Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 06 April 2016

SHALAT YANG DIKEHENDAKI ALLAH SWT - part 2 of 3


4. Posisikan diri kita sudah bersama kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT


Hal yang terpenting dan teramat penting agar SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi perintah SHALAT, maka kita harus dapat memenuhi apa yang dikemukakan di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 186 dan ketentuan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini. Apakah ketentuan itu? ALLAH SWT sudah menyatakan bahwa ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita, sehingga ALLAH SWT sudah ada di depan kita, ALLAH SWT sudah ada dibelakang kita, ALLAH SWT sudah ada di kanan kita dan juga ALLAH SWT sudah ada di kiri kita sehingga kita sudah tidak bisa dilepaskan dari kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT. Selanjutnya jika ini yang terjadi pada diri kita, lalu bagaimanakah kita bersikap dengan kondisi ini?

dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(surat Al Baqarah (2) ayat 186)


Jika kondisi ini telah dikemukakan oleh ALLAH SWT kepada diri  kita maka sudahkah diri kita mendekatkan diri kepada ALLAH SWT sehingga diri kita menjadi orang yang paling dekat dengan ALLAH SWT?  


Tsauban ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Nabi Musa berdoa : Ya Rabbi, dekatkah engkau untuk saya bercakap-cakap atau jauhkah untuk saya panggil? Saya merasakan dan mendengarkan suara-Mu yang merdu, namun tidak dapat melihat-Mu dimanakah Engkau? Allah berfirman: Aku berada di belakangmu, di depanmu, disebelah kananmu, dan disebelah krimu". Wahai Musa, Aku teman hamba-Ku diwaktu ia menyebut nam-Ku dan Aku bersama dia bila dia berdoa kepada-Ku.
(HQR Addailami:272-254)


Sebagai bahan perbandingan, lihat dan perhatikanlah apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Katakan kita menjadi orang dekat pejabat tertentu, maka sebagai orang dekat pejabat akan terjadi suatu keadaan di mana diri kita akan dihormati orang, akan dimudahkan urusannya saat mengurus sesuatu. Jika ini yang di alami oleh orang dekat pejabat tertentu, sekarang bagaimana jika kita menjadi orang dekat dengan Pencipta, Pemilik langit dan bumi, apakah keadaan yang dialami dalam kehidupan sehari-hari terjadi pula pada diri kita setelah dekat dengan ALLAH SWT? Jika menjadi orang dekat pejabat saja bisa mendatangkan manfaat kepada diri kita, maka jika kita menjadi orang dekat ALLAH SWT pasti banyak manfaatnya kepada diri kita.


Sekarang apa yang akan di dapatkan oleh orang yang sudah dekat dengan ALLAH SWT? Sebagai orang dekat dengan ALLAH SWT maka ALLAH SWT akan memperhatikan diri kita, ALLAH SWT akan menolong diri kita, ALLAH SWT akan melindungi diri kita dari bahaya, ancaman, penyakit serta gangguan syaitan. Jika ini adalah keadaan dari orang yang dekat dengan ALLAH SWT, selanjutnya bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah diri kita menjadi orang yang dekat dengan  ALLAH SWT, atau butuhkah diri kita mendekat dan berdekatan dengan pencipta dan pemilik langit dan bumi saat menjadi KHALIFAH di muka bumi?
Ibnu Abbas ra, berkata:  Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku. Engkau berpaling daripada-Ku padahal aku menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu?.
(HQR Abu Nasher Rabi'ah bin Ali Al Ajli dan Arrafi'ie; 272:182)


Selanjutnya jika ALLAH SWT sudah menyatakan bahwa Kebesaran dan Kemahaan-Nya sudah dekat dengan diri kita, timbul pertanyaan sampai kapan ALLAH SWT akan dekat kepada diri kita? Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan di atas, ALLAH SWT akan tetap dekat kepada diri kita walaupun diri kita tidak mau dekat dengan ALLAH SWT. Jika sudah begini keadaan ALLAH SWT kepada diri kita berarti jauh, atau dekatnya ALLAH SWT sangat tergantung sejauh mana kita mau mendekatkan diri untuk menjadi orang dekat ALLAH SWT, atau sejauh mana kita meninggalkan ALLAH SWT. Sekarang akan sia-sialah jika ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita jika kita sendiri malah menjauh dengan kedekatan ALLAH SWT.


Sekarang ada pertanyaan baru, berapakah jarak antara diri kita yang telah menjadi orang dekat dengan ALLAH SWT dengan  ALLAH SWT itu sendiri? ALLAH SWT dengan diri kita akan berjarak sangat jauh jika dilihat dari keberadaan Dzat ALLAH SWT yang bertahta di Arsy. Namun antara diri kita dengan sinyal, dengan gelombang Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT tidak berjarak sama sekali dikarenakan diri kita sudah berada di dalam sinyal dan gelombang Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT, seperti halnya Handphone yang sudah berada di dalam sinyal Operator Selular. Sekarang setelah diri kita menjadi orang dekat dengan ALLAH SWT, lalu diri kita mengalami cobaan, mengalami gangguan, mengalami problem saat menjadi KHALIFAH di muka bumi, timbul pertanyaan kepada siapakah kita harus meminta pertolongan, apakah kepada ALLAH SWT, ataukah kepada Ustad, Kyai atau kepada Orang Pintar?


Jawaban dari pertanyaan ini sangat tergantung kepada persepsi orang yang mengalami problem kepada ALLAH SWT. Jika orang tersebut mempersepsikan bahwa ALLAH SWT jauh, atau berjarak dengan dirinya maka ia akan meminta pertolongan kepada Ustad, Kyai atau kepada orang pintar. Dan jika ini yang kita lakukan maka tunggulah balasan dari ALLAH SWT karena kita telah melecehkan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita (maksudnya ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita tetapi kepada yang jauh kita meminta pertolongan maka yang dekat pasti tersinggung). Selanjutnya jika kita termasuk orang yang selalu mempersepsikan bahwa ALLAH SWT itu dekat dengan diri kita maka kepada yang dekatlah, atau kepada yang sudah tidak berjaraklah kita memohon pertolongan, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun.


Berikutnya, apa hubungannya ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita dengan pelaksanaan perintah mendirikan SHALAT yang kita dirikan? Secara sepintas tidak ada hubungan antara ALLAH SWT dekat dengan diri kita dengan SHALAT yang akan dirikan. Akan tetapi secara hakekat bahwa jika kita mampu menempatkan dan meletakkan bahwa ALLAH SWT itu dekat dengan diri kita saat diri kita mendirikan SHALAT berarti jalan untuk memperoleh penilaian yang baik atas SHALAT yang kita dirikan sudah kita lakukan. Dan jika hal ini mampu kita lalui maka kemungkinan diri kita melaksanakan SHALAT tingkat yang ke lima dapat kita raih, atau SHALAT yang khusyu' dapat kita rasakan sehingga dapat menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT. Apa maksudnya?


Seperti telah kita ketahui bersama bahwa SHALAT itu adalah berkomunikasi dengan ALLAH SWT, SHALAT itu adalah menghadap kepada ALLAH SWT, SHALAT itu adalah berdoa kepada ALLAH SWT. Sekarang bagaimana mungkin kita akan berkomunikasi dengan baik jika yang akan kita ajak berkomunikasi, dalam hal ini ALLAH SWT, kita tidak tahu dimana keberadaannya? Bagaimana mungkin kita akan bisa menghadapkan Ruhani dan Amanah 7 dengan Pemilik dari Ruhani dan Amanah 7, dalam hal ini ALLAH SWT, jika kita tidak tahu dimana keberadaannya? Bagaimana mungkin akan berdoa dengan baik kepada ALLAH SWT jika kita tidak tahu ALLAH SWT ada dimana? Sekarang setelah kita tahu bahwa keberadaan  ALLAH SWT, sudah ada di depan kita, sudah ada di belakang kita, sudah ada di sebelah kanan kita, sudah ada di sebelah kiri kita, sehingga kita sudah tidak bisa terpisahkan dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT, atau kita sudah berada di dalam Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT. 


Sudahkah kita mampu menempatkan dan meletakkan kedekatan ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita saat berkomunikasi dengan ALLAH SWT di waktu mendirikan SHALAT? Sudahkah kita mampu menempatkan dan meletakkan kedekatan  ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita saat menghadap ALLAH SWT di waktu mendirikan SHALAT? Sudahkah kita mampu menempatkan dan meletakkan kedekatan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita saat berdoa kepada ALLAH SWT di waktu mendirikan SHALAT? Jika kita telah mampu menempatkan dan meletakkan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita berarti tata cara, atau perilaku diri kita saat berkomunikasi, saat menghadap, saat berdoa harus sesuai dengan dekatnya diri kita kepada ALLAH SWT. Apa maksudnya? Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kita tidak bisa mensejajarkan diri dengan ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka kita tidak bisa seenaknya saja berkomunikasi dengan ALLAH SWT, kita tidak bisa seenaknya saja menghadap ALLAH SWT, kita tidak bisa seenaknya saja berdoa kepada ALLAH SWT. Disinilah letak pentingnya adab dan sopan santun atau pemenuhan syarat protokoler yang sesuai dengan Kebesaran dan Kemahaan  ALLAH SWT saat diri kita mendirikan SHALAT.


Jika ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita sampai kapanpun juga, lalu harus seperti apa kita berkomunikasi dengan ALLAH SWT? Jika ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita lalu harus seperti apa kita menghadap ALLAH SWT? Jika ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita lalu harus seperti apakah kita berdoa kepada ALLAH SWT? Selanjutnya lakukan komunikasi dengan ALLAH SWT yang mencerminkan kedekatan diri kita dengan ALLAH SWT, atau hadapkan Ruhani dan Amanah 7 yang mencerminkan kedekatan diri kita dengan ALLAH SWT, atau berdoalah kepada ALLAH SWT yang mencerminkan kedekatan diri kita dengan ALLAH SWT. Berikut ini akan kami kemukakan hal-hal yang harus kita lakukan setelah diri kita mendeklarasikan diri menjadi orang yang ri jutnya dengan aarkan diri kita untuk bertemu dengan Yang Maha Terhormatibadah yang kita lakukan maka Niat yang Ikhlas yang dekat ALLAH SWT saat mendirikan SHALAT, yaitu :


A.  Saat Takbiratul Ihram


"ALLAAHU AKBAR" adalah ucapan Takbiratul Ihram yang di iringi mengangkat tangan, saat diri kita memulai mendirikan SHALAT. Sekarang jika ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita dan kitapun sudah pula menjadi orang dekat ALLAH SWT, timbul pertanyaan yang mendasar, bagaimanakah caranya agar pernyataan bahwa ALLAH SWT itu Maha Besar yang kita ucapkan saat memulai mendirikan SHALAT yang mencerminkan bahwa ALLAH SWT itu sudah dekat dan kitapun sudah dekat dengan ALLAH SWT? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, tahu siapa ALLAH SWT dan tahu siapa diri kita sebenarnya maka kita harus memiliki adab, atau sopan santun yang sesuai dengan pernyataan diri kita saat memberikan pernyataan bahwa ALLAH SWT itu Maha Besar.

Timbul pertanyaan, apakah ucapan "ALLAAHU AKBAR" yang kita ucapkan saat Takbiratul Ihram itu, sekedar dibaca saja tanpa melibatkan af’idah (perasaan) ataukah diucapkan dengan melibatkan af’idah (perasaan) kepada ALLAH SWT? Apa maksudnya? Membaca dan Mengucapkan dengan perasaan adalah dua buah kondisi  yang sangat berbeda yang akhirnya akan berdampak yang berbeda pula. Semua orang bisa membaca apapun yang tertulis, akan tetapi tidak semua orang bisa mengucapkan apa yang dibaca dengan penuh perasaan.

Jika yang kami kemukakan di atas adalah persyaratan untuk menyatakan bahwa ALLAH SWT Maha Besar maka saat diri kita mengucapkan kata "ALLAAHU AKBAR" kita harus pula mengatakan kata "ALLAAHU AKBAR" dengan tuma'ninah, tidak dengan suara yang keras karena ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita serta dengan penuh perasaan. Jika ini yang kita lakukan kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita maka akan timbul sebuah perasaan yang mendalam tentang ALLAH SWT yang sudah ada dihadapan diri kita. Adanya perasaan yang mendalam kepada ALLAH SWT akan memudahkan diri kita untuk menuju SHALAT yang Khusyu, memudahkan diri kita berkomunikasi dengan ALLAH SWT' serta memudahkan diri kita untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT.
  

Sekarang bagaimana jika saat diri kita menyatakan ALLAH SWT Maha Besar sebatas membaca tanpa melibatkan af’idah (perasaan) apa yang kita rasakan? Jika hal ini  yang kita lakukan saat mengucapkan kata "ALLAAHU AKBAR" maka yang ada hanyalah ucapan hambar tanpa makna  yang mendalam kepada ALLAH SWT yang keberadaannya sudah dekat dengan diri kita. Adanya kondisi ini maka akan memudahkan bagi Syaitan untuk menggoda diri kita saat mendirikan SHALAT yang pada akhirnya akan menjauhkan diri kita dari SHALAT yang Khusyu' dikarenakan kita sudah menganggap ALLAH SWT biasa-biasa saja. Sebagai KHALIFAH di muka bumi, yang membutuhkan SHALAT sudahkah diri kita mengucapkan kata "ALLAAHU AKBAR dengan dengan melibatkan af’idah (perasaan) saat mendirikan SHALAT? Setelah membaca buku ini kami berharap, kita semua mampu mempergunakan af’idah (perasaan) di waktu mendirikan SHALAT sehingga kita mampu mengatakan bahwa ALLAH SWT itu Maha Besar, dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi apapun.   


Selain daripada itu, ada satu hal yang harus pula kita perhatikan yaitu saat diri kita melaksanakan Takbiratul Ihram, yaitu sadarkah kita bahwa saat diri kita melaksanakan Takbiratul Ihram kita sudah mengaku kalah dengan ALLAH SWT, atau kita sudah mengakui bahwa ALLAH SWT adalah segala-galanya. Apa maksudnya? Dengan diri kita mengangkat tangan saat Takbiratul Ihram berarti pada saat itu kita sudah mengaku kalah, atau sudah menyerah kepada ALLAH SWT dikarenakan setelah kita mengangkat tangan kita katakan ALLAH SWT Maha Besar. Adanya kondisi ini seharusnya setelah diri kita mendirikan SHALAT maka kita tidak boleh lagi berlaku sombong di muka bumi yang tidak pernah kita ciptakan, atau kita harus melaksanakan apa yang telah kita akui (maksudnya diri kita adalah pecundang, sedangkan ALLAH SWT adalah segala-galanya). Sekarang sudahkah pengakuan yang kita lakukan tercermin di dalam tingkah laku kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi ini?  


B.  Saat Membaca Doa Iftitah

Doa Iftitah merupakan bacaan SHALAT yang kedua setelah diri kita mengucapkan kata "ALLAAHU AKBAR". Selanjutnya apakah Doa Iftitah itu? Doa Iftitah jika kita perhatikan secara seksama isinya merupakan pengagungan diri kita kepada ALLAH SWT. Sekarang bagaimanakah caranya pengagungan kepada ALLAH SWT yang kita kemukakan saat diri kita mendirikan SHALAT sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita? Suatu pengagungan tidak akan bisa dikemukakan sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita jika kita sendiri tidak tahu cara untuk mengemukakan apa yang kita agungkan. Selanjutnya jika yang akan kita agungkan, sudah berada sangat-sangat dekat dengan diri kita maka cara yang paling sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita harus membaca doa iftitah dengan melibatkan af’idah (perasaan) yang memang sudah kita miliki.


Wajjahtu wajhiya lilladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wama ana minal musyrikin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabiil ‘aalamiin. Laa syariika lahuu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimin. dst
Aku hadapkan wajahku ke hadapan Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan menyerahkan diri. Dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah penguasa alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya, oleh karena itu aku diperintah dan aku termasuk dari golongan orang-orang yang berserah diri. Ya Allah,Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah berbuat aniaya terhadap diiriku dan aku mengakui kesalahanku, oleh karena itu ampunilah seluruh dosaku. Dan tidak ada yang dapat mengampuni segala dosa kecuali hanyalah Engkau. Dan tunjukilah aku kepada akhlak yang terpuji. Tak ada yang dapat menuntun kepada akhlak yang terpuji itu selain Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang tercela. Tidak ada seorang pun yang dapat menjauhkan aku dari akhlak yang tercela kecuali engkau semata. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan aku patuhi perintah-Mu. Dan kebaikan itu seluruhnya berada di tangan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak dapat dipergunakan untuk menghampirkan diri kepada-Mu. Aku hanya dapat hidup dengan-Mu, dan akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi. Aku mohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.
(HR Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud dari Ali bin Abi Thalib)



 Adanya af’idah atau perasaan saat membaca doa iftitah maka bacaan yang kita baca dapat dipastikan akan tuma’ninah dengan tartil dan tajwid yang benar sehingga akan merasuk ke dalam hati ruhani kita. Hal yang berbeda jika kita membaca doa iftitah hanya sebatas dibaca tanpa ada af’idah, bacaan akan terasa hambar, atau sebatas ucapan di bibir semata.  Sedangkan apa bila kita membaca doa iftitah dengan melibatkan af’idah (perasaan) maka apa  yang kita ucapkan bukanlah sesuatu yang tidak ada nilainya, melainkan sudah kita mengerti, sudah kita pahami, dan sudah pula kita yakini bahwa ALLAH SWT adalah segala-galanya. Sebagai KHALIFAH yang sangat-sangat membutuhkan SHALAT seperti membutuhkan mandi, maka kita wajib membaca Doa Iftitah dengan melibatkan af’idah (perasaan) saat mendirikan SHALAT.   


C.  Saat membaca Al Faatihah


Sekarang bagaimana dengan surat Al Faatihah yang kita baca minimal 17(tujuh belas) kali sehari semalam saat diri kita mendirikan SHALAT lima waktu, apakah surat Al Faatihah ini kita baca sebatas membaca tanpa melibatkan perasaan ataukah dibaca dengan melibatkan af’idah (perasaan)?  Surat Al Faatihah adalah induknya Al-Qur'an (Ummul Qur'an) dan jika Al Faatihah itu induknya Al-Qur'an berarti makna dan kandungan dari  Al Faatihah dapat dipastikan begitu mendalam. Jika ini adalah kondisi dasar dari Al Faatihah yang kita baca saat mendirikan SHALAT, maka sudah sepantasnya dan sepatutnya diri kita membaca surat Al Faatihah dengan penuh perasaan. Hal ini  dikarenakan hanya dengan cara inilah cara yang terbaik bagi kita bisa memaknai dan merasakan makna yang terdalam dari  surat Al Faatihah.


dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
segala puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
yang menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
hanya Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta pertolongan[7].
Tunjukilah[8] Kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
(surat Al Faatihah (1) ayat 1-7)

[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang diberikan-Nya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah). 'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan, benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah, sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat: memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.




 Hal ini disebabkan untuk mengatakan sebuah kebesaran yang terkandung di dalam surat Al Faatihah tidak bisa kita lakukan jika kita tidak memiliki Ilmu dan Pengetahuan tentang ALLAH SWT. Selanjutnya dengan adanya kondisi ini berarti ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita tidak dapat kita tempatkan sesuai dengan kondisi dan keadaannya yang sudah dekat jika Kalam-Nya berupa surat Al Faatihah dibaca sebatas bacaan semata tanpa diiringi dengan perasaan. Hal ini dikarenakan sesuatu yang sudah dekat dengan diri kita akan lebih sesuai jika Kalam-Nya dikatakan langsung kepada ALLAH SWT dengan  penuh perasaaan..


Di lain sisi surat Al Faatihah adalah firman ALLAH SWT atau kata-kata ALLAH SWT yang kita katakana kembali kepada ALLAH SWT. Kemudian kita mengatakan kata-kata ALLAH SWT tersebut kepada ALLAH SWT  dengan penuh perasaan.  Jika kita mampu membaca surat Al Faatihah dengan dengan penuh perasaaan atau dengan cara yang  baik dan benar berarti pada saat itu diri kita mengatakan kembali Kalam ALLAH SWT yang telah dikalamkan kepada pemilik Kalam itu sendiri. Akan terbayang bahwa diri kita kecil dan ALLAH SWT Maha Besar karena pada saat itu kita telah mengakui segala Kebesaran dan Kemahaan  ALLAH SWT dan juga karena kita telah memohon sesuatu kepada ALLAH SWT dengan cara yang baik dan benar pula.


Berikutnya, apakah surat Al Faatihah hanya sekedar Ummul Qur'an semata tanpa memiliki karakteristik lainnya yang menunjukkan surat Al Faatihah berbeda dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang lainnya? Berdasarkan hadits qudsi yang kami kemukakan bawah ini, surat Al Faatihah masih memiliki karakteristik lainnya yang harus kita ketahui yaitu di dalam surat Al Faatihah yang kita katakan saat mendirikan SHALAT sebanyak 17(tujuh belas ) kali sehari semalam terdapat dialog antara diri kita dengan ALLAH SWT. Apa buktinya? 


Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Aku telah membagi Shalat menjadi dua bagian diantara Aku dan hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang ia minta. Bila ia mengucapkan "Alhamdulillahi Rabbil Alamin", berfirman Allah: Hamba-Ku telah mensyukuri-Ku dan bila mengucapkan "Arrahmani Rahiem" berfirmanlah Allah: Hamba-ku yang telah memuji-Ku dan bila ia mengucapkan "Maliki yau middin" berfirman Allah: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Bila ia mengucapkan "Iyyaka na'budu dan Iyyakanasta'in" berfirmanlah Allah: "Inilah persoalan antara Aku dan Hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang ia minta" Dan mengucapkan "Ihdinash shiratal mustaqiem dan seterusnya" berfirman Allah: Inilah melulu untuk hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang ia minta.
(HQR Ahmad, Abu Dawud, Atthirmidzi, Annasa'ie, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah; 272:115)

Ubay bin Ka'b ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Hai anak Adam, Aku telah menurunkan tujuh ayat : tiga diantaranya untuk-Ku, dan tiga untukmu dan satu antara Aku dengan engkau. Adapun yang untuk-Ku, yaitu: Alhamdu lillahi rabbil alamien. Arrahmaniirrahiem, Maliki yaumiddin (segala puja dan puji bagi Allah, Tuhan yang memelihara alam semesta, Maha Pemurah lagi Pengasih, Yang memiliki hari pembalasan). Adapun yang diantara-Ku denganmu, yaitu: Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mulah aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku minta tolong). Adapun yang melulu untukmu, yaitu: Ihdinasshiratal mustaqiem, Shiratalladzina an'amta alaihim ghairil magh-dhubi alaihim waladh dhaalliin (pimpinlah kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau anugerahi nikmat kepada mereka bukan jalan mereka yang dimurki, dan bukan jalan mereka yang sesat).
(HQR Atthabarani di dalam mu'jam al-aushath; 272-1)

Berdasarkan 2(dua) buah hadits yang kami kemukakan di atas, terjadi dialog antara diri kita dengan ALLAH SWT, hal ini terlihat sangat jelas pada saat diri kita mengucapkan "Alhamdulillahi Rabbil Alamin", maka berfirman Allah: Hamba-Ku telah mensyukuri-Ku.Sedangkan jika kita mengucapkan "Arrahmani Rahiem" maka berfirman Allah: Hamba-ku yang telah memuji-Ku dan bila diri kita mengucapkan "Maliki yau middin" berfirman Allah: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku, demikian seterusnya.


Sekarang dapatkah dialog antara diri kita dengan ALLAH SWT terjalin selayaknya komunikasi dua arah jika saat diri kita membaca surat Al Faatihah yang kita katakana kembali kepada ALLAH SWT tanpa ada perasaan sedikitpun sehingga tartil dan tajwid serta tuma’ninah yang seharusnya terjadi justru kita langgar? Apabila diri kita Tahu Diri bahwa kita tidak akan mungkin sejajar dengan ALLAH SWT maka sudah sepatutnya dan seharusnya kita merendahkan diri dihadapan ALLAH SWT sehingga surat Al Faatihah yang kita baca harus dengan perasaan yang mendalam.


Selanjutnya sebagai KHALIFAH di muka bumi, sudahkah kita mampu membaca Surat Al Faatihah dengan penuh perasaaan  kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita? Jika kita tidak mampu mengatakan surat  Al Faatihah dengan penuh perasaan seperti apa yang kami kemukakan di atas, maka sia-sialah kesempatan bagi diri kita untuk berdialog dengan ALLAH SWT, sia-sia pula kesempatan kita  mengajukan doa kepada ALLAH SWT melalui surat Al Faatihah. Sehingga momentum saat membaca surat Al Faatihah yang kita kemukakan kepada ALLAH SWT terbuaang begitu saja, berlalu tanpa kesan akibat dari diri kita tidak tahu, tidak paham, tidak mengerti apa yang kita kemukakan kepada ALLAH SWT saat mendirikan shalat.
  





D.  Saat membaca Surat/Ayat Al-Qur'an setelah membaca surat Al Faatihah.


Setelah diri kita mengatakan  surat Al Faatihah dengan penuh perasaan  kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita lalu kita mengatakan pula surat Al Ikhlas (112) ayat 1-2-3-4 dengan penuh perasaan pula kepada ALLAH SWT, selanjutnya apa yang terjadi? Jika hal ini telah kita lakukan berarti diri kita telah mengakui secara totalitas dengan kondisi menyerah (ingat kita telah mengangkat tangan saat Takbiratul Ihram) bahwa ALLAH SWT adalah satu-satunya Tuhan yang ada di alam semesta ini, atau ALLAH SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang setelah diri kita menyerah kalah kepada ALLAH SWT lalu apakah kondisi ini tercermin di dalam tingkah laku dan perbuatan kita saat menjadi perpanjangan tangan ALLAH SWT di muka bumi? Jika kita telah mengakui bahwa ALLAH SWT adalah satu-satunya Tuhan di alam semesta ini maka setiap apapun yang kita lakukan pasti diperhatikan dan diketahui oleh ALLAH SWT, lalu jika terjadi permasalahan yang kita hadapi maka hanya kepada ALLAH SWT sajalah kita adukan semua permasalahan yang kita hadapi.


Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
(surat Al Ikhlas (112) ayat 1-4)


Selanjutnya dapatkah pernyataan diri kita tentang ALLAH SWT melalui surat Al Ikhlas diterima oleh ALLAH SWT jika kita melakukannya tanpa membaca atau tanpa ada kesan di dalam diri? Sebuah pengakuan, atau sebuah pernyataan sikap belum dapat dikatakan sebagai sebuah pengakuan, atau sebuah pernyataan sikap jika kita melakukannya hanya sebatas di bibir saja, atau hanya sebatas di baca saja. Hal ini dikarenakan sebuah pengakuan, atau sebuah pernyataan sikap tidak bisa begitu saja dinyatakan, akan tetapi harus didukung dengan ilmu serta tercermin dalam perbuatan diri kita yang merupakan manifestasi dari apa yang kita akui, atau yang kita nyatakan tersebut. Sekarang sudahkah kita buktikan itu semua saat menjadi KHALIFAH di muka bumi sehingga kita mampu menempatkan dan meletakkan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT baik sebelum dan sesudah SHALAT?

E.   Saat Rukuk dan juga saat Sujud

Sekarang kita melaksanakan Rukuk dan juga melaksanakan sujud  maka pada saat itu kita mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta “Ampunilah Aku” kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita. Adanya kondisi ini berarti pada saat diri kita rukuk, atau sujud, atau setelah mendirikan SHALAT kita telah mengakui bahwa ALLAH SWT adalah Maha Suci, lalu kita lanjutkan  memohon kepada Yang Maha Suci untuk mengampuni diri kita dari segala dosa dan kesalahan. Sekarang bagaimana mungkin permohonan diri kita untuk diampuni oleh ALLAH SWT bisa dikabulkan, jika ALLAH SWT Yang Maha Suci kita hadapi dengan kondisi diri kita yang Masih Kotor, atau kita belum sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT? Jawaban dari pertanyaan ini adalah Sepanjang antara diri kita dengan ALLAH SWT tidak terjadi kesesuaian maka sepanjang itu pula apa yang kita nyatakan dan apa yang kita mohonkan kepada kepada ALLAH SWT, maka sia-sialah usaha yang kita lakukan. 


Subhaanakallaahummaa rabbana wa bihamdika allahummaghfirli
Maha Suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan memujimu Ya Allah, aku mohon ampunilah aku.
(HR Bukhari, Muslim dari Aisyah)


Selanjutnya agar diri kita berada di dalam koridor ALLAH SWT Yang Maha Suci maka kita harus pula mensucikan diri kita melalui proses Thaharah. Timbul pertanyaan, yang manakah yang harus disucikan melalui proses Thaharah, apakah Jasmani saja ataukah Ruhani saja atau kedua-duanya? Yang harus kita sucikan tidak hanya Jasmani saja akan tetapi Ruhani juga harus selalu disucikan dari pengaruh syirik dan musyrik, dari pengaruh ahwa dan juga pengaruh syaitan. Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tentu kita harus melaksanakan Thaharah dengan sebaik mungkin dikarenakan Thaharah merupakan salah satu sarana yang dapat kita lakukan untuk menyesuaikan diri kita dengan Dzat Yang Maha Suci serta menjaga kesucian merupakan salah satu syarat sahnya SHALAT yang kita dirikan.


Selain daripada itu, mari kita perhatikan keadaan, atau posisi diri kita saat melaksanakan sujud. Pada saat diri kita melaksanakan sujud, akan terlihat dengan jelas posisi kepala kita kondisinya lebih rendah dibandingkan dengan bokong, atau posisi bokong lebih tinggi dibandingkan kepala, namun posisi kepala sejajar dengan kaki. Apa artinya ini semua? Kepala letaknya di atas, sebagai sesuatu yang terletak paling atas, kepala dapat menjadi sebuah cerminan bagi diri seseorang, baik yang buruk ataupun yang baik. Hal ini dikarenakan kepala dapat melahirkan kesombongan dan keangkuhan seseorang kepada orang lain, atau cerminan kesombongan dan keangkuhan seseorang. Dilain sisi melalui kepala, seseorang dapat dinilai kebaikannya, seseorang dapat dinilai kehormatannya, seseorang dapat diberikan penghargaan karena kepalanya. Selanjutnya bagaimana dengan kaki? Kaki dapat berarti cerminan dari sesuatu yang sangat rendah, atau suatu penilaian yang negatif karena rendah, atau lemahnya seseorang. Sekarang apa hubungan posisi sujud yang kita lakukan saat mendirikan SHALAT dengan ini semua? Jika kita melaksanakan sujud sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT berarti pada saat itu segala bentuk kesombongan, segala bentuk keangkuhan, segala bentuk penghargaan, segala bentuk kehormatan, segala bentuk kebaikan, segala bentuk penghargaan, yang ada pada diri kita, telah kita buang, telah kita hilangkan melalui sejajarnya kepala dengan kaki serta melalui tingginya bokong dibandingkan kepala (padahal aslinya kepala adanya di atas sedangkan kaki dan bokong adanya di bawah). Adanya kondisi ini berarti kita telah mengakui kesucian ALLAH SWT dengan kesunggugan hati dan juga mengakui bahwa diri kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan ALLAH SWT, atau diri kita ini hina, kotor, dibandingkan dengan ALLAH SWT.


Sekarang apa jadinya setelah diri kita mendirikan SHALAT, atau setelah kepala kita sejajarkan dengan kaki, atau setelah bokong lebih tinggi dari posisi kepala, namun sifat sombong, sifat angkuh, gila hormat, gila penghargaan, masih tetap utuh dalam diri kita, atau kita malah berani menantang ALLAH SWT? Jika ini yang terjadi pada diri kita setelah mendirikan SHALAT berarti Sujud yang kita lakukan hanyalah pura-pura sujud, atau kita tidak mampu melaksanakan sujud yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT dan ingat inilah yang paling dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah. 

F.  Saat I’tidal

Saat diri kita melaksanakan I’tidal maka pada saat itu kita menyatakan dengan sadar bahwa ALLAH SWT adalah Maha Mendegar. Dan jika hal ini sudah kita lakukan berarti apa yang kita nyatakan (maksudnya menyatakan ALLAH SWT Maha Mendengar) harus tercermin di dalam setiap perbuatan, atau tindak-tanduk kita di dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk dari manifestasi pernyataan diri kita saat melakukan I’tidal.


Sami’ allaahu liman hamidah
Rabbana walakal hamdu mil-us samaawaati wa mil-ul ardhi wa-mil-u maa syi’ta min syai-im ba’du
Allah mendengar orang yang memuji-Nya.
Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh apa-apa yang Engkau sukai.
(HR Muslim dari Ibnu Abi Aufa)

Sekarang sudahkah diri kita menyadari bahwa apa yang kita perbuat, apa yang kita ucapkan, apa yang kita keluhkan,  semuanya pasti dapat didengar oleh ALLAH SWT dengan jelas? Jika kita termasuk orang yang memiliki Ilmu tentang ALLAH SWT adalah Yang Maha Mendengar maka kita tidak bisa sembarangan di dalam mempergunakan, di dalam mendayagunakn fungsi pendengaran yang kita miliki, atau kita tidak bisa asal-asalan mengucapkan sesuatu kepada orang lain. Hal ini dikarenakan apa yang kita lakukan akan diminta pertanggung jawabannya oleh ALLAH SWT.


G. Saat Duduk di antara dua Sujud


Saat diri kita duduk di antara dua sujud maka pada saat itu kita memohon kepada ALLAH SWT, atau pada saat itu kita diberikan kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kesempatan yang diberikan oleh ALLAH SWT ini kita manfaatkan dengan sebaik mungkin?

Allahummaghfirlii warhamnii wajburnii wahdini warzuqnii
Ya, Allah ampunilah aku, kasihanilah aku, cukupilah aku, tunjukilah aku dan berilah aku rezeki.
(HR Tirmidzi dari Ibnu Abbas)


Sebagai bukti kita memanfaatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT maka apa yang kita sampaikan kepada ALLAH SWT harus dengan penuh perasaan. Sekarang apakah sudah seperti ini kita mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT? ntuk mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT maka apa yang ucapkan haruslah memperg./kan permohonan kepada ALLAH SWT. Sekarang sudahkah kesempatan yang diSebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT maka sudah seharusnya kita membaca bacaan duduk di antara dua sujud dengan penuh perasaan dikarenakan memang sudah seharusnya itu yang kita lakukan. Sekarang coba anda renungkan sendiri, sebuah doa yang kita ajukan kepada ALLAH SWT yang sudah begitu dekat lalu kita ajukan tanpa perasaan lalu  apa yang anda rasakan? Jawaban dari pertanyaan ini pasti sangat berbeda jika doa yang kita ajukan kepada ALLAH SWT dengan penuh perasaan. Selanjutnya jika kita merasa sangat membutuhkan pertolongan, bantuan  ALLAH SWT maka tidak ada jalan kecuali mengajukan permohonan doa sesuai dengan keberadaan ALLAH SWT yang sudah sangat dekat dengan diri kita, yaitu dengan tuma’ninah, tartil dan tajwid yang benar serta disampaikan dengan penuh perasaan.


H. Saat Tasyahud Awal atau Tasyahud Akhir


Saat diri kita melakukan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir maka pada saat itu kita telah mengakui bahwa segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan juga kita telah mengucapkan Syahadat dengan mengakui Tiada Tuhan Selain ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT. Apa buktinya? Lihat dan perhatikanlah bacaan Tasyahud awal dan Tasyahud akhir di bawah ini.

Attahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Asslaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullaahi wa barakaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘alaa ibaadillaahish shaalihiin. Asy aadu allaa ilaaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abdu wa rasuuluh
Segala kehormatan, kebahagiaan, dan kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan bagi engkau, wahai Nabi Muhammad, beserta rahmat dan keberkahan Allah. Mudah-mudahan keselamatan juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang shaleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan-Nya.
(HR Jama’ah dari Ibnu Mas’ud)


Selain daripada itu, pada saat diri kita membaca bacaan Tasyahud Awal dan Tasyahud Akhir dengan penuh perasaaan  maka pada saat itu kita juga kita mengucapkan Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan penuh perasaan pula. Hal ini seperti yang kami kemukakan di bawah ini.


Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ‘alaa ibraahiima wa aali ibrahiim, wa baarik ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa baarakta ‘alaa ibraahiimawa aali ibraahiim, innaka hamiidum majiid.
Ya, Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah limpahkan kepada Ibrahim dan keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia.
(HR Muslim, Ahmad, dan Imam Syafi’I dari Ka’b bin Ujrah)


Alangkah naifnya, alangkah janggalnya, jika diri kita membaca bacaan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud  Akhir tanpa perasaan sedikitpun karena hal ini tidak sesuai dengan isi dari pernyataan yang kita lakukan. Dan jika ini yang kita laksanakan saat melaksanakan Tasyahud Awal, atau Tasyahud Akhir berarti pada saat itu Nilai Pernyataan kita tentang segala kehormatan, segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT serta Kualitas Syahadat yang kita laksanakan hanyalah sekadar ucapan di bibir semata dikarenakan Pernyataan dan Syahadat yang kita laksanakan tidak didasarkan dengan Ilmu tentang ALLAH SWT. Untuk itu, jika kita berkepentingan dengan Pernyataan dan Syahadat yang kita laksanakan, maka tidak jalan lain bagi diri kita untuk melaksanakan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir dengan mempergunakan dan melibatkan perasaan yang penuh  karena hanya cara inilah pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT dan juga kepada Nabi Muhammad SAW dapat sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT.

I. Saat Salam


Salam merupakan penutup dari rangkaian SHALAT yang kita dirikan. Adanya salam yang kita lakukan di akhir SHALAT yang kita dirikan berarti kita sangat mengharapkan keselamatan, rahmat dan barakah dari ALLAH SWT agar selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada, selama hayat di kandung badan.


Assalaamu ‘alaikum warahma tullaahi-wabarakaatuh
Keselamatan, rahmat Allah, dan barakah-Nya semoga tetap menyertai kamu sekalian.
(HR Abu Daud dari Wail bin Hujr, dan Muslim dari Sa’d)


Jika ini adalah harapan dari kita di setiap menyelesaikan perintah mendirikan SHALAT berarti pada saat itu kita tidak bisa hanya sekedarnya mengucapkan salam kepada ALLAH SWT. Akan tetapi kita harus mengucapkan salam dengan sepenuh hati dengan penuh perasaan  dikarenakan ALLAH SWT sudah berada di hadapan kita. Sekali lagi ucapkan salam dengan sepenuh hati kepada  ALLAH SWT karena ALLAH SWT sudah bersama diri kita dan ingat bahwa ALLAH SWT pasti menjawab salam kita.


Jangan pernah berpikir atau merasa  salam yang kita ucapkan pada setiap akhir shalat yang kita dirikan, tidak dijawab oleh ALLAH SWT. ALLAH SWT pasti akan memberikan jawaban atas salam yang kita yang kita ucapkan selama salam yang kita ucapkan dengan penuh perasaan, dengan tuma'ninah, dengan tartil dan tajwid yang benar Untuk itu jangan pernah melakukan salam di akhir shalat dengan terburu-buru. Jangan pernah melakukan salam di akhir salam tanpa perasaan. Semakin baik kita mengucapkan salam kepada ALLAH SWT akan terasa sesuatu yang merasuk di dalam hati ruhani kita.


Hamba ALLAH SWT, bacaan di dalam SHALAT isinya adalah Kalam ALLAH SWT, atau Kata-kata ALLAH SWT yang kita katakan kembali kepada ALLAH SWT yang sebagian besar berisi pengakuan kepada ALLAH SWT dan sebagian kecil merupakan doa yang kita mohonkan kepada ALLAH SWT (Doa terdapat pada sebahagian surat  Al Faatihah serta terdapat di dalam bacaan duduk di antara dua sujud). Selanjutnya jika ini adalah kondisi dari bacaan yang ada pada SHALAT yang kita dirikan berarti kondisi ini baru akan dapat sesuai dengan kondisi ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita jika kita membaca bacaan tersebut dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah, dengan tartil dan tajwid yang benar kepada ALLAH SWT. Dikarenakan antara diri kita dengan ALLAH SWT sudah sangat dekat sehingga kita tidak bisa sedikitpun terlepas dari kekuasaan ALLAH SWT. Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT sudahkah diri kita membaca bacaan SHALAT  dengan  penuh perasaan, dengan tuma’ninah, dengan tartil dan tajwid yang benar di setiap SHALAT yang kita dirikan, apakah itu SHALAT Wajib ataupun SHALAT Sunnah? Harapan kami, semoga kita mampu melaksanakan apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT selaku pemberi perintah mendirikan SHALAT.

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar