Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya
Langit dan Bumi yang saat ini kita
tempati bukan kita yang menciptakan dan bukan pula kita yang memilikinya. Air,
udara, hewan, tumbuhan, yang kita butuhkan juga bukan kita yang menciptakan dan
bukan pula kita yang memilikinya. Ruhani dan Jasmani diri kita bukan pula kita
yang menciptakan dan bukan pula kita yang memiliki. Jika langit, bumi, air,
udara, hewan, tumbuhan, ruhani dan jasmani bukan kita yang menciptakan dan
bukan pula kita yang memiliki, lalu punya apakah diri kita di langit dan di
bumi ini? Adanya kondisi yang kami
kemukakan di atas berarti kita tidak memiliki apapun di langit dan di bumi
kecuali menjadi tamu, atau menjadi penumpang, atau menjadi perantau yang tidak
memiliki apa-apa.
Selanjutnya jika kita ini hanyalah makhluk yang
tidak memiliki apa-apa di muka bumi, lalu siapakah yang memiliki Kehendak dan
Kemampuan serta Ilmu yang sangat hebat sehingga mampu menciptakan dan memiliki
itu semua? ALLAH SWT
lah yang memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu yang sangat hebat sehingga
mampu menciptakan dan memiliki langit, bumi, udara, air, binatang, tumbuhan
serta manusia yang ada di jagat raya ini. Selanjutnya, ketentuan
siapakah, undang-undang siapakah, hukum siapakah, yang wajib berlaku di langit
dan di bumi ini? Akal sehat manusia akan mengatakan bahwa segala
ketentuan, segala undang-undang, segala hukum yang wajib berlaku di muka bumi
ini adalah ketentuan ALLAH SWT semata, hukum ALLAH SWT semata, serta
undang-undang ALLAH SWT.
Jabir ra, berkata, Rasulullah bersabda:
Batas antara seseorang dengan kekafiran adalah meninggalkan Shalat.
(HR Muslim, Ahmad dan Ashhabus sunan)
Buraidah ra, berkata, Rasulullah bersabda: Janji yang terikat erat antara kami dengan mereka adalah Shalat. Maka siapa yang meninggalkannya berarti ia telah kafir.
(HR Ahmad, dan Ash hubus sunan)
Dan jika
sekarang ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik dari langit, bumi, air, udara,
tumbuhan, binatang, sudah menetapkan adanya perintah mendirikan SHALAT sehari
semalam 5 (lima) waktu kepada seluruh umat manusia,
selanjutnya apa yang harus kita sikapi dengan ketentuan ini? Sebagai orang yang sedang menumpang di langit
dan di bumi ALLAH SWT, sebagai tamu yang sedang menumpang di langit dan di bumi
ALLAH SWT, sebagai perantau yang sedang menjadi KHALIFAH di langit dan di bumi
ALLAH SWT, tentu kita harus menerima segala ketentuan ALLAH SWT tersebut lalu
menjalankan segala ketentuan ALLAH SWT dengan sebaik-baiknya, terkecuali jika
kita ingin menjadi tamu yang tidak tahu diri, atau menjadi penumpang yang tidak
tahu diri, atau menjadi perantau yang tidak tahu diri.
Selanjutnya jika di dalam kehidupan sehari-hari ada istilah
anak durhaka kepada orang tua, maka jika kita berani menantang ALLAH SWT di langit dan di bumi yang tidak
pernah kita ciptakan dan tidak pernah pula kita miliki maka istilah anak
durhakapun terjadi antara diri kita dengan ALLAH SWT. Sekarang
timbul pertanyaan baru, adakah resiko yang harus kita tanggung jika kita tidak
mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT sedangkan kita ada di langit dan di
bumi yang dimiliki ALLAH SWT? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
resiko yang harus kita tanggung jika kita tidak mau melaksanakan perintah
mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT selaku pencipta dan pemilik
alam semesta ini, yaitu:
A.
Dijadikan sebagai Hamba Syaitan
Ancaman
atau Resiko pertama yang akan kita peroleh jika kita tidak mau melaksanakan
perintah mendirikan SHALAT, saat diri kita menjadi penumpang, saat diri kita
menjadi tamu, saat diri kita menjadi perantau di langit dan di bumi yang
diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT adalah kita akan dijadikan sebagai Hamba
Syaitan sang Laknatullah. Jika ini yang terjadi pada diri kita berarti kita
telah memesan tiket untuk pulang kampung bersama Syaitan ke Neraka Jahannam.
Selanjutnya ada yang harus kita perhatikan dengan seksama yaitu Syaitan yang asalnya dari api maka jika
Syaitan ditempatkan oleh ALLAH SWT di Neraka Jahannam karena memang disanalah
kampung halamannya Syaitan, sehingga bagi Syaitan pulang kampung ke api
(maksudnya ke Neraka Jahannam) bukanlah sebuah masalah besar. Yang menjadi persoalan besar
justru ada pada diri kita, kenapa mau dihasut, kenapa mau dibujuk, kenapa mau
di rayu oleh Syaitan untuk tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT
sehingga kita menjadi penghuni Neraka Jahannam.
Selain
daripada itu, jika kita
tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT berarti kita sendiri telah
menurunkan derajat diri kita sendiri dari makhluk yang terhormat menjadi
makhluk yang terkutuk seperti Syaitan sang Laknatullah.
Selanjutnya jika saat ini diri kita telah menjadi hamba Syaitan, akan tetapi
kita ingin berusaha untuk menjadi hamba ALLAH SWT, apa yang harus kita lakukan?
Lakukanlah Taubatan Nasuha saat ini juga karena kita tidak tahu kapan Ruh tiba
dikerongkongan, karena waktu tidak akan mungkin kembali lagi, karena kita tidak
tahu kapan Malaikat Izrail datang kepada kita untuk melaksanakan tugas.
Sesungguhnya
syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara
kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari
mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan
pekerjaan itu).
(surat Al Maa-idah (5) ayat 91)
Hal
lain yang harus juga kita ketahui dengan seksama adalah ALLAH SWT tidak memiliki kepentingan dengan
ibadah yang kita lakukan, karena ALLAH SWT tidak butuh dengan ibadah yang kita
lakukan. ALLAH SWT menyerahkan
sepenuhnya kepada diri kita apakah mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT,
atau tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT. Ingat,
ALLAH SWT hanya menunjukkan kepada diri kita mana jalan untuk menuju Syurga dan
mana jalan untuk menuju Neraka. Setelah pilihan jalan telah ditunjukkan oleh
ALLAH SWT maka sekarang tergantung diri kita mau kemana?
Selanjutnya
pernahkah kita membayangkan berapa jumlah Syaitan yang ada pada saat ini,
apakah jumlah syaitan lebih sedikit dari jumlah manusia ataukah jumlah syaitan
lebih banyak dari jumlah manusia? Setiap
manusia lahir maka lahir pulalah malaikat dan syaitan yang akan mengiringi
manusia. Akan tetapi setiap manusia meninggal (maksudnya berpisah Ruhani dengan
Jasmani) tidak otomatis malaikat dan syaitan ikut meninggal. Adanya kondisi ini berarti jumlah malaikat
dan syaitan lebih banyak dibandingkan
dengan jumlah manusia. Di lain sisi sebelum anak dan keturunan Nabi
Adam as, lahir ke muka bumi, Syaitan sudah mendapat persetujuan dari ALLAH SWT
untuk mengganggu, untuk menggoda, untuk menghasut seluruh anak dan keturunan
dari Nabi Adam as untuk dibawa ke Neraka Jahannam. Dan jika saat ini Syaitan menghasut, jika Syaitan
mengganggu, jika Syaitan menggoda manusia untuk tidak mau melaksanakan perintah
mendirikan SHALAT berarti Syaitan telah melaksanakan komitmen yang telah
disetujui ALLAH SWT dengan sebaik-baiknya dan juga ALLAH SWT tetap konsisten
dengan Syaitan.
Sekarang dapatkah diri kita
mengalahkan Syaitan yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah manusia seorang
diri tanpa bantuan siapapun juga? Jika kita mengacu bahwa keberadaan
Syaitan juga tidak bisa dilepaskan dari Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu ALLAH
SWT berarti hanya ALLAH SWT sajalah yang paling tahu, yang paling ahli dan yang
paling mengerti bagaimana caranya mengalahkan Syaitan. Sekarang kita ingin menang melawan Syaitan,
akan tetapi pencipta dari Syaitan itu sendiri justru kita lawan perintahnya
dengan tidak mau mematuhi apa-apa yang telah diperintahkan-Nya. Sekarang
bagaimana mungkin kita akan dibantu oleh ALLAH SWT? Jika kita termasuk orang yang telah diberi
akal sehat oleh ALLAH SWT maka kita harus melaksanakan segala apa yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT itu sendiri. Terkecuali jika kita
mampu mencari tuhan lain selain ALLAH SWT, atau mampu mendapatkan langit dan
bumi baru yang melebihi langit dan bumi yang diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH
SWT.
B.
Dijadikan sebagai Hamba Ahwa (Jiwa Fujur)
Setiap manusia tanpa terkecuali
akan mengalami apa yang dinamakan pertarungan antara Jasmani dengan Ruhani di
dalam memperebutkan Amanah 7 dan Hubbul. Adanya kondisi ini berarti akan ada
dua kondisi Jiwa manusia, yaitu Jiwa yang Fujur dan Jiwa yang Taqwa. Apa
maksudnya? Jiwa yang
Fujur adalah kondisi kejiwaan manusia dimana Amanah 7 dan Hubbul di eksploitasi
untuk kepentingan Jasmani atau manusia memperturutkan Ahwa dengan mengorbankan
Amanah 7 dan Hubbul sehingga manusia berada di dalam koridor Nilai-Nilai
Syaitani. Sedangkan Jiwa yang Taqwa adalah kondisi kejiwaan manusia dimana Amanah 7 dan Hubbul di
eksploitasi untuk kepentingan Ruhani sehingga manusia berada di dalam koridor
Nilai- Nilai Ilahiah.
Maka
datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, Maka mereka kelak akan menemui kesesatan,
(surat
Maryam (19) ayat 59)
Selanjutnya kenapa Jiwa Fujur dapat
terjadi pada diri manusia? Salah satu
penyebab dari timbulnya Jiwa Fujur atau penyebab terjadinya manusia
memperturutkan Ahwa dengan mengorbankan Amanah 7 dan Hubbul karena manusia
tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT atau manusia lebih
mementingkan kepentingan duniawi (jasmani) dibandingkan kepentingan akhirat
(ruhani). Adanya kondisi Jiwa yang Fujur yang dialami oleh manusia akibat tidak mau
melaksanakan perintah mendirikan SHALAT berarti diri kita telah menjadikan Ahwa
sebagai Tuhan pengganti selain ALLAH SWT atau kita telah menjadi Hamba Hawa
Nafsu. Jika kondisi ini sampai kita lakukan berarti kita telah membeli tiket
masuk ke Neraka Jahannam dengan sadar.
Selanjutnya
sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT seperti membutuhkan mandi, tentu kita
tidak bisa berdiam diri saja jika sudah menjadi hamba Ahwa, atau mengalami Jiwa
Fujur. Untuk itu kita harus segera memperbaiki diri dengan melakukan Taubatan
Nasuha yang dilanjutkan merubah
jiwa kita yang masuk dalam kategori Jiwa Fujur menjadi Jiwa Taqwa dengan
melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah yang tentunya kita harus bersama ALLAH SWT untuk melakukan itu semua. Disinilah letak pentingnya diri kita
mendirikan SHALAT sebab salah satu cara untuk mengembalikan Jiwa yang Fujur
menjadi Jiwa yang Taqwa adalah melalui SHALAT yang kita dirikan. Sekarang
sudahkah diri kita mendirikan SHALAT sesuai yang dikehendaki oleh pemberi
perintah mendirikan SHALAT?
C. Segala Amal Perbuatannya ditolak ALLAH SWT
Ancaman atau Resiko yang tidak
kalah penting jika kita tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang
telah ALLAH SWT tetapkan berlaku di muka
bumi ini adalah segala amal ibadah yang telah kita kerjakan dengan susah payah
saat menjadi KHALIFAH di muka bumi, ditolak mentah-mentah oleh ALLAH SWT, atau
tidak diberi penilaian sedikitpun oleh ALLAH SWT, atau meminjam istilah
Akuntansi, ALLAH SWT
memberikan penilaian Disclaimer kepada manusia yang tidak mau mendirikan SHALAT
saat hidup di muka bumi ini. Jika kondisi ini terjadi pada diri
kita berarti tiket masuk ke Neraka
Jahannam sudah kita miliki. Timbul pertanyaan baru, kenapa ALLAH SWT
sampai harus seperti itu kepada orang yang tidak mau mendirikan SHALAT?
ALLAH SWT
memberlakukan hal ini karena ibadah SHALAT merupakan satu-satunya perintah
langsung ALLAH SWT yang dilakukan di Arsy kepada Nabi MUHAMMAD SAW serta satu-satunya ibadah
yang harus dilaksanakan dalam kondisi apapun juga dan juga sebagai satu-satunya
ibadah yang tidak bisa diganti dengan ibadah apapun juga. Adanya
kondisi ini tidak berlebihan jika ibadah mendirikan SHALAT merupakan ibadah
yang pertama kali akan diperhitungkan atau ibadah yang pertama kali akan
dihisab oleh ALLAH SWT pada waktu hari berhisab kelak. Jika sudah begini
keadaannya, berarti sia-sialah segala ibadah yang kita kerjakan karena
pertanggungjawaban diri kita dapat dipastikan akan ditolak mentah-mentah atau
tidak diterima oleh ALLAH SWT.
dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka
nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan RasulNya dan
mereka tidak mengerjakan sembahyang, melainkan dengan malas dan tidak (pula)
menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan.
(surat At Taubah (9) ayat 54)
Sebagai
Makhluk yang terhormat tentu kita tidak mau kehormatan yang kita miliki
tercoreng akibat diri kita tidak mau mendirikan SHALAT. Untuk itu jika diri kita sangat berkepentingan
untuk pulang kampung ke Syurga, dikarenakan memang di sanalah kampung halaman
kita nantinya, yang dilanjutkan untuk bertemu dengan Nabi MUHAMMAD SAW dan juga
ALLAH SWT, maka tidak ada jalan lain kecuali diri kita mendirikan SHALAT sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT yaitu mendirikan SHALAT yang telah dicontohkan
oleh Nabi MUHAMMAD SAW, atau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah mulai saat
ini juga sampai dengan Ruh tiba dikerongkongan.
D.
Dijadikan sebagai penghuni Neraka
ALLAH SWT selaku
inisiator, selaku pencipta dan selaku pemilik dari kekhalifahan di muka bumi
telah mempersiapkan 2(dua) buah tempat kembali bagi para Khalifah-Nya yang di
utus ke muka bumi yaitu Syurga dan Neraka.Selanjutnya timbul pertanyaan,
bagaimana caranya baik Syurga dan Neraka itu di isi dengan cara yang
seadil-adilnya? Salah satu cara yang di tempuh ALLAH SWT
untuk mengisi Syurga dan Neraka dengan cara yang seadil-adilnya adalah ALLAH
SWT menetapkan adanya perintah mendirikan SHALAT kepada manusia lima waktu
sehari semalam. Selanjutnya
dengan adanya perintah mendirikan SHALAT, akan terjadilah apa yang dinamakan
dengan seleksi alamiah tentang siapakah yang patuh taat kepada perintah ALLAH
SWT tersebut dan siapakah yang membangkang perintah ALLAH SWT. Selanjutnya
dengan adanya seleksi alamiah ini maka akan diketahuilah siapakah yang akan
menjadi calon penghuni Syurga dan siapakah calon penghuni Neraka oleh sebab
adanya perintah mendirikan SHALAT.
Sekarang dengan adanya calon penghuni Syurga dan adanya
calon penghuni Neraka saat ini berarti di muka bumi ini ada hak hidup bagi
calon penghuni Syurga dan ada hak hidup bagi calon penghuni Neraka sehingga
diri kita tidak bisa mengklaim hanya diri kita sajalah yang bisa menjadi
penghuni Syurga, atau hanya diri kita sajalah yang bisa menjadi penghuni
Neraka. Adanya kondisi seperti ini tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk
segera menentukan sikap apakah mau menjadi penghuni Neraka Jahannam ataukah mau
menjadi penghuni Syurga dan yang pasti adalah pilihan kita hanya satu karena
tidak ada pilihan ganda.
tentang
(keadaan) orang-orang yang berdosa,
"Apakah
yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?"
mereka
menjawab: "Kami dahulu tidak Termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat,
(surat Al Muddatstsir (74) ayat 41-43)
Sebagai
KHALIFAH di muka bumi yang juga makhluk terhormat tentu kita tidak pernah
berharap sedikitpun untuk pulang kampung ke Neraka Jahannam guna hidup
bertetangga dengan Syaitan. Sekarang sudahkah diri kita memenuhi Syarat dan Ketentuan masuk Syurga jika kita
sangat berkepentingan untuk pulang kampung ke Syurga? Hal ini
penting kami kemukakan kepada khalayak karena banyak orang sangat
berkepentingan untuk pulang kampung ke Syurga, namun segala apa yang
diperbuatnya, segala tindak-tanduknya, segala apa yang dilakukannya tidak
pernah memenuhi kriteria calon penghuni Syurga, atau mau masuk Syurga tetapi
tidak mau memenuhi Syarat dan Ketentuan untuk masuk Syurga. Jika ini yang terjadi bertanyalah kepada
rumput yang bergoyang, bisakah kita masuk ke Syurga dengan mempergunakan tiket
masuk Neraka Jahannam? Jawaban dari pertanyaan ini adalah jika unta
bisa masuk ke dalam lubang jarum maka barulah ketentuan yang kami kemukakan di
atas ini bisa berlaku yaitu masuk masuk Syurga dengan mempergunakan Tiket
Neraka.
Sekarang
apakah mungkin dengan tidak mau mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak
pemberi perintah mendirikan SHALAT, atau dengan membangkang perintah ALLAH SWT
maka ALLAH SWT akan memberikan Syurga-Nya kepada orang seperti itu? Hal yang harus kita perhatikan adalah baik
Syurga maupun Neraka bukanlah barang gratisan, sebab untuk pulang kampung ke
Syurga maupun pulang kampung ke Neraka kita harus memiliki tiket masuk terlebih
dahulu. Dimana tiket itu hanya tersedia saat diri kita hidup di muka bumi ini, yang
menjadi persoalan saat ini adalah sudahkah kita memiliki tiket untuk pulang
kampung ke Syurga jika kita berkepentingan dengan Syurga ataukah memang diri
kita tidak membutuhkan Syurga sehingga saat ini kita berusaha sekuat tenaga
untuk mendapatkan tiket pulang kampung ke Neraka Jahannam guna mengarungi hidup
bertetangga dengan Syaitan?
Hamba ALLAH SWT, itulah empat buah
resiko yang akan kita hadapi jika diri kita tidak mau mendirikan SHALAT
saat menjadi KHALIFAH di muka bumi.
Selanjutnya mari kita perhatikan dengan seksama apa yang kami kemukakan di
bawah ini. Berdasarkan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, ALLAH SWT
dengan tegas mempersilahkan kepada siapapun juga yang tidak mau mematuhi hukum
atau ketentuan yang berlaku di muka bumi ini, contohnya ketentuan untuk
mendirikan SHALAT sehari semalam lima waktu, siapapun orangnya, apapun
pangkatnya, apapun jabatannya, apapun kedudukannya, apakah laki-laki ataupun
perempuan, apakah kaya ataukah miskin, dipersilahkan untuk mencari Tuhan lain selain
ALLAH SWT.
Anas ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman : barang siapa tidak rela
dengan hukum-Ku dan takdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(HQR Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath
Thabarani dan Ibnu Hibban dari Ibi Hind, Albaihaqi dan Ibnu Najjar).
Adanya
kondisi ini berarti jika kita tidak mau mendirikan SHALAT di muka bumi yang
diciptakan dan dimiliki oleh ALLAH SWT, kita dipersilahkan untuk keluar dari
muka bumi ini untuk mencari bumi lain yang diciptakan oleh selain ALLAH SWT.
Sekarang adakah bumi lain selain bumi ALLAH SWT atau adakah Tuhan lain selain
ALLAH SWT yang mampu menciptakan langit dan bumi beserta isinya seperti yang
diciptakan oleh ALLAH SWT? Jika jawaban dari pertanyaan ini tidak ada,
apakah hal ini tidak cukup bagi diri kita untuk mematuhi, untuk melaksanakan
segala hukum, untuk mematuhi segala ketentuan ALLAH SWT yang berlaku di muka
bumi dengan sebaik mungkin. Selain daripada itu semua, masih ada beberapa
resiko lainnya yang juga harus kita tanggung jika kita tidak mau melaksanakan
perintah mendirikan SHALAT yang telah ditetapkan ALLAH SWT berlaku di muka bumi
ini, yaitu :
1.
Hidup Dalam Kerugian
Berdasarkan
surat Al Maa'uun (107) ayat 1 sampai dengan 7 yang kami kemukakan dibawah ini
dikemukakan bahwa orang yang tidak mau
mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT,
saat mereka hidup di dunia maka hidupnya akan selalu di dalam kerugian atau
akan selalu dirundung kesusahan sehingga tiada hari tanpa keluh kesah.
tahukah kamu
(orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang
yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai
dari shalatnya,
orang-orang
yang berbuat riya[1603],
dan enggan
(menolong dengan) barang berguna[1604].
(surat
Al Maa'uun (107) ayat 1-7)
[1603] Riya ialah melakukan sesuatu amal perbuatan
tidak untuk mencari keridhaan Allah akan tetapi untuk mencari pujian atau
kemasyhuran di masyarakat.
[1604] Sebagian mufassirin mengartikan: enggan
membayar zakat.
Selanjutnya
masih ada hal lainnya yang sering terjadi pada orang yang tidak mau mendirikan
SHALAT yaitu ketenangan bathin tidak pernah di rasakan dikarenakan hidupnya
selalu dikejar-kejar pekerjaan, dihantui perasaan takut yang berkepanjangan.
Jika ini yang terjadi maka yang paling senang adalah Syaitan sang Laknatullah
karena teman untuk pulang kampung sudah ia dapatkan.
2. Kalau Mati Tidak
di-shalatkan
Berdasarkan surat At Taubah (9)
ayat 84 yang kami kemukakan di bawah ini dikemukakan bahwa ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan
SHALAT melarang kepada orang yang mendirikan SHALAT untuk menshalati orang yang
tidak mau mendirikan SHALAT jika ia meninggal dunia, padahal menshalati orang
yang meninggal adalah Fardhu Kifayah. Selain daripada itu ALLAH SWT juga
melarang orang yang mendirikan SHALAT untuk mendoakan orang yang tidak mau
mendirikan SHALAT di kuburnya pada saat ia meninggal dunia. Sekarang timbul pertanyaan, apakah ketentuan
yang ada pada surat At Taubah (9) ayat 84 di bawah ini masih berlaku sampai
saat ini? Sepanjang Al-Qur;an itu adalah Kalam
ALLAH SWT berarti sampai dengan hari kiamat ketentuan yang ada pada
surat At Taubah (9) ayat 84 akan tetap berlaku.
dan janganlah
kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka,
dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir
kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam Keadaan fasik.
(surat At Taubah (9) ayat 84)
Nabi SAW
bersabda dalam meriwayatkan hadits qudsi: Allah telah mewahyukan kepadaku
beberapa kalimat yang langsung masuk ke dalam telingaku dan terpateri di dalam
sanubariku: "Aku diperintahkan untuk tidak boleh memohonkan ampunan bagi
orang yang mati dalam keadaan musyrik, Dan barangsiapa yang memberikan
kelebihan hartanya, perbuatan itu merupakan kebajikan baginya dan barangsiapa
yang kikir, maka kekikiran itu membinasakan dirinya. Dan Allah tidak akan
mencela orang yang kehidupannya hanya cukup memenuhi keperluannya.
(HQR Ibnu Jarir dari Qatadah sebagai
Hadits Mursal)
Selanjutnya
jika yang tidak boleh dishalatkan itu setelah meninggal dunia adalah diri kita
atau yang tidak boleh di doakan itu adalah diri kita, betapa malangnya nasib
diri kita dari makhluk yang terhormat jatuh tapai menjadi makhluk yang
dilaknat. Pilihan selanjutnya ada pada diri kita sendiri, yaitu apakah mau
mendirikan SHALAT, ataukah tidak mau mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi
ini dengan baik dan benar.
3. Tidak boleh jadi pemimpin
Berdasarkan surat Al Anbiyaa (21)
ayat 73 yang kami kemukakan di bawah ini dikemukakan bahwa salah satu syarat yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin adalah orang yang mampu mendirikan SHALAT sesuai dengan
kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Selanjutnya jika SHALAT
dijadikan alat penilaian kepada seorang pemimpin maka pemimpin yang layak kita
pilih adalah pemimpin yang mampu melaksanakan SHALAT tingkat ke lima. Yang menjadi persoalan saat ini adalah masih
adakah pemimpin atau calon pemimpin yang sanggup mendirikan SHALAT tingkat ke
lima saat ini? Jika saat ini anda seorang pemimpin, atau calon
pemimpin, apa yang harus anda perbuat dengan adanya wahyu ALLAH SWT yang
mensyaratkan pemimpin, atau calon pemimpin harus mampu mendirikan SHALAT sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT?
Jika anda
adalah pemimpin, atau calon pemimpin yang telah tahu diri, tahu siapa diri
sendiri dan tahu siapa ALLAH SWT sebenarnya, maka apa yang sudah menjadi
ketentuan ALLAH SWT berlaku di muka bumi ini, harus anda laksanakan dengan
sebaik-baiknya sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, terkecuali
jika anda ingin dimasukkan sebagai pemimpin, atau calon pemimpin yang tidak
tahu diri, atau ingin menjadi pemimpin, atau calon pemimpin yang dikehendaki
Syaitan sang laknatullah. Selain daripada itu, adanya ketentuan yang
berlaku bagi pemimpin atau bagi calon pemimpin yang telah ditetapkan oleh ALLAH
SWT dalam surat Al Anbiyaa (21) ayat 73 maka menjadi sebuah keharusan bagi diri
kita jika ingin memilih seorang pemimpin harus mempergunakan ketentuan ini,
dalam rangka menilai pemimpin tersebut.
Kami telah
menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah
Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,
(surat
Al Anbiyaa' (21) ayat 73)
Selanjutnya Nabi Muhammad SAW juga
pernah menentukan seorang pemimpin untuk suatu daerah tertentu dengan
mempergunakan SHALAT sebagai salah satu acuan dasar di dalam memberikan penilaian kelayakan
seorang pemimpin. Timbul pertanyaan, ada
rahasia apakah dibalik ketentuan memilih seorang pemimpin dengan
mempergunakan SHALAT? Seorang pemimpin baru bisa dinilai memiliki kepemimpinan
yang baik melalui SHALAT jika pemimpin tersebut telah mampu mendirikan SHALAT
tingkat ke lima dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan jika seorang
pemimpin mampu mendirikan SHALAT tingkat ke lima, berarti :
a. Pemimpin
itu telah mampu menundukkan dirinya sendiri (dalam hal ini menundukkan
sifat-sifat alamiah jasmani) sehingga ia mampu menjadikan Ruhaninya sebagai
jati dirinya yang sebenarnya.
b. Pemimpin
itu telah memiliki kejujuran baik kepada diri sendiri maupun kepada ALLAH SWT.
c. Pemimpin
itu telah memiliki kedisiplinan di dalam mengatur waktu.
d. Pemimpin
itu telah mampu menempatkan ALLAH SWT sesuai dengan kemahaan dan kebesaran yang
dimiliki-Nya serta mampu menempatkan sebagai penolong bagi dirinya saat
melaksanakan kepemimpinan.
Selanjutnya jika apa-apa yang kami
kemukakan di atas ini ada pada diri seorang pemimpin, maka kepemimpinan yang
diamanatkan kepada pemimpin yang seperti ini maka hasil dari kepemimpinan yang
dilakukannya dapat dipastikan selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai
Kebaikan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Sekarang
ketentuan ALLAH SWT tentang syarat untuk menjadi pemimpin sudah berlaku sampai
hari kiamat, lalu mampukah diri kita yang juga seorang pemimpin bagi keluarga
menerapkan atau menjadikan SHALAT sebagai salah satu kriteria untuk menilai
kepemimpinan yang kita lakukan saat ini? Sebagai KHALIFAH yang tidak lain
adalah juga seorang pemimpin maka apa yang menjadi ketentuan ALLAH SWT harus
dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya sebagai KHALIFAH di
muka bumi yang sangat membutuhkan SHALAT, tentu kita harus dapat mendirikan
SHALAT sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT dengan
baik dan benar. Akan
tetapi jika saat ini kita belum juga mau mendirikan SHALAT yang sudah
ditetapkan berlaku di muka bumi ini, tolong pikirkan resiko yang akan kita peroleh jika tidak mau
mendirikan SHALAT, atau tolong pikirkan pula kemampuan diri kita untuk menahan
panasnya api Neraka Jahannam yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali panasnya dari
api dunia jika tidak mau mendirikan SHALAT? Jika diri kita tidak memiliki kemampuan untuk menahan rasa sakitnya api
Neraka Jahannam saat membakar diri kita, atau tidak memiliki kemampuan untuk
mengalahkan Ahwa dan Syaitan seorang diri, atau kita tidak mampu mencari tuhan
lain selain ALLAH SWT yang mampu menciptakan langit dan bumi seperti yang
diciptakan ALLAH SW, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk sekarang
juga melakukan Taubatan Nasuha yang dilanjutkan dengan melaksanakan Diinul
Islam secara Kaffah.
Hamba Allah swt, apa yang kami
kemukakan di atas, bisa tidak berlaku jika kita mampu mendapatkan tuhan baru
selain ALLAH SWT yang memiliki hukum, ketentuan, peraturan, undang-undang yang
berbeda dengan hukum, ketentuan, peraturan, undang-undang ALLAH SWT selaku
pencipta dan pemilik dari langit dan bumi ini. Harapan kami sebagai penulis buku ini, silahkan anda mencarinya dan
jika anda dapat memperolehnya maka berbahagialah dengan tuhan baru selain ALLAH
SWT tersebut sehingga anda terbebas dari kewajiban untuk melaksanakan perintah
mendirikan SHALAT, atau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah. Selanjutnya
ada hal lain yang harus kita perhatikan
dengan seksama tentang ancaman ALLAH SWT kepada orang yang tidak mau mendirikan
SHALAT, yaitu ancaman ALLAH SWT bukanlah isapan jempol belaka, ancaman ALLAH
SWT bukanlah ancaman yang bersifat main-main, semuanya pasti akan ditimpakan
tanpa pandang bulu, termasuk kepada diri kita jika tidak mau mendirikan SHALAT
yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Sekarang
masih beranikah diri kita tidak
mendirikan SHALAT saat hidup di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan
tidak pernah pula kita miliki? Jawaban dari pertanyaan ini terpulang kepada
diri kita sendiri, apalah mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAT atau
tidak mau melaksanakan perintah mendirikan SHALAt dan yang pasti adalah ALLAH
SWT tidak pernah membutuhkan SHALAT yang didirikan oleh manusia, akan tetapi
manusialah yang membutuhkan SHALAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar