Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 01 April 2016

TINGKATAN TINGKATAN SHALAT



Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya

Perintah mendirikan SHALAT sebagai satu-satunya perintah langsung yang berasal dari ALLAH SWT, tidak bisa didirikan secara asal-asalan, asal sudah dilaksanakan, maka selesai sudah kewajiban SHALAT. Jika ini yang terjadi pada diri kita saat mendirikan SHALAT, maka ketentuan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, menjadi tidak berlaku pada diri kita, atau SHALAT yang kita dirikan bukanlah SHALAT yang memenuhi ketentuan ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT.



Ibn Abbas, ra berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Sesungguhnya Aku hanya menerima shalat dari orang yang merendah diri karena keagungan-Ku dan tiada menyombongkan dirinya di atas makhluk-Ku, tiada terus menerus bermaksiat pada-Ku, menghabiskan masa harinya berdzikir kepada-Ku, berbalas kasih kepada orang yang miskin, orang musafir (Ibnussabil) perempuan janda dan orang yang terkena musibah. Ia bercahaya laksana matahari. Aku lindungi ia dengan kesabaran-Ku dan memerintahkan malaikat-Ku menjaganya. Aku berinya cahaya dalam kegelapan dan kesabaran dalam kesukaran. Ia diantara makhluk-makhluk-Ku laksana "Firdaus" di antara barisan syurga.
(HQR AlBazzar dari Ibnu Abbas, 272:44)



Untuk itu sebelum diri kita mendirikan SHALAT sebaiknya dan seharusnya kita harus tahu dan kita harus mengerti terlebih dahulu apa yang akan kita dirikan atau kita harus memiliki ilmu tentang SHALAT terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT. Timbul pertanyaan, kenapa harus seperti itu kita mendirikan SHALAT? ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT sudah menyatakan di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 45 bahwa SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sungguh berat, kecuali bagi orang yang Khusyu’. Adanya informasi yang telah dikemukakan oleh ALLAH SWT maka tidak selayaknya serta tidak sepatutnya SHALAT  didirikan secara asal-asalan, atau SHALAT tidak bisa didirikan sebatas kewajiban belaka. Sekarang bagaimana kita akan mampu mendirikan SHALAT dengan Khusyu’ jika kita tidak pernah mau belajar tentang SHALAT yang Khusyu’, atau tidak memiliki Ilmu tentang SHALAT yang Khusyu’?. 

Di lain sisi, kondisi dan keadaan diri kita sebagai orang yang akan mendirikan SHALAT adalah makhluk yang ada di dunia ini karena kehendak ALLAH SWT; hidup menumpang di muka bumi yang dimiliki oleh ALLAH SWT sehingga dapat dikatakan manusia, termasuk diri kita tidak memiliki apapun juga dibandingkan dengan ALLAH SWT. Selanjutnya dengan adanya perbedaan kondisi dasar antara diri kita dengan  ALLAH SWT, tentu akan berdampak kepada posisi diri kita dibandingkan dengan ALLAH SWT. Yang jelas di dalam mendirikan SHALAT kita tidak bisa mensejajarkan diri dengan ALLAH SWT, atau kita tidak akan mungkin berada di atas ALLAH SWT. Akan tetapi kita harus dapat meletakkan diri sesuai dengan kondisi dan keadaan diri kita yang miskin, yang hina, yang ada di muka bumi karena diadakan oleh ALLAH SWT, yang tidak memiliki apapun juga dibandingkan ALLAH SWT.


Adanya kondisi seperti ini memang sudah sepatutnya dan sepantasnya diri kita merendahkan diri sewaktu mendirikan SHALAT, terkecuali jika kita ingin diberi penilaian oleh ALLAH SWT sebagai makhluk yang tidak tahu diri, sudah menumpang lalu ALLAH SWT kita lawan. Selanjutnya setelah diri kita mendirikan SHALAT, masih ada hal lainnya yang harus kita ketahui mengenai SHALAT yang kita dirikan yaitu sudah sampai dimanakah tingkatan SHALAT yang kita dirikan atau sudah sampai dimanakah kualitas SHALAT yang telah kita dirikan. Untuk mengetahui tentang tingkatan SHALAT atau kualitas dari SHALAT yang kita dirikan, mari kita lanjutkan pembahasan tentang SHALAT secara lebih mendalam lagi.


A.  SHALAT Tingkat Pertama adalah SHALAT karena melaksanakan perintah semata, tanpa Ilmu.


Sewaktu diri kita masih kanak-kanak, ada satu hal yang sering dikemukakan oleh orang tua kepada kita, yaitu orang tua selalu memerintahkan diri kita untuk mandi, untuk gosok gigi, untuk makan, untuk belajar dan lain sebagainya. Sebagai anak tentu kita harus melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh orang tua, baik dengan terpaksa ataupun dengan kesadaran sendiri. Hal yang pasti pada saat diri kita melaksanakan perintah orang tua tersebut adalah kita tidak tahu, kita tidak mengerti apa itu makna di balik perintah atau kita tidak tahu apa maksud dan tujuan dari orang tua memerintahkan diri kita untuk mandi, untuk gosok gigi untuk makan ataupun untuk belajar. Adanya kondisi ini saat diri kita melaksanakan perintah orang tua berarti saat itu kita tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya mandi, kita tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya gosok gigi, kita tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya makan  serta kita tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya belajar dan juga  kita tidak memiliki ilmu dan pengetahuan tentang apa-apa yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita.


Adanya 2(dua) buah keadaan yang kami kemukakan di atas, berarti kita telah mengabaikan syarat dan ketentuan yang berlaku atau kita telah melanggar segala ketentuan yang baik dan yang benar tentang mandi, gosok gigi, makan dan juga belajar. Sehingga yang ada pada saat itu adalah bagaimana agar orang tua tidak memarahi diri kita maka kita turuti saja segala apa yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita. Setelah itu selesai sudah urusan kita dengan orang tua kita, lalu kita bisa kembali bebas bermain. 



dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
(surat Al Ahzab (33) ayat 33)

[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.

Sekarang apa yang terjadi jika kondisi di atas, kita terapkan pada waktu kita mendirikan SHALAT, atau apa yang terdapat di dalam surat Al Ahzab (33) ayat 33,  kita laksanakan sebatas melaksanakan perintah semata tanpa mengindahkan Ilmu tentang SHALAT? Jika apa yang kami kemukakan di atas kita terapkan saat diri kita mendirikan SHALAT berarti kualitas atau tingkatan SHALAT yang kita dirikan baru  berada pada kualitas, atau tingkatan yang paling rendah.


Timbul pertanyaan atas dasar apakah kualitas atau tingkatan SHALAT yang kita dirikan dikatakan sebagai yang paling rendah? SHALAT tidak akan dapat memberikan kualitas yang tinggi sepanjang diri kita tidak memiliki kesadaran untuk mendirikan SHALAT serta adanya  ilmu yang cukup tentang SHALAT yang kita dirikan. Adanya Ilmu yang cukup tentang SHALAT maka kita akan mengerti, kita akan tahu apa yang menjadi tujuan dari SHALAT yang kita dirikan, sehingga apa-apa yang terkandung di balik perintah SHALAT dapat kita raih dan dapat kita rasakan untuk kepentingan diri kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi.


Lalu seperti apakah SHALAT yang didirikan jika yang mendirikan SHALAT tidak memiliki kesadaran tentang arti dan pentingnya SHALAT serta yang mendirikan juga tidak memiliki Ilmu tentang SHALAT? Jika sampai Ilmu tentang SHALAT tidak kita miliki maka Syarat Wajib SHALAT bisa tidak terpenuhi; Syarat SAH SHALAT bisa tidak terpenuhi; Rukun SHALAT bisa tidak terpenuhi; Sunnah-Sunnah SHALAT bisa tidak dikerjakan, Hal-Hal yang makruh dalam SHALAT banyak dikerjakan; Hal-Hal yang membatalkan SHALAT bisa banyak yang dikerjakan. Selain daripada itu bacaan yang terdapat di dalam SHALAT tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (maksudnya bacaan SHALAT  tidak dilaksanakan secara tuma'ninah, tartil dan tajwidnya tidak sesuai) serta kekhusyu'an di dalam mendirikan SHALAT jauh panggang dari api. 


Sekarang apa jadinya setelah diri kita mandi, tetapi masih juga menggaruk-garuk kegatalan serta kurap dan kudis masih tampak di badan? Jika ini yang terjadi berarti mandi yang kita lakukan belum sesuai dengan maksud dan tujuan dari mandi itu sendiri dikarenakan diri kita belum memiliki kesadaran tentang arti pentingnya mandi ditambah diri kita tidak memiliki ilmu yang cukup tentang mandi. Hal yang samapun berlaku dengan SHALAT yang kita dirikan, yaitu setelah diri kita mendirikan SHALAT tetapi tetap melakukan perbuatan keji dan munkar, setelah mendirikan SHALAT tetapi masih tetap korupsi, setelah mendirikan SHALAT tetapi masih tetap saja tidak memperoleh ketenangan hidup. Jika ini yang terjadi setelah mendirikan SHALAT berarti SHALAT yang kita dirikan belum sesuai dengan kehendak ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT.


Agar diri kita terhindar dari itu semua, agar diri kita tidak sekedar melaksanakan perintah mendirikan SHALAT semata maka disinilah letak pentingnya kita memiliki kesadaran tentang pentingnya SHALAT bagi diri kita serta pentingnya memiliki Ilmu  tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT karena manfaat di balik perintah mendirikan SHALAT bukanlah untuk orang lain tetapi untuk kepentingan diri kita sendiri. Sekarang jika sampai diri kita hanya mampu mendirikan SHALAT sebatas melaksanakan perintah semata, tanpa disertai kesadaran, tanpa disertai ilmu yang cukup tentang SHALAT maka jangan pernah salahkan  ALLAH SWT jika kita hanya memperoleh sekedar apa yang kita kerjakan tanpa pernah merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui SHALAT. Jika ini adalah keadaannya, sekarang tergantung diri kita sendiri apakah mau mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT ataukah tidak?


B.  SHALAT Tingkat ke-dua adalah SHALAT karena mengharapkan sesuatu atau karena kepentingan tertentu.


Sewaktu diri kita masih anak-anak, oleh orang tua kita diperintahkan untuk melaksanakan Puasa Ramadhan. Selanjutnya agar diri kita mampu berpuasa di bulan Ramadhan secara penuh, maka orang tua mengiming-imingi diri kita dengan hadiah. Adanya iming-iming hadiah dari orang tua kepada diri kita maka kitapun melaksanakan puasa Ramadhan secara penuh. Jika ini yang terjadi pada saat diri kita melaksanakan puasa Ramadhan berarti puasa yang kita laksanakan adalah bukanlah puasa karena kesadaran diri sendiri, akan tetapi puasa karena ingin memperoleh hadiah tertentu dari orang tua. Selain daripada itu pada saat diri kita melaksanakan Puasa Ramadhan seperti di atas maka secara otomatis pada saat itu kita tidak memiliki ilmu yang utuh tentang apa itu Puasa yang sebenarnya, atau kita tidak tahu makna yang hakiki di balik perintah Puasa.


 Sekarang bagaimana jika kondisi dan keadaan di atas ini, kita terapkan dan aplikasikan pada saat diri kita mendirikan SHALAT. Lalu apa yang akan terjadi? Yang terjadi adalah SHALAT yang kita dirikan bukanlah SHALAT karena kesadaran diri sendiri. Akan tetapi SHALAT yang kita dirikan untuk maksud dan tujuan yang lain, atau SHALAT yang kita dirikan tidak sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah mendirikan SHALAT sehingga makna hakiki yang ada dibalik perintah mendirikan SHALAT yang sebenarnya, telah digantikan dengan janji-janji, telah digantikan dengan iming-iming. Adanya keadaan ini timbullah tujuan lain dari mendirikan SHALAT seperti untuk dilihat orang, untuk popularitas sesaat agar dikatakan sebagai orang alim dan lain sebagainya, yang intinya untuk popularitas.     

“Suatu kaum menyembah Allah SWT karena mengharapkan sesuatu, maka itu adalah ibadahnya pedagang, dan suatu kaum menyembah  Allah SWT karena takut murka Allah SWT maka itu adalah ibadahnya budak, dan suatu kaum menyembah Allah SWT karena ungkapan syukur kepada-Nya, maka itulah ibadahnya orang-orang yang bebas merdeka.”
(Ali bin Abi Thalib r.a). 


Selanjutnya agar diri kita tidak melakukan hal-hal yang kami kemukakan di atas, ada baiknya kita mempelajari apa yang dikemukakan oleh salah satu Sahabat Nabi di atas ini. Jika sampai diri kita mendirikan SHALAT karena mengharapkan sesuatu maka ibadah yang kita lakukan tidak ubahnya seperti seorang pedagang. Hal ini dikarenakan pedagang di dalam melaksanakan transaksi dagang selalu menghitung untung rugi dari transaksi yang dilakukannya.Selain daripada itu, jika kita SHALAT karena mengharapkan sesuatu berarti segala ketentuan yang mengatur tentang SHALAT menjadi tidak berlaku lagi serta kekhusyuan saat mendirikan SHALAT telah tergadai dengan sesuatu.


Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT jangan sampai diri kita mendirikan SHALAT karena mengharapkan untung rugi, jangan sampai diri kita mendirikan SHALAT karena mengharapkan pujian orang, jangan sampai diri kita mendirikan SHALAT karena ingin popular, atau mendirikan SHALAT sebatas kewajiban belaka. Padahal makna hakiki, atau maksud dan tujuan sebenarnya dari mendirikan SHALAT bukanlah seperti itu, melainkan untuk menjadikan diri kita sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT; untuk tetap menjadikan diri kita makhluk yang terhormat; untuk menjaga kefitrahan diri dari waktu ke waktu. Mudah-mudahan pembaca buku ini, tidak termasuk orang yang mendirikan SHALAT tingkat ke dua.  



C.  SHALAT Tingkat ke-tiga adalah SHALAT karena kesadaran tetapi belum memiliki Ilmu yang cukup.


Setelah diri kita menginjak remaja, kita sekarang mandi tanpa diperintah lagi oleh orang tua dikarenakan kesadaran akan pentingnya mandi sudah kita miliki. Akan tetapi setelah kesadaran untuk mandi timbul tetapi setelah mandi hal-hal sebagai berikut masih juga sering terjadi seperti bau keringat masih tercium, penyakit kulit seperti panu, kadas dan kurap belum juga hilang, menggaruk-garuk kegatalan masih kita lakukan, biang keringat bukannya hilang malah bertambah banyak. Timbul pertanyaan, kenapa hal ini bisa terjadi? Timbulnya penyakit kulit, biang keringat, bau tidak sedap dikarenakan diri kita belum memiliki ilmu yang cukup baik tentang mandi atau mandi yang kita lakukan belum sesuai dengan kriteria mandi yang dapat mendatangkan kesehatan kulit, atau ada sesuatu yang salah saat diri kita mandi.

Sekarang bagaimana jika kondisi dan keadaan di atas ini kita terapkan dan aplikasikan pada saat diri kita mendirikan SHALAT. Jika SHALAT yang kita dirikan mempergunakan kriteria di atas berarti SHALAT yang kita dirikan baru sampai pada tingkat tahu bahwa SHALAT itu penting bagi diri kita. Akan tetapi kita belum mengerti tentang apa itu SHALAT yang sebenarnya sehingga SHALAT yang kita dirikan belum dapat menghantarkan diri kita untuk merasakan manfaat yang hakiki dari SHALAT. Timbul pertanyaan, apa dasarnya? Jika diri kita memang sudah paham, jika kita sudah mengerti akan pentingnya SHALAT bagi diri kita (maksudnya bagi Ruhani dan Amanah 7) maka SHALAT yang kita dirikan harus dapat menghantarkan diri kita untuk merasakan manfaat yang hakiki dibalik perintah mendirikan SHALAT.


Selain daripada itu, jika kita hanya mampu mendirikan SHALAT berdasarkan kesadaran semata tanpa pernah merasakan langsung manfaat yang hakiki dari SHALAT berarti saat diri kita mendirikan SHALAT ada kemungkinan besar Syarat Wajib SHALAT belum sepenuhnya kita mengerti, Syarat SAH SHALAT belum terpenuhi secara utuh; Rukun SHALAT tidak sepenuhnya terpenuhi; Sunnah-Sunnah SHALAT tidak dikerjakan, Hal-Hal yang makruh dalam SHALAT kemungkinan besar banyak dikerjakan; Hal-Hal yang membatalkan SHALAT sedikit banyak ada yang diabaikan; bacaan yang terdapat di dalam SHALAT tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (maksudnya tidak tuma'ninah, tartil dan tajwidnya tidak sesuai) serta kekhusyu'an di dalam mendirikan SHALAT masih jauh panggang dari api. Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk mempelajari secara lebih seksama tentang Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT sehingga SHALAT yang kita dirikan mampu menghantarkan diri kita selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH SWT.  


D.  SHALAT Tingkat ke-empat adalah SHALAT karena kebutuhan setelah merasakan manfaat tetapi belum sampai merasakan hakekat.



Dalam kehidupan sehari-hari, suatu perintah yang diperintahkan bukanlah merupakan tujuan akhir dari perintah itu sendiri. Perintah hanyalah sarana atau media atau alat bantu untuk memperoleh, untuk mendapatkan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Apa buktinya? Contohnya mandi, mandi bukanlah tujuan akhir dari suatu perintah, akan tetapi mandi merupakan sarana atau alat bantu untuk mencapai kesehatan kulit dan tubuh. Selanjutnya dengan adanya kesadaran akan pentingnya mandi serta telah dimilikinya ilmu tentang mandi yang baik dan benar mendorong diri kita tanpa diperintah lagi oleh siapapun juga untuk melaksanakan mandi 2(dua) kali sehari. Kenapa ini terjadi? Ini terjadi karena kita telah merasakan langsung manfaat dari mandi yang kita lakukan. Sekarang setelah diri kita dewasa, atau setelah diri kita mempunyai anak, kenapa kita juga memerintahkan anak kita untuk mandi? Kita memerintahkan anak untuk mandi, agar anak kita juga merasakan manfaat dari mandi atau agar jangan sampai anak kita merasakan ketidaknyamanan, jika tidak mau mandi seperti yang pernah kita rasakan. Adanya kondisi seperti ini pada aktivitas mandi maka sudah sepatutnya apa-apa yang terjadi pada pelaksanaan mandi harus terjadi pula pada saat diri kita mendirikan SHALAT atau terjadi pula saat diri kita memerintahkan anak kita untuk mendirikan SHALAT, jika tidak pasti ada sesuatu yang salah pada SHALAT yang kita dirikan.  


Sekarang bagaimana jika kondisi dan keadaan di atas, kita terapkan pada saat diri kita mendirikan SHALAT, selanjutnya apa yang terjadi? SHALAT yang kita dirikan dapat dipastikan bukanlah SHALAT karena keterpaksaan, atau karena ingin mengharapkan sesuatu, atau karena ingin dipuji orang. Akan tetapi SHALAT yang kita dirikan adalah SHALAT karena kesadaran diri sendiri karena memang diri kita membutuhkan SHALAT seperti halnya diri kita membutuhkan mandi. Akan tetapi walaupun diri kita telah mampu mendirikan SHALAT atas kesadaran sendiri, masih ada hal-hal lain yang harus kita perhatikan, yaitu apakah SHALAT yang kita dirikan tersebut sudah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT, atau apakah SHALAT yang kita dirikan sudah mampu menghantarkan diri kita kepada makna yang tersembunyi, atau kepada makna yang hakiki atau dapat menghantarkan diri kita merasakan hakekat yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan ALLAH SWT kepada diri kita. Jika apa yang kami kemukakan di atas ini belum bisa kita rasakan berarti kita belum sempurna mendirikan SHALAT atau SHALAT yang kita dirikan baru sampai tingkat yang ke empat. 


Timbul pertanyaan, kenapa SHALAT yang kami kemukakan di atas,  dikatakan sebagai SHALAT tingkat ke empat? Hal ini dikarenakan apa yang kita lakukan masih ada yang kurang yaitu setelah diri kita mendirikan SHALAT seharusnya  Kebesaran dan Kemahaan yang telah diperlihatkan oleh ALLAH SWT dapat kita rasakan, atau janji-janji ALLAH SWT kepada diri kita harus dapat kita raih, atau kita harus aktif untuk melibatkan diri di dalam Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT setelah mendirikan SHALAT sehingga hal-hal sebagai berikut dapat kita raih, seperti : SHALAT sebagai Penghapus amal  jahat dapat kita rasakan; pertolongan/lindungan ALLAH SWT dapat kita raih dan rasakan; Jadi Ahli Syurga; segala urusan akan ditanggung ALLAH SWT; Mensucikan diri sendiri; Supaya dimuliakan ALLAH SWT; Supaya hidup subur makmur; Untuk bersyukur/tepati janji; Supaya orang berilmu dapat ganjaran; Supaya mendapat petunjuk ALLAH SWT; Untuk memohon pertolongan; Untuk kebaikan diri sendiri; Untuk minta Rahmat ALLAH SWT; Bukti Iman; Berdialog atau Berbisik dengan ALLAH SWT dapat kita lakukan dengan baik dan benar sehari semalam minimal lima kali.


Sekarang bagaimana  ALLAH SWT akan memberikan kasih sayang-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan pertolongan-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan perlindungan-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan hidayah-Nya kepada kita, jika kita sendiri tidak mau mendirikan SHALAT yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT dengan baik dan benar, atau apakah hanya dengan berdiam diri saja, atau hanya dengan menjadi penonton dan pengagum ALLAH SWT semata, atau cukup dengan ingat saja tanpa melakukan aktivitas apapun lalu janji-janji ALLAH SWT yang  terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT akan diberikan kepada diri kita, atau dapat kita rasakan? Jawaban dari pertanyaan di atas adalah ALLAH SWT dapat dipastikan tidak akan memberikan apa-apa kepada hamba-Nya yang tidak mau melaksanakan perintah-Nya dengan baik dan benar, atau ALLAH SWT akan melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai Tuhan semesta alam kepada diri kita dikarenakan kita acuh dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT.


Saat ini diri kita telah mampu mendirikan SHALAT karena kesadaran diri sendiri ditambah diri kitapun telah memiliki Ilmu yang cukup tentang SHALAT sehingga SHALAT yang kita dirikan sudah mampu memenuhi segala syarat dan ketentuan yang berlaku tentang SHALAT sehingga SHALAT yang kita dirikan sudah khusyu. Namun setelah diri kita mendirikan SHALAT kita hanya berdiam diri saja, atau kita tidak turut melibatkan diri secara aktif dengan kebesaran ALLAH SWT yang sudah terhampar di hadapan diri kita, atau jika kita melibatkan diri ke dalam kebesaran ALLAH SWT hanya sebatas ikut-ikutan saja atau kadang terlibat atau kadang tidak mau terlibat. Selanjutnya jika sampai hal ini yang kita lakukan setelah mendirikan SHALAT maka akan sia-sialah Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang sudah ada dihadapan kita, atau  yang juga ditujukan untuk diri kita serta yang diperuntukkan pula untuk diri kita, justru kita sendirilah yang menyia-nyiakan segala Fasilitas dan Kemudahan dari ALLAH SWT akibat bersikap pasif atau menunggu untuk diberikan sesuatu oleh ALLAH SWT sedangkan untuk memperoleh Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT kita harus selalu aktif untuk memperolehnya dikarenakan kebesaraan dan kemahaan yang dimiliki oleh ALLAH SWT bukanlah untuk ALLAH SWT melainkan untuk seluruh umat manusia, termasuk untuk diri kita, termasuk untuk anak dan keturunan kita.


Inilah Ironi yang sering terjadi di dalam kehidupan manusia atau yang mungkin pula terjadi di dalam kehidupan diri kita sendiri, yaitu manusia hidup berkekurangan (hidup miskin) di dalam lumbung padi yang sangat kaya raya; manusia bodoh di dalam lumbung ilmu; manusia lemah di dalam lumbung kekuatan; manusia tidak berdaya di dalam lumbung kekuatan. Inilah tragedi besar yang terjadi dalam kehidupan umat manusia, sekarang apakah hal ini akan terjadi pula pada diri kita atau akan terjadi pada anak dan keturunan kita setelah diri kita mampu mendirikan SHALAT? Jika sampai tragedi ini terjadi pada kehidupan diri kita, berarti ada yang salah saat diri kita mendirikan SHALAT. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk sesegera mungkin memperbaiki kualitas SHALAT yang telah kita dirikan menjadi SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan  SHALAT, dalam hal ini ALLAH SWT. Selanjutnya, sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, jangan sampai menjadikan diri sendiri hanya mampu menjadi Penonton belaka, atau hanya pengagum belaka atas pertunjukkan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang diperuntukkan bagi yang mendirikan SHALAT, atau kita hanya mampu berlaku PASIF atas Kebesaran dan Kemahaan  ALLAH SWT sehingga kita hanya bisa menunggu dan menunggu untuk diberikan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT. Selanjutnya jika ini yang terjadi pada diri kita berarti perbuatan diri kita belum  konsisten di dalam Nilai-Nilai Kebaikan, akibat diri kita masih selalu dipengaruhi oleh Ahwa dan juga Syaitan. 


Selain daripada itu, jika sampai diri kita mendirikan SHALAT tingkat ke empat yang dilanjutkan dengan kadang aktif, kadang pasif dengan kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT, maka kondisi kejiwaan diri kita walaupun sudah masuk dalam jiwa Taqwa namun masuk dalam kategori Jiwa Lawwamah. Jiwa Lawwamah adalah suatu keadaan kejiwaan di mana Ruhani belum mampu sepenuhnya mengalahkan secara total Jasmani atau Ruhani kadang menang, kadang kalah oleh Jasmani atau Jiwa Taqwa yang masih labil. Jika ini yang terjadi berarti diri kita kadang merasakan kenikmatan bertuhankan kepada  ALLAH SWT, kadang hambar di dalam melaksanakan Ibadah. Untuk itu, melalui SHALAT yang kita dirikan harus dapat menjadikan jiwa kita menjadi Jiwa Muthmainnah (menjadi Jiwa yang Tenang) sehingga selain manfaat yang terdapat di balik perintah SHALAT dapat kita rasakan, tingkah laku dan perbuatan kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi selalu sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Untuk itu rubahlah jiwa Lawwamah yang saat ini terjadi pada diri kita menjadi jiwa Muthmainnah saat ini juga sebelum Ruh tiba di kerongkongan.


E.   SHALAT Tingkat ke-lima adalah SHALAT yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT, sehingga mampu merasakan Nikmatnya Bertuhankan kepada ALLAH SWT atau merasakan kehadiran ALLAH SWT dalam hidup dan kehidupan.


SHALAT tingkat ke-lima adalah Tingkatan tertinggi dari SHALAT yang didirikan manusia. Selanjutnya seperti apakah SHALAT tingkat ke lima dimaksud? Untuk dapat melaksanakan SHALAT tingkat ke lima, maka hal-hal sebagai berikut harus sudah kita lakukan seperti adanya kesadaran tentang butuhnya diri kita dengan SHALAT yang di lanjutkan diri kita memiliki Ilmu yang cukup baik tentang SHALAT. Sehingga SHALAT yang kita dirikan pasti sudah memenuhi seluruh Syarat SAHnya SHALAT; seluruh Rukun SHALAT pasti terpenuhi; Sunnah-Sunnah SHALAT sudah dikerjakan, Hal-Hal yang makruh dalam SHALAT sudah tidak dilakukan lagi; Hal-Hal yang membatalkan SHALAT sudah tidak kita lakukan lagi; bacaan yang terdapat di dalam SHALAT sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku (maksudnya tuma'ninah, tartil dan tajwidnya sudah kita lakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) serta kekhusyu'an di dalam mendirikan SHALAT dapat kita laksanakan dengan sebaik mungkin.


Selanjutnya, hasil akhir dari itu semua maka kita mampu berkomunikasi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu menghadap ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu bertemu dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu berdoa kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu menjadikan ALLAH SWT sesuai dengan kebesaran yang dimiliki-Nya melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu bersinergi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan. Selain daripada itu orang yang mampu mendirikan SHALAT tingkat ke lima dapat merasakan langsung segala manfaat yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT yang dilanjutkan dengan aktifnya diri kita di dalam Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT serta tercermin di dalam tingkah laku dan perbuatan diri kita yang selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH SWT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Selanjutnya apa lagi?


apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(surat Al Jumu'ah (62) ayat 10)


Berdasarkan surat Al Jumu'ah (62) ayat 10 yang kami kemukakan di atas ini, orang yang telah mampu mendirikan SHALAT tingkat ke lima maka orang tersebut  di dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-harinya atau di dalam berkarya, di dalam bekerja, di dalam belajar, di dalam setiap aktivitas yang dilakukannya, selalu mencari karunia ALLAH SWT, tidak pernah sekalipun putus hubungan dengan  ALLAH SWT serta selalu berbuat, selalu berkarya, sesuai dengan apa yang dia ingat tentang ALLAH SWT atau selalu berbuat sesuatu yang berkesesuaian dengan apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT serta mampu menjadikan dirinya berguna dan bermanfaat bagi sesama manusia (keberadaan diri kita ditengah masyarakat bukan menjadi beban masyarakat melainkan bermanfaat bagi masyarakat).


Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas, maka orang yang mampu mendirikan SHALAT tingkat ke lima berarti orang tersebut sudah mampu menjadikan Ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya, atau Ruhani yang mampu mengalahkan Jasmani sehingga diri kita berada di dalam Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Inilah yang dikatakan sebagai Jiwa Muthmainnah. Setelah Jiwa kita masuk di dalam kategori Jiwa Muthmainnah maka segala perbuatan diri kita, segala tindak-tanduk diri kita, akan selalu berada di dalam kesesuaian dengan kehendak  ALLAH SWT yang pada akhirnya seluruh janji-janji ALLAH SWT dapat kita rasakan atau nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT dapat kita rasakan dari waktu ke waktu.Selain daripada itu, Ironi yang terjadi di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah terjadi pada diri orang yang memiliki Jiwa Muthmainnah, yaitu hidup berkekurangan (hidup miskin) di dalam lumbung padi yang sangat kaya raya; bodoh di dalam lumbung ilmu;  lemah di dalam lumbung kekuatan. Hal ini disebabkan Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT bukanlah untuk ALLAH SWT karena        ALLAH SWT sudah MAHA, melainkan untuk orang-orang yang sesuai dengan kehendak-Nya. Sekarang sudahkah diri kita sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sebagai pemberi perintah mendirikan SHALAT sehingga kita mampu memperoleh apa-apa yang telah dijanjikan ALLAH SWT. Sekarang timbul pertanyaan, apa-apa sajakah yang telah di janjikan oleh ALLAH SWT kepada diri kita? Berikut ini akan kami kemukakan Janji-Janji ALLAH SWT yang terdapat di dalam  Al-Qur'an dan hadits qudsi, yang kesemuanya tidak akan pernah diingkari-Nya, yaitu:


a.       Orang yang taat dan patuh kepada ALLAH SWT (mengerjakan amal shaleh) akan masuk Syurga dan yang membangkang akan dimasukkan ke Neraka (4:13-14-24-57; 18:107-108; 2:82; 7:42).
b.      ALLAH SWT tidak akan menganiaya manusia sekecil apapun (41:46; 10:44; 4:40).
c.       Manusia akan diuji dengan kebaikan dan keburukan oleh  ALLAH SWT (21:35; 7:168).
d.      ALLAH SWT tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya (2:286: 23:62; 65:7).
e.       Sesudah kesulitan pasti akan akan kemudahan (94:5-6).
f.       ALLAH SWT menentukan rezeki manusia berbeda-beda (4:32).
g.       Tidak akan menimpa diri kita sesuatu apapun kecuali apa-apa yang telah ditetapkan ALLAH SWT untuk diri kita (9:51).
h.      Kehidupan dunia hanya sandiwara sedangkan kehidupan yang sebenarnya ada di akhirat (57:10; 29:64).
i.        ALLAH SWT membalas orang yang menginfaqkan hartanya dengan balasan 700 (tujuh ratus) kali lipat (2:261).
j.        Amal baik akan dibalas ALLAH SWT 10 kali (6:160).
k.      Orang yang patuh dan taat kepada ALLAH SWT dan Rasul-Nya akan diberi pahala dua kali lipat serta rezeki yang luas (33:31).
l.        Kejadian yang buruk yang menimpa tidak selalu berarti jelek, sebaliknya kejadian menyenangkan tidak pula selalu berarti indah (2:216).
m.    Orang yang dapat menahan diri dari keinginan ahwa atau hawa nafsunya maka syurgalah ganjarannya (79:40-41).
n.      Sabar dan pemaaf adalah sifat utama, ALLAH SWT beserta orang yang sabar (2:153).
o.      Hati menjadi tenteram dengan mengingat ALLAH SWT (13:28).
p.      Orang yang berserah diri kepada ALLAH SWT, berarti ia telah berpegang pada buhul atau tali yang kokoh (31:22).
q.      Apabila kita ingat ALLAH SWT, maka ALLAH SWT pun akan ingat pada kita (2:152) dan apabila kita ingin menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun akan menemui kita serta apabila kita enggan menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT enggan menemui kita (272:17)
r.        Manusia diberi kebebasan penuh dalam bertindak (16:93).
s.       ALLAH SWT akan meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah kita perbuat selama hidup di dunia (75:36; 20:15; 67:1-2).
t.        Orang yang tidak mempergunakan hati, akal, mata  dan telinganya untuk memahami ayat-ayat ALLAH SWT akan ditempatkan di Neraka (7:179; 67:10).
u.      ALLAH SWT hanya meridhai Islam sebagai Agama (3:19; 5:3).
v.      Orang yang berserah diri dan berbuat kebaikan, tidak akan merasa sedih atapun khawatir (2: 112).
w.     Orang yang menolong agama ALLAH SWT niscaya akan ditolong dan diteguhkan kedudukannya (47:7).
x.      Jika kita bersyukur, maka ALLAH SWT akan menambahkan nikmat-NYA kepada kita (14:7).
y.      Orang yang sombong/membanggakan diri dibenci ALLAH SWT (31:18) dan lain sebagainya.


Hamba ALLAH SWT, inilah sebahagian dari janji-janji ALLAH SWT kepada diri kita yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Hadits Qudsi, selanjutnya percayakah kita dan yakinkah kita dengan janji-janji ALLAH SWT tersebut?

Selanjutnya agar diri kita mampu melaksanakan SHALAT tingkat ke lima atau jika kita ingin selalu menjaga SHALAT kita selalu berada di tingkat ke lima, ada beberapa hal yang harus kita jadikan patokan atau pedoman sebelum diri kita mendirikan SHALAT, atau setelah diri kita mendirikan SHALAT, atau sering-seringlah mempertanyakan apa-apa yang akan kami kemukakan di bawah ini saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi, apakah itu?  



1.  Sudahkah diri kita memiliki kesadaran tentang pentingnya SHALAT bagi diri kita sehingga kita merasa sangat membutuhkan SHALAT?


Adanya kesadaran di dalam diri bahwa SHALAT itu sangat penting bagi diri kita sendiri, akan melahirkan apa yang dinamakan dengan Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT yang tertanam di dalam Hati Ruhani. Sehingga dengan adanya kesadaran ini timbullah di dalam diri suatu keadaan dimana kita sangat membutuhkan SHALAT seperti halnya diri kita membutuhkan mandi. Jika ini yang terjadi pada diri kita, maka apapun halangan, apapun rintangan, apapun kondisinya, apapun gangguannya, dimanapun, kapanpun, kita akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk selalu mendirikan SHALAT sesuai dengan Syariat yang berlaku. Selanjutnya sebagai Khalifah yang membutuhkan SHALAT, sudahkah kesadaran atau Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT ada di dalam Hati Ruhani diri kita sehingga kapanpun dan dimanapun serta dalam kondisi apapun kita selalu siap untuk mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.


Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin   menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan  menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abu Hurairah, 272:17)


Selanjutnya jika kita sudah memiliiki kesadaran, atau Niat yang ikhlas di dalam Hati Ruhani untuk mendirikan SHALAT berarti di dalam diri kita ada sebuah keinginan atau sebuah kehendak untuk selalu menemui ALLAH SWT, untuk selalu menghadap ALLAH SWT, untuk selalu berkomunikasi dengan ALLAH SWT, untuk selalu dekat dengan ALLAH SWT. Jika hal ini telah mampu kita laksanakan dengan baik  berarti ALLAH SWT pun akan berbuat hal yang sama dengan diri kita. Adanya kondisi ini berarti langkah awal untuk menuju, memperoleh, merasakan SHALAT yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT sudah kita miliki. 

  
2.  Sudahkah diri kita memiliki ILMU tentang SHALAT dengan baik dan benar sehingga kita mampu mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah SHALAT?


Untuk dapat mengerjakan sesuatu hal, maka kita diharuskan terlebih dahulu untuk memiliki Ilmu yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan kita lakukan. Jika kita bekerja tanpa memiliki Ilmu, dapat dipastikan hasil akhirnya tidak akan sama kualitasnya jika bekerja dengan Ilmu. Hal yang sama juga berlaku saat diri kita mendirikan SHALAT, yaitu kita harus terlebih dahulu memiliki Ilmu tentang SHALAT. Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan kualitas dan tingkatan SHALAT yang kita dirikan sangat berhubungan erat dengan seberapa jauh diri kita memiliki Ilmu yang berhubungan erat dengan SHALAT yang akan kita dirikan. Jika kita mampu memiliki Ilmu tentang SHALAT yang tinggi maka akan semakin baik pelaksanaan SHALAT yang kita dirikan.


Demikian pula sebaliknya, semakin rendah Ilmu tentang SHALAT yang kita miliki maka nilai dari pelaksanaan SHALAT yang akan kita dirikan akan semakin rendah kualitas dan tingkatannya. Sekarang sudahkah diri kita memiliki Ilmu yang berhubungan erat dengan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tentu kita tidak akan mungkin bisa menjadikan SHALAT sebagai sebuah kebutuhan jika kita sendiri tidak pernah mau belajar tentang SHALAT atau kita tidak memiliki Ilmu tentang SHALAT. Adanya kondisi seperti ini maka kedudukan Ilmu tentang SHALAT sangat memegang peranan penting bagi diri kita  jika kita ingin sukses menjadi KHALIFAH di muka bumi yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau jika kita ingin merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.


Sekarang diri kita sudah dijadikan oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi. Timbul pertanyaan, sudah sejauh manakah kita memiliki Ilmu tentang Kekhalifahan di muka bumi? Jika kita ingin sukses melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi tidak ada jalan lain kita harus meluangkan waktu dan bersungguh-sungguh untuk belajar memiliki Ilmu yang berhubungan dengan diri kita sebagai KHALIFAH dan juga tentang Diinul Islam sebagai konsep Ilahiah bagi kepentingan diri kita dan juga anak dan keturunan kita. Adanya kondisi ini, terlihat dengan jelas bahwa memiliki Ilmu tentang Diinul Islam, memiliki Ilmu tentang ALLAH SWT; memiliki Ilmu tentang SYAHADAT; memiliki Ilmu tentang SHALAT, memiliki Ilmu tentang ZAKAT, memiliki Ilmu tentang PUASA, memiliki Ilmu tentang HAJI, memiliki Ilmu tentang IKHSAN, sangatlah penting bagi kesuksesan diri kita di dalam melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi.


Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita malas untuk belajar, kita merasa tidak ada waktu untuk belajar, sibuk, repot, atau nanti saja kalau sudah tua belajar Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Inilah ironi yang terjadi di masyarakat, mau memiliki ilmu tentang Diinul Islam akan tetapi tidak mau belajar sama sekali. Jika ini yang terjadi pada diri kita maka tidak ada bedanya jika kita memiliki HP Black Berry edisi terbaru, namun hanya memiliki pulsa Rp.50,- (lima puluh rupiah) tetapi ingin memperoleh fasilitas SMS, MMS, GPRS, SLI dan SLLJ dari Operator Selular. Untuk itu jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika saat ini kita tidak pernah merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika hidup kita selalu di rundung masalah/problem dari waktu ke waktu, akibat diri kita yang malas, akibat diri kita yang acuh tak acuh dengan Diinul Islam, akibat diri kita sibuk mengejar dunia, akibat menjadikan diri kita seperti laksana HP yang hanya memiliki saldo pulsa Rp.50,- (lima puluh rupiah) saja (apa yang dapat kita lakukan dengan pulsa hanya sebesar lima puluh rupiah), kecuali hanya menunggu dan menunggu). Sekarang tergantung diri kita maukah belajar tentang Diinul Islam yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?  


Timbul pertanyaan, kepada siapakah kita harus belajar Ilmu tentang SHALAT? Perintah mendirikan SHALAT yang berlaku di muka bumi ini asalnya dari ALLAH SWT, ini berarti jika kita ingin belajar Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT haruslah kepada memerintahkan SHALAT, dalam hal ini adalah ALLAH SWT. Bagaimana caranya belajar langsung kepada ALLAH SWT sedangkan  ALLAH SWT ada di Arsy dan di lain sisi Nabi Muhammad SAW sebagai utusan ALLAH SWT dan juga sebagai pemberi contoh bagaimana seharusnya SHALAT didirikan sudah meninggal dunia? Untuk belajar Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT tetap harus kepada ALLAH SWT semata karena ALLAH SWT tidak hanya sebagai pemberi perintah mendirikan SHALAT, akan tetapi ALLAH SWT juga penilai dan penentu hasil akhir dari SHALAT yang kita dirikan. Lalu dimana letaknya peran para ustad, peran para kyai, peran para ulama di dalam proses belajar tentang SHALAT, atau di dalam memperoleh Ilmu tentang SHALAT? Agar diri kita mampu mendapatkan Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT maka kita harus terlebih dahulu menempatkan ALLAH SWT sesuai dengan kemahaan yang dimiliki-Nya lalu letakkan para ustad, para kyai, para ulama, hanya sebagai perantara, atau hanya sebagai media bagi diri kita untuk mendapatkan ilmu tentang SHALAT.


Untuk itu sebelum diri kita belajar kepada para ustad, kepada para kyai, kepada para ulama, kita harus terlebih dahulu meminta izin kepada ALLAH SWT sebelum belajar kepada mereka, atau berdoalah kepada ALLAH SWT sebelum menuntut Ilmu. Apa dasarnya? Hal ini dikarenakan para ustad, para kyai, dan para ulama bukanlah pemilik dari Ilmu tentang SHALAT, hal ini dikarenakan mereka semua bukanlah pemberi perintah mendirikan SHALAT kepada seluruh manusia dan bukan pula penilai dan penentu hasil akhir dari SHALAT. Adanya kondisi ini berarti para ustad, para kyai dan para ulama di dalam mengajarkan Ilmu tentang SHALAT hanyalah menjalankan fungsi sebagai perpanjangan tangan ALLAH SWT di dalam mengajarkan Ilmu tentang SHALAT kepada diri kita. Selain daripada itu, para ustad, para kyai, para ulama juga memiliki kewajiban untuk selalu mengingatkan diri kita untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT. 


3.  Sudahkah diri kita memiliki KEJUJURAN, atau mampu bersikap JUJUR baik kepada ALLAH SWT dan juga kepada diri sendiri sehingga kita tahu siapa diri kita sebenarnya dan siapa itu ALLAH SWT?


Sudahkah diri kita Jujur baik kepada diri sendiri dan juga kepada ALLAH SWT sewaktu menjadi KHALIFAH di muka bumi, atau saat mendirikan SHALAT? Jika kita termasuk orang yang telah memiliki kesadaran bahwa SHALAT sangat kita butuhkan dan juga telah memiliki Ilmu yang cukup tentang SHALAT maka langkah awal untuk berlaku jujur baik kepada diri sendiri maupun kepada        ALLAH SWT sudah kita persiapkan sarananya. Sekarang adakah hubungan antara Jujur atau Kejujuran dengan perintah mendirikan SHALAT? Untuk dapat mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT tidak akan dapat dilaksanakan jika tanpa ada kejujuran yang berasal dari diri kita sendiri (ingat jujur dan pura-pura jujur jaraknya sangat tipis). Hal ini disebabkan untuk berlaku Jujur, atau untuk menunjukkan Kejujuran yang kita miliki tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jujur sangat membutuhkan bukti, atau Jujur tidak dapat berdiri sendiri, atau Jujur harus ada sesuatu yang mengiringinya, atau Jujur sangat memerlukan hal-hal sebagai berikut untuk membuktikan kejujuran yang kita miliki, seperti: 


a.       Jujur hanya dapat dilakukan oleh orang yang waras, tidak hilang ingatan.
b.      Jujur harus di-iringi dengan sikap teliti, konsisten dari waktu ke waktu, sebab jika tidak kejujuran akan gugur.
c.       Jujur harus di imbangi dengan ilmu, agar orang lain dapat memetik hikmah di balik adanya sebuah  kejujuran.
d.      Jujur merupakan hasil akhir dari sebuah perjuangan tanpa mengenal batas usia maupun waktu sehingga jujur baru dapat diperoleh setelah diri kita aktif melakukannya.
e.       Jujur merupakan bukti nyata dari sebuah perbuatan atau Jujur baru dapat berlaku jika mampu dibuktikan.
f.       Jujur merupakan cerminan sikap yang bersifat individual yang berasal dari kehendak dan kemampuan seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan. 


Itulah jujur, atau kejujuran yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Timbul pertanyaan, sudahkah dan beranikah diri kita Jujur sebelum dan setelah mendirikan SHALAT?Jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri yaitu tahu siapa diri kita sebenarnya dan tahu siapa ALLAH SWT sebenarnya maka dapat dipastikan kita berani jujur sebelum dan sesudah mendirikan SHALAT.


Selanjutnya setelah kita mampu bersikap Jujur, mampu berperilaku Jujur sebelum dan sesudah mendirikan SHALAT, apakah sudah cukup sampai disitu saja kita Jujur kepada diri sendiri dan kepada ALLAH SWT? Jika kita merasa sudah cukup berhentilah sampai disitu saja. Namun jika kita merasa kurang maka lakukanlah langkah berikutnya yaitu dengan bersikap Aktif untuk membuktikan Kejujuran itu dengan cara terlibat langsung dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang sudah ada bersama diri kita  dan juga sudah ada di alam semesta ini, atau diri kita harus berani untuk membuktikan Kejujuran yang telah kita miliki dengan selalu memenuhi Hak-Hak ALLAH SWT melalui:


1.      Jika ALLAH SWT telah memerintahkan untuk memeluk dan melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah maka laksanakanlah perintah ALLAH SWT tersebut tanpa ada bantahan sedikitpun.

2.      Jika kita telah tahu dan mengerti dengan Kehendak ALLAH SWT maka penuhilah apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT secara Ikhlas tanpa merasa dipaksa apalagi terpaksa. 


3.      Jika kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang maka lakukanlah perbuatan yang sama yaitu dengan memberikan kasih sayang,  memberikan bantuan serta pertolongan kepada sesama umat manusia.

4.      Jika kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Adil maka lakukanlah tindakan dan perbuatan Adil pula sewaktu diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi.


5.      Jika kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Tahu maka lakukanlah tindakan untuk berbagi Ilmu kepada sesama manusia sehingga umat menjadi tahu dan mengerti akan sesuatu hal.

6.      Jika kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Pemberi Rezeki maka lakukanlah tindakan untuk berbagi Rezeki dengan mengeluarkan Hak ALLAH SWT melalui Zakat, atau memberikan Shadaqah ataupun Infaq kepada yang membutuhkannya.
7.      Jika kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Terpercaya maka jadikanlah diri sebagai orang terpercaya pula dengan selalu bersikap Jujur.

8.      Demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna serta Sifat Ma’ani yang dimiliki oleh ALLAH SWT.


Adanya kesesuaian antara Perbuatan yang kita lakukan dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT setelah diri kita berkomunikasi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT, setelah diri kita mengajukan permohonan dan berdoa kepada ALLAH SWT melalui SHALAT maka ALLAH SWTpun akan memberikan hal-hal sebagai berikut kepada diri kita, yaitu Kemudahan di dalam melakukan pekerjaan; Dibukakannya pintu rezeki yang tidak terduga-duga; Ditambahi Ilmu; Ditingkatkannya Aura; Merasakan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT; dan lain sebagainya. Sekarang sudahkah diri kita jujur baik kepada ALLAH SWT maupun kepada diri kita sendiri? Sebagai KHALIFAH di muka bumi, sudahkah ke tiga hal yang kami kemukakan di atas, kita miliki (maksudnya kesadaran, ilmu dan kejujuran kita miliki)? Dan jika sudah kita miliki,  sudahkah ke tiga hal tersebut kita tunjukkan, kita buktikan di dalam kehidupan sehari-hari? Semoga kita semua mampu melakukan apa-apa yang seharusnya kita lakukan saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. 

Selanjutnya, sebagai bahan perbandingan akan kami kemukakan uraian tentang tingkatan-tingkatan SHALAT yang dikemukakan oleh seorang ulama besar ternama yang bernama Ibnul Qayyim (kami ambil dari buku Jangan Shalat Bersama Setan, Syaikh Mu'min Al Haddad Aqwam, Jembatan Ilmu, Solo, halaman 31-32). Menurut Ibnul Qayyim, SHALAT dapat dikelompokkan menjadi 5(lima) tingkat, yaitu :

1.      SHALAT Tingkat Pertama

Orang yang lalai dan zhalim terhadap dirinya sendiri, yaitu orang yang tidak mendirikan SHALAT dengan baik dan benar, apakah itu wudhu, waktu, batas-batas, maupun rukun-rukun shalat, kelompok ini akan mendapat hukuman dari ALLAH SWT.

2.      SHALAT Tingkat Kedua

Orang yang menjaga waktu SHALAT, batas-batas, rukun-rukun SHALAT yang zhahir dan menjaga wudhunya, namun ia lalai dalam bermujahadah melawan bisikan dan pikiran-pikiran yang menganggu jiwanya, kelompok ini akan dihisab oleh  ALLAH SWT.

3.      SHALAT Tingkat Ke Tiga

Orang yang SHALAT sekaligus berjihad. Mereka bukan hanya menjaga batas-batas dan rukun-rukun SHALAT, tetapi juga sanggup untuk berupaya sekuat tenaga mengusir bisikan dan pikiran yang menggoda dirinya, ia sibuk dengan perjuangan melawan syaitan agar tidak mencuri SHALATnya. Kelompok ini akan di hapus dosanya oleh ALLAH SWT.

4.      SHALAT Tingkat Ke Empat

Orang yang merenungi hak dan kewajiban SHALAT, rukun-rukun dan batas-batasnya ketika mendirikan SHALAT. Hatinya tenggelam dalam menjaga batas-batas SHALAT dan hak-haknya agar tiada satupun yang terbuang percuma. Seluruh obsesinya hanya ditujukan untuk mendirikan SHALAT, sebagaimana yang seharusnya ditujukan untuk menyempurnakan dan melengkapi SHALAT ini. Hatinya tenggelam dalam SHALAT dan ibadah kepada Rabb-Nya di dalam SHALAT. Mereka mendapat pahala dari ALLAH SWT.

5.      SHALAT Tingkat Ke Lima

Orang yang mendirikan SHALAT dengan menghadirkan hatinya dihadapan ALLAH SWT, seakan-akan ia melihat ALLAH SWT dengan mata hatinya, ia merasa diawasi oleh ALLAH SWT dan hatinya pun dipenuhi rasa cinta kepada ALLAH SWT serta mengangungkan ALLAH SWT. Semua bisikan dan pikiran telah hilang dan sirna darinya, dinding pembatas antara dirinya dengan Rabb-Nya telah di angkat ketika SHALAT. SHALAT orang seperti ini jauh lebih baik daripada segala yang ada antara langit dan bumi. Orang yang demikian dalam SHALATnya ialah orang yang sibuk dengan Rabb-Nya dan berbahagia dengan-Nya. Tingkatan manusia terakhir ini, akan didekatkan kepada-Nya karena ALLAH SWT lah yang menjadi perhatian penuh di dalam SHALAT mereka.



Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, sebagai orang yang diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk mendirikan SHALAT, beranikah anda untuk menilai diri sendiri secara jujur dan bertanggung jawab yaitu sudah pada tingkatan yang keberapakah SHALAT yang kita dirikan saat ini? Jawaban dari pertanyaan ini, merupakan cerminan langsung dari diri kita sendiri, namun kami sangat berharap kita semua termasuk orang-orang yang mampu menempati urutan teratas dari tingkatan SHALAT yang telah kami kemukakan di atas dan jika harapan kami meleset maka tidak ada jalan lain kecuali segera memperbaiki kualitas SHALAT yang kita dirikan saat ini juga, jangan sampai ditunda-tunda menunggu tua karena kita tidak tahu kapan Ruh tiba dikerongkongan atau kapan Malaikat Izrail melaksanakan tugasnya mencabut nyawa kita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar