5. SHALAT
yang merendahkan diri kepada ALLAH SWT dengan segala tanda-tandanya
Agar SHALAT yang kita dirikan selalu
sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT maka
SHALAT yang kita dirikan harus memenuhi prinsip-prinsip yang ada pada hadits
qudsi yang kami kemukakan di bawah ini. Apakah itu?
Haritsah bin Wahab ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala
berfirman: Tiada semua orang yang sembahyang dapat dikatakan sembahyang. Aku
hanya menerima sembahyang dari orang yang merendah diri karena keagungan-Ku
serta menahan hawa nafsunya dari perbuatan-perbuatan haram dan tidak terus
menerus melakukan maksiat, disamping itu ia juga memberi perlindungan dan
naungan kepada orang musafir kelana. Ia berbuat itu semua untuk-Ku, maka demi
kemulyaan dan kebesaran-Ku bahwa wajahnya lebih bercahaya disisi-Ku dari cahaya
matahari. Aku memberinya ilmu menggantikan kebodohannya dan cahaya menggantikan
kegelapannya. Aku mendengarkan doanya serta memberinya apa yang ia minta dan
memenuhi sumpahnya. Aku melindunginya dengan kekuasaan-Ku dan menitipkannya
kepada malaikat-Ku. Perumpamaannya dalam anggapan-Ku seperti syurga
"Firdaus" tidak rusak buah-buahnya dan tidak berubah keadaannya.
(HQR Ad Dailami,
272:130)
Berdasarkan hadits qudsi yang kami
kemukakan di atas, ALLAH SWT tidak bisa begitu saja menerima SHALAT yang kita
dirikan. ALLAH SWT hanya akan
menerima SHALAT yang kita dirikan, sepanjang SHALAT yang kita dirikan memenuhi
Syarat dan Ketentuan yang telah ALLAH SWT berlakukan melalui apa-apa yang telah
dicontohkan oleh Nabi MUHAMMAD SAW. Seperti apakah ketentuannya?
SHALAT yang kita dirikan haruslah
SHALAT yang merendahkan diri karena Keagungan dan Kebesaran ALLAH SWT
(maksudnya adalah mendirikan SHALAT bukan karena sesuatu hal seperti mendirikan
SHALAT karena ingin dipuji orang, karena ingin diperhatikan orang, karena
mengharapkan sesuatu, mendirikan SHALAT karena ada udang di balik batu) serta
orang yang mendirikan SHALAT haruslah orang yang mampu menahan hawa nafsunya
dari perbuatan-perbuatan haram serta yang mampu untuk tidak terus menerus
melakukan maksiat (maksudnya adalah ALLAH SWT tidak menghendaki orang yang
mendirikan SHALAT melaksanakan konsep “Kapok Lombok” atau ALLAH SWT berkehendak
agar manusia bisa mencontoh perilaku Keledai yang tidak akan masuk lubang yang
sama dua kali).
Disamping itu orang yang
mendirikan SHALAT harus pula mampu memberi perlindungan dan naungan kepada
orang musafir kelana, atau bisa berbuat kebaikan bagi sesama dimanapun dan
kapanpun. Sekarang
jika kita mampu melaksanakan itu semua maka ALLAH SWT akan memberikan wajah
kita lebih bercahaya dari cahaya matahari, atau memberi cahaya untuk
menggantikan kegelapan yang kita hadapi. ALLAH SWT akan memberikan ilmu untuk
menggantikan kebodohan diri kita. ALLAH SWT juga akan mendengarkan doa kita
serta ALLAH SWT memberi apa yang kita minta. ALLAH SWT akan melindungi diri
kita serta menitipkan diri kita kepada malaikat. Sebagai
KHALIFAH yang sangat berkepentingan dengan SHALAT serta sebagai KHALIFAH yang
sangat membutuhkan SHALAT seperti halnya membutuhkan mandi berarti kita harus
mampu melaksanakan apa-apa yang telah dipersyaratkan oleh ALLAH SWT melalui
hadits qudsi yang kami kemukakan di atas dengan sebaik mungkin.
6. SHALATLAH dengan KHUSYU'
Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 45-46 dan Hadits
yang yang kami kemukakan di bawah ini, salah satu syarat terpenting dari SHALAT
yang dikehendaki oleh AL LAH SWT adalah SHALAT
yang kita dirikan harus dalam keadaan Khusyu’. Selanjutnya apakah itu SHALAT
yang Khusyu’?
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai
penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu',
(yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa
mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya.
(surat Al Baqarah (2) ayat 45-46)
“Apabila kalian melaksanakan Shalat maka janganlah
terburu-buru dan datangilah Shalat tersebut dengan tenang dan penuh hormat”.
(HR
Bukhari)
SHALAT yang Khusyu’ secara
sederhana adalah SHALAT yang didirikan dengan sepenuh hati, ikhlas karena ALLAH
SWT, merendahkan diri dihadapan ALLAH SWT dengan segenap Ruhani dan Amanah 7,
yang dilakukan dengan tertib, perlahan, tenang, tidak terburu-buru serta
tuma’ninah serta jadikan Ruhani dan Amanah 7 yang SHALAT serta jadikan jasmani
sebagai ma’mum dan juga penuh perasaan. (pembahasan lebih lanjut tentang SHALAT yang Khusyu’ ada
pada bab tersendiri).
Dari Abu
Hurairah ra, sesungguhnya Nabi SAW pernah masuk masjid. Nabi bersabda: “Apabila
kamu berdiri Shalat bertakbirlah, lalu bacalah ayat yang mudah bagimu, kemudian
rukuklah sehingga tuma’ninah dalam keadaan rukuk, kemudian bangkitlah sehingga
I’tidal dalam keadaan berdiri, kemudian sujudlah sehingga tuma’ninah dalam
keadaan sujud, kemudian bangitlah sehingga tuma’ninah dalam keadaan duduk,
kemudian sujudlah sehingga tuma’ninah dalam keadaan sujud, kemudian berbuatlah
demikian dalam semua shalatmu”.
(HR Bukhari, Muslim, dan Ahmad, tetapi
dalam Muslim tidak terdapat sebutan sujud kedua)
Selanjutnya untuk menambah wawasan
tentang seperti apakah SHALAT yang Khusyu’, berikut ini akan kami kemukakan
sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dalam shahihnya yang
bersumber dari Abu Hurairah ra, tentang hakikat SHALAT Khusyu’, yaitu : “Suatu
ketika Rasulullah SAW dan para sahabatnya sedang berada di dalam masjid.
Tiba-tiba masuklah seorang laki-laki kemudian SHALAT. Setelah selesai, ia
menghadap Rasulullah dan mengucapkan salam. Rasul menjawab salamnya dan berkata
kepadanya, “Kembalilah, dan Shalatlah, sesungguhnya engkau tadi belum SHALAT!.
Ia pun kembali ke tempat SHALAT dan mengulangi Shalatnya seperti SHALAT yang ia
lakukan sebelumnya. Setelah melaksanakan SHALAT yang kedua kalinya, ia kembali
mendatangi Rasulullah SAW, maka beliau pun berkata kembali kepada pria itu,
“Kembalilah, dan Shalatlah, sesungguhnya engkau tadi belum SHALAT!”. Lagi-lagi
orang itu merasa kaget, ia merasa telah melaksanakan SHALAT sesuai aturan.
Meski demikian, dengan senang hati ia menuruti perintah Rasullullah SAW.
Tentunya dengan gaya SHALAT yang sama. Namun seperti sebelumnya, Rasulullah SAW
menyuruh orang itu mengulangi Shalatnya kembali. Karena bingung, ia pun berkata,
“Wahai Rasulullah, demi ALLAH yang telah mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak
bisa melaksanakan SHALAT yang lebih baik dari yang itu, oleh karena itu,
ajarilah aku!” Maka Nabi SAW bersabda, “Jika engkau hendak mendirikan SHALAT, bertakbirlah, kemudian bacalah
Al Faatihah dan surat dalam Al-Qur’an yang kamu pandang mudah. Lalu rukuklah
dengan tenang, lalu bangunlah hingga kamu berdiri tegak. Kemudian setelah itu,
sujudlah dengan tenang, kemudian bangunlah hingga kamu duduk dengan tenang.
Lakukanlah seperti itu pada setiap Shalatmu”.
Selain daripada itu, masih ada
sebuah cerita yang akan kami kemukakan tentang SHALAT yang Khusyu’, yaitu :
“Seorang ahli ibadah bernama Isam bin Yusuf, dia sangat warak dan sangat
khusyu’ Shalatnya. Namun dia selalu khawatir kalau-kalau ibadahnya kurang
khusyu’ dan selalu bertanya kepada orang yang dianggapnya lebih ibadahnya, demi
untuk memperbaiki dirinya yang selalu dirasakan kurang khusyu’. Pada suatu
hari, Isam menghadiri majlis seorang abid bernama Hatim Al-Isam dan bertanya :
"Wahai Aba Abdurrahman, bagaimanakah caranya tuan SHALAT?" Hatim
berkata : "Apabila masuk waktu SHALAT aku berwudhu' zhahir dan
bathin." Isam bertanya,
"Bagaimana wudhu' zhahir dan bathin itu?" Hatim berkata, "Wudhu'
zahir sebagaimana biasa, yaitu membasuh semua anggota wudhu' dengan air. Sementara wudhu' bathin ialah membasuh anggota
dengan tujuh perkara : “bertaubat; menyesali dosa yang dilakukan; tidak
tergila-gilakan dunia; tidak mencari/mengharap pujian orang (riya'); tinggalkan
sifat berbangga; tinggalkan sifat khianat dan menipu; meninggalkan sifat
dengki.” Seterusnya Hatim berkata, "Kemudian aku pergi ke masjid, aku
kemaskan semua anggotaku dan menghadap kiblat. Aku berdiri dengan penuh
kewaspadaan dan aku bayangkan ALLAH SWT ada di hadapanku, Syurga di sebelah
kananku, Neraka di sebelah kiriku, malaikat maut berada di belakangku, dan aku
bayangkan pula bahwa aku seolah-olah berdiri di atas titian 'Shiraatol
Mustaqiim' dan aku menganggap bahwa shalatku kali ini adalah shalat terakhirku,
kemudian aku berniat dan bertakbir dengan baik. Setiap bacaan dan doa dalam
shalat aku pahami maknanya, kemudian aku ruku' dan sujud dengan tawadhu', aku
bertasyahud dengan penuh pengharapan dan aku memberi salam dengan ikhlas.
Beginilah caraku Shalat selama 30 tahun." Apabila Isam mendengar,
menangislah dia karena membayangkan ibadahnya yang kurang baik bila
dibandingkan dengan Hatim”.
Selanjutnya masih berdasarkan surat
Al Baqarah (2) ayat 45-46, ALLAH SWT juga mengemukakan bahwa untuk mendirikan
SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT (dalam hal ini SHALAT sebagai
Penolong bagi diri kita) adalah sungguh berat, kecuali bagi orang yang Khusyu’
mendirikannya. Adanya
informasi dari ALLAH SWT bahwa mendirikan SHALAT yang Khusyu’ itu tidaklah
mudah, sangat berat, penuh tantangan karena adanya godaan dan gangguan Syaitan
sang laknatullah yang tidak menginginkan diri kita mendapatkan SHALAT yang
Khusyu’. Namun sebagai KHALIFAH di muka bumi, kita harus selalu mengupayakan
agar SHALAT yang kita dirikan untuk selalu Khusyu dari waktu ke waktu
merupakan sebuah keharusan yang tidak
bisa kita hindarkan karena kita sangat membutuhkan SHALAT seperti kita
membutuhkan mandi serta dari sinilah akan lahir nilai perjuangan diri kita
untuk mendirikan SHALAT.
Lalu agar apa yang dikemukakan oleh
ALLAH SWT dalam surat Al Maa’uun (107)
ayat 4-5 yang kami kemukakan di bawah
ini, tidak menimpa diri kita (dalam hal ini kecelakaan), maka sangat merugilah orang yang mendirikan
SHALAT secara asal-asalan, terburu-buru, mendirikan SHALAT tanpa di dasari
dengan niat yang ikhlas, tanpa ilmu dan tanpa kejujuran, tidak khusyu’,
mendirikan SHALAT karena ingin dipandang orang, mendirikan SHALAT yang
seharusnya didirikan sebagai sebuah kebutuhan justru dilaksanakan sebatas kewajiban
semata, dan seterusnya. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, sudahkah kita
mampu mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan
SHALAT?
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,
(surat
Al Maa’uun (107) ayat 4-5)
Selain dari
pada itu, ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT masih memberikan
pedoman bagi diri kita jika ingin mendirikan SHALAT yang Khusyu’, apakah itu?
Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 43 yang kami kemukakan di bawah ini, kita tidak diperkenankan oleh ALLAH SWT untuk
mendirikan SHALAT jika dalam keadaan mabuk serta dalam keadaan junub. Apa
maksudnya? Seperti kita ketahui bersama jika orang sedang mabuk maka orang
tersebut sedang tidak sadar, orang yang mabuk sedang dalam kondisi tidak waras, karena ia tidak tahu tentang
keadaan dirinya sendiri sehingga apa-apa yang dilakukannya tidak diketahuinya
karena tidak sadar dikarenakan mabuk. Sekarang apa jadinya jika SHALAT yang
telah diperintahkan oleh ALLAH SWT kita dirikan mempergunakan konsep orang
mabuk seperti yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 43
di bawah ini?
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri
mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak
mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah
mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 43)
[301] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini
termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
Jika sampai
konsep orang mabuk kita laksanakan saat diri kita mendirikan SHALAT maka
hal-hal sebagai berikut akan terjadi pada SHALAT yang kita dirikan, yaitu :
a.
Kita tidak tahu dimana ALLAH
SWT berada sehingga bagaimana kita akan berkomunikasi dengan ALLAH SWT dengan
baik jika kita tidak tahu ALLAH SWT ada dimana, bagaimana kita akan menghadap
ALLAH SWT dengan baik jika kita tidak tahu akan menghadap kemana?
b.
Kita akan mengeraskan suara
saat mendirikan SHALAT karena menganggap ALLAH SWT itu jauh padahal kita tidak
tahu bahwa ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita.
c.
Kita tidak tahu apa yang kita
katakan sehingga seluruh bacaan yang ada di dalam SHALAT kita laksanakan dengan
“Cara Membaca” padahal seharusnya dengan “Cara Mengatakan”. Contohnya saat
membaca Al Faatihah yang seharusnya dilakukan dengan tartil dan tajwid yang
benar serta tuma’ninah, dibaca dalam satu napas atau bacaan duduk di antara dua
sujud yang seharusnya dilakukan dengan “Cara Mengatakan” justru kita lakukan
dalam satu napas tanpa tuma’ninah.
Selanjutnya
inilah yang dikatakan telah mendirikan SHALAT, tetapi belum mendirikan SHALAT
seperti kisah yang dikemukakan oleh Bukhari, Muslim di atas serta hadits yang
kami kemukakan di bawah ini. Mudah-mudahan kita semua bisa mendirikan SHALAT
sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.
Akan datang satu masa atas
manusia, dimana mereka shalat padahal sebenarnya mereka tidak shalat.
(HR Ahmad)
Sekarang
bagaimana jika kita tidak mau mendirikan SHALAT, apakah hasilnya melebihi
ketentuan hadits di atas? Jika kita
tidak mau mendirikan SHALAT berarti kondisi diri kita akan melebihi dari apa
yang dikemukakan hadits di atas serta jika kita tidak mau mendirikan SHALAT
berarti kita sudah menempatkan diri sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
Syaitan sang laknatullah serta kita berani menantang ALLAH SWT di langit dan di
bumi yang tidak pernah sekalipun kita ciptakan.
Dari Ibnu Umar ra, katanya, “Aku mendengar
Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang tanpa suci, dan tidak
diterima sedekah yang berasal dari kejahatan (seperti mencuri, menipu,
menggelapkan atau korupsi, rampok, judi dan sebagainya).
(HR
Bukhari No.175)
Selanjutnya masih ada satu lagi larangan yang dikemukakan oleh ALLAH SWT yaitu kita tidak boleh dalam keadaan junub sewaktu melaksanakan perintah mendirikan SHALAT atau saat menghadap ALLAH SWT. Apa maksudnya? Untuk menghadap presiden saja kita harus memenuhi syarat protokoler istana, sekarang bagaimana bisa menghadap ALLAH SWT Yang Maha Suci jika kondisi diri kita belum suci atau masih dalam keadaan junub? Jika menghadap Presiden saja harus memenuhi syarat protokoler istana maka untuk menghadap Yang Maha Suci pasti kita juga harus suci terlebih dahulu. Dengan adanya kesucian diri terjadilah kesesuaian antara diri kita dengan ALLAH SWT saat mendirikan SHALAT atau dengan adanya kesesuaian antara diri kita dengan ALLAH SWT maka memudahkan diri kita bersinergi dengan ALLAH SWT, berkomunikasi dengan ALLAH SWT, memudahkan diri kita menghadap ALLAH SWT.
Untuk itu
jika kita masih dalam keadaan Junub, masih dalam keadaan hadas maka kita harus
melakukan Thaharah terlebih dahulu sebelum menghadap ALLAH SWT. Adanya kondisi seperti ini maka Thaharah
mutlak harus kita lakukan sebaik mungkin jika kita ingin mendirikan SHALAT atau
jika ingin menghadap ALLAH SWT. Timbul pertanyaan apakah kesucian
diri kita hanya terbatas Jasmani belaka, ataukah Jasmani dan Ruhani harus suci
terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT? Sepanjang manusia terdiri dari Jasmani dan Ruhani dan sepanjang
perintah untuk mendirikan SHALAT berlaku untuk seluruh manusia, maka sebelum
diri kita mendirikan SHALAT baik Jasmani maupun Ruhani harus suci terlebih
dahulu baru kita bisa mendirikan SHALAT melalui proses Thaharah.
Sekarang
kita telah mengetahui tentang SHALAT yang dikehendaki oleh ALLAH SWT selaku
pemberi perintah mendirikan SHALAT. Lalu seperti apakah SHALAT yang tidak
dikehendaki oleh ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT tetapi
sesuai dengan kehendak Syaitan? Berikut ini akan kami kemukakan SHALAT yang
tidak diterima oleh ALLAH SWT, yaitu:
a. Orang lelaki
yang SHALAT sendirian tanpa membaca sesuatu atau hanya diam saja saat SHALAT.
b. Orang lelaki
yang mengerjakan SHALAT tetapi tidak mengeluarkan zakat.
c. Orang lelaki
yang menjadi imam, padahal orang yang menjadi makmum membencinya.
d. Orang lelaki
yang melarikan diri dari tanggung jawab.
e. Orang lelaki
yang minum arak tanpa mau meninggalkannya (Taubat).
f. Orang
perempuan yang suaminya marah kepadanya.
g. Orang
perempuan yang mengerjakan SHALAT tanpa memakai tudung atau mukenah.
h. Imam atau
pemimpin yang sombong, zhalim yang suka menganiaya serta orang yang suka makan
riba'.
i.
Orang yang Shalatnya tidak dapat menahannya dari
melakukan perbuatan yang keji dan mungkar."
Sekarang sudahkah kita memiliki
ilmu tentang SHALAT sehingga kita mampu mendirikan SHALAT sesuai dengan
kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT? Hamba ALLAH SWT, mungkin
anda heran kenapa kami bertanya seperti ini. Apa yang kami tanyakan kepada
Hamba ALLAH SWT, sebenarnya sangat berhubungan erat dengan hadits yang kami
kemukakan di bawah ini. Berdasarkan 2(dua) buah hadits di bawah ini, Nabi Muhammad
SAW selaku satu-satunya pemberi contoh
bagaimana SHALAT harus didirikan di muka bumi ini, sekitar 1432 (seribu empat
ratus tiga puluh dua) tahun yang lalu sudah memberikan indikasi bahwa akan
datang suatu masa dimana banyak orang yang melaksanakan SHALAT tetapi
sebenarnya mereka tidak SHALAT, atau mereka SHALAT tetapi belum pernah
merasakan nikmatnya SHALAT kecuali rasa lelah dan payah.
Banyak orang
yang mendirikan Shalat, sementara ia hanya mendapatkan rasa lelah dan payah.
(HR Abu Dawud)
Akan datang
pada suatu masa, orang yang mengerjakan Shalat tetapi mereka belum merasakan
Shalat.
(HR Ahmad)
Timbul pertanyaan, kenapa hal ini
bisa terjadi, apakah karena manusianya ataukah karena syaitan yang lebih pintar
dari manusia ataukah karena manusia itu sendiri dan juga syaitan atau perintah
Shalatnya yang salah? Penyebab utama manusia tidak mampu mendirikan
SHALAT bukan semata-mata karena Syaitan lebih pintar dari manusia. Hal ini dikarenakan manusia, termasuk diri
kita tidak memiliki Ilmu tentang SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT
selaku pemberi perintah SHALAT secara konprehensif sehingga kita tidak mampu
mendirikan SHALAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT ditambah adanya tarikan
dari Syaitan kepada manusia agar jangan sampai mendirikan SHALAT sesuai
Kehendak ALLAH SWT karena Syaitan tidak menghendaki itu terjadi. Hal yang pasti
di dalam permasalahan ini adalah perintah mendirikan SHALAT tidak akan pernah
salah karena asalnya dari ALLAH SWT. Sekarang apa
buktinya kita tidak memiliki Ilmu yang konprehensif tentang SHALAT yang
dikehendaki ALLAH SWT? Untuk itu mari kita lihat keadaan yang terjadi di dalam
masyarakat, yaitu :
a.
Masih banyak orang, atau
kelompok tertentu yang lebih mementingkan, atau mengedepankan seremonial
mendirikan SHALAT dibandingkan dengan melaksanakan, atau merasakan langsung
hakekat dari SHALAT itu sendiri seperti berkomunikasi dengan ALLAH SWT,
menghadap ALLAH SWT. Sehingga yang terjadi adalah ribut tentang tata cara
SHALAT tetapi lupa akan maksud dan tujuan dari SHALAT yang hakiki.
b.
Banyak orang yang sibuk
mengurus hal-hal yang bersifat khilafiah, seperti qunut tidak qunut, jari
digerakkan atau tidak digerakkan saat Tasyahud Awal dan Tasyahud Akhir, pakai
bedug atau tidak pakai bedug, 11(sebelas) rakaat atau 23 (dua puluh tiga)
rakaat, sehingga maksud dan tujuan dari SHALAT yang sebenarnya menjadi
terlupakan atau bahkan tidak pernah diketahui, sehingga hasil akhir dari itu
semua adalah memudahkan Syaitan melaksanakan aksinya menggoda dan merayu
manusia serta berlakulah ketentuan hadits yang kami kemukakan di bawah ini.
Apakah itu?
Kececeran
yang pertama akan kamu alami dari agamamu ialah amanat, dan kececeran yang
terakhir ialah Shalat. Dan sesungguhnya (akan terjadi) orang yang melakukan
Shalat sedang mereka tidak berakhlak.
(HR Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Berdasarkan hadits yang kami kemukakan di atas,
banyak orang melaksanakan SHALAT tetapi mereka tidak berakhlak. Adanya
kondisi ini berarti Nabi Muhammad SAW sudah memprediksi akan datang suatu masa,
atau suatu keadaan sebagai berikut :
a. SHALAT jalan
terus tetapi korupsi, kolusi, nepotisme, menipu, menghujat, menyebar fitnah,
politik uang, jalan terus dari waktu ke waktu, atau SHALAT tetap dilaksanakan
seperti biasanya tetapi menganiaya, menzhalimi diri dan orang lain terus
terjadi dari waktu ke waktu tanpa henti.
b. SHALAT tetap
menjadi kewajiban yang harus dilaksanakan setiap hari, akan tetapi
mabuk-mabukan oke, prostitusi jalan terus dan tetap subur, perbuatan jahiliah
tetap berlaku, atau SHALAT tetap dilaksanakan sebagaimana mestinya tetapi
mengambil hak orang lain jalan terus, menyepelekan orang tetap jalan terus,
kampanye hitam jalan terus, pembalakan jalan terus, narkoba jalan terus,
teroris jalan terus, mengambil tanpa hak jalan terus.
Selanjutnya
jika kondisi ini terus dan terus terjadi
sampai kiamat maka yang paling bergembira adalah Syaitan sang laknatullah
karena Syaitan pulang kampung ke Neraka Jahannam sudah tidak akan sendirian
lagi karena teman yang akan diajak olehnya semakin banyak dari hari ke hari.
Hamba
ALLAH SWT, jika Syaitan pulang kampung ke api, karena memang kampung
halamannya memang di sana, sehingga hal ini tidak menjadi persoalan bagi
Syaitan untuk pulang kampung ke Neraka Jahannam. Akan tetapi justru kita
yang kampung aslinya ada di Syurga justru mau diajak pulang kampung oleh
Syaitan ke Neraka Jahannam. Jadi
siapakah yang bodoh, jadi siapakah yang tidak tahu diri, jadi siapakah yang
lebih hebat, manusiakah ataukah Syaitankah yang pintar membodohi diri kita
sehingga kita mau menjual Syurga untuk membeli tiket masuk Neraka Jahannam? Untuk itu
jangan pernah sekalipun menyalahkan ALLAH SWT selaku pemberi perintah
mendirikan SHALAT jika kita sendiri tidak mampu melaksanakan perintah
mendirikan SHALAT sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT
sehingga Syaitan sang laknatullah mampu menggoda, mampu merayu diri kita untuk
pulang kampung ke Neraka Jahannam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar