Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 13 April 2016

PUASA : JASMANI vs RUH/RUHANI YANG MANAKAH YANG HARUS DIPUASAKAN



Perintah melaksanakan ibadah puasa, dalam hal ini puasa wajib di bulan Ramadhan, tidak terlepas dari apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam firman-Nya yang terdapat di surat Al Baqarah (2) ayat 183 seperti yang kami kemukakan bawah ini. Perintah melaksanakan ibadah Puasa yang diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi merupakan aturan, hukum, ketentuan, undang-undang, peraturan yang berlaku di langit dan di muka bumi ini. Jika kita merasa tidak pernah sekalipun menciptakan dan memiliki langit dan bumi ini atau jika kita merasa orang yang sedang menumpan di langit dan di muka bumi ini  maka sudah seharusnya kita melaksanakan aturan, hukum , ketentuan, undang-undang, peraturan yang telah diperintahkan oleh pemilik dan pencipta langit dan bumi ini tanpa terkecuali dan tanpa bantahan apapun.


 Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(surat Al Baqarah (2) ayat 183)


Sebuah perintah yang diperintahkan oleh pemberi perintah kepada yang diperintah dapat dipastikan bahwa yang memerintah mempunyai maksud dan tujuan yang hakiki dari perintah yang diperintahkannya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita bahwa  pemberi perintah tidak memiliki kepentingan apapun atas maksud dan tujuan yang hakiki dari apa yang diperintahkannya. Pemberi Perintah memerintahkan sesuatu dikarenakan pemberi perintah sangat mengasihi dan menyayangi kepada yang diperintah. Jika ini kondisi dasar dari perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan berarti perintah yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukan  untuk kepentingan ALLAH SWT selaku pemberi perintah melainkan  untuk yang diperintah, dalam hal ini orang beriman yang di dalamnya adalah diri kita, keluarga, anak dan keturuna kita.  


Untuk mempertegas uraian di atas, katakan kita memerintahkan kepada anak untuk mandi. Lalu apakah mandi yang menjadi tujuan dari perintah kita kepada anak ataukah sehat dan segar yang akan dinikmati oleh anak. Perintah mandi yang kita perintahkan kepada anak dikarenakan kita sayang kepada anak sehingga kita tidak memiliki kepentingan apapun kepada perintah mandi tersebut selain anak merasakan sehat dan segar melalui mandi yang di laksanakannya. Hal yang samapun berlaku kepada perintah melaksanakan puasa yang diperintahkan ALLAH SWT.  Adanya perintah mendirikan puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita berarti puasa yang diperintahkan melalui wahyu oleh  ALLAH SWT bukanlah tujuan akhir dari perintah yang diperintahkan oleh ALLAH SWT tersebut. Perintah mendirikan puasa adalah sarana atau alat bantu bagi yang mendirikan puasa, dalam hal ini diri kita dan setiap orang yang beriman, untuk memperoleh manfaat dan hikmah yang hakiki yang  terdapat dibalik perintah mendirikan puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT.


Untuk itu mari kita lihat apa yang terjadi dalam kehidupan kita dimana kita tidak bisa terhindar dari apa yang dinamakan dengan aktifitas jasmani dan juga pengaruh lingkungan yang mengakibatkan diri kita berkeringat, bau badan, adanya daki yang mengakibatkan tubuh kita lesu dan kotor. Hanya melalui aktivitas mandi yang baik dan benarlah maka tubuh kita menjadi segar dan sehat. Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi, dimana kita tidak akan mungkin terhindar dari ahwa dan juga syaitan yang mengakibatkan diri kita tidak fitrah lagi, tidak bisa menjadi menjadi khalifah yang dikehendaki ALLAH  SWT., tidak bisa di jalan lurus yang dikehendaki ALLAH SWT atau menjadikan jiwa kita menjadi jiwa fujur.  Salah satu cara ALLAH SWT untuk mengembalikan diri kita sesuai dengan kehendak-Nya maka ALLAH SWT memerintahkan kepada diri kita untuk melakasanakan puasa di bulan Ramadhan.


Hal yang harus kita ketahui dan pahami dari apa yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 adalah :

1.         Perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, selain perintah ALLAH SWT yang telah diperintahkan, ia juga bagian dari Rukun Islam yang tidak bisa dipisahkan dengan pelaksaaan Diinul Islam secara kaffah. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah melaksanakan perintah yang bersifat Rukun sehingga harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak pemberi perintah juga tidak bisa dipisahkan dengan Rukun Iman dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan di dalam melaksanaan Diinul Islam secara Kaffah.


2.         Orang Yang Beriman adalah orang yang  diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Akan tetapi yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan belum tentu semuanya adalah orang yang beriman, ada pula orang yang beragama Islam yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Adanya kondisi ini maka tidak salah ALLAH SWT menyatakan dengan kata-kata “Agar Kamu Bertaqwa atau Semoga Kamu Menjadi Orang Yang Bertaqwa”. Alangkah tidak adilnya ALLAH SWT langsung menjadikan seluruh orang yang berpuasa menjadi orang yang bertaqwa padahal kondisi orang yang melaksanakan puasa berbeda-beda kualitasnya.


3.      Sebuah perintah yang telah diperintahkan oleh pencipta dan pemilik langit dan bumi tidak lain adalah  aturan, hukum, ketentuan, undang-undang yang yang wajib berlaku di langit dan di muka bumi ini. Sebagai orang yang sedang menumpang atau menjadi tamu di langit dan di muka bumi ini maka kita wajib mempelajari, mengetahui, memahami lalu melaksanakan aturan main tersebut sesuai dengan kehendak pemberi perintah, dalam hal ini ALLAH SWT. Dan yang pasti ALLAH SWT selakui pemberi perintah lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan yang diperintah untuk mendirikan perintah.


4.         Hal yang harus kita pahami adalah penerima perintah belum tentu mampu memahami makna yang hakiki  dari perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT atau bahkan tidak mampu memaknai hakekat yang sesungguhnya yang terdapat di balik perintah puasa di bulan Ramadhan. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa pemaknaan  yang ada di tengah masyarakat terhadapa perintah ALLAH SWT, yaitu:

a.    Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebatas melaksanakan rukun islam semata. Jika ini yang kita lakukan maka sebatas itulah kita memperoleh makna dan hakekat dari perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan.

b.   Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebagai sebuah penggugur kewajiban semata, sehingga apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT kita laksanakan tanpa melihat makna yang tersembunyi yang ada di balik perintah melaksnakan puasa di bulan Ramadhan. Jika ini konsep ini yang kita lakukan maka ibadah puasa yang kita lakukan akan dilaksanakan secara terpaksa atau unsur keterpaksaan menjadi lebih dominan yang pada akhirnya hanya haus, letih, dan lelah yang diperoleh dari puasa yang kita laksanakan.

c.    Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT untuk mencari nilai atau pahala dari ibadah puasa  yang kita laksanakan, sehingga nilai atau pahala lah yang menjadi tujuan kita melaksanakan perintah ALLAH SWT. Jika konsep ini yang lakukan saat melaksanakan ibadah puasa berarti kita melaksanakan perintah ALLAH SWT sebatas untuk mendapatkan iming-iming atau  hadiah berupa pahala yang pada akhirnya kita tidak akan menikmati hadirnya ALLAH SWT di dalam ibadah puasa yang kita laksanakan.

d.   Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sekedar menyenangkan pemberi perintah semata sehingga kita tidak pernah merasakan hakekat yang terdapat di balik perintah melaksanakan ibadah puasa..

e.    Manusia atau diri kita bisa memaknai perintah yang diperintahkan ALLAH SWT sebagai sebuah kebutuhan yang hakiki bagi diri kita. Jika konsep ini  mampu kita laksanakan berarti kita mampu melihat apa-apa yang terdapat dibalik perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramdhan, atau kita mampu melihat ada sesuatu yang luar bisa yang siap kita rasakan  atau akan kita dapatkan dari ibadah puasa yang kita laksanakan. Jika ini kondisinya maka dapat dipastikan orang yang melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan sebagai sebuah kebutuhan maka ia akan melaksanakan ibadah puasa secara suka rela tanpa keterpaksaan bahkan merasa bahagia saat melaksanakannya.


ALLAH SWT selaku pemberi perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhant, mempersilahkan diri kita untuk memilih makna dari perintah-Nya. Ingat, pilihan dari memaknai perintah akan memberikan dampak yang berbeda beda pula. Awas jangan sampai salah memaknai perintah ALLAH SWT. Dilain sisi ada satu hal yang harus kita ketahui sebelum diri kita melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, apakah itu? Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 110 dan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, ibadah puasa di bulan Ramadhan adalah satu-satunya ibadah yang diperuntukkan untuk ALLAH SWT semata dan ALLAH SWT sendirilah yang akan membalas-Nya tanpa melalui perantaraan siapapun juga. Selain daripada itu, melalui hadist di bawah ini menunjukkan ALLAH SWT  memiliki hak yang harus diambil dari diri kita terutama ibadah Puasa , atau ALLAH SWT menuntut kepada diri kita atas hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita melalui ibadah Puasa.

dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 110)


Abu Hurairah, ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Semua amal ibadah anak Adam menyangkut dirinya pribadi kecuali ibadah puasa. Sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang membalasnya. Pada waktu berpuasa, janganlah seseorang mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, membuat keributan dan bertengkar. Jika seseorang mencaci atau mengajak berkelahi, maka hendaklah ia berkata: “Aku sedang berpuasa”. Demi tuhan yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah dari bau kesturi. Dan bagi orang yang berpuasa tersedia dua kegembiraan, gembira ketika berbuka puasa dan gembira kelak menemui Tuhannya.
(Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, An Nasa’I dan Ibnu Hibban; 272:122)


Jika ini kondisi dasar dari ibadah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT, berarti ibadah puasa yang kita laksanakan sangat berarti bagi diri kita karena ALLAH SWT yang langsung membalas kebaikan-kebaikan yang terdapat dibalik perintah melaksanakan puasa serta adanya keterkaitan diri kita dengan ALLAH SWT yang tidak bisa terpisahkan.


Sebelum kami membahas lebih lanjut tentang ibadah puasa, perkenankan kami mengemukakan ilustrasi sebagai berikut : Saat kita masih kecil, kita diperintahkan oleh orang tua untuk mandi, sekarang mandikah yang diharapkan orang tua ataukah sehat dan segar yang diharapkan oleh orang tua? Sebagai orang tua yang memerintahkan anak untuk mandi, maka orang tua berharap anak dapat memperoleh sehat dan segar melalui mandi. Sekarang bagaimana jadinya jika anak yang telah kita perintahkan mandi tetapi setelah mandi masih juga menggaruk-garuk kegatalan? Jika ini yang terjadi pada anak kita berarti akan ada tiga kemungkin yang terjadi, pertama karena anak tidak bisa melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak orang tua; yang kedua, karena anak tidak percaya dengan perintah mandi yang telah diperintahkan kepadanya; dan yang ketiga karena anak memang tidak mau melaksanakan mandi dengan baik dan benar.


Perintah mandi sampai dengan kapanpun tidak akan pernah salah  atau perintah mandinya tidak salah. Akan tetapi yang diperintahkan untuk mandilah yang memiliki masalah. Sekarang bagaimana dengan perintah melaksanakan Puasa, baik yang wajib ataupun sunnah, yang berasal dari pemilik dan pencipta langit dan bumi kepada diri kita dan juga kepada orang yang beriman? Hal yang samapun berlaku kepada perintah melaksanakan puasa, dimana  ALLAH SWT selaku pemberi perintah juga berkehendak agar yang diperintahkan untuk berpuasa dapat memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang ada dibalik perintah puasa.Dan jika setelah berpuasa atau setelah hari raya idhul fitri, kita tidak bisa memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa berarti ada tiga kemungkinan yang terjadi pada diri kita,yaitu: yang pertama, karena kita tidak mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa; yang kedua, karena kita tidak mempercayai perintah puasa; dan yang ketiga, karena kita memang tidak mau berpuasa. Adanya kondisi ini dapat dipastikan perintah puasa yang diperintah oleh ALLAH SWT tidak pernah salah (perintah puasanya tidak akan pernah salah), akan tetapi yang diperintahkan puasalah yang memiliki masalah.


Dalam kehidupan sehari-hari, ada ketentuan suatu manfaat dan hikmah yang hakiki tidak datang dengan tiba-tiba, atau tidak turun dari langit begitu saja kepada diri kita. Hal ini dikarenakan manfaat dan hikmah merupakan hasil dari suatu proses, atau disebut juga dengan output yang dihasilkan dari suatu input yang diproses secara konsisten dari waktu ke waktu. Untuk itu jika kita ingin memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah dari puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, maka kita harus terlebih dahulu memiliki ilmu tentang puasa, kita harus pula mengerti tentang syarat yang dikehendaki oleh pemberi perintah puasa, kita juga harus mengerti tentang bagaimana puasa harus dilaksanakan (kita harus memiliki ilmu tentang syariat puasa) dan juga kita harus paham betul apa maksud dan tujuan, apa makna yang hakiki yang ada di balik perintah puasa.Jika kita mampu melakukan hal-hal di atas, insya Allah, modal dasar untuk mendapatkan dan merasakan manfaat dan hikmah dari puasa telah kita miliki.


Sekarang untuk siapakah makna hakiki dari puasa itu?Sepanjang puasa mampu kita lakukan sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa, maka makna dan tujuan yang hakiki dari puasa bukanlah untuk yang memerintahkan puasa karena yang memerintahkan puasa sudah Maha dan akan Maha selamanya. Akan tetapi seluruh makna dan tujuan yang hakiki yang terkandung di balik perintah puasa adalah untuk yang melaksanakan puasa dan yang tidak mungkin pernah terjadi adalah yang tidak melaksanakan puasa akan memperoleh makna yang hakiki dari perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki Ilmu tentang puasa?Jika sampai diri kita tidak miliki Ilmu tentang puasa, bagaiamana mungkin kita bisa melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa.


Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 183 yang kami kemukakan di atas, syarat yang dikehendaki ALLAH SWT untuk melaksanakan perintah puasa adalah Orang Yang Beriman. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah pengertian Iman yang termaktub di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183, bukanlah pengertian Iman secara partial, atau Iman yang berdiri sendiri-sendiri.Akan tetapi pengertian Iman yang dikehendaki oleh  ALLAH SWT adalah orang yang mampu melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah. Apa maksudnya? Hal ini dikarenakan Iman atau beriman kepada ALLAH SWT merupakan bagian dari Diinul Islam, dimana Diinul Islam harus dilaksanakan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan (inilah yang disebut dengan pengertian Rukun). Adanya kondisi ini jika kita ingin melaksanakan puasa, baik wajib ataupun sunnah, yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa maka kitaharus melaksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan secara satu kesatuan yang tidak terpisahkan.. Hal yang kedua setelah kita paham tentang syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, maka kita juga harus tahu tentang Syariat Puasa, atau tentang tata cara berpuasa yang sesuai dengan Sunnah yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang ketiga, kita harus tahu dan mengerti untuk apa kita berpuasa, apa tujuan akhir dari puasa, apa yang hendak kita capai setelah puasa, apa makna hakiki yang akan kita raih dari puasa yang kita lakukan, Jika sampai tujuan dari puasa tidak pernah kita ketahui, berarti  kita tidak pernah tahu pencapaian apa yang akan kita peroleh, kita tidak pernah tahu apa yang akan kita dapatkan dari puasa yang kita lakukan.


Selanjutnya jika perintah mandi saja memiliki tujuan yang hakiki berupa sehat dan segar, sekarang apakah tujuan dari puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT? Tujuan puasa yang hakiki bukanlah untuk menahan makan dan minum (atau menahan lapar dan haus) serta menahan Syahwat semata dari subuh sampai magrib. Tujuan puasa yang hakiki bukan pula untuk turut merasakan penderitaan orang yang miskin. Tujuan puasa yang hakiki puasa yang pertama adalah untuk menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT sehingga mampu  bermanfaat bagi sesama. Hal ini dikarenakan orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT dijamin segala sesuatunya oleh ALLAH SWT dan juga karena ALLAH SWT tidak menilai seseorang dari besar kecil hartanya. ALLAH SWT juga tidak menilai  dari penampilan phisik seseorang.  ALLAH SWT menilai seseorang dari ketaqwaannya.Tujuan kedua dari puasa adalah menjadikan diri kita kembali kepada fitrah,dan yang ketiga, menjadikan diri kita menjadi Aulia atau kekasih ALLAH SWT atau menjadi hamba yang dicintai oleh ALLAH SWT.

Hal yang harus kita pahami adalah Fitrah yang dikehendaki oleh ALLAH SWT bukanlah Fitrah yang pengertiannya adalah suci seperti dilahirkan kembali. Akan tetapi sudahkah diri kita kembali sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia, seperti jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruh, sehingga segala perbuatan diri kita selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) yang sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna  ALLAH SWT;  diri kita adalah pemenang, syaitan adalah pecundang di dalam permainan kekhalifahan di muka bumisehingga diri kita adalah calon penghuni Syurga, pengakuan Ruh yang bertuhankan kepada ALLAH SWT masih tetap utuh tidak terpengaruh oleh sebab apapun juga.Sekarang butuhkah diri kita dengan Taqwa, dengan Fitrah dan dicintai ALLAH SWT? Jika kita merasa butuh dengan Taqwa, dengan Fitrah dan dicintai oleh ALLAH SWT, berarti kita sangat membutuhkan puasa dan berarti pula perintah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukanlah perintah yang bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat asal-asal dan juga perintah yang bersifat memberatkan diri kita, akan tetapi perintah melaksanakan puasa adalah untuk kepentingan diri kita sendiridan tidak ada hubungannya dengan orang lain baik yang berpuasa ataupun tidak.


Dilain sisi, setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruhani.Dimana Jasmani asalnya dari alam, sehingga sifat-sifat alamiah Jasmani (disebut juga Insan) yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (disebut juga dengan Ahwa). Sedangkan Ruhani asalnya dari ALLAH SWT, sehingga Ruhani akan membawa sifat-sifat Ilahiah (disebut juga dengan Nass) yang mencerminkan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT (disebut juga dengan Nafs/Anfuss). Jika saat ini kita masih hidup, berarti pada saat ini terjadi apa yang dinamakan dengan proses tarik menarik antara kepentingan Jasmani yang membawa Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) dengan kepentingan Ruhani yang membawa Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss). Jika Jasmani mampu mengalahkan Ruhani, maka kondisi kejiwaan kita dimasukkan ke dalam Jiwa Fujur, sehingga perbuatan diri kita sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah. Dan sebaliknya jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani maka kondisi kejiwaan kita dimasukkan ke dalam Jiwa Taqwa sehingga perbuatan diri kita sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Selain daripada itu, pada saat diri kita hidup maka pada saat itu pula Syaitan akan melakukan aksinya kepada diri kita melalui Jasmani dan juga melalui sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan) yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) sepanjang tahun tanpa pernah berhenti.


Sekarang mari kita lihat dan pelajari kehidupan yang kita jalani satu tahun ini, yang mana kita tidak bisa menghindar dari Ahwa dan Syaitan. Adanya dua musuh utama manusia, dalam hal ini ahwa dan syaitan, membuat diri kita tidak bisa selalu di dalam kehendak ALLAH SWT atau selalu di dalam jalan yang lurus atau kita tidak bisa selalu berada di dalam jiwa muthmainnah. Kadang kita kalah karena gangguan ahwa dan juga syaitan atau kadang kita masih berbuat dosa yang mengakibatkan kefitrahan diri kita menjadi kotor atau ternoda oleh sebab perbuatan kita sendiri. Dilain sisi, kita juga sudah berusaha untuk mendirikan shalat 5 waktu sehari semalam, kita juga sudah berbuat amal shaleh. Selanjutnya pernahkah kita menghitung berapa banyak kesalahan yang kita perbuat yang mengakibatkan ALLAH SWT marah, ALLAH SWT tidak suka kepada diri kita yang mengakibatkan noda hitam di dalam hati ruhani. Dampak dari perbuatan yang kita lakukan yang tidak sesuai dengan kehendak ALLAH SWT tentunya akan mengakibatkan Ruh/Ruhani diri kita tidak bisa menjangkau ALLAH SWT atau mengakibatkan Ruh/Ruhani tidak mampu mengendalikan atau mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan. Walaupun kita sudah berusaha sekuat tenanga untuk melaksanakan Shalat wajib dan Sunnah, bersedekah, selalu berdzikir dari waktu ke waktu agar kita selalu berada di dalam kehendak ALLAH SWT.      


Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas berarti kita tidak mampu lagi menjadikan diri kita sesungguhnya adalah Ruh, karena Ruh sudah menjadi tidak fitrah lagi karena perbuatan dosa yang kita lakukan, Ruh menjadi tidak suci lagi karena selalu dipengaruhi Jasmani atau selalu kalah melawan Jasmani yang didukung oleh Syaitan, sifat-sifat alamiah Ruhani yang seharusnya menjadi perilaku diri kita, justru tenggelam dikalahkan oleh sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) sehingga perilaku dan perbuatan diri kita sangat sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah padahal perbuatan kita yang asli bukan seperti itu, hidup yang kita laksanakan bukannya menjadikan diri kita menjadi calon penghuni Syurga, akan tetapi justru menjadikan diri kita sebagai calon penghuni neraka. Dilain sisi walaupun Syaitan di ikat selama bulan Ramadhan, akan tetapi pengaruh buruk yang mengakibatkan Ruhani diri kita menjadi kotor (menjadi tidak fitrah lagi,padahal aslinya fitrah), yang telah dilakukan Syaitan selama sebelas bulan melalui sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) yang sesuai dengan koridor Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) tidak akan hilang begitu saja walaupun Syaitan telah diikat oleh ALLAH SWT.


Timbul pertanyaan, bagaimana caranya kita mengembalikan diri kita agar selalu di dalam Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sedangkan kondisi kita sudah berada di dalam koridor Nilai ba-Nilai Keburukan yang sesuai dengan kehendak Syaitan, bagaimana caranya memenuhi hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita, serta bagaimana caranya kita mengembalikan kefitrahan Ruhani yang telah dikotori oleh perbuatan Ahwa dan Syaitan? Adanya kondisi yang tidak menguntungkan bagi diri kita, disinilah ALLAH SWT menunjukkan kasih sayangnya dengan memerintahkan  diri kita berpuasa di bulan Ramadhan dalam rangka mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruh, menjadikan diri kita memiliki Jiwa Muthmainnah, atau dalam rangka menjadikan diri kita sesuai dengan konsep awal penciptaannya, atau dalam rangka menjadikan diri kita pemenang sedangkan Syaitan sebagai pecundang serta untuk mendapatkan manfaat yang hakiki dari puasa yang terdiri dari Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH SWT. Dan jika ini kondisi yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, sekarang tergantung diri kita maukah kita berpuasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?



Ingat-Ingat-Ingat

Setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruh/Ruhani, dimana Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya. Ruh/Ruhani sebagai jati diri manusia adalah bagian Nur
ALLAH SWT sehingga Ruh/Ruhani tidak boleh dipisahkan dengan ALLAH SWT dari waktu ke waktu



Selanjutnya seperti apakah puasa yang dikehendaki ALLAH SWT dan yang juga telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW? Hal yang harus kita lakukan selama diri kita berpuasa, apakah itu puasa Sunnah ataupun Wajib, yang harus berpuasa mulai dari subuh sampai magrib hanyalah Jasmani semata, dengan tidak boleh makan dan minum dan juga boleh melalukan hubungan badan selama puasa kita lakukan.  Dengan dipuasakannya Jasmani selama waktu tertentu berarti kita melemahkan Jasmani termasuk di dalamnya  melemahkan atau menghilangkan sifat-sifat atau perbuatan dari Jasmani yang mencerminkan nilai- nilai keburukan (ahwa). Di lain sisi dengan dihilangkannya ahwa dalam diri maka pada saat bersamaan diganti dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari Ruh/Ruhani.

Lalu bagaimana dengan Ruh/Ruhani saat Jasmani dipuasakan? Ruh/Ruhani selama kita berpuasa tidak boleh sedetikpun dipuasakan (Ruh/Ruhani jangan pernah berpuasa selama Jasmani dipuasakan).Ruh/Ruhani harus selalu diberi makan dengan makanan yang bergizi sebanyak-banyaknya selama Jasmani berpuasa melalui Tadarus, melalui Dzikir, melalui Infaq, melalui Shadaqah, melalui memberi makan orang yang berbuka (ingat memberi makan orang yang berbuka pahalanya sama dengan orang yang berbuka), melalui Tadabbur Al-Qur;an, melalui Shalat taraweh dan lain sebagainya yang tentunya harus sesuai dengan Syariat yang berlaku. Hal ini dipertegas melalui hadits Nabi Muhammad SAW yang menyatakan selama bulan Ramadhan, ibadah Sunnah menjadi Wajib sedangkan ibadah Wajib dilipatgandakan oleh ALLAH SWT. Fasilitas ini diberikan oleh ALLAH SWT bukanlah untuk kepentingan Jasmani, melainkan untuk kepentingan Ruh/Ruhani diri kita. Selain daripada itu , kondisi ini diberlakukan oleh ALLAH SWT  bukan lah untuk memberikan iming-iming kepada yang berpuasa. Akan tetapi fasilitas untuk mempercepat pemuliham Ruh/Ruhani yang telah terjajah oleh Ahwa dan syaitan untuk cepat kembali kepada fitrah. Namun yang terjadi di masyarakat fasilitas ini dilihat sebagai sebuah iming-iming untuk mendapatkan pahala semata.Adanya kondisi ini berarti ALLAH SWT memberikan kesempatan kepada diri kita untuk meningkatkan kualitas Ruh/Ruhani, agar mampu menghadapi Ahwa dan Syaitan, yang pada akhirnya sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) yang berasal dari sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT menjadi meningkat pula. Sekarang coba anda bayangkan jika sampai Ruh/Ruhani dipuasakan sedangkan Jasmani juga berpuasa? Puasa akan terasa berat. Puasa akan menjadi beban. Namun dengan Ruh/Ruhani tidak dipuasakan atau bahkan diberi fasilitas lebih oleh ALLAH SWT maka puasa yang kita laksanakan akan terasa ringan dan menambah keimanan kita.


Sekarang mari kita lihat  pengaruh ibadah puasa dari sisi Jasmani. Ditinjau dari sisi Jasmani, dengan dipuasakannya Jasmani maka sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan) yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) menjadi berkurang kekuatannya, menjadi lemah pengaruhnya kepada Ruh/Ruhani serta dengan berpuasanya Jasmani maka kesehatan Jasmani itu sendiri dapat terbantu, atau puasa memiliki pengaruh positif kepada kesehatan Jasmani. Lalu apa yang terjadi? Disinilah letak pentingnya puasa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT, yaitu adanya penurunan kualitas sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) atau turunnya kualiatas dan pengaruh Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang dibawa oleh Jasmani karena Jasmani dipuasakan, maka pada saat yang bersamaan sifat-sifat Alamiah Ruhani (Nass) meningkat, atau naiknya Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) karena selalu diberi makanan yang bergizi yang sesuai dengan Syariat, akan terjadi hal-hal sebagai berikut : Ruhani akan mampu mengalahkan Jasmani, Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani akan mampu menggantikan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani sedangkan jasmaninya sendiri menjadi lebih sehat karena memperoleh manfaat dari sisi kesehatan.


Contohnya, jika sebelum berpuasa kita masih pelit (bakhil) maka setelah berpuasa kita menjadi lebih dermawan.Jika sebelum berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka setelah berpuasa kita menjadi orang yang sabar.Jika sebelum berpuasa kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah puasa kita tidak mau lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah puasa kita bisa toleran kepada sesama. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH SWT.

Ingat-Ingat-Ingat
Setiap dzat memiliki sifat, setiap sifat akan menjadi perilaku atau perbuatan dzat. Contohnya gula memiliki sifat manis, maka perilaku gula akan memaniskan apa apa yang diliputinya. Hal yang samapun dengan jati diri kita yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani. Ruh/Ruhani telah disifati oleh ALLAH SWT dengan Asmaul Husna sehingga Ruh/Ruhani memiliki sifat Asmaul Husna. Sekarang sudahkah sifat yang disifati pada Ruh/Ruhani menjadi perilaku kita. Jika Ruh/Ruhani memiliki sifat Rahman dan Rahiem sudahkah kasih sayang menjadi perilaku diri kita sehingga orang menjadi bahagia oleh sebab keberadaan diri kita? Jika belum berarti kita belum pantas menjadi khalifah ALLAH SWT  dimuka bumi ini.


Selain daripada itu jika kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT maka kita bisa terbebas dari pertanggungjawaban kepada ALLAH SWT atas hak ALLAH SWT yang ada pada diri kita, serta kesempatan untuk merasakan manfaat yang hakiki dari puasa sudah kita peroleh. Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri, masih selalu tergesa, masih menyakiti orang lain, masih korupsi, masih kolusi, masih nepotisme, masih suka KDRT, masih suka narkoba, masih suka menjadi teroris, masih suka menipu, berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.

Sekarang sampai kapan kita harus berpuasa? Perintah melaksanakan puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berlaku sampai dengan hari kiamat kelak. Akan tetapi secara pribadi-pribadi, masa berlaku puasa bisa bersifat umum dan juga bisa bersifat khusus.Secara umum, masa berlaku puasa di mulai saat kewajiban puasa sudah jatuh tempo kepada diri (akil baligh) sampai dengan ruh belum berpisah dengan jasmani.Sedangkan secara khusus, dimulai dari akil baligh sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak melaksanakan lagi puasa.Lalu adakah batasan diri kita untuk berpuasa?

ALLAH SWT hanya mewajibkan kepada diri kita dan juga kepada orang yang beriman,hanya berpuasa satu bulan penuh saat bulan Ramadhan.Akan tetapi jika kita ingin lebih dari itu, maka kita bisa melaksanakannya melalui puasa Sunnah.Adanya kondisi ini maka kita bisa lebih dari satu bulan melaksanakan puasa dalam setahun. Hal yang harus menjadi pedoman bagi diri kita adalah  lamanya berpuasa bukanlah patokan atas keberhasilan diri di dalam melaksanakan perintah puasa. Akan tetapi yang harus kita jadikan pedoman adalah Hasil akhir dari puasa yang kita lakukan (seperti Taqwa, Fitrah dan Dicintai ALLAH SWT) tidak hanya bisa kita rasakan selama sebulan saja atau lebih. Akan tetapi hasil dari kita berpuasa harus bisa terus kita rasakan sepanjang bulan sampai bertemu kembali dengan bulan Ramadhan tahun berikutnya serta tidak hanya untuk diri kita semata, namun anak, istri, suami, keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara juga turut merasakan apa yang telah kita rasakan, dalam bentuk kebaikan yang kita perbuat.  

Jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini, berarti saat ini kita harus melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa dan juga setelah bulan puasa berakhir, atau setelah Idhul Fitri kita harus mampu pula mendapatkan dan merasakan makna hakiki yang terdapat dibalik perintah puasa seperti Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH SWT.Akan tetapi jika Taqwa, Fitrah dan dicintai ALLAH SWT, tidak ada pada diri kita, berarti ada beberapa kemungkinan yang terjadi, pertama karena kita tidak mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah puasa; yang kedua karena kita belum percaya kepada ALLAH SWT yang telah memerintahkan puasa; yang ketiga karena kita sendiri yang tidak mau berpuasa.

Sekarang tolong perhatikan hadits yang kami kemukakan di bawah ini, dimana ALLAH SWT menjadikan puasa menjadi perisai/pelindung bagi diri kita dari api neraka. Ingat fasilitas ini hanya berlaku  jika kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Untuk itu bertanyalah kepada diri sendiri sudahkah kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga kita dilindungi dari api neraka. Jika belum mampu berarti ada yang salah di dalam puasa yang kita laksanakan.

Abu Hurairah ra, berkata: Nabi saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Puasa itu laksana perisai yang melindungi hamba-Ku dari api neraka.
(diriwayatkan oleh Ath Thabarani dan Al Baihaqi: 272:86)



Dan jika Nabi Muhammad SAW telah mengindikasikan banyak orang yang berpuasa, tetapi yang didapatkan hanyalah haus dan lapar serta menahan syahwat semata, hal ini memang bukanlah isapan jempol belaka namun hal ini sudah menjadi kenyataan( Jangan sampai diri kita mengalami hal ini).Untuk itu segeralah memformat ulang seluruh program puasa yang kita laksanakan, semoga dengan adanya format ulang kita mampu melaksanakan puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga dengan puasa ini kita mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT dimanapun, kapanpun, tidak hanya sekali, namun selama hayat masih dikandung badan kita mampu terus merasakannya tanpa henti. Dan ingat kesempatan untuk meraih dan merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT hanya ada pada sisa usia kita, atau sebelum Malaikat Izrail datang melaksanakan tugasnya memisahkan Ruh dengan Jasmani serta karena tidak ada peribahasa di muka bumi yang menyatakan Penyesalan adanya di muka dan waktu bisa diputar ulang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar