4. Posisikan diri kita sudah
bersama kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT
Hal
yang terpenting dan teramat penting agar SHALAT yang kita dirikan sesuai dengan
apa yang dikehendaki oleh pemberi perintah SHALAT, maka kita harus dapat
memenuhi apa yang dikemukakan di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 186 dan
ketentuan Hadits yang kami kemukakan di bawah ini. Apakah ketentuan itu? ALLAH SWT sudah menyatakan bahwa ALLAH SWT
sudah dekat dengan diri kita, sehingga ALLAH SWT sudah ada di depan kita, ALLAH
SWT sudah ada dibelakang kita, ALLAH SWT sudah ada di kanan kita dan juga ALLAH
SWT sudah ada di kiri kita sehingga kita sudah tidak bisa dilepaskan dari
kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT. Selanjutnya jika ini yang terjadi
pada diri kita, lalu bagaimanakah kita bersikap dengan kondisi ini?
dan apabila
hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku
adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon
kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan
hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 186)
Jika kondisi ini telah dikemukakan
oleh ALLAH SWT kepada diri kita maka
sudahkah diri kita mendekatkan diri kepada ALLAH SWT sehingga diri kita menjadi
orang yang paling dekat dengan ALLAH SWT?
Tsauban ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Nabi Musa berdoa : Ya Rabbi,
dekatkah engkau untuk saya bercakap-cakap atau jauhkah untuk saya panggil? Saya
merasakan dan mendengarkan suara-Mu yang merdu, namun tidak dapat melihat-Mu
dimanakah Engkau? Allah berfirman: Aku berada di belakangmu, di depanmu,
disebelah kananmu, dan disebelah krimu". Wahai Musa, Aku teman hamba-Ku
diwaktu ia menyebut nam-Ku dan Aku bersama dia bila dia berdoa kepada-Ku.
(HQR
Addailami:272-254)
Sebagai
bahan perbandingan, lihat dan perhatikanlah apa yang terjadi dalam kehidupan
sehari-hari. Katakan kita menjadi orang dekat pejabat tertentu, maka sebagai
orang dekat pejabat akan terjadi suatu keadaan di mana diri kita akan dihormati
orang, akan dimudahkan urusannya saat mengurus sesuatu. Jika ini yang di alami
oleh orang dekat pejabat tertentu, sekarang bagaimana jika kita menjadi orang
dekat dengan Pencipta, Pemilik langit dan bumi, apakah keadaan yang dialami
dalam kehidupan sehari-hari terjadi pula pada diri kita setelah dekat dengan
ALLAH SWT? Jika menjadi orang dekat pejabat saja bisa mendatangkan manfaat
kepada diri kita, maka jika kita menjadi orang dekat ALLAH SWT pasti banyak
manfaatnya kepada diri kita.
Sekarang apa yang akan di dapatkan
oleh orang yang sudah dekat dengan ALLAH SWT? Sebagai orang dekat dengan ALLAH
SWT maka ALLAH SWT akan memperhatikan diri kita, ALLAH SWT akan menolong diri
kita, ALLAH SWT akan melindungi diri kita dari bahaya, ancaman, penyakit serta
gangguan syaitan. Jika ini adalah keadaan dari orang yang dekat
dengan ALLAH SWT, selanjutnya bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah diri
kita menjadi orang yang dekat dengan
ALLAH SWT, atau butuhkah diri kita mendekat dan berdekatan dengan
pencipta dan pemilik langit dan bumi saat menjadi KHALIFAH di muka bumi?
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman:
Wahai Anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku Ingat kepadamu dan bila
engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Jika engkau taat kepada-Ku
pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau
dan engkau berkawan dengan da-Ku. Engkau berpaling daripada-Ku padahal aku
menghadap kepadamu, Siapakah yang memberimu makan dikala engkau masih di dalam
perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah
kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau
berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah
berbuat kebaikan kepadamu?.
(HQR Abu Nasher Rabi'ah bin Ali Al Ajli dan Arrafi'ie;
272:182)
Selanjutnya
jika ALLAH SWT sudah menyatakan bahwa Kebesaran dan Kemahaan-Nya sudah dekat
dengan diri kita, timbul pertanyaan sampai kapan ALLAH SWT akan dekat kepada
diri kita? Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan di atas, ALLAH SWT akan
tetap dekat kepada diri kita walaupun diri kita tidak mau dekat dengan ALLAH
SWT. Jika sudah begini keadaan ALLAH SWT kepada diri kita berarti jauh, atau
dekatnya ALLAH SWT sangat tergantung sejauh mana kita mau mendekatkan diri
untuk menjadi orang dekat ALLAH SWT, atau sejauh mana kita meninggalkan ALLAH
SWT. Sekarang akan sia-sialah jika
ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita jika kita sendiri malah menjauh
dengan kedekatan ALLAH SWT.
Sekarang
ada pertanyaan baru, berapakah jarak antara diri kita yang telah menjadi orang
dekat dengan ALLAH SWT dengan ALLAH SWT
itu sendiri? ALLAH SWT
dengan diri kita akan berjarak sangat jauh jika dilihat dari keberadaan Dzat
ALLAH SWT yang bertahta di Arsy. Namun antara diri kita dengan sinyal, dengan
gelombang Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT tidak berjarak sama sekali
dikarenakan diri kita sudah berada di dalam sinyal dan gelombang Kebesaran dan
Kemahaan ALLAH SWT, seperti halnya Handphone yang sudah berada di dalam sinyal
Operator Selular. Sekarang setelah diri kita menjadi orang dekat
dengan ALLAH SWT, lalu diri kita mengalami cobaan, mengalami gangguan,
mengalami problem saat menjadi KHALIFAH di muka bumi, timbul pertanyaan kepada siapakah kita harus
meminta pertolongan, apakah kepada ALLAH SWT, ataukah kepada Ustad, Kyai atau
kepada Orang Pintar?
Jawaban
dari pertanyaan ini sangat tergantung kepada persepsi orang yang mengalami
problem kepada ALLAH SWT. Jika orang tersebut mempersepsikan bahwa ALLAH SWT
jauh, atau berjarak dengan dirinya maka ia akan meminta pertolongan kepada
Ustad, Kyai atau kepada orang pintar. Dan jika ini yang kita lakukan maka
tunggulah balasan dari ALLAH SWT karena kita telah melecehkan ALLAH SWT yang
sudah dekat dengan diri kita (maksudnya ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita
tetapi kepada yang jauh kita meminta pertolongan maka yang dekat pasti
tersinggung). Selanjutnya jika kita termasuk orang yang selalu
mempersepsikan bahwa ALLAH SWT itu dekat dengan diri kita maka kepada yang
dekatlah, atau kepada yang sudah tidak berjaraklah kita memohon pertolongan,
kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi apapun.
Berikutnya, apa hubungannya ALLAH
SWT yang sudah dekat dengan diri kita dengan pelaksanaan perintah mendirikan SHALAT
yang kita dirikan? Secara sepintas tidak ada hubungan antara ALLAH SWT
dekat dengan diri kita dengan SHALAT yang akan dirikan. Akan tetapi secara
hakekat bahwa jika kita mampu menempatkan dan meletakkan bahwa ALLAH SWT itu
dekat dengan diri kita saat diri kita mendirikan SHALAT berarti jalan untuk
memperoleh penilaian yang baik atas SHALAT yang kita dirikan sudah kita
lakukan. Dan jika hal ini mampu kita lalui maka kemungkinan diri kita
melaksanakan SHALAT tingkat yang ke lima dapat kita raih, atau SHALAT yang
khusyu' dapat kita rasakan sehingga dapat menghantarkan diri kita merasakan
nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT. Apa maksudnya?
Seperti
telah kita ketahui bersama bahwa SHALAT itu adalah berkomunikasi dengan ALLAH
SWT, SHALAT itu adalah menghadap kepada ALLAH SWT, SHALAT itu adalah berdoa
kepada ALLAH SWT. Sekarang
bagaimana mungkin kita akan berkomunikasi dengan baik jika yang akan kita ajak
berkomunikasi, dalam hal ini ALLAH SWT, kita tidak tahu dimana keberadaannya?
Bagaimana mungkin kita akan bisa menghadapkan Ruhani dan Amanah 7 dengan
Pemilik dari Ruhani dan Amanah 7, dalam hal ini ALLAH SWT, jika kita tidak tahu
dimana keberadaannya? Bagaimana mungkin akan berdoa dengan baik kepada ALLAH
SWT jika kita tidak tahu ALLAH SWT ada dimana? Sekarang
setelah kita tahu bahwa keberadaan ALLAH
SWT, sudah ada di depan kita, sudah ada di belakang kita, sudah ada di sebelah
kanan kita, sudah ada di sebelah kiri kita, sehingga kita sudah tidak bisa
terpisahkan dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT, atau kita sudah berada di
dalam Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT.
Sudahkah kita mampu
menempatkan dan meletakkan kedekatan ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita
saat berkomunikasi dengan ALLAH SWT di waktu mendirikan SHALAT? Sudahkah kita
mampu menempatkan dan meletakkan kedekatan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita
saat menghadap ALLAH SWT di waktu mendirikan SHALAT? Sudahkah kita mampu
menempatkan dan meletakkan kedekatan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri
kita saat berdoa kepada ALLAH SWT di waktu mendirikan SHALAT? Jika kita
telah mampu menempatkan dan meletakkan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri
kita berarti tata cara, atau perilaku diri kita saat berkomunikasi, saat
menghadap, saat berdoa harus sesuai dengan dekatnya diri kita kepada ALLAH SWT.
Apa maksudnya? Seperti telah kita ketahui bersama bahwa kita tidak bisa
mensejajarkan diri dengan ALLAH SWT. Adanya kondisi ini maka kita tidak bisa
seenaknya saja berkomunikasi dengan ALLAH SWT, kita tidak bisa seenaknya saja
menghadap ALLAH SWT, kita tidak bisa seenaknya saja berdoa kepada ALLAH SWT.
Disinilah letak pentingnya adab dan sopan santun atau pemenuhan syarat
protokoler yang sesuai dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT saat diri kita mendirikan SHALAT.
Jika
ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita sampai kapanpun juga, lalu harus seperti
apa kita berkomunikasi dengan ALLAH SWT? Jika ALLAH SWT sudah dekat dengan diri
kita lalu harus seperti apa kita menghadap ALLAH SWT? Jika ALLAH SWT sudah
dekat dengan diri kita lalu harus seperti apakah kita berdoa kepada ALLAH SWT? Selanjutnya lakukan komunikasi dengan ALLAH
SWT yang mencerminkan kedekatan diri kita dengan ALLAH SWT, atau hadapkan
Ruhani dan Amanah 7 yang mencerminkan kedekatan diri kita dengan ALLAH SWT,
atau berdoalah kepada ALLAH SWT yang mencerminkan kedekatan diri kita dengan
ALLAH SWT. Berikut ini akan kami kemukakan hal-hal yang harus
kita lakukan setelah diri kita mendeklarasikan diri menjadi orang yang dekat ALLAH SWT saat mendirikan SHALAT, yaitu :
A. Saat Takbiratul Ihram
"ALLAAHU AKBAR" adalah ucapan Takbiratul
Ihram yang di iringi mengangkat tangan, saat diri kita memulai mendirikan
SHALAT. Sekarang jika ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita dan kitapun sudah
pula menjadi orang dekat ALLAH SWT, timbul pertanyaan yang mendasar, bagaimanakah caranya agar pernyataan bahwa
ALLAH SWT itu Maha Besar yang kita ucapkan saat memulai mendirikan SHALAT yang
mencerminkan bahwa ALLAH SWT itu sudah dekat dan kitapun sudah dekat dengan
ALLAH SWT? Jika kita termasuk orang yang telah tahu diri, tahu siapa ALLAH SWT dan
tahu siapa diri kita sebenarnya maka kita harus memiliki adab, atau sopan
santun yang sesuai dengan pernyataan diri kita saat memberikan pernyataan bahwa
ALLAH SWT itu Maha Besar.
Timbul
pertanyaan, apakah ucapan "ALLAAHU AKBAR" yang kita ucapkan saat
Takbiratul Ihram itu, sekedar dibaca saja tanpa melibatkan af’idah (perasaan) ataukah
diucapkan dengan melibatkan af’idah (perasaan) kepada ALLAH SWT? Apa maksudnya?
Membaca dan Mengucapkan dengan perasaan adalah dua buah kondisi yang sangat berbeda yang akhirnya akan
berdampak yang berbeda pula. Semua
orang bisa membaca apapun yang tertulis, akan tetapi tidak semua orang bisa
mengucapkan apa yang dibaca dengan penuh perasaan.
Jika yang kami kemukakan di atas
adalah persyaratan untuk menyatakan bahwa ALLAH SWT Maha Besar maka saat diri
kita mengucapkan kata "ALLAAHU AKBAR" kita harus pula mengatakan kata
"ALLAAHU AKBAR" dengan tuma'ninah, tidak dengan suara yang keras
karena ALLAH SWT sudah dekat dengan diri kita serta dengan penuh perasaan. Jika ini
yang kita lakukan kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita maka akan
timbul sebuah perasaan yang mendalam tentang ALLAH SWT yang sudah ada dihadapan
diri kita. Adanya perasaan yang mendalam kepada ALLAH SWT akan memudahkan diri
kita untuk menuju SHALAT yang Khusyu, memudahkan diri kita berkomunikasi dengan
ALLAH SWT' serta memudahkan diri kita untuk merasakan nikmatnya bertuhankan
kepada ALLAH SWT.
Sekarang
bagaimana jika saat diri kita menyatakan ALLAH SWT Maha Besar sebatas membaca
tanpa melibatkan af’idah (perasaan) apa yang kita rasakan? Jika hal ini yang kita lakukan saat mengucapkan kata
"ALLAAHU AKBAR" maka yang ada hanyalah ucapan hambar tanpa makna yang mendalam kepada ALLAH SWT yang
keberadaannya sudah dekat dengan diri kita. Adanya kondisi ini maka akan
memudahkan bagi Syaitan untuk menggoda diri kita saat mendirikan SHALAT yang
pada akhirnya akan menjauhkan diri kita dari SHALAT yang Khusyu' dikarenakan kita
sudah menganggap ALLAH SWT biasa-biasa saja. Sebagai KHALIFAH di muka
bumi, yang membutuhkan SHALAT sudahkah diri kita mengucapkan kata "ALLAAHU
AKBAR dengan dengan melibatkan af’idah (perasaan) saat mendirikan SHALAT? Setelah membaca buku ini kami berharap, kita
semua mampu mempergunakan af’idah (perasaan) di waktu mendirikan SHALAT
sehingga kita mampu mengatakan bahwa ALLAH SWT itu Maha Besar, dimanapun,
kapanpun, dan dalam kondisi apapun.
Selain
daripada itu, ada satu hal yang harus pula kita perhatikan yaitu saat diri kita
melaksanakan Takbiratul Ihram, yaitu sadarkah kita bahwa saat diri kita
melaksanakan Takbiratul Ihram kita sudah mengaku kalah dengan ALLAH SWT, atau
kita sudah mengakui bahwa ALLAH SWT adalah segala-galanya. Apa maksudnya? Dengan diri kita mengangkat tangan saat
Takbiratul Ihram berarti pada saat itu kita sudah mengaku kalah, atau sudah
menyerah kepada ALLAH SWT dikarenakan setelah kita mengangkat tangan kita
katakan ALLAH SWT Maha Besar. Adanya kondisi ini seharusnya setelah diri kita
mendirikan SHALAT maka kita tidak boleh lagi berlaku sombong di muka bumi yang
tidak pernah kita ciptakan, atau kita harus melaksanakan apa yang telah kita
akui (maksudnya diri kita adalah pecundang, sedangkan ALLAH SWT adalah
segala-galanya). Sekarang sudahkah pengakuan yang kita lakukan
tercermin di dalam tingkah laku kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi
ini?
B. Saat Membaca Doa Iftitah
Doa
Iftitah merupakan bacaan SHALAT yang kedua setelah diri kita mengucapkan kata
"ALLAAHU AKBAR". Selanjutnya apakah Doa Iftitah itu? Doa Iftitah jika
kita perhatikan secara seksama isinya merupakan pengagungan diri kita kepada
ALLAH SWT. Sekarang bagaimanakah caranya pengagungan kepada ALLAH SWT yang kita
kemukakan saat diri kita mendirikan SHALAT sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang
sudah dekat dengan diri kita? Suatu
pengagungan tidak akan bisa dikemukakan sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang
sudah dekat dengan diri kita jika kita sendiri tidak tahu cara untuk
mengemukakan apa yang kita agungkan. Selanjutnya
jika yang akan kita agungkan, sudah berada sangat-sangat dekat dengan diri kita
maka cara yang paling sesuai dengan keadaan ALLAH SWT yang sudah dekat dengan
diri kita harus membaca doa iftitah dengan melibatkan af’idah (perasaan) yang
memang sudah kita miliki.
Wajjahtu wajhiya
lilladzi fatharas samaawaati wal ardha haniifam muslimaw wama ana minal
musyrikin. Inna shalaatii wa nusukii wa mahyaaya wa mamaatii lillaahi rabiil
‘aalamiin. Laa syariika lahuu wa bidzaalika umirtu wa ana minal muslimin. dst
Aku hadapkan wajahku ke
hadapan Tuhan yang telah menciptakan langit dan bumi dengan tunduk dan
menyerahkan diri. Dan aku bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah penguasa
alam semesta. Tiada sekutu bagi-Nya, oleh karena itu aku diperintah dan aku
termasuk dari golongan orang-orang yang berserah diri. Ya Allah,Engkau adalah
Tuhanku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah berbuat aniaya terhadap diiriku dan
aku mengakui kesalahanku, oleh karena itu ampunilah seluruh dosaku. Dan tidak
ada yang dapat mengampuni segala dosa kecuali hanyalah Engkau. Dan tunjukilah
aku kepada akhlak yang terpuji. Tak ada yang dapat menuntun kepada akhlak yang
terpuji itu selain Engkau. Dan jauhkanlah aku dari akhlak yang tercela. Tidak
ada seorang pun yang dapat menjauhkan aku dari akhlak yang tercela kecuali
engkau semata. Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah, dan aku patuhi perintah-Mu.
Dan kebaikan itu seluruhnya berada di tangan-Mu, sedangkan kejahatan itu tidak
dapat dipergunakan untuk menghampirkan diri kepada-Mu. Aku hanya dapat hidup
dengan-Mu, dan akan kembali kepada-Mu. Maha Berkah Engkau dan Maha Tinggi. Aku
mohon ampunan-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.
(HR Ahmad, Muslim, Tirmidzi dan Abu
Daud dari Ali bin Abi Thalib)
Adanya
af’idah atau perasaan saat membaca doa iftitah maka bacaan yang kita baca dapat
dipastikan akan tuma’ninah dengan tartil dan tajwid yang benar sehingga akan
merasuk ke dalam hati ruhani kita. Hal yang berbeda jika kita membaca doa
iftitah hanya sebatas dibaca tanpa ada af’idah, bacaan akan terasa hambar, atau
sebatas ucapan di bibir semata. Sedangkan apa bila kita membaca doa iftitah
dengan melibatkan af’idah (perasaan) maka apa yang kita ucapkan bukanlah sesuatu yang tidak
ada nilainya, melainkan sudah kita mengerti, sudah kita pahami, dan sudah pula
kita yakini bahwa ALLAH SWT adalah segala-galanya. Sebagai KHALIFAH yang
sangat-sangat membutuhkan SHALAT seperti membutuhkan mandi, maka kita wajib
membaca Doa Iftitah dengan melibatkan af’idah (perasaan) saat mendirikan
SHALAT.
C. Saat membaca Al Faatihah
Sekarang bagaimana dengan surat Al Faatihah yang
kita baca minimal 17(tujuh belas) kali sehari semalam saat diri kita mendirikan
SHALAT lima waktu, apakah surat Al Faatihah ini kita baca sebatas membaca tanpa
melibatkan perasaan ataukah dibaca dengan melibatkan af’idah (perasaan)? Surat Al Faatihah adalah induknya
Al-Qur'an (Ummul Qur'an) dan jika Al Faatihah itu induknya Al-Qur'an berarti
makna dan kandungan dari Al Faatihah
dapat dipastikan begitu mendalam. Jika ini adalah kondisi dasar dari Al
Faatihah yang kita baca saat mendirikan SHALAT, maka sudah sepantasnya dan
sepatutnya diri kita membaca surat Al Faatihah dengan penuh perasaan. Hal ini dikarenakan hanya dengan cara inilah cara yang
terbaik bagi kita bisa memaknai dan merasakan makna yang terdalam dari surat Al Faatihah.
dengan
menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang[1].
segala
puji[2] bagi Allah, Tuhan semesta alam[3].
Maha Pemurah
lagi Maha Penyayang.
yang
menguasai[4] di hari Pembalasan[5].
hanya
Engkaulah yang Kami sembah[6], dan hanya kepada Engkaulah Kami meminta
pertolongan[7].
Tunjukilah[8]
Kami jalan yang lurus,
(yaitu) jalan
orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka
yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.[9]
(surat Al Faatihah
(1) ayat 1-7)
[1] Maksudnya: saya memulai membaca al-Fatihah ini
dengan menyebut nama Allah. Setiap pekerjaan yang baik, hendaknya dimulai
dengan menyebut asma Allah, seperti makan, minum, menyembelih hewan dan
sebagainya. Allah ialah nama zat yang Maha Suci, yang berhak disembah dengan
sebenar-benarnya, yang tidak membutuhkan makhluk-Nya, tapi makhluk yang
membutuhkan-Nya. Ar Rahmaan (Maha Pemurah): salah satu nama Allah yang memberi
pengertian bahwa Allah melimpahkan karunia-Nya kepada makhluk-Nya, sedang Ar
Rahiim (Maha Penyayang) memberi pengertian bahwa Allah Senantiasa bersifat
rahmah yang menyebabkan Dia selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada makhluk-Nya.
[2] Alhamdu (segala puji). memuji orang adalah
karena perbuatannya yang baik yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri. Maka
memuji Allah berrati: menyanjung-Nya karena perbuatannya yang baik. lain halnya
dengan syukur yang berarti: mengakui keutamaan seseorang terhadap nikmat yang
diberikan-Nya. kita menghadapkan segala puji bagi Allah ialah karena Allah
sumber dari segala kebaikan yang patut dipuji.
[3] Rabb (tuhan) berarti: Tuhan yang ditaati yang
Memiliki, mendidik dan Memelihara. Lafal Rabb tidak dapat dipakai selain untuk
Tuhan, kecuali kalau ada sambungannya, seperti rabbul bait (tuan rumah).
'Alamiin (semesta alam): semua yang diciptakan Tuhan yang terdiri dari berbagai
jenis dan macam, seperti: alam manusia, alam hewan, alam tumbuh-tumbuhan,
benda-benda mati dan sebagainya. Allah Pencipta semua alam-alam itu.
[4] Maalik (yang menguasai) dengan memanjangkan
mim,ia berarti: pemilik. dapat pula dibaca dengan Malik (dengan memendekkan
mim), artinya: Raja.
[5] Yaumiddin (hari Pembalasan): hari yang diwaktu
itu masing-masing manusia menerima pembalasan amalannya yang baik maupun yang
buruk. Yaumiddin disebut juga yaumulqiyaamah, yaumulhisaab, yaumuljazaa' dan
sebagainya.
[6] Na'budu diambil dari kata 'ibaadat: kepatuhan
dan ketundukkan yang ditimbulkan oleh perasaan terhadap kebesaran Allah,
sebagai Tuhan yang disembah, karena berkeyakinan bahwa Allah mempunyai
kekuasaan yang mutlak terhadapnya.
[7] Nasta'iin (minta pertolongan), terambil dari
kata isti'aanah: mengharapkan bantuan untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan
yang tidak sanggup dikerjakan dengan tenaga sendiri.
[8] Ihdina (tunjukilah kami), dari kata hidayaat:
memberi petunjuk ke suatu jalan yang benar. yang dimaksud dengan ayat ini bukan
sekedar memberi hidayah saja, tetapi juga memberi taufik.
[9] Yang dimaksud dengan mereka yang dimurkai dan
mereka yang sesat ialah semua golongan yang menyimpang dari ajaran Islam.
Hal ini
disebabkan untuk mengatakan sebuah kebesaran yang terkandung di dalam surat Al
Faatihah tidak bisa kita lakukan jika kita tidak memiliki Ilmu dan Pengetahuan
tentang ALLAH SWT. Selanjutnya
dengan adanya kondisi ini berarti ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita
tidak dapat kita tempatkan sesuai dengan kondisi dan keadaannya yang sudah
dekat jika Kalam-Nya berupa surat Al Faatihah dibaca sebatas bacaan semata
tanpa diiringi dengan perasaan. Hal ini dikarenakan sesuatu yang
sudah dekat dengan diri kita akan lebih sesuai jika Kalam-Nya dikatakan
langsung kepada ALLAH SWT dengan penuh
perasaaan..
Di
lain sisi surat Al Faatihah adalah firman ALLAH SWT atau kata-kata ALLAH SWT
yang kita katakana kembali kepada ALLAH SWT. Kemudian kita mengatakan kata-kata
ALLAH SWT tersebut kepada ALLAH SWT
dengan penuh perasaan. Jika kita
mampu membaca surat Al Faatihah dengan dengan penuh perasaaan atau dengan cara
yang baik dan benar berarti pada saat
itu diri kita mengatakan kembali Kalam ALLAH SWT yang telah dikalamkan kepada
pemilik Kalam itu sendiri. Akan terbayang bahwa diri kita kecil dan ALLAH SWT
Maha Besar karena pada saat itu kita telah mengakui segala Kebesaran dan
Kemahaan ALLAH SWT dan juga karena kita
telah memohon sesuatu kepada ALLAH SWT dengan cara yang baik dan benar pula.
Berikutnya, apakah surat Al
Faatihah hanya sekedar Ummul Qur'an semata tanpa memiliki karakteristik lainnya
yang menunjukkan surat Al Faatihah berbeda dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang
lainnya? Berdasarkan hadits qudsi yang kami kemukakan bawah ini, surat Al
Faatihah masih memiliki karakteristik lainnya yang harus kita ketahui yaitu di
dalam surat Al Faatihah yang kita katakan saat mendirikan SHALAT sebanyak
17(tujuh belas ) kali sehari semalam terdapat dialog antara diri kita dengan
ALLAH SWT. Apa buktinya?
Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Aku telah membagi Shalat menjadi dua bagian diantara Aku dan
hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang ia minta. Bila ia mengucapkan
"Alhamdulillahi Rabbil Alamin", berfirman Allah: Hamba-Ku telah
mensyukuri-Ku dan bila mengucapkan "Arrahmani Rahiem" berfirmanlah
Allah: Hamba-ku yang telah memuji-Ku dan bila ia mengucapkan "Maliki yau
middin" berfirman Allah: Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku. Bila ia
mengucapkan "Iyyaka na'budu dan Iyyakanasta'in" berfirmanlah Allah:
"Inilah persoalan antara Aku dan Hamba-Ku dan Aku beri hamba-Ku apa yang
ia minta" Dan mengucapkan "Ihdinash shiratal mustaqiem dan
seterusnya" berfirman Allah: Inilah melulu untuk hamba-Ku dan Aku beri
hamba-Ku apa yang ia minta.
(HQR
Ahmad, Abu Dawud, Atthirmidzi, Annasa'ie, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah; 272:115)
Ubay bin Ka'b
ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Hai anak Adam, Aku
telah menurunkan tujuh ayat : tiga diantaranya untuk-Ku, dan tiga untukmu dan
satu antara Aku dengan engkau. Adapun yang untuk-Ku, yaitu: Alhamdu lillahi
rabbil alamien. Arrahmaniirrahiem, Maliki yaumiddin (segala puja dan puji bagi
Allah, Tuhan yang memelihara alam semesta, Maha Pemurah lagi Pengasih, Yang
memiliki hari pembalasan). Adapun yang diantara-Ku denganmu, yaitu: Iyyaka
na'budu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mulah aku menyembah dan hanya
kepada-Mu aku minta tolong). Adapun yang melulu untukmu, yaitu: Ihdinasshiratal
mustaqiem, Shiratalladzina an'amta alaihim ghairil magh-dhubi alaihim waladh
dhaalliin (pimpinlah kami ke jalan yang lurus, jalan orang-orang yang Engkau
anugerahi nikmat kepada mereka bukan jalan mereka yang dimurki, dan bukan jalan
mereka yang sesat).
(HQR Atthabarani di dalam mu'jam
al-aushath; 272-1)
Berdasarkan
2(dua) buah hadits yang kami kemukakan di atas, terjadi dialog antara diri kita
dengan ALLAH SWT, hal ini terlihat sangat jelas pada saat diri kita mengucapkan "Alhamdulillahi Rabbil
Alamin", maka berfirman Allah: Hamba-Ku telah mensyukuri-Ku.Sedangkan jika kita mengucapkan "Arrahmani
Rahiem" maka berfirman Allah: Hamba-ku yang telah memuji-Ku dan bila diri
kita mengucapkan "Maliki yau middin" berfirman Allah: Hamba-Ku telah
mengagungkan-Ku, demikian seterusnya.
Sekarang
dapatkah dialog antara diri kita dengan ALLAH SWT terjalin selayaknya
komunikasi dua arah jika saat diri kita membaca surat Al Faatihah yang kita
katakana kembali kepada ALLAH SWT tanpa ada perasaan sedikitpun sehingga tartil
dan tajwid serta tuma’ninah yang seharusnya terjadi justru kita langgar? Apabila diri kita Tahu Diri bahwa
kita tidak akan mungkin sejajar dengan ALLAH SWT maka sudah sepatutnya dan
seharusnya kita merendahkan diri dihadapan ALLAH SWT sehingga surat Al Faatihah
yang kita baca harus dengan perasaan yang mendalam.
Selanjutnya
sebagai KHALIFAH di muka bumi, sudahkah kita mampu membaca Surat Al Faatihah
dengan penuh perasaaan kepada ALLAH SWT
yang sudah dekat dengan diri kita? Jika kita tidak mampu mengatakan surat Al Faatihah dengan penuh perasaan seperti apa
yang kami kemukakan di atas, maka sia-sialah kesempatan bagi diri kita untuk
berdialog dengan ALLAH SWT, sia-sia pula kesempatan kita mengajukan doa kepada ALLAH SWT melalui surat
Al Faatihah. Sehingga momentum saat membaca surat Al Faatihah yang kita
kemukakan kepada ALLAH SWT terbuaang begitu saja, berlalu tanpa kesan akibat
dari diri kita tidak tahu, tidak paham, tidak mengerti apa yang kita kemukakan
kepada ALLAH SWT saat mendirikan shalat.
D. Saat membaca Surat/Ayat Al-Qur'an setelah membaca surat
Al Faatihah.
Setelah diri kita
mengatakan surat Al Faatihah dengan penuh
perasaan kepada ALLAH SWT yang sudah
dekat dengan diri kita lalu kita mengatakan pula surat Al Ikhlas (112) ayat
1-2-3-4 dengan penuh perasaan pula kepada ALLAH SWT, selanjutnya apa yang
terjadi? Jika hal ini telah kita lakukan
berarti diri kita telah mengakui secara totalitas dengan kondisi menyerah
(ingat kita telah mengangkat tangan saat Takbiratul Ihram) bahwa ALLAH SWT
adalah satu-satunya Tuhan yang ada di alam semesta ini, atau ALLAH SWT adalah
Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang
setelah diri kita menyerah kalah kepada ALLAH SWT lalu apakah kondisi ini
tercermin di dalam tingkah laku dan perbuatan kita saat menjadi perpanjangan
tangan ALLAH SWT di muka bumi? Jika kita telah mengakui bahwa ALLAH SWT
adalah satu-satunya Tuhan di alam semesta ini maka setiap apapun yang kita
lakukan pasti diperhatikan dan diketahui oleh ALLAH SWT, lalu jika terjadi
permasalahan yang kita hadapi maka hanya kepada ALLAH SWT sajalah kita adukan
semua permasalahan yang kita hadapi.
Katakanlah:
"Dia-lah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan
yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan
tidak pula diperanakkan,
dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia."
(surat Al Ikhlas (112) ayat 1-4)
Selanjutnya dapatkah pernyataan diri kita tentang
ALLAH SWT melalui surat Al Ikhlas diterima oleh ALLAH SWT jika kita
melakukannya tanpa membaca atau tanpa ada kesan di dalam diri? Sebuah pengakuan, atau sebuah pernyataan sikap belum dapat dikatakan
sebagai sebuah pengakuan, atau sebuah pernyataan sikap jika kita melakukannya
hanya sebatas di bibir saja, atau hanya sebatas di baca saja. Hal ini
dikarenakan sebuah pengakuan, atau sebuah pernyataan sikap tidak bisa begitu
saja dinyatakan, akan tetapi harus didukung dengan ilmu serta tercermin dalam
perbuatan diri kita yang merupakan manifestasi dari apa yang kita akui, atau
yang kita nyatakan tersebut. Sekarang sudahkah kita buktikan itu semua saat menjadi
KHALIFAH di muka bumi sehingga kita mampu menempatkan dan meletakkan Kebesaran
dan Kemahaan ALLAH SWT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT baik sebelum dan
sesudah SHALAT?
E.
Saat
Rukuk dan juga saat Sujud
Sekarang kita
melaksanakan Rukuk dan juga melaksanakan sujud
maka pada saat itu kita mengatakan “Maha Suci Engkau Ya ALLAH” serta
“Ampunilah Aku” kepada ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri kita. Adanya
kondisi ini berarti pada saat diri kita rukuk, atau sujud, atau setelah
mendirikan SHALAT kita telah mengakui bahwa ALLAH SWT adalah Maha Suci, lalu
kita lanjutkan memohon kepada Yang Maha
Suci untuk mengampuni diri kita dari segala dosa dan kesalahan. Sekarang bagaimana mungkin permohonan diri
kita untuk diampuni oleh ALLAH SWT bisa dikabulkan, jika ALLAH SWT Yang Maha
Suci kita hadapi dengan kondisi diri kita yang Masih Kotor, atau kita belum
sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT? Jawaban dari pertanyaan ini adalah
Sepanjang antara diri kita dengan
ALLAH SWT tidak terjadi kesesuaian maka sepanjang itu pula apa yang kita
nyatakan dan apa yang kita mohonkan kepada kepada ALLAH SWT, maka sia-sialah
usaha yang kita lakukan.
Subhaanakallaahummaa rabbana wa
bihamdika allahummaghfirli
Maha
Suci Engkau ya Allah Tuhan kami, dan dengan memujimu Ya Allah, aku mohon ampunilah
aku.
(HR Bukhari, Muslim dari Aisyah)
Selanjutnya agar diri
kita berada di dalam koridor ALLAH SWT Yang Maha Suci maka kita harus pula
mensucikan diri kita melalui proses Thaharah. Timbul pertanyaan, yang manakah
yang harus disucikan melalui proses Thaharah, apakah Jasmani saja ataukah Ruhani
saja atau kedua-duanya? Yang harus
kita sucikan tidak hanya Jasmani saja akan tetapi Ruhani juga harus selalu
disucikan dari pengaruh syirik dan musyrik, dari pengaruh ahwa dan juga
pengaruh syaitan. Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT tentu
kita harus melaksanakan Thaharah dengan sebaik mungkin dikarenakan Thaharah
merupakan salah satu sarana yang dapat kita lakukan untuk menyesuaikan diri
kita dengan Dzat Yang Maha Suci serta menjaga kesucian merupakan salah satu
syarat sahnya SHALAT yang kita dirikan.
Selain daripada itu, mari
kita perhatikan keadaan, atau posisi diri kita saat melaksanakan sujud. Pada
saat diri kita melaksanakan sujud, akan terlihat dengan jelas posisi kepala
kita kondisinya lebih rendah dibandingkan dengan bokong, atau posisi bokong
lebih tinggi dibandingkan kepala, namun posisi kepala sejajar dengan kaki. Apa
artinya ini semua? Kepala letaknya di atas, sebagai sesuatu yang terletak
paling atas, kepala dapat menjadi sebuah cerminan bagi diri seseorang, baik
yang buruk ataupun yang baik. Hal ini dikarenakan kepala dapat melahirkan
kesombongan dan keangkuhan seseorang kepada orang lain, atau cerminan
kesombongan dan keangkuhan seseorang. Dilain sisi melalui kepala, seseorang
dapat dinilai kebaikannya, seseorang dapat dinilai kehormatannya, seseorang
dapat diberikan penghargaan karena kepalanya. Selanjutnya bagaimana dengan
kaki? Kaki dapat berarti cerminan dari sesuatu yang sangat rendah, atau suatu
penilaian yang negatif karena rendah, atau lemahnya seseorang. Sekarang apa
hubungan posisi sujud yang kita lakukan saat mendirikan SHALAT dengan ini
semua? Jika kita melaksanakan sujud
sesuai dengan kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT berarti pada saat itu
segala bentuk kesombongan, segala bentuk keangkuhan, segala bentuk penghargaan,
segala bentuk kehormatan, segala bentuk kebaikan, segala bentuk penghargaan,
yang ada pada diri kita, telah kita buang, telah kita hilangkan melalui
sejajarnya kepala dengan kaki serta melalui tingginya bokong dibandingkan
kepala (padahal aslinya kepala adanya di atas sedangkan kaki dan bokong adanya
di bawah). Adanya kondisi ini berarti kita telah mengakui kesucian
ALLAH SWT dengan kesunggugan hati dan juga mengakui bahwa diri kita tidak ada
apa-apanya dibandingkan dengan ALLAH SWT, atau diri kita ini hina, kotor,
dibandingkan dengan ALLAH SWT.
Sekarang apa jadinya
setelah diri kita mendirikan SHALAT, atau setelah kepala kita sejajarkan dengan
kaki, atau setelah bokong lebih tinggi dari posisi kepala, namun sifat sombong,
sifat angkuh, gila hormat, gila penghargaan, masih tetap utuh dalam diri kita,
atau kita malah berani menantang ALLAH SWT? Jika ini yang terjadi pada diri
kita setelah mendirikan SHALAT berarti Sujud yang kita lakukan hanyalah
pura-pura sujud, atau kita tidak mampu melaksanakan sujud yang sesuai dengan
kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT dan ingat inilah yang paling
dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.
F. Saat I’tidal
Saat diri kita melaksanakan
I’tidal maka pada saat itu kita menyatakan dengan sadar bahwa AL LAH SWT adalah Maha Mendegar. Dan jika hal
ini sudah kita lakukan berarti apa yang kita nyatakan (maksudnya menyatakan
ALLAH SWT Maha Mendengar) harus tercermin di dalam setiap perbuatan, atau
tindak-tanduk kita di dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk dari
manifestasi pernyataan diri kita saat melakukan I’tidal.
Sami’
allaahu liman hamidah
Rabbana
walakal hamdu mil-us samaawaati wa mil-ul ardhi wa-mil-u maa syi’ta min syai-im
ba’du
Allah mendengar orang yang memuji-Nya.
Ya Tuhan kami, bagi-Mu segala puji
sepenuh langit dan bumi, dan sepenuh apa-apa yang Engkau sukai.
(HR
Muslim dari Ibnu Abi Aufa)
Sekarang sudahkah diri kita
menyadari bahwa apa yang kita perbuat, apa yang kita ucapkan, apa yang kita
keluhkan, semuanya pasti dapat didengar
oleh AL LAH
SWT dengan jelas? Jika kita termasuk orang
yang memiliki Ilmu tentang ALLAH SWT adalah Yang Maha Mendengar maka kita tidak
bisa sembarangan di dalam mempergunakan, di dalam mendayagunakn fungsi
pendengaran yang kita miliki, atau kita tidak bisa asal-asalan mengucapkan
sesuatu kepada orang lain. Hal ini dikarenakan apa yang kita lakukan akan
diminta pertanggung jawabannya oleh ALLAH SWT.
G. Saat Duduk di
antara dua Sujud
Saat diri kita duduk di antara dua sujud maka pada
saat itu kita memohon kepada ALLAH SWT, atau pada saat itu kita diberikan
kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT. Sekarang sudahkah
kesempatan yang diberikan oleh AL LAH
SWT ini kita manfaatkan dengan sebaik mungkin?
Allahummaghfirlii
warhamnii wajburnii wahdini warzuqnii
Ya, Allah ampunilah aku, kasihanilah
aku, cukupilah aku, tunjukilah aku dan berilah aku rezeki.
(HR
Tirmidzi dari Ibnu Abbas)
Sebagai
bukti kita memanfaatkan kesempatan untuk mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT
maka apa yang kita sampaikan kepada ALLAH SWT harus dengan penuh perasaan. Sekarang
apakah sudah seperti ini kita mengajukan permohonan kepada ALLAH SWT? Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan
SHALAT maka sudah seharusnya kita membaca bacaan duduk di antara dua sujud
dengan penuh perasaan dikarenakan memang sudah seharusnya itu yang kita
lakukan. Sekarang coba anda
renungkan sendiri, sebuah doa yang kita ajukan kepada ALLAH SWT yang sudah
begitu dekat lalu kita ajukan tanpa perasaan lalu apa yang anda rasakan? Jawaban
dari pertanyaan ini pasti sangat berbeda jika doa yang kita ajukan kepada ALLAH
SWT dengan penuh perasaan. Selanjutnya jika kita merasa sangat membutuhkan
pertolongan, bantuan ALLAH SWT maka
tidak ada jalan kecuali mengajukan permohonan doa sesuai dengan keberadaan ALLAH SWT yang sudah sangat dekat dengan diri kita, yaitu
dengan tuma’ninah, tartil dan tajwid yang benar serta disampaikan dengan penuh
perasaan.
H.
Saat Tasyahud Awal atau Tasyahud Akhir
Saat diri kita melakukan Tasyahud Awal ataupun
Tasyahud Akhir maka pada saat itu kita telah mengakui bahwa segala kehormatan,
segala keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT dan
juga kita telah mengucapkan Syahadat dengan mengakui Tiada Tuhan Selain ALLAH
SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT. Apa buktinya? Lihat dan
perhatikanlah bacaan Tasyahud awal dan Tasyahud akhir di bawah ini.
Attahiyyaatu lillaah,
wash shalawaatu wath thayyibaat. Asslaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa
rahmatullaahi wa barakaatuh. Assalaamu ‘alaina wa ‘alaa ibaadillaahish
shaalihiin. Asy aadu allaa ilaaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadan ‘abdu
wa rasuuluh
Segala
kehormatan, kebahagiaan, dan kebaikan adalah milik Allah. Semoga keselamatan
bagi engkau, wahai Nabi Muhammad, beserta rahmat dan keberkahan Allah.
Mudah-mudahan keselamatan juga bagi kita sekalian dan hamba-hamba Allah yang
shaleh. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa
Muhammad itu utusan-Nya.
(HR Jama’ah dari Ibnu Mas’ud)
Selain daripada itu, pada saat diri kita membaca
bacaan Tasyahud Awal dan Tasyahud Akhir dengan penuh perasaaan maka pada saat itu kita juga kita mengucapkan
Shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dengan penuh perasaan pula. Hal ini seperti
yang kami kemukakan di bawah ini.
Allaahumma shalli ‘alaa muhammadin wa
‘alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ‘alaa ibraahiima wa aali ibrahiim, wa
baarik ‘alaa muhammadin wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa baarakta ‘alaa
ibraahiimawa aali ibraahiim, innaka hamiidum majiid.
Ya, Allah, limpahkanlah
shalawat kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah limpahkan
kepada Ibrahim dan keluarganya. Berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana
Engkau telah berkahi Ibrahim dan keluarganya, Sesungguhnya Engkau Maha Terpuji
lagi Maha Mulia.
(HR Muslim, Ahmad, dan Imam Syafi’I dari
Ka’b bin Ujrah)
Alangkah naifnya, alangkah
janggalnya, jika diri kita membaca bacaan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir tanpa perasaan sedikitpun karena hal
ini tidak sesuai dengan isi dari pernyataan yang kita lakukan. Dan jika
ini yang kita laksanakan saat melaksanakan Tasyahud Awal, atau Tasyahud Akhir
berarti pada saat itu Nilai Pernyataan kita tentang segala kehormatan, segala
keberkahan, segala kebahagiaan dan kebaikan hanya milik ALLAH SWT serta
Kualitas Syahadat yang kita laksanakan hanyalah sekadar ucapan di bibir semata
dikarenakan Pernyataan dan Syahadat yang kita laksanakan tidak didasarkan
dengan Ilmu tentang ALLAH SWT. Untuk itu, jika kita berkepentingan dengan
Pernyataan dan Syahadat yang kita laksanakan, maka tidak jalan lain bagi diri
kita untuk melaksanakan Tasyahud Awal ataupun Tasyahud Akhir dengan
mempergunakan dan melibatkan perasaan yang penuh karena hanya cara inilah pengakuan diri kita
kepada ALLAH SWT dan juga kepada Nabi Muhammad SAW dapat sesuai dengan apa yang
dikehendaki oleh pemberi perintah mendirikan SHALAT.
I. Saat
Salam
Salam merupakan penutup dari rangkaian SHALAT yang
kita dirikan. Ada nya salam yang kita lakukan di
akhir SHALAT yang kita dirikan berarti kita sangat mengharapkan keselamatan,
rahmat dan barakah dari AL LAH
SWT agar selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada, selama hayat di
kandung badan.
Assalaamu ‘alaikum warahma
tullaahi-wabarakaatuh
Keselamatan, rahmat Allah,
dan barakah-Nya semoga tetap menyertai kamu sekalian.
(HR Abu Daud dari Wail bin Hujr, dan
Muslim dari Sa’d)
Jika
ini adalah harapan dari kita di setiap menyelesaikan perintah mendirikan SHALAT
berarti pada saat itu kita tidak bisa hanya sekedarnya mengucapkan salam kepada
ALLAH SWT. Akan tetapi kita harus mengucapkan salam dengan sepenuh hati dengan
penuh perasaan dikarenakan ALLAH SWT
sudah berada di hadapan kita. Sekali lagi ucapkan salam dengan sepenuh hati
kepada ALLAH SWT karena ALLAH SWT sudah
bersama diri kita dan ingat bahwa ALLAH SWT pasti menjawab salam kita.
Jangan
pernah berpikir atau merasa salam yang
kita ucapkan pada setiap akhir shalat yang kita dirikan, tidak dijawab oleh
ALLAH SWT. ALLAH SWT pasti akan memberikan jawaban atas salam yang kita yang
kita ucapkan selama salam yang kita ucapkan dengan penuh perasaan, dengan tuma'ninah, dengan tartil dan tajwid yang benar Untuk itu
jangan pernah melakukan salam di akhir shalat dengan terburu-buru. Jangan
pernah melakukan salam di akhir salam tanpa perasaan. Semakin baik kita mengucapkan
salam kepada ALLAH SWT akan terasa sesuatu yang merasuk di dalam hati ruhani kita.
Hamba
ALLAH SWT, bacaan di dalam SHALAT isinya adalah Kalam ALLAH SWT, atau Kata-kata
ALLAH SWT yang kita katakan kembali kepada ALLAH SWT yang sebagian
besar berisi pengakuan kepada ALLAH SWT dan sebagian kecil merupakan doa yang
kita mohonkan kepada ALLAH SWT (Doa terdapat pada sebahagian
surat Al Faatihah serta terdapat di
dalam bacaan duduk di antara dua sujud). Selanjutnya jika ini adalah
kondisi dari bacaan yang ada pada SHALAT yang kita dirikan berarti kondisi ini
baru akan dapat sesuai dengan kondisi ALLAH SWT yang sudah dekat dengan diri
kita jika kita membaca bacaan tersebut dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah,
dengan tartil dan tajwid yang benar kepada ALLAH SWT. Dikarenakan antara diri
kita dengan ALLAH SWT sudah sangat dekat sehingga kita tidak bisa sedikitpun
terlepas dari kekuasaan ALLAH SWT. Sebagai KHALIFAH yang membutuhkan SHALAT
sudahkah diri kita membaca bacaan SHALAT dengan penuh perasaan, dengan tuma’ninah, dengan
tartil dan tajwid yang benar di setiap SHALAT yang kita dirikan, apakah itu
SHALAT Wajib ataupun SHALAT Sunnah? Harapan kami, semoga kita mampu
melaksanakan apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT selaku pemberi perintah
mendirikan SHALAT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar