Hamba ALLAH SWT yang selalu dirahmati-Nya
Perintah
mendirikan SHALAT sebagai satu-satunya perintah langsung yang berasal dari
ALLAH SWT, tidak bisa didirikan secara asal-asalan, asal sudah dilaksanakan,
maka selesai sudah kewajiban SHALAT. Jika ini yang terjadi pada diri kita saat
mendirikan SHALAT, maka ketentuan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini,
menjadi tidak berlaku pada diri kita, atau SHALAT yang kita dirikan bukanlah
SHALAT yang memenuhi ketentuan ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan
SHALAT.
Ibn Abbas, ra
berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Sesungguhnya Aku hanya
menerima shalat dari orang yang merendah diri karena keagungan-Ku dan tiada
menyombongkan dirinya di atas makhluk-Ku, tiada terus menerus bermaksiat
pada-Ku, menghabiskan masa harinya berdzikir kepada-Ku, berbalas kasih kepada
orang yang miskin, orang musafir (Ibnussabil) perempuan janda dan orang yang
terkena musibah. Ia bercahaya laksana matahari. Aku lindungi ia dengan
kesabaran-Ku dan memerintahkan malaikat-Ku menjaganya. Aku berinya cahaya dalam
kegelapan dan kesabaran dalam kesukaran. Ia diantara makhluk-makhluk-Ku laksana
"Firdaus" di antara barisan syurga.
(HQR AlBazzar dari
Ibnu Abbas, 272:44)
Untuk itu sebelum diri kita
mendirikan SHALAT sebaiknya dan seharusnya kita harus tahu dan kita harus
mengerti terlebih dahulu apa yang akan kita dirikan atau kita harus memiliki
ilmu tentang SHALAT terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT. Timbul
pertanyaan, kenapa harus seperti itu kita mendirikan SHALAT? ALLAH SWT selaku
pemberi perintah mendirikan SHALAT sudah menyatakan di dalam surat Al Baqarah
(2) ayat 45 bahwa SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sungguh berat,
kecuali bagi orang yang Khusyu’. Adanya informasi yang telah dikemukakan oleh
ALLAH SWT maka tidak selayaknya serta tidak sepatutnya SHALAT didirikan secara asal-asalan, atau SHALAT
tidak bisa didirikan sebatas kewajiban belaka. Sekarang bagaimana kita akan
mampu mendirikan SHALAT dengan Khusyu’ jika kita tidak pernah mau belajar
tentang SHALAT yang Khusyu’, atau tidak memiliki Ilmu tentang SHALAT yang
Khusyu’?.
Di
lain sisi, kondisi dan keadaan diri kita sebagai orang yang akan mendirikan
SHALAT adalah makhluk yang ada di dunia ini karena kehendak ALLAH SWT; hidup
menumpang di muka bumi yang dimiliki oleh ALLAH SWT sehingga dapat dikatakan
manusia, termasuk diri kita tidak memiliki apapun juga dibandingkan dengan
ALLAH SWT. Selanjutnya dengan adanya perbedaan kondisi dasar antara diri kita
dengan ALLAH SWT, tentu akan berdampak
kepada posisi diri kita dibandingkan dengan ALLAH SWT. Yang jelas di dalam mendirikan SHALAT kita tidak bisa
mensejajarkan diri dengan ALLAH SWT, atau kita tidak akan mungkin berada di
atas ALLAH SWT. Akan tetapi kita harus dapat meletakkan diri sesuai dengan
kondisi dan keadaan diri kita yang miskin, yang hina, yang ada di muka bumi
karena diadakan oleh ALLAH SWT, yang tidak memiliki apapun juga dibandingkan
ALLAH SWT.
Adanya
kondisi seperti ini memang sudah sepatutnya dan sepantasnya diri kita
merendahkan diri sewaktu mendirikan SHALAT, terkecuali jika kita ingin diberi
penilaian oleh ALLAH SWT sebagai makhluk yang tidak tahu diri, sudah menumpang
lalu ALLAH SWT kita lawan. Selanjutnya setelah diri kita mendirikan SHALAT,
masih ada hal lainnya yang harus kita ketahui mengenai SHALAT yang kita dirikan
yaitu sudah sampai dimanakah tingkatan SHALAT yang kita dirikan atau sudah
sampai dimanakah kualitas SHALAT yang telah kita dirikan. Untuk mengetahui
tentang tingkatan SHALAT atau kualitas dari SHALAT yang kita dirikan, mari kita
lanjutkan pembahasan tentang SHALAT secara lebih mendalam lagi.
A. SHALAT Tingkat Pertama adalah
SHALAT karena melaksanakan perintah semata, tanpa Ilmu.
Sewaktu
diri kita masih kanak-kanak, ada satu hal yang sering dikemukakan oleh orang
tua kepada kita, yaitu orang tua selalu memerintahkan diri kita untuk mandi,
untuk gosok gigi, untuk makan, untuk belajar dan lain sebagainya. Sebagai anak
tentu kita harus melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh orang tua,
baik dengan terpaksa ataupun dengan kesadaran sendiri. Hal yang pasti pada saat
diri kita melaksanakan perintah orang tua tersebut adalah kita tidak tahu, kita
tidak mengerti apa itu makna di balik perintah atau kita tidak tahu apa maksud
dan tujuan dari orang tua memerintahkan diri kita untuk mandi, untuk gosok gigi
untuk makan ataupun untuk belajar. Adanya kondisi ini saat diri kita
melaksanakan perintah orang tua berarti saat itu kita tidak memiliki kesadaran
tentang pentingnya mandi, kita tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya
gosok gigi, kita tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya makan serta kita tidak memiliki kesadaran tentang
pentingnya belajar dan juga kita tidak
memiliki ilmu dan pengetahuan tentang apa-apa yang diperintahkan oleh orang tua
kepada diri kita.
Adanya
2(dua) buah keadaan yang kami kemukakan di atas, berarti kita telah mengabaikan
syarat dan ketentuan yang berlaku atau kita telah melanggar segala ketentuan yang
baik dan yang benar tentang mandi, gosok gigi, makan dan juga belajar. Sehingga yang ada pada saat itu adalah
bagaimana agar orang tua tidak memarahi diri kita maka kita turuti saja segala
apa yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita. Setelah itu selesai
sudah urusan kita dengan orang tua kita, lalu kita bisa kembali bebas bermain.
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan
dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul
bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.
(surat Al Ahzab (33)
ayat 33)
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di
rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'.
perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah
Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud
Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya
Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah
tangga Rasulullah s.a.w.
Sekarang apa yang terjadi jika
kondisi di atas, kita terapkan pada waktu kita mendirikan SHALAT, atau apa yang
terdapat di dalam surat Al Ahzab (33) ayat 33,
kita laksanakan sebatas melaksanakan perintah semata tanpa mengindahkan
Ilmu tentang SHALAT? Jika apa yang kami kemukakan di atas kita terapkan saat
diri kita mendirikan SHALAT berarti kualitas atau tingkatan SHALAT yang kita
dirikan baru berada pada kualitas, atau
tingkatan yang paling rendah.
Timbul pertanyaan atas dasar apakah
kualitas atau tingkatan SHALAT yang kita dirikan dikatakan sebagai yang paling
rendah? SHALAT tidak akan dapat memberikan
kualitas yang tinggi sepanjang diri kita tidak memiliki kesadaran untuk
mendirikan SHALAT serta adanya ilmu yang
cukup tentang SHALAT yang kita dirikan. Adanya Ilmu yang cukup tentang
SHALAT maka kita akan mengerti, kita akan tahu apa yang menjadi tujuan dari
SHALAT yang kita dirikan, sehingga apa-apa yang terkandung di balik perintah
SHALAT dapat kita raih dan dapat kita rasakan untuk kepentingan diri kita saat
menjadi KHALIFAH di muka bumi.
Lalu seperti apakah SHALAT yang
didirikan jika yang mendirikan SHALAT tidak memiliki kesadaran tentang arti dan
pentingnya SHALAT serta yang mendirikan juga tidak memiliki Ilmu tentang
SHALAT? Jika sampai Ilmu tentang SHALAT tidak kita miliki maka Syarat Wajib
SHALAT bisa tidak terpenuhi; Syarat SAH SHALAT bisa tidak terpenuhi; Rukun
SHALAT bisa tidak terpenuhi; Sunnah-Sunnah SHALAT bisa tidak dikerjakan,
Hal-Hal yang makruh dalam SHALAT banyak dikerjakan; Hal-Hal yang membatalkan
SHALAT bisa banyak yang dikerjakan. Selain daripada itu bacaan yang terdapat di
dalam SHALAT tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
(maksudnya bacaan SHALAT tidak
dilaksanakan secara tuma'ninah, tartil dan tajwidnya tidak sesuai) serta
kekhusyu'an di dalam mendirikan SHALAT jauh panggang dari api.
Sekarang apa jadinya setelah diri
kita mandi, tetapi masih juga menggaruk-garuk kegatalan serta kurap dan kudis
masih tampak di badan? Jika ini yang terjadi berarti mandi yang kita lakukan
belum sesuai dengan maksud dan tujuan dari mandi itu sendiri dikarenakan diri
kita belum memiliki kesadaran tentang arti pentingnya mandi ditambah diri kita
tidak memiliki ilmu yang cukup tentang mandi. Hal yang samapun berlaku dengan
SHALAT yang kita dirikan, yaitu setelah
diri kita mendirikan SHALAT tetapi tetap melakukan perbuatan keji dan munkar,
setelah mendirikan SHALAT tetapi masih tetap korupsi, setelah mendirikan SHALAT
tetapi masih tetap saja tidak memperoleh ketenangan hidup. Jika ini yang
terjadi setelah mendirikan SHALAT berarti SHALAT yang kita dirikan belum sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT.
Agar diri kita terhindar dari itu
semua, agar diri kita tidak
sekedar melaksanakan perintah mendirikan SHALAT semata maka disinilah letak
pentingnya kita memiliki kesadaran tentang pentingnya SHALAT bagi diri kita
serta pentingnya memiliki Ilmu tentang
SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT karena
manfaat di balik perintah mendirikan SHALAT bukanlah untuk orang lain tetapi
untuk kepentingan diri kita sendiri. Sekarang jika sampai diri kita
hanya mampu mendirikan SHALAT sebatas melaksanakan perintah semata, tanpa
disertai kesadaran, tanpa disertai ilmu yang cukup tentang SHALAT maka jangan
pernah salahkan ALLAH SWT jika kita
hanya memperoleh sekedar apa yang kita kerjakan tanpa pernah merasakan
nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui SHALAT. Jika ini adalah
keadaannya, sekarang tergantung diri kita sendiri apakah mau mendirikan SHALAT
yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT ataukah tidak?
B. SHALAT Tingkat ke-dua adalah
SHALAT karena mengharapkan sesuatu atau karena kepentingan tertentu.
Sewaktu
diri kita masih anak-anak, oleh orang tua kita diperintahkan untuk melaksanakan
Puasa Ramadhan. Selanjutnya agar diri kita mampu berpuasa di bulan Ramadhan
secara penuh, maka orang tua mengiming-imingi diri kita dengan hadiah. Adanya
iming-iming hadiah dari orang tua kepada diri kita maka kitapun melaksanakan
puasa Ramadhan secara penuh. Jika ini yang terjadi pada saat diri kita
melaksanakan puasa Ramadhan berarti puasa yang kita laksanakan adalah bukanlah
puasa karena kesadaran diri sendiri, akan tetapi puasa karena ingin memperoleh
hadiah tertentu dari orang tua. Selain daripada itu pada saat diri kita
melaksanakan Puasa Ramadhan seperti di atas maka secara otomatis pada saat itu
kita tidak memiliki ilmu yang utuh tentang apa itu Puasa yang sebenarnya, atau
kita tidak tahu makna yang hakiki di balik perintah Puasa.
Sekarang bagaimana jika kondisi dan keadaan di
atas ini, kita terapkan dan aplikasikan pada saat diri kita mendirikan SHALAT.
Lalu apa yang akan terjadi? Yang terjadi adalah SHALAT yang kita dirikan bukanlah SHALAT karena kesadaran diri sendiri.
Akan tetapi SHALAT yang kita dirikan untuk maksud dan tujuan yang lain, atau
SHALAT yang kita dirikan tidak sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah
mendirikan SHALAT sehingga makna hakiki yang ada dibalik perintah mendirikan
SHALAT yang sebenarnya, telah digantikan dengan janji-janji, telah digantikan
dengan iming-iming. Adanya keadaan ini timbullah tujuan lain dari mendirikan
SHALAT seperti untuk dilihat orang, untuk popularitas sesaat agar dikatakan
sebagai orang alim dan lain sebagainya, yang intinya untuk
popularitas.
“Suatu kaum menyembah Allah SWT karena
mengharapkan sesuatu, maka itu adalah ibadahnya pedagang, dan suatu kaum
menyembah Allah SWT karena takut murka
Allah SWT maka itu adalah ibadahnya budak, dan suatu kaum menyembah Allah SWT
karena ungkapan syukur kepada-Nya, maka itulah ibadahnya orang-orang yang bebas
merdeka.”
(Ali bin Abi Thalib r.a).
Selanjutnya
agar diri kita tidak melakukan hal-hal yang kami kemukakan di atas, ada baiknya
kita mempelajari apa yang dikemukakan oleh salah satu Sahabat Nabi di atas ini.
Jika sampai diri kita mendirikan SHALAT karena mengharapkan sesuatu maka ibadah
yang kita lakukan tidak ubahnya seperti seorang pedagang. Hal ini dikarenakan
pedagang di dalam melaksanakan transaksi dagang selalu menghitung untung rugi
dari transaksi yang dilakukannya.Selain daripada itu, jika kita SHALAT karena
mengharapkan sesuatu berarti segala ketentuan yang mengatur tentang SHALAT
menjadi tidak berlaku lagi serta kekhusyuan saat mendirikan SHALAT telah
tergadai dengan sesuatu.
Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan
SHALAT jangan sampai diri kita mendirikan SHALAT karena mengharapkan untung
rugi, jangan sampai diri kita mendirikan SHALAT karena mengharapkan pujian
orang, jangan sampai diri kita mendirikan SHALAT karena ingin popular, atau
mendirikan SHALAT sebatas kewajiban belaka. Padahal makna hakiki, atau
maksud dan tujuan sebenarnya dari mendirikan SHALAT bukanlah seperti itu,
melainkan untuk menjadikan diri kita sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT; untuk
tetap menjadikan diri kita makhluk yang terhormat; untuk menjaga kefitrahan
diri dari waktu ke waktu. Mudah-mudahan pembaca buku ini, tidak termasuk orang
yang mendirikan SHALAT tingkat ke dua.
C. SHALAT Tingkat ke-tiga adalah
SHALAT karena kesadaran tetapi belum memiliki Ilmu yang cukup.
Setelah
diri kita menginjak remaja, kita sekarang mandi tanpa diperintah lagi oleh
orang tua dikarenakan kesadaran akan pentingnya mandi sudah kita miliki. Akan
tetapi setelah kesadaran untuk mandi timbul tetapi setelah mandi hal-hal
sebagai berikut masih juga sering terjadi seperti bau keringat masih tercium,
penyakit kulit seperti panu, kadas dan kurap belum juga hilang, menggaruk-garuk
kegatalan masih kita lakukan, biang keringat bukannya hilang malah bertambah
banyak. Timbul pertanyaan, kenapa hal ini bisa terjadi? Timbulnya penyakit kulit, biang keringat, bau
tidak sedap dikarenakan diri kita belum memiliki ilmu yang cukup baik tentang
mandi atau mandi yang kita lakukan belum sesuai dengan kriteria mandi yang
dapat mendatangkan kesehatan kulit, atau ada sesuatu yang salah saat diri kita
mandi.
Sekarang
bagaimana jika kondisi dan keadaan di atas ini kita terapkan dan aplikasikan
pada saat diri kita mendirikan SHALAT. Jika SHALAT yang kita dirikan
mempergunakan kriteria di atas berarti
SHALAT yang kita dirikan baru sampai pada tingkat tahu bahwa SHALAT itu penting
bagi diri kita. Akan tetapi kita belum mengerti tentang apa itu SHALAT yang
sebenarnya sehingga SHALAT yang kita dirikan belum dapat menghantarkan diri
kita untuk merasakan manfaat yang hakiki dari SHALAT. Timbul
pertanyaan, apa dasarnya? Jika diri kita memang sudah paham, jika kita sudah
mengerti akan pentingnya SHALAT bagi diri kita (maksudnya bagi Ruhani dan
Amanah 7) maka SHALAT yang kita dirikan harus dapat menghantarkan diri kita
untuk merasakan manfaat yang hakiki dibalik perintah mendirikan SHALAT.
Selain
daripada itu, jika kita
hanya mampu mendirikan SHALAT berdasarkan kesadaran semata tanpa pernah
merasakan langsung manfaat yang hakiki dari SHALAT berarti saat diri kita
mendirikan SHALAT ada kemungkinan besar Syarat Wajib SHALAT belum sepenuhnya
kita mengerti, Syarat SAH SHALAT belum terpenuhi secara utuh; Rukun SHALAT
tidak sepenuhnya terpenuhi; Sunnah-Sunnah SHALAT tidak dikerjakan, Hal-Hal yang
makruh dalam SHALAT kemungkinan besar banyak dikerjakan; Hal-Hal yang
membatalkan SHALAT sedikit banyak ada yang diabaikan; bacaan yang terdapat di
dalam SHALAT tidak bisa dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
(maksudnya tidak tuma'ninah, tartil dan tajwidnya tidak sesuai) serta
kekhusyu'an di dalam mendirikan SHALAT masih jauh panggang dari api. Sebagai
KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk
mempelajari secara lebih seksama tentang Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan
Kehendak ALLAH SWT sehingga SHALAT yang kita dirikan mampu menghantarkan diri
kita selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH SWT.
D. SHALAT Tingkat ke-empat adalah
SHALAT karena kebutuhan setelah merasakan manfaat tetapi belum sampai merasakan
hakekat.
Dalam kehidupan sehari-hari, suatu perintah yang
diperintahkan bukanlah merupakan tujuan akhir dari perintah itu sendiri.
Perintah hanyalah sarana atau media atau alat bantu untuk memperoleh, untuk
mendapatkan, untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Apa buktinya? Contohnya
mandi, mandi bukanlah tujuan akhir dari suatu perintah, akan tetapi mandi
merupakan sarana atau alat bantu untuk mencapai kesehatan kulit dan tubuh. Selanjutnya dengan adanya kesadaran akan
pentingnya mandi serta telah dimilikinya ilmu tentang mandi yang baik dan benar
mendorong diri kita tanpa diperintah lagi oleh siapapun juga untuk melaksanakan
mandi 2(dua) kali sehari. Kenapa ini terjadi? Ini terjadi karena kita
telah merasakan langsung manfaat dari mandi yang kita lakukan. Sekarang setelah
diri kita dewasa, atau setelah diri kita mempunyai anak, kenapa kita juga
memerintahkan anak kita untuk mandi? Kita memerintahkan anak untuk mandi, agar anak kita juga merasakan
manfaat dari mandi atau agar jangan sampai anak kita merasakan ketidaknyamanan,
jika tidak mau mandi seperti yang pernah kita rasakan. Adanya
kondisi seperti ini pada aktivitas mandi maka sudah sepatutnya apa-apa yang
terjadi pada pelaksanaan mandi harus terjadi pula pada saat diri kita
mendirikan SHALAT atau terjadi pula saat diri kita memerintahkan anak kita
untuk mendirikan SHALAT, jika tidak pasti ada sesuatu yang salah pada SHALAT
yang kita dirikan.
Sekarang bagaimana jika kondisi dan
keadaan di atas, kita terapkan pada saat diri kita mendirikan SHALAT,
selanjutnya apa yang terjadi? SHALAT yang kita dirikan dapat dipastikan
bukanlah SHALAT karena keterpaksaan, atau karena ingin mengharapkan sesuatu,
atau karena ingin dipuji orang. Akan tetapi SHALAT yang kita dirikan adalah
SHALAT karena kesadaran diri sendiri karena memang diri kita membutuhkan SHALAT
seperti halnya diri kita membutuhkan mandi. Akan tetapi walaupun diri kita telah mampu mendirikan SHALAT atas
kesadaran sendiri, masih ada hal-hal lain yang harus kita perhatikan, yaitu
apakah SHALAT yang kita dirikan tersebut sudah sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT, atau apakah SHALAT yang
kita dirikan sudah mampu menghantarkan diri kita kepada makna yang tersembunyi,
atau kepada makna yang hakiki atau dapat menghantarkan diri kita merasakan
hakekat yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT yang telah
diperintahkan ALLAH SWT kepada diri kita. Jika apa yang kami
kemukakan di atas ini belum bisa kita rasakan berarti kita belum sempurna
mendirikan SHALAT atau SHALAT yang kita dirikan baru sampai tingkat yang ke
empat.
Timbul pertanyaan, kenapa SHALAT
yang kami kemukakan di atas, dikatakan
sebagai SHALAT tingkat ke empat? Hal ini
dikarenakan apa yang kita lakukan masih ada yang kurang yaitu setelah diri kita
mendirikan SHALAT seharusnya Kebesaran
dan Kemahaan yang telah diperlihatkan oleh ALLAH SWT dapat kita rasakan, atau
janji-janji ALLAH SWT kepada diri kita harus dapat kita raih, atau kita harus
aktif untuk melibatkan diri di dalam Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT setelah
mendirikan SHALAT sehingga hal-hal sebagai berikut dapat kita raih,
seperti : SHALAT sebagai Penghapus amal
jahat dapat kita rasakan; pertolongan/lindungan ALLAH SWT dapat kita
raih dan rasakan; Jadi Ahli Syurga; segala urusan akan ditanggung ALLAH SWT; Mensucikan
diri sendiri; Supaya dimuliakan ALLAH SWT; Supaya hidup subur makmur; Untuk
bersyukur/tepati janji; Supaya orang berilmu dapat ganjaran; Supaya mendapat
petunjuk ALLAH SWT; Untuk memohon pertolongan; Untuk kebaikan diri sendiri;
Untuk minta Rahmat ALLAH SWT; Bukti Iman; Berdialog atau Berbisik dengan ALLAH
SWT dapat kita lakukan dengan baik dan benar sehari semalam minimal lima kali.
Sekarang
bagaimana ALLAH SWT akan memberikan
kasih sayang-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan
pertolongan-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan
perlindungan-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan
hidayah-Nya kepada kita, jika kita sendiri tidak mau mendirikan SHALAT yang
telah diperintahkan oleh ALLAH SWT dengan baik dan benar, atau
apakah hanya dengan berdiam diri saja, atau hanya dengan menjadi penonton dan
pengagum ALLAH SWT semata, atau cukup dengan ingat saja tanpa melakukan
aktivitas apapun lalu janji-janji ALLAH SWT yang terdapat di balik perintah mendirikan SHALAT
akan diberikan kepada diri kita, atau dapat kita rasakan? Jawaban dari
pertanyaan di atas adalah ALLAH SWT dapat dipastikan tidak akan memberikan
apa-apa kepada hamba-Nya yang tidak mau melaksanakan perintah-Nya dengan baik dan
benar, atau ALLAH SWT akan melepaskan diri dari tanggung jawab sebagai Tuhan
semesta alam kepada diri kita dikarenakan kita acuh dengan Kebesaran dan
Kemahaan ALLAH SWT.
Saat ini diri kita telah mampu
mendirikan SHALAT karena kesadaran diri sendiri ditambah diri kitapun telah
memiliki Ilmu yang cukup tentang SHALAT sehingga SHALAT yang kita dirikan sudah
mampu memenuhi segala syarat dan ketentuan yang berlaku tentang SHALAT sehingga
SHALAT yang kita dirikan sudah khusyu. Namun setelah diri kita mendirikan
SHALAT kita hanya berdiam diri saja, atau kita tidak turut melibatkan diri
secara aktif dengan kebesaran ALLAH SWT yang sudah terhampar di hadapan diri
kita, atau jika kita melibatkan diri ke dalam kebesaran ALLAH SWT hanya sebatas
ikut-ikutan saja atau kadang terlibat atau kadang tidak mau terlibat. Selanjutnya jika sampai hal ini yang kita
lakukan setelah mendirikan SHALAT maka akan sia-sialah Kebesaran dan Kemahaan
ALLAH SWT yang sudah ada dihadapan kita, atau
yang juga ditujukan untuk diri kita serta yang diperuntukkan pula untuk
diri kita, justru kita sendirilah yang menyia-nyiakan segala Fasilitas dan
Kemudahan dari ALLAH SWT akibat bersikap pasif atau menunggu untuk diberikan
sesuatu oleh ALLAH SWT sedangkan untuk memperoleh Kebesaran dan Kemahaan ALLAH
SWT kita harus selalu aktif untuk memperolehnya
dikarenakan kebesaraan dan kemahaan yang dimiliki oleh ALLAH SWT bukanlah untuk ALLAH SWT
melainkan untuk seluruh umat manusia, termasuk untuk diri kita, termasuk untuk
anak dan keturunan kita.
Inilah Ironi yang sering terjadi di
dalam kehidupan manusia atau yang mungkin pula terjadi di dalam kehidupan diri
kita sendiri, yaitu manusia
hidup berkekurangan (hidup miskin) di dalam lumbung padi yang sangat kaya raya;
manusia bodoh di dalam lumbung ilmu; manusia lemah di dalam lumbung kekuatan;
manusia tidak berdaya di dalam lumbung kekuatan. Inilah tragedi besar yang
terjadi dalam kehidupan umat manusia, sekarang apakah hal ini akan terjadi pula
pada diri kita atau akan terjadi pada anak dan keturunan kita setelah diri kita
mampu mendirikan SHALAT? Jika sampai tragedi ini terjadi pada kehidupan
diri kita, berarti ada yang salah saat diri kita mendirikan SHALAT. Untuk itu
tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk sesegera mungkin memperbaiki kualitas
SHALAT yang telah kita dirikan menjadi SHALAT yang sesuai dengan kehendak
pemberi perintah mendirikan SHALAT,
dalam hal ini ALLAH SWT. Selanjutnya,
sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT, jangan sampai menjadikan diri sendiri
hanya mampu menjadi Penonton belaka, atau hanya pengagum belaka atas
pertunjukkan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang diperuntukkan bagi yang
mendirikan SHALAT, atau kita hanya mampu berlaku PASIF atas Kebesaran dan
Kemahaan ALLAH SWT sehingga kita hanya
bisa menunggu dan menunggu untuk diberikan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH
SWT. Selanjutnya jika ini yang terjadi pada diri kita berarti perbuatan diri
kita belum konsisten di dalam Nilai-Nilai
Kebaikan, akibat diri kita masih selalu dipengaruhi oleh Ahwa dan juga
Syaitan.
Selain daripada itu, jika sampai
diri kita mendirikan SHALAT tingkat ke empat yang dilanjutkan dengan kadang
aktif, kadang pasif dengan kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT, maka kondisi
kejiwaan diri kita walaupun sudah masuk dalam jiwa Taqwa namun masuk dalam
kategori Jiwa Lawwamah. Jiwa
Lawwamah adalah suatu keadaan kejiwaan di mana Ruhani belum mampu sepenuhnya
mengalahkan secara total Jasmani atau Ruhani kadang menang, kadang kalah oleh
Jasmani atau Jiwa Taqwa yang masih labil. Jika ini yang terjadi berarti diri
kita kadang merasakan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT, kadang hambar di dalam
melaksanakan Ibadah. Untuk itu, melalui SHALAT yang kita dirikan harus dapat
menjadikan jiwa kita menjadi Jiwa Muthmainnah (menjadi Jiwa yang Tenang)
sehingga selain manfaat yang terdapat di balik perintah SHALAT dapat kita
rasakan, tingkah laku dan perbuatan kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi
selalu sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Untuk itu rubahlah jiwa Lawwamah yang
saat ini terjadi pada diri kita menjadi jiwa Muthmainnah saat ini juga sebelum
Ruh tiba di kerongkongan.
E. SHALAT Tingkat ke-lima adalah
SHALAT yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT, sehingga mampu merasakan
Nikmatnya Bertuhankan kepada ALLAH SWT atau merasakan kehadiran ALLAH SWT dalam
hidup dan kehidupan.
SHALAT tingkat ke-lima adalah
Tingkatan tertinggi dari SHALAT yang didirikan manusia. Selanjutnya seperti
apakah SHALAT tingkat ke lima dimaksud? Untuk dapat melaksanakan SHALAT tingkat
ke lima, maka hal-hal sebagai berikut harus sudah kita lakukan seperti adanya
kesadaran tentang butuhnya diri kita dengan SHALAT yang di lanjutkan diri kita
memiliki Ilmu yang cukup baik tentang SHALAT. Sehingga SHALAT yang kita dirikan
pasti sudah memenuhi seluruh Syarat SAHnya SHALAT; seluruh Rukun SHALAT pasti
terpenuhi; Sunnah-Sunnah SHALAT sudah dikerjakan, Hal-Hal yang makruh dalam
SHALAT sudah tidak dilakukan lagi; Hal-Hal yang membatalkan SHALAT sudah tidak
kita lakukan lagi; bacaan yang terdapat di dalam SHALAT sudah sesuai dengan
ketentuan yang berlaku (maksudnya tuma'ninah, tartil dan tajwidnya sudah kita
lakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku) serta kekhusyu'an di dalam
mendirikan SHALAT dapat kita laksanakan dengan sebaik mungkin.
Selanjutnya, hasil akhir dari itu
semua maka kita mampu berkomunikasi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita
dirikan, mampu menghadap ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu
bertemu dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu berdoa kepada
ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu menjadikan ALLAH SWT sesuai
dengan kebesaran yang dimiliki-Nya melalui SHALAT yang kita dirikan, mampu
bersinergi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan. Selain daripada
itu orang yang mampu mendirikan SHALAT
tingkat ke lima dapat merasakan langsung segala manfaat yang terdapat di balik
perintah mendirikan SHALAT yang dilanjutkan dengan aktifnya diri kita di dalam
Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT serta tercermin di dalam tingkah laku dan
perbuatan diri kita yang selalu sesuai dengan apa yang dikehendaki ALLAH SWT
saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Selanjutnya apa lagi?
apabila telah
ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia
Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
(surat
Al Jumu'ah (62) ayat 10)
Berdasarkan surat Al Jumu'ah (62)
ayat 10 yang kami kemukakan di atas ini, orang yang telah mampu mendirikan SHALAT tingkat ke lima maka orang
tersebut di dalam melakukan aktivitas
kehidupan sehari-harinya atau di dalam berkarya, di dalam bekerja, di dalam
belajar, di dalam setiap aktivitas yang dilakukannya, selalu mencari karunia
ALLAH SWT, tidak pernah sekalipun putus hubungan dengan ALLAH SWT serta selalu berbuat, selalu
berkarya, sesuai dengan apa yang dia ingat tentang ALLAH SWT atau selalu
berbuat sesuatu yang berkesesuaian dengan apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT
serta mampu menjadikan dirinya berguna dan bermanfaat bagi sesama manusia
(keberadaan diri kita ditengah masyarakat bukan menjadi beban masyarakat
melainkan bermanfaat bagi masyarakat).
Adanya kondisi yang kami kemukakan
di atas, maka orang yang
mampu mendirikan SHALAT tingkat ke lima berarti orang tersebut sudah mampu
menjadikan Ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya, atau Ruhani yang
mampu mengalahkan Jasmani sehingga diri kita berada di dalam Nilai-Nilai
Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah saat menjadi KHALIFAH di muka
bumi. Inilah yang dikatakan sebagai Jiwa Muthmainnah. Setelah Jiwa kita masuk di dalam kategori Jiwa
Muthmainnah maka segala perbuatan diri kita, segala tindak-tanduk diri kita,
akan selalu berada di dalam kesesuaian dengan kehendak ALLAH SWT yang pada akhirnya seluruh
janji-janji ALLAH SWT dapat kita rasakan atau nikmatnya bertuhankan kepada
ALLAH SWT dapat kita rasakan dari waktu ke waktu.Selain daripada
itu, Ironi yang terjadi di dalam kehidupan manusia tidak akan pernah terjadi
pada diri orang yang memiliki Jiwa Muthmainnah, yaitu hidup berkekurangan (hidup miskin) di dalam
lumbung padi yang sangat kaya raya; bodoh di dalam lumbung ilmu; lemah di dalam lumbung kekuatan. Hal ini
disebabkan Kemahaan dan Kebesaran ALLAH SWT bukanlah untuk ALLAH SWT
karena ALLAH SWT sudah MAHA,
melainkan untuk orang-orang yang sesuai dengan kehendak-Nya. Sekarang sudahkah diri kita sesuai dengan
kehendak ALLAH SWT sebagai pemberi perintah mendirikan SHALAT sehingga kita
mampu memperoleh apa-apa yang telah dijanjikan ALLAH SWT. Sekarang
timbul pertanyaan, apa-apa sajakah yang telah di janjikan oleh ALLAH SWT kepada
diri kita? Berikut ini akan kami kemukakan Janji-Janji ALLAH SWT yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan hadits qudsi, yang kesemuanya
tidak akan pernah diingkari-Nya, yaitu:
a. Orang yang
taat dan patuh kepada ALLAH SWT (mengerjakan amal shaleh) akan masuk Syurga dan
yang membangkang akan dimasukkan ke Neraka (4:13-14-24-57; 18:107-108; 2:82;
7:42).
b. ALLAH SWT
tidak akan menganiaya manusia sekecil apapun (41:46; 10:44; 4:40).
c. Manusia akan
diuji dengan kebaikan dan keburukan oleh
ALLAH SWT (21:35; 7:168).
d. ALLAH SWT
tidak akan membebani seseorang di luar batas kemampuannya (2:286: 23:62; 65:7).
e. Sesudah
kesulitan pasti akan akan kemudahan (94:5-6).
f. ALLAH SWT
menentukan rezeki manusia berbeda-beda (4:32).
g. Tidak akan
menimpa diri kita sesuatu apapun kecuali apa-apa yang telah ditetapkan ALLAH
SWT untuk diri kita (9:51).
h. Kehidupan
dunia hanya sandiwara sedangkan kehidupan yang sebenarnya ada di akhirat
(57:10; 29:64).
i.
ALLAH SWT membalas orang yang menginfaqkan hartanya
dengan balasan 700 (tujuh ratus) kali lipat (2:261).
j.
Amal baik akan dibalas ALLAH SWT 10 kali (6:160).
k. Orang yang
patuh dan taat kepada ALLAH SWT dan Rasul-Nya akan diberi pahala dua kali lipat
serta rezeki yang luas (33:31).
l.
Kejadian yang buruk yang menimpa tidak selalu berarti
jelek, sebaliknya kejadian menyenangkan tidak pula selalu berarti indah
(2:216).
m. Orang yang
dapat menahan diri dari keinginan ahwa atau hawa nafsunya maka syurgalah
ganjarannya (79:40-41).
n. Sabar dan
pemaaf adalah sifat utama, ALLAH SWT beserta orang yang sabar (2:153).
o. Hati menjadi
tenteram dengan mengingat ALLAH SWT (13:28).
p. Orang yang
berserah diri kepada ALLAH SWT, berarti ia telah berpegang pada buhul atau tali
yang kokoh (31:22).
q. Apabila kita
ingat ALLAH SWT, maka ALLAH SWT pun akan ingat pada kita (2:152) dan apabila
kita ingin menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun akan menemui kita serta apabila
kita enggan menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT enggan menemui kita (272:17)
r.
Manusia diberi kebebasan penuh dalam bertindak (16:93).
s. ALLAH SWT akan
meminta pertanggungjawaban atas apa yang telah kita perbuat selama hidup di
dunia (75:36; 20:15; 67:1-2).
t.
Orang yang tidak mempergunakan hati, akal, mata dan telinganya untuk memahami ayat-ayat ALLAH
SWT akan ditempatkan di Neraka (7:179; 67:10).
u. ALLAH SWT
hanya meridhai Islam sebagai Agama (3:19; 5:3).
v. Orang yang
berserah diri dan berbuat kebaikan, tidak akan merasa sedih atapun khawatir (2:
112).
w. Orang yang
menolong agama ALLAH SWT niscaya akan ditolong dan diteguhkan kedudukannya
(47:7).
x. Jika kita
bersyukur, maka ALLAH SWT akan menambahkan nikmat-NYA kepada kita (14:7).
y. Orang yang sombong/membanggakan
diri dibenci ALLAH SWT (31:18) dan lain sebagainya.
Hamba ALLAH
SWT, inilah sebahagian dari janji-janji ALLAH SWT kepada diri kita yang
terdapat di dalam Al-Qur'an dan Hadits Qudsi, selanjutnya percayakah kita dan
yakinkah kita dengan janji-janji ALLAH SWT tersebut?
Selanjutnya agar diri kita
mampu melaksanakan SHALAT tingkat ke lima atau
jika kita ingin selalu menjaga SHALAT kita selalu berada di tingkat ke lima , ada beberapa hal
yang harus kita jadikan patokan atau pedoman sebelum diri kita mendirikan
SHALAT, atau setelah diri kita mendirikan SHALAT, atau sering-seringlah
mempertanyakan apa-apa yang akan kami kemukakan di bawah ini saat diri kita
menjadi KHALIFAH di muka bumi, apakah itu?
1. Sudahkah diri kita memiliki kesadaran
tentang pentingnya SHALAT bagi diri kita sehingga kita merasa sangat
membutuhkan SHALAT?
Adanya
kesadaran di dalam diri bahwa SHALAT itu sangat penting bagi diri kita sendiri,
akan melahirkan apa yang dinamakan dengan Niat yang Ikhlas untuk mendirikan
SHALAT yang tertanam di dalam Hati Ruhani. Sehingga dengan adanya kesadaran ini
timbullah di dalam diri suatu keadaan dimana kita sangat membutuhkan SHALAT
seperti halnya diri kita membutuhkan mandi. Jika ini yang terjadi pada diri kita, maka apapun halangan, apapun
rintangan, apapun kondisinya, apapun gangguannya, dimanapun, kapanpun, kita
akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk selalu mendirikan SHALAT sesuai dengan
Syariat yang berlaku. Selanjutnya
sebagai Khalifah yang membutuhkan SHALAT, sudahkah kesadaran atau Niat yang
Ikhlas untuk mendirikan SHALAT ada di dalam Hati Ruhani diri kita sehingga
kapanpun dan dimanapun serta dalam kondisi apapun kita selalu siap untuk mendirikan
SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.
Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman:
Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,
Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan
menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie
dari Abu Hurairah, 272:17)
Selanjutnya
jika kita sudah memiliiki kesadaran, atau Niat yang ikhlas di dalam Hati Ruhani
untuk mendirikan SHALAT berarti di dalam diri kita ada sebuah keinginan atau
sebuah kehendak untuk selalu menemui ALLAH SWT, untuk selalu menghadap ALLAH
SWT, untuk selalu berkomunikasi dengan ALLAH SWT, untuk selalu dekat dengan
ALLAH SWT. Jika hal ini telah mampu kita laksanakan dengan baik berarti ALLAH SWT pun akan berbuat hal yang
sama dengan diri kita. Adanya kondisi ini berarti langkah awal untuk menuju,
memperoleh, merasakan SHALAT yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan
SHALAT sudah kita miliki.
2. Sudahkah diri kita memiliki ILMU
tentang SHALAT dengan baik dan benar sehingga kita mampu mendirikan SHALAT
sesuai dengan kehendak pemberi perintah SHALAT?
Untuk
dapat mengerjakan sesuatu hal, maka kita diharuskan terlebih dahulu untuk
memiliki Ilmu yang berhubungan dengan pekerjaan yang akan kita lakukan. Jika
kita bekerja tanpa memiliki Ilmu, dapat dipastikan hasil akhirnya tidak akan
sama kualitasnya jika bekerja dengan Ilmu. Hal yang sama juga berlaku saat diri
kita mendirikan SHALAT, yaitu kita harus terlebih dahulu memiliki Ilmu tentang
SHALAT. Apa dasarnya? Hal ini
dikarenakan kualitas dan tingkatan SHALAT yang kita dirikan sangat berhubungan
erat dengan seberapa jauh diri kita memiliki Ilmu yang berhubungan erat dengan
SHALAT yang akan kita dirikan. Jika kita mampu memiliki Ilmu
tentang SHALAT yang tinggi maka akan semakin baik pelaksanaan SHALAT yang kita
dirikan.
Demikian
pula sebaliknya, semakin rendah Ilmu tentang SHALAT yang kita miliki maka nilai
dari pelaksanaan SHALAT yang akan kita dirikan akan semakin rendah kualitas dan
tingkatannya. Sekarang sudahkah diri kita memiliki Ilmu yang berhubungan erat
dengan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT? Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tentu
kita tidak akan mungkin bisa menjadikan SHALAT sebagai sebuah kebutuhan jika
kita sendiri tidak pernah mau belajar tentang SHALAT atau kita tidak memiliki
Ilmu tentang SHALAT. Adanya kondisi seperti ini maka kedudukan Ilmu
tentang SHALAT sangat memegang peranan penting bagi diri kita jika kita ingin sukses menjadi KHALIFAH di
muka bumi yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau jika kita ingin merasakan
nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan.
Sekarang
diri kita sudah dijadikan oleh ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi. Timbul
pertanyaan, sudah sejauh manakah kita memiliki Ilmu tentang Kekhalifahan di
muka bumi? Jika kita
ingin sukses melaksanakan Kekhalifahan di muka bumi tidak ada jalan lain kita
harus meluangkan waktu dan bersungguh-sungguh untuk belajar memiliki Ilmu yang
berhubungan dengan diri kita sebagai KHALIFAH dan juga tentang Diinul Islam
sebagai konsep Ilahiah bagi kepentingan diri kita dan juga anak dan keturunan
kita. Adanya kondisi ini, terlihat dengan jelas bahwa memiliki Ilmu tentang
Diinul Islam, memiliki Ilmu tentang ALLAH SWT; memiliki Ilmu tentang SYAHADAT;
memiliki Ilmu tentang SHALAT, memiliki Ilmu tentang ZAKAT, memiliki Ilmu
tentang PUASA, memiliki Ilmu tentang HAJI, memiliki Ilmu tentang IKHSAN,
sangatlah penting bagi kesuksesan diri kita di dalam melaksanakan tugas sebagai
KHALIFAH di muka bumi.
Yang menjadi persoalan saat ini
adalah kita malas untuk belajar, kita merasa tidak ada waktu untuk belajar,
sibuk, repot, atau nanti saja kalau sudah tua belajar Diinul Islam yang sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT. Inilah ironi yang terjadi di masyarakat, mau
memiliki ilmu tentang Diinul Islam akan tetapi tidak mau belajar sama sekali. Jika ini
yang terjadi pada diri kita maka tidak ada bedanya jika kita memiliki HP Black
Berry edisi terbaru, namun hanya memiliki pulsa Rp.50,- (lima puluh rupiah)
tetapi ingin memperoleh fasilitas SMS, MMS, GPRS, SLI dan SLLJ dari Operator
Selular. Untuk itu jangan pernah
salahkan ALLAH SWT jika saat ini kita tidak pernah merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika hidup
kita selalu di rundung masalah/problem dari waktu ke waktu, akibat diri kita
yang malas, akibat diri kita yang acuh tak acuh dengan Diinul Islam, akibat
diri kita sibuk mengejar dunia, akibat menjadikan diri kita seperti laksana HP
yang hanya memiliki saldo pulsa Rp.50,- (lima puluh rupiah) saja (apa yang dapat kita lakukan dengan pulsa
hanya sebesar lima puluh rupiah), kecuali hanya menunggu dan menunggu).
Sekarang tergantung diri kita maukah belajar tentang Diinul Islam yang sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT?
Timbul
pertanyaan, kepada siapakah kita harus belajar Ilmu tentang SHALAT? Perintah mendirikan SHALAT yang berlaku di
muka bumi ini asalnya dari ALLAH SWT, ini berarti jika kita ingin belajar Ilmu
tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT
haruslah kepada memerintahkan SHALAT, dalam hal ini adalah ALLAH SWT. Bagaimana
caranya belajar langsung kepada ALLAH SWT sedangkan ALLAH SWT ada di Arsy dan di lain sisi Nabi
Muhammad SAW sebagai utusan ALLAH SWT dan juga sebagai pemberi contoh bagaimana
seharusnya SHALAT didirikan sudah meninggal dunia? Untuk belajar Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT
tetap harus kepada ALLAH SWT semata karena ALLAH SWT tidak hanya sebagai
pemberi perintah mendirikan SHALAT, akan tetapi ALLAH SWT juga penilai dan penentu
hasil akhir dari SHALAT yang kita dirikan. Lalu dimana letaknya peran
para ustad, peran para kyai, peran para ulama di dalam proses belajar tentang
SHALAT, atau di dalam memperoleh Ilmu tentang SHALAT? Agar diri kita mampu mendapatkan Ilmu tentang SHALAT
yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT maka kita harus terlebih dahulu
menempatkan ALLAH SWT sesuai dengan kemahaan yang dimiliki-Nya lalu letakkan
para ustad, para kyai, para ulama, hanya sebagai perantara, atau hanya sebagai
media bagi diri kita untuk mendapatkan ilmu tentang SHALAT.
Untuk itu sebelum diri kita
belajar kepada para ustad, kepada para kyai, kepada para ulama, kita harus
terlebih dahulu meminta izin kepada ALLAH SWT sebelum belajar kepada mereka,
atau berdoalah kepada ALLAH SWT sebelum menuntut Ilmu. Apa
dasarnya? Hal ini dikarenakan para ustad, para kyai, dan para ulama bukanlah
pemilik dari Ilmu tentang SHALAT, hal ini dikarenakan mereka semua bukanlah
pemberi perintah mendirikan SHALAT kepada seluruh manusia dan bukan pula
penilai dan penentu hasil akhir dari SHALAT. Adanya kondisi ini berarti para
ustad, para kyai dan para ulama di dalam mengajarkan Ilmu tentang SHALAT
hanyalah menjalankan fungsi sebagai perpanjangan tangan ALLAH SWT di dalam
mengajarkan Ilmu tentang SHALAT kepada diri kita. Selain daripada itu, para
ustad, para kyai, para ulama juga memiliki kewajiban untuk selalu mengingatkan
diri kita untuk melaksanakan perintah mendirikan SHALAT yang sesuai dengan
kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.
3. Sudahkah diri kita memiliki
KEJUJURAN, atau mampu bersikap JUJUR baik kepada ALLAH SWT dan juga kepada diri
sendiri sehingga kita tahu siapa diri kita sebenarnya dan siapa itu ALLAH SWT?
Sudahkah
diri kita Jujur baik kepada diri sendiri dan juga kepada ALLAH SWT sewaktu
menjadi KHALIFAH di muka bumi, atau saat mendirikan SHALAT? Jika kita termasuk
orang yang telah memiliki kesadaran bahwa SHALAT sangat kita butuhkan dan juga
telah memiliki Ilmu yang cukup tentang SHALAT maka langkah awal untuk berlaku
jujur baik kepada diri sendiri maupun kepada ALLAH SWT sudah kita persiapkan
sarananya. Sekarang adakah hubungan antara Jujur atau Kejujuran dengan perintah
mendirikan SHALAT? Untuk
dapat mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT tidak akan dapat
dilaksanakan jika tanpa ada kejujuran yang berasal dari diri kita sendiri (ingat
jujur dan pura-pura jujur jaraknya sangat tipis). Hal ini disebabkan untuk berlaku Jujur, atau untuk menunjukkan
Kejujuran yang kita miliki tidaklah semudah membalik telapak tangan. Jujur
sangat membutuhkan bukti, atau Jujur tidak dapat berdiri sendiri, atau Jujur
harus ada sesuatu yang mengiringinya, atau Jujur sangat memerlukan hal-hal
sebagai berikut untuk membuktikan kejujuran yang kita miliki, seperti:
a.
Jujur hanya dapat dilakukan
oleh orang yang waras, tidak hilang ingatan.
b.
Jujur harus di-iringi dengan
sikap teliti, konsisten dari waktu ke waktu, sebab jika tidak kejujuran akan
gugur.
c.
Jujur harus di imbangi dengan
ilmu, agar orang lain dapat memetik hikmah di balik adanya sebuah kejujuran.
d.
Jujur merupakan hasil akhir
dari sebuah perjuangan tanpa mengenal batas usia maupun waktu sehingga jujur
baru dapat diperoleh setelah diri kita aktif melakukannya.
e.
Jujur merupakan bukti nyata
dari sebuah perbuatan atau Jujur baru dapat berlaku jika mampu dibuktikan.
f.
Jujur merupakan cerminan
sikap yang bersifat individual yang berasal dari kehendak dan kemampuan
seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan.
Itulah
jujur, atau kejujuran yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Timbul
pertanyaan, sudahkah dan beranikah diri kita Jujur sebelum dan setelah
mendirikan SHALAT?Jika kita
termasuk orang yang telah Tahu Diri yaitu tahu siapa diri kita sebenarnya dan
tahu siapa ALLAH SWT sebenarnya maka dapat dipastikan kita berani jujur sebelum
dan sesudah mendirikan SHALAT.
Selanjutnya setelah
kita mampu bersikap Jujur, mampu berperilaku Jujur sebelum dan sesudah
mendirikan SHALAT, apakah sudah cukup sampai disitu saja kita Jujur kepada diri
sendiri dan kepada ALLAH SWT? Jika kita merasa sudah cukup
berhentilah sampai disitu saja. Namun jika kita merasa kurang maka lakukanlah
langkah berikutnya yaitu dengan bersikap Aktif untuk membuktikan Kejujuran itu
dengan cara terlibat langsung dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang
sudah ada bersama diri kita dan juga
sudah ada di alam semesta ini, atau diri kita harus berani untuk membuktikan
Kejujuran yang telah kita miliki dengan selalu memenuhi Hak-Hak ALLAH SWT
melalui:
1.
Jika ALLAH SWT telah
memerintahkan untuk memeluk dan melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah maka
laksanakanlah perintah ALLAH SWT tersebut tanpa ada bantahan sedikitpun.
2.
Jika kita telah tahu dan
mengerti dengan Kehendak ALLAH SWT maka penuhilah apa-apa yang dikehendaki
ALLAH SWT secara Ikhlas tanpa merasa dipaksa apalagi terpaksa.
3.
Jika kita tahu dan mengerti
bahwa ALLAH SWT adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang maka lakukanlah
perbuatan yang sama yaitu dengan memberikan kasih sayang, memberikan bantuan serta pertolongan kepada
sesama umat manusia.
4.
Jika kita tahu dan mengerti
bahwa ALLAH SWT adalah Maha Adil maka lakukanlah tindakan dan perbuatan Adil
pula sewaktu diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi.
5.
Jika kita tahu dan mengerti
bahwa ALLAH SWT adalah Maha Tahu maka lakukanlah tindakan untuk berbagi Ilmu
kepada sesama manusia sehingga umat menjadi tahu dan mengerti akan sesuatu hal.
6.
Jika kita tahu dan mengerti bahwa
ALLAH SWT adalah Maha Pemberi Rezeki maka lakukanlah tindakan untuk berbagi
Rezeki dengan mengeluarkan Hak ALLAH SWT melalui Zakat, atau memberikan
Shadaqah ataupun Infaq kepada yang membutuhkannya.
7.
Jika kita tahu dan mengerti
bahwa ALLAH SWT adalah Maha Terpercaya maka jadikanlah diri sebagai orang
terpercaya pula dengan selalu bersikap Jujur.
8.
Demikian seterusnya sesuai
dengan Asmaul Husna serta Sifat Ma’ani yang dimiliki oleh ALLAH SWT.
Adanya kesesuaian antara Perbuatan
yang kita lakukan dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT setelah diri kita
berkomunikasi dengan ALLAH SWT melalui SHALAT, setelah diri kita mengajukan
permohonan dan berdoa kepada ALLAH SWT melalui SHALAT maka ALLAH SWTpun akan
memberikan hal-hal sebagai berikut kepada diri kita, yaitu Kemudahan di dalam
melakukan pekerjaan; Dibukakannya pintu rezeki yang tidak terduga-duga;
Ditambahi Ilmu; Ditingkatkannya Aura; Merasakan kenikmatan bertuhankan kepada
ALLAH SWT; dan lain sebagainya. Sekarang
sudahkah diri kita jujur baik kepada ALLAH SWT maupun kepada diri kita sendiri? Sebagai
KHALIFAH di muka bumi, sudahkah ke tiga hal yang kami kemukakan di atas, kita
miliki (maksudnya kesadaran, ilmu dan kejujuran kita miliki)? Dan jika sudah
kita miliki, sudahkah ke tiga hal
tersebut kita tunjukkan, kita buktikan di dalam kehidupan sehari-hari? Semoga
kita semua mampu melakukan apa-apa yang seharusnya kita lakukan saat menjadi
KHALIFAH di muka bumi.
Selanjutnya, sebagai bahan
perbandingan akan kami kemukakan uraian tentang tingkatan-tingkatan SHALAT yang
dikemukakan oleh seorang ulama besar ternama yang bernama Ibnul Qayyim (kami ambil dari buku Jangan Shalat Bersama
Setan, Syaikh Mu'min Al Haddad Aqwam, Jembatan Ilmu, Solo, halaman 31-32).
Menurut Ibnul Qayyim, SHALAT dapat dikelompokkan menjadi 5(lima) tingkat, yaitu
:
1. SHALAT Tingkat Pertama
Orang yang
lalai dan zhalim terhadap dirinya sendiri, yaitu orang yang tidak mendirikan
SHALAT dengan baik dan benar, apakah itu wudhu, waktu, batas-batas, maupun
rukun-rukun shalat, kelompok ini akan mendapat hukuman dari ALLAH SWT.
2. SHALAT Tingkat Kedua
Orang yang
menjaga waktu SHALAT, batas-batas, rukun-rukun SHALAT yang zhahir dan menjaga
wudhunya, namun ia lalai dalam bermujahadah melawan bisikan dan pikiran-pikiran
yang menganggu jiwanya, kelompok ini akan dihisab oleh ALLAH SWT.
3. SHALAT Tingkat Ke Tiga
Orang yang
SHALAT sekaligus berjihad. Mereka bukan hanya menjaga batas-batas dan
rukun-rukun SHALAT, tetapi juga sanggup untuk berupaya sekuat tenaga mengusir
bisikan dan pikiran yang menggoda dirinya, ia sibuk dengan perjuangan melawan
syaitan agar tidak mencuri SHALATnya. Kelompok ini akan di hapus dosanya oleh
ALLAH SWT.
4. SHALAT Tingkat Ke Empat
Orang yang
merenungi hak dan kewajiban SHALAT, rukun-rukun dan batas-batasnya ketika
mendirikan SHALAT. Hatinya tenggelam dalam menjaga batas-batas SHALAT dan
hak-haknya agar tiada satupun yang terbuang percuma. Seluruh obsesinya hanya
ditujukan untuk mendirikan SHALAT, sebagaimana yang seharusnya ditujukan untuk
menyempurnakan dan melengkapi SHALAT ini. Hatinya tenggelam dalam SHALAT dan
ibadah kepada Rabb-Nya di dalam SHALAT. Mereka mendapat pahala dari ALLAH SWT.
5. SHALAT Tingkat Ke Lima
Orang yang
mendirikan SHALAT dengan menghadirkan hatinya dihadapan ALLAH SWT, seakan-akan
ia melihat ALLAH SWT dengan mata hatinya, ia merasa diawasi oleh ALLAH SWT dan
hatinya pun dipenuhi rasa cinta kepada ALLAH SWT serta mengangungkan ALLAH SWT.
Semua bisikan dan pikiran telah hilang dan sirna darinya, dinding pembatas
antara dirinya dengan Rabb-Nya telah di angkat ketika SHALAT. SHALAT orang
seperti ini jauh lebih baik daripada segala yang ada antara langit dan bumi.
Orang yang demikian dalam SHALATnya ialah orang yang sibuk dengan Rabb-Nya dan
berbahagia dengan-Nya. Tingkatan manusia terakhir ini, akan didekatkan
kepada-Nya karena ALLAH SWT lah yang menjadi perhatian penuh di dalam SHALAT
mereka.
Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan
SHALAT, sebagai orang yang
diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk mendirikan SHALAT, beranikah anda untuk
menilai diri sendiri secara jujur dan bertanggung jawab yaitu sudah pada
tingkatan yang keberapakah SHALAT yang kita dirikan saat ini? Jawaban
dari pertanyaan ini, merupakan cerminan langsung dari diri kita sendiri, namun
kami sangat berharap kita semua termasuk orang-orang yang mampu menempati
urutan teratas dari tingkatan SHALAT yang telah kami kemukakan di atas dan jika
harapan kami meleset maka tidak ada jalan lain kecuali segera memperbaiki
kualitas SHALAT yang kita dirikan saat ini juga, jangan sampai ditunda-tunda
menunggu tua karena kita tidak tahu kapan Ruh tiba dikerongkongan atau kapan
Malaikat Izrail melaksanakan tugasnya mencabut nyawa kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar