2.
CARA Memperoleh SHALAT yang KHUSYU’
Sebagai
KHALIFAH yang berkeinginan untuk pulang kampung ke Syurga, sebagai KHALIFAH
yang ingin hidup bahagia dunia dan akhirat, sebagai KHALIFAH yang ingin
mempertahankan kefitrahan diri, maka kita harus bisa memperoleh SHALAT yang
Khusyu’ dari waktu ke waktu. Timbul pertanyaan, bagaimanakah caranya agar
SHALAT yang kita dirikan dapat Khusyu’ terus menerus dari waktu ke waktu?
Untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu maka kitapun harus
pula berusaha dari waktu ke waktu untuk selalu Khusyu’, sebab tanpa ini semua
maka gagallah kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke waktu. Hal yang harus kita perhatikan adalah kita
membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ bukanlah sekali saja, atau sesekali saja, namun
kita membutuhkan SHALAT yang Khusyu’ sepanjang waktu selama hayat dikandung
badan. Untuk itu kita harus berusaha dari waktu ke waktu sepanjang Ruh belum
tiba di kerongkongan untuk selalu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ di setiap
SHALAT yang kita dirikan, agar diri kita memperoleh kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat.
A. Niat yang Ikhlas harus keluar
dari Hati Ruhani
Agar
SHALAT yang kita dirikan dapat Khusyu’ dari waktu ke waktu maka yang pertama
kali harus ada di dalam diri kita ialah Iradat, atau adanya keinginan yang
keluar dari dalam Hati Ruhani (ingat iradat diletakkan di dalam hati ruhani)
untuk melaksanakan perintah SHALAT yang berasal dari ALLAH SWT. Adanya kondisi
ini akan melahirkan Niat yang Ikhlas yang keluar dari dalam Hati Ruhani untuk
mematuhi, untuk melaksanakan perintah ALLAH SWT tersebut. Sekarang mari kita
perhatikan Hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, dimana ALLAH SWT sudah menegaskan kepada diri
kita bahwa jika kita ingin menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun akan menemui
diri kita. Sebaliknya jika kita enggan menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun
enggan menemui diri kita. Adanya
kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa ALLAH SWT bersikap menunggu apa
yang akan diperbuat oleh manusia kepada ALLAH SWT, atau ALLAH SWT akan bersikap
sesuai dengan apa yang manusia lakukan kepada ALLAH SWT.
Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman:
Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,
Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan
menemuinya.
(HQR Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie
dari Abu Hurairah, 272:17)
Selanjutnya
dari kondisi inilah akan terlihat seberapa tinggi kualitas Iradat manusia yang
melahirkan Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT. Semakin tinggi kualitas Niat yang Ikhlas untuk
mendirikan SHALAT semakin tinggi pula kesempatan diri kita untuk memperoleh
SHALAT yang Khusyu’. Demikian pula sebaliknya, semakin rendah kualitas Niat
yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT semakin rendah pula kesempatan diri kita
untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’. Adanya kondisi ini terlihat dengan
jelas bahwa Niat yang Ikhlas sangat memegang peranan penting di dalam
pencapaian SHALAT yang Khusyu’ atau untuk mencapai SHALAT yang Khusyu’ tidak
akan bisa diraih jika tanpa Niat yang Ikhlas dari diri kita sendiri untuk
meraihnya. Sekarang sudahkah diri kita memiliki Niat yang berkualitas
(maksudnya Niat yang Ikhlas) saat mendirikan SHALAT sehingga mampu
menghantarkan diri kita merasakan SHALAT yang Khusyu’ di setiap SHALAT yang
kita dirikan?
B. Sucikan Jasmani dan Ruhani dengan
Thaharah
Hal
berikutnya yang harus kita penuhi jika kita ingin memperoleh dan merasakan
SHALAT yang Khusyu’ adalah setelah Niat yang Ikhlas maka kita harus menyamakan
kondisi diri kita dengan kondisi ALLAH SWT. Apa maksudnya? Seperti kita ketahui
bersama bahwa ALLAH SWT adalah Maha Suci dan jika ALLAH SWT yang Maha Suci yang
akan kita ajak berkomunikasi, jika yang Maha Suci yang akan kita mintakan
pertolongan melalui doa yang kita panjatkan, jika kita ingin bertemu dengan
yang Maha, maka kita harus pula menyesuaikan diri dengan kondisi ALLAH SWT yang
Maha Suci.
Selanjutnya jika diri kita terdiri
dari Jasmani dan Ruhani, apakah keduanya harus disucikan terlebih dahulu
sebelum mendirikan SHALAT,ataukah hanya Jasmani saja yang disucikan sebelum
mendirikan SHALAT? Selama diri kita masih disebut dengan manusia
berarti kita masih menjadi KHALIFAH di muka bumi dan jika masih menjadi
KHALIFAH berarti baik Jasmani maupun
Ruhani harus disucikan terlebih dahulu sebelum diri kita berkomunikasi dengan
ALLAH SWT, sebelum diri kita memanjatkan doa kepada ALLAH SWT, sebelum diri
kita menghadap kepada ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka kita diwajibkan
untuk melaksanakan proses Thaharah, dalam hal ini mensucikan Jasmani karena
adanya kotoran yang menempel, hadas besar ataupun kecil, haidnya perempuan
serta junub. Demikian Ruhani harus pula disucikan dari kekafiran, gangguan
Syaitan, Etika Jahiliyah, Syirik dan Musyrik, Akhlak yang buruk, Tindakan A
Moral.
C. Tentukan Siapa yang harus mendirikan
SHALAT
Langkah
berikutnya yang harus kita lakukan untuk memperoleh SHALAT yang Khusyu’ adalah ketahuilah bahwa yang mendirikan SHALAT itu bukanlah Jasmani melainkan yang harus
mendirikan SHALAT itu adalah Ruhani beserta Amanah 7 yang merupakan komponen
dasar dari diri kita. Lalu bagaimana dengan posisi Jasmani? Posisi jasmani
saat Ruhani dan Amanah 7 mendirikan SHALAT harus dijadikan Makmum sehingga
Jasmani harus dipasifkan dari segala aktifitasnya, termasuk juga dari sifatnya
yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan. Selanjutnya setelah diri kita
menyatakan bahwa yang harus SHALAT itu adalah Ruhani dan Amanah 7, selanjutnya
kita harus menentukan sikap untuk apa kita mendirikan SHALAT, dalam hal ini
kita harus mengatakan bahwa kita SHALAT karena ingin bertemu dengan ALLAH SWT, kita SHALAT karena ingin
berkomunikasi dengan ALLAH SWT, kita SHALAT karena ingin menghadap ALLAH SWT,
kita SHALAT karena ingin mengajukan doa kepada ALLAH SWT. Setelah itu barulah
Ruhani beserta komponennya yang terdiri dari Qudrat, Iradat, Ilmu, Kalam,
Sami’, Bashir, dan Hayat, kita hadapkan atau sinergikan kepada ALLAH SWT dengan catatan Af’idah harus
menjadi pimpinan atau leader dari itu semua. Sekarang seperti apakah
urut-urutan dari diri kita saat mendirikan SHALAT yang Khusyu’ itu? Adapun
urut-urutan dimaksud dapat kami kemukakan sebagai berikut :
1.
Pasifkan Jasmani lalu
Aktifkan Ruhani.
2.
Jadikan Af’idah (perasaan)
sebagai komandan bagi diri kita di setiap SHALAT yang kita dirikan, baik yang
wajib ataupun yang sunnah.
3.
Komponen Amanah 7 yang harus
pertama kali mendirikan SHALAT adalah Iradat, hal ini karena hanya melalui
Iradat yang diletakkan di dalam Hati Ruhanilah yang akan mampu menghasilkan
Niat yang Ikhlas untuk mendirikan SHALAT serta yang dapat mengkompakkan, atau
yang mampu memfokuskan Amanah 7 untuk
menghadap kepada ALLAH SWT.
4.
Komponen Amanah 7 yang ke-dua
yang harus mendirikan SHALAT adalah Qudrat (kekuatan).
5.
Komponen Amanah 7 yang
ke-tiga yang harus mendirikan SHALAT adalah Kalam (berkata-kata atau juru
bicara).
6.
Komponen Amanah 7 yang
ke-empat yang harus mendirikan SHALAT adalah Ilmu.
7.
Komponen Amanah 7 yang
ke-lima, ke-enam yang harus mendirikan SHALAT adalah Sami’ dan Bashir.
8.
Kompoinen Amanah 7 yang ke-tujuh harus mendirikan SHALAT adalah
Hayat.
Selanjutnya seluruh komponen Amanah 7 harus fokus
dihadapkan kepada ALLAH SWT sehingga tidak ada satupun yang lari dari hadapan
ALLAH SWT.
D.
Posisikan Diri
Kita Sudah Bersama dengan ALLAH SWT saat menghadap Kiblat
Langkah
berikutnya adalah sebelum diri kita mendirikan SHALAT, pastikan bahwa posisi diri kita sudah ada
bersama ALLAH SWT, sudah ada dihadapan ALLAH SWT atau posisikan ALLAH SWT sudah
bersama diri kita sehingga pada saat diri kita mendirikan SHALAT, keberadaan
ALLAH SWT sudah begitu dekat dengan diri kita. Adanya kondisi ALLAH SWT yang sudah bersama dengan diri kita dan sudah
pula ada dihadapan diri kita maka kita harus berbuat sesuai dengan kedekatan
diri kita yang sudah ada dihadapan ALLAH SWT atau kita harus melaksanakan
sesuai dengan apa yang kita posisikan, dalam hal ini ALLAH SWT yang sudah
bersama dengan diri kita. Apa maksudnya?
Jika
SHALAT yang kita dirikan merupakan sarana bagi diri kita untuk berkomunikasi
dengan ALLAH SWT maka saat diri kita mendirikan SHALAT, kita harus
menunjukkan kedekatan diri kita kepada
ALLAH SWT dengan selalu berkata-kata yang lembut, tidak keras, penuh sopan
santun, tidak terburu-buru, atau kita harus mempergunakan “Cara Mengatakan”
saat membaca bacaan yang terdapat di dalam SHALAT. Sekarang bagaimana jika
SHALAT merupakan saat diri kita mengajukan doa kepada ALLAH SWT? Jika ini yang
kita lakukan berarti kondisi ini harus pula kita tunjukkan kepada ALLAH SWT
dengan berkata yang lemah lembut, berkata dengan suara yang tidak terlalu
keras, karena kita ingin mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT yang sudah
begitu dekat dengan diri kita. Sebagai KHALIFAH di muka bumi sudah seperti
inikah SHALAT yang kita dirikan?
Sekarang
kita sudah berdiri di atas sajadah yang sudah menghadap ke Kiblat dalam rangka
mendirikan SHALAT yang Khusyu’. Timbul pertanyaan, apa maksudnya menghadap ke
Kiblat? Hal yang harus kita
perhatikan bahwa mengarah Kiblat hanyalah simbol untuk memudahkan diri kita
mengarahkan arah sajadah kita ke Ka’bah yang ada di Makkah. Akan tetapi makna
yang hakiki dari mengarahkan sajadah ke Kiblat adalah kita mengarahkan Ruhani
dan Amanah 7 menuju kepada yang satu, yaitu ALLAH SWT. Adanya
kondisi ini berarti saat diri kita sudah berdiri di atas sajadah yang mengarah
ke Kiblat berarti pada saat itu kita sudah siap mengarahkan Ruhani dan Amanah 7
kepada ALLAH SWT. Selain daripada itu pada saat diri kita sudah berdiri di
atas sajadah berarti pada saat itu kita sudah berniat untuk berkomunikasi
dengan ALLAH SWT, atau kita sudah berniat untuk menghadap kepada ALLAH SWT. Dan juga berarti proses Thaharah
sudah kita laksanakan sehingga kondisi diri kita berada di dalam kesesuaian
dengan kondisi ALLAH SWT Yang Maha Suci. Selanjutnya kita harus merealisasikan
apa yang sudah kita niatkan tersebut (katakan ingin berkomunikasi dengan ALLAH
SWT) secara patut dan pantas dihadapan ALLAH SWT karena kita sangat membutuhkan
SHALAT yang Khusyu’ saat hidup di dunia.
SAAT
TAKBIRATUL IHRAM
Sekarang lakukanlah Takbiratul Ihram, dengan mengatakan “Allaahu Akbar”,
yang dibarengi mengangkat tangan. Apabila ini kita lakukan setelah diri kita
menghadap ke Kiblat (maksudnya mengarahkan atau memfokuskan Ruhani dan Amanah 7
kepada ALLAH SWT yang dipandu oleh Af’idah) berarti pada saat Takbiratul Ihram,
hal-hal sebagai berikut harus terjadi pada diri kita, yaitu :
1.
Saat Takbiratul Ihram maka
Ruhani dan Amanah 7 yang ada pada diri kita sudah kita hadapkan kepada ALLAH
SWT yang sudah dekat dengan diri kita ditambah pada saat itu kondisi Jasmani
sudah kita non-aktifkan, atau sudah kita pasifkan aktifitasnya sehingga Jasmani
menjadi Makmum bagi Ruhani dan Amanah 7.
2.
Af’idah akan merasakan apa
yang telah kita nyatakan yaitu ALLAH SWT Maha Besar sedangkan diri kita itu
kecil.
3.
Iradat atau Kehendak sudah
melahirkan Niat untuk bertemu dengan AL LAH
SWT, untuk berkomunikasi dengan AL LAH
SWT, untuk menghadap kepada ALLAH SWT.
4.
Qudrat atau Kemampuan yang
melahirkan kekuatan atau tenaga atau energi dalam rangka menggerakkan Jasmani
menjadi Makmum bagi Ruhani.
5.
Kalam, sebagai juru bicara,
sudah menyatakan dengan kondisi menyerah kalah (ingat kita sudah mengangkat
tangan kepada ALLAH SWT) bahwa ALLAH SWT Maha Besar.
6.
Jika Kalam sudah menyatakan
bahwa ALLAH SWT Maha Besar maka Ilmu harus sudah bekerja dan mengetahui apa
yang dikatakan oleh Kalam sehingga Ilmu mengetahui dengan pasti apa yang
dikemukakan oleh kalam.
7.
Pendengaran harus fokus mendengarkan
apa yang telah dikatakan oleh Kalam.
8.
Penglihatan harus fokus
mengarahkan pandangan ke arah Kiblat
agar apa yang dikatakan oleh Kalam dapat tetap dipantau oleh Ilmu dan juga oleh
Pendengaran.
9.
Sedangkan Hayat pasti sudah
bekerja karena kita tidak akan mungkin kita bisa mendirikan SHALAT jika Jasmani
dan Ruhani tidak diikat dengan Hayat.
Selanjutnya
jika kita mampu melaksanakan 9(sembilan) hal yang kami kemukakan di atas secara
baik dan benar, maka Af’idah yang ada di dalam Hati Ruhani akan keluar dari
dalam diri sehingga akan timbul perasaan/merasa kecil dihadapan ALLAH SWT atau
kita merasa sangat membutuhkan ALLAH SWT.
Selain
daripada itu ada satu hal lainnya yang harus kita perhatikan yaitu saat diri kita melaksanakan Takbiratul Ihram
maka pada saat yang bersamaan Syaitan akan melaksanakan aksinya yang
mengakibatkan Konsentrasi atau kekompakan antara Ruhani dengan Amanah 7 menjadi
buyar atau kita dibuat tidak Khusyu’. Apa buktinya Syaitan sang
laknatullah menjalankan aksinya kepada diri kita? Saat Kalam menyatakan
ALLAH SWT Maha Besar, maka Syaitan sang laknatullah akan mengganggu Ilmu
sehingga kita dibuat tidak tahu apa yang sedang dikatakan atau dibuat lupa,
Pendengaran dibuyarkan oleh Syaitan, atau Penglihatan diganggu oleh Syaitan
atau intinya Syaitan membuat diri kita tidak bisa konsentrasi dengan apa yang
sedang kita laksanakan. Adanya pengaruh buruk yang berasal dari Syaitan maka SHALAT yang Khusyu’ akan jauh dari diri
kita atau SHALAT yang Khusyu’ tidak dapat kita rasakan dan inilah kondisi dan
keadaan yang paling dikehendaki Syaitan.
SAAT
MENGATAKAN DOA IFTITAH
Setelah
melaksanakan Takbiratul Ihram, selanjutnya kita akan membaca Doa Iftitah dengan penuh perasaan
serta tuma’ninah dan juga dengan tartil dan tajwid yang benar. Dimana Doa
Iftitah yang kita katakan merupakan bentuk pengagungan diri kita kepada AL LAH SWT karena isi dari Doa Ifftitah itu sendiri yang
mencerminkan ALLAH SWT yang sangat Agung. Selanjutnya pada saat diri kita
mengucapkan Doa Iftitah dengan penuh perasaan serta tuma’ninah dan juga dengan
tartil dan tajwid yang benar. maka hal-hal sebagai berikut ini harus terjadi di
dalam diri kita, yaitu :
1.
Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah maka Af’idah harus
terus merasakan apa yang kita katakan kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah kepada ALLAH SWT
maka pada saat itu Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan Ruhani harus
tetap Aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah kepada ALLAH SWT
maka Ilmu harus mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus
mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan Doa Iftitah maka Pendengaran
harus bisa mendengarkan Doa Iftitah secara utuh dan jelas atau pendengaran
harus fokus mendengarkan apa yang dikatakan
oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
5.
Penglihatan saat Kalam mengatakan Doa Iftitah maka
Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya
fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita)
sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam dapat tetap dipantau oleh Ilmu dan juga
oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.
Jika kita tidak
mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini, berarti Syaitan
telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu menggagalkan diri
kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau kita tidak memperoleh apa yang
dinamakan dengan rasa mendirikan SHALAT, atau tidak dapat merasakan pertemuan
dengan ALLAH SWT.
SAAT
MENGATAKAN Surat Al Faatihah
Berikutnya setelah membaca Doa
Iftitah dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang
benar kita diharuskan membaca surat Al Faatihah dengan penuh perasaan, dengan
tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar pula. Selanjutnya ketahuilah bahwa
isi dari surat Al Faatihah yang kita
katakan kepada ALLAH SWT terdiri dari 2(dua) bagian, sebagian berisi pengakuan
diri kita akan kebesaran ALLAH SWT serta sebagian berisi doa yang kita mohonkan
kepada ALLAH SWT. Selain daripada itu saat diri kita mengatakan surat Al Faatihah kepada ALLAH SWT terdapat dialog
antara diri kita dengan ALLAH SWT. Untuk itu kita harus bisa melaksanakan pengakuan
kita kepada ALLAH SWT, bisa mengajukan doa kepada ALLAH SWT dan juga kita harus
bisa berdialog dengan ALLAH SWT melalui surat Al Faatihah yang
kita katakan. Selanjutnya hal-hal di bawah ini harus bisa kita laksanakan,
yaitu :
1.
Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah maka Af’idah
harus dapat merasakan makna ataupun isi dari surat Al Faatihah yang kita
kemukakan kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah maka kondisi
Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap
aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah kepada ALLAH SWT maka Ilmu
harus mengetahui apa yang diucapkan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa
yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus tahu doa apa yang diajukan kepada
ALLAH SWT, atau Ilmu harus tahu dialog apa yang terjadi antara diri kita dengan
ALLAH SWT, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan surat
Al Faatihah kepada ALLAH SWT maka Pendengaran harus bisa mendengarkan surat Al Faatihah secara
utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan
oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengatakan surat Al Faatihah kepada ALLAH SWT maka
Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya
penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat
dengan diri kita) sehingga apa yang diucapkan oleh Kalam dapat tetap dipantau
oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.
Selanjutnya
jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas,
berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu
menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau kita tidak
memperoleh apa yang dinamakan dengan rasa mendirikan, SHALAT atau tidak dapat
merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.
Saat
Mengatakan Surat/ayat Al-Qur’an
Setelah membaca surat Al Faatihah
dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar, kita
diharuskan membaca surat/ayat Al-Qur’an, katakan kita membaca surat Al Ikhlas .
Dimana isi dari surat
Al Ikhlas merupakan pengakuan diri kita akan kebesaran ALLAH SWT. Sekarang jika
kita mampu membaca surat Al Ikhlas
dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah dan tartil dan tajwid yang benar sesuai
dengan pengakuan kita kepada ALLAH SWT maka hal berikut ini harus kita lakukan,
yaitu :
1.
Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas maka Af’idah
harus dapat merasakan makna ataupun isi dari surat Al Ikhlas kita kemukakan
kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas maka kondisi
Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi Ruhani harus tetap
aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas kepada ALLAH SWT maka Ilmu
harus mengetahui apa yang diucapkan oleh
Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus
paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT, melalui
surat Al Ikhlas yang kita katakan, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan surat
Al Ikhlas kepada ALLAH SWT maka
Pendengaran harus bisa mendengarkan surat
Al Ikhlas yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan apa
yang diucapkan oleh Kalam, dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengatakan surat Al Ikhlas kepada ALLAH
SWT maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat
(maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu
dekat dengan diri kita) sehingga apa yang diucapkan oleh Kalam tetap dapat
dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.
Jika
kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini,
berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu
menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’atau kita tidak memperoleh
apa yang dinamakan dengan rasa mendirikan SHALAT, atau tidak dapat merasakan
pertemuan dengan ALLAH SWT.
Pengakuan
Saat Rukuk dan Saat Sujud
Sekarang kita melakukan Rukuk dan yang
dilanjutkan dengan Sujud dihadapan ALLAH SWT dimana pada saat itu kita mengatakan
“Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku” kepada ALLAH SWT yang sudah
dekat dengan diri kita. Ada nya kondisi ini
berarti pada saat itu kita telah mengakui bahwa AL LAH SWT adalah Maha Suci lalu kita memohon
kepada Yang Maha Suci untuk mengampuni diri kita dari segala dosa dan
kesalahan. Sekarang jika kita mampu
membaca bacaan saat Rukuk dan Sujud
dengan penuh perasaan serta tuma’ninah dan juga dengan
tartil dan tajwid yang benar sesuai dengan pengakuan kita kepada ALLAH SWT
maka hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :
1.
Saat Kalam mengatakan “Maha Suci
Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya
ALLAH” maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan Rukuk
dan Sujud yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan “Maha Suci
Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya
ALLAH” maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi
Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan “Maha Suci
Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya
ALLAH” maka Ilmu harus mengetahui apa
yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh
Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita
kepada ALLAH SWT, melalui Rukuk dan Sujud yang kita lakukan, dari awal sampai
akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan“Maha Suci
Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam
secara utuh dan jelas atau pendengaran
harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat Rukuk dan Sujud,
dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengatakan “Maha Suci
Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku Ya ALLAH” maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat
(maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu
dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat Rukuk dan
Sujud tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal
sampai akhir.
Jika kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di
atas ini, berarti Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita,
yaitu menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan
diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT atau tidak dapat
merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.
Pengakuan
Saat I’tidal
Saat diri
kita melaksanakan I’tidal maka pada saat itu kita menyatakan bahwa ALLAH SWT
adalah Maha Mendegar. Dan jika hal ini sudah kita lakukan berarti apa
yang kita nyatakan harus tercermin di dalam perbuatan atau tindak-tanduk kita
sehari-hari sebagai bentuk dari manifestasi pernyataan kita. Sekarang jika kita
mampu membaca bacaan saat I’tidal dengan “Cara Mengatakan” sesuai dengan
pengakuan kita kepada ALLAH SWT maka hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu
:
1.
Saat Kalam mengatakan “ALLAH
SWT Maha Mendengar” maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari
bacaan I’tidal yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan “ALLAH
SWT Maha Mendengar” maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif
sedangkan kondisi Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan “ALLAH SWT
Maha Mandengar” maka Ilmu harus mengetahui apa
yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh
Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan diri kita
kepada ALLAH SWT, melalui I’tidal yang kita lakukan, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan“ ALLAH SWT
Maha Mendengar” maka Pendengaran harus
bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau
pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat
I’tidal, dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengatakan “ALLAH SWT
Maha Mendengar” maka Penglihatan harus
tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap
fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita)
sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat I’tidal tetap dapat dipantau oleh
Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.
Selanjutnya jika kita
tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas ini, berarti
Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu
menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’, atau menggagalkan diri
kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri
kita merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT, atau merasakan rasa menghadap kepada
ALLAH SWT.
Berdoa
Saat Duduk di antara dua Sujud
Saat diri kita duduk di antara dua
sujud maka pada saat itu kita diberikan kesempatan oleh ALLAH SWT untuk
mengajukan permohonan kepada-Nya yang terdiri dari “memohon ampunan, memohon
petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani serta memohon untuk
diberi rezeki”. Sekarang jika kita ingin apa yang kita mohonkan
kepada ALLAH SWT dapat diterima maka
hal-hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :
1.
Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon
petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk
diberi rezeki kepada ALLAH
SWT” maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi dari bacaan saat
duduk di antara dua sujud yang kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon
petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk
diberi rezeki kepada ALLAH
SWT” maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi
Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon
petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk
diberi rezeki, kepada ALLAH
SWT” maka Ilmu harus mengetahui apa
yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh
Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan permohonan diri kita
kepada ALLAH SWT, melalui doa yang kita panjatkan saat duduk di antara dua
sujud, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon
petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk
diberi rezeki, kepada ALLAH
SWT” maka Pendengaran harus bisa
mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran
harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat mengajukan doa yang
kita panjatkan saat duduk di antara dua sujud,
dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengatakan “memohon ampunan, memohon
petunjuk, memohon untuk dicukupi, memohon untuk dikasihani, memohon untuk
diberi rezeki, kepada ALLAH
SWT”, maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat
(maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu
dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat mengajukan
doa yang kita panjatkan saat duduk di antara dua sujud, tetap dapat dipantau
oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal sampai akhir.
Jika
kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti
Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu
menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri
kita memperoleh apa yang kita mohonkan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri kita merasakan
pertemuan dengan ALLAH SWT.
Pengakuan
Saat Tasyahud Awal atau Saat Tasyahud Akhir
Saat
diri kita melakukan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir maka pada saat itu
kita telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala
kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan
SYAHADAT dengan mengakui Tiada Tuhan Selain ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SAW
adalah utusan ALLAH SWT. Sekarang jika pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT
ingin diterima maka hal-hal berikut ini harus kita lakukan, yaitu :
1.
Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala
kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik
ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan SYAHADAT” maka Af’idah harus dapat
merasakan makna ataupun isi dari bacaan Tasyahud Awal dan Tasyahud Akhir yang
kita kemukakan langsung kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala
kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik AL LAH SWT dan juga kita
telah mengucapkan SYAHADAT” maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi
Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala
kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik AL LAH SWT dan juga kita
telah mengucapkan SYAHADAT” maka Ilmu harus
mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau Ilmu harus mengerti apa
yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa yang dimaksud dengan pengakuan
diri kita kepada ALLAH SWT saat melaksanakan Tasyahud awal atau Tasyahud
Akhir, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala
kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik AL LAH SWT dan juga kita
telah mengucapkan SYAHADAT” maka Pendengaran harus bisa mendengarkan apa yang
dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau pendengaran harus fokus mendengarkan
apa yang diucapkan oleh Kalam saat mengakui kebesaran ALLAH SWT saat Tasyahud
awal atau Tasyahud Akhir, dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengatakan “telah mengakui bahwa segala
kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik AL LAH SWT dan juga kita
telah mengucapkan SYAHADAT” maka Penglihatan harus tetap fokus mengarahkan
pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap fokus memandang kepada
ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita) sehingga apa yang dikatakan
oleh Kalam saat mengakui kebesaran ALLAH SWT saat Tasyahud awal atau Tasyahud
akhir, tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran, dari awal
sampai akhir.
Jika
kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti
Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu
menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri
kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri
kita merasakan pertemuan dengan ALLAH SWT.
Saat
Mengatakan Salam kepada ALLAH SWT
Salam
merupakan penutup dari rangkaian SHALAT yang kita dirikan. Ada nya
salam yang kita lakukan berarti kita sangat mengharapkan keselamatan, rahmat
dan barakah dari AL LAH
SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada. Sekarang jika ini adalah
harapan kita kepada ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan maka hal-hal
berikut ini harus kita lakukan, yaitu :
1.
Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh
keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT agar selalu menyertai diri kita
dimanapun kita berada”, “maka Af’idah harus dapat merasakan makna ataupun isi
dari bacaan Salam yang kita kemukakan
langsung kepada ALLAH SWT.
2.
Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh
keselamatan, rahmat dan barakah dari AL LAH
SWT agar selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka kondisi Jasmani harus tetap dalam kondisi pasif sedangkan kondisi
Ruhani harus tetap aktif mengontrol Jasmani.
3.
Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh
keselamatan, rahmat dan barakah dari AL LAH
SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka Ilmu harus mengetahui apa yang dikatakan oleh Kalam atau
Ilmu harus mengerti apa yang dikatakan oleh Kalam, atau Ilmu harus paham apa
yang dimaksud dengan harapan dan permohonan kita kepada ALLAH SWT saat
melaksanakan Salam, dari awal sampai akhir.
4.
Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh keselamatan,
rahmat dan barakah dari AL LAH
SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka Pendengaran harus
bisa mendengarkan apa yang dikatakan Kalam secara utuh dan jelas atau
pendengaran harus fokus mendengarkan apa yang diucapkan oleh Kalam saat
mengajukan harapan dan permohonan kepada ALLAH SWT, dari awal sampai akhir.
5.
Saat Kalam mengajukan “harapan untuk memperoleh
keselamatan, rahmat dan barakah dari AL LAH
SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada”, maka Penglihatan harus
tetap fokus mengarahkan pandangan ke arah Kiblat (maksudnya penglihatan tetap
fokus memandang kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat dengan diri kita)
sehingga apa yang dikatakan oleh Kalam saat mengajukan harapan dan permohonan
kepada ALLAH SWT, tetap dapat dipantau oleh Ilmu dan juga oleh Pendengaran,
dari awal sampai akhir.
Jika
kita tidak mampu melaksanakan ke-lima hal yang kami kemukakan di atas, berarti
Syaitan telah berhasil melaksanakan aksinya kepada diri kita, yaitu
menggagalkan diri kita memperoleh SHALAT yang Khusyu’ atau menggagalkan diri
kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT, atau menggagalkan diri
kita merasakan rasa menghadap kepada ALLAH SWT.
Hamba ALLAH
SWT, kita tidak bisa sepenuhnya mendirikan
SHALAT yang Khusyu’ mulai dari Niat yang keluar dari dalam hati, yang
dilanjutkan dengan Takbiratul Ihram sampai dengan Salam. Hal ini dikarenakan
Musuh Bebuyutan diri kita tidak akan senang jika kita mampu mendirikan SHALAT
yang Khusyu’ atau dengan kita mampu mendirikan SHALAT yang Khusyu’ berarti kita
telah mampu mempecundangi Syaitan, kondisi inilah yang paling tidak dikehendaki
oleh Syaitan. Adanya
kondisi ini maka Syaitan akan berusaha sekuat tenaga untuk menggagalkan upaya
diri kita untuk memperoleh atau mendapatkan SHALAT yang Khusyu’ dari waktu ke
waktu atau selama hayat masih dikandung badan.
Dari Aisyah
Radhiyallahu Anha: Saya bertanya kepada Nabi tentang menoleh di dalam shalat,
Beliau menjawab: ‘Itu adalah serobotan yang dilakukan oleh Syaitan dari shalat
hambanya”.
(HR Bukhari)
Sekarang apa buktinya Syaitan mampu menggoda diri kita saat mendirikan
SHALAT dan melalui cara apakah Syaitan mengganggu dan menggoda SHALAt yang kita
dirikan? Syaitan akan mengganggu diri kita melalui Jasmani yang kemudian akan
mempengaruhi Amanah 7 yang ada di dalam diri kita. Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa bentuk dari keberhasilan Syaitan mengganggu diri kita saat mendirikan SHALAT,
yaitu :
1.
Syaitan akan mengganggu
manusia yang mendirikan SHALAT melalui Jasmani. Apa buktinya? Tiba-tiba timbul
rasa gatal yang harus kita garuk atau timbulnya rasa kan tuk saat diri kita mendirikan SHALAT,
atau tiba-tiba hidung mencium sesuatu yang sebelumnya tidak ada, yang pada
akhirnya akan mengganggu kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan.
2.
Syaitan akan mengacaukan atau
mengganggu pendengaran, mengganggu penglihatan, mengganggu ilmu sehingga
kekompakan Ruhani dengan Amanah 7 menjadi buyar sehingga kita tidak mampu lagi
memantau, merasakan, mengerti, apa yang sedang dikatakan oleh Kalam.
3.
Syaitan membuat diri kita
menjadi pelupa, hal ini terlihat dari sering lupanya diri kita pada jumlah
rakaat SHALAT, lupa apa yang akan dibaca saat SHALAT, lupa apa yang sudah di
baca saat SHALAT sehingga bacaan SHALAT menjadi tidak sempurna.
4.
Syaitan membuat diri kita
menjadi tidak sabaran, terburu-buru, tidak tuma’ninah, sehingga rukuk, sujud,
I’tidal, duduk di antara dua sujud, tidak mampu kita lakukan dengan sempurna
baik bacaan maupun gera kannya.
Sejahat-jahatnya
pencuri ialah orang yang mencuri akan shalatnya. Mendengar perkataan ini
orang-orang bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana orang mencuri shalatnya itu?
Berkata Rasulullah: “Yaitu tidak ia sempurnakan rukuk dan sujudnya”.
(HR Abi Syaibah Thabarani Hakim)
5.
Syaitan memasukkan pikiran
yang selama ini tidak kita pikirkan, sehingga pada saat diri kita mendirikan
SHALAT timbul bayangan-bayangan atau pemikiran-pemikiran lainnya yang pada
intinya untuk mengganggu kekhusyu’an saat diri kita mendirikan SHALAT.
Selanjutnya, apa yang kami kemukakan di atas, pasti akan
dialami oleh siapapun orangnya, apapun jabatannya, apapun kedudukannya, baik
laki-laki ataupun perempuan, tua ataupun muda, kaya ataupun miskin, dimanapun
ia berada. Hal lain
yang harus kita perhatikan adalah gangguan dan godaan Syaitan kepada diri kita
saat mendirikan SHALAT, tidak boleh mengendurkan semangat kita untuk selalu
mendapatkan dan merasakan SHALAT yang
Khusyu’ dari waktu ke waktu, atau kita tidak boleh asal-asalan mendirikan
SHALAT walaupun Syaitan mengganggu diri kita terus menerus. Apa
alasannya? Adanya perjuangan diri kita untuk selalu berupaya mendapatkan dan
merasakan SHALAT yang Khusyu’, walaupun Syaitan terus dan terus mengganggu akan
terlihat dari hasil akhirnya yaitu seberapa mampu diri kita mendirikan SHALAT
yang Khusyu’. Semakin
tinggi kualitas kekhusyu’an yang kita peroleh, semakin tinggi pula rasa yang
kita peroleh dari ALLAH SWT melalui Af’idah (perasaan yang diletakkan di dalam
hati). Semakin rendah kualitas kekhusyu’an yang kita peroleh, semakin rendah
pula rasa yang kita peroleh dari ALLAH SWT melalui Af’idah. Sebagai
KHALIFAH di muka bumi, yang membutuhkan SHALAT. sudah tinggikah kualitas
kekhusyu’an SHALAT yang kita dirikan?
Lalu apa yang harus kita lakukan
jika kita mengalami gangguan dan godaan Syaitan seperti yang kami kemukakan di
atas? Jika kita mengalami 5(lima) hal yang kami kemukakan di atas, saat
mendirikan SHALAT maka hal-hal sebagai berikut dapat kita lakukan, yaitu :
1.
Berhenti sejenak, lalu
lakukan sesuatu untuk menghilangkan sesuatu yang mengganggu Jasmani diri kita
atau yang mengakibatkan diri kita sering menoleh, lalu teruskan kembali SHALAT
yang kita dirikan. Selanjutnya kita tidak bisa terus menerus berhenti untuk
menghilangkan sesuatu yang mengganggu Jasmani diri kita atau kita tidak bisa
pula sering-sering menoleh. Hal ini dikarenakan semakin sering kita berhenti
maka semakin sering kekhusyu’an saat SHALAT terganggu.
“Allah itu
tanpa henti memperhatikan Shalatnya hamba, selama hamba itu tidak menoleh, jika
hamba itu menoleh maka Allah mengalihkan pandangan-Nya dari hamba itu.”
(HR Ahmad, Abu Daud dan An Nasa’i)
2. Kembalikan
lagi kekompakan Ruh dengan Amanah 7 atau tarik dan normalkan kembali tarikan
Syaitan terhadap Amanah 7 sehingga Ilmu, Pendengaran dan Penglihatan dapat
memantau, mengetahui apa yang dikemukakan oleh Kalam. Dan jika tarikan
Syaitan terjadi lagi, maka berhenti sejenak lalu normalkan kembali kekompakan
Amanah 7 sehingga Ilmu, Pendengaran dan Penglihatan dapat memantau, mengetahui
apa yang dikemukakan oleh Kalam. Demikian seterusnya sampai SHALAT selesai
kita dirikan.
3.
Jika Syaitan menjadikan diri kita Pelupa, maka
ulangi kembali apa yang dilupakan oleh Syaitan. Katakan Syaitan melupakan
kita saat mengatakan surat Al Faatihah maka ulangi kembali kita mengatakan
surat Al Faatihah. Sedangkan jika kita lupa sudah rakaat keberapa maka tetapkan
sendiri di rakaat keberapa yang paling yakin sudah kita dirikan lalu teruskan
kembali SHALAT yang kita dirikan untuk menyempurnakan sisanya.
4.
Jika Syaitan menjadikan diri kita tidak sabaran,
terburu-buru saat mendirikan SHALAT maka kita harus mengkoreksi
keterburu-buruan diri kita di sisa rakaat SHALAT yang masih tersisa dengan
menyempurnakan seluruh kewajiban SHALAT.
5. Jika sampai Syaitan mengacaukan pikiran kita maka
berhentilah sejenak lalu kembalikan lagi kekompakan Ruhani dengan AMANAH 7
sehingga Pendengaran, Penglihatan dan Ilmu mampu memantau, mampu mengetahui
apa-apa yang dikemukakan oleh Kalam, di sisa rakaat SHALAT yang ada.
Sebagai
KHALIFAH di muka bumi, perlu anda ketahui bahwa lima buah kejadian yang kami
kemukakan di atasi pasti akan kita alami. Untuk itu kita harus dari waktu ke waktu berusaha untuk melawan
gangguan Syaitan, kita harus berusaha dari waktu ke waktu pula untuk
mengalahkan gangguan Syaitan, sehingga tingkat gangguan Syaitan, tingkat
kecolongan yang diakibatkan oleh gangguan Syaitan, tingkat buyarnya konsentrasi
Ruhani dengan AMANAH 7 saat SHALAT akibat gangguan Syaitan, turun dari waktu ke
waktu.
Selain
daripada itu ada satu hal yang harus kita ketahui bahwa kebutuhan SHALAT yang
Khusyu’ bukanlah kebutuhan yang bersifat sementara, kadang butuh kadang tidak.
Jika butuh sesuatu kepada ALLAH SWT baru SHALAT yang Khusyu’, jika tidak butuh
sesuatu kepada ALLAH SWT, SHALAT hanya sebatas kewajiban belaka. Kondisi ini
harus kita hilangkan saat ini juga karena rayuan, bujukan, gangguan, dari
Syaitan ada sepanjang diri kita hidup di dunia sampai Ruh tiba di kerongkongan.
Selanjutnya jika kita mengacu
kepada mandi dan gosok gigi yang harus kita lakukan dengan baik dan benar
minimal 2(dua) kali sehari karena kita harus tetap menjaga kesehatan tubuh,
mulut dan gigi. Maka sudah seharusnya pula SHALAT yang kita dirikan harus
Khusyu’ setiap kali SHALAT karena Ahwa dan Syaitan selalu menggangu dan
menjadikan kefitrahan diri kita menjadi menurun. Sebagai
Mahkluk yang terhormat, sudah sepantasnya dan sepatutnya kita mampu mendirikan
SHALAT yang Khusyu’ seperti yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan
SHALAT karena salah satu cara yang akan dapat menjadikan diri kita tetap
sebagai Makhluk yang terhormat dari waktu ke waktu atau yang mampu menjadikan
diri kita mampu mengalahkan Syaitan dan Ahwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar