Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 05 April 2016

SHALAT YANG DIKEHENDAKI ALLAH SWT - part 1 of 3



Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya

Perintah mendirikan SHALAT bukanlah perintah yang bersifat asal-asalan yang diperintahkan ALLAH SWT kepada umat manusia. Perintah mendirikan SHALAT sebagai satu-satunya perintah langsung yang diperintahkan ALLAH SWT di Arsy kepada Nabi Muhammad SAW bukanlah tujuan akhir dari mendirikan SHALAT. Akan tetapi perintah mendirikan SHALAT adalah sarana bagi diri kita, alat bantu bagi diri kita, untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan yang mendasar, apakah ALLAH SWT hanya sebagai pemberi perintah mendirikan SHALAT semata kepada seluruh umat manusia, ataukah ada sesuatu yang lain? 

ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT bukan hanya sekedar pemberi perintah mendirikan SHALAT, akan tetapi ALLAH SWT juga Penilai dari SHALAT yang telah didirikan oleh manusia, yaitu apakah SHALAT sudah dilaksanakan sesuai dengan yang kehendaki-Nya atau belum. Adanya kondisi ini berarti ALLAH SWT juga sebagai penentu hasil akhir dari SHALAT yang telah diperintahkannya kepada manusia, atau dengan kata lain ALLAH SWT adalah pemberi dan penentu apa yang akan diterima oleh manusia setelah manusia mampu mendirikan SHALAT yang sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya. 

Adanya ketiga hal yang ada pada ALLAH SWT (maksudnya adalah ALLAH SWT adalah pemberi perintah SHALAT, ALLAH SWT adalah penilai perintah SHALAT, ALLAH SWT adalah penentu hasil akhir dari perintah SHALAT) berarti perintah mendirikan SHALAT yang berasal dari  ALLAH SWT tidak bisa dilaksanakan, tidak bisa dikerjakan, tidak bisa didirikan, dengan seenaknya saja, asal sudah dikerjakan, asal sudah didirikan maka selesai sudah perintah ALLAH SWT kita laksanakan.


Selanjutnya agar diri kita mampu mendirikan SHALAT yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT maka kita harus dapat mengetahui dengan pasti seperti apakah perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan, seperti apakah perintah mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT itu? Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari di bawah ini, SHALAT yang kita dirikan haruslah SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW sebagai utusan khusus yang terakhir  ALLAH SWT di muka bumi.


Shalluu kamaa ra aitumuunii ushalli
Shalatlah sebagaimana kalian melihatku Shalat.
(HR Bukhari dari Malik)


Sekarang SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW sudah berlaku di muka bumi sampai dengan hari kiamat kelak. Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan SHALAT seperti membutuhkan mandi, tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk mendirikan SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW jika kita ingin melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT, selaku penilai dari perintah mendirikan SHALAT dan selaku penentu hasil akhir dari perintah mendirikan SHALAT. Selanjutnya akan kami kemukakan apa yang seharusnya kita lakukan saat mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang tentunya melalui apa yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW, yaitu :
 

1.     SHALAT harus dilandasi dengan NIAT yang IKHLAS karena ALLAH SWT

Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara umum, untuk dapat melaksanakan sesuatu, harus dimulai dari adanya kehendak (Iradat) yang keluar dari Hati Ruhani, yang dilanjutkan dengan adanya dukungan kemampuan (Qudrat) serta Ilmu untuk mewujudkan apa-apa yang akan dilaksanakan. Adanya ketentuan ini berarti untuk dapat melaksanakan sesuatu dengan baik dan benar, atau untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan benar maka kehendak tidak bisa berdiri sendiri, namun kehendak harus ditunjang oleh kemampuan dan ilmu sehingga ketiga hal ini harus ada di dalam satu kesatuan.


Sekarang apakah ketentuan ini berlaku juga saat diri kita hendak melaksanakan perintah ALLAH SWT? Untuk dapat melaksanakan perintah ALLAH SWT dengan baik dan benar maka ketentuan umum yang kami kemukakan di atas,  dapat pula diaplikasikan saat diri kita melaksanakan perintah  ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan untuk dapat melaksanakan perintah ALLAH SWT maka hal yang pertama harus ada di dalam diri adalah Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani untuk melaksanakan apa yang diperintahkan  ALLAH SWT. Lalu Kehendak tersebut harus ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai jika kita berharap memperoleh hasil yang maksimal. 

Adanya hal ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Kehendak (walaupun telah keluar dari dalam Hati Ruhani) tidak akan dapat menghantarkan diri kita untuk melaksanakan apa yang diperintahkan ALLAH SWT dengan baik dan benar, jika kehendak tersebut tidak ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai. Atau dengan kata lain Kehendak yang telah keluar dari dalam Hati Ruhani harus terpadu dalam satu kesatuan dengan Kemampuan dan Ilmu jika kita ingin sukses melaksanakan apa-apa  yang diperintahkan ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki kehendak seperti yang kami kemukakan di atas, saat diri kita melaksanakan apa-apa yang diperintahkan ALLAH SWT? Mudah-Mudahan kita semua mampu memiliki dan mampu melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.  


Selanjutnya timbul pertanyaan baru, kenapa Kehendak harus ditunjang dengan Kemampuan dan Ilmu secara terpadu sebelum diri kita mendirikan SHALAT? Adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan serta Ilmu saat diri kita mendirikan SHALAT berarti di dalam diri telah terjadi apa yang dinamakan dengan kebulatan tekad untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT. Sekarang apa yang sebenarnya terjadi dengan adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang menghasilkan kebulatan tekad itu? Seperti kita ketahui bersama bahwa Kehendak, Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki asalnya dari ALLAH SWT (Kehendak, Kemampuan serta Ilmu adalah Sifat ALLAH SWT). 

Lalu dengan diri kita melaksanakan apa yang diperintahkan ALLAH SWT berarti kita sedang melaksanakan Sinergi, yaitu mensinergikan Kehendak, Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki dengan Pemilik, Pencipta dari Kehendak, Kemampuan dan Ilmu itu sendiri, dalam hal ini ALLAH SWT. Adanya proses sinergi yang kita lakukan  maka tersambunglah apa-apa yang telah ALLAH SWT berikan kepada diri kita dengan ALLAH SWT selaku pemilik, pencipta itu semua serta pemberi perintah SHALAT (maksudnya bukan tersambung dengan Dzat ALLAH SWT, akan tetapi tersambung dengan Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT).


Sekarang mari kita hubungkan antara ketentuan di atas, dengan apa yang dikemukakan di dalam Hadits Qudsi di bawah ini. Hadits di bawah ini menerangkan ALLAH SWT baru akan menemui diri kita jika kita mau menemui ALLAH SWT, demikian pula sebaliknya jika kita tidak mau menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWTpun tidak akan mau menemui diri kita.


Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR Al Bukhari, Malik, Annasa'ie dari Abu Hurairah;272-17)


Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa untuk mencapai sebuah kesesuaian dengan ALLAH SWT tidak ada jalan lain kecuali diri kita menyesuaikan apa-apa yang ada pada diri kita (dalam hal ini Kehendak, Kemampuan serta Ilmu) dengan ALLAH SWT selaku pencipta, pemilik dari Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang kita miliki. Setelah hal ini mampu kita lakukan maka modal awal atau jalan untuk mendirikan SHALAT secara Khusyu' sudah kita miliki.


Sekarang ada istilah Niat, lalu dimanakah letaknya Niat itu di dalam diri kita? Niat tidak bisa dilepaskan dengan adanya Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani, yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu. Hal ini dikarenakan Niat itu sendiri merupakan hasil akhir dari proses yang keluar dari Kehendak yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu dalam rangka untuk melaksanakan sesuatu, dalam hal ini adalah melaksanakan perintah ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti Niat dapat dikatakan sebagai kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita, tanpa ada paksaan dari siapapun juga sehingga terjadilah kekompakan di dalam diri kita saat melaksanakan perintah mendirikan SHALAT. Apa maksudnya? Adanya Niat untuk mendirikan SHALAT berarti kita melakukan upaya untuk mensatupadukan, atau upaya untuk mengkompakkan seluruh komponen yang ada di dalam diri kita (dalam hal ini Ruh dan Amanah 7) untuk dihadapkan kepada  ALLAH SWT, atau mensinergikan Ruh dan Amanah 7 yang kita miliki dengan Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT.


Selanjutnya jika Kehendak yang didukung Kemampuan dan Ilmu keluar dari dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus pula keluar dari Hati Ruhani. Sekarang setelah diri kita memiliki kebulatan tekad tanpa ada paksaan siapapun, untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT, lalu seperti apakah Niat yang baik itu?


Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku tidak menerima sesuatu amal, kecuali amal yang diniatkan untuk-Ku.
(HQR Al Bukhari, 272:167)


Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas, Niat baru dapat dikatakan sebuah Niat yang tulus maka Niat itu hanya diniatkan untuk ALLAH SWT semata. Apa maksudnya? Contohnya, jika kita berniat untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang berasal dari ALLAH SWT maka kita harus meniatkan SHALAT yang kita dirikan hanya untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT semata. Tanpa ada maksud dan tujuan lain yang menyertai niat kita, sehingga yang ada dalam diri kita hanyalah tulus dan ikhlas dalam melaksanakan perintah ALLAH SWT semata. Sekarang bagaimana jika Niat untuk mendirikan SHALAT yang ada di dalam diri bukan keluar dari dalam Hati Ruhani namun keluarnya dari dalam mulut?


Sepanjang Kehendak yang diberikan ALLAH SWT diletakkan di dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus keluar pula dari Hati Ruhani. Dan jika sekarang Niat untuk mendirikan SHALAT keluarnya dari mulut berarti ada sesuatu yang salah di dalam kehendak yang kita miliki. Hal ini dikarenakan yang ada di dalam mulut kita bukanlah kehendak melainkan Kalam, yang berasal juga dari  ALLAH SWT. Untuk itu jika saat ini kita berniat untuk mendirikan SHALAT, tetapi niat mendirikan SHALAT  keluar dari mulut berarti yang berniat untuk mendirikan SHALAT adalah Kalam (disinilah terjadi ketidaksesuaian antara diri kita dengan ALLAH SWT selaku pemberi perintah SHALAT). Selanjutnya jika ini yang kita lakukan berarti kesesuaian antara diri kita dengan ALLAH SWT tidak dapat terjadi karena Niat yang keluar dari Kalam tidak bisa disinergikan dengan Iradat ALLAH SWT karena Kalam hanya bisa disinergikan dengan Kalam pula.


Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan SHALAT tentu kita harus berniat terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT, untuk itu maka lakukanlah niat yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya yaitu jika kehendak asalnya diletakkan di dalam Hati Ruhani maka niat yang tidak lain hasil dari proses Kehendak, Kemampuan dan Ilmu, harus pula keluar dari Hati Ruhani. Sekarang pilihan dari Niat ada pada diri kita sendiri, apakah mau yang keluar dari Hati Ruhani ataukah yang keluar dari Mulut?      


Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya.
(HR Bukhari, Muslim)


Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan perbuatan kalian.
(HR Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)


Sekarang mari kita perhatikan 2(dua) buah hadits yang kami kemukakan di atas ini, ALLAH SWT memberikan penilaian kepada seseorang sangat tergantung kepada apa yang diniatkan oleh seseorang saat melakukan sesuatu tindakan (katakan di dalam melaksanakan perintah mendirikan SHALAT). Adanya kondisi ini ALLAH SWT tidak pernah menjadikan fisik (penampilan) seseorang dan harta seseorang sebagai acuan dasar untuk menilai keberhasilan seseorang melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya. Lalu atas dasar apakah ALLAH SWT menilai seseorang?  ALLAH SWT memiliki ketentuan sendiri di dalam menilai keberhasilan seseorang yaitu dengan mempergunakan kriteria seberapa ikhlas seseorang melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya, atau seberapa tinggi kualitas Niat yang ikhlas yang keluar dari Hati Ruhani seseorang melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepadanya.


Adanya kondisi ini menunjukkan kepada kita bahwa Niat yang Ikhlas sangat memegang peranan penting di dalam setiap melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi berarti pada saat ini kita harus memiliki dan menunjukkan Niat yang Ikhlas kepada ALLAH SWT di dalam melaksanakan segala apa-apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT kepada diri kita. Timbul pertanyaan apakah itu Ikhlas atau apa itu Niat yang Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa arti dari Ikhlas itu sendiri, yaitu :  


1.   Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 80 di bawah ini, Ikhlas artinya Rahasia. Apa maksudnya? Ikhlas adalah suatu Rahasia yang terdapat di dalam diri kita sehingga orang lain tidak tahu apa yang akan kita perbuat dan kitapun tidak hendak memberi tahu tentang apa yang kita perbuat. Adanya kondisi ini berarti Niat yang Ikhlas adalah Rahasia yang tersembunyi di dalam Hati Ruhani diri kita sehingga yang tahu hanya diri kita dan ALLAH SWT semata.


Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf[761] mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya".
(surat Yusuf (12) ayat 80)

[761] Yakni putusan Yusuf yang menolak permintaan mereka untuk menukar Bunyamin dengan saudaranya yang lain.


Selanjutnya dengan adanya Rahasia yang hanya diketahui oleh diri kita dan ALLAH SWT semata, berarti apa yang kita lakukan bukanlah untuk dipamerkan kepada orang lain, atau riya, atau karena ingin dianggap mampu, atau karena ingin dianggap alim. 


2.   Berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 3 di bawah ini, Ikhlas artinya suci dan murni atau tidak ada campuran atau tidak ada pengaruh darimanapun, dari apapun serta dari siapapun juga kecuali dari ALLAH SWT semata.



Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
(surat Az Zumar (39) ayat 3)


Adanya kondisi ini berarti Niat yang Ikhlas adalah suatu keadaan dimana apa yang kita niatkan adalah sesuatu yang suci, yang murni, yang bukan karena bujukan, yang bukan karena hasutan, yang bukan karena ajakan dari orang lain apalagi karena keterpaksaan, untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT sehingga yang ada pada diri kita saat melaksanakan apa yang diperintahkan ALLAH SWT hanyalah ikhlas karena ALLAH SWT semata. 



3.   Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 64 di bawah ini, Ikhlas artinya dekat, akrab, dengan ALLAH SWT. Apa maksudnya? Adanya niat yang ikhlas untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan perintah ALLAH SWT terjadi suatu hubungan yang sangat dekat antara diri kita yang diperintahkan mendirikan SHALAT dengan ALLAH SWT yang memerintahkan mendirikan SHALAT. Kenapa hal ini bisa terjadi? 

dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
(surat Yusuf (12) ayat 54)


Terjadinya kedekatan antara diri kita dengan ALLAH SWT karena apa yang kita lakukan merupakan rahasia antara diri kita dengan ALLAH SWT. Sehingga dengan adanya kerahasiaan ini akan menumbuhkan suatu kedekatan antara diri kita dengan ALLAH SWT. 


4.   Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 24 dibawah ini, Ikhlas artinya  suci dari segala kekotoran dan kejahatan. Apa maksudnya? Suatu Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan itu semua yang ada hanyalah kesucian dan kemurnian untuk melaksanakan dan memperoleh apa-apa yang ada di balik perintah ALLAH SWT.


Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
(surat Yusuf (12) ayat 24)

 [750] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.


Hal ini dimungkinkan karena setiap apa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT pasti untuk kepentingan diri kita sendiri (untuk kepentingan yang menerima dan menjalankan perintah) sehingga di balik perintah ALLAH SWT tidak akan pernah ada kekotoran apalagi kejahatan yang akan menimpa diri kita sepanjang perintah ALLAH SWT mampu kita laksanakan dengan baik dan benar. 


5.   Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 94 di bawah ini, Ikhlas artinya khusus tertentu. Apa maksudnya? Niat yang Ikhlas di dalam melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berarti kita melaksanakan sesuatu yang bersifat khusus tertentu, dalam hal ini untuk kepentingan diri kita sendiri yang dilandasi karena ALLAH SWT semata.


Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah[75] kematian(mu), jika kamu memang benar.
(surat Al Baqarah (2) ayat 94)

[75] Maksudnya: mintalah agar kamu dimatikan sekarang juga.


Contohnya, jika kita ikhlas mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berarti SHALAT yang kita dirikan merupakan SHALAT yang bersifat Khusus tertentu yaitu untuk kepentingan diri kita semata sehingga orang lain tidak akan mungkin memperoleh hasil dari SHALAT yang kita dirikan. 


6.   Berdasarkan surat Ash Shaaffat (37) ayat 160-161 di bawah ini,  Ikhlas artinya suci daripada selain ALLAH SWT. Apa maksudnya? Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan perintah ALLAH SWT berarti saat diri kita melaksanakan perintah tidak ada pengaruh lain dari selain ALLAH SWT atau kita tidak pernah melaksanakan perintah karena selain ALLAH SWT.    

kecuali hamba-hamba Allah[1292] yang dibersihkan dari (dosa).
Maka Sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu,
(surat Ash Shaaffat (37) ayat 160-161)

[1292] Yang dimaksud hamba Allah di sini ialah golongan jin yang beriman.


Selanjutnya jika kita melaksanakan perintah karena ada tujuan lain, atau karena ada perintah dari yang lain, atau karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain di luar apa yang akan didapat  dari ALLAH SWT maka Niat yang Ikhlas belum kita lakukan.


Hamba ALLAH SWT, itulah enam buah arti dari Niat yang Ikhlas,  yang harus kita ketahui, yang harus kita laksanakan, yang harus kita tunjukkan kepada ALLAH SWT dengan sebaik mungkin, jika kita ingin merasakan secara langsung apa yang dinamakan dengan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.  


Sekarang, apakah Niat yang Ikhlas hanya sebatas dipergunakan saat mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT saja, ataukah di dalam setiap perbuatan  serta  dalam keadaan apa dan kepada siapakah kita harus ikhlas? Niat yang Ikhlas tidak hanya dipergunakan saat diri kita mendirikan SHALAT saja, akan tetapi Niat yang Ikhlas harus dipergunakan di saat diri kita melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi. Apa dasarnya dan pada saat apa sajakah kita harus Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan hal dimaksud, yaitu:      


1.   Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 146 di bawah ini, Niat yang Ikhlas harus juga dilaksanakan pada saat diri kita berpegang teguh kepada Agama ALLAH SWT, atau saat melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah.


kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
(surat An Nisaa' (4) ayat 146)

[369] Mengadakan perbaikan berarti berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan.


2.      Berdasarkan surat Al Mu’min (40) ayat 65 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita lakukan di saat berdoa kepada ALLAH SWT dan juga di saat beribadah kepada ALLAH SWT.


Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
(surat Al Mu'min (40) ayat 65)


Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat Al A'raaf (7) ayat 29)


Sedangkan berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 29 di atas, Niat yang Ikhlas harus pula dilaksanakan pada saat diri kita menjalankan, atau memutuskan suatu perkara dengan seadil-adilnya, Niat yang Ikhlas wajib dilaksanakan saat menjalankan keadilan.


3.   Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita laksanakan pada saat diri kita mengabdi dan beribadah hanya kepada ALLAH SWT.


Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
(surat Al Bayyinah (98) ayat 5)

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.


4.   Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 139 dan surat Al Mu’min (40) ayat 14 di bawah ini, Niat yang Ikhlas tidak boleh diperuntukkan kepada selain ALLAH SWT, atau Niat yang Ikhlas wajib diperuntukkan hanya untuk ALLAH SWT semata.


Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
(surat Al Baqarah (2) ayat 139)


Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).
(surat Al Mu'min (40) ayat 14)


Selanjutnya dapatkah Niat yang Ikhlas selalu terpelihara di dalam Hati Ruhani jika ada Ahwa dan Syaitan yang akan selalu mengganggu diri kita? Adanya pengaruh Ahwa dan Syaitan kepada diri kita, akan mengakibatkan Niat yang Ikhlas di dalam diri menjadi tidak beraturan kualitasnya, atau bahkan bisa menurunkan kualitas Niat yang Ikhlas. Untuk itu jika kita berkeinginan untuk selalu menjaga Niat yang Ikhlas di setiap perbuatan, atau di setiap ibadah yang kita lakukan maka Niat yang Ikhlas yang ada di dalam diri kita jangan dibiarkan seorang diri, akan tetapi Niat yang Ikhlas harus ditunjang dengan, yaitu :

a.       Jangan pernah ragu dalam beramal shaleh atau di saat berbuat kebaikan.
b.      Memelihara Amanah 7 yang  berasal dari ALLAH SWT sesuai dengan kehendak-Nya.
c.       Syahadat yang telah kita laksanakan.
d.      Ingat, ALLAH SWT akan selalu menjaga kita.
e.       Ingat, ALLAH SWT mengetahui setiap pekerjaan kita.
f.       Ingat, ALLAH SWT selalu melihat dan menyaksikan diri kita.
g.       Ingat, bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya
h.      Ingat, segala apa yang tersembunyi dalam hati diketahui oleh ALLAH SWT
i.        Ingat, kita akan menuai apa-apa yang pernah kita kerjakan

Selanjutnya adakah ganjaran yang akan diberikan oleh ALLAH SWT kepada orang yang memiliki Niat yang Ikhlas? Jika kita termasuk orang yang mampu memiliki Niat yang Ikhlas yang kemudian ditujukan hanya kepada ALLAH SWT, maka ALLAH SWT akan memberikan kepada kita, yaitu : 


1.   Berdasarkan surat Maryam (19) ayat 31 di bawah ini, kita akan dijadikan oleh ALLAH SWT sebagai hamba-hamba pilihan  ALLAH SWT, atau hamba yang selalu diberkati dimana saja ia berada.


dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
(surat Maryam (19) ayat 31)


2.   Selamat dari gangguan Syaitan sang Laknatullah, atau selalu dilindungi oleh ALLAH SWT dari gangguan Syaitan.


3.   Berdasarkan surat Ash Shaaffat (37) ayat 38-41 di bawah ini, kita akan diselamatkan dari azab yang pedih dan diberi kehidupan yang mulia

Sesungguhnya kamu pasti akan merasakan azab yang pedih.
dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan,
tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
mereka itu memperoleh rezki yang tertentu,
(surat Ash Shaaffat (37) ayat 38-41)


Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, sudahkah Niat yang Ikhlas kita miliki saat melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita? Harapan kami setelah kita semua membaca buku ini, kita mampu memiliki Niat yang Ikhlas di setiap apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT kepada diri kita sehingga dengan itu semua mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau dapat menghantarkan diri kita untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat di tempat yang Terhormat dengan cara terhormat dan dalam suasana yang saling hormat menghormati.


2. Samakan Kondisi Jasmani dan Ruhani diri kita dengan kondisi ALLAH SWT melalui THAHARAH.


Kondisi dasar lainnya yang harus kita miliki agar SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan Kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT adalah seberapa jauh tingkat kebersihan diri kita sewaktu akan mendirikan SHALAT, atau seberapa jauh kesesuaian antara diri kita dengan tingkat kesucian ALLAH SWT. Apa maksudnya? Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan di bawah ini dikemukakan tentang beberapa syarat yang harus kita penuhi sebelum memasuki masjid, atau sebelum mendirikan SHALAT, yaitu hati yang bersih, lidah yang benar, tangan yang suci serta kemaluan yang bersih. Selain daripada itu ALLAH SWT tidak memperkenankan diri kita untuk memasuki masjid, atau tidak memperkenankan diri kita mendirikan SHALAT jika kita masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sebelum diri kita melunasi barang aniayaan itu kepada yang berhak. Timbul pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan kondisi ini, sehingga ALLAH SWT sampai harus menetapkan hal ini dengan tegas sebelum diri kita mendirikan SHALAT?


Sabda Nabi dalam menceritakan firman Allah: Allah telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu, agar mereka jangan memasuki satu rumahpun dari rumah-rumah-Ku (masjid), kecuali dengan hati bersih, lidah yang benar, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki salah satu rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tidak memberi rahmat, selama ia berdiri di hadapan-Ku melakukan shalat, sampai ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya. Apabila ia telah mengembalikannya, Aku akan jadi alat pendengarannya yang dengan itu ia mendengar, dan Aku akan menjadi penglihatannya yang dengan itu ia memandang, dan ia akan menjadi salah seorang wali dan orang pilihan-Ku dan akan menjadi tetangga-Ku bersama para Nabi, para shiddikin dan para syuhada yang ditempatkan di dalam syurga.
(HQR Abu Na'im, Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir yang bersumber dari Hudzaifah)


Ada beberapa alasan kenapa ALLAH SWT sampai harus menetapkan kondisi dasar manusia sebelum mendirikan SHALAT, atau sebelum memasuki masjid, yaitu :

1.      Hati yang Bersih merupakan syarat utama untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, hal ini dikarenakan ALLAH SWT hanya bisa dijangkau oleh Hati yang Mukmin.


2.      ALLAH SWT adalah Dzat yang Maha Suci, sekarang bagaimana mungkin kita akan berhubungan, menghadap, berkomunikasi dengan yang Maha Suci dengan baik dan benar jika lidah, tangan dan kemaluan diri kita sendiri masih dalam keadaan kotor.

 
3.      Adanya barang aniayaan milik orang lain yang masih belum kita lunasi, atau belum kita kembalikan kepada yang empunya, atau adanya barang aniayaan yang masih melekat di dalam harta kita berarti saat diri kita menghadap, atau berhubungan, atau saat berkomunikasi dengan ALLAH SWT berarti kondisi harta yang kita miliki, atau sesuatu yang kita miliki belum seluruhnya dalam keadaan bersih, atau masih dalam keadaan kotor sedangkan ALLAH SWT adalah Dzat yang Maha Suci. Adanya perbedaan kondisi ini akan menghambat diri kita untuk bersinergi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan. 



Selanjutnya setelah diri kita mampu membersihkan hati, membersihkan lidah, membersihkan tangan, membersihkan kemaluan serta membersihkan harta maka terjadilah apa yang dinamakan kesesuaian kondisi antara diri kita dengan ALLAH SWT. Apa maksudnya? ALLAH SWT adalah Maha Suci maka kitapun harus suci terlebih dahulu sebelum menghadap yang Maha Suci. ALLAH SWT adalah Maha Terpuji, maka kitapun harus terpuji dahulu sebelum menghadap yang Maha Terpuji. ALLAH SWT adalah Maha Mulia, maka kitapun harus  Mulia juga sebelum menghadap yang Maha Mulia. Adanya kesamaan yang kita lakukan sebelum mendirikan SHALAT berarti diri kita telah menempatkan dan meletakkan ALLAH SWT sesuai dengan Kebesaraan dan Kemahaan yang dimiliki-Nya. 


Berikutnya ada satu hal yang harus kita perhatikan dengan sungguh-sungguh saat diri kita menyamakan kondisi diri kita dengan kondisi ALLAH SWT yang Maha Suci, yaitu yang harus kita sucikan bukan hanya Jasmani semata, akan tetapi Ruhani juga harus kita sucikan terlebih dahulu melalui proses Thaharah sebelum diri kita mendirikan SHALAT. Apa dasarnya baik Ruhani dan Jasmani harus disucikan terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT atau menghadap yang Maha Suci? Hal ini dikarenakan manusia terdiri dari Jasmani dan juga Ruhani dan di lain sisi baik Jasmani dan Ruhani akan mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan keduanya menjadi tidak suci lagi bagi Ruhani, atau mengalami kekotoran karena adanya pengaruh lingkungan, ataupun proses di dalam tubuh manusia bagi Jasmani. Apa maksudnya?

Setiap manusia yang hidup pasti akan mengalami apa yang dinamakan proses pengaruh mempengaruhi antara Jasmani dengan Ruhani serta setiap manusia pasti akan mengalami gangguan Ahwa dan Syaitan yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kefitrahan manusia, atau timbullah kekotoran jiwa manusia, atau manusia sudah tidak sesuai lagi dengan konsep awal penciptaan manusia. Di lain sisi pada saat manusia hidup maka setiap manusia pasti akan melakukan aktivitas, yang mana aktivitas ini akan mengakibatkan jasmani mengalami gangguan berupa debu, berupa keringat, berupa bau badan, berupa daki, mengakibatkan buang air kecil maupun besar. Adanya pengaruh negatif baik kepada Jasmani maupun kepada Ruhani tentu hal ini akan mengakibatkan baik Jasmani maupun Ruhani menjadi tidak suci lagi, atau mengalami suatu kekotoran. Adanya kekotoran, atau ketidaksucian yang di alami oleh Jasmani maupun oleh Ruhani maka kondisi ini harus dikembalikan lagi ke posisi yang suci lagi karena kita akan menghadap kepada yang Maha Suci. Untuk mengembalikan kefitrahan Ruhani menjadi sediakala, atau membersihkan Jasmani dari kekotoran akibat proses alam, atau akibat proses alamiah jasmani maka Thaharah harus kita laksanakan.


Selanjutnya sebelum kita melanjutkan pembahasan tentang THAHARAH, ada baiknya kita mengetahui apa yang disebut tidak suci baik ditinjau dari sisi Ruhani dan juga dari sisi Jasmani sehingga dengan kita mengetahui hal ini maka akan memudahkan diri kita melaksanakan Thaharah sebelum diri kita mendirikan SHALAT. Berikut ini akan kami kemukakan apa yang dikatakan tidak suci dari sisi Ruhani dan juga dari sisi Jasmani, yaitu :


1.   Berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 41-42 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Hati Ruhani yang Kafir, yaitu suatu keadaan dimana mulut mengatakan kami telah beriman sedangkan di dalam hati belum beriman, atau suatu keadaan lain di mulut lain di hati. 


hai rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", Padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) Amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan Amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
(surat Al Maaidah (5) ayat 41)

[415] Maksudnya Ialah: orang Yahudi Amat suka mendengar perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau Amat suka mendengar perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[416] Maksudnya: mereka Amat suka mendengar perkataan-perkataan pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. karena sangat benci kepada beliau, atau Amat suka mendengarkan perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan secara tidak jujur kepada kawan-kawannya tersebut.
[417] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.


2.   Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 11 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah adanya gangguan Syaitan kepada diri kita, atau adanya pengaruh dari gangguan Syaitan kepada diri kita yang mengakibatkan diri kita selalu berbuat dan bertindak yang sesuai dengan kehendak Syaitan, dalam hal ini bertindak dan berbuat di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan.


(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8) ayat 11)

[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.


3.   Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 32-33 di bawah ini, yang dikatakan  tidak suci adalah jika kita masih melaksanakan, atau berbuat dan bertindak dengan mempergunakan Etika Jahiliyah walaupun telah mendirikan SHALAT.


Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah Perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
(surat Al Ahzab (33) ayat 32-33)

[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.
[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.


4.   Berdasarkan surat Al Hajj (22) ayat 26 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita masih berbuat Syirik, atau kita masih melakukan suatu kegiatan tertentu yang masuk di dalam kategori perbuatan Syirik dan Musyrik. 


dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
(surat Al Hajj (22) ayat 26)


5.   Berdasarkan surat Al Muddatstsir (74) ayat 4-7 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci itu adalah jika kita masih memiliki akhlak yang buruk, atau watak yang buruk belum juga hilang dari diri kita. 

dan pakaianmu bersihkanlah,
dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
(surat Al Muddatstsir (74) ayat 4-7)


6.   Berdasarkan surat Huud (11) ayat 78 dan surat Al A’raaf (7) ayat 80 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita masih melakukan perbuatan atau Tindakan A-Moral atau kita masih suka melaksanakan aktivitas yang tidak sesuai lagi dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah.


dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji[730]. Luth berkata: "Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?"
(surat Huud (11) ayat 78)

[730] Maksudnya perbuatan keji di sini Ialah: mengerjakan liwath (homoseksuall).

dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu[551], yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"
(surat Al A'raaf (7) ayat 80)

[551] Perbuatan faahisyah di sini Ialah: homoseksual sebagaimana diterangkan dalam ayat 81 berikut.


7.   Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 55 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah seluruh bentuk dari Kekafiran termasuk di dalamnya hasil, atau buah dari aktivitas kekafiran yang pernah dikerjakan oleh seseorang.


(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".
(surat Ali Imran (3) ayat 55)


8.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 108 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Masjid yang didirikan tanpa dasar Keimanan dan ketaqwaan, atau Masjid yang didirikan bukan untuk kebaikan akan tetapi untuk menutup-nutupi kejahatan yang pernah dilakukan.

janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
(surat At Taubah (9) ayat 108)


9.   Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 222 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Haidnya perempuan.

mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(surat Al Baqarah (2) ayat 222)

[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.



Hamba ALLAH SWT, inilah sembilan keadaan yang dikatakan sebagai sesuatu yang tidak suci, yang akan dialami setiap manusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesucian Ruhani ataupun Jasmani diri kita. Adanya ketidaksucian yang terdapat di dalam diri kita (baik Ruhani maupun Jasmani) maka kondisi ini harus kita bersihkan, atau kita kembalikan ke kondisi suci melalui proses Thaharah sehingga pada saat diri kita mendirikan SHALAT, ataupun setelah mendirikan SHALAT, antara diri kita dengan  ALLAH SWT sudah dan selalu berada di dalam kesesuaian kesucian. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini akan memudahkan diri kita menghadap kepada ALLAH SWT, atau akan melancarkan komunikasi diri kita dengan ALLAH SWT . 

Sekarang apa yang harus kita lakukan jika ketidaksucian masih terdapat di dalam diri kita, atau diri kita masih belum sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang Maha Suci? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa cara yang telah ditunjukkan oleh ALLAH SWT jika kita berkeinginan untuk mensucikan Jasmani maupun Ruhani, termasuk di dalamnya hal-hal yang masih belum suci yang terdapat di dalam harta kita, yaitu : 


1.   Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 11 di bawah ini, untuk mensucikan gangguan Syaitan maka kita harus berlindung kepada ALLAH SWT. Sedangkan berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 6 di bawah ini, untuk mensucikan Jasmani, atau untuk membersihkan junub harus mempergunakan Air yang suci dan jika kita dalam perjalanan kita diperbolehkan untuk Tayammum dengan mempergunakan Tanah yang baik (bersih), atau dengan mempergunakan debu.  


(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8) ayat 11)

[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(surat Al  Maa-idah(5) ayat 6)

[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.


Timbul pertanyaan, apa yang harus kita lakukan dengan air ataupun dengan tanah yang bersih itu? Air yang bersih dapat kita gunakan untuk mandi jika kita sedang junub. Air juga kita pergunakan untuk Wudhu, dalam rangka membasuh kedua tapak tangan tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup dan mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki tiga kali.


Abdullah bin Zaid r.a. ketika ditanya tentang wudhu-nya Nabi SAW, ia minta mangkok berisi air wudhu, menyontohkan wudhu Nabi SAW, Maka menuangkan air ke tangan dan membasuh ke dua tapak tangan tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam mangkuk lalu kumur dan menghirup air dan mengeluarkannya dari hidung tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam air dan membasuh muka tiga kali, kemudian membasuh tangan hingga siku dua kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam air lalu mengusap kepalanya dari muka sampai ke belakang satu kali, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki.
(HR Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan No.136)

Usman bin Affan r.a. minta bejana air untuk wudhu, lalu menuangkan air membasuh kedua tapak tangannya tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup dan mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki tiga kali, kemudian berkata: Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang wudhu seperti wudhu'ku ini, lalu sembahyang dua rakaat dengan khusyu tidak berkata apa-apa dalam hatinya, maka ia akan diampunkan dosanya yang telah lalu.
 (HR Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan No.135)


Sekarang apa yang kita lakukan dengan tanah yang baik (bersih)? “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah yang bersih ” dalam rangka untuk bertayammum.


2.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 103 di bawah ini, untuk mensucikan harta, atau kekayaan yang kita miliki maka kita di wajibkan oleh ALLAH SWT untuk menunaikan Zakat, atau membayar Infaq, Shadaqah, Jariah.


ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(surat At Taubah (9) ayat 103)

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.


3.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 104 di bawah ini, untuk mensucikan dosa yang pernah kita perbuat saat hidup di dunia maka kita diharuskan untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya Taubat hanya kepada ALLAH SWT semata.


tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
(surat At Taubah (9) ayat 104)



4.   Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 57 dan surat Al Baqarah (2) ayat 25 di bawah ini, untuk mendapatkan sesuatu yang suci yang berasal dari ALLAH SWT (dalam hal ini adalah Syurga) maka kita diwajibkan untuk beriman dan beramal shaleh tanpa putus-putusnya saat menjadi KHALIFAH di muka bumi.


dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.
(surat An Nisaa' (4) ayat 57)


dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya[32].
(surat Al Baqarah (2) ayat 25)

[32] Kenikmatan di syurga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.


5.   Berdasarkan surat Al Mujaadilah (58) ayat 12 di bawah ini, kita diwajibkan untuk bersedekah terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Nabi (atau jika kita ingin melakukan suatu kegiatan tertentu yang di dalamnya terdapat ketidakpastian) agar kesucian dan kemudahan dapat kita peroleh.


Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(surat Al Mujaadilah (58) ayat 12)


6.   Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 15-16 di bawah ini, untuk memperoleh dan mendapatkan kesucian dari ALLAH SWT maka diwajibkan oleh ALLAH SWT untuk selalu memohon ampun kepada ALLAH SWT atas dosa-dosa yang pernah kita perbuat.


Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
 (yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka,"
(surat Ali Imran (3) ayat 15-16)


Hamba ALLAH SWT, inilah 6 (enam) method, atau cara yang diperkenankan oleh ALLAH SWT untuk mensucikan diri kita akibat pengaruh aktivitas kehidupan sehari-hari ditambah akibat pengaruh buruk dari Ahwa dan Syaitan dan juga karena adanya tarik menarik antara Jasmani dengan Ruhani. Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan SHALAT, berarti kita harus bisa melaksanakan Thaharah dengan baik dan benar jika kita ingin merasakan nikmatnya bertuhankan kepada           ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.

Sekarang ada istilah Wudhu, lalu apa yang harus kita perbuat dengan Wudhu? Wudhu artinya bersih dan indah. Wudhu adalah sarana untuk melakukan Thaharah (sarana untuk bersuci), atau kewajiban bagi orang yang akan mendirikan SHALAT dan Thawaf. Wudhu merupakan salah satu syarat sahnya SHALAT dan tidak sah ibadah (maksudnya SHALAT dan Thawaf) seseorang jika dilakukan tanpa melakukan Wudhu terlebih dahulu. Apa dasarnya?


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(surat Al Maaidah (5) ayat 6)

[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.


Adapun dasar dari diri kita melakukan Wudhu sebelum mendirikan SHALAT ada pada surat Al Maaidah (5) ayat 6 di atas, dimana ALLAH SWT telah mempersyaratkan kepada diri kita untuk melakukan Thaharah terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT, apakah dengan mempergunakan Air (maksudnya untuk melakukan Wudhu) dan jika tidak ada air kita dapat mempergunakan debu, atau tanah yang baik (bersih) untuk melaksanakan Tayammum. Adanya ketetapan dari ALLAH SWT tentang Wudhu dan Tayammum berarti kita tidak bisa sembarangan melakukan Wudhu dan Tayammum, atau  kita tidak bisa seenaknya saja melakukan Wudhu dan Tayammum sebelum mendirikan SHALAT.


Sekarang ada manfaat apakah di balik perintah Wudhu dan juga Tayammum yang diperintahkan ALLAH SWT sebelum mendirikan SHALAT? Di balik perintah Wudhu dan Tayammum               ALLAH SWT berkehendak untuk membersihkan diri kita dari noda dan kotoran yang melekat pada Jasmani dan Ruhani serta menyempurnakan segala nikmat-Nya kepada diri kita, agar diri kita mau bersyukur kepada ALLAH SWT. Sekarang bagaimana caranya kita bisa melaksanakan Wudhu yang sesuai dengan perintah ALLAH SWT sehingga mampu mendapatkan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang terdapat di dalam surat   Al Maaidah (5) ayat 6 dapat kita peroleh? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ketentuan dasar yang mengatur tentang Wudhu yang harus kita ketahui sebelum diri kita mendirikan SHALAT, yaitu :


1.   Syarat Sahnya Wudhu

Syarat-syarat sahnya Wudhu dapat kami kemukakan sebagai berikut:

a.   Islam, harus telah beragama Islam.
b.   Mumayyiz, artinya mampu membedakan baik dan buruknya suatu pekerjaan.
c.   Tidak dalam keadaan berhadas besar.
d.   Berwudhu dengan mempergunakan air yang suci dan mensucikan.
e.   Tidak ada sesuatu yang menghalangi air wudhu sampai pada anggota tubuh, misalnya getah, cat, tanah, dan sebagainya.
f.    Mengetahui yang wajib dan yang sunnah dari rangkaian wudhu.


2.   Rukun Wudhu

Saat diri kita melaksanakan Wudhu, ada rukun yang wajib kita penuhi demi tercapainya kesempurnaan Wudhu. Jika kita melanggar salah satu rukun Wudhu, maka tidak sah Wudhu yang kita lakukan. Adapun rukun Wudhu, dapat kami kemukakan sebagai berikut:

a.   Niat.
b.   Membasuh muka.
c.   Membasuh ke dua tangan sampai ke siku.
d.   Menyapu kepala.
e.   Membasuh ke dua kaki sampai mata kaki.
f.    Tertib, yakni melakukan rangkaian Wudhu yang di atur dalam surat Al Maaidah (5) ayat 6 secara berurutan dimulai dari niat sampai dengan membasuh ke dua kaki.

3.   Sunnah Wudhu

Sunnah Wudhu yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dapat kami kemukakan sebagai berikut :

a.       Membaca Basmallah.
b.      Bersiwak atau gosok gigi.
c.       Mencuci kedua telapak tangan ketika hendak memulai Wudhu.
d.      Berkumur-kumur dan istinsak (memasukkan air ke dalam lubang hidung kemudian mengeluarkannya) sebanyak tiga kali.
e.       Menyela-nyela jenggot, jika ada.
f.       Menyilang-nyilang jari.
g.       Menyapu ke dua telinga.
h.      Membasuh anggota Wudhu tiga kali.
i.        Tayammun, berwudhu dengan mendahulukan yang kanan.
j.        Muwalat, yakni membasuh berturut-turut anggota Wudhu (anggota tubuh yang wajib kena Wudhu), jangan sampai ketika kita sedang berwudhu disela dengan pekerjaan lain.
k.      Sederhana, tidak boros dalam mempergunakan air pada waktu berwudhu.
l.        Membaca doa.


4.      Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu

Ada beberapa hal yang dapat membatalkan Wudhu yang telah ita laksanakan, yaitu:

a.       Keluarnya sesuatu dari salah satu ‘dua pintu’ apakah itu kencing, buang air besar, keluar madzi, wadi, mani, maupun kentut.
b.      Tidur nyenyak tanpa tetapnya pinggul di atas lantai, atau tidur dengan terlentang.
c.       Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk, atau disebabkan oleh obat-obatan, baik sedikit ataupun banyak.
d.      Menyentuh kemaluan tanpa ada batas, baik kemaluan sendiri atau kemaluan orang lain.in, keluar madzi, wadi, mani, maupun kentut.
d.      :
d.      ) ayat 6 secara berurutan dimulai dari niat sam


Inilah rangkaian ketentuan dasar dari Wudhu yang harus kita lakukan sebelum diri kita mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan bagaimanakah caranya kita berwudhu sehingga mampu menghantarkan diri kita SHALAT dengan Khusyu, atau mampu memperoleh manfaat di balik perintah Wudhu yang terdapat di dalam surat Al Maaidah (5) ayat 6? Agar diri kita mampu melaksanakan Wudhu dengan baik dan benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang terdapat di dalam surat Al Maaidah (5) ayat 6, maka kita harus bisa melaksanakan hal-hal sebagai berikut sebelum mendirikan SHALAT, atau saat diri kita melaksanakan Wudhu, yaitu :


1.      Wudhu harus dilaksanakan dengan Khusyu’ (penuh konsentrasi)

Dalam kehidupan sehari-hari, untuk mendapatkan suatu output yang baik, harus dimulai dari adanya input yang baik serta diproses dengan cara yang baik. Adanya kondisi ini berarti antara output, input maupun proses tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus dalam satu kesatuan yang berkesinambungan yang dibungkus dalam suatu kualitas yang sama. Selanjutnya jika ketentuan di atas berlaku dalam kehidupan sehari-hari, lalu bagaimana dengan SHALAT yang kita dirikan? Hal yang samapun berlaku pada SHALAT yang kita dirikan, yaitu Kita tidak akan bisa merasakan, atau memperoleh output dari SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT (maksudnya merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT atau mampu mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT) jika input yang kita lakukan sebelum mendirikan SHALAT, dalam hal ini kita tidak mampu melakukan Thaharah/Wudhu dengan baik dan benar (maksudnya kita tidak mampu melakukan Niat yang Ikhlas serta mampu menyamakan kondisi diri kita dengan kesucian ALLAH SWT) kemudian kita sendiri tidak mampu memprosesnya melalui SHALAT yang Khusyu’. Dan jika sekarang kita ingin memperoleh dan merasakan hikmah SHALAT yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT maka SHALAT yang kita dirikan harus dipersiapkan sesuai dengan kehendak  ALLAH SWT dan dilaksanakan pula dengan cara yang dikehendaki oleh ALLAH SWT maka barulah SHALAT yang kita dirikan menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kehendak   ALLAH SWT. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, lalu apa yang harus kita lakukan? jika SHALAT harus didirikan secara Khusyu’ (harus didirikan penuh konsentrasi) maka saat diri kita melaksanakan Wudhu harus pula dilaksanakan dengan Khusyu’ (harus dilaksanakan penuh konsentrasi). Apa maksudnya?


Wudhu sebagai sarana untuk melaksanakan Thaharah (sarana untuk bersuci) dalam rangka menyamakan kondisi diri kita dengan keadaan ALLAH SWT yang Maha Suci maka Wudhu tidak bisa sembarangan dilaksanakan. Wudhu harus dilaksanakan di dalam koridor untuk memperoleh, merasakan SHALAT yang Khusyu’ sehingga Wudhu harus dilaksanakan dengan serius, penuh perhatian, dan dalam keadaan penuh konsentrasi. Lalu bagaimana caranya kita melaksanakan Wudhu dengan baik dan benar? Untuk itu mari kita perhatikan hal-hal sebagai berikut:


a.       Saat mencuci tangan, kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke tangan yang sedang kita cuci sehingga Af’idah mampu merasakan tangan yang sedang kita bersihkan.

b.      Saat berkumur-kumur, kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke mulut sehingga Af’idah mampu merasakan mulut yang sedang kita bersihkan dengan air melalu kumur-kumur.


c.       Saat istinsak (memasukkan air ke dalam lubang hidung kemudian mengeluarkan kembali) kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke hidung sehingga Af’idah mampu merasakan hidung yang sedang dibersihkan dengan air.


d.      Saat membasuh muka,  kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke muka sehingga Af’idah mampu merasakan muka yang sedang dibersihkan dengan air.

 
e.       Saat membasuh tangan sampai dengan siku,  kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke tangan sehingga Af’idah mampu merasakan tangan yang sedang dibersihkan dengan air.

 
f.       Saat menyapu kepala, kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke kepala sehingga Af’idah mampu  merasakan kepala kita yang sedang kita sapu dengan air.


g.       Saat menyapu telinga, kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke telinga sehingga Af’idah mampu merasakan telinga yang yang sedang dibersihkan dengan air.


h.      Saat membasuh kaki, kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke kaki sehingga Af’idah mampu merasakan kaki yang sedang dibersihkan dengan air.


Adanya delapan kondisi dasar Wudhu yang kami kemukakan di atas, maka Wudhu yang dilaksanakan secara apa adanya (maksudnya melaksanakan Wudhu tanpa diiringi dengan sikap Khusyu’) tidak bisa menghasilkan output yang baik walaupun diproses dengan cara yang baik. Untuk itu jika kita sangat berkepentingan dengan hikmah di balik perintah mendirikan SHALAT maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk melaksanakan Wudhu dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak  ALLAH SWT yang tertuang di dalam surat Al Maaidah (5) ayat 6. 

2.   Wudhu merupakan pembersih Ruhani dan Amanah 7.


Hal lain yang tidak kalah penting dari Wudhu yang kita laksanakan adalah tujuan Wudhu yang kita laksanakan bukanlah  membersihkan Jasmani semata, akan tetapi tujuan yang hakiki dari Wudhu adalah untuk membersihkan Ruhani dan Amanah 7 (maksudnya pembersih Ruhani beserta komponennya seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir). Apa maksudnya? Seperti telah kita ketahui bersama setiap pekerjaan, atau perbuatan baik yang masuk dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan maupun dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan, yang kita lakukan akan berbekas, pada Ruhani diri kita. Sekarang jika Nilai-Nilai Kebaikan yang kita lakukan hal ini tidak menjadi persoalan bagi Ruhani dan Amanah 7 karena bekasnya tidak mempengaruhi kualitas Ruhani. Akan tetapi jika Nilai-Nilai Keburukan yang kita lakukan maka hal ini akan menjadi persoalan yang serius bagi kualitas Ruhani dan Amanah 7. Adanya kondisi ini berarti Ruhani wajib dibersihkan dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan.


Sekarang dapatkah pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan dibersihkan melalui Jasmani saat melaksanakan Wudhu? Jika Wudhu yang kita lakukan bertujuan untuk membersihkan Jasmani semata, maka yang bersih adalah Jasmani semata. Sedangkan Ruhani dan Amanah 7 belum tentu dapat dibersihkan dari pengaruh buruk Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa Jasmani yang didukung oleh Ahwa dan Syaitan. Akan tetapi jika Wudhu yang kita lakukan bertujuan untuk membersihkan Ruhani dan Amanah 7 maka yang dibersihkan bukan hanya Ruhani dan Amanah 7 semata, akan tetapi Jasmani secara otomatis ikut dibersihkan melalui aktivitas Wudhu yang kita lakukan. Apa maksudnya dan apa buktinya? Untuk itu mari kita perhatikan hal-hal di bawah ini, yaitu:   

a.      Saat mencuci tangan berarti pada saat itu diri kita sedang membersihkan Ruhani dan Qudrat dari pengaruh buruk yang ditimbulkan dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani yang didukung oleh Ahwa dan juga Syaitan. Lalu setelah tangan kita bersihkan maka tangan tidak boleh lagi berbuat sembarangan, atau tangan tidak boleh lagi berbuat di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan, atau setelah tangan dibersihkan maka tangan tidak boleh lagi memiliki berat tangan untuk membantu dan menolong sesama manusia.


b.      Saat berkumur-kumur, berarti diri kita sedang membersihkan Ruhani dan Kalam dari pengaruh buruk yang ditimbulkan dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah mulut kita bersihkan maka mulut, atau Kalam tidak boleh lagi memakan sesuatu yang bersifat haram, atau yang tidak dibacakan nama Allah SWT saat makan dan minum, atau tidak boleh lagi menyakiti hati orang lain melalui kata dan omongan yang keluar dari mulut.


c.       Saat istinsak (memasukkan air ke dalam lubang hidung kemudian mengeluarkannya), berarti kita sedang membersihkan Ruhani dan penciuman dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah hidung kita bersihkan maka hidung tidak boleh lagi mencium hal-hal yang bertentangan dengan Nilai-Nilai Kebaikan.


d.      Saat membasuh muka berarti diri kita sedang membersihkan Ruhani dan penglihatan dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah Mata dibersihkan maka Mata diharapkan tidak lagi memandang, memperlihatkan kembali hal-hal yang bersifat negatif, atau berada di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan. Akan tetapi mata harus kita pergunakan untuk melihat hal-hal yang positif yang dapat menambah keimanan.

   
e.       Saat membasuh tangan sampai dengan siku berarti yang kita bersihkan adalah Ruhani dan Qudrat atau kekuatan dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah kekuatan yang terdapat di dalam tangan kita bersihkan maka tangan tidak boleh lagi berbuat yang mengakibatkan orang lain menjadi celaka, teraniaya, menjadi tidak nyaman oleh sebab keberadaan diri kita.

  
f.        Saat menyapu kepala berarti diri kita sedang membersihkan Ruhani dan Ilmu dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah dibersihkan maka Ilmu yang kita miliki harus dapat menghantarkan masyarakat, atau orang lain menjadi tertolong oleh sebab Ilmu yang kita miliki atau Ilmu yang kita miliki mampu melahirkan teknologi baru yang dapat membantu masyarakat luas.

 
g.      Saat menyapu telinga berarti diri kita sedang membersihkan Ruhani dan pendengaran yang kita miliki dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah telinga kita bersihkan maka telinga dan juga pendengaran tidak diperkenankan lagi untuk mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat yang menyebabkan kefitrahan diri kita menjadi turun.


h.      Saat membasuh kaki berarti kita sedang membersihkan Ruhani dan Qudrat, atau kekuatan yang kita miliki dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan juga Syaitan. Lalu setelah kaki atau kekuatan kita bersihkan maka kekuatan yang kita miliki tidak boleh lagi dipergunakan untuk menganiaya orang lain, untuk mengintimidasi orang lain, untuk berbuat semena-mena kepada orang lain. Kekuatan yang kita miliki harus dapat menjadikan masyarakat tentram, aman dan nyaman oleh sebab keberadaan diri kita.



Selain daripada itu, saat diri kita melaksanakan Wudhu maka pada saat itu kita sedang melaksanakan apa yang dinamakan dengan terapi air (hidro therapy), yang menurut para ahli sangat bermanfaat bagi jasmani diri kita. Selanjutnya mari kita perhatikan dengan seksama Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, dimana di dalam hadits ini dikemukakan bahwa Wudhu mampu menghapus dosa-dosa yang telah pernah kita buat serta mampu mengangkat derajat diri kita. Sekarang Wudhu yang seperti apakah yang dapat menjadikan diri kita sesuai dengan hadits di bawah ini?


Maukah aku beritahu apa yang dapat menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?” Para sahabat menjawab: “Baik ya Rasullullah”. Beliau berkata, “Berwudhu dengan baik, menghilangkan kotoran-kotoran, banyak langkah diayunkan menuju masjid, dan menunggu shalat (Isya) sesudah shalat (maghrib). Itulah kewaspadaan (kesiagaan).
(HR Muslim)


Wudhu yang dapat menghapus dosa-dosa yang pernah kita perbuat, atau Wudhu yang dapat mengangkat derajat diri kita bukanlah Wudhu dalam arti untuk membersihkan Jasmani. Akan tetapi Wudhu yang mampu membersihkan Ruhani dan Amanah 7 yang berdampak kepada kebersihan Jasmani. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, sudah seperti inikah Wudhu yang kita lakukan saat hidup di muka bumi?


Hamba ALLAH SWT, ada satu hal yang harus kita perhatikan dengan seksama bahwa secara sepintas Thaharah hanya wajib kita lakukan sebelum diri kita mendirikan SHALAT, atau jika kita dalam keadaan Junub. Akan tetapi karena adanya pengaruh tarik menarik antara Jasmani dengan Ruhani ditambah dengan adanya pengaruh Ahwa dan Syaitan maka kita wajib melakukan Thaharah dari waktu ke waktu tanpa henti karena adanya kondisi di atas akan mengakibatkan kekotoran pada kefitrahan diri, atau mengakibatkan Ruhani dan Amanah 7 tidak sesuai lagi dengan kehendak ALLAH SWT. Semoga kita mampu melaksanakan ini semua dengan sebaik mungkin.

3. Dirikan SHALAT harus tepat Waktu


Ketentuan lain yang harus kita lakukan agar SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan kehendak pemberi perintah SHALAT adalah dirikan SHALAT di awal waktu, atau tepat pada waktunya. Jika kita mampu melakukan hal ini berarti diri kita mampu meletakkan perintah ALLAH SWT sesuai dengan kehendak yang memerintahkan SHALAT. Apa maksudnya? Jika kita berbicara tentang Waktu mendirikan SHALAT maka hal ini tidak bisa dipisahkan dengan adanya Adzan sebagai pertanda, sebagai pemberitahuan akan datangnya waktu SHALAT. Sekarang dengan adanya Adzan yang dikumandangkan sebenarnya bukanlah pertanda datangnya waktu SHALAT, akan tetapi ALLAH SWT telah memanggil diri kita untuk segera mendirikan SHALAT. Sebagai orang yang dipanggil oleh Pencipta dan Pemilik langit dan bumi berarti jika kita mendirikan SHALAT di awal waktu atau mendirikan SHALAT tepat pada waktunya berarti kita menghargai ALLAH SWT, berarti kita menghormati ALLAH SWT, yang telah memanggil diri kita untuk segera mendirikan SHALAT, atau yang tidak bosan-bosannya mengingatkan diri kita untuk mendirikan SHALAT.


Sebagai bahan perbandingan, mari kita renungkan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Katakan kita memanggil anak untuk disuruh mengerjakan sesuatu, kemudian anak yang dipanggil diam saja, atau malah tidak datang memenuhi panggilan kita, atau dia datang tetapi setelah sekian lama dipanggil. Timbul pertanyaan, apa yang kita rasakan dengan adanya kondisi ini?



Aisyah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Sungguh Aku berjanji kepada hamba-Ku bila ia melakukan Shalat tepat waktunya, tidak akan Aku siksa dan pasti akan Aku masukkan Syurga tanpa hisab.
(HQR Al Haakim: 272-41)


Jika kita mengalami hal ini maka akan timbul di dalam diri kita apa yang dinamakan kekesalan, atau merasa tidak dihargai oleh anak yang kita panggil. Selanjutnya jika ini yang terjadi pada diri kita, lalu bagaimanakah dengan ALLAH SWT yang telah memanggil, yang telah mengingatkan, diri kita untuk segera mendirikan SHALAT melalui Adzan yang dikumandangkan, atau ALLAH SWT telah memanggil diri kita untuk segera mendirikan SHALAT di mana ALLAH SWT sudah ada di tempat SHALAT yang akan kita dirikan? Jika manusia saja merasa dilecehkan, jika manusia saja merasa tidak dihargai, maka hal yang samapun terjadi pada ALLAH SWT jika kita menunda-nunda untuk mendirikan SHALAT, jika kita mengulur-ulur waktu untuk mendirikan SHALAT, padahal Adzan sudah terdengar oleh diri kita.



Sebagai KHALIFAH yang menumpang di langit dan di bumi ALLAH SWT maka sudah sepantasnya dan sudah pula sepatutnya diri kita bereaksi dengan cepat jika yang menciptakan dan yang memiliki langit dan bumi memanggil diri kita untuk segera mendirikan SHALAT, apalagi SHALAT itu untuk kepentingan diri kita sendiri. Semakin cepat diri kita memenuhi panggilan ALLAH SWT melalui Adzan yang dikumandangkan berarti semakin tinggi penghargaan dan penghormatan diri kita kepada ALLAH SWT. Semakin lambat diri kita memenuhi panggilan ALLAH SWT melalui Adzan maka semakin rendah penghargaan dan penghormatan diri kita kepada  ALLAH SWT. Sekarang pilihan sudah ada pada diri kita sendiri, tentukanlah sikap sekarang juga sebelum Syaitan sang Laknatullah melaksanakan aksinya pada diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar