumpan di langit dan di muka bumi ini maka sudah seharusnya kita melaksanakan aturan,
hukum , ketentuan, undang-undang, peraturan yang telah diperintahkan oleh
pemilik dan pencipta langit dan bumi ini tanpa terkecuali dan tanpa bantahan
apapun.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
(surat Al Baqarah (2) ayat 183)
Sebuah
perintah yang diperintahkan oleh pemberi perintah kepada yang diperintah dapat
dipastikan bahwa yang memerintah mempunyai maksud dan tujuan yang hakiki dari
perintah yang diperintahkannya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita
bahwa pemberi perintah tidak memiliki
kepentingan apapun atas maksud dan tujuan yang hakiki dari apa yang
diperintahkannya. Pemberi Perintah memerintahkan sesuatu dikarenakan pemberi
perintah sangat mengasihi dan menyayangi kepada yang diperintah. Jika ini
kondisi dasar dari perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan berarti
perintah yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukan untuk kepentingan ALLAH SWT selaku pemberi
perintah melainkan untuk yang
diperintah, dalam hal ini orang beriman yang di dalamnya adalah diri kita,
keluarga, anak dan keturuna kita.
Untuk
mempertegas uraian di atas, katakan kita memerintahkan kepada anak untuk mandi.
Lalu apakah mandi yang menjadi tujuan dari perintah kita kepada anak ataukah
sehat dan segar yang akan dinikmati oleh anak. Perintah mandi yang kita
perintahkan kepada anak dikarenakan kita sayang kepada anak sehingga kita tidak
memiliki kepentingan apapun kepada perintah mandi tersebut selain anak
merasakan sehat dan segar melalui mandi yang di laksanakannya. Hal yang samapun
berlaku kepada perintah melaksanakan puasa yang diperintahkan ALLAH SWT. Adanya perintah mendirikan puasa yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita berarti puasa yang diperintahkan melalui wahyu oleh ALLAH SWT bukanlah tujuan akhir dari perintah
yang diperintahkan oleh ALLAH SWT tersebut. Perintah mendirikan puasa adalah
sarana atau alat bantu bagi yang mendirikan puasa, dalam hal ini diri kita dan
setiap orang yang beriman, untuk memperoleh manfaat dan hikmah yang hakiki yang
terdapat dibalik perintah mendirikan
puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT.
Untuk
itu mari kita lihat apa yang terjadi dalam kehidupan kita dimana kita tidak
bisa terhindar dari apa yang dinamakan dengan aktifitas jasmani dan juga
pengaruh lingkungan yang mengakibatkan diri kita berkeringat, bau badan, adanya
daki yang mengakibatkan tubuh kita lesu dan kotor. Hanya melalui aktivitas
mandi yang baik dan benarlah maka tubuh kita menjadi segar dan sehat. Hal yang
samapun terjadi pada saat diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka
bumi, dimana kita tidak akan mungkin terhindar dari ahwa dan juga syaitan yang
mengakibatkan diri kita tidak fitrah lagi, tidak bisa menjadi menjadi khalifah
yang dikehendaki ALLAH SWT., tidak bisa
di jalan lurus yang dikehendaki ALLAH SWT atau menjadikan jiwa kita menjadi
jiwa fujur. Salah satu cara ALLAH SWT
untuk mengembalikan diri kita sesuai dengan kehendak-Nya maka ALLAH SWT
memerintahkan kepada diri kita untuk melakasanakan puasa di bulan Ramadhan.
Hal
yang harus kita ketahui dan pahami dari apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT
dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 adalah :
1.
Perintah
melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, selain perintah ALLAH SWT yang
telah diperintahkan, ia juga bagian dari Rukun Islam yang tidak bisa dipisahkan
dengan pelaksaaan Diinul Islam secara kaffah. Adanya kondisi ini menunjukkan
kepada diri kita bahwa melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah
melaksanakan perintah yang bersifat Rukun sehingga harus dilaksanakan sesuai
dengan kehendak pemberi perintah juga tidak bisa dipisahkan dengan Rukun Iman
dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan di dalam melaksanaan
Diinul Islam secara Kaffah.
2.
Orang
Yang Beriman adalah orang yang diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk
melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi yang melaksanakan
ibadah puasa di bulan Ramadhan belum tentu semuanya adalah orang yang beriman,
ada pula orang yang beragama Islam yang melaksanakan ibadah puasa di bulan
Ramadhan. Adanya kondisi ini maka tidak salah ALLAH SWT menyatakan dengan
kata-kata “Agar Kamu Bertaqwa atau Semoga Kamu Menjadi Orang Yang Bertaqwa”.
Alangkah tidak adilnya ALLAH SWT langsung menjadikan seluruh orang yang
berpuasa menjadi orang yang bertaqwa padahal kondisi orang yang melaksanakan
puasa berbeda-beda kualitasnya.
3. Sebuah
perintah yang telah diperintahkan oleh pencipta dan pemilik langit dan bumi
tidak lain adalah aturan, hukum,
ketentuan, undang-undang yang yang wajib berlaku di langit dan di muka bumi
ini. Sebagai orang yang sedang menumpang atau menjadi tamu di langit dan di
muka bumi ini maka kita wajib mempelajari, mengetahui, memahami lalu
melaksanakan aturan main tersebut sesuai dengan kehendak pemberi perintah,
dalam hal ini ALLAH SWT. Dan yang pasti ALLAH SWT selakui pemberi perintah
lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan yang diperintah untuk mendirikan
perintah.
4.
Hal yang harus kita pahami adalah penerima perintah
belum tentu mampu memahami makna yang hakiki
dari perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT atau bahkan tidak
mampu memaknai hakekat yang sesungguhnya yang terdapat di balik perintah puasa
di bulan Ramadhan. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa pemaknaan yang ada di tengah masyarakat terhadapa
perintah ALLAH SWT, yaitu:
a. Manusia atau diri kita
bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebatas melaksanakan rukun
islam semata. Jika ini yang kita lakukan maka sebatas itulah kita memperoleh
makna dan hakekat dari perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
b. Manusia atau diri kita
bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebagai sebuah penggugur
kewajiban semata, sehingga apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT kita
laksanakan tanpa melihat makna yang tersembunyi yang ada di balik perintah melaksnakan
puasa di bulan Ramadhan. Jika ini konsep ini yang kita lakukan maka ibadah
puasa yang kita lakukan akan dilaksanakan secara terpaksa atau unsur
keterpaksaan menjadi lebih dominan yang pada akhirnya hanya haus, letih, dan
lelah yang diperoleh dari puasa yang kita laksanakan.
c. Manusia atau diri kita
bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT untuk mencari nilai atau
pahala dari ibadah puasa yang kita laksanakan,
sehingga nilai atau pahala lah yang menjadi tujuan kita melaksanakan perintah
ALLAH SWT. Jika konsep ini yang lakukan saat melaksanakan ibadah puasa berarti
kita melaksanakan perintah ALLAH SWT sebatas untuk mendapatkan iming-iming
atau hadiah berupa pahala yang pada
akhirnya kita tidak akan menikmati hadirnya ALLAH SWT di dalam ibadah puasa
yang kita laksanakan.
d. Manusia atau diri kita
bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sekedar menyenangkan
pemberi perintah semata sehingga kita tidak pernah merasakan hakekat yang terdapat
di balik perintah melaksanakan ibadah puasa..
e. Manusia atau diri kita
bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebagai sebuah kebutuhan
yang hakiki bagi diri kita. Jika konsep ini mampu kita laksanakan berarti kita mampu
melihat apa-apa yang terdapat dibalik perintah melaksanakan ibadah puasa di
bulan Ramdhan, atau kita mampu melihat ada sesuatu yang luar bisa yang siap
kita rasakan atau akan kita dapatkan
dari ibadah puasa yang kita laksanakan. Jika ini kondisinya maka dapat
dipastikan orang yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan sebagai
sebuah kebutuhan maka ia akan melaksanakan ibadah puasa secara suka rela tanpa
keterpaksaan bahkan merasa bahagia saat melaksanakannya.
ALLAH SWT selaku pemberi perintah melaksanakan
ibadah puasa di bulan Ramadhant, mempersilahkan diri kita untuk memilih makna
dari perintah-Nya. Ingat, pilihan dari memaknai perintah akan memberikan dampak
yang berbeda beda pula. Awas jangan sampai salah memaknai perintah ALLAH SWT. Dilain sisi ada satu hal yang
harus kita ketahui sebelum diri kita melaksanakan ibadah puasa di bulan
Ramadhan, apakah itu? Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 110 dan Hadits yang
kami kemukakan di bawah ini, ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah satu-satunya
ibadah yang diperuntukkan untuk ALLAH SWT semata dan ALLAH SWT sendirilah yang
akan membalas-Nya tanpa melalui perantaraan siapapun juga. Selain daripada itu,
melalui hadist di bawah ini menunjukkan ALLAH SWT memiliki hak yang harus diambil dari diri kita
terutama ibadah Puasa , atau ALLAH SWT menuntut kepada diri kita atas hak ALLAH
SWT yang ada pada diri kita melalui ibadah Puasa.
dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan
kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 110)
Abu Hurairah, ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Semua amal ibadah anak Adam
menyangkut dirinya pribadi kecuali ibadah puasa. Sesungguhnya puasa itu
untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Pada waktu berpuasa, janganlah
seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, membuat keributan dan
bertengkar. Jika seseorang mencaci atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia
berkata: “Aku sedang berpuasa”. Demi tuhan yang nyawa Muhammad berada di
tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di
sisi Allah dari bau kesturi. Dan bagi orang yang berpuasa tersedia dua
kegembiraan, gembira ketika berbuka puasa dan gembira kelak menemui Tuhannya.
(Diriwayatkan oleh
Bukhari Muslim, An Nasa’I dan Ibnu Hibban; 272:122)
Jika
ini kondisi dasar dari ibadah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT, berarti
ibadah puasa yang kita laksanakan sangat berarti bagi diri kita karena ALLAH
SWT yang langsung membalas kebaikan-kebaikan yang terdapat dibalik perintah
melaksanakan puasa serta adanya keterkaitan diri kita dengan ALLAH SWT yang
tidak bisa terpisahkan.
Sebelum
kami membahas lebih lanjut tentang ibadah puasa, perkenankan kami mengemukakan
ilustrasi sebagai berikut : Saat kita masih kecil, kita diperintahkan oleh
orang tua untuk mandi, sekarang mandikah yang diharapkan orang tua ataukah
sehat dan segar yang diharapkan oleh orang tua? Sebagai orang tua yang
memerintahkan anak untuk mandi, maka orang tua berharap anak dapat memperoleh
sehat dan segar melalui mandi. Sekarang bagaimana jadinya jika anak yang telah
kita perintahkan mandi tetapi setelah mandi masih juga menggaruk-garuk
kegatalan? Jika ini yang terjadi pada anak kita berarti akan ada tiga kemungkin
yang terjadi, pertama karena anak tidak bisa melaksanakan perintah yang sesuai
dengan kehendak orang tua; yang kedua, karena anak tidak percaya dengan
perintah mandi yang telah diperintahkan kepadanya; dan yang ketiga karena anak
memang tidak mau melaksanakan mandi dengan baik dan benar.
Perintah mandi
sampai dengan kapanpun tidak akan pernah salah
atau perintah mandinya tidak salah. Akan tetapi yang diperintahkan untuk
mandilah yang memiliki masalah. Sekarang
bagaimana dengan perintah melaksanakan Puasa, baik yang wajib ataupun sunnah,
yang berasal dari pemilik dan pencipta langit dan bumi kepada diri kita dan
juga kepada orang yang beriman? Hal yang samapun berlaku kepada perintah
melaksanakan puasa, dimana ALLAH SWT selaku
pemberi perintah juga berkehendak agar yang diperintahkan untuk berpuasa dapat memperoleh
dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang ada dibalik perintah
puasa.Dan jika setelah berpuasa atau
setelah hari raya idhul fitri, kita tidak bisa memperoleh dan merasakan
langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa berarti
ada tiga kemungkinan yang terjadi pada diri kita,yaitu: yang pertama, karena
kita tidak mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi
perintah puasa; yang kedua, karena kita tidak mempercayai perintah puasa; dan
yang ketiga, karena kita memang tidak mau berpuasa. Adanya kondisi ini
dapat dipastikan perintah puasa yang diperintah oleh ALLAH SWT tidak pernah
salah (perintah puasanya tidak akan pernah salah), akan tetapi yang
diperintahkan puasalah yang memiliki masalah.
Dalam
kehidupan sehari-hari, ada ketentuan suatu manfaat dan hikmah yang hakiki tidak
datang dengan tiba-tiba, atau tidak turun dari langit begitu saja kepada diri
kita. Hal ini dikarenakan manfaat dan hikmah merupakan hasil dari suatu proses,
atau disebut juga dengan output yang dihasilkan dari suatu input yang diproses
secara konsisten dari waktu ke waktu. Untuk
itu jika kita ingin memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah dari
puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, maka kita harus terlebih dahulu memiliki
ilmu tentang puasa, kita harus pula mengerti tentang syarat yang dikehendaki
oleh pemberi perintah puasa, kita juga harus mengerti tentang bagaimana puasa
harus dilaksanakan (kita harus memiliki ilmu tentang syariat puasa) dan juga
kita harus paham betul apa maksud dan tujuan, apa makna yang hakiki yang ada di
balik perintah puasa.Jika kita mampu melakukan hal-hal di atas, insya
Allah, modal dasar untuk mendapatkan dan merasakan manfaat dan hikmah dari
puasa telah kita miliki.
Sekarang
untuk siapakah makna hakiki dari puasa itu?Sepanjang
puasa mampu kita lakukan sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa, maka
makna dan tujuan yang hakiki dari puasa bukanlah untuk yang memerintahkan puasa
karena yang memerintahkan puasa sudah Maha dan akan Maha selamanya. Akan
tetapi seluruh makna dan tujuan yang hakiki yang terkandung di balik perintah
puasa adalah untuk yang melaksanakan puasa dan yang tidak mungkin pernah
terjadi adalah yang tidak melaksanakan puasa akan memperoleh makna yang hakiki
dari perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki Ilmu
tentang puasa?Jika sampai diri kita tidak miliki Ilmu tentang puasa,
bagaiamana mungkin kita bisa melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak
pemberi perintah puasa.
Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 183 yang kami kemukakan di atas, syarat yang
dikehendaki ALLAH SWT untuk melaksanakan perintah puasa adalah Orang Yang
Beriman. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah pengertian Iman yang
termaktub di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183, bukanlah pengertian Iman
secara partial, atau Iman yang berdiri sendiri-sendiri.Akan tetapi pengertian Iman yang dikehendaki oleh ALLAH SWT adalah orang yang mampu melaksanakan
Diinul Islam secara Kaffah. Apa maksudnya? Hal ini dikarenakan Iman atau
beriman kepada ALLAH SWT merupakan bagian dari Diinul Islam, dimana Diinul
Islam harus dilaksanakan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan (inilah
yang disebut dengan pengertian Rukun). Adanya kondisi ini jika kita ingin melaksanakan
puasa, baik wajib ataupun sunnah, yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah
puasa maka kitaharus melaksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan secara
satu kesatuan yang tidak terpisahkan.. Hal yang kedua setelah kita paham
tentang syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, maka kita juga
harus tahu tentang Syariat Puasa, atau tentang tata cara berpuasa yang sesuai
dengan Sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang ketiga,
kita harus tahu dan mengerti untuk apa kita berpuasa, apa tujuan akhir dari
puasa, apa yang hendak kita capai setelah puasa, apa makna hakiki yang akan
kita raih dari puasa yang kita lakukan, Jika
sampai tujuan dari puasa tidak pernah kita ketahui, berarti kita tidak pernah tahu pencapaian apa yang
akan kita peroleh, kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan dari
puasa yang kita lakukan.
Selanjutnya
jika perintah mandi saja memiliki tujuan yang hakiki berupa sehat dan segar, sekarang
apakah tujuan dari puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT? Tujuan puasa yang hakiki bukanlah untuk menahan
makan dan minum (atau menahan lapar dan haus) serta menahan Syahwat semata dari
subuh sampai magrib. Tujuan puasa yang hakiki bukan pula untuk turut merasakan
penderitaan orang yang miskin. Tujuan puasa yang hakiki puasa yang pertama adalah
untuk menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT sehingga
mampu bermanfaat bagi sesama. Hal ini
dikarenakan orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT dijamin segala sesuatunya oleh
ALLAH SWT dan juga karena ALLAH SWT tidak menilai seseorang dari besar kecil
hartanya. ALLAH SWT juga tidak menilai dari penampilan phisik seseorang. ALLAH SWT menilai seseorang dari ketaqwaannya.Tujuan
kedua dari puasa adalah menjadikan diri kita kembali kepada fitrah,dan yang
ketiga, menjadikan diri kita menjadi Aulia atau kekasih ALLAH SWT atau menjadi
hamba yang dicintai oleh ALLAH SWT.
Hal
yang harus kita pahami adalah Fitrah yang dikehendaki oleh ALLAH SWT bukanlah
Fitrah yang pengertiannya adalah suci seperti dilahirkan kembali. Akan tetapi
sudahkah diri kita kembali sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia,
seperti jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruh, sehingga segala
perbuatan diri kita selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) yang
sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna
ALLAH SWT; diri kita adalah
pemenang, syaitan adalah pecundang di dalam permainan kekhalifahan di muka
bumisehingga diri kita adalah calon penghuni Syurga, pengakuan Ruh yang
bertuhankan kepada ALLAH SWT masih tetap utuh tidak terpengaruh oleh sebab
apapun juga.Sekarang butuhkah diri kita
dengan Taqwa, dengan Fitrah dan dicintai ALLAH SWT? Jika kita merasa butuh
dengan Taqwa, dengan Fitrah dan dicintai oleh ALLAH SWT, berarti kita sangat
membutuhkan puasa dan berarti pula perintah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH
SWT bukanlah perintah yang bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat
asal-asal dan juga perintah yang bersifat memberatkan diri kita, akan tetapi
perintah melaksanakan puasa adalah untuk kepentingan diri kita sendiridan tidak
ada hubungannya dengan orang lain baik yang berpuasa ataupun tidak.
Dilain
sisi, setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruhani.Dimana Jasmani
asalnya dari alam, sehingga sifat-sifat alamiah Jasmani (disebut juga Insan) yang
mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (disebut juga dengan Ahwa). Sedangkan Ruhani
asalnya dari ALLAH SWT, sehingga Ruhani akan membawa sifat-sifat Ilahiah
(disebut juga dengan Nass) yang mencerminkan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna
ALLAH SWT (disebut juga dengan Nafs/Anfuss). Jika saat ini kita masih hidup,
berarti pada saat ini terjadi apa yang dinamakan dengan proses tarik menarik
antara kepentingan Jasmani yang membawa Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) dengan
kepentingan Ruhani yang membawa Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss). Jika Jasmani mampu mengalahkan Ruhani, maka
kondisi kejiwaan kita dimasukkan ke dalam Jiwa Fujur, sehingga perbuatan diri
kita sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah. Dan sebaliknya jika
Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka kondisi kejiwaan kita dimasukkan ke dalam
Jiwa Taqwa sehingga perbuatan diri kita sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Selain
daripada itu, pada saat diri kita hidup maka pada saat itu pula Syaitan akan
melakukan aksinya kepada diri kita melalui Jasmani dan juga melalui sifat-sifat
alamiah Jasmani (Insan) yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa)
sepanjang tahun tanpa pernah berhenti.
Sekarang
mari kita lihat dan pelajari kehidupan yang kita jalani satu tahun ini, yang
mana kita tidak bisa menghindar dari Ahwa dan Syaitan. Adanya dua musuh utama
manusia, dalam hal ini ahwa dan syaitan, membuat diri kita tidak bisa selalu di
dalam kehendak ALLAH SWT atau selalu di dalam jalan yang lurus atau kita tidak
bisa selalu berada di dalam jiwa muthmainnah. Kadang kita kalah karena gangguan
ahwa dan juga syaitan atau kadang kita masih berbuat dosa yang mengakibatkan
kefitrahan diri kita menjadi kotor atau ternoda oleh sebab perbuatan kita
sendiri. Dilain sisi, kita juga sudah berusaha untuk mendirikan shalat 5 waktu
sehari semalam, kita juga sudah berbuat amal shaleh. Selanjutnya pernahkah kita
menghitung berapa banyak kesalahan yang kita perbuat yang mengakibatkan ALLAH
SWT marah, ALLAH SWT tidak suka kepada diri kita yang mengakibatkan noda hitam
di dalam hati ruhani. Dampak dari perbuatan yang kita lakukan yang tidak sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT tentunya akan mengakibatkan Ruh/Ruhani diri kita
tidak bisa menjangkau ALLAH SWT atau mengakibatkan Ruh/Ruhani tidak mampu
mengendalikan atau mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan. Walaupun kita sudah
berusaha sekuat tenanga untuk melaksanakan Shalat wajib dan Sunnah, bersedekah,
selalu berdzikir dari waktu ke waktu agar kita selalu berada di dalam kehendak
ALLAH SWT.
Adanya kondisi yang
kami kemukakan di atas berarti kita tidak mampu lagi menjadikan diri kita
sesungguhnya adalah Ruh, karena Ruh sudah menjadi tidak fitrah lagi karena
perbuatan dosa yang kita lakukan, Ruh menjadi tidak suci lagi karena selalu
dipengaruhi Jasmani atau selalu kalah melawan Jasmani yang didukung oleh
Syaitan, sifat-sifat alamiah Ruhani yang seharusnya menjadi perilaku diri kita,
justru tenggelam dikalahkan oleh sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) sehingga
perilaku dan perbuatan diri kita sangat sesuai dengan kehendak Syaitan sang
laknatullah padahal perbuatan kita yang asli bukan seperti itu, hidup yang kita
laksanakan bukannya menjadikan diri kita menjadi calon penghuni Syurga, akan tetapi
justru menjadikan diri kita sebagai calon penghuni neraka. Dilain sisi walaupun
Syaitan di ikat selama bulan Ramadhan, akan tetapi pengaruh buruk yang
mengakibatkan Ruhani diri kita menjadi kotor (menjadi tidak fitrah lagi,padahal
aslinya fitrah), yang telah dilakukan Syaitan selama sebelas bulan melalui
sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) yang sesuai dengan koridor Nilai-Nilai
Keburukan (Ahwa) tidak akan hilang begitu saja walaupun Syaitan telah diikat oleh
ALLAH SWT.
Timbul
pertanyaan, bagaimana caranya kita mengembalikan diri kita agar selalu di dalam
Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sedangkan kondisi
kita sudah berada di dalam koridor Nilai
ba-Nilai Keburukan yang sesuai dengan kehendak Syaitan, bagaimana caranya
memenuhi hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita, serta bagaimana caranya kita
mengembalikan kefitrahan Ruhani yang telah dikotori oleh perbuatan Ahwa dan
Syaitan? Adanya kondisi yang tidak
menguntungkan bagi diri kita, disinilah ALLAH SWT menunjukkan kasih sayangnya
dengan memerintahkan diri kita berpuasa di
bulan Ramadhan dalam rangka mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya
adalah Ruh, menjadikan diri kita memiliki Jiwa Muthmainnah, atau dalam rangka
menjadikan diri kita sesuai dengan konsep awal penciptaannya, atau dalam rangka
menjadikan diri kita pemenang sedangkan Syaitan sebagai pecundang serta untuk
mendapatkan manfaat yang hakiki dari puasa yang terdiri dari Taqwa, Fitrah dan
dicintai ALLAH SWT. Dan jika ini kondisi yang dikehendaki oleh ALLAH SWT,
sekarang tergantung diri kita maukah kita berpuasa yang sesuai dengan kehendak
ALLAH SWT?
Ingat-Ingat-Ingat
Setiap manusia
pasti terdiri dari Jasmani dan Ruh/Ruhani, dimana Ruh/Ruhani adalah jati diri
manusia yang sesungguhnya. Ruh/Ruhani sebagai jati diri manusia adalah bagian
Nur
ALLAH SWT sehingga
Ruh/Ruhani tidak boleh dipisahkan dengan ALLAH SWT dari waktu ke waktu
Selanjutnya
seperti apakah puasa yang dikehendaki ALLAH SWT dan yang juga telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW? Hal yang harus kita lakukan selama diri kita berpuasa,
apakah itu puasa Sunnah ataupun Wajib, yang
harus berpuasa mulai dari subuh sampai magrib hanyalah Jasmani semata, dengan
tidak boleh makan dan minum dan juga boleh melalukan hubungan badan selama
puasa kita lakukan. Dengan dipuasakannya
Jasmani selama waktu tertentu berarti kita melemahkan Jasmani termasuk di
dalamnya melemahkan atau menghilangkan
sifat-sifat atau perbuatan dari Jasmani yang mencerminkan nilai- nilai
keburukan (ahwa). Di lain sisi dengan dihilangkannya ahwa dalam diri maka pada
saat bersamaan diganti dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari
Ruh/Ruhani.
Lalu bagaimana
dengan Ruh/Ruhani saat Jasmani dipuasakan? Ruh/Ruhani selama kita berpuasa
tidak boleh sedetikpun dipuasakan (Ruh/Ruhani jangan pernah berpuasa selama
Jasmani dipuasakan).Ruh/Ruhani harus selalu diberi makan dengan makanan yang
bergizi sebanyak-banyaknya selama Jasmani berpuasa melalui Tadarus, melalui
Dzikir, melalui Infaq, melalui Shadaqah, melalui memberi makan orang yang berbuka
(ingat memberi makan orang yang berbuka pahalanya sama dengan orang yang
berbuka), melalui Tadabbur Al-Qur;an, melalui Shalat taraweh dan lain
sebagainya yang tentunya harus sesuai dengan Syariat yang berlaku. Hal ini dipertegas melalui hadits
Nabi Muhammad SAW yang menyatakan selama bulan Ramadhan, ibadah Sunnah menjadi
Wajib sedangkan ibadah Wajib dilipatgandakan oleh ALLAH SWT. Fasilitas ini
diberikan oleh ALLAH SWT bukanlah untuk kepentingan Jasmani, melainkan untuk
kepentingan Ruh/Ruhani diri kita. Selain daripada itu , kondisi ini
diberlakukan oleh ALLAH SWT bukan lah
untuk memberikan iming-iming kepada yang berpuasa. Akan tetapi fasilitas untuk
mempercepat pemuliham Ruh/Ruhani yang telah terjajah oleh Ahwa dan syaitan
untuk cepat kembali kepada fitrah. Namun yang terjadi di masyarakat fasilitas
ini dilihat sebagai sebuah iming-iming untuk mendapatkan pahala semata.Adanya
kondisi ini berarti ALLAH SWT memberikan kesempatan kepada diri kita untuk
meningkatkan kualitas Ruh/Ruhani, agar mampu menghadapi Ahwa dan Syaitan, yang
pada akhirnya sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang sesuai dengan
Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) yang berasal dari sifat Ma’ani dan Asmaul
Husna ALLAH SWT menjadi meningkat pula. Sekarang coba anda bayangkan jika
sampai Ruh/Ruhani dipuasakan sedangkan Jasmani juga berpuasa? Puasa akan terasa
berat. Puasa akan menjadi beban. Namun dengan Ruh/Ruhani tidak dipuasakan atau
bahkan diberi fasilitas lebih oleh ALLAH SWT maka puasa yang kita laksanakan
akan terasa ringan dan menambah keimanan kita.
Sekarang
mari kita lihat pengaruh ibadah puasa
dari sisi Jasmani. Ditinjau dari sisi Jasmani, dengan dipuasakannya Jasmani
maka sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan) yang sesuai dengan Nilai-Nilai
Keburukan (Ahwa) menjadi berkurang kekuatannya, menjadi lemah pengaruhnya
kepada Ruh/Ruhani serta dengan berpuasanya Jasmani maka kesehatan Jasmani itu
sendiri dapat terbantu, atau puasa memiliki pengaruh positif kepada kesehatan
Jasmani. Lalu apa yang terjadi? Disinilah
letak pentingnya puasa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, yaitu adanya penurunan
kualitas sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) atau turunnya kualiatas dan
pengaruh Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang dibawa oleh Jasmani karena Jasmani
dipuasakan, maka pada saat yang bersamaan sifat-sifat Alamiah Ruhani (Nass)
meningkat, atau naiknya Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) karena selalu diberi
makanan yang bergizi yang sesuai dengan Syariat, akan terjadi hal-hal sebagai
berikut : Ruhani akan mampu mengalahkan Jasmani, Nilai-Nilai Kebaikan yang
dibawa oleh Ruhani akan mampu menggantikan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa
oleh Jasmani sedangkan jasmaninya sendiri menjadi lebih sehat karena memperoleh
manfaat dari sisi kesehatan.
Contohnya,
jika sebelum berpuasa kita masih pelit (bakhil) maka setelah berpuasa kita
menjadi lebih dermawan.Jika sebelum berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka
setelah berpuasa kita menjadi orang yang sabar.Jika sebelum berpuasa kita
sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah puasa kita tidak mau lagi
melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa kita tidak
bisa menghargai orang lain, setelah puasa kita bisa toleran kepada sesama. Demikian
seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT.
Ingat-Ingat-Ingat
Setiap dzat memiliki
sifat, setiap sifat akan menjadi perilaku atau perbuatan dzat. Contohnya gula
memiliki sifat manis, maka perilaku gula akan memaniskan apa apa yang
diliputinya. Hal yang samapun dengan jati diri kita yang sesungguhnya adalah
Ruh/Ruhani. Ruh/Ruhani telah disifati oleh ALLAH SWT dengan Asmaul Husna
sehingga Ruh/Ruhani memiliki sifat Asmaul Husna. Sekarang sudahkah sifat yang
disifati pada Ruh/Ruhani menjadi perilaku kita. Jika Ruh/Ruhani memiliki sifat
Rahman dan Rahiem sudahkah kasih sayang menjadi perilaku diri kita sehingga
orang menjadi bahagia oleh sebab keberadaan diri kita? Jika belum berarti kita
belum pantas menjadi khalifah ALLAH SWT
dimuka bumi ini.
Selain daripada itu
jika kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT maka
kita bisa terbebas dari pertanggungjawaban kepada ALLAH SWT atas hak ALLAH SWT
yang ada pada diri kita, serta kesempatan untuk merasakan manfaat yang hakiki
dari puasa sudah kita peroleh. Sebaliknya jika kita masih pelit, masih
mementingkan diri sendiri, masih selalu tergesa, masih menyakiti orang lain,
masih korupsi, masih kolusi, masih nepotisme, masih suka KDRT, masih suka
narkoba, masih suka menjadi teroris, masih suka menipu, berarti kita harus
segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah
puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.
Sekarang
sampai kapan kita harus berpuasa? Perintah melaksanakan puasa yang telah
diperintahkan oleh ALLAH SWT berlaku sampai dengan hari kiamat kelak. Akan
tetapi secara pribadi-pribadi, masa berlaku puasa bisa bersifat umum dan juga bisa
bersifat khusus.Secara umum, masa berlaku puasa di mulai saat kewajiban puasa
sudah jatuh tempo kepada diri (akil baligh) sampai dengan ruh belum berpisah
dengan jasmani.Sedangkan secara khusus, dimulai dari akil baligh sampai dengan
diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak melaksanakan lagi puasa.Lalu
adakah batasan diri kita untuk berpuasa?
ALLAH
SWT hanya mewajibkan kepada diri kita dan juga kepada orang yang beriman,hanya berpuasa
satu bulan penuh saat bulan Ramadhan.Akan tetapi jika kita ingin lebih dari
itu, maka kita bisa melaksanakannya melalui puasa Sunnah.Adanya kondisi ini
maka kita bisa lebih dari satu bulan melaksanakan puasa dalam setahun. Hal yang
harus menjadi pedoman bagi diri kita adalah lamanya berpuasa bukanlah patokan atas
keberhasilan diri di dalam melaksanakan perintah puasa. Akan tetapi yang harus
kita jadikan pedoman adalah Hasil akhir dari puasa yang kita lakukan (seperti Taqwa,
Fitrah dan Dicintai ALLAH SWT) tidak hanya bisa kita rasakan selama sebulan
saja atau lebih. Akan tetapi hasil dari kita berpuasa harus bisa terus kita
rasakan sepanjang bulan sampai bertemu kembali dengan bulan Ramadhan tahun
berikutnya serta tidak hanya untuk diri kita semata, namun anak, istri, suami,
keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara juga turut merasakan apa yang telah
kita rasakan, dalam bentuk kebaikan yang kita perbuat.
Jika
saat ini kita masih hidup di muka bumi ini, berarti saat ini kita harus
melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa dan juga
setelah bulan puasa berakhir, atau setelah Idhul Fitri kita harus mampu pula mendapatkan
dan merasakan makna hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa seperti Taqwa,
Fitrah dan dicintai ALLAH SWT.Akan tetapi jika Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH
SWT, tidak ada pada diri kita, berarti ada beberapa kemungkinan yang terjadi,
pertama karena kita tidak mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi
perintah puasa; yang kedua karena kita belum percaya kepada ALLAH SWT yang
telah memerintahkan puasa; yang ketiga karena kita sendiri yang tidak mau
berpuasa.
Sekarang
tolong perhatikan hadits yang kami kemukakan di bawah ini, dimana ALLAH SWT
menjadikan puasa menjadi perisai/pelindung bagi diri kita dari api neraka.
Ingat fasilitas ini hanya berlaku jika
kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Untuk itu
bertanyalah kepada diri sendiri sudahkah kita mampu melaksanakan puasa yang
sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga kita dilindungi dari api neraka. Jika
belum mampu berarti ada yang salah di dalam puasa yang kita laksanakan.
Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Puasa itu
laksana perisai yang melindungi hamba-Ku dari api neraka.
(diriwayatkan
oleh Ath Thabarani dan Al Baihaqi: 272:86)
Dan jika Nabi
Muhammad SAW telah mengindikasikan banyak orang yang berpuasa, tetapi yang
didapatkan hanyalah haus dan lapar serta menahan syahwat semata, hal ini memang
bukanlah isapan jempol belaka namun hal ini sudah menjadi kenyataan( Jangan
sampai diri kita mengalami hal ini).Untuk
itu segeralah memformat ulang seluruh program puasa yang kita laksanakan,
semoga dengan adanya format ulang kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT sehingga dengan puasa ini kita mampu menghantarkan
diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT dimanapun, kapanpun, tidak
hanya sekali, namun selama hayat masih dikandung badan kita mampu terus merasakannya
tanpa henti. Dan ingat kesempatan untuk meraih dan merasakan nikmatnya
bertuhankan ALLAH SWT hanya ada pada sisa usia kita, atau sebelum Malaikat
Izrail datang melaksanakan tugasnya memisahkan Ruh dengan Jasmani serta karena
tidak ada peribahasa di muka bumi yang menyatakan Penyesalan adanya di muka dan
waktu bisa diputar ulang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar