Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Sabtu, 09 April 2016

SHALAT KHUSYU' - part 2 of 3





2. CARA Memperoleh SHALAT yang KHUSYU’


Sebagai KHALIFAH yang berkeinginan untuk pulang kampung ke Syurga, sebagai KHALIFAH yang ingin hidup bahagia dunia dan akhirat, sebagai KHALIFAH yang ingin mempertahankan kefitrahan diri, maka kita harus bisa memperoleh SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu. Timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya agar SHALAT yang kita dirikan dapat Khusyu’ terus menerus dari waktu ke waktu? Untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu maka kitapun harus pula berusaha dari waktu ke waktu untuk selalu Khusyu’, sebab tanpa ini semua maka gagallah kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu. Hal yang harus kita perhatikan adalah kita membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ bukanlah sekali saja, atau sesekali saja, namun kita membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ sepanjang waktu selama hayat dikandung badan. Untuk itu kita harus berusaha dari waktu ke waktu sepanjang Ruh belum tiba di kerongkongan untuk selalu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ di setiap SHALAT yang kita dirikan, agar diri kita memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.
 

A.  Niat yang Ikhlas harus keluar dari Hati Ruhani


Agar SHALAT yang kita dirikan dapat Khusyu’ dari waktu ke waktu maka yang pertama kali harus ada di dalam diri kita ialah Iradat, atau adanya keinginan yang keluar dari dalam Hati Ruhani (ingat iradat diletakkan di dalam hati ruhani) untuk melaksanakan perintah SHALAT yang berasal dari ALLAH SWT. Adanya kondisi ini akan melahirkan Niat yang Ikhlas yang keluar dari dalam Hati Ruhani untuk mematuhi, untuk melaksanakan perintah ALLAH SWT tersebut. Sekarang mari kita perhatikan Hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, dimana ALLAH SWT sudah menegaskan kepada diri kita bahwa jika kita ingin menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun akan menemui diri kita. Sebaliknya jika kita enggan menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun enggan menemui diri kita. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa ALLAH SWT bersikap menunggu apa yang akan diperbuat oleh manusia kepada ALLAH SWT, atau ALLAH SWT akan bersikap sesuai dengan apa yang manusia lakukan kepada ALLAH SWT.


Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin   menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abu Hurairah, 272:17)


Selanjutnya dari kondisi inilah akan terlihat seberapa tinggi kualitas Iradat manusia yang melahirkan Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT. Semakin tinggi kualitas Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT semakin tinggi pula kesempatan diri kita untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kualitas Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT semakin rendah pula kesempatan diri kita untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’. Adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa Niat yang Ikhlas sangat memegang peranan penting di dalam pencapaian SHALAT yang Khusyu’ atau untuk mencapai SHALAT yang Khusyu’ tidak akan bisa diraih jika tanpa Niat yang Ikhlas dari diri kita sendiri untuk meraihnya. Sekarang sudahkah diri kita memiliki Niat yang berkualitas (maksudnya Niat yang Ikhlas) saat mendirikan SHALAT sehingga mampu menghantarkan diri kita merasakan SHALAT yang Khusyu’ di setiap SHALAT yang kita dirikan?


B.  Sucikan Jasmani dan Ruhani dengan Thaharah     


Hal berikutnya yang harus kita penuhi jika kita ingin memperoleh dan merasakan SHALAT yang Khusyu’ adalah setelah Niat yang Ikhlas maka kita harus menyamakan kondisi diri kita dengan kondisi ALLAH SWT. Apa maksudnya? Seperti kita ketahui bersama bahwa ALLAH SWT adalah Maha Suci dan jika ALLAH SWT yang Maha Suci yang akan kita ajak berkomunikasi, jika yang Maha Suci yang akan kita mintakan pertolongan melalui doa yang kita panjatkan, jika kita ingin bertemu dengan yang Maha, maka kita harus pula menyesuaikan diri dengan kondisi ALLAH SWT yang Maha Suci.


Selanjutnya jika diri kita terdiri dari Jasmani dan Ruhani, apakah keduanya harus disucikan terlebih dahulu sebelum mendirikan SHALAT,ataukah hanya Jasmani saja yang disucikan sebelum mendirikan SHALAT? Selama diri kita masih disebut dengan manusia berarti kita masih menjadi KHALIFAH di muka bumi dan jika masih menjadi KHALIFAH berarti  baik Jasmani maupun Ruhani harus disucikan terlebih dahulu sebelum diri kita berkomunikasi dengan ALLAH SWT, sebelum diri kita memanjatkan doa kepada ALLAH SWT, sebelum diri kita menghadap kepada ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka kita diwajibkan untuk melaksanakan proses Thaharah, dalam hal ini mensucikan Jasmani karena adanya kotoran yang menempel, hadas besar ataupun kecil, haidnya perempuan serta junub. Demikian Ruhani harus pula disucikan dari kekafiran, gangguan Syaitan, Etika Jahiliyah, Syirik dan Musyrik, Akhlak yang buruk, Tindakan A Moral.


C.  Tentukan Siapa yang harus mendirikan SHALAT

Langkah berikutnya yang harus kita lakukan untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’ adalah ketahuilah bahwa yang mendirikan SHALAT  itu bukanlah Jasmani melainkan yang harus mendirikan SHALAT itu adalah Ruhani beserta Amanah 7 yang merupakan komponen dasar dari diri kita. Lalu bagaimana dengan posisi Jasmani? Posisi jasmani saat Ruhani dan Amanah 7 mendirikan SHALAT harus dijadikan Makmum sehingga Jasmani harus dipasifkan dari segala aktifitasnya, termasuk juga dari sifatnya yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan. Selanjutnya setelah diri kita menyatakan bahwa yang harus SHALAT itu adalah Ruhani dan Amanah 7, selanjutnya kita harus menentukan sikap untuk apa kita mendirikan SHALAT, dalam hal ini kita harus mengatakan bahwa kita SHALAT karena ingin bertemu dengan   ALLAH SWT, kita SHALAT karena ingin berkomunikasi dengan ALLAH SWT, kita SHALAT karena ingin menghadap ALLAH SWT, kita SHALAT karena ingin mengajukan doa kepada ALLAH SWT. Setelah itu barulah Ruhani beserta komponennya yang terdiri dari Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam, Sami’, Bashir, dan Hayat, kita hadapkan atau sinergikan kepada  ALLAH SWT dengan catatan Af’idah harus menjadi pimpinan atau leader dari itu semua. Sekarang seperti apakah urut-urutan dari diri kita saat mendirikan SHALAT yang Khusyu’ itu? Adapun urut-urutan dimaksud dapat kami kemukakan sebagai berikut :


1.      Pasifkan Jasmani lalu Aktifkan Ruhani.
2.      Jadikan Af’idah (perasaan) sebagai komandan bagi diri kita di setiap SHALAT yang kita dirikan, baik yang wajib ataupun yang sunnah.
3.      Komponen Amanah 7 yang harus pertama kali mendirikan SHALAT adalah Iradat, hal ini karena hanya melalui Iradat yang diletakkan di dalam Hati Ruhanilah yang akan mampu menghasilkan Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT serta yang dapat mengkompakkan, atau yang mampu memfokuskan Amanah 7  untuk menghadap kepada ALLAH SWT.
4.      Komponen Amanah 7 yang ke-dua yang harus mendirikan SHALAT adalah Qudrat (kekuatan).
5.      Komponen Amanah 7 yang ke-tiga yang harus mendirikan SHALAT adalah Kalam (berkata-kata atau juru bicara).
6.      Komponen Amanah 7 yang ke-empat yang harus mendirikan SHALAT adalah Ilmu. 
7.      Komponen Amanah 7 yang ke-lima, ke-enam yang harus mendirikan SHALAT adalah Sami’ dan Bashir. 
8.      Kompoinen Amanah 7 yang  ke-tujuh harus mendirikan SHALAT adalah Hayat.


Selanjutnya seluruh komponen Amanah 7 harus fokus dihadapkan kepada ALLAH SWT sehingga tidak ada satupun yang lari dari hadapan ALLAH SWT.


D.  Posisikan Diri Kita Sudah Bersama dengan ALLAH SWT saat menghadap Kiblat


Langkah berikutnya adalah sebelum diri kita mendirikan SHALAT,  pastikan bahwa posisi diri kita sudah ada bersama ALLAH SWT, sudah ada dihadapan ALLAH SWT atau posisikan ALLAH SWT sudah bersama diri kita sehingga pada saat diri kita mendirikan SHALAT, keberadaan ALLAH SWT sudah begitu dekat dengan diri kita. Adanya kondisi ALLAH SWT yang sudah bersama dengan diri kita dan sudah pula ada dihadapan diri kita maka kita harus berbuat sesuai dengan kedekatan diri kita yang sudah ada dihadapan ALLAH SWT atau kita harus melaksanakan sesuai dengan apa yang kita posisikan, dalam hal ini ALLAH SWT yang sudah bersama dengan diri kita. Apa maksudnya?


Jika SHALAT yang kita dirikan merupakan sarana bagi diri kita untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT maka saat diri kita mendirikan SHALAT, kita harus menunjukkan kedekatan  diri kita kepada ALLAH SWT dengan selalu berkata-kata yang lembut, tidak keras, penuh sopan santun, tidak terburu-buru, atau kita harus mempergunakan “Cara Mengatakan” saat membaca bacaan yang terdapat di dalam SHALAT. Sekarang bagaimana jika SHALAT merupakan saat diri kita mengajukan doa kepada ALLAH SWT? Jika ini yang kita lakukan berarti kondisi ini harus pula kita tunjukkan kepada ALLAH SWT dengan berkata yang lemah lembut, berkata dengan suara yang tidak terlalu keras, karena kita ingin mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita. Sebagai KHALIFAH di muka bumi sudah seperti inikah SHALAT yang kita dirikan? 


Sekarang kita sudah berdiri di atas sajadah yang sudah menghadap ke Kiblat dalam rangka mendirikan SHALAT yang Khusyu’. Timbul pertanyaan, apa maksudnya menghadap ke Kiblat? Hal yang harus kita perhatikan bahwa mengarah Kiblat hanyalah simbol untuk memudahkan diri kita mengarahkan arah sajadah kita ke Ka’bah yang ada di Makkah. Akan tetapi makna yang hakiki dari mengarahkan sajadah ke Kiblat adalah kita mengarahkan Ruhani dan Amanah 7 menuju kepada yang satu, yaitu ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti saat diri kita sudah berdiri di atas sajadah yang mengarah ke Kiblat berarti pada saat itu kita sudah siap mengarahkan Ruhani dan Amanah 7 kepada ALLAH SWT. Selain daripada itu pada saat diri kita sudah berdiri di atas sajadah berarti pada saat itu kita sudah berniat untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, atau kita sudah berniat untuk menghadap kepada  ALLAH SWT. Dan juga berarti proses Thaharah sudah kita laksanakan sehingga kondisi diri kita berada di dalam kesesuaian dengan kondisi ALLAH SWT Yang Maha Suci. Selanjutnya kita harus merealisasikan apa yang sudah kita niatkan tersebut (katakan ingin berkomunikasi dengan ALLAH SWT) secara patut dan pantas dihadapan ALLAH SWT karena kita sangat membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ saat hidup di dunia.



SAAT TAKBIRATUL IHRAM


Sekarang lakukanlah Takbiratul Ihram, dengan mengatakan “Allaahu Akbar”, yang dibarengi mengangkat tangan. Apabila ini kita lakukan setelah diri kita menghadap ke Kiblat (maksudnya mengarahkan atau memfokuskan Ruhani dan Amanah 7 kepada ALLAH SWT yang dipandu oleh Af’idah) berarti pada saat Takbiratul Ihram, hal-hal sebagai berikut harus terjadi pada diri kita, yaitu :


1.      Saat Takbiratul Ihram maka Ruhani dan Amanah 7 yang ada pada diri kita sudah kita hadapkan kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita ditambah pada saat itu kondisi Jasmani sudah kita non-aktifkan, atau sudah kita pasifkan aktifitasnya sehingga Jasmani menjadi Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7.
2.      Af’idah akan merasakan apa yang telah kita nyatakan yaitu ALLAH SWT Maha Besar sedangkan diri kita itu kecil.
3.      Iradat atau Kehendak sudah melahirkan Niat untuk bertemu dengan ALLAH SWT, untuk berkomunikasi dengan ALLAH SWT, untuk menghadap kepada ALLAH SWT.
4.      Qudrat atau Kemampuan yang melahirkan kekuatan atau tenaga atau energi dalam rangka menggerakkan Jasmani menjadi Makmum bagi Ruhani.
5.      Kalam, sebagai juru bicara, sudah menyatakan dengan kondisi menyerah kalah (ingat kita sudah mengangkat tangan kepada ALLAH SWT) bahwa ALLAH SWT Maha Besar.
6.      Jika Kalam sudah menyatakan bahwa ALLAH SWT Maha Besar maka Ilmu harus sudah bekerja dan mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam sehingga Ilmu mengetahui dengan pasti apa yang dikemukakan oleh kalam.
7.      Pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang telah dikatakan oleh Kalam.
8.      Penglihatan harus fokus mengarahkan pandangan  ke arah Kiblat agar apa yang dikatakan oleh Kalam dapat tetap dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran.
9.      Sedangkan Hayat pasti sudah bekerja karena kita tidak akan mungkin kita bisa mendirikan SHALAT jika Jasmani dan Ruhani tidak diikat dengan Hayat.


Selanjutnya jika kita mampu melaksanakan 9(sembilan) hal yang kami kemukakan di atas secara baik dan benar, maka Af’idah yang ada di dalam Hati Ruhani akan keluar dari dalam diri sehingga akan timbul perasaan/merasa kecil dihadapan ALLAH SWT atau kita merasa sangat membutuhkan ALLAH SWT.


Selain daripada itu ada satu hal lainnya yang harus kita perhatikan yaitu saat diri kita melaksanakan Takbiratul Ihram maka pada saat yang bersamaan Syaitan akan melaksanakan aksinya yang mengakibatkan Konsentrasi atau kekompakan antara Ruhani dengan Amanah 7 menjadi buyar atau kita dibuat tidak Khusyu’. Apa buktinya Syaitan sang laknatullah menjalankan aksinya kepada diri kita? Saat Kalam menyatakan ALLAH SWT Maha Besar, maka Syaitan sang laknatullah akan mengganggu Ilmu sehingga kita dibuat tidak tahu apa yang sedang dikatakan atau dibuat lupa, Pendengaran dibuyarkan oleh Syaitan, atau Penglihatan diganggu oleh Syaitan atau intinya Syaitan membuat diri kita tidak bisa konsentrasi dengan apa yang sedang kita laksanakan. Adanya pengaruh buruk yang berasal dari Syaitan  maka SHALAT yang Khusyu’ akan jauh dari diri kita atau SHALAT yang Khusyu’ tidak dapat kita rasakan dan inilah kondisi dan keadaan yang paling dikehendaki Syaitan.


SAAT MENGATAKAN DOA IFTITAH


Setelah melaksanakan Takbiratul Ihram, selanjutnya kita akan  membaca Doa Iftitah dengan penuh perasaan serta tuma’ninah dan juga dengan tartil dan tajwid yang benar. Dimana Doa Iftitah yang kita katakan merupakan bentuk pengagungan diri kita kepada ALLAH SWT karena isi dari Doa Ifftitah itu sendiri yang mencerminkan ALLAH SWT yang sangat Agung. Selanjutnya pada saat diri kita mengucapkan Doa Iftitah dengan penuh perasaan serta tuma’ninah dan juga dengan tartil dan tajwid yang benar. maka hal-hal sebagai berikut ini harus terjadi di dalam diri kita, yaitu :


1.      Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah maka Af’idah harus terus merasakan apa yang kita katakan kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah kepada ALLAH SWT maka pada saat itu Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan Ruhani harus tetap Aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah kepada ALLAH SWT maka Ilmu harus mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah maka Pendengaran harus bisa mendengarkan Doa Iftitah secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang dikatakan  oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
5.      Penglihatan saat Kalam mengatakan Doa Iftitah maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam dapat tetap dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau kita tidak memperoleh apa yang dinamakan dengan rasa mendirikan SHALAT, atau tidak dapat merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.


SAAT MENGATAKAN Surat Al Faatihah


Berikutnya setelah membaca Doa Iftitah dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar kita diharuskan membaca surat Al Faatihah dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar pula. Selanjutnya ketahuilah bahwa isi dari surat   Al Faatihah yang kita katakan kepada ALLAH SWT terdiri dari 2(dua) bagian, sebagian berisi pengakuan diri kita akan kebesaran ALLAH SWT serta sebagian berisi doa yang kita mohonkan kepada ALLAH SWT. Selain daripada itu saat diri kita mengatakan surat  Al Faatihah kepada ALLAH SWT terdapat dialog antara diri kita dengan ALLAH SWT. Untuk itu kita harus bisa melaksanakan pengakuan kita kepada ALLAH SWT, bisa mengajukan doa kepada ALLAH SWT dan juga kita harus bisa  berdialog dengan ALLAH SWT melalui surat Al Faatihah yang kita katakan. Selanjutnya hal-hal di bawah ini harus bisa kita laksanakan, yaitu :


1.      Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari surat Al Faatihah yang kita kemukakan kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah kepada ALLAH SWT maka Ilmu harus mengetahui apa yang diucapkan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus tahu doa apa yang diajukan kepada ALLAH SWT, atau Ilmu harus tahu dialog apa yang terjadi antara diri kita dengan ALLAH SWT, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah kepada ALLAH SWT maka Pendengaran harus bisa mendengarkan surat Al Faatihah secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah kepada ALLAH SWT maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang diucapkan oleh Kalam dapat tetap dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Selanjutnya jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau kita tidak memperoleh apa yang dinamakan dengan rasa mendirikan, SHALAT atau tidak dapat merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.


 Saat Mengatakan Surat/ayat  Al-Qur’an


Setelah membaca surat Al Faatihah dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar, kita diharuskan membaca surat/ayat Al-Qur’an, katakan kita membaca surat Al Ikhlas . Dimana isi dari surat Al Ikhlas  merupakan pengakuan diri  kita akan kebesaran ALLAH SWT. Sekarang jika kita mampu membaca surat  Al Ikhlas dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar sesuai dengan pengakuan kita kepada ALLAH SWT maka hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :


1.      Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari surat Al Ikhlas kita kemukakan kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas kepada ALLAH SWT maka Ilmu harus  mengetahui apa yang diucapkan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT, melalui surat Al Ikhlas yang kita katakan, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas kepada ALLAH SWT  maka Pendengaran harus bisa mendengarkan surat Al Ikhlas yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas  atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas kepada ALLAH SWT maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang diucapkan oleh Kalam tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’atau kita tidak memperoleh apa yang dinamakan dengan rasa mendirikan SHALAT, atau tidak dapat merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.


Pengakuan Saat Rukuk dan Saat Sujud


Sekarang kita melakukan Rukuk dan yang dilanjutkan dengan Sujud dihadapan ALLAH SWT dimana pada saat itu kita mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku” kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita. Adanya kondisi ini berarti pada saat itu kita telah mengakui bahwa ALLAH SWT adalah Maha Suci lalu kita memohon kepada Yang Maha Suci untuk mengampuni diri kita dari segala dosa dan kesalahan. Sekarang jika kita mampu membaca bacaan saat Rukuk dan Sujud  dengan penuh perasaan serta tuma’ninah dan juga dengan tartil dan tajwid yang benar  sesuai dengan pengakuan kita kepada ALLAH SWT maka hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :


1.      Saat Kalam mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan Rukuk dan Sujud yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka Ilmu harus  mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT, melalui Rukuk dan Sujud yang kita lakukan, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan“Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas  atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat Rukuk dan Sujud, dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat Rukuk dan Sujud tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT atau tidak dapat merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.


Pengakuan Saat I’tidal


Saat diri kita melaksanakan I’tidal maka pada saat itu kita menyatakan bahwa ALLAH SWT adalah Maha Mendegar. Dan jika hal ini sudah kita lakukan berarti apa yang kita nyatakan harus tercermin di dalam perbuatan atau tindak-tanduk kita sehari-hari sebagai bentuk dari manifestasi pernyataan kita. Sekarang jika kita mampu membaca bacaan saat I’tidal dengan “Cara Mengatakan” sesuai dengan pengakuan kita kepada ALLAH SWT maka hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :


1.      Saat Kalam mengatakan “ALLAH SWT Maha Mendengar” maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan I’tidal yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan “ALLAH SWT Maha Mendengar” maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan “ALLAH SWT Maha Mandengar”  maka Ilmu harus  mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT, melalui I’tidal yang kita lakukan, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan“ ALLAH SWT Maha Mendengar” maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat I’tidal,  dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengatakan “ALLAH SWT Maha Mendengar” maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat I’tidal tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Selanjutnya jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’, atau menggagalkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri kita merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT, atau merasakan rasa menghadap kepada ALLAH SWT.



Berdoa Saat Duduk di antara dua Sujud


Saat diri kita duduk di antara dua sujud maka pada saat itu kita diberikan kesempatan oleh ALLAH SWT untuk mengajukan permohonan kepada-Nya yang terdiri dari “memohon ampunan, memohon petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani serta memohon untuk diberi rezeki”. Sekarang jika kita ingin apa yang kita mohonkan kepada ALLAH SWT dapat diterima maka  hal-hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :


1.      Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk diberi rezeki kepada ALLAH SWT”   maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan saat duduk di antara dua sujud yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk diberi rezeki kepada ALLAH SWT”   maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk diberi rezeki, kepada ALLAH SWT”   maka Ilmu harus  mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan permohonan diri kita kepada ALLAH SWT, melalui doa yang kita panjatkan saat duduk di antara dua sujud, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk diberi rezeki, kepada ALLAH SWT” maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat mengajukan doa yang kita panjatkan saat duduk di antara dua sujud,  dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk diberi rezeki, kepada ALLAH SWT”,  maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat mengajukan doa yang kita panjatkan saat duduk di antara dua sujud, tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri kita memperoleh apa yang kita mohonkan kepada ALLAH SWT,  atau menggagalkan diri kita merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.


Pengakuan Saat Tasyahud Awal atau Saat Tasyahud Akhir


Saat diri kita melakukan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir maka pada saat itu kita telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT dengan mengakui Tiada Tuhan Selain ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT. Sekarang jika pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT ingin diterima maka hal-hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :

1.      Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT” maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan Tasyahud Awal dan Tasyahud Akhir yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT”  maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT” maka Ilmu harus  mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT saat melaksanakan Tasyahud awal atau Tasyahud Akhir,  dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT” maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat mengakui kebesaran ALLAH SWT saat Tasyahud awal atau Tasyahud Akhir, dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT” maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat mengakui kebesaran ALLAH SWT saat Tasyahud awal atau Tasyahud akhir, tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri kita merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.

Saat Mengatakan Salam kepada ALLAH SWT


Salam merupakan penutup dari rangkaian SHALAT yang kita dirikan. Adanya salam yang kita lakukan berarti kita sangat mengharapkan keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada. Sekarang jika ini adalah harapan kita kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan maka hal-hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :


1.      Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT agar selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, “maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan Salam  yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.      Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT agar selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.      Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka Ilmu harus  mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan harapan dan permohonan kita kepada ALLAH SWT saat melaksanakan Salam, dari awal sampai akhir.
4.      Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat mengajukan harapan dan permohonan kepada ALLAH SWT, dari awal sampai akhir.
5.      Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat mengajukan harapan dan permohonan kepada ALLAH SWT, tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.


Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri kita merasakan rasa menghadap kepada ALLAH SWT.

Hamba ALLAH SWT, kita tidak bisa sepenuhnya mendirikan SHALAT yang Khusyu’ mulai dari Niat yang keluar dari dalam hati, yang dilanjutkan dengan Takbiratul Ihram sampai dengan Salam. Hal ini dikarenakan Musuh Bebuyutan diri kita tidak akan senang jika kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ atau dengan kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ berarti kita telah mampu mempecundangi Syaitan, kondisi inilah yang paling tidak dikehendaki oleh Syaitan. Adanya kondisi ini maka Syaitan akan berusaha sekuat tenaga untuk menggagalkan upaya diri kita untuk memperoleh atau mendapatkan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu atau selama hayat masih dikandung badan.


Dari Aisyah Radhiyallahu Anha: Saya bertanya kepada Nabi tentang menoleh di dalam shalat, Beliau menjawab: ‘Itu adalah serobotan yang dilakukan oleh Syaitan dari shalat hambanya”.
(HR Bukhari)


Sekarang apa buktinya Syaitan mampu menggoda diri kita saat mendirikan SHALAT dan melalui cara apakah Syaitan mengganggu dan menggoda SHALAt yang kita dirikan? Syaitan akan mengganggu diri kita melalui Jasmani yang kemudian akan mempengaruhi Amanah 7 yang ada di dalam diri kita. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa bentuk dari keberhasilan Syaitan  mengganggu diri kita saat mendirikan SHALAT, yaitu :


1.      Syaitan akan mengganggu manusia yang mendirikan SHALAT melalui Jasmani. Apa buktinya? Tiba-tiba timbul rasa gatal yang harus kita garuk atau timbulnya rasa kantuk saat diri kita mendirikan SHALAT, atau tiba-tiba hidung mencium sesuatu yang sebelumnya tidak ada, yang pada akhirnya akan mengganggu kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan.


2.      Syaitan akan mengacaukan atau mengganggu pendengaran, mengganggu penglihatan, mengganggu ilmu sehingga kekompakan Ruhani dengan Amanah 7 menjadi buyar sehingga kita tidak mampu lagi memantau, merasakan, mengerti, apa yang sedang dikatakan oleh Kalam.


3.      Syaitan membuat diri kita menjadi pelupa, hal ini terlihat dari sering lupanya diri kita pada jumlah rakaat SHALAT, lupa apa yang akan dibaca saat SHALAT, lupa apa yang sudah di baca saat SHALAT sehingga bacaan SHALAT menjadi tidak sempurna.


4.      Syaitan membuat diri kita menjadi tidak sabaran, terburu-buru, tidak tuma’ninah, sehingga rukuk, sujud, I’tidal, duduk di antara dua sujud, tidak mampu kita lakukan dengan sempurna baik bacaan maupun gerakannya. 


Sejahat-jahatnya pencuri ialah orang yang mencuri akan shalatnya. Mendengar perkataan ini orang-orang bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana orang mencuri shalatnya itu? Berkata Rasulullah: “Yaitu tidak ia sempurnakan rukuk dan sujudnya”.
(HR Abi Syaibah Thabarani Hakim)


5.      Syaitan memasukkan pikiran yang selama ini tidak kita pikirkan, sehingga pada saat diri kita mendirikan SHALAT timbul bayangan-bayangan atau pemikiran-pemikiran lainnya yang pada intinya untuk mengganggu kekhusyu’an saat diri kita mendirikan SHALAT.


Selanjutnya,  apa yang kami kemukakan di atas, pasti akan dialami oleh siapapun orangnya, apapun jabatannya, apapun kedudukannya, baik laki-laki ataupun perempuan, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, dimanapun ia berada. Hal lain yang harus kita perhatikan adalah gangguan dan godaan Syaitan kepada diri kita saat mendirikan SHALAT, tidak boleh mengendurkan semangat kita untuk selalu mendapatkan dan  merasakan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu, atau kita tidak boleh asal-asalan mendirikan SHALAT walaupun Syaitan mengganggu diri kita terus menerus. Apa alasannya? Adanya perjuangan diri kita untuk selalu berupaya mendapatkan dan merasakan SHALAT yang Khusyu’, walaupun Syaitan terus dan terus mengganggu akan terlihat dari hasil akhirnya yaitu seberapa mampu diri kita mendirikan SHALAT yang Khusyu’. Semakin tinggi kualitas kekhusyu’an yang kita peroleh, semakin tinggi pula rasa yang kita peroleh dari ALLAH SWT melalui Af’idah (perasaan yang diletakkan di dalam hati). Semakin rendah kualitas kekhusyu’an yang kita peroleh, semakin rendah pula rasa yang kita peroleh dari ALLAH SWT melalui Af’idah. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, yang membutuhkan SHALAT. sudah tinggikah kualitas kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan?   


Lalu apa yang harus kita lakukan jika kita mengalami gangguan dan godaan Syaitan seperti yang kami kemukakan di atas? Jika kita mengalami 5(lima) hal yang kami kemukakan di atas, saat mendirikan SHALAT maka hal-hal sebagai berikut dapat kita lakukan, yaitu :


1.      Berhenti sejenak, lalu lakukan sesuatu untuk menghilangkan sesuatu yang mengganggu Jasmani diri kita atau yang mengakibatkan diri kita sering menoleh, lalu teruskan kembali SHALAT yang kita dirikan. Selanjutnya kita tidak bisa terus menerus berhenti untuk menghilangkan sesuatu yang mengganggu Jasmani diri kita atau kita tidak bisa pula sering-sering menoleh. Hal ini dikarenakan semakin sering kita berhenti maka semakin sering kekhusyu’an saat SHALAT terganggu. 


“Allah itu tanpa henti memperhatikan Shalatnya hamba, selama hamba itu tidak menoleh, jika hamba itu menoleh maka Allah mengalihkan pandangan-Nya dari hamba itu.”
(HR Ahmad, Abu Daud dan An Nasa’i)


2.      Kembalikan lagi kekompakan Ruh dengan Amanah 7 atau tarik dan normalkan kembali tarikan Syaitan terhadap Amanah 7 sehingga Ilmu, Pendengaran dan Penglihatan dapat memantau, mengetahui apa yang dikemukakan oleh Kalam. Dan jika tarikan Syaitan terjadi lagi, maka berhenti sejenak lalu normalkan kembali kekompakan Amanah 7 sehingga Ilmu, Pendengaran dan Penglihatan dapat memantau, mengetahui apa yang dikemukakan oleh Kalam. Demikian seterusnya sampai SHALAT selesai kita dirikan.

     
3.         Jika Syaitan menjadikan diri kita Pelupa, maka ulangi kembali apa yang dilupakan oleh Syaitan. Katakan Syaitan melupakan kita saat mengatakan surat Al Faatihah maka ulangi kembali kita mengatakan surat Al Faatihah. Sedangkan jika kita lupa sudah rakaat keberapa maka tetapkan sendiri di rakaat keberapa yang paling yakin sudah kita dirikan lalu teruskan kembali SHALAT yang kita dirikan untuk menyempurnakan sisanya.


4.         Jika Syaitan menjadikan diri kita tidak sabaran, terburu-buru saat mendirikan SHALAT maka kita harus mengkoreksi keterburu-buruan diri kita di sisa rakaat SHALAT yang masih tersisa dengan menyempurnakan seluruh kewajiban SHALAT.


5.    Jika sampai Syaitan mengacaukan pikiran kita maka berhentilah sejenak lalu kembalikan lagi kekompakan Ruhani dengan AMANAH 7 sehingga Pendengaran, Penglihatan dan Ilmu mampu memantau, mampu mengetahui apa-apa yang dikemukakan oleh Kalam, di sisa rakaat SHALAT yang ada. 



Sebagai KHALIFAH di muka bumi, perlu anda ketahui bahwa lima buah kejadian yang kami kemukakan di atasi pasti akan kita alami. Untuk itu kita harus dari waktu ke waktu berusaha untuk melawan gangguan Syaitan, kita harus berusaha dari waktu ke waktu pula untuk mengalahkan gangguan Syaitan, sehingga tingkat gangguan Syaitan, tingkat kecolongan yang diakibatkan oleh gangguan Syaitan, tingkat buyarnya konsentrasi Ruhani dengan AMANAH 7 saat SHALAT akibat gangguan Syaitan, turun dari waktu ke waktu.



Selain daripada itu ada satu hal yang harus kita ketahui bahwa kebutuhan SHALAT yang Khusyu’ bukanlah kebutuhan yang bersifat sementara, kadang butuh kadang tidak. Jika butuh sesuatu kepada ALLAH SWT baru SHALAT yang Khusyu’, jika tidak butuh sesuatu kepada ALLAH SWT, SHALAT hanya sebatas kewajiban belaka. Kondisi ini harus kita hilangkan saat ini juga karena rayuan, bujukan, gangguan, dari Syaitan ada sepanjang diri kita hidup di dunia sampai Ruh tiba di kerongkongan. Selanjutnya jika kita mengacu kepada mandi dan gosok gigi yang harus kita lakukan dengan baik dan benar minimal 2(dua) kali sehari karena kita harus tetap menjaga kesehatan tubuh, mulut dan gigi. Maka sudah seharusnya pula SHALAT yang kita dirikan harus Khusyu’ setiap kali SHALAT karena Ahwa dan Syaitan selalu menggangu dan menjadikan kefitrahan diri kita menjadi menurun. Sebagai Mahkluk yang terhormat, sudah sepantasnya dan sepatutnya kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ seperti yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT karena salah satu cara yang akan dapat menjadikan diri kita tetap sebagai Makhluk yang terhormat dari waktu ke waktu atau yang mampu menjadikan diri kita mampu mengalahkan Syaitan dan Ahwa.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar