Hamba
ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya
Perintah
mendirikan SHALAT bukanlah perintah yang bersifat asal-asalan yang
diperintahkan ALLAH SWT kepada umat manusia. Perintah mendirikan SHALAT sebagai
satu-satunya perintah langsung yang diperintahkan ALLAH SWT di Arsy kepada Nabi
Muhammad SAW bukanlah tujuan akhir dari mendirikan SHALAT. Akan tetapi perintah
mendirikan SHALAT adalah sarana bagi diri kita, alat bantu bagi diri kita,
untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang terdapat di balik perintah mendirikan
SHALAT. Timbul pertanyaan yang mendasar, apakah ALLAH SWT hanya sebagai pemberi
perintah mendirikan SHALAT semata kepada seluruh umat manusia, ataukah ada
sesuatu yang lain?
ALLAH SWT
selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT bukan hanya sekedar pemberi perintah
mendirikan SHALAT, akan tetapi ALLAH SWT juga Penilai dari SHALAT yang telah
didirikan oleh manusia, yaitu apakah SHALAT sudah dilaksanakan sesuai dengan
yang kehendaki-Nya atau belum. Adanya kondisi ini berarti ALLAH SWT juga
sebagai penentu hasil akhir dari SHALAT yang telah diperintahkannya kepada
manusia, atau dengan kata lain ALLAH SWT adalah pemberi dan penentu apa yang
akan diterima oleh manusia setelah manusia mampu mendirikan SHALAT yang sesuai
dengan apa yang dikehendaki-Nya.
Adanya ketiga hal yang ada pada
ALLAH SWT (maksudnya adalah ALLAH SWT adalah pemberi perintah SHALAT, ALLAH SWT
adalah penilai perintah SHALAT, ALLAH SWT adalah penentu hasil akhir dari
perintah SHALAT) berarti perintah mendirikan SHALAT yang berasal dari ALLAH SWT tidak bisa dilaksanakan, tidak bisa
dikerjakan, tidak bisa didirikan, dengan seenaknya saja, asal sudah dikerjakan,
asal sudah didirikan maka selesai sudah perintah ALLAH SWT kita laksanakan.
Selanjutnya
agar diri kita mampu mendirikan SHALAT yang sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh ALLAH SWT maka kita harus dapat mengetahui dengan pasti seperti apakah
perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah
mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan, seperti apakah perintah mendirikan SHALAT
yang dikehendaki oleh ALLAH SWT itu? Berdasarkan Hadits yang diriwayatkan oleh
Bukhari di bawah ini, SHALAT yang kita dirikan haruslah SHALAT yang telah
dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW sebagai utusan khusus yang terakhir ALLAH SWT di muka bumi.
Shalluu kamaa ra
aitumuunii ushalli
Shalatlah
sebagaimana kalian melihatku Shalat.
(HR Bukhari dari
Malik)
Sekarang
SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW sudah berlaku di muka bumi
sampai dengan hari kiamat kelak. Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan
SHALAT seperti membutuhkan mandi, tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk
mendirikan SHALAT yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW jika kita ingin
melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku
pemberi perintah mendirikan SHALAT, selaku penilai dari perintah mendirikan
SHALAT dan selaku penentu hasil akhir dari perintah mendirikan SHALAT.
Selanjutnya akan kami kemukakan apa yang seharusnya kita lakukan saat
mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang tentunya melalui apa
yang telah dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW, yaitu :
1. SHALAT harus dilandasi dengan NIAT yang IKHLAS karena ALLAH SWT
Berdasarkan
ketentuan yang berlaku secara umum, untuk dapat melaksanakan sesuatu, harus
dimulai dari adanya kehendak (Iradat) yang keluar dari Hati Ruhani, yang
dilanjutkan dengan adanya dukungan kemampuan (Qudrat) serta Ilmu untuk
mewujudkan apa-apa yang akan dilaksanakan. Adanya ketentuan ini berarti untuk dapat melaksanakan sesuatu dengan
baik dan benar, atau untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan benar maka
kehendak tidak bisa berdiri sendiri, namun kehendak harus ditunjang oleh
kemampuan dan ilmu sehingga ketiga hal ini harus ada di dalam satu kesatuan.
Sekarang
apakah ketentuan ini berlaku juga saat diri kita hendak melaksanakan perintah
ALLAH SWT? Untuk
dapat melaksanakan perintah ALLAH SWT dengan baik dan benar maka ketentuan umum
yang kami kemukakan di atas, dapat pula
diaplikasikan saat diri kita melaksanakan perintah ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan untuk dapat
melaksanakan perintah ALLAH SWT maka hal yang pertama harus ada di dalam diri
adalah Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan ALLAH SWT. Lalu Kehendak
tersebut harus ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai jika kita
berharap memperoleh hasil yang maksimal.
Adanya hal ini menunjukkan
kepada diri kita bahwa Kehendak (walaupun telah keluar dari dalam Hati Ruhani)
tidak akan dapat menghantarkan diri kita untuk melaksanakan apa yang
diperintahkan ALLAH SWT dengan baik dan benar, jika kehendak tersebut tidak
ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai. Atau dengan kata lain
Kehendak yang telah keluar dari dalam Hati Ruhani harus terpadu dalam satu
kesatuan dengan Kemampuan dan Ilmu jika kita ingin sukses melaksanakan
apa-apa yang diperintahkan ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki kehendak
seperti yang kami kemukakan di atas, saat diri kita melaksanakan apa-apa yang
diperintahkan ALLAH SWT? Mudah-Mudahan kita semua mampu memiliki dan
mampu melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.
Selanjutnya
timbul pertanyaan baru, kenapa Kehendak harus ditunjang dengan Kemampuan dan
Ilmu secara terpadu sebelum diri kita mendirikan SHALAT? Adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan
serta Ilmu saat diri kita mendirikan SHALAT berarti di dalam diri telah terjadi
apa yang dinamakan dengan kebulatan tekad untuk melaksanakan apa-apa yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT. Sekarang apa yang sebenarnya
terjadi dengan adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang
menghasilkan kebulatan tekad itu? Seperti kita ketahui bersama bahwa Kehendak,
Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki asalnya dari ALLAH SWT (Kehendak,
Kemampuan serta Ilmu adalah Sifat ALLAH SWT).
Lalu dengan diri kita melaksanakan apa yang diperintahkan ALLAH SWT
berarti kita sedang melaksanakan Sinergi, yaitu mensinergikan Kehendak,
Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki dengan Pemilik, Pencipta dari Kehendak,
Kemampuan dan Ilmu itu sendiri, dalam hal ini ALLAH SWT. Adanya proses sinergi
yang kita lakukan maka tersambunglah
apa-apa yang telah ALLAH SWT berikan kepada diri kita dengan ALLAH SWT selaku
pemilik, pencipta itu semua serta pemberi perintah SHALAT (maksudnya bukan
tersambung dengan Dzat ALLAH SWT, akan tetapi tersambung dengan Kemahaan dan
Kebesaran ALLAH SWT).
Sekarang
mari kita hubungkan antara ketentuan di atas, dengan apa yang dikemukakan di
dalam Hadits Qudsi di bawah ini. Hadits di bawah ini menerangkan ALLAH SWT baru
akan menemui diri kita jika kita mau menemui ALLAH SWT, demikian pula
sebaliknya jika kita tidak mau menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWTpun tidak akan
mau menemui diri kita.
Abu Hurairah
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin
menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun
enggan menemuinya.
(HQR Al Bukhari, Malik, Annasa'ie dari
Abu Hurairah;272-17)
Adanya
kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa untuk mencapai sebuah kesesuaian
dengan ALLAH SWT tidak ada jalan lain kecuali diri kita menyesuaikan apa-apa
yang ada pada diri kita (dalam hal ini Kehendak, Kemampuan serta Ilmu) dengan
ALLAH SWT selaku pencipta, pemilik dari Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang kita
miliki. Setelah hal ini mampu kita lakukan maka modal awal atau jalan untuk
mendirikan SHALAT secara Khusyu' sudah kita miliki.
Sekarang
ada istilah Niat, lalu dimanakah letaknya Niat itu di dalam diri kita? Niat tidak bisa dilepaskan dengan adanya
Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani, yang didukung oleh Kemampuan dan
Ilmu. Hal ini dikarenakan Niat itu sendiri merupakan hasil akhir dari proses
yang keluar dari Kehendak yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu dalam rangka
untuk melaksanakan sesuatu, dalam hal ini adalah melaksanakan perintah
ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti Niat dapat dikatakan sebagai kebulatan tekad untuk melaksanakan apa
yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita, tanpa ada paksaan
dari siapapun juga sehingga terjadilah kekompakan di dalam diri kita saat
melaksanakan perintah mendirikan SHALAT. Apa maksudnya? Adanya Niat untuk
mendirikan SHALAT berarti kita melakukan upaya untuk mensatupadukan, atau upaya
untuk mengkompakkan seluruh komponen yang ada di dalam diri kita (dalam hal ini
Ruh dan Amanah 7) untuk dihadapkan kepada
ALLAH SWT, atau mensinergikan Ruh dan Amanah 7 yang kita miliki dengan
Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT.
Selanjutnya
jika Kehendak yang didukung
Kemampuan dan Ilmu keluar dari dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus pula keluar
dari Hati Ruhani. Sekarang setelah diri kita memiliki kebulatan tekad
tanpa ada paksaan siapapun, untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang
telah diperintahkan ALLAH SWT, lalu seperti apakah Niat yang baik itu?
Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku tidak
menerima sesuatu amal, kecuali amal yang diniatkan untuk-Ku.
(HQR Al Bukhari,
272:167)
Berdasarkan
Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari di atas, Niat baru dapat dikatakan sebuah Niat yang tulus maka Niat itu hanya
diniatkan untuk ALLAH SWT semata. Apa maksudnya? Contohnya, jika
kita berniat untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang berasal dari
ALLAH SWT maka kita harus meniatkan SHALAT yang kita dirikan hanya untuk
melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT semata. Tanpa ada
maksud dan tujuan lain yang menyertai niat kita, sehingga yang ada dalam diri
kita hanyalah tulus dan ikhlas dalam melaksanakan perintah ALLAH SWT semata.
Sekarang bagaimana jika Niat untuk mendirikan SHALAT yang ada di dalam diri bukan
keluar dari dalam Hati Ruhani namun keluarnya dari dalam mulut?
Sepanjang Kehendak yang diberikan
ALLAH SWT diletakkan di dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus keluar pula dari
Hati Ruhani. Dan jika sekarang Niat untuk mendirikan SHALAT keluarnya dari mulut
berarti ada sesuatu yang salah di dalam kehendak yang kita miliki. Hal ini
dikarenakan yang ada di dalam mulut kita bukanlah kehendak melainkan Kalam,
yang berasal juga dari ALLAH SWT. Untuk itu
jika saat ini kita berniat untuk mendirikan SHALAT, tetapi niat mendirikan
SHALAT keluar dari mulut berarti yang
berniat untuk mendirikan SHALAT adalah Kalam (disinilah terjadi ketidaksesuaian
antara diri kita dengan ALLAH SWT selaku pemberi perintah SHALAT). Selanjutnya
jika ini yang kita lakukan berarti kesesuaian antara diri kita dengan ALLAH SWT
tidak dapat terjadi karena Niat yang keluar dari Kalam tidak bisa disinergikan
dengan Iradat ALLAH SWT karena Kalam hanya bisa disinergikan dengan Kalam pula.
Sebagai KHALIFAH yang sangat
membutuhkan SHALAT tentu kita harus berniat terlebih dahulu sebelum mendirikan
SHALAT, untuk itu maka lakukanlah niat yang sesuai dengan kondisi yang
sebenarnya yaitu jika kehendak asalnya diletakkan di dalam Hati Ruhani maka
niat yang tidak lain hasil dari proses Kehendak, Kemampuan dan Ilmu, harus pula
keluar dari Hati Ruhani. Sekarang pilihan dari Niat ada pada diri kita
sendiri, apakah mau yang keluar dari Hati Ruhani ataukah yang keluar dari
Mulut?
Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat.
Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya.
(HR
Bukhari, Muslim)
Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi
Allah melihat hati dan perbuatan kalian.
(HR
Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Sekarang
mari kita perhatikan 2(dua) buah hadits yang kami kemukakan di atas ini, ALLAH SWT memberikan penilaian kepada
seseorang sangat tergantung kepada apa yang diniatkan oleh seseorang saat
melakukan sesuatu tindakan (katakan di dalam melaksanakan perintah mendirikan
SHALAT). Adanya kondisi ini ALLAH SWT tidak pernah menjadikan fisik
(penampilan) seseorang dan harta seseorang sebagai acuan dasar untuk menilai
keberhasilan seseorang melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya. Lalu atas
dasar apakah ALLAH SWT menilai seseorang?
ALLAH SWT memiliki ketentuan sendiri di dalam menilai keberhasilan
seseorang yaitu dengan mempergunakan kriteria seberapa ikhlas seseorang
melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya, atau seberapa tinggi
kualitas Niat yang ikhlas yang keluar dari Hati Ruhani seseorang melaksanakan
ibadah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepadanya.
Adanya kondisi ini menunjukkan
kepada kita bahwa Niat yang Ikhlas sangat memegang peranan penting di dalam
setiap melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.Sebagai
KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi berarti
pada saat ini kita harus memiliki dan menunjukkan Niat yang Ikhlas kepada ALLAH
SWT di dalam melaksanakan segala apa-apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT
kepada diri kita. Timbul
pertanyaan apakah itu Ikhlas atau apa itu Niat yang Ikhlas? Berikut
ini akan kami kemukakan beberapa arti dari Ikhlas itu sendiri, yaitu :
1. Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 80 di bawah ini, Ikhlas
artinya Rahasia. Apa maksudnya? Ikhlas adalah suatu Rahasia yang terdapat di dalam
diri kita sehingga orang lain tidak tahu apa yang akan kita perbuat dan kitapun
tidak hendak memberi tahu tentang apa yang kita perbuat. Adanya kondisi ini
berarti Niat yang Ikhlas adalah Rahasia yang tersembunyi di dalam Hati Ruhani
diri kita sehingga yang tahu hanya diri kita dan ALLAH SWT semata.
Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf[761] mereka
menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua
diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah
mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah
menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir,
sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi
keputusan terhadapku. dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya".
(surat Yusuf (12) ayat 80)
[761] Yakni putusan Yusuf yang menolak permintaan
mereka untuk menukar Bunyamin dengan saudaranya yang lain.
Selanjutnya dengan adanya Rahasia yang hanya
diketahui oleh diri kita dan ALLAH SWT semata, berarti apa yang kita lakukan bukanlah untuk dipamerkan kepada orang
lain, atau riya, atau karena ingin dianggap mampu, atau karena ingin dianggap
alim.
2. Berdasarkan surat Az Zumar (39)
ayat 3 di bawah ini, Ikhlas artinya suci dan murni atau tidak ada campuran atau
tidak ada pengaruh darimanapun, dari apapun serta dari siapapun juga kecuali
dari ALLAH SWT semata.
Ingatlah, hanya kepunyaan
Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil
pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan
supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya".
Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka
berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang
pendusta dan sangat ingkar.
(surat
Az Zumar (39) ayat 3)
Adanya kondisi ini berarti Niat yang Ikhlas adalah suatu keadaan dimana apa yang kita niatkan
adalah sesuatu yang suci, yang murni, yang bukan karena bujukan, yang bukan
karena hasutan, yang bukan karena ajakan dari orang lain apalagi karena
keterpaksaan, untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH
SWT sehingga yang ada pada diri kita saat melaksanakan apa yang diperintahkan
ALLAH SWT hanyalah ikhlas karena ALLAH SWT semata.
3.
Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 64 di bawah ini, Ikhlas
artinya dekat, akrab, dengan ALLAH SWT. Apa maksudnya? Adanya niat yang ikhlas
untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berarti pada
saat diri kita melaksanakan perintah ALLAH SWT terjadi suatu hubungan yang
sangat dekat antara diri kita yang diperintahkan mendirikan SHALAT dengan ALLAH
SWT yang memerintahkan mendirikan SHALAT. Kenapa hal ini bisa terjadi?
dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia
sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap
dengan Dia, Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi
seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
(surat Yusuf (12) ayat 54)
Terjadinya kedekatan antara diri kita dengan ALLAH
SWT karena apa yang kita lakukan merupakan rahasia antara diri kita dengan
ALLAH SWT. Sehingga dengan adanya kerahasiaan ini akan menumbuhkan suatu
kedekatan antara diri kita dengan ALLAH SWT.
4. Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 24 dibawah ini, Ikhlas
artinya suci dari segala kekotoran dan
kejahatan. Apa maksudnya? Suatu Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan apa-apa
yang telah diperintahkan ALLAH SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan itu
semua yang ada hanyalah kesucian dan kemurnian untuk melaksanakan dan
memperoleh apa-apa yang ada di balik perintah ALLAH SWT.
Sesungguhnya
wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun
bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda
(dari) Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya
kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang
terpilih.
(surat Yusuf (12) ayat 24)
[750] Ayat
ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk
terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya
sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu
Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Hal ini dimungkinkan karena setiap apa yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT pasti untuk kepentingan diri kita sendiri (untuk
kepentingan yang menerima dan menjalankan perintah) sehingga di balik perintah
ALLAH SWT tidak akan pernah ada kekotoran apalagi kejahatan yang akan menimpa diri
kita sepanjang perintah ALLAH SWT mampu kita laksanakan dengan baik dan
benar.
5. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 94 di bawah ini,
Ikhlas artinya khusus tertentu. Apa maksudnya? Niat yang Ikhlas di dalam
melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT berarti
kita melaksanakan sesuatu yang bersifat khusus tertentu, dalam hal ini untuk
kepentingan diri kita sendiri yang dilandasi karena ALLAH SWT semata.
Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa)
kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang
lain, Maka inginilah[75] kematian(mu), jika kamu memang benar.
(surat Al Baqarah (2) ayat
94)
[75] Maksudnya: mintalah agar kamu dimatikan
sekarang juga.
Contohnya,
jika kita ikhlas mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT
berarti SHALAT yang kita dirikan merupakan SHALAT yang bersifat Khusus tertentu
yaitu untuk kepentingan diri kita semata sehingga orang lain tidak akan mungkin
memperoleh hasil dari SHALAT yang kita dirikan.
6.
Berdasarkan surat Ash Shaaffat (37)
ayat 160-161 di bawah ini, Ikhlas
artinya suci daripada selain ALLAH SWT. Apa maksudnya? Niat yang Ikhlas untuk
melaksanakan perintah ALLAH SWT berarti saat diri kita melaksanakan perintah
tidak ada pengaruh lain dari selain ALLAH SWT atau kita tidak pernah
melaksanakan perintah karena selain ALLAH SWT.
kecuali
hamba-hamba Allah[1292] yang dibersihkan dari (dosa).
Maka
Sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu,
(surat
Ash Shaaffat (37) ayat 160-161)
[1292] Yang dimaksud hamba Allah di sini ialah
golongan jin yang beriman.
Selanjutnya jika kita melaksanakan perintah karena
ada tujuan lain, atau karena ada perintah dari yang lain, atau karena ingin
mendapatkan sesuatu yang lain di luar apa yang akan didapat dari ALLAH SWT maka Niat yang Ikhlas belum
kita lakukan.
Hamba
ALLAH SWT, itulah enam buah arti dari Niat yang Ikhlas, yang harus kita ketahui, yang harus kita
laksanakan, yang harus kita tunjukkan kepada ALLAH SWT dengan sebaik mungkin,
jika kita ingin merasakan secara langsung apa yang dinamakan dengan kenikmatan
bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.
Sekarang, apakah Niat yang Ikhlas
hanya sebatas dipergunakan saat mendirikan SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH
SWT saja, ataukah di dalam setiap perbuatan
serta dalam keadaan apa dan
kepada siapakah kita harus ikhlas? Niat yang
Ikhlas tidak hanya dipergunakan saat diri kita mendirikan SHALAT saja, akan
tetapi Niat yang Ikhlas harus dipergunakan di saat diri kita melaksanakan tugas
sebagai KHALIFAH di muka bumi. Apa dasarnya dan pada saat apa
sajakah kita harus Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan hal dimaksud,
yaitu:
1. Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 146 di bawah ini,
Niat yang Ikhlas harus juga dilaksanakan pada saat diri kita berpegang teguh
kepada Agama ALLAH SWT, atau saat melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah.
kecuali
orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada
(agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka
mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan
memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 146)
[369] Mengadakan perbaikan berarti berbuat
pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
2. Berdasarkan
surat Al Mu’min (40) ayat 65 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita
lakukan di saat berdoa kepada ALLAH SWT dan juga di saat beribadah kepada ALLAH
SWT.
Dialah yang
hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah
Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta
alam.
(surat
Al Mu'min (40) ayat 65)
Katakanlah:
"Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah):
"Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah
dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan
kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat
Al A'raaf (7) ayat 29)
Sedangkan
berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 29 di atas, Niat yang Ikhlas harus pula
dilaksanakan pada saat diri kita menjalankan, atau memutuskan suatu perkara
dengan seadil-adilnya, Niat yang Ikhlas wajib dilaksanakan saat menjalankan
keadilan.
3. Berdasarkan surat
Al Bayyinah (98) ayat 5 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita
laksanakan pada saat diri kita mengabdi dan beribadah hanya kepada ALLAH SWT.
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan
supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah
agama yang lurus.
(surat Al Bayyinah (98) ayat 5)
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan
Allah) dan jauh dari kesesatan.
4. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 139 dan
surat Al Mu’min (40) ayat 14 di bawah ini, Niat yang Ikhlas tidak boleh
diperuntukkan kepada selain ALLAH SWT, atau Niat yang Ikhlas wajib
diperuntukkan hanya untuk ALLAH SWT semata.
Katakanlah:
"Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah
Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan
hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
(surat Al Baqarah (2) ayat 139)
Maka
sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir
tidak menyukai(nya).
(surat
Al Mu'min (40) ayat 14)
Selanjutnya
dapatkah Niat yang Ikhlas selalu terpelihara di dalam Hati Ruhani jika ada Ahwa
dan Syaitan yang akan selalu mengganggu diri kita? Adanya
pengaruh Ahwa dan Syaitan kepada diri kita, akan mengakibatkan Niat yang Ikhlas
di dalam diri menjadi tidak beraturan kualitasnya, atau bahkan bisa menurunkan
kualitas Niat yang Ikhlas. Untuk itu jika kita berkeinginan untuk selalu
menjaga Niat yang Ikhlas di setiap perbuatan, atau di setiap ibadah yang kita
lakukan maka Niat yang Ikhlas yang ada di dalam diri kita jangan dibiarkan
seorang diri, akan tetapi Niat yang Ikhlas harus ditunjang dengan, yaitu :
a.
Jangan pernah ragu dalam
beramal shaleh atau di saat berbuat kebaikan.
b.
Memelihara Amanah 7 yang berasal dari ALLAH SWT sesuai dengan
kehendak-Nya.
c.
Syahadat yang telah kita
laksanakan.
d.
Ingat, ALLAH SWT akan selalu
menjaga kita.
e.
Ingat, ALLAH SWT mengetahui setiap
pekerjaan kita.
f.
Ingat, ALLAH SWT selalu
melihat dan menyaksikan diri kita.
g.
Ingat, bahwa manusia harus
mempertanggungjawabkan segala perbuatannya
h.
Ingat, segala apa yang
tersembunyi dalam hati diketahui oleh ALLAH SWT
i.
Ingat, kita akan menuai
apa-apa yang pernah kita kerjakan
Selanjutnya
adakah ganjaran yang akan diberikan oleh ALLAH SWT kepada orang yang memiliki
Niat yang Ikhlas? Jika kita termasuk orang yang mampu memiliki Niat yang Ikhlas
yang kemudian ditujukan hanya kepada ALLAH SWT, maka ALLAH SWT akan memberikan
kepada kita, yaitu :
1. Berdasarkan surat Maryam (19)
ayat 31 di bawah ini, kita akan dijadikan oleh ALLAH SWT sebagai hamba-hamba
pilihan ALLAH SWT, atau hamba yang
selalu diberkati dimana saja ia berada.
dan Dia
menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku
hidup;
(surat Maryam
(19) ayat 31)
2. Selamat dari gangguan Syaitan
sang Laknatullah, atau selalu dilindungi oleh ALLAH SWT dari gangguan Syaitan.
3. Berdasarkan surat Ash Shaaffat
(37) ayat 38-41 di bawah ini, kita akan diselamatkan dari azab yang pedih dan
diberi kehidupan yang mulia
Sesungguhnya kamu pasti akan merasakan azab yang pedih.
dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang
telah kamu kerjakan,
tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
mereka itu memperoleh rezki yang tertentu,
(surat
Ash Shaaffat (37) ayat 38-41)
Sebagai
KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, sudahkah Niat yang Ikhlas kita miliki saat
melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kepada diri kita? Harapan
kami setelah kita semua membaca buku ini, kita mampu memiliki Niat yang Ikhlas
di setiap apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT kepada diri kita sehingga
dengan itu semua mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan
kepada ALLAH SWT, atau dapat menghantarkan diri kita untuk bertemu dengan Yang
Maha Terhormat di tempat yang Terhormat dengan cara terhormat dan dalam suasana
yang saling hormat menghormati.
2. Samakan Kondisi Jasmani dan
Ruhani diri kita dengan kondisi ALLAH SWT melalui THAHARAH.
Kondisi
dasar lainnya yang harus kita miliki agar SHALAT yang kita dirikan sesuai
dengan Kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT adalah seberapa jauh
tingkat kebersihan diri kita sewaktu akan mendirikan SHALAT, atau seberapa jauh
kesesuaian antara diri kita dengan tingkat kesucian ALLAH SWT. Apa
maksudnya? Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan di bawah ini dikemukakan
tentang beberapa syarat yang harus kita penuhi sebelum memasuki masjid, atau
sebelum mendirikan SHALAT, yaitu hati
yang bersih, lidah yang benar, tangan yang suci serta kemaluan yang bersih. Selain daripada itu ALLAH SWT tidak
memperkenankan diri kita untuk memasuki masjid, atau tidak memperkenankan diri
kita mendirikan SHALAT jika kita masih tersangkut barang aniayaan hak orang
lain. Sebelum diri kita melunasi barang aniayaan itu kepada yang berhak. Timbul
pertanyaan, ada apa sebenarnya dengan kondisi ini, sehingga ALLAH SWT sampai
harus menetapkan hal ini dengan tegas sebelum diri kita mendirikan SHALAT?
Sabda Nabi dalam menceritakan firman Allah: Allah telah mewahyukan
kepadaku: "Wahai saudara para Rasul, wahai saudara para pemberi
peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu, agar mereka jangan
memasuki satu rumahpun dari rumah-rumah-Ku (masjid), kecuali dengan hati
bersih, lidah yang benar, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan
janganlah mereka memasuki salah satu rumah-Ku (masjid) padahal mereka masih
tersangkut barang aniayaan hak orang lain. Sesungguhnya Aku tidak memberi
rahmat, selama ia berdiri di hadapan-Ku melakukan shalat, sampai ia
mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya. Apabila ia telah
mengembalikannya, Aku akan jadi alat pendengarannya yang dengan itu ia
mendengar, dan Aku akan menjadi penglihatannya yang dengan itu ia memandang,
dan ia akan menjadi salah seorang wali dan orang pilihan-Ku dan akan menjadi
tetangga-Ku bersama para Nabi, para shiddikin dan para syuhada yang ditempatkan
di dalam syurga.
(HQR Abu Na'im, Hakim, Ad-Dailami, dan
Ibnu Asakir yang bersumber dari Hudzaifah)
Ada
beberapa alasan kenapa ALLAH SWT sampai harus menetapkan kondisi dasar manusia
sebelum mendirikan SHALAT, atau sebelum memasuki masjid, yaitu :
1.
Hati yang Bersih merupakan syarat utama untuk
berkomunikasi dengan ALLAH SWT, hal ini dikarenakan AL LAH SWT hanya bisa dijangkau oleh Hati
yang Mukmin.
2.
ALLAH SWT adalah Dzat yang Maha Suci, sekarang
bagaimana mungkin kita akan berhubungan, menghadap, berkomunikasi dengan yang
Maha Suci dengan baik dan benar jika lidah, tangan dan kemaluan diri kita
sendiri masih dalam keadaan kotor.
3.
Ada nya barang
aniayaan milik orang lain yang masih belum kita lunasi, atau belum kita
kembalikan kepada yang empunya, atau adanya barang aniayaan yang masih melekat
di dalam harta kita berarti saat diri kita menghadap, atau berhubungan, atau
saat berkomunikasi dengan AL LAH
SWT berarti kondisi harta yang kita miliki, atau sesuatu yang kita miliki belum
seluruhnya dalam keadaan bersih, atau masih dalam keadaan kotor sedangkan ALLAH
SWT adalah Dzat yang Maha Suci. Adanya perbedaan kondisi ini akan menghambat
diri kita untuk bersinergi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.
Selanjutnya setelah diri kita
mampu membersihkan hati, membersihkan lidah, membersihkan tangan, membersihkan
kemaluan serta membersihkan harta maka terjadilah apa yang dinamakan kesesuaian
kondisi antara diri kita dengan ALLAH SWT. Apa maksudnya? ALLAH SWT adalah Maha Suci maka kitapun harus
suci terlebih dahulu sebelum menghadap yang Maha Suci. ALLAH SWT adalah Maha
Terpuji, maka kitapun harus terpuji dahulu sebelum menghadap yang Maha Terpuji.
ALLAH SWT adalah Maha Mulia, maka kitapun harus
Mulia juga sebelum menghadap yang Maha Mulia. Adanya
kesamaan yang kita lakukan sebelum mendirikan SHALAT berarti diri kita telah
menempatkan dan meletakkan ALLAH SWT sesuai dengan Kebesaraan dan Kemahaan yang
dimiliki-Nya.
Berikutnya
ada satu hal yang harus kita perhatikan dengan sungguh-sungguh saat diri kita
menyamakan kondisi diri kita dengan kondisi ALLAH SWT yang Maha Suci, yaitu yang harus kita sucikan bukan hanya Jasmani
semata, akan tetapi Ruhani juga harus kita sucikan terlebih dahulu melalui
proses Thaharah sebelum diri kita mendirikan SHALAT. Apa
dasarnya baik Ruhani dan Jasmani harus disucikan terlebih dahulu sebelum
mendirikan SHALAT atau menghadap yang Maha Suci? Hal ini dikarenakan manusia
terdiri dari Jasmani dan juga Ruhani dan di lain sisi baik Jasmani dan Ruhani
akan mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan keduanya menjadi tidak suci
lagi bagi Ruhani, atau mengalami kekotoran karena adanya pengaruh lingkungan,
ataupun proses di dalam tubuh manusia bagi Jasmani. Apa maksudnya?
Setiap manusia yang hidup pasti
akan mengalami apa yang dinamakan proses pengaruh mempengaruhi antara Jasmani
dengan Ruhani serta setiap manusia pasti akan mengalami gangguan Ahwa dan
Syaitan yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kefitrahan manusia, atau
timbullah kekotoran jiwa manusia, atau manusia sudah tidak sesuai lagi dengan
konsep awal penciptaan manusia. Di lain sisi pada saat manusia hidup maka
setiap manusia pasti akan melakukan aktivitas, yang mana aktivitas ini akan
mengakibatkan jasmani mengalami gangguan berupa debu, berupa keringat, berupa
bau badan, berupa daki, mengakibatkan buang air kecil maupun besar. Adanya
pengaruh negatif baik kepada Jasmani maupun kepada Ruhani tentu hal ini akan
mengakibatkan baik Jasmani maupun Ruhani menjadi tidak suci lagi, atau
mengalami suatu kekotoran. Adanya kekotoran, atau ketidaksucian yang di
alami oleh Jasmani maupun oleh Ruhani maka kondisi ini harus dikembalikan lagi
ke posisi yang suci lagi karena kita akan menghadap kepada yang Maha Suci.
Untuk mengembalikan kefitrahan Ruhani menjadi sediakala, atau membersihkan
Jasmani dari kekotoran akibat proses alam, atau akibat proses alamiah jasmani
maka Thaharah harus kita laksanakan.
Selanjutnya
sebelum kita melanjutkan pembahasan tentang THAHARAH, ada baiknya kita
mengetahui apa yang disebut tidak suci baik ditinjau dari sisi Ruhani dan juga
dari sisi Jasmani sehingga dengan kita mengetahui hal ini maka akan memudahkan
diri kita melaksanakan Thaharah sebelum diri kita mendirikan SHALAT. Berikut
ini akan kami kemukakan apa yang dikatakan tidak suci dari sisi Ruhani dan juga
dari sisi Jasmani, yaitu :
1. Berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 41-42 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Hati Ruhani yang Kafir, yaitu suatu
keadaan dimana mulut mengatakan kami telah beriman sedangkan di dalam hati
belum beriman, atau suatu keadaan lain di mulut lain di hati.
hai rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang
bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, Yaitu diantara orang-orang yang
mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", Padahal hati
mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang
Yahudi itu) Amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan Amat suka
mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416];
mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka
mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka)
kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka
hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka
sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada
Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati
mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.
(surat Al Maaidah (5) ayat 41)
[415] Maksudnya Ialah: orang Yahudi Amat suka
mendengar perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau Amat suka
mendengar perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada
pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[416] Maksudnya: mereka Amat suka mendengar
perkataan-perkataan pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah
bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. karena sangat benci kepada beliau, atau Amat
suka mendengarkan perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan
secara tidak jujur kepada kawan-kawannya tersebut.
[417] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau
menambah dan mengurangi.
2. Berdasarkan surat Al Anfaal
(8) ayat 11 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah adanya gangguan
Syaitan kepada diri kita, atau adanya pengaruh dari gangguan Syaitan kepada
diri kita yang mengakibatkan diri kita selalu berbuat dan bertindak yang sesuai
dengan kehendak Syaitan, dalam hal ini bertindak dan berbuat di dalam koridor
Nilai-Nilai Keburukan.
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu
penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit
untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh
dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8) ayat 11)
[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga
diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.
3. Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 32-33 di bawah ini,
yang dikatakan tidak suci adalah jika
kita masih melaksanakan, atau berbuat dan bertindak dengan mempergunakan Etika
Jahiliyah walaupun telah mendirikan SHALAT.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang
lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan
ucapkanlah Perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217]
dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
(surat Al Ahzab (33) ayat 32-33)
[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah
berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak
baik terhadap mereka.
[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada
penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti
melakukan zina.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di
rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'.
perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah
Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud
Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya
Islam.
[1217] Ahlul bait
di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.
4. Berdasarkan surat Al Hajj (22)
ayat 26 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita masih berbuat
Syirik, atau kita masih melakukan suatu kegiatan tertentu yang masuk di dalam
kategori perbuatan Syirik dan Musyrik.
dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat
Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun
dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan
orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
(surat Al Hajj (22) ayat 26)
5. Berdasarkan surat Al Muddatstsir (74) ayat 4-7 di bawah
ini, yang dikatakan tidak suci itu adalah jika kita masih memiliki akhlak yang
buruk, atau watak yang buruk belum juga hilang dari diri kita.
dan pakaianmu
bersihkanlah,
dan perbuatan
dosa tinggalkanlah,
dan janganlah
kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
dan untuk
(memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
(surat
Al Muddatstsir (74) ayat 4-7)
6. Berdasarkan surat
Huud (11) ayat 78 dan surat
Al A’raaf (7) ayat 80 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita
masih melakukan perbuatan atau Tindakan A-Moral atau kita masih suka
melaksanakan aktivitas yang tidak sesuai lagi dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang
berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah.
dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu
mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji[730]. Luth berkata:
"Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka
bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap
tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?"
(surat Huud (11) ayat 78)
[730] Maksudnya perbuatan keji di sini Ialah:
mengerjakan liwath (homoseksuall).
dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah)
tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan
faahisyah itu[551], yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini)
sebelummu?"
(surat Al A'raaf (7) ayat 80)
[551] Perbuatan faahisyah di sini Ialah: homoseksual
sebagaimana diterangkan dalam ayat 81 berikut.
7. Berdasarkan surat Ali Imran (3)
ayat 55 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah seluruh bentuk dari Kekafiran
termasuk di dalamnya hasil, atau buah dari aktivitas kekafiran yang pernah
dikerjakan oleh seseorang.
(ingatlah),
ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu
kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari
orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas
orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah
kembalimu, lalu aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu
berselisih padanya".
(surat
Ali Imran (3) ayat 55)
8. Berdasarkan surat At Taubah (9)
ayat 108 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Masjid yang didirikan
tanpa dasar Keimanan dan ketaqwaan, atau Masjid yang didirikan bukan untuk
kebaikan akan tetapi untuk menutup-nutupi kejahatan yang pernah dilakukan.
janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya.
Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari
pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada
orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bersih.
(surat At Taubah (9) ayat 108)
9. Berdasarkan surat Al Baqarah
(2) ayat 222 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Haidnya perempuan.
mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu
adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137]
dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka
suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang
diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(surat Al Baqarah (2) ayat 222)
[137] Maksudnya
menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah
sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.
Hamba
ALLAH SWT, inilah sembilan keadaan yang dikatakan sebagai sesuatu yang tidak
suci, yang akan dialami setiap manusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi
tingkat kesucian Ruhani ataupun Jasmani diri kita. Adanya ketidaksucian yang
terdapat di dalam diri kita (baik Ruhani maupun Jasmani) maka kondisi ini harus
kita bersihkan, atau kita kembalikan ke kondisi suci melalui proses Thaharah
sehingga pada saat diri kita mendirikan SHALAT, ataupun setelah mendirikan
SHALAT, antara diri kita dengan ALLAH
SWT sudah dan selalu berada di dalam kesesuaian kesucian. Selanjutnya
dengan adanya kondisi ini akan memudahkan diri kita menghadap kepada ALLAH SWT,
atau akan melancarkan komunikasi diri kita dengan ALLAH SWT .
Sekarang apa yang
harus kita lakukan jika ketidaksucian masih terdapat di dalam diri kita, atau
diri kita masih belum sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang Maha Suci? Berikut ini
akan kami kemukakan beberapa cara yang telah ditunjukkan oleh ALLAH SWT jika
kita berkeinginan untuk mensucikan Jasmani maupun Ruhani, termasuk di dalamnya
hal-hal yang masih belum suci yang terdapat di dalam harta kita, yaitu :
1. Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 11 di bawah ini,
untuk mensucikan gangguan Syaitan maka kita harus berlindung kepada ALLAH SWT.
Sedangkan berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 6 di bawah ini, untuk
mensucikan Jasmani, atau untuk membersihkan junub harus mempergunakan Air yang
suci dan jika kita dalam perjalanan kita diperbolehkan untuk Tayammum dengan
mempergunakan Tanah yang baik (bersih), atau dengan mempergunakan debu.
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk
sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan
dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu
gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya
telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8) ayat
11)
[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga
diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat,
Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka
mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari
tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak
memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah
mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu,
tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur.
(surat Al
Maa-idah(5) ayat 6)
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah:
menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.
Timbul pertanyaan, apa
yang harus kita lakukan dengan air ataupun dengan tanah yang bersih itu? Air
yang bersih dapat kita gunakan untuk mandi jika kita sedang junub. Air juga
kita pergunakan untuk Wudhu, dalam rangka membasuh kedua tapak tangan tiga
kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup
dan mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan
sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh ke dua kaki
hingga mata kaki tiga kali.
Abdullah bin
Zaid r.a. ketika ditanya tentang wudhu-nya Nabi SAW, ia minta mangkok berisi
air wudhu, menyontohkan wudhu Nabi SAW, Maka menuangkan air ke tangan dan
membasuh ke dua tapak tangan tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam
mangkuk lalu kumur dan menghirup air dan mengeluarkannya dari hidung tiga kali,
kemudian memasukkan tangan ke dalam air dan membasuh muka tiga kali, kemudian membasuh
tangan hingga siku dua kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam air lalu
mengusap kepalanya dari muka sampai ke belakang satu kali, kemudian membasuh ke
dua kaki hingga mata kaki.
(HR Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan
No.136)
Usman bin
Affan r.a. minta bejana air untuk wudhu, lalu menuangkan air membasuh kedua
tapak tangannya tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu
kumur dan menghirup dan mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali,
dan kedua tangan sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian
membasuh ke dua kaki hingga mata kaki tiga kali, kemudian berkata: Rasulullah
SAW bersabda: Siapa yang wudhu seperti wudhu'ku ini, lalu sembahyang dua rakaat
dengan khusyu tidak berkata apa-apa dalam hatinya, maka ia akan diampunkan
dosanya yang telah lalu.
(HR Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan
No.135)
Sekarang apa yang kita
lakukan dengan tanah yang baik (bersih)? “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan
tanah yang bersih ” dalam rangka untuk bertayammum.
2. Berdasarkan surat At Taubah (9)
ayat 103 di bawah ini, untuk mensucikan harta, atau kekayaan yang kita miliki
maka kita di wajibkan oleh ALLAH SWT untuk menunaikan Zakat, atau membayar Infaq,
Shadaqah, Jariah.
ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(surat At Taubah
(9) ayat 103)
[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari
kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat
kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
3. Berdasarkan surat At Taubah (9)
ayat 104 di bawah ini, untuk mensucikan dosa yang pernah kita perbuat saat
hidup di dunia maka kita diharuskan untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya
Taubat hanya kepada ALLAH SWT semata.
tidaklah
mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan
menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
(surat At Taubah (9)
ayat 104)
4. Berdasarkan surat An Nisaa’ (4)
ayat 57 dan surat Al Baqarah (2) ayat 25 di bawah ini, untuk mendapatkan
sesuatu yang suci yang berasal dari ALLAH SWT (dalam hal ini adalah Syurga)
maka kita diwajibkan untuk beriman dan beramal shaleh tanpa putus-putusnya saat
menjadi KHALIFAH di muka bumi.
dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang
di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di
dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat
yang teduh lagi nyaman.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 57)
dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang
beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang
mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan
kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk
mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di
dalamnya[32].
(surat
Al Baqarah (2) ayat 25)
[32] Kenikmatan di syurga itu adalah kenikmatan yang
serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.
5. Berdasarkan surat Al Mujaadilah
(58) ayat 12 di bawah ini, kita diwajibkan untuk bersedekah terlebih dahulu
sebelum berbicara dengan Nabi (atau jika kita ingin melakukan suatu kegiatan
tertentu yang di dalamnya terdapat ketidakpastian) agar kesucian dan kemudahan
dapat kita peroleh.
Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus
dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum
pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika
kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
(surat Al Mujaadilah
(58) ayat 12)
6. Berdasarkan surat Ali Imran (3)
ayat 15-16 di bawah ini, untuk memperoleh dan mendapatkan kesucian dari ALLAH
SWT maka diwajibkan oleh ALLAH SWT untuk selalu memohon ampun kepada ALLAH SWT
atas dosa-dosa yang pernah kita perbuat.
Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik
dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah),
pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka
kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta
keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
(yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan
Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan
peliharalah Kami dari siksa neraka,"
(surat Ali Imran (3) ayat 15-16)
Hamba
ALLAH SWT, inilah 6 (enam) method, atau cara yang diperkenankan oleh ALLAH SWT
untuk mensucikan diri kita akibat pengaruh aktivitas kehidupan sehari-hari
ditambah akibat pengaruh buruk dari Ahwa dan Syaitan dan juga karena adanya
tarik menarik antara Jasmani dengan Ruhani. Sebagai KHALIFAH yang sangat membutuhkan SHALAT, berarti kita harus
bisa melaksanakan Thaharah dengan baik dan benar jika kita ingin merasakan
nikmatnya bertuhankan kepada
ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.
Sekarang
ada istilah Wudhu, lalu apa yang harus kita perbuat dengan Wudhu? Wudhu artinya bersih dan indah. Wudhu adalah
sarana untuk melakukan Thaharah (sarana untuk bersuci), atau kewajiban bagi
orang yang akan mendirikan SHALAT dan Thawaf. Wudhu merupakan salah satu
syarat sahnya SHALAT dan tidak sah ibadah (maksudnya SHALAT dan Thawaf)
seseorang jika dilakukan tanpa melakukan Wudhu terlebih dahulu. Apa dasarnya?
Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu
sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu
sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus)
atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka
bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu
dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(surat Al Maaidah (5) ayat
6)
[403]
Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404]
Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin
Ialah: menyetubuhi.
Adapun
dasar dari diri kita melakukan Wudhu sebelum mendirikan SHALAT ada pada surat
Al Maaidah (5) ayat 6 di atas, dimana ALLAH SWT telah mempersyaratkan kepada
diri kita untuk melakukan Thaharah terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT,
apakah dengan mempergunakan Air (maksudnya untuk melakukan Wudhu) dan jika
tidak ada air kita dapat mempergunakan debu, atau tanah yang baik (bersih)
untuk melaksanakan Tayammum. Adanya
ketetapan dari ALLAH SWT tentang Wudhu dan Tayammum berarti kita tidak bisa
sembarangan melakukan Wudhu dan Tayammum, atau
kita tidak bisa seenaknya saja melakukan Wudhu dan Tayammum sebelum
mendirikan SHALAT.
Sekarang
ada manfaat apakah di balik perintah Wudhu dan juga Tayammum yang diperintahkan
ALLAH SWT sebelum mendirikan SHALAT? Di balik perintah Wudhu dan Tayammum ALLAH SWT berkehendak untuk
membersihkan diri kita dari noda dan kotoran yang melekat pada Jasmani dan
Ruhani serta menyempurnakan segala nikmat-Nya kepada diri kita, agar diri kita
mau bersyukur kepada ALLAH SWT. Sekarang bagaimana caranya kita
bisa melaksanakan Wudhu yang sesuai dengan perintah ALLAH SWT sehingga mampu
mendapatkan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang terdapat di dalam
surat Al Maaidah (5) ayat 6 dapat kita
peroleh? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa ketentuan dasar yang mengatur
tentang Wudhu yang harus kita ketahui sebelum diri kita mendirikan SHALAT,
yaitu :
1. Syarat Sahnya Wudhu
Syarat-syarat
sahnya Wudhu dapat kami kemukakan sebagai berikut:
a. Islam,
harus telah beragama Islam.
b. Mumayyiz,
artinya mampu membedakan baik dan buruknya suatu pekerjaan.
c. Tidak
dalam keadaan berhadas besar.
d. Berwudhu
dengan mempergunakan air yang suci dan mensucikan.
e. Tidak ada
sesuatu yang menghalangi air wudhu sampai pada anggota tubuh, misalnya getah,
cat, tanah, dan sebagainya.
f. Mengetahui
yang wajib dan yang sunnah dari rangkaian wudhu.
2. Rukun Wudhu
Saat
diri kita melaksanakan Wudhu, ada rukun yang wajib kita penuhi demi tercapainya
kesempurnaan Wudhu. Jika kita melanggar salah satu rukun Wudhu, maka tidak sah
Wudhu yang kita lakukan. Adapun rukun Wudhu, dapat kami kemukakan sebagai
berikut:
a. Niat.
b. Membasuh
muka.
c. Membasuh
ke dua tangan sampai ke siku.
d. Menyapu
kepala.
e. Membasuh
ke dua kaki sampai mata kaki.
f. Tertib,
yakni melakukan rangkaian Wudhu yang di atur dalam surat Al Maaidah (5) ayat 6
secara berurutan dimulai dari niat sampai dengan membasuh ke dua kaki.
3. Sunnah Wudhu
Sunnah Wudhu yang telah
dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, dapat kami kemukakan sebagai berikut :
a. Membaca Basmallah.
b. Bersiwak atau gosok gigi.
c. Mencuci kedua telapak tangan
ketika hendak memulai Wudhu.
d. Berkumur-kumur dan istinsak
(memasukkan air ke dalam lubang hidung kemudian mengeluarkannya) sebanyak tiga
kali.
e. Menyela-nyela jenggot, jika
ada.
f. Menyilang-nyilang jari.
g. Menyapu ke dua telinga.
h. Membasuh anggota Wudhu tiga
kali.
i.
Tayammun, berwudhu dengan mendahulukan yang kanan.
j.
Muwalat, yakni membasuh berturut-turut anggota Wudhu (anggota tubuh yang
wajib kena Wudhu), jangan sampai ketika kita sedang berwudhu disela dengan
pekerjaan lain.
k. Sederhana, tidak boros dalam
mempergunakan air pada waktu berwudhu.
l.
Membaca doa.
4.
Hal-Hal yang
Membatalkan Wudhu
Ada
beberapa hal yang dapat membatalkan Wudhu yang telah ita laksanakan, yaitu:
a.
Keluarnya sesuatu dari salah satu ‘dua pintu’ apakah
itu kencing, buang air besar, keluar madzi, wadi, mani, maupun kentut.
b.
Tidur nyenyak tanpa tetapnya pinggul di atas lantai,
atau tidur dengan terlentang.
c.
Hilang akal baik karena gila, pingsan, mabuk, atau
disebabkan oleh obat-obatan, baik sedikit ataupun banyak.
d.
Menyentuh kemaluan tanpa ada batas, baik kemaluan sendiri
atau kemaluan orang lain.
d.
d.
Inilah
rangkaian ketentuan dasar dari Wudhu yang harus kita lakukan sebelum diri kita
mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan bagaimanakah caranya kita berwudhu
sehingga mampu menghantarkan diri kita SHALAT dengan Khusyu, atau mampu
memperoleh manfaat di balik perintah Wudhu yang terdapat di dalam surat Al
Maaidah (5) ayat 6? Agar diri kita mampu melaksanakan Wudhu dengan baik dan
benar sesuai dengan yang dikehendaki oleh ALLAH SWT yang terdapat di dalam
surat Al Maaidah (5) ayat 6, maka kita harus bisa melaksanakan hal-hal sebagai
berikut sebelum mendirikan SHALAT, atau saat diri kita melaksanakan Wudhu,
yaitu :
1.
Wudhu harus
dilaksanakan dengan Khusyu’ (penuh konsentrasi)
Dalam
kehidupan sehari-hari, untuk mendapatkan suatu output yang baik, harus dimulai
dari adanya input yang baik serta diproses dengan cara yang baik. Adanya kondisi ini berarti antara output,
input maupun proses tidak bisa berdiri sendiri-sendiri, tetapi harus dalam satu
kesatuan yang berkesinambungan yang dibungkus dalam suatu kualitas yang sama. Selanjutnya
jika ketentuan di atas berlaku dalam kehidupan sehari-hari, lalu bagaimana
dengan SHALAT yang kita dirikan? Hal yang samapun berlaku pada SHALAT yang kita
dirikan, yaitu Kita tidak akan bisa merasakan, atau memperoleh output dari
SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT (maksudnya merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada ALLAH SWT atau mampu mendirikan SHALAT yang sesuai dengan
kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT) jika input yang kita lakukan
sebelum mendirikan SHALAT, dalam hal ini kita tidak mampu melakukan
Thaharah/Wudhu dengan baik dan benar (maksudnya kita tidak mampu melakukan Niat
yang Ikhlas serta mampu menyamakan kondisi diri kita dengan kesucian ALLAH SWT)
kemudian kita sendiri tidak mampu memprosesnya melalui SHALAT yang Khusyu’. Dan jika sekarang kita ingin memperoleh dan
merasakan hikmah SHALAT yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT
maka SHALAT yang kita dirikan harus dipersiapkan sesuai dengan kehendak ALLAH SWT dan dilaksanakan pula dengan cara
yang dikehendaki oleh ALLAH SWT maka barulah SHALAT yang kita dirikan
menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Adanya
kondisi yang kami kemukakan di atas ini, lalu apa yang harus kita lakukan? jika
SHALAT harus didirikan secara Khusyu’ (harus didirikan penuh konsentrasi) maka
saat diri kita melaksanakan Wudhu harus pula dilaksanakan dengan Khusyu’ (harus
dilaksanakan penuh konsentrasi). Apa maksudnya?
Wudhu sebagai sarana untuk melaksanakan Thaharah (sarana untuk bersuci)
dalam rangka menyamakan kondisi diri kita dengan keadaan ALLAH SWT yang Maha
Suci maka Wudhu tidak bisa sembarangan dilaksanakan. Wudhu harus dilaksanakan di dalam koridor
untuk memperoleh, merasakan SHALAT yang Khusyu’ sehingga Wudhu harus
dilaksanakan dengan serius, penuh perhatian, dan dalam keadaan penuh
konsentrasi. Lalu bagaimana caranya kita melaksanakan Wudhu
dengan baik dan benar? Untuk itu mari kita perhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
Saat mencuci tangan, kitapun harus Khusyu’
mengarahkan seluruh komponen diri kita seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam,
hayat, sami’, dan bashir, ke tangan yang sedang kita cuci sehingga Af’idah mampu
merasakan tangan yang sedang kita bersihkan.
b.
Saat berkumur-kumur, kitapun harus Khusyu’
mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam,
hayat, sami’, dan bashir, ke mulut sehingga Af’idah mampu merasakan mulut yang
sedang kita bersihkan dengan air melalu kumur-kumur.
c.
Saat istinsak (memasukkan air ke dalam lubang hidung
kemudian mengeluarkan kembali) kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh
komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan
bashir, ke hidung sehingga Af’idah mampu merasakan hidung yang sedang
dibersihkan dengan air.
d.
Saat membasuh muka,
kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti
qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan bashir, ke muka sehingga Af’idah
mampu merasakan muka yang sedang dibersihkan dengan air.
e.
Saat membasuh tangan sampai dengan siku, kitapun harus Khusyu’ mengarahkan seluruh
komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan
bashir, ke tangan sehingga Af’idah mampu merasakan tangan yang sedang
dibersihkan dengan air.
f.
Saat menyapu kepala, kitapun harus Khusyu’
mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam,
hayat, sami’, dan bashir, ke kepala sehingga Af’idah mampu merasakan kepala kita yang sedang kita sapu
dengan air.
g.
Saat menyapu telinga, kitapun harus Khusyu’
mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam,
hayat, sami’, dan bashir, ke telinga sehingga Af’idah mampu merasakan telinga
yang yang sedang dibersihkan dengan air.
h.
Saat membasuh kaki, kitapun harus Khusyu’
mengarahkan seluruh komponen diri kita, seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam,
hayat, sami’, dan bashir, ke kaki sehingga Af’idah mampu merasakan kaki yang
sedang dibersihkan dengan air.
Adanya
delapan kondisi dasar Wudhu yang kami kemukakan di atas, maka Wudhu yang
dilaksanakan secara apa adanya (maksudnya melaksanakan Wudhu tanpa diiringi
dengan sikap Khusyu’) tidak bisa menghasilkan output yang baik walaupun
diproses dengan cara yang baik. Untuk itu jika kita sangat berkepentingan
dengan hikmah di balik perintah mendirikan SHALAT maka tidak ada jalan lain
bagi diri kita untuk melaksanakan Wudhu dengan baik dan benar sesuai dengan
kehendak ALLAH SWT yang tertuang di
dalam surat Al Maaidah (5) ayat 6.
2. Wudhu merupakan pembersih Ruhani dan Amanah 7.
Hal
lain yang tidak kalah penting dari Wudhu yang kita laksanakan adalah tujuan
Wudhu yang kita laksanakan bukanlah
membersihkan Jasmani semata, akan tetapi tujuan yang hakiki dari Wudhu
adalah untuk membersihkan Ruhani dan Amanah 7 (maksudnya pembersih Ruhani
beserta komponennya seperti qudrat, iradat, ilmu, kalam, hayat, sami’, dan
bashir). Apa maksudnya? Seperti
telah kita ketahui bersama setiap pekerjaan, atau perbuatan baik yang masuk
dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan maupun dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan,
yang kita lakukan akan berbekas, pada Ruhani diri kita. Sekarang
jika Nilai-Nilai Kebaikan yang kita lakukan hal ini tidak menjadi persoalan
bagi Ruhani dan Amanah 7 karena bekasnya tidak mempengaruhi kualitas Ruhani.
Akan tetapi jika Nilai-Nilai Keburukan yang kita lakukan maka hal ini akan
menjadi persoalan yang serius bagi kualitas Ruhani dan Amanah 7. Adanya kondisi
ini berarti Ruhani wajib dibersihkan dari pengaruh buruk yang berasal dari
Nilai-Nilai Keburukan.
Sekarang
dapatkah pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan dibersihkan
melalui Jasmani saat melaksanakan Wudhu? Jika Wudhu yang kita lakukan
bertujuan untuk membersihkan Jasmani semata, maka yang bersih adalah Jasmani
semata. Sedangkan Ruhani dan Amanah
7 belum tentu dapat dibersihkan dari pengaruh buruk Nilai-Nilai Keburukan yang
dibawa Jasmani yang didukung oleh Ahwa dan Syaitan. Akan tetapi jika Wudhu yang kita lakukan bertujuan untuk membersihkan
Ruhani dan Amanah 7 maka yang dibersihkan bukan hanya Ruhani dan Amanah 7
semata, akan tetapi Jasmani secara otomatis ikut dibersihkan melalui aktivitas
Wudhu yang kita lakukan. Apa maksudnya dan apa buktinya? Untuk itu mari
kita perhatikan hal-hal di bawah ini, yaitu:
a. Saat mencuci tangan berarti pada saat
itu diri kita sedang membersihkan Ruhani dan Qudrat dari pengaruh buruk yang
ditimbulkan dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani yang didukung
oleh Ahwa dan juga Syaitan. Lalu setelah tangan kita bersihkan maka tangan
tidak boleh lagi berbuat sembarangan, atau tangan tidak boleh lagi berbuat di
dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan, atau setelah tangan dibersihkan maka
tangan tidak boleh lagi memiliki berat tangan untuk membantu dan menolong
sesama manusia.
b. Saat berkumur-kumur, berarti diri
kita sedang membersihkan Ruhani dan Kalam dari pengaruh buruk yang ditimbulkan
dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah
mulut kita bersihkan maka mulut, atau Kalam tidak boleh lagi memakan sesuatu
yang bersifat haram, atau yang tidak dibacakan nama Allah SWT saat makan dan
minum, atau tidak boleh lagi menyakiti hati orang lain melalui kata dan omongan
yang keluar dari mulut.
c. Saat istinsak (memasukkan air ke dalam
lubang hidung kemudian mengeluarkannya), berarti kita sedang membersihkan
Ruhani dan penciuman dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai
Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah hidung kita bersihkan
maka hidung tidak boleh lagi mencium hal-hal yang bertentangan dengan
Nilai-Nilai Kebaikan.
d. Saat membasuh muka berarti diri kita
sedang membersihkan Ruhani dan penglihatan dari pengaruh buruk yang berasal
dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah Mata
dibersihkan maka Mata diharapkan tidak lagi memandang, memperlihatkan kembali
hal-hal yang bersifat negatif, atau berada di dalam koridor Nilai-Nilai
Keburukan. Akan tetapi mata harus kita pergunakan untuk melihat hal-hal yang
positif yang dapat menambah keimanan.
e. Saat membasuh tangan sampai dengan
siku berarti yang kita bersihkan adalah Ruhani dan Qudrat atau kekuatan dari
pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa
dan Syaitan. Lalu setelah kekuatan yang terdapat di dalam tangan kita bersihkan
maka tangan tidak boleh lagi berbuat yang mengakibatkan orang lain menjadi
celaka, teraniaya, menjadi tidak nyaman oleh sebab keberadaan diri kita.
f.
Saat menyapu kepala berarti diri kita sedang membersihkan Ruhani dan Ilmu
dari pengaruh buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh
Ahwa dan Syaitan. Lalu setelah dibersihkan maka Ilmu yang kita miliki harus
dapat menghantarkan masyarakat, atau orang lain menjadi tertolong oleh sebab
Ilmu yang kita miliki atau Ilmu yang kita miliki mampu melahirkan teknologi
baru yang dapat membantu masyarakat luas.
g. Saat menyapu telinga berarti diri
kita sedang membersihkan Ruhani dan pendengaran yang kita miliki dari pengaruh
buruk yang berasal dari Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan
Syaitan. Lalu setelah telinga kita bersihkan maka telinga dan juga pendengaran
tidak diperkenankan lagi untuk mendengarkan hal-hal yang tidak bermanfaat yang
menyebabkan kefitrahan diri kita menjadi turun.
h.
Saat membasuh kaki berarti kita sedang membersihkan Ruhani dan Qudrat,
atau kekuatan yang kita miliki dari pengaruh buruk yang berasal dari
Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Ahwa dan juga Syaitan. Lalu setelah kaki
atau kekuatan kita bersihkan maka kekuatan yang kita miliki tidak boleh lagi
dipergunakan untuk menganiaya orang lain, untuk mengintimidasi orang lain,
untuk berbuat semena-mena kepada orang lain. Kekuatan yang kita miliki harus
dapat menjadikan masyarakat tentram, aman dan nyaman oleh sebab keberadaan diri
kita.
Selain
daripada itu, saat diri kita melaksanakan Wudhu maka pada saat itu kita
sedang melaksanakan apa yang dinamakan dengan terapi air (hidro therapy), yang
menurut para ahli sangat bermanfaat bagi jasmani diri kita. Selanjutnya mari
kita perhatikan dengan seksama Hadits yang kami kemukakan di bawah ini, dimana
di dalam hadits ini dikemukakan bahwa Wudhu mampu menghapus dosa-dosa yang
telah pernah kita buat serta mampu mengangkat derajat diri kita. Sekarang
Wudhu yang seperti apakah yang dapat menjadikan diri kita sesuai dengan hadits
di bawah ini?
Maukah aku
beritahu apa yang dapat menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?” Para
sahabat menjawab: “Baik ya Rasullullah”. Beliau berkata, “Berwudhu dengan baik,
menghilangkan kotoran-kotoran, banyak langkah diayunkan menuju masjid, dan
menunggu shalat (Isya) sesudah shalat (maghrib). Itulah kewaspadaan
(kesiagaan).
(HR Muslim)
Wudhu yang dapat menghapus
dosa-dosa yang pernah kita perbuat, atau Wudhu yang dapat mengangkat derajat
diri kita bukanlah Wudhu dalam arti untuk membersihkan Jasmani. Akan tetapi
Wudhu yang mampu membersihkan Ruhani dan Amanah 7 yang berdampak kepada
kebersihan Jasmani. Sebagai
KHALIFAH di muka bumi, sudah seperti inikah Wudhu yang kita lakukan saat hidup
di muka bumi?
Hamba
ALLAH SWT, ada satu hal yang
harus kita perhatikan dengan seksama bahwa secara sepintas Thaharah hanya wajib
kita lakukan sebelum diri kita mendirikan SHALAT, atau jika kita dalam keadaan
Junub. Akan tetapi karena adanya pengaruh tarik menarik antara Jasmani dengan
Ruhani ditambah dengan adanya pengaruh Ahwa dan Syaitan maka kita wajib
melakukan Thaharah dari waktu ke waktu tanpa henti karena adanya kondisi di
atas akan mengakibatkan kekotoran pada kefitrahan diri, atau mengakibatkan
Ruhani dan Amanah 7 tidak sesuai lagi dengan kehendak ALLAH SWT. Semoga kita
mampu melaksanakan ini semua dengan sebaik mungkin.
3. Dirikan SHALAT harus tepat
Waktu
Ketentuan
lain yang harus kita lakukan agar SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan
kehendak pemberi perintah SHALAT adalah dirikan SHALAT di awal waktu, atau
tepat pada waktunya. Jika kita mampu melakukan hal ini berarti diri kita mampu
meletakkan perintah ALLAH SWT sesuai dengan kehendak yang memerintahkan SHALAT.
Apa maksudnya? Jika kita
berbicara tentang Waktu mendirikan SHALAT maka hal ini tidak bisa dipisahkan
dengan adanya Adzan sebagai pertanda, sebagai pemberitahuan akan datangnya
waktu SHALAT. Sekarang dengan adanya Adzan yang dikumandangkan sebenarnya
bukanlah pertanda datangnya waktu SHALAT, akan tetapi ALLAH SWT telah memanggil
diri kita untuk segera mendirikan SHALAT. Sebagai orang yang
dipanggil oleh Pencipta dan Pemilik langit dan bumi berarti jika kita
mendirikan SHALAT di awal waktu atau mendirikan SHALAT tepat pada waktunya
berarti kita menghargai ALLAH SWT, berarti kita menghormati ALLAH SWT, yang
telah memanggil diri kita untuk segera mendirikan SHALAT, atau yang tidak
bosan-bosannya mengingatkan diri kita untuk mendirikan SHALAT.
Sebagai
bahan perbandingan, mari kita renungkan apa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Katakan kita memanggil anak untuk disuruh mengerjakan sesuatu,
kemudian anak yang dipanggil diam saja, atau malah tidak datang memenuhi
panggilan kita, atau dia datang tetapi setelah sekian lama dipanggil. Timbul
pertanyaan, apa yang kita rasakan dengan adanya kondisi ini?
Aisyah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Sungguh
Aku berjanji kepada hamba-Ku bila ia melakukan Shalat tepat waktunya, tidak
akan Aku siksa dan pasti akan Aku masukkan Syurga tanpa hisab.
(HQR Al Haakim:
272-41)
Jika
kita mengalami hal ini maka akan timbul di dalam diri kita apa yang dinamakan
kekesalan, atau merasa tidak dihargai oleh anak yang kita panggil. Selanjutnya jika ini yang terjadi pada diri
kita, lalu bagaimanakah dengan ALLAH SWT yang telah memanggil, yang telah
mengingatkan, diri kita untuk segera mendirikan SHALAT melalui Adzan yang
dikumandangkan, atau ALLAH SWT telah memanggil diri kita untuk segera
mendirikan SHALAT di mana ALLAH SWT sudah ada di tempat SHALAT yang akan kita
dirikan? Jika manusia saja merasa dilecehkan, jika manusia saja merasa tidak
dihargai, maka hal yang samapun terjadi pada ALLAH SWT jika kita menunda-nunda
untuk mendirikan SHALAT, jika kita mengulur-ulur waktu untuk mendirikan SHALAT,
padahal Adzan sudah terdengar oleh diri kita.
Sebagai
KHALIFAH yang menumpang di langit dan di bumi ALLAH SWT maka sudah sepantasnya
dan sudah pula sepatutnya diri kita bereaksi dengan cepat jika yang menciptakan
dan yang memiliki langit dan bumi memanggil diri kita untuk segera mendirikan
SHALAT, apalagi SHALAT itu untuk kepentingan diri kita sendiri. Semakin cepat diri kita memenuhi panggilan
ALLAH SWT melalui Adzan yang dikumandangkan berarti semakin tinggi penghargaan
dan penghormatan diri kita kepada ALLAH SWT. Semakin lambat diri kita memenuhi
panggilan ALLAH SWT melalui Adzan maka semakin rendah penghargaan dan
penghormatan diri kita kepada ALLAH SWT. Sekarang
pilihan sudah ada pada diri kita sendiri, tentukanlah sikap sekarang juga
sebelum Syaitan sang Laknatullah melaksanakan aksinya pada diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar