Untuk dapat menciptakan sesuatu, harus di mulai
dari adanya Kehendak, adanya Kemampuan dan adanya Ilmu, dalam satu kesatuan.
Hal ini dikarenakan jika yang ada hanya Kehendak saja, tanpa diiringi oleh
Kemampuan dan Ilmu berarti yang ada hanyalah angan-angan. Sedangkan jika yang
ada hanyalah Kemampuan saja, tanpa diiringi dengan Kehendak dan Ilmu berarti
yang ada hanya omongan semata. Demikian pula jika yang ada hanya Ilmu saja,
tanpa dibarengi dengan adanya Kehendak dan Kemampuan maka yang ada hanyalah
konsep semata. Sekarang langit dan bumi sudah ada dan diri kitapun sudah
menetap di muka bumi, timbul pertanyaan wajibkah pencipta langit dan bumi
beserta isinya memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu dalam satu kesatuan
yang sangat maha? Berdasarkan akal sehat manusia, pencipta langit dan bumi beserta
isinya wajib memiliki Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang sangat hebat dalam satu
kesatuan. Sekarang siapakah yang memiliki Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu
yang sangat hebat dalam satu kesatuan sehingga mampu menciptakan langit dan
bumi beserta isinya?
tidakkah kamu
perhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah telah menciptakan langit dan bumi dengan
hak[784]? jika Dia menghendaki, niscaya Dia membinasakan kamu dan mengganti(mu)
dengan makhluk yang baru,
(surat Ibrahim (14) ayat 19)
[784] Maksudnya: Allah menjadikan semua yang
disebutkan itu bukanlah dengan percuma, melainkan dengan penuh hikmah.
Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara
keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy[1188]. tidak
ada bagi kamu selain dari padanya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang
pemberi syafa'at[1189]. Maka Apakah kamu tidak memperhatikan?
(surat As Sajdah (32)
ayat 4)
[1188] Bersemayam di atas 'Arsy ialah satu
sifat Allah yang wajib kita imani, sesuai dengan kebesaran Allah dsan
kesucian-Nya.
[1189] Syafa'at: usaha perantaraan dalam
memberikan sesuatu manfaat bagi orang lain atau mengelakkan sesuatu mudharat
bagi orang lain. syafa'at yang tidak diterima di sisi Allah adalah syafa'at
bagi orang-orang kafir.
Berdasarkan surat Ibrahim (14) ayat 19 dan surat As Sajdah (32) ayat 4,
yang kami kemukakan di atas, ALLAH SWT lah yang menciptakan langit dan bumi
beserta isinya dengan Hak dan jika ALLAH
SWT yang menciptakan langit dan bumi beserta isinya dengan Hak berarti ALLAH SWT
pasti memiliki Kehendak, pasti memiliki Kemampuan serta pasti memiliki Ilmu
yang sangat hebat dalam satu kesatuan sehingga seluruh ketentuan dan hukum yang
wajib berlaku di muka bumi ini adalah ketentuan dan hukum dari pencipta dan
pemilik langit dan bumi.Lalu bagaimana dengan keberadaan diri kita yang
saat ini sedang menempati langit dan bumi yang diciptakan oleh ALLAH SWT dengan
Hak, apakah diri kita ada dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakan
sedangkan langit dan bumi ada yang menciptakan?
Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 54 dan surat Al Baqarah (2) ayat 30
yang kami kemukakan di bawah ini, keberadaan seluruh manusia, termasuk di
dalamnya keberadaan orang tua kita, keberadaan diri kita, keberadaan anak dan
kerurunan kita, di langit dan di bumi ini, tidak datang dengan sendirinya.
Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari
Keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah Keadaan lemah itu menjadi
kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha
mengetahui lagi Maha Kuasa.
(surat Ar Ruum (30) ayat 54)
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan
Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Semuanya
ada karena ada yang menciptakan, dalam hal ini adalah ALLAH SWT. Adanya kondisi
ini berarti keberadaan manusia, termasuk di dalamnya keberadaan diri kita,
tidak akan mungkin bisa dilepaskan dari adanya Kehendak ALLAH SWT, adanya
Kemampuan ALLAH SWT serta adanya Ilmu ALLAH SWT yang sangat hebat dalam satu
kesatuan. Dan jika ini adalah kondisi dasar dari ALLAH SWT saat menciptakan
manusia, atau saat menciptakan diri kita berarti keberadaan
diri kita di dunia saat ini, bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, bukan pula
sesuatu yang bersifat Insidentil, sehingga tanpa ada perencanaan yang matang, tanpa ada
maksud dan tujuan yang jelas. Keberadaan manusia sudah direncanakan dengan
matang oleh ALLAH SWT untuk dijadikan
sebagai KHALIFAH di muka bumi atau dijadikan sebagai perpanjangan tangan ALLAH
SWT di muka bumi.
Sebagai KHALIFAH di muka
bumi, tahukah kita, sadarkah kita bahwa keberadaan diri kita, keberadaan langit
dan bumi yang kita tempati saat ini, bukan kita yang menjadi inisiatornya,
bukan pula kita yang menciptakannya, bukan pula kita yang memilikinya, atau merasakah
kita menciptakan jasmani, ruhani, langit, bumi, air serta udara yang kita
butuhkan atau mampukah kita menciptakan, jasmani, ruhani, amanah 7, hati
ruhani, akal, perasaan, langit dan bumi beserta isinya serta Diinul Islam? Jika kita termasuk orang yang Tahu Diri, Tahu siapa diri kita yang
sesungguhnya dan Tahu siapa ALLAH SWT yang sesungguhnya, maka kita harus
menyatakan bahwa diri kita ada karena ada yang menciptakan; jasmani, ruhani,
amanah, hubbul, akal, perasaan ada karena ada yang menciptakan; langit dan bumi
beserta isinya ada karena ada yang menciptakan; jika ini kondisi dasar dari diri kita, lalu
punya apakah diri kita saat hadir ke muka bumi ini?
Jika
kita termasuk orang yang sudah sadar diri maka kita wajib mengatakan kita tidak
mempunyai apapun juga saat ada di muka bumi dan jika saat ini kita memiliki
Jasmani, memiliki Ruhani, memiliki Amanah 7, memiliki Hubbul, memiliki Hati,
memiliki Perasaan, memiliki Akal, karena ada yang memberikan, dalam hal ini
adalah ALLAH SWT. Lalu sebagai apakah diri kita di muka bumi ini? Jika kita merasa tidak pernah menciptakan
segala sesuatu di langit dan di bumi
berarti saat ini kita sedang menumpang di langit dan di bumi ALLAH SWT,
atau kita sedang menjadi tamu di langit dan di bumi ALLAH SWT, atau dapat kita
sedang menjadi pemain di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi
yang diciptakan oleh ALLAH SWT.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa,
(yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak
hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang
yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah,
(yaitu): memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati
mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 183-184)
[114]
Maksudnya memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.
Selanjutnya
agar diri kita tidak dinilai oleh pencipta langit dan bumi, sebagai penumpang,
sebagai tamu, sebagai KHALIFAH yang
tidak tahu diri, maka sudah sepatutnya dan sepantasnyalah kita melaksanakan
segala ketentuan dan segala hukum yang berlaku di muka bumi ini. Jika di langit
dan di bumi ALLAH SWT, ada ketentuan yang termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 dan ayat 184 di atas,
apa yang harus kita sikapi? Jika kita
merasa penumpang yang tahu diri, jika kita merasa tamu yang tahu diri, jika
kita merasa KHALIFAH yang tahu diri, maka sudah seharusnya kita melaksanakan
ketentuan ALLAH SWT di atas, dalam hal
ini melaksanakan perintah melaksanakan Puasa.
Adanya
kondisi ini berarti Perintah melaksanakan Puasa yang berlaku di muka bumi ini
bukanlah perintah yang biasa-biasa saja, karena perintah melaksanakan Puasa
adalah perintah yang berasal dari pencipta dan pemilik langit dan bumi beserta
isinya. Perintah melaksanakan Puasa merupakan ketentuan yang tertulis yang
harus dipatuhi, yang harus dilaksanakan oleh setiap manusia yang merasa dirinya
beriman kepada ALLAH SWT. Perintah melaksanakan Puasa adalah sebuah perintah
yang bersifat individualistik sehingga hanya individu-individu tertentu saja
yang mampu merasakan segala manfaat dan hikmah yang ada di balik perintah puasa
dan juga ia tahu dan mengerti apa yang harus diperbuat setelah puasa Ramadhan
berlalu. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa manfaat dan hikmah yang hakiki dari perintah Puasa, tidak datang dengan
tiba-tiba, atau tidak turun dari langit begitu saja kepada diri kita. Hal
ini dikarenakan, hikmah dan manfaat dari perintah Puasa merupakan hasil dari
suatu proses, atau disebut juga dengan output yang dihasilkan dari suatu input
yang diproses secara konsisten dari waktu ke waktu secara berkesinambungan.
Untuk itu jika kita
ingin memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah dari puasa yang
telah diperintahkan oleh ALLAH SWT, maka kita harus terlebih dahulu memiliki
ilmu tentang puasa, kita harus pula mengerti tentang syarat yang dikehendaki
oleh pemberi perintah melaksanakan puasa, kita juga harus mengerti tentang
bagaimana puasa harus dilaksanakan (kita harus memiliki ilmu tentang syariat
puasa) dan juga kita harus paham betul apa maksud dan tujuan, apa makna yang
hakiki yang ada di balik perintah melaksanakan puasa yang diperintahkan ALLAH
SWT. Jika kita
mampu melakukan hal-hal di atas, insya Allah, modal dasar untuk mendapatkan dan
merasakan manfaat dan hikmah dari puasa telah kita miliki. Selanjutnya dengan
adanya perintah puasa yang berasal dari ALLAH SWT yang termaktub di dalam kitab
suci Al-Qur’an maka kita tidak bisa asal-asalan di dalam melaksanakan puasa, kita
tidak bisa seenaknya saja melaksanakan puasa, terkecuali jika kita tidak butuh
dengan manfaat dan hikmah yang ada dibalik perintah puasa, atau jika kita hanya
ingin merasakan haus dan lapar serta menahan syahwat semata.
Selanjutnya,
jika kita memperhatikan dengan seksama surat Al Baqarah (2) ayat 183 dan 184 di
atas, perintah melaksanakan puasa secara tersurat hanyalah perintah ALLAH SWT
kepada seluruh umatnya yang telah mengaku beriman. Akan tetapi perintah ini
akan berubah menjadi sebuah kebutuhan, jika kita telah memiliki ilmu tentang
Puasa yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT sehingga kita tahu dan mengerti
bahwa dibalik perintah puasa terdapat manfaat yang hakiki untuk kepentingan diri
kita sendiri, bukan untuk kepentingan orang lain. Untuk itu kita dapat memperbandingkannya
dengan perintah mandi yang diperintahkan oleh orang tua kepada diri kita.
Perintah mandi awalnya juga perintah dari orang tua kepada diri kita, lalu
setelah kita mampu merasakan manfaat yang hakiki dari mandi maka mandi berubah
menjadi sebuah kebutuhan karena kita butuh dengan segar dan sehat yang di dapat
dari aktivitas mandi. Hal yang sama juga berlaku dengan perintah puasa. Dimana
Puasa akan menjadi sebuah kebutuhan bagi diri kita, sepanjang diri kita mampu
merasakan langsung manfaat yang hakiki yang terdapat dibalik perintah Puasa
yang diperintahkan oleh ALLAH SWT.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
(surat Al Baqarah (2) ayat 185)
Selanjutnya
jika perintah mandi saja memiliki tujuan yang hakiki berupa sehat dan segar,
berarti puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT pasti memiliki tujuan yang
hakiki, dimana tujuan hakiki inilah yang harus kita capai, harus kita raih dan
harus pula dapat kita rasakan. Hal yang
harus kita pahami adalah bahwa tujuan puasa yang hakiki bukanlah menahan makan
dan minum serta menahan Syahwat semata, bukan pula untuk merasakan penderitaan
orang yang miskin dan kaum dhuafa.Tujuan puasa yang hakiki puasa yang
pertama adalah untuk menjadikan diri kita menjadi orang yang bertaqwa kepada
ALLAH SWT sehingga berguna bagi masyarakat luas, terutama orang miskin. Hal ini
dikarenakan orang yang bertaqwa kepada ALLAH SWT dijamin segala sesuatunya oleh
ALLAH SWT dan juga karena ALLAH SWT tidak menilai seseorang dari besar kecil
hartanya, dari penampilan phisik seseorang, akan tetapi ALLAH SWT menilai
seseorang dari ketaqwaannya kepada ALLAH SWT. Tujuan kedua dari puasa adalah
menjadikan diri kita kembali kepada fitrah,dan yang ketiga, menjadikan diri
kita menjadi Aulia atau kekasih ALLAH SWT, yang ke empat menjadikan diri kita
bersyukur. Semoga kita mampu memperoleh dan merasakan hikmah puasa yang kami
kemukakan di atas.
Selanjutnya apa yang dimaksud dengan Fitrah
itu, atau apa yang dimaksud dengan kembali kepada fitrah. Fitrah secara harfiah
artinya suci, murni, bersih, belum ternoda. Akan tetapi kembali kepada Fitrah
bukanlah berarti suci, murni, bersih, belum ternoda, tetapi apakah kondisi dan
keadaan diri kita masih sesuai dengan
kondisi awal penciptaan manusia,atau apakah diri kita masih sesuai dengan
kondisi aslinya, atau apakah diri kita masih sesuai dengan program ALLAH SWT
saat menciptakan manusia, atau apakah diri kita masih sesuai dengan Konsep Awal
Penciptaan Manusia.
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
"Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Adanya kondisi ini
berarti jika kita dikatakan dalam kondisi fitrah atau kembali ke fitrah maka
keadaan diri kita harus masih sesuai dengan kodrat awal penciptaannya seperti
yang dikemukakan oleh ALLAH SWT di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 serta
pada saat ALLAH SWT mempersilahkan Iblis dan Syaitan untuk menggoda anak dan
keturunan Nabi ADAM a.s.
Sekarang seperti apakah kodrat awal manusia yang masih fitrah itu atau seperti
apakah kembali kepada fitrah itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
kondisi-kondisi awal dari manusia yang masih fitrah, yaitu :
a.
Ruhani
adalah jati diri manusia yang sebenarnya dan jika ini adalah ketentuannya maka
yang sebenarnya menjadi KHALIFAH di muka bumi adalah Ruhani. Ruhani asalnya
dari ALLAH SWT dan hanya ALLAH SWT sajalah yang memiliki ilmu tentang Ruhani,
hanya ALLAH SWT sajalah yang mampu menciptakan Ruhani tanpa bantuan dari
siapapun juga sehingga ALLAH SWT sajalah yang mampu merawat Ruhani. Sekarang jika manusia kembali kepada fitrah
berarti puasa yang kita laksnakan harus dapat mengembalikan jati diri manusia
yang sesungguhnya adalah Ruhani. Dan jika Ruhani adalah jati diri kita yang
sesungguhnya berarti sifat-sifat alamiah Ruhani (Nass) yang mencerminkan
Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) harus menjadi perilaku dan perbuatan diri
kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi. Jika sikap dan perbuatan
diri kita setelah puasa Ramadhan belum mencerminkan sifat-sifat alamiah Ruhani
(Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) berarti diri kita
belum Kembali ke Fitrah.
Contohnya, jika sebelum berpuasa
kita pelit (bakhil) maka setelah berpuasa kita menjadi lebih dermawan.Jika
sebelum berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka setelah berpuasa kita menjadi
orang yang sabar.Jika sebelum berpuasa
kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah puasa kita tidak mau
lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa kita
tidak bisa menghargai orang lain, setelah puasa kita bisa toleran kepada
sesama. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani dan Asmaul Husna ALLAH
SWT. Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri dan
kelompok tertentu saja, masih selalu tergesa-gesa, masih menyakiti orang lain
melalui kata-kata atau perbuatan, masih juga korupsi secara sendiri-sendiri
atau berjamaah, masih suka kolusi, masih suka nepotisme, masih suka menjadi
teroris, masih tetap menjadi pecandu narkoba, masih suka menipu, masih suka
pamer aurat masih berjudi, yang kesemuanya pada sesuai dengan kehendak Syaitan
sang lakanatullah, maka berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih
memiliki masalah dengan perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT,
terkecuali jika mampu menahan panasnya api Neraka yang panasnya 70 (tujuh
puluh) kali api dunia.
b.
Ada
Syurga ada Neraka berarti saat ini akan ada calon penghuni Syurga dan ada calon
penghuni Neraka. Sekarang dimanakah letak Kembali ke Fitrah dalam persoalan
ini? Kembali ke Fitrah berarti melalui puasa yang kita laksanakan kita berusaha
mempertahankan posisi diri kita selalu menjadi calon penghuni Syurga, atau
berusaha menjadikan diri kita tetap menjadi calon penghuni Syurga sebab kampung
halaman kita yang asli adalah Syurga.
c.
ALLAH
SWT menciptakan Manusia untuk dijadikan KHALIFAH di muka bumi, ini berarti
Manusia sudah sejak awal ditempatkan, diletakkan, diposisikan oleh ALLAH SWT
lebih terhormat dari apa-apa yang akan dikhalifahinya, dalam hal ini adalah
Jasmani sebagai arena kecil dan bumi sebagai arena besar. Jika manusia kembali kepada fitrah berarti
manusia (maksudnya Ruhani) adalah subyek sedangkan jasmani dan bumi adalah
obyek. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti kembali ke fitrah adalah
suatu kondisi dimana subyek harus dapat mengendalikan obyek.
Sedangkan jika obyek mengendalikan subyek setelah diri kita puasa Ramadhan
berarti diri kita belum dapat dikatakan telah kembali ke fitrah.
d.
ALLAH
SWT mewajibkan kepada setiap manusia jika ingin selamat atau sukses menjadi
KHALIFAH di muka bumi yang sekaligus Makhluk yang Terhormat maka harus
menjadikan Iblis dan juga Syaitan sebagai Musuh Utama manusia. Adanya kondisi ini berarti kembali ke fitrah
adalah suatu kondisi dimana kita harus saling bermusuhan dengan syaitan. Ingat,
bukan menjadikan Syaitan sebagai sahabat, teman, konco, konsultan, apalagi
menjadikan Iblis dan Syaitan sebagai pimpinan.Jika setelah puasa
Ramadhan kita justru berkawan akrab dengan Syaitan, atau menjadikan Syaitan
menjadi Pemenang sedangkan diri kita menjadi Pecundang berarti kita sudah tidak
fitrah lagi atau sudah tidak sesuai lagi dengan konsep awal penciptaan manusia.
e.
Manusia
terdiri dari Jasmani dan Ruhani, dimana Jasmani berasal dari saripati tanah
sedangkan Ruhani berasal dari ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka Jasmani akan
mewarisi atau mempunyai sifat-sifat alamiah yang berasal dari alam (insan) yang
mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa). Sedangkan Ruhani akan mempunyai
sifat sifat alamiah yang berasal dari ALLAH SWT (Nass) yang mencerminkan
Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah (Nafs/Anfuss). Sekarang jika jati diri manusia yang
sesungguhnya adalah Ruhani berarti kondisi kembali ke fitrah adalah suatu
keadaan dimana perbuatan diri kita harus mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan
sebagai perbuatan kita sehari-hari. Sekarang jika yang terjadi
adalah perbuatan diri kita setelah berpuasa Ramadhan masih mencerminkan
Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) berarti diri kita sudah tidak fitrah lagi karena
sudah sesuai dengan Nilai-Nilai Syaitani.
f.
Manusia
diwajibkan oleh ALLAH SWT untuk selalu
mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi konsep Halal dan Baik
(lawannya adalah Haram lagi Syaiat). Adanya
makanan dan minuman yang memenuhi konsep Halal dan Baik,akan menghasilkan
sperma dan sel telur yang juga memenuhi konsep Halal dan Baik pula. Dilain
sisi, setiap manusia harus terikat di dalam ikatan pernikahan terlebih dahulu
sebelum mempertemukan Sperma dan Sel Telur serta diwajibkan untuk membaca doa
saat mempertemukan Sperma dan Sel Telur.
Hai sekalian manusia, makanlah yang
halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti
langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
nyata bagimu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 168)
Sekarang apa jadinya jika diri
kita mengkonsumsi makanan yang haram lagi syaiat? Apa jadinya jika
mempertemukan Sperma dan Sel Telur tanpa ikatan pernikahan ditambah tanpa
membaca doa? Jika ini yang terjadi berarti kita sudah keluar dari fitrah yang
telah ditetapkan ALLAH SWT.
g.
Ruhani
yang masih Fitrah akan mempunyai kemampuan yang tidak mengenal jarak, ruang
maupun waktu sedangkan kemampuan Jasmani mempunyai banyak keterbatasan dan
kemampuan akibat pengaruh jarak, ruang dan waktu. Sekarang dimanakah letaknya
fitrah? Jika Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya berarti fitrah adalah
kemampuan Ruhani wajib melebihi kemampuan Jasmani sehingga Ruhani mampu
mengendalikan Jasmani (jiwanya Jiwa Muthmainnah), atau yang sesungguhnya
menjadi KHALIFAH di muka bumi adalah Ruhani.
h.
Hidup
merupakan saat bersatunya Ruhani dengan Jasmani sehingga di saat manusia Hidup,
akan terjadi pertarungan antara Jasmani dengan Ruhani untuk memperebutkan
Amanah 7 dan Hubbul. Apabila Jasmani menang atas Ruhani maka sifat-sifat alam yang mencerminkan
Nilai-Nilai Keburukan(Ahwa) akan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia
sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa Fujur. Sedangkan jika Ruhani yang
menang melawan Jasmani maka Nilai-Nilai Ilahiahakan tumbuh dan berkembang di
dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa Taqwa. Sekarang
dimanakah letak fitrah dalam jiwa manusia? Jika jati diri manusia yang
sesungguhnya adalah Ruhani berarti
Fitrah manusia adalah Jiwa Taqwa.
i.
Ruhani
di saat masih di dalam rahim seorang Ibu (terdapat di dalam surat Al A’raaf (7)
ayat 172), telah mengakui atau telah memberikan pernyataan bahwaALLAH SWT
adalah Tuhannya dengan demikian pernyataan Ruhani kepada ALLAH SWT harus tetap
FITRAH tidak tergoyahkan oleh sebab apapun sampai dengan hari kiamat. Sekarang
dimanakah letaknya fitrah?
dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
"Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di
hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah
orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(surat
Al A’raaf (7) ayat 172)
Jika
saat ini kondisi pernyataan bertuhankan kepada ALLAH SWT kualitasnya masih
seperti saat di dalam rahim ibu, atau belum berubah, atau belum mengalami
degradasi kualitas akibat pengaruh Ahwa dan Syaitan, itulah Fitrah yang berlaku
bagi diri kita.
j.
ALLAH
SWT memberikan kepada setiap Manusia apa yang di sebut dengan AMANAH 7 yang
berasal dari bagian dari Sifat Ma’ani ALLAH SWT yang terdiri: Qudrat, Iradat, Sami’, Bashir, Kalam, Hayat,
Ilmu, yang kesemuanya harus dipergunakan, didayagunakan dengan sebaik-baiknya
di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan sebab akan dimintakan
pertanggungjawabannya oleh ALLAH SWT. Sekarang dimanakah letaknya fitrah? Letak fitrah bagi Amanah 7 adalah terletak
pada saat diri kita mempergunakannya, yaitu harus sesuai dengan Nilai-Nilai
Kebaikan yang sesuai dengan Kehendak
ALLAH SWT. Adanya kondisi ini berarti kita tidak bisa
sembarangan mempergunakan Amanah 7 karena akan dimintakan pertanggungjawabannya
oleh ALLAH SWT. Hal lain yang harus juga kita perhatikan adalah hanya Manusia
sajalah yang memiliki Amanah 7 dalam satu kesatuan yang sempurna, ini berarti
bahwa kemampuan Manusia harus lebih hebat dari makhluk ALLAH SWT yang lainnya,
inilah Fitrah yang berlaku bagi diri kita.
k.
ALLAH
SWT juga telah memberikan apa yang disebut dengan HUBBUL yang terdiri dari: Hubbul
Huriah, Hubbul Syahwat, Hubbul Riasah, Hubbul Istitlaq, Hubbul Maadah, Hubbul
Jam’i. serta Hubbul Maal, yang kesemuanya adalah motor penggerak bagi manusia
untuk mencapai suatu tujuan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT dan juga
kehendak Syaitan.Sekarang dimanakah
letaknya fitrah? Jika penggunaan Hubbul yang diberikan oleh ALLAH SWT mampu
dipergunakan dan didayagunakan sesuai dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa
oleh Ruhani yang ada akhirnya dapat menghantarkan diri kita sebagai KHALIFAH
yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, itulah Fitrah. Jika tidak,
bersiaplah untuk mempertanggungjawabkan itu semua di hadapan ALLAH SWT kelak.
l.
Manusia
di dalam mempergunakan Amanah 7 dan Hubbul harus di dalam koridor Nilai-Nilai
Kebaikan yang dibawa oleh Ruhani sehingga akan timbul di dalam diri manusia apa
yang disebut dengan Jiwa TAQWA. Apabila Amanah 7 dan Hubbul dipengaruhi atau
dikendalikan oleh Jasmani maka yang akan timbul adalah Jiwa FUJUR. Sekarang
dimanakah letaknya fitrah? Jika
Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya berarti Ruhani adalah
pengendali Amanah 7 dan Hubbul yang pada akhirnya akan tercermin dari adanya
Jiwa Taqwa pada diri manusia.
m.
ALLAH
SWT juga telah memberikan apa yang disebut dengan Hati Ruhani, dimana di dalam
Hati Ruhani diletakkan ALLAH SWT berbagai macam manfaat seperti tempat
diletakkannya akal dan perasaan, tempat diletakkannya petunjuk, hikmat,
hidayah, pemahaman, ketenangan, titik-titik noda, serta sarana bagi manusia
untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan ALLAH SWT sehingga dapat dikatakan
bahwa Hati adalah Raja bagi manusia. Ingat langit-langit dan bumi tidak dapat
menjangkau ALLAH SWT yang dapat menjangkau ALLAH SWT adalahHati Mukmin atau
Kalbu orang Mukmin dan ALLAH SWT mencintai Akal dibandingkan dengan ciptaan-Nya
yang lain.Jika kondisi fitrah
manusia masih utuh, berarti apa-apa yang dapat dijangkau dan diraih oleh Hati
Ruhani dapat kita rasakan saat ini atau nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT
dapat kita rasakan dari waktu ke waktu.
n.
Ruhani
disebut juga dengan Jati Diri Manusia yang sesungguhnya sebab Ruhani inilah
yang akan kekal selamanya, yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan
yang dilakukan oleh manusia adalah Ruhani. Ruhani yang akan menerima ganjaran,
Ruhani yang akan pulang ke Syurga atau ke Neraka, sedangkan Jasmani setelah
berpisah dengan Ruhani akan kembali ke asalnya yaitu tanah. Sekarang dimanakah
letaknya fitrah? Fitrah manusia
adalah pulang kampung ke Syurga dan jika manusia pulang kampung ke Neraka
berarti manusia sudah tidak fitrah lagi.
Inilah
beberapa ketentuan Fitrah, yang artinya masih sesuaikah kondisi dan keadaan
diri kita dengan konsep awal penciptaan manusia saat pertama kali diciptakan
oleh ALLAH SWT. Selanjutnya Fitrah yang
telah kita peroleh setelah puasa Ramadhan atau setelah melaksanakan Diinul
Islam secara Kaffah, tidak akan bisa dipindahtangankan, tidak bisa
diperjualbelikan, tidak bisa diwariskan walaupun kepada anak dan keturunan kita
sendiri.Serta manfaat yang terdapat dibalik perintah puasa yang telah kita
peroleh, apakah itu taqwa, fitrah dan dicintai oleh ALLAH SWT, harus tetap
terjaga dan terpelihara dari waktu ke waktu sampai dengan puasa Ramadhan
berikutnya, jika tidak berarti kita memiliki masalah dengan puasa yang kita
laksanakan, atau karena kita tidak mampu melaksanakan Diinul Islam secara
kaffah.
Timbul
pertanyaan yang mendasar, untuk apakah Fitrah itu dan butuhkah diri kita dengan Fitrah?ALLAH SWT adalah Dzat yang Maha Fitrah
(Maha Suci) dan jika kita kembali ke Fitrah berarti antara diri kita dengan
ALLAH SWT berada di dalam kesesuaian Fitrah atau diri kita sudah sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh ALLAH
SWT. Adanya kondisi ini berarti syarat untuk memperoleh janji-janji ALLAH SWT
sudah kita miliki dan selanjutnya bersiaplah merasakan nikmatnya bertuhankan ALLAH
SWT. Sekarang bertanyalah kepada diri kita sendiri butuhkah kita dengan
janji-janji ALLAH SWT, butuhkah kita dengan nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT
saat hidup di dunia? Jawaban dari pertanyaan ini adalah cerminan langsung dari
diri kita sendiri atas butuh atau tidaknya diri kita dengan Fitrah atau
kesesuaian Fitrah dengan ALLAH SWT.
Sekarang
sampai kapankah Fitrah atau kesesuaian Fitrah dengan ALLAH SWT kita butuhkan? Panjang
atau pendeknya fitrah yang kita butuhkan bukanlah ALLAH SWT yang menentukan,
akan tetapi diri kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini dikarenakan ALLAH SWT
tidak butuh dengan Fitrah diri kita, tetapi kitalah yang sangat membutuhkan
fitrah selama hayat masih dikandung badan, selama ahwa dan syaitan masih
menjadi musuh diri kita (selama kita tidak mampu mengalahkan ahwa dan syaitan
seorang diri). Hal yang harus kita perhatikan adalah dampak kembali ke fitrah
tidak hanya kita rasakan setelah hari Raya Idhul Fitri saja, akan tetapi harus
terus selama hayat masih di kandung badan serta berdampak pula kepada diri,
keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara.
Adanya kondisi ini
berarti perintah puasa yang diperintahkan oleh ALLAH SWT bukanlah perintah yang
bersifat mengada-ada, atau perintah yang bersifat asal-asal dan juga perintah
yang bersifat memberatkan diri kita, akan tetapi perintah melaksanakan puasa adalah
perintah untuk kepentingan diri kita sendiriyang tidak ada hubungannya dengan
orang lain.Dan jika Nabi Muhammad SAW telah mengindikasikan banyak orang yang
berpuasa, tetapi yang didapatkan hanyalah haus dan lapar serta menahan syahwat
semata, hal ini memang bukanlah isapan jempol belaka, namun hal ini sudah
menjadi kenyataan ( Jangan sampai diri kita mengalami hal ini). Dan yang harus pula kita jadikan
pedoman saat hidup di dunia adalah Syaitan asalnya dari api, jika Syaitan
pulang kampung ke Neraka. Hal ini bukanlah sesuatu yang luar biasa, karena
memang Neraka adalah kampung halaman Syaitan.Akan tetapi kenapa kita yang kampung halaman yang aslinya adalah
Syurga, justru mau di ajak pulang kampung ke Neraka oleh Syaitan.Sekarang
Syaitankah yang pintar membodohi kita, ataukah kita sendiri yang mau dibodohi
Syaitan untuk mau menukar Syurga dengan Neraka?
Sekarang
katakan kita sudahdi bulan Syawal, lalu apa buktinya kita telah mampu
melaksanakan puasa Ramadhan yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, atau setelah
diri kita mampu memperoleh, mampu merasakan nikmat dari Taqwa, kembali ke Fitrah, dan dicintai oleh
ALLAH SWT, apa yang harus kita perbuat dengan itu semuanya setelah Ramadhan
berlalu? Sebelum kami menjawab pertanyaan ini, perkenankan kami mengemukakan
hal-hal sebagai berikut: Jika saat ini
kita masih hidup berarti kita tidak akan mungkin hanya berdiam diri saja. Kita
wajib bekerja, berusaha, melakukan aktivitas
jasmani yang pada akhirnya akan menimbulkan keringat, bau badan serta
adanya aktivitas buang air baika besar maupun kecil.
Selain
daripada itu kitapun tidak bisa menghindarkan diri dari pengaruh lingkungan,
seperti angin, debu, polusi, yang mengakibatkan tubuh kita menjadi kotor serta
menjadikan diri kita menjadi tidak bersemangat, lesu dan lelah. Jalan keluar
yang paling baik untuk mengatasi hal-hal yang kami kemukakan di atas hanyalah
dengan mandi yang sesuai dengan ilmu kesehatan. Selanjutnya apakah cukup hanya
sekali saja kita mandi, sedangkan aktivitas jasmani maupun pengaruh lingkungan
terus terjadi selama kita hidup di dunia? Sepanjang
pengaruh dari dalam diri akibat aktivitas jasmani tidak bisa kita hindarkan,
sepanjang pengaruh lingkungan tidak bisa kita elakkan, sepanjang tubuh kita
mengalami kemunduran akibat lelah, maka sepanjang itu pula kita membutuhkan
mandi.
Hal
yang samapun terjadi saat diri kita melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka
bumi, atau selama Ruhani belum berpisah dengan Jasmani, kita tidak akan pernah bisa menghindar dari
adanya saling pengaruh mempengaruhi atau perang antara kepentingan Jasmani yang
membawa Nilai-Nilai Keburukan (yang disebut dengan Ahwa) yang didukung oleh
Syaitan dengan kepentingan Ruhani yang membawa Nilai-Nilai Kebaikan (yang
disebut dengan Nafs/Anfuss) yang di dukung oleh Malaikat. Jika Ruhani sampai dikalahkan oleh Jasmani berarti Jiwa kita dimasukkan
ke dalam kelompok Jiwa Fujur, sedangkan jika Ruhani mampu mengalahkan Jasmani
berartu jiwa kita dimasukkan dalam kelompok Jiwa Taqwa. Adanya kondisi yang
tidak akan mungkin bisa dihindarkan oleh siapapun juga (maksudnya adalah perang
melawan Ahwa dan juga perang melawan Syaitan) sedangkan kita harus bisa
mempertahankan kefitrahan diri kita yang sesungguhnya adalah Ruhani, oleh ALLAH
SWT diberikan jalan keluar untuk mengalahkan ahwa, untuk meningkatkan kualitas
Ruhani, kita diperintahkan untuk
melaksanakan puasa (maksudnya melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah).
Sekarang apakah cukup hanya dengan
sekali saja kita melaksanakan puasa Ramadhan maka kita akan sanggup menghadapi
ahwa dan syaitan selama hayat masih dikandung badan, sedangkan Ahwa dan Syaitan
akan tetap ada mempengaruhi diri kita sepanjang Ruhani belum berpisah dengan
Jasmani?
Sepanjang
pengaruh ahwa (perang melawan ahwa) tidak bisa kita hindarkan, sepanjang
pengaruh buruk dari syaitan tidak bisa kita elakkan, sepanjang kita ingin
mempertahankan Ruhani sebagai jati diri kita yang sesungguhnya, sepanjang kita
harus mempertahankan kefitrahan diri, sepanjang kita ingin pulang kampung ke
Syurga, maka sepanjang itu pula kita membutuhkan puasa, atau melaksanakan
Diinul Islam yang Kaffah yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Jika ini
kondisi dasar yang harus kita hadapi saat melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di
muka bumi, berarti kita sangat membutuhkan manfaat yang hakiki yang terdapat
dibalik puasa Ramadhan.
Adanya
kondisi ini berarti hakekat dari pelaksanaan ibadah Puasa di bulan Ramadhan bukan
akhir dari suatu perjalanan. Ibadah di bulan Ramadhan bukan pula puncak
pencapaian. Ibadah di bulan Ramadhan adalah awal dari pembelajaran dan pelatihan
yang harus di aplikasikan dalam kehidupan secara sungguh-sungguh di dalam
menghadapi ahwa dan syaitan, menjaga dan merawat fitrah yang telah kita peroleh
serta untuk mempertahankan Ruhani sebagai jati diri kita yang sesungguhnya.
Adanya kondisi ini, berarti kita harus bisa melaksanakan apa-apa yang
dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Al Ahqaaf (46) ayat 13 dibawah ini,
apakah itu?
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan
Kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah[1388] Maka tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
(surat Al Ahqaaf (46) ayat 13)
[1388] Istiqamah ialah teguh pendirian dalam
tauhid dan tetap beramal yang saleh.
Berdasarkan
apa-apa yang kami uraikan di atas, serta berdasarkan surat Al Ahqaaf (46) ayat
13 yang kami kemukakan di atas, setelah diri kita melaksanakan puasa di bulan Ramadhan,
maka pasca Ramadhan kita harus tetap
melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, kita harus tetap bertuhankan kepada
ALLAH SWT, kita harus tetap beramal shaleh, kita harus tetap melaksanakan
ibadah-ibadah Sunnah, kita harus tetap Istiqamah, karena setelah puasa Ramadhan
belum tentu Ruhani kita berpisah dengan Jasmani. Terkecuali jika kita mampu
mengalahkan ahwa seorang diri, mampu mengalahkan Syaitan yang jumlahnya sudah
melebihi jumlah manusia seorang diri. Selanjutnya hal-hal sebagai berikut
harus dapat kita laksanakan setelah pasca Ramadhan, yaitu :
1.
Ramadhan
telah berlalu berarti ketentuan ibadah sunnah yang dinilai menjadi ibadah
wajib, sedangkan ibadah wajib yang dilipatgandakan pahalanya, menjadi tidak
berlaku lagi. Adanya kondisi ini bukan
berarti setelah Ramadhan berlalu kita tidak melakukan lagi ibadah wajib dan
ibadah sunnah lagi, justru kita harus tetap mempertahankan ke dua ibadah tadi
semaksimal mungin, sehingga ibadah sunnah yang kita lakukan seperti Shalat
Sunnah, Puasa Sunnah, mampu menjadi penyempurna, mampu menjadi penyeimbang, mampu
menjadi penambah nilai, bagi ibadah-ibadah wajib yang kita laksanakan setelah
bulan Ramadhan berlalu.
2.
Puasa
Ramadhan yang telah berlalu bukanlah puasa untuk merasakan susahnya kaum dhuafa,
akan tetapi puasa Ramadhan yang kita laksanakan harus berguna bagi kaum dhuafa.
Adanya kondisi ini setelah puasa Ramadhan berlalu, kita harus terus berguna
bagi kaum dhuafa, karena kaum dhuafa harus hidup sepanjang tahun, atau jangan sampai setelah Ramadhan berlalu kita
kembali kenyang lalu kaum dhuafa kembali lapar kerena tidak ada lagi pembagian
zakat, tidak ada pembagian shadaqah dan jariah.
3.
Saat
bulan Ramadhan yang berpuasa adalah Jasmani, dengan dipuasakannya Jasmani berarti
kita berusaha mengalahkan atau menghilangkan sifat-sifat Alamiah Jasmani yang sesuai
dengan Nilai-Nilai Keburukan, untuk diganti dengan sifat-sifat Alamiah Ruhani
yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan, melalui Ruhani yang tidak pernah
sedetikpun dipuasakan saat kita melaksanakan Puasa Ramadhan. Sekarang untuk
mempertahankan kondisi ini maka setelah bulan Ramadhan berlalu kita tidak boleh sedetikpun mempuasakan Ruhani oleh sebab
apapun juga. Ruhani harus tetap tidak
boleh dipuasakan, walaupun Jasmani sudah tidak berpuasa lagi. Ruhani harus
tetap diberi makan sekenyang-kenyangnya melalui Tadarus, melalui Dzikir, melalui Infaq, melalui Shadaqah, melalui
Tadabbur Al-Qur;an, melalui Shalat sunnah Rawatib, melalui shalat Dhuha,
melalui shalat Tahajud dan lain sebagainya yang tentunya harus sesuai dengan
Syariat yang berlaku sepanjang Ruhani itu sendiri belum berpisah dengan Jasmani.
4.
Bulan
Ramadhan telah berlalu bukan berarti Jasmani yang sebulan penuh dipuasakan lalu
setelah Ramadhan berlalu menjadi bebas lagi. Jasmani harus tetap kita kontrol melalui makanan dan minuman yang kita
konsumsi yang sesuai dengan syariat berlaku. Jika hal ini mampu kita lakukan
setelah puasa Ramadhan, akan menjadikan sifat-sifat alamiah Jasmani (Insan)
yang sesuai dengan Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang dibawa oleh Jasmani yang
sudah dilemahkan saat berpuasa Ramadhan, menjadi berkurang kekuatannya, menjadi
lemah kekuatannya, karena Jasmani diberi
makanan dan minuman yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT, yaitu yang memenuhi
kriteria Halal lagi Thayib, dibacakan
basmalah, serta membaca doa sebelum makan dan minum.
5.
Bulan
Ramadhan berlalu bukan berarti Jasmani yang telah memperoleh manfaat positif
dari berpuasa, atau puasa yang mampu menjadi penyembuh, atau puasa yang mampu
memberikan kesehatan bagi Jasmani lalu setelah Ramadhan berlalu Jasmani bisa
seenaknya saja dibiarkan sakit kembali dengan tidak melakukan pola hidup sehat?
Sepanjang Ruhani belum berpisah dengan
Jasmani maka sepanjang itu pula baik Jasmani maupun Ruhani harus kita rawat, tidak
hanya saat bulan Ramadhan saja, karena jika keduanya sehat akan memudahkan kita
melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi ini.
6.
Puasa
Ramadhan berlalu bukan berarti turunnya kualitas sifat-sifat alamiah Jasmani
(insan) atau turunnya kualiatas dan pengaruh Nilai-Nilai Keburukan (Ahwa) yang
dibawa oleh Jasmani dibiarkan terpendam dalam diri. Akan tetapi perubahan penurunan kualitas dan pengaruh
Nilai-Nilai Keburukan yang terjadi pada diri kita, harus bisa dibuktikan setelah Ramadhan berlalu
yang tercermin dalam perbuatan kita sehari-hari, atau setelah Ramadhan berlalu
merupakan saat bagi diri kita membuktikan hasil dari manfaat yang hakiki yang
telah kita peroleh dari puasa Ramadhan.
Contohnya, jika sebelum berpuasa kita masih pelit
(bakhil) maka setelah berpuasa kita menjadi lebih dermawan. Jika sebelum
berpuasa kita selalu tergesa-gesa maka setelah berpuasa kita menjadi orang yang
sabar. Jika sebelum berpuasa kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme
serta melakukan pornoaksi dan pornografi, setelah puasa kita tidak mau lagi
melakukan hal-hal tersebut selamanya. Jika sebelum puasa kita tidak bisa
menghargai orang lain, setelah puasa Ramadhan kita bisa toleran kepada sesama.
Demikian seterusnya terjadi, sampai kita bertemu kembali dengan Ramadhan tahun
berikutnya. Jika hal ini tidak bisa kita lakukan, memang kitalah yang memiliki
masalah dengan perintah puasa, karena perintah puasa sampai kapanpun tidak akan
pernah salah.
7.
Puasa
Ramadhan berlalu bukan berarti perkataan Nabi Muhammad SAW yang menyatakan “banyak
orang yang berpuasa, tetapi yang didapatkan hanyalah haus dan lapar serta
menahan syahwat semata” menjadi tidak berlaku lagi setelah Ramadhan berlalu.
Ketentuan ini masih tetap berlaku, namun bukan untuk perintah melaksanakan
Puasa, akan tetapi untuk perintah-perintah ALLAH SWT yang lainnya seperti
perintah mendirikan SHALAT, perintah menunaikan ZAKAT, perintah untuk pergi
HAJI dan lain sebagainya.
Akan datang satu masa atas manusia, dimana mereka
shalat padahal sebenarnya mereka tidak shalat.
(HR
Ahmad)
Banyak orang yang mendirikan Shalat, sementara ia
hanya mendapatkan rasa lelah dan payah.
(HR
Abu Dawud)
Akan datang pada suatu masa, orang yang mengerjakan
Shalat tetapi mereka belum merasakan Shalat.
(HR
Ahmad)
Kececeran
yang pertama akan kamu alami dari agamamu ialah amanat, dan kececeran yang
terakhir ialah Shalat. Dan sesungguhnya (akan terjadi) orang yang melakukan
Shalat sedang mereka tidak berakhlak.
(HR
Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Untuk itu, kita harus bisa melaksanakan seluruh apa
yang diperintahkan oleh ALLAH SWT tidak
hanya berkualitas saat di bulan Ramadhan saja, melainkan juga di luar bulan
Ramadhan kita harus tetap melaksanakan itu semua dengan cara berkualitas, yang
tentunya harus sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
8.
Ramadhan
berlalu bukan berarti Ruhani yang sudah dimenangkan oleh ALLAH SWT untuk mengalahkan Jasmani melalui Ibadah
Sunnah yang dinilai wajib, serta melalui Ibadah wajib yang dilipatgandakan
pahalanya, lalu kita biarkan kembali karena kita melalaikan ibadah sunnah dan
ibadah wajib serta melakukan kembali perbuatan-perbuatan yang paling
dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah setelah Ramadhan berlalu? Ruhani yang
sudah menang, harus tetap kita jaga kemenangannya dengan tetap melakukan
perbuatan-perbuatan yang paling dikehendaki oleh ALLAH SWT, Sebaliknya jika
kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri, masih selalu tergesa, masih
menyakiti orang lain, masih korupsi, masih kolusi, masih nepotisme, masih suka
KDRT, masih suka narkoba, masih suka menjadi teroris, masih suka menipu,
berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah
dengan perintah puasa yang telah diperintahkan oleh ALLAH SWT.
Selanjutnya
dalam rangka menambah wawasan tentang apa yang harus kita laksanakan pasca
Ramadhan, berikut ini akan kami kemukakan kutipan dari artikel yang dikemukakan
oleh Dr H Briliantono M Soenarwo. SpOT, yang kami ambil dari harian Republika
tanggal 27 Agustus 2011. Setidaknya ada beberapa hal yang harus selalu kita
perhatikan setelah Puasa Ramadhan kita laksanakan sesuai dengan kehendak
pemberi perintah melaksanakan puasa, yaitu:
1.
Menyadari
kelemahan diri bahwa kita belum maksimal memanfaatkan momen Ramadhan untuk
perbaikan kita dengan ALLAH SWT.
2.
Merasakan
kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan Ramadhan, seraya memohon dan
berharap kepada ALLAH SWT agar diberi kesempatan lagi bertemu Ramadhan tahun
depan.
3.
Bersyukur
kepada ALLAH SWT bahwa telah diberi kepercayaan untuk menjalankan puasa dan
Ibadah Ramadhan lainnya, karena dengan demikian ALLAH SWT memberi kesempatan
kepada Ruh kita untuk mendekatkan diri
kepada-Nya, jiwa kita ditenangkan, dan jasad (tubuh) kita diistirahatkan
dari tugas berat hariannya. Sehingga ketika keluar dari Ramadhan kita menjadi
sehat lahir dan bathin.
4.
Lebih
memberikan perhatian dan kecintaan kepada saudara-saudara kita yang setiap hari
“Berpuasa” dikarenakan ketiadaan makanan. Merekalah kaum dhuafa, fakir miskin.
5.
Meluaskan
silaturrahim dan saling memaafkan. Kita menamakan Hari Raya Idul Fitri sebagai
lebaran. Artinya adalah hasil dari pe-lebar-an. Kita memperlebar jalinan kasih
sayang. Melebarkan zona kedamaian dengan saling memberi dan meminta maaf, agar
setiap muslim lebih optimis memandang dan menapaki masa depan.
6.
Ujian
pertama memasuki 1 syawal adalah ujian menahan diri atau mengendalikan emosi.
Banyaknya makanan yang terhidang di depan mata jangan sampai membuat kita
khilaf, melahap semuanya hingga membuat kita sulit bergerak karena kekenyangan.
7.
Tetap
meneruskan pola hidup sehat seperti yang selama Ramadhan kita jalankan, yaitu:
a.
Menjaga
kebersihan hati, menghilangkan buruk sangka kepada sesama. Menjalani semua
aktivitas dalam rangka ibadah kepada ALLAH SWT.
b.
Menjaga
pola makan dengan gizi seimbang: 50 persen karbohidrat dan makanan berserat
tinggi, 20 persen vitamin dan mineral; 20 persen protein, 10 persen lemak.
c.
Meninggalkan
kebiasaan buruk yang berakibat langsung
bagi terganggunya kesehatan tubuh, misalnya merokok, minuman keras.
d.
Meneruskan
kebiasaan beribadah sunnah sebagai ibadah tambahan.
e.
Melanjutkan
bangun pagi untuk menjadi orang-orang pertama yang meraih keberkahan, disamping
bisa menghirup udara pagi yang bersih.
8.
Mulai
berolah raga untuk melatih otot, tulang dan sendi, agar kuat dan bisa berfungsi
sebagaimana mestinya.
Sebagai KHALIFAH di muka bumi, katakan
kita sudah kembali Fitrah, lalu apa yang harus kita lakukan setelah bulan
Ramadhan berlalu, apakah cukup dengan itu saja maka kefitrahan dalam diri bisa
tetap terjaga, sedangkan ahwa dan syaitan selalu siap mengganggu dan menggoda
diri kita? Adanya Ahwa dan juga Syaitan akan membuat kefitrahan yang ada dalam diri menjadi tidak konstan, akan
mengalami penurunan, akan mengalam degradasi kualitas, yang pada akhirnya
fitrah akan bisa hilang jika dibiarkan tidak dipelihara, tidak dijaga dari
waktu ke waktu. Selanjutnya sudahkah
kita tahu cara untuk mempertahankan kefitrahan diri?
Agar diri kita selalu
berkesesuaian dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh ALLAH SWT maka kita tidak bisa menerapkan
standard ganda atau mempergunakan tolak ukur yang berasal dari diri kita
sendiri saat melaksanakan ketentuan yang wajib berlaku di muka bumi ini. Untuk
itu jika kita merasa tamu yang terhormat atau jika kita ingin mempertahankan
kehormatan yang telah kita miliki atau jika kita ingin mempertahankan dan
menjaga kefitrahan yang ada pada diri kita, ketahuilah bahwa kita harus
memiliki ilmu dan juga pengetahuan tentang itu semua dengan sebaik-baiknya.
Berikut ini akan kami kemukakan cara untuk mempertahankan kefitrahan, atau
untuk mendapatkan kefitrahan dan juga untuk memperoleh Kehendak ALLAH SWT,
yaitu:
A. IKUTI CAHAYA ALLAH SWT MELALUI KITAB-NYA
Apabila kita berharap dan berkeinginan untuk memperoleh siaran televisi
yang jernih gambarnya serta bening suaranya, tahan lama, tidak sering ngadat
seperti yang dikemukakan oleh Pabrikan, maka kita diharuskan memenuhi Syarat
dan Ketentuan yang berlaku dalam Buku Manual. Jika di dalam Buku Manual
mengharuskan memakai Antena Luar, maka pakailah Antena Luar, dan jika
diharuskan memakai Stabilizer maka pakailah Stabilizer serta jika diharuskan
memakai listrik bertegangan 110 Volt maka gunakanlah itu. Sepanjang apa-apa
yang dipersyaratkan oleh Pabrikan kita penuhi maka kita akan memperoleh gambar
yang jernih dan suara yang bening, tahan lama dan tidak sering ngadat.
Selanjutnya jika Televisi saja diharuskan seperti itu, bagaimana dengan ALLAH
SWT kepada Manusia? Melalui
surat Asy Syuura (42) ayat 51-52, ALLAH SWT pun menetapkan hal yang serupa
dengan Pabrikan, yaitu Manusia diharuskan untuk mengikuti apa-apa yang
dikemukakan ALLAH SWT di dalam Buku Manual
yaitu Al-Qur'an.
Adanya informasi yang ALLAH SWT kemukakan di dalam Al-Qur'an menandakan
bahwa ALLAH SWT sangat Terbuka, Tidak berat sebelah, sehingga Manusia diberi
kebebasan untuk memilih jalan untuk pulang kampung, apakah melalui jalan yang
lurus ataukah melalui jalan yang tidak di-ridhainya. Hal yang harus di ingat
adalah hasil akhir dari apa-apa yang kita kerjakan di dunia akan memberikan
dampak kepada hasil akhir yang berbeda pula. Selanjutnya, sebagai bahan
perbandingan lihatlah Kepolisian sewaktu membuat Rambu atau Marka Jalan,
kemudian apakah Rambu atau Marka yang dibuat oleh Kepolisian di buat untuk
menyesatkan pengguna jalan, atau untuk mencelakakan pengguna jalan? Rambu atau
Marka Jalan di buat untuk keselamatan dan kelancaran pengguna jalan sehingga
selamat sampai tujuan. Selanjutnya jika kita sudah melakukan hal tersebut
mungkinkah Polisi akan Menilang kita atau Polisi akan menghukum kita?
dan
tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan Dia
kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan
mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya
apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. dan
Demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al Quran) dengan perintah kami.
sebelumnya kamu tidaklah mengetahui Apakah
Al kitab (Al Quran) dan tidak pula mengetahui Apakah iman itu, tetapi
Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan Dia siapa yang
Kami kehendaki di antara hamba-hamba kami. dan Sesungguhnya kamu benar- benar
memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(surat
Asy Syuura (42) ayat 51-52)
[1347] Di belakang tabir artinya ialah
seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi Dia tidak dapat melihat-Nya
seperti yang terjadi kepada Nabi Musa a.s.
Sebagai
pembuat ketentuan maka Kepolisian akan berbuat adil terhadap pengguna dan
pemakai jalan. Selanjutnya bagaimana dengan ALLAH SWT? ALLAH SWT pun akan
melakukan hal yang sama kepada manusia, yaitu sebagai Regulator, sebagai
Inisiator, sebagai Pencipta, sebagai Pemelihara dan Pengawas Manusia maka ALLAH
SWT pun menetapkan Syarat dan Ketentuan bagi Manusia jika ia ingin selamat dan
berhasil menjadi KHALIFAH di muka bumi yang sekaligus Makhluk Pilihan atau jika
manusia ingin pulang ke Neraka ataupun ke Syurga. Sekarang apa yang harus kita
perhatikan dengan Syarat dan Ketentuan ALLAH SWT? Syarat dan Ketentuan ALLAH
SWT dapat kita artikan sebagai Perintah ALLAH SWT.
ALLAH SWT
menetapkan Perintah kepada manusia bukanlah sembarang perintah. Untuk itu
janganlah kita hanya melihat kata Perintah saja, namun lihatlah dan
renungkanlah ada apa di balik Perintah ALLAH SWT tersebut. Sebagai contoh, kita
memerintahkan anak mandi sesudah
bermain, perintah mandikah yang menjadi tujuan kita kepada anak itu atau
kesehatan dan kebersihan tubuhkah yang kita inginkan yang terjadi pada anak
kita melalui perintah mandi? Sekarang,
jika mandi tidak dapat menjadikan tubuh anak bersih dan sehat atau
sesudah mandi masih menimbulkan gatal-gatal, apakah hal ini sudah dapat
dikatakan mandi? Mandi yang baik dan
benar harus dapat menjadikan anak kita bersih dan sehat. Sekarang bagaimana
dengan Perintah untuk Mengikuti Cahaya ALLAH SWT melalui Al-Qur'an? Jika mandi
saja dapat memberikan dampak kepada kesehatan tubuh, maka dengan mengikuti
cahaya ALLAH SWT melalui petunjuk Al-Qur'an tentu akan memberikan dampak yang
sangat luar biasa bagi kefitrahan diri. Sekarang sudahkah kita merasakan
Nur/Cahaya dari ALLAH SWT saat menjadi KHALIFAH di muka bumi? Jika tidak, pasti
ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.
B. BERIKAN CINTA KEPADA ALLAH SWT SAJA
Untuk
menerangkan hal ini, akan kami ilustrasikan sebagai berikut: Jika kita
mempunyai dua orang anak, dimana anak yang pertama jika meminta sesuatu kepada
kita tidak pernah meminta secara langsung
atas keperluan sekolahnya. Sedangkan anak yang ke dua ia selalu
berkomunikasi kepada kita dan menempatkan kita selayaknya sebagai orang tua.
Jika keadaan ini terjadi apa yang kita lakukan? Kepada anak yang pertama tentu
kita akan merasa bahwa anak itu tidak menghargai keberadaan kita selaku orang
tuanya, sehingga ada kemungkinan kita marah atau tidak menyukai sikap yang
dilakukannya. Kepada anak yang kedua, tentu kita akan merasa senang dan
tersanjung atas apa-apa yang diperbuat oleh anak tersebut sehingga kitapun akan
senang hati memberikan apa yang ia minta atau yang ia butuhkan. Berdasarkan
ilustrasi di atas, terjadi dua keadaan yang kontradiktif di dalam diri kita. Di
lain sisi, sebagai orang tua yang
bertanggung jawab kepada dua anak tersebut, kita diwajibkan untuk menjaga dan
memelihara mereka, akan tetapi akibat perbuatan yang mereka lakukan, maka
kitapun akan memberikan sesuatu yang berbeda kepada ke dua anak tersebut.
Sekarang jika kita saja berbuat seperti itu, bagaimana dengan ALLAH SWT, jika
makhluknya melakukan perbuatan yang sama?
Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara
kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum
yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah
lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang
kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang
yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.
(surat
Al Maaidah (5) ayat 54)
ALLAH SWT pasti
bersikap adil kepada hambanya, jika hambanya berbuat tidak sesuai dengan
Kehendak-Nya maka iapun memperoleh balasan yang juga tidak sesuai Kehendak-Nya.
Sedangkan jika hambanya berbuat dan berkehendak yang bersesuaian, sejalan
dengan Kehendak ALLAH SWT maka iapun akan memperoleh apa-apa yang telah
dijanjikan ALLAH SWT kepada hambanya. Jika demikian keadaannya,
perlukah kita selalu selaras, serasi dan seimbang dengan ALLAH SWT? perlukah
kita bersinergi dengan ALLAH SWT? perlukah kita dalam keseimbangan dengan ALLAH
SWT? Hadits Qudsi dan surat Al Maaidah (5) ayat 54 yang kami kemukakan di atas,
dapat kita jadikan pedoman atau patokan di dalam berkomunikasi dengan ALLAH SWT.
Abu Hurairah ra berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,Akupun ingin menemuinya dan
bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR
Al Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abuhurairah; 272:17)
Anas ra berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala
berfirman: Aku selalu menurutkan persangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, dan Aku
selalu menyertainya (membantu padanya) selama ia berdzikir (ingat dan menyebut)
nama-Ku.
(HQR
Muslim, Al Hakim; 272:68)
Kunci
dari itu semua adalah yang pertama kita harus berpikiran Positif kepada ALLAH
SWT, yang dilanjutkan dengan Kita Harus Aktif kepada ALLAH SWT. Kita tidak bisa menunggu dan menunggu untuk
mendapatkan janji-janji ALLAH SWT kepada diri kita. Hal ini dikarenakan sikap
ALLAH SWT sangat tergantung kepada sikap kita terhadap ALLAH SWT. Jika kita
merasa ALLAH SWT adalah Tuhan maka ALLAH SWT akan bertindak sebagai Tuhan. Jika
kita diam saja kepada ALLAH SWT maka ALLAH SWT juga akan diam saja kepada diri
kita. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, jangan pernah berharap
memperoleh atau mendapatkan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT jika kita
tidak pernah berusaha untuk mendapatkan itu semua. Sekarang tergantung diri
kita sendiri bersikap kepada ALLAH SWT, yang pasti ALLAH SWT tidak butuh dengan
sikap kita, tetapi kitalah yang membutuhkan ALLAH SWT.
C. BERBUAT AMAL SHALEH SEBANYAK-BANYAKNYA
ALLAH SWT melalui surat
An Nuur (24) ayat 38 & ayat 36
menerangkan bahwa untuk mendapatkan apa-apa yang telah dijanjikan ALLAH
SWT kepada manusia dikehendaki-Nya maka kita diharuskan berbuat Lebih Baik atau
berbuat Lebih Banyak dari apa-apa yang telah dilakukan oleh kebanyakan orang.
Kenapa kita diharuskan berbuat demikian? Lihatlah sewaktu kita masih belajar di
bangku sekolah dahulu, siapa murid yang lebih diperhatikan bapak dan ibu guru?
Kemungkinan pertama adalah murid yang paling baik daripada murid-murid lainnya
atau kemungkinan kedua adalah murid yang paling kurang di antara murid-murid
lainnya. Contoh lainnya yang kita alami adalah semakin banyak saldo pulsa yang
kita miliki maka semakin banyak dan semakin mudah kita memperoleh fasilitas
dari operator selular. Hal yang sama juga diterapkan oleh ALLAH SWT kepada diri
kita, jika kita ingin mendapatkan hal yang lebih dari manusia kebanyakan
seperti Karunia dan Rezeki maka lakukanlah Amal Sheleh yang lebih melebihi dari apa-apa yang telah dilakukan
manusia secara kebanyakan. Jika kita mampu melakukan hal itu, maka ALLAH SWTpun akan memberikan
apa-apa yang telah dijanjikannya kepada diri kita.
(Meraka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah
memberikan Balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang
telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. dan
Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.
(surat An Nuur (24) ayat 38)
Bertasbih[1041] kepada Allah di masjid-masjid yang
telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada
waktu pagi dan waktu petang,
(surat
An Nuur (24) ayat 36)
[1041] Yang bertasbih ialah laki-laki yang tersebut
pada ayat 37 berikut.
Sekarang
lihatlah keadaan yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari, dimana sebuah
Operator Selular baru akan memberikan seluruh fasilitas layanan telekomunikasi
jika pengguna telepon telah memenuhi kewajiban yang dipersyaratkan Operator
Selular. Sekarang bagaimana jadinya jika saldo pulsa yang kita miliki hanya
Rp.50,- tetapi kita berharap memperoleh SLI, SLJJ, GPRS, MMS dan lain
sebagainya? Jika ini yang terjadi jangan pernah berharap Operator Selular mau
memberikan segala fasilitas yang dimilikinya kepada diri kita. Sekarang
bagaimana dengan ALLAH SWT?
ALLAH SWT pun tidak akan pernah memberikan kepada
diri kita segala fasilitas atau segala janjinya, jika diri kita tidak mau
memenuhi segala syarat dan ketentuan yang telah ditentukan ALLAH SWT. Yang menjadi persoalan saat ini
adalah kita tidak mau memenuhi
segala ketentuan ALLAH SWT tetapi berharap Syurga atau berharap memperoleh
segala yang dijanjikan oleh ALLAH SWT seolah-olah cukup dengan Miss Call kepada
ALLAH SWT maka selesai sudah kewajiban diri kita kepada ALLAH SWT.
Sebagai KHALIFAH di muka bumi, buang jauh-jauh harapan tadi, jangan pernah lakukan ibadah wajib dan
sunnah secara Miss Call, sekarang lakukan aktivasi keimanan, lakukan
ibadah wajib dan sunnah serta selalu isi saldo amal shaleh dari waktu ke waktu
sebanyak mungkin, tanpa harus menunggu waktu.
D. JANGAN DUSTAKAN AYAT-AYAT ALLAH SWT
Kembali kepada cerita
tentang Televisi yang kita beli, setelah menerima Buku Manual dari Pabrikan,
bolehkah kita melanggar apa-apa yang telah dikemukakan di dalam Buku Manual? Sepanjang kita menginginkan Televisi berfungsi dengan baik yaitu Gambar dan Suara
yang jelas dan terang, tahan lama serta tidak sering ngadat, lakukan apa-apa
yang diperintahkan Pabrikan dan apa-apa yang dilarang Pabrikan jangan pernah
lakukan. Ini berarti antara Pabrikan
dan Buku Manual tentang Televisi merupakan satu kesatuan atau Buku Manual
sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dengan Pabrikan. Selanjutnya jika Televisi
saja harus di operasikan dan dijalankan sesuai dengan Buku Manualnya, sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT dengan
Al-Qur'an yang merupakan Buku Manual bagi Manusia? Jika Manusia atau
diri kita mau seperti Televisi, maka kitapun Wajib melaksanakan Buku Manual
yang telah ALLAH SWT berikan yaitu Al-Qur'an, terkecuali manusia memang tidak
mau Selamat atau memang ingin bergabung dengan Syaitan pulang kampung ke Neraka
Jahannam.
Sesungguhnya Kami mengetahui bahwasanya apa yang
mereka katakan itu menyedihkan hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena
mereka sebenarnya bukan mendustakan kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim
itu mengingkari ayat-ayat Allah[469].
(surat
Al An'am (6) ayat 33)
[469] Dalam ayat
ini Allah menghibur Nabi Muhammad s.a.w. dengan menyatakan bahwa orang-orang
musyrikin yang mendustakan Nabi, pada hakekatnya adalah mendustakan Allah
sendiri, karena Nabi itu diutus untuk menyampaikan ayat-ayat Allah.
Jika
Pabrikan dan Buku Manualnya merupakan hal yang tidak terpisahkan maka ALLAH SWT dengan Al-Qur'an (atau
dengan Kalam-Nya atau dengan Wahyu-Nya) juga hal yang tidak terpisahkan
sehingga kita harus beriman kepada ALLAH SWt dan juga beriman kepada kitab yang
diturunkannya (maksudnya adalah Al-Qur'an). Untuk itu jika kita mematuhi dan melaksanakan Al-Qur'an maka kita pun
Harus pula tunduk dan patuh kepada ALLAH SWT sebab apa-apa yang tertera di
dalam Al-Qur'an tidak lain adalah Kalam ALLAH SWT itu sendiri. Sekarang jika
kita ingin selamat, ingin bertemu dengan ALLAH SWT kelak di hari akhirat maka
jangan pernah dustakan serta jangan pernah pula mengurangi, menambah apalagi
berani membantah Ayat-Ayat ALLAH SWT yang tertuang dalam Buku Manual bagi umat
manusia yaitu Al-Qur'an.
E.
JANGAN
IKUTI AJAKAN AHWA (HAWA NAFSU)
AHWA
adalah perbuatan atau pekerjaan dari sifat-sifat alamiah yang dimilki oleh
Jasmani manusia. Salah satu sifat Jasmani adalah Lemah, maka AHWA daripada
Jasmani adalah Melemahkan apa-apa yang ditempatinya atau apa-apa yang
dipengaruhinya, dalam hal ini adalah Ruhani. Jika AHWA tadi dapat mengalahkan atau mempengaruhi Ruhani maka yang
timbul di dalam diri manusia adalah Rasa Malas, Rasa Pesimis, Rasa Rendah Diri
sehingga merasa kalah sebelum perang. Selanjutnya jika hal ini yang terjadi
pada diri manusia, berarti manusia telah keluar dari Kehendak ALLAH SWT.
dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan
membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan
sebelumnya) dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka
putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu
mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang
kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan
jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu,
Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan
itu,
(surat
Al Maaidah (5) ayat 48)
[421] Maksudnya:
Al Quran adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang
diturunkan dalam Kitab-Kitab sebelumnya.
[422] Maksudnya:
umat Nabi Muhammad s.a.w. dan umat-umat yang sebelumnya.
Untuk
itu ALLAH SWT memberikan petunjuk-Nya melalui surat Al Maaidah (5) ayat 48,
bahwa Ahwa dapat mengeluarkan manusia
dari jalan yang terang atau Ahwa dapat mengakibatkan manusia meninggalkan
kebenaran. Untuk itu ALLAH SWT selaku Pencipta memberikan kepada manusia
aturan dan jalan yang lurus melalui Al-Qur'an yang juga berfungsi sebagai Buku
Manual bagi Manusia jika ingin tetap berada di dalam gelombang dan siaran ALLAH
SWT. Yang menjadi persoalan adalah sudahkah kita selalu senantiasa berada dari
waktu ke waktu di dalam gelombang dan siaran ALLAH SWT di dalam upaya
memperoleh atau mendapatkan segala yang dikehendaki ALLAH SWT?
F.
JANGAN
SYERIKATKAN ALLAH SWT DENGAN SELAINNYA
Sebelum
membahas sub bab ini, ada sebuah pertanyaan yang akan kami ajukan kepada
pembaca, yaitu jika kita adalah
orang tua yang mempunyai kemampuan baik moril dan materiil lebih dari cukup,
akan tetapi anak kandung kita sendiri malah justru selalu membandingkan diri
kita dengan tetangga sebelah rumah, kemudian malah anak itu mengatakan bahwa
tetangga sebelah rumah lebih baik diri kita sehingga ia meminta uang jajan
kepada tetangg, apa yang anda rasakan? Sebagai orang tua, kita akan marah kepada anak itu. Timbul pertanyaan,
atas dasar apakah kita marah kepada anak tersebut? Tindakan yang dilakukan oleh anak itu mengindikasikan kepada kita
bahwa anak itu telah melakukan pelecehan dan penghinaan sehingga kita dianggap
tidak layak dan tidak pantas menjadi orang tuanya atau pada intinya anak
tersebut menganggap diri kita tidak ada dan tidak mampu. Selanjutnya bagaimana
dengan ALLAH SWT jika kita perbandingkan atau kita syerikatkan dengan sesuatu?
(Tidak), tetapi hanya Dialah yang kamu seru, Maka
Dia menghilangkan bahaya yang karenanya kamu berdoa kepadanya, jika Dia
menghendaki, dan kamu tinggalkan sembahan-sembahan yang kamu sekutukan (dengan
Allah).
(surat
Al An'am (6) ayat 41)
dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak
memperkutukan(Nya). dan Kami tidak menjadikan kamu pemelihara bagi mereka; dan
kamu sekali-kali bukanlah pemelihara bagi mereka.
(surat
Al An'am (6) ayat 107)
ALLAH
SWT pun akan mempunyai kondisi dan keadaan yang sama dengan diri kita selaku
orang tua. Timbul pertanyaan, kenapa ALLAH SWT sampai tidak mau sedikitpun
disyerikatkan dengan sesuatu? Tindakan
mensyerikatkan ALLAH SWT adalah sebuah tindakan yang tidak akan pernah
ditolerir oleh ALLAH SWT sebab Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT telah dihina
atau telah dilecehkan atau telah di anggap tidak mumpuni atau dengan kata lain
tindakan mensyerikatkan ALLAH SWT dengan sesuatu adalah sebuah tindakan yang
menodai kedudukan dan kebesaran ALLAH SWT sebagai PEMILIK yang sekaligus
PENCIPTA, PEMELIHARA, PENGAWAS dari langit dan bumi beserta isinya.
Selanjutnya tindakan
mensyerikatkan ALLAH SWT dengan sesuatu, baik langsung maupun tidak langsung
dapat pula di artikan kita telah melakukan sebuah Penghinaan atas Keberadaan
ALLAH SWT, atau dapat pula berarti Menganggap ALLAH SWT tidak mampu berbuat,
atau ALLAH SWT tidak layak menjadi Pemilik yang sekaligus Pencipta, Pengawas,
Pemelihara, Pengayom dari langit dan bumi beserta segala isinya. Sekarang jika ALLAH SWT marah serta tidak
memberikan maaf kepada orang yang melakukannya, adalah sebuah kepantasan dan
sebuah kepatutan yang harus diterima oleh yang berani berbuat seperti itu. Selanjutnya
jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri maka kita sudah pasti kita tidak
akan pernah berani mensyerikatkan ALLAH SWT dengan sesuatu apapun juga. Yang
menjadi persoalan sekarang, sudahkah kita memiliki Ilmu tentang Mengenal Diri
Sendiri sebagai langkah awal untuk menempatkan ALLAH SWT pada posisi yang sesungguhnya?
G. JANGAN IKUTI DUGAAN, IKUTI PETUNJUK ALLAH SWT
Setelah menerima Buku
Manual Televisi, maka kita diharapkan oleh Pabrikan untuk melaksanakan apa-apa
yang diperintahkan oleh Pabrikan, apakah itu petunjuk pengoperasian Televisi
maupun cara-cara merawat Televisi . Selanjutnya baik dan buruknya kualitas
gambar dan suara Televisi tergantung Konsumen melaksanakan Buku Manual yang
dikeluarkan Pabrikan atau Pabrikan sangat mengharapkan kepada seluruh Konsumennya untuk mempercayai apa-apa yang
dikemukakannya di dalam Buku Manual yang telah dikeluarkannya.
Sekarang bolehkah kita mengoperasionalkan Televisi dengan cara-cara
kita sendiri dengan mengabaikan Buku Manual? Jika kita tetap melaksanakan cara-cara kita sendiri
maka Pabrikan akan lepas tanggung jawab terhadap mutu dan kualitas dari gambar
dan suara Televisi yang kita beli atau Resiko menjadi tanggung jawab sendiri.
Kenapa sampai Pabrikan bersikap seperti itu? Pabrikan bersikap keras seperti
itu dikarenakan Pabrikan tahu betul atau mengerti betul selak beluk dari Televisi
yang diproduksinya sehingga jika konsumen bersikap di luar apa-apa yang
dibuatnya maka Pabrikan lepas tangan. Selanjutnya jika Pabrikan saja sudah mengkondisikan diri untuk
dipercayai oleh konsumen melalui apa-apa yang dikemukakannya dalam Buku Manual
serta mengkondisikan juga tahu dan mengerti betul dengan apa-apa yang
diproduksinya, sekarang bagaimana
dengan ALLAH SWT yang telah menciptakan Langit, Bumi beserta isinya, Manusia
dengan Kehendak-Nya serta telah pula menurunkan Al-Qur'an kepada manusia
sebagai Buku Manual?
orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan
mengatakan: "Jika Allah menghendaki, niscaya Kami dan bapak-bapak Kami
tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) Kami mengharamkan barang sesuatu
apapun." demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan
(para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan kami. Katakanlah: "Adakah
kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada
kami?" kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain
hanyalah berdusta.
Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas
lagi kuat; Maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu
semuanya".
(surat
Al An'am (6) ayat 148-149)
ALLAH
SWT juga mempunyai ketentuan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan
Pabrikan, yaitu dengan menerapkan serta melaksanakan hal-hal sebagai berikut
yaitu: Manusia wajib mempercayai
ALLAH SWT; Manusia wajib mengerti dan mengetahui keberadaan ALLAH SWT atau wajib memiliki Ilmu tentang ALLAH SWT; Manusia wajib menempatkan dan meletakkan ALLAH SWT
sesuai dengan kemahaan yang dimiliki-Nya.
Timbul
pertanyaan, kenapa hal ini harus dilakukan oleh Manusia? Hal ini dikarenakan ALLAH SWT adalah Inisiator,
Pemilik yang sekaligus Pencipta, Pemelihara, Pengayom, Pengawas dari langit dan
bumi termasuk diri kita di dalamnya. Adanya kondisi seperti ini maka hanya
ALLAH SWT sajalah yang tahu persis terhadap apa-apa yang telah diciptakan-Nya
atau tahu persis terhadap apa-apa yang dikehendaki-Nya. Sekarang bagaimana jika kita malah merubah,
menambah, menyangkal, mengurangi, atau bahkan tidak mempercayai apa-apa yang
ALLAH SWT kemukakan di dalam Al-Qur'an sebagai Buku Manual manusia atau bahkan
manusia malah tidak mempercayai ALLAH
SWT itu sendiri sehingga lebih senang dengan informasi yang abu-abu?
Jika Pabrikan saja lepas tanggung jawab kepada konsumennya, maka ALLAH SWT pun
akan lepas tanggung jawab kepada manusia yang telah keluar dari Kehendak-Nya
atau tidak akan bertanggung jawab kepada manusia yang tidak mau menempatkan
ALLAH SWT sebagai Tuhan. Akan tetapi jika manusia ingin tetap mendapatkan dan
memperoleh apa-apa yang telah dijanjikan oleh ALLAH SWT atau memperoleh dan
mendapatkan Kehendak ALLAH SWT jangan pernah melakukan tindakan-tindakan
melecehkan ALLAH SWT dengan berbuat musyrik dan syirik, dengan membantah
isi Al-Qur'an, dengan lebih mempercayai
bisikan Syaitan, mengganti Diinul Islam dengan yang lainnya. Pilihan sekarang
ada pada diri kita sendiri.
H. JANGAN TINGGALKAN AD DIIN atau DIINUL ISLAM
Mengacu
kepada Televisi yang kita beli, dimana kita tidak diperbolehkan atau dilarang
oleh Pabrikan untuk keluar atau meninggalkan petunjuk atau apa-apa yang telah
dituangkan oleh Pabrikan di dalam Buku
Manual. Apabila kita keluar dari Buku Manual, ini berarti Pabrikan lepas
tanggung jawab atas segala resiko yang akan timbul akibat dari ketidakpatuhan
konsumen kepada Buku Manual. Sekarang, jika Pabrikan saja dapat seperti itu
kepada konsumennya, selanjutnya bagaimana dengan ALLAH SWT yang telah
memerintahkan Manusia untuk selalu menghadapkan wajahnya ke Diinul Islam atau
menyuruh manusia selalu di dalam Diinul Islam? ALLAH SWT pun akan memperlakukan
hal yang sama kepada Manusia jika ia meninggalkan Diinul Islam yang telah
ditetapkan-Nya. Selanjutnya bagaimana dengan manusia yang berani meninggalkan
Diinul Islam atau dengan sengaja melanggar ketentuan Diinul Islam?
dan Demikianlah pemimpin-pemimpin mereka telah
menjadikan kebanyakan dari orang-orang musyrik itu memandang baik membunuh
anak-anak mereka untuk membinasakan mereka dan untuk mengaburkan bagi mereka
agama-Nya[509]. dan kalau Allah menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, Maka tinggallah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
(surat
Al An'am (6) ayat 137)
[509] Sebahagian
orang Arab itu adalah penganut syariat Ibrahim. Ibrahim a.s. pernah
diperintahkan Allah mengorbankan anaknya Isma'il. kemudian pemimpin-pemimpin
agama mereka mengaburkan pengertian berkorban itu, sehingga mereka dapat
menanamkan kepada pengikutnya, rasa memandang baik membunuh anak-anak mereka
dengan alasan mendekatkan diri kepada Allah, Padahal alasan yang Sesungguhnya
ialah karena takut miskin dan takut ternoda.
Manusia
yang telah keluar dari apa-apa yang telah diperintahkan ALLAH SWT maka ALLAH
SWT akan lepas tanggung jawab kepada orang tersebut sehingga ia berhak
mendapatkan apa-apa yang dikehendakinya sendiri berupa hamba Syaitan atau
pulang kampung bersama Syaitan ke Neraka Jahannam. Akan tetapi jika kita ingin
selamat sampai ke Syurga maka jangan pernah keluar dari Diinul Islam atau
jangan lakukan perbuatan yang bertentangan dengan apa-apa yang telah
diperintahkan ALLAH SWT atau tetaplah selalu
berada di dalam Diinul Islam atau selalu berada dalam Fitrah ALLAH SWT.
I.
JANGAN
IKUTI LANGKAH-LANGKAH SYAITAN SELAKU MUSUH MANUSIA
ALLAH
SWT menetapkan bahwa Syaitan itu adalah MUSUH bagi KHALIFAH di muka bumi atau
musuh diri kita. Syaitan sebagai Musuh
tentu akan berupaya dengan segala cara, untuk dapat mengalahkan Musuhnya.
Hal yang harus menjadi perhatian bagi kita adalah Iblis atau Syaitan sejak
peristiwa di laknat dan di usir dari Syurga oleh ALLAH SWT sampai dengan hari
kiamat hanya memiliki Satu pekerjaan tetap yaitu Spesialis yang Profesional di
dalam Menyesatkan dan Menjerumuskan Manusia ke lembah nista. Di lain sisi ALLAH
SWT sebagai perencana dari adanya Kekhalifahan di muka bumi tentu mempunyai
alasan-alasan tersendiri kenapa Manusia harus bermusuhan dengan Syaitan atau
kenapa Iblis dan Syaitan diperbolehkan oleh ALLAH SWT untuk menyesatkan dan
menjerumuskan Manusia atau kenapa ALLAH SWT menyuruh manusia untuk tidak
mengikuti langkah-langkah Syaitan. Jika kita adalah seorang pelatih SILAT dan
kemudian memilih beberapa anak didik kita untuk mengikuti kejuaraan SILAT, atas
dasar apakah kita memilih anak tersebut untuk mengikuti kejuaraan silat?
Kita memilih dan menentukan anak tersebut
dikarenakan kita yakin bahwa anak tersebut mampu melakukan dengan baik sehingga
kita yakin pula ia dapat memenangkan pertandingan. Ini berarti kunci dari itu
semua adalah adanya Keyakinan dan Optimisme untuk memenangkan kejuaran silat
menjadikan diri kita mengikuti kejuaraan SILAT. Sekarang bagaimana dengan ALLAH
SWT yang telah atau sudah menetapkan di dalam Ilmu-Nya atau di dalam
rencana-Nya bahwa Syaitan diperbolehkan atau Syaitan direstui untuk melakukan
tindakan menyesatkan dan menjerumuskan manusia dalam rangka memperebutkan
tempat kembali yaitu Syurga atau Neraka, apa yang mendasari itu semua? ALLAH
SWT sebagai Inisiator dari segala apa-apa yang ada di langit dan di bumi, tentu
sudah memikirkan dalam Ilmu-Nya yang sangat tinggi tentang keadaan ini sehingga
dapat dikatakan bahwa ALLAH SWT sudah
tahu dan mengerti dengan segala tindakannya.
dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan
mereka semuanya (dan Allah berfirman): "Hai golongan jin, Sesungguhnya
kamu telah banyak menyesatkan manusia", lalu berkatalah kawan-kawan meraka
dari golongan manusia: "Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya sebahagian daripada
Kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain)[504] dan Kami telah
sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah
berfirman: "Neraka Itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya,
kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha
Bijaksana lagi Maha mengetahui.
(surat
Al An'am (6) ayat 128)
[504] Maksudnya
syaitan telah berhasil memperdayakan manusia sampai manusia mengikuti perintah-perintah
dan petunjuk-petunjuknya, dan manusiapun telah mendapat hasil
kelezatan-kelezatan duniawi karena mengikuti bujukan-bujukan syaitan itu.
dan
Demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, Yaitu syaitan-syaitan
(dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada
sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu
(manusia)[499]. Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak
mengerjakannya, Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
(surat Al An'am (6)
ayat 112)
[499] Maksudnya syaitan-syaitan jenis jin
dan manusia berupaya menipu manusia agar tidak beriman kepada Nabi.
Seperti
telah kita ketahui bersama bahwa jati
diri manusia yang sesungguhnya RUH
ditambah dengan AMANAH 7 dan HATI RUHANI, inilah konsep dasar ALLAH SWT sewaktu
menciptakan KEKHALIFAHAN di muka bumi pertama kali. Adanya kondisi dan keadaan
ini maka ALLAH SWT sudah mempunyai Keyakinan bahwa Manusia itu sudah di atas
Syaitan atau Manusia sudah ditempatkan oleh
ALLAH SWT lebih sempurna dibandingkan Syaitan sehingga manusia pasti menang lawan Syaitan. Adanya
kondisi dan keyakinan seperti itu maka ALLAH SWT memperkenankan atau merestui
Syaitan untuk menyesatkan dan menjerumuskan manusia. Selanjutnya jika ALLAH SWT
sudah berketetapan bahwa Manusia (dalam hal ini bahwa diri kita yang sebenarnya
adalah RUHANI ditambah AMANAH7) mampu menang melawan Syaitan, kenapa justru
sekarang banyak Manusia menjadi Pecundang dibandingkan dengan Syaitan. Timbul pertanyaan
SYAITANkah yang sekarang dibela oleh ALLAH SWT ataukah Manusia yang salah di
dalam mengenal dirinya sendiri? ALLAH
SWT sampai kapanpun akan tetap melaknat Iblis/Jin/Syaitan, jika demikian maka
kondisi dan keadaan Iblis/Jin/Syaitan tidak akan berubah atau tidak akan
dirubah oleh ALLAH SWT menjadi makhluk yang terpuji. Selanjutnya
bagaimana dengan Manusia? Manusia akibat tidak Tahu Diri maka ia kini dapat
dikalahkan oleh Syaitan atau manusia kini mengikuti langkah-langkah Syaitan. Manusia yang seperti itu adalah Manusia yang
tidak Tahu Diri sebab di dalam diri
setiap Manusia sudah ada bagian dari ALLAH SWT berupa RUH serta AMANAH 7
sehingga bagaimana mungkin RUH dan AMANAH 7 dapat dikalahkan dengan mudah oleh
Syaitan sang Laknatullah dan jika sekarang ALLAH SWT memberikan rambu-rambu
kepada Manusia untuk jangan pernah mengikuti langkah-langkah Syaitan merupakan
bentuk kasih sayang ALLAH SWT kepada Manusia agar Manusia selamat sampai tujuan
yaitu pulang kampung ke Syurga.
Sekarang
apa yang harus kita lakukan? Kenali diri, sadar diri, tahu diri, lalu yakinkan
diri bahwa kita hidup di dunia tidak sendirian melainkan sudah bersama ALLAH
SWT atau sudah tidak terpisahkan dengan ALLAH SWT. Untuk itu sambutlah, rebutlah, manfaatkanlah apa-apa yang telah dipersiapkan
ALLAH SWT untuk diri kita, jadikan ALLAH
SWT sebagai TUHAN bagi diri kita lalu jadilah hamba ALLAH SWT yang paling dikehendaki-Nya.
Semoga kebahagiaan hidup di dunia dan kebahagiaan hidup di akhirat kelak dapat
kita rasakan, sehingga kita dapat bertemu langsung dengan yang Maha Terhormat,
terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke Neraka Jahannam bersama Syaitan
sang laknatullah.
Sebagai
penutup, ada satu pertanyaan yang mendasar yang harus kita jawab, sudah berapa
kali kita melaksanakan puasa Ramadhan saat hidup di dunia ini, lalu apa yang
sudah kita peroleh? Jawablah pertanyaan ini dengan sejujur-jujurnya dan ingat
ALLAH SWT tidak akan bisa kita bohongi. Selanjutnya mari kita perhatikan dua
buah pelajaran yang dapat kita jadikan pembanding bagi diri kita saat
menjalankan tugas di muka bumi melalui 2(dua) makhluk ALLAH SWT berikut ini:
1.
Jika
setelah Ramadhan, kita masih juga senang mengambil hak orang lain, atau masih
suka melaksanakan Korupsi, kolusi, Nepotisme baik berjamaah maupun
perseorangan, ada baiknya kita berguru kepada kucing yang malu mengambil
makanan dengan cara mencuri. Lihatlah kucing yang diberi makan langsung oleh
kita, lalu perbandingkan kucing yang makan makanan dengan cara mencuri? Kucing
jika diberi makan oleh kita langsung ia akan tenang melahap makanannya, tetapi
kucing akan waspada, tidak tenang saat makan makanan dari hasil mencuri.
Sekarang jika kucing saja tahu dan mengerti bahwa mencuri makanan itu tidak
baik bagi dirinya, lalu kenapa kita yang telah diangkat jadi KHALIFAH oleh
ALLAH SWT justru berbuat sebaliknya dibandingkan dengan kucing. Sekarang siapakah
yang lebih tahu diri?
dan Sesungguhnya Kami
jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka
mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(surat Al A’raaf (7)
ayat 179)
2.
Jika
setelah Ramadhan, kita masih juga masuk ke dalam lubang yang sama untuk ke dua
kalinya (maksudnya masih melakukan perbuatan yang dikehendaki oleh Syaitan secara
berulang-ulang), seperti masih menyakiti orang lain melalui perkataan ataupun
perbuatan, masih suka berbuat onar, menyebarkan berita bohong, masih suka
korupsi. Ada baiknya bertanya dan berguru langsung kepada keledai yang tidak pernah
masuk ke lubang yang sama dua kali. Sekarang siapakah yang lebih tahu diri?
Jawaban
dari pertanyaan di atas, hanya diri kita sendirilah yang tahu, untuk itu kami
sangat berharap jangan sampai diri kita dinilai oleh ALLAH SWT lebih rendah
dari binatang seperti yang dikemukakan ALLAH SWT dalam surat Al A’raaf (7) ayat
179 di atas.
Akhir
kata, semoga tulisan ini berguna bagi Khalayak, mohon maaf jika ada kata-kata
yang tidak berkenaan. Semoga kita bisa diberi kesempatan oleh ALLAH SWT untuk
bertemu kembali bulan dengan Ramadhan tahun berikut dan semoga kita menjadi
makhluk yang terhormat, yang mampu pulang kampung ke tempat yang terhormat,
dengan cara yang terhormat, untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormat, dalam
suasana yang saling hormat menghormati. Amien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar