Menurut sejarah, ibadah haji mulai diwajibkan kepada umat Islam pada
tahun ke 6 sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Walaupun demikian,
sebenarnya ajakan dan pelaksanaan haji sudah berlangsung sejak zaman Nabi
Ibrahim as, yang mendapat perintah Allah SWT agar ia bersama anaknya Ismail
membangun Baitullah (Ka’bah) dan agar ia mensucikan dan mengajak manusia untuk
melaksanakan ibadah Haji ke sana sebagaimana termaktub di dalam surat Al Hajj
(22) ayat 26 dan 27 di bawah ini.
Dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang
dari segenap penjuru yang jauh,
(surat
Al Hajj (22) ayat 26-27)
[984] Unta yang
kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban Ibadah Haji dan Umroh, maka kita harus tahu pengertian dasar dan juga memiliki Ilmu tentang Ibadah Haji dan Umroh yang akan kita laksanakan tersebut baik syariat maupun hakekat. Untuk memiliki ilmu dimaksud tidak cukup belajar melalui bimbingan manasik Haji dan Umroh semata. Hal ini dikarenakan kualitas, atau hasil akhir dari pelaksanaan dari Ibadah Haji dan Umroh sangat tergantung kepada sejauh mana pengertian dasar dan Ilmu tentang Ibadah Haji dan Umroh yang telah kita pahami sebelum kita berangkat menunaikan Ibadah Haji dan Umroh dimaksud.
Agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Haji dan Umroh secara maksimal yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga kita mampu memperoleh hasil yang maksimal pula setelah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, tidak ada jalan lain kita harus belajar dan belajar tentang ibadah di maksud secara maksimal sebelum diri kita berangkat menunaikan ibadah di maksud. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah Output tidak akan mungkin bisa dipisahkan dengan Input dan juga proses. Semakin baik Input maka semakin baik pula Output dimaksud sepanjang diproses sesuai dengan ketentuan syariat dan hakekat yang berlaku.
Sekarang timbul pertanyaan yang paling mendasar dari perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh yaitu siapakah yang harus melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, apakah hanya diri kita, ataukah hanya anak dan keturunan kita, ataukah seluruh manusia harus melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh saat hidup di muka bumi ini? Jawaban dari pertanyaan ini, ada pada pembahasan berikut ini yang terbagi di dalam ketentuan umum dan ketentuan khusus.
1. DIRI SENDIRI
Siapakah yang harus melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh? Jika kita merasa bukan yang menciptakan langit dan bumi serta bukan pula yang memiliki langit dan bumi yang sedang kita tempati saat ini maka kita wajib melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh saat hidup di muka bumi ini. Kenapa kita harus melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh? Hal yang pertama adalah karena kita sedang menumpang, kita sedang menjadi tamu, kita sedang menjadi Khalifah di muka bumi ini karena kita bukan yang menciptakan dan yang memiliki langit dan bumi sehingga yang berlaku di langit dan di muka bumi ini adalah ketentuan, hukum, peraturan Allah SWT.
Adanya kondisi ini maka kita wajib melaksanakan segala ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini, terkecuali jika kita mau dinilai sebagai tamu, sebagai orang yang menumpang, sebagai Khalifah yang tidak tahu diri. Lalu kenapa saat di muka bumi ini kita harus melaksanakan Ibadah Haji? Hal ini dikarenakan hanya pada saat hidup di muka bumi inilah kesempatan diri kita untuk bisa melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh di dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah.
Jika kita sudah diwajibkan untuk melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh lalu bagaimanakah dengan manusia lainnya yang ada di muka bumi? Jika kita mengacu bahwa hanya Allah SWT adalah pencipta dan pemilik langit dan bumi maka segala ketentuan yang wajib berlaku di muka bumi ini adalah ketentuan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti setiap orang yang ada di muka bumi ini, semuanya wajib mematuhi segala ketentuan Allah SWT yang telah Allah SWT tetapkan berlaku di muka bumi ini.
Sekarang Allah SWT telah memerintahkah kepada seluruh manusia untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh berarti ketentuan melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh ini wajib berlaku di muka bumi ini dan setiap manusia yang ada di muka bumi wajib pula mematuhi perintah ini dan melaksanakannya dengan sebaik mungkin sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT. Adanya ketentuan melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang wajib berlaku di muka bumi ini, berarti setiap manusia, apapun kedudukannya, apapun pangkatnya, apapun jabatannya, apakah laki-laki, apakah perempuan, apakah tua, apakah muda, apakah kaya, apakah miskin, mereka semua harus melaksanakan perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, sepanjang syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT telah berlaku kepada mereka semua.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Berdasarkan surat Al Baqarah (2)
ayat 30 di atas, setiap manusia, termasuk diri kita sudah diangkat oleh Allah
SWT sebagai Khalifah di muka bumi. Lalu alangkah naifnya, alangkah lucunya, alangkah konyolnya, alangkah tidak
tahu dirinya jika kita yang sudah diangkat oleh Allah SWT sebagai Khalifah di
muka bumi. Namun kita sendiri malah melanggar ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT, selaku pengutus diri kita di muka bumi. Jika ini sampai terjadi pada diri kita
berarti ketentuan Hadits Qudsi di bawah ini berlaku kepada diri kita.
Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Barangsiapa tidak rela dengan hukum-Ku dan taqdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(Hadits Qudsi Riwayat Al
Baihaqi dari Ibnu Umar serta Ath Thabarani dan Ibnu Hibban dari Abi Hind, Al
Baihaqi dan Ibnu Najjar, (272:153)
Sekarang adakah Tuhan-Tuhan lain selain Allah SWT yang mampu mengalahkan Allah SWT, yang mampu menandingi Allah SWT, sehingga mampu menciptakan langit dan bumi seperti langit dan bumi yang diciptakan oleh Allah SWT. Selanjutnya jika sampai diri kita tidak mau mematuhi segala ketentuan Allah SWT (dalam hal ini perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, atau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah) berarti memang kita tidak tahu diri.
Hal ini dikarenakan kita sudah diciptakan oleh Allah SWT, sudah menumpang di langit dan di bumi yang dimiliki Allah SWT, sudah mendayagunakan dan mengambil manfaat dari segala yang diciptakan dan yang dimiliki Allah SWT, setelah itu Allah SWT kita lawan dengan tidak mematuhi perintahNya. Untuk itu segera bertaubatlah jika saat ini kita belum mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Padahal kewajiban dimaksud telah berlaku kepada diri kita karena persyaratan sudah terpenuhi. Terkecuali jika kita mampu menciptakan langit dan bumi yang sama seperti langit dan bumi yang diciptakan oleh Allah SWT.
2.
ANAK dan
KETURUNAN
Setelah diri kita melaksanakan ibadah Haji, lalu siapakah lagi yang harus melaksanakan ibadah Haji dan Umroh saat hidup di muka bumi? Yang harus melaksanakan ibadah Haji dan Umroh selanjutnya adalah anak dan keturunan dari diri kita sendiri. Lalu kenapa anak dan keturunan kita harus melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh. Kita adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan regenerasi kekhalifahan yang ada di atas diri kita. Sehingga hal yang samapun terjadi pada anak dan keturunan kita yaitu ia pun tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan diri kita saat ini.
Selanjutnya jika diri kita melaksanakan ibadah Haji lalu anak dan keturunan kita tidak melaksanakan ibadah Haji dan Umroh berarti ada sesuatu yang salah di dalam mata rantai regenerasi kekhalifahan yang kita buat di muka bumi ini, yaitu ada satu pihak yang tidak mau melaksanakan ketentuan dari pencipta dan pemilik langit dan bumi. Agar antara diri kita dengan anak dan keturunan kita berada di dalam kesesuaian dengan ketentuan Allah SWT yang berlaku di muka bumi ini maka seluruh pihak mau melaksanakan segala perintah yang telah diperintahkan Allah SWT atau mau melaksanakan Diinul Islam secara kaffah sehingga keluarga sakinah mawaddah warahmah dapat kita raih.
Lalu dapatkah kita membuat, menjadikan diri kita sendiri, atau menjadikan keluarga kita sendiri menjadi sebuah keluarga yang sakinah mawaddah warahmah jika tanpa dilandasi dengan suatu konsep yang berasal dari Allah SWT yaitu berupa Diinul Islam yang dilaksanakan secara kaffah, atau apakah hanya salah satu anggota keluarga saja yang melaksanakan Diinul Islam secara kaffah maka keluarga sakinah dapat kita wujudkan, atau apakah seluruh keluarga termasuk anak dan keturunan yang melaksanakan Diinul Islam yang kaffah barulah keluarga sakinah dapat kita wujudkan? Untuk dapat mewujudkan keluarga sakinah diperlukan sebuah Tuntunan dan Pedoman yang baku dan jelas di dalam mewujudkannya.
Tanpa adanya tuntunan dan pedoman yang baku, serta perjuangan antar sesama anggota keluarga, apakah itu orang tua, apakah anak dan keturunan, maka keluarga sakinah akan sangat sulit diwujudkan. Adanya kondisi ini berarti untuk mewujudkan keluarga Sakinah di tengah keluarga kita serta regenerasi kekhalifahan di muka bumi, tidak hanya diri kita secara pribadi saja yang harus memeluk Diinul Islam secara kaffah, atau tidak hanya diri kita saja yang melaksanakan Syahadat, atau yang mendirikan Shalat, atau yang menunaikan Zakat, yang melaksanakan Puasa, atau yang melaksanakan ibadah Haji. Akan tetapi Anak dan Keturunan dari diri kita, termasuk Istri atau Suami juga harus memeluk Diinul Islam secara Kaffah, atau melaksanakan Syahadat, mendirikan Shalat, menunaikan Zakat, melaksanakan Puasa dan juga melaksanakan ibadah Haji secara baik dan benar sesuai kehendak Allah SWT.
Jika
hari ini kita telah mampu merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya kepada Allah
SWT yang berasal dari pelaksanaan Diinul Islam yang Kaffah, dapatkah anak dan
keturunan kita merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan saat ini? Sepanjang diri kita tidak pernah
memperkenalkan, tidak pernah mengajarkan Diinul Islam secara Kaffah, atau
sepanjang diri kita tidak pernah menjadikan Syahadat sebagai sebuah Komitmen
dan Pengakuan kepada Allah SWT dan kepada Nabi Muhammad SAW, atau sepanjang
diri kita tidak pernah mendidik dan
mengajarkan tentang Shalat kepada anak dan keturunan kita maka hal-hal yang telah pernah kita rasakan tidak akan pernah dapat
dirasakan oleh anak dan keturunan kita.
Ingat, nikmat bertuhankan kepada Allah SWT, atau buah dari pelaksanaan Syahadat, atau buah dari mendirikan Shalat, atau buah dari melaksanakan ibadah Haji tidak akan dapat diwariskan, tidak akan dapat dialihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita sendiri sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Sekarang apakah akan kita biarkan anak dan keturunan kita sendiri tidak mau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah saat mereka hidup di dunia?
Ingat, nikmat bertuhankan kepada Allah SWT, atau buah dari pelaksanaan Syahadat, atau buah dari mendirikan Shalat, atau buah dari melaksanakan ibadah Haji tidak akan dapat diwariskan, tidak akan dapat dialihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita sendiri sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal yang sama seperti yang kita lakukan. Sekarang apakah akan kita biarkan anak dan keturunan kita sendiri tidak mau melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah saat mereka hidup di dunia?
Selain daripada itu, ada hal lainnya yang ingin kami kemukakan yang terkait dengan perintah mandi dan gosok gigi yang kami hubungkan dengan perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, yaitu sewaktu diri kita masih kecil, kita selalu diperintahkan oleh orang tua untuk mandi dan gosok gigi. Adanya perintah dari orang tua maka kitapun melaksanakan mandi dan gosok gigi. Selanjutnya setelah mengetahui manfaat yang didapat dari melaksanakan mandi dan gosok maka kita merasa sangat membutuhkan mandi.
Timbul pertanyaan yang mendasar, kenapa setelah diri kita menjadi orang tua juga memerintahkan kepada anak kita sendiri untuk melaksanakan mandi dan gosok gigi? Hal ini kita lakukan karena diri kita telah merasakan langsung manfaat dari aktivitas mandi dan gosok gigi, atau merasakan langsung akibat dari tidak melakukan mandi dan gosok gigi. Adanya hal-hal positif dan juga hal yang negatif yang telah pernah kita rasakan dari aktivitas mandi dan gosok gigi maka dengan memerintahkan kepada anak sendiri untuk mandi dan gosok gigi maka kita berharap anak tidak mengalami hal-hal negatif yang pernah kita rasakan, atau anak hanya memperoleh hal-hal yang baik dari aktivitas mandi dan gosok gigi.
Sekarang bagaimana dengan perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita dan juga kepada anak keturunan kita? Jika kita mengacu kepada betapa bermanfaatnya mandi dan gosok gigi kepada diri kita maka sudah seharusnya kita dapat pula merasakan manfaat dari melaksanakan perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan Allah SWT. Jika ini tidak terjadi pada diri kita (maksudnya kita tidak bisa merasakan betapa tingginya manfaat perintah melaksanakan ibadah haji) berarti ada sesuatu yang salah dengan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan.
Lalu jika manfaat dari melaksanakan ibadah Haji dan Umroh telah pula kita rasakan. Sekarang kita juga memerintahkan anak untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh berarti kita berharap kepada anak keturunan mengalami dan merasakan manfaat dari melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, atau kita berharap anak keturunan kita tidak mengalami apa yang kita rasakan jika tidak mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Sebagai Khalifah di muka bumi yang telah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sekarang bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah kita memiliki ilmu tentang Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika kita menyatakan sangat membutuhkan hakikat dari ibadah Haji dan Umroh seperti halnya diri kita membutuhkan mandi berarti mulai saat ini juga kita harus memiliki ilmu dimaksud dengan belajar hanya kepada Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW melalui Ulama, Kyai, Ustadz serta mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya sebelum menunaikan ibadah Haji dan Umroh, seperti niat yang ikhlas karena Allah SWT dan uang untuk membiayai harus dari yang halal tanpa sedikitpun terkontaminasi dengan yang haram. Terkecuali jika kita hanya berkeinginan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak kita sendiri dan semoga pembaca buku ini tidak melakukan hal itu. Agar diri kita dan juga anak keturunan kita mampu melaksanakan ibadah Haji dan Umroh bukan sekedar apa adanya atau ala kadarnya saja padahal kita bisa mendapatkan dan merasakan sesuatu yang luar biasa dari ibadah Haji dan Umroh.
Berikut ini akan kami kemukakan
apa arti dari ibadah Haji dan Umroh dalam beberapa pengertian yang terdiri dari
arti yang tersurat, arti yang tersirat dan juga arti yang tersembunyi sebagai
berikut:
A.
HAJI DAN UMROH DALAM ARTI YANG
TERSURAT
Ibadah Haji dapat diartikan melaksanakan Rukun Islam yang ke lima yang menyengaja (dengan niat yang ikhlas) pergi mengunjungi Baitullah al Haram (Ka’bah) di Mekkah al Mukarammah untuk melakukan beberapa amalan berupa niat di miqat, thawaf, sai, tahallul, wukuf, mabid, jumroh dan amalan lainnya pada waktu tertentu dan dengan cara tertentu, dalam rangka memenuhi panggilan Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya semata.
1
|
Islam
|
2
|
Baligh
|
3
|
Aqil (berakal sehat)
|
4
|
Merdeka (bukan budak)
|
5
|
Istitho’ah (mampu) dari segi fisik,
mental dan keuangan
|
Agar diri kita mampu melaksanakan ibadah haji maka setiap jamaah yang hendak melaksanakan ibadah Haji harus memenuhi syarat-syarat dan ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT, yaitu Islam, Baligh (dewasa), Aqil (berakal sehat), Merdeka (bukan hamba sahaya) serta mempunyai kemampuan atau kesanggupan (istita’at) dalam hal membayar Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH), memberi nafkah keluarga yang ditinggalkan selama melaksanakan ibadah haji, sehat badan, dan terjamin keamanannya selama dalam perjalanan.
Selain daripada itu setiap jamaah Haji wajib mengetahui dan memahami manasik Haji baik secara syariat maupun hakekat dalam satu kesatuan serta memiliki kesiapan phisik dan mental untuk melaksanakan ibadah Haji karena perjalanannya jauh serta dilaksanakan di Kerajaan Arab Saudi yang berbeda cuacanya serta aturan hukumnya dengan negara kita.
Rukun Haji ialah rangkaian amalan yang harus dilakukan dalam ibadah Haji dan tidak dapat diganti dengan yang lain, walaupun dengan dam. Jika ditinggalkan maka tidak sah Hajinya. Adapun Rukun Haji adalah Ihram (niat dari Miqat), Wukuf di Padang Arafah, Thawaf Ifadah, Sa’i, Tahallul (bercukur) serta Tertib. Sedangkan Wajib Haji adalah rangkaian amalan yang harus dikerjakan dalam ibadah Haji, bila tidak dikerjakan sah Hajinya akan tetapi harus membayar dam serta berdosa jika sengaja meninggalkan dengan tidak ada uzur syar’i. Adapun ketentuan wajib Haji adalah Ihram, yakni niat berhaji dari Miqat, Mabit di Muzdalifah, Mabit di Mina, Melontar Jumrah Ula, Wustha dan Aqabah serta Thawaf Wada’ (bagi yang akan meninggalkan Makkah).
Rukun Haji
|
Wajib Haji
|
||
1
|
Ihram Haji
disertai Niat
|
1
|
Niat Ihram
dari Miqat
|
2
|
Wuquf di
Arafah
|
2
|
Meninggalkan
Larangan Ihram
|
3
|
Thawaf Ifadhah
|
3
|
Mabit di
Muzdalifah
|
4
|
Sa’i antara
Shafa dan Marwah
|
4
|
Mabit di Mina
|
5
|
Bercukur
(Tahalul)
|
5
|
Melontar
Jumroh
|
6
|
Tertib,
sesuai dengan urutan (apabila
ketinggalan salah satu Rukun Haji, maka hajinya batal)
|
6
|
Thawaf Wada’
|
Catatan: Haji
tidak sah apabila salah satu ketentuan rukun tidak dilaksanakan
|
Catatan: Wajib
membayar Dam apabila meninggalkan salah satu wajib Haji
|
Ketentuan Wajib Haji pada
dasarnya hampir sama dengan ketentuan Rukun, hanya berbeda antara keduanya
adalah yang meninggalkan ketentuan wajib boleh dibayar dengan Dam, sedangkan
jika meninggalkan Rukun maka hajinya batal (tidak sah) dan harus diulang lagi
pada kesempatan berikut.
Rukun Umroh
|
Wajib Umroh
|
||
1
|
Ihram Umroh
disertai Niat
|
1
|
Ihram dari
Miqat
|
2
|
Thawaf
|
2
|
Meninggalkan
larangan Ihram
|
3
|
Sa’I antara
Shafa dan Marwah
|
3
|
Thawaf Wada’
|
4
|
Bercukur
(Tahallul)
|
||
5
|
Tertib sesuai
dengan urutan
|
||
Catatan :
Umroh tidak sah apabila salah satu dari ketentuan Rukun tidak dilaksanakan
|
Catatan: Wajib
membayar Dam apabila meninggalkan salah satu wajib Umroh
|
Sunnah Haji dan Umroh
|
|
1
|
Mandi ketika akan berihram Haji atau Umroh
|
2
|
Shalat Sunnah Ihram Haji atau Umroh
sebanyak 2(dua) rakaat.
|
3
|
Membaca Talbiyah
|
4
|
Thawaf Qudum bagi yang melakukan Haji Ifrad
atau Haji Qiran.
|
5
|
Bermalam di Mina pada tanggal 8 bulan
Dzulhijjah sebelum berangkat ke Arafah
|
6
|
Memakai wangi-wangian (sebelum berihram).
|
Umroh menurut bahasa adalah meramaikan atau ziarah. Umroh adalah
berkunjung ke Baitullah untuk melakukan ibadah yang dicontohkan oleh
Rasulullah, baik dirangkaikan dengan Haji maupun di luar ibadah Haji. Adapun syarat
dan ketentuan Umroh meliputi Islam, Baligh (dewasa), Aqil (berakal sehat), Merdeka
(bukan budak sahaya) serta memiliki kemapuan atau kesanggupan (istita’at) dalm
hal membayar ongkos umroh. Sedangkan rukun Umroh yaitu: Ihram dengan niatnya,
thawaf, sa’i, bercukur (tahalul) dan tertib dalam semua rukunnya. Ibadah Umroh
dilakukan dengan Niat berihram dari Miqat, kemudian Thawaf, Sa’i dan diakhiri
dengan Tahallul (memotong rambut atau bercukur) dan jika salah satu Rukun Umroh
tidak bisa dilaksanakan maka Ibadah Umrohnya tidak sah.
Ibadah Umroh dapat dilaksanakan kapan saja, kecuali ada beberapa waktu yang dimakruhkan melaksanakan Umroh bagi jemaah Haji, yaitu pada saat jamaah Haji wukuf di Padang Arafah pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), hari Nahr (tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah). Seseorang yang melaksanakan Ibadah Haji dengan pilihan Haji Tamattu maka yang bersangkutan dapat dipastikan sudah melaksanakan ibadah Umroh. Sedangkan orang yang melaksanakan ibadah Umroh tidak bisa menghapus kewajiban untuk melaksanakan Ibadah Haji walaupun yang bersangkutan sudah lebih dari satu kali atau bahkan lebih melaksanakan ibadah Umroh.
Hal ini penting kita ketahui sebelum kita berangkat menunaikan ibadah Haji bahwa ibadah Haji yang merupakan bagian dari Rukun Islam yang lima tidak bisa digantikan dengan ibadah apapun termasuk tidak bisa pula digantikan dengan ibadah Umroh. Hal ini dikarenakan ibadah Umroh yang dilaksanakan pada saat kita melaksanakan ibadah Haji dengan pilihan Haji Tamattu merupakan bagian dari Rukun Haji sehingga harus dilaksanakan jika tidak maka ibadah Haji seseorang menjadi tidak sah.
Ibadah Haji yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dapat dilaksanakan dengan beberapa pilihan, yaitu:
1. Haji Ifrad. Ifrad artinya memisah misahkan, yaitu
melaksanakan Ibadah Haji dalam satu perjalanan dan Umroh dalam perjalanan yang
lain. Haji Ifrad hanya bisa dilaksanakan oleh penduduk Makkah dengan
melaksanakan Haji pada hari hari Haji yaitu mulai dari tanggal 8 Dzulhijjah
sampai tanggal 12 atau 13 Dzulhijjah, kemudian melaksanakan Umrahnya di waktu
lain sekalipun di luar bulan Haji.
2.
Haji Qiran. Qiran artinya membarengkan, yaitu
melaksanakan Umroh dan Haji secara sekaligus tidak terpisah dengan Tahallul.
Jamaah yang menunaikan Haji Qiran ketika berihram dari Miqat, ia berniat dengan
menyatakan: “ Ya Allah! Aku datang memenuhi panggilan Mu untuk melaksanakan
Umrah dan Haji”. Berarti dari mulai Ihram dari Miqat sampai selesai Ibadah Haji
(maksudnya sampai melempar Jumrah Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah) tetap
memakai Ihram.
3. Haji Tamattu’. Tamattu’ artinya bersenang senang, yaitu
jamaah mengucapkan niat untuk melakukan umrah terlebih dahulu dan diakhiri dengan Tahallul. Setelah
Tahallul jamaah terbebas untuk memakai pakaian biasa lagi (tidak memakai
pakaian ihram). Kemudian pada tanggal 8 Dzulhijjah jamaah Haji memakai pakaian
Iharam kembali untuk melaksanakan ibadah Wukuf di Padang Arafah, Mabid di
Muzdaalifah sampai dengan Jumroh Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah. Adanya waktu
jeda antara selesai Umroh sampai Ihram lagi untuk menunaikan Haji itulah yang
disebut dengan Tamattu atau bersenang senang dan terbebas dari semua larangan
Ihram.
Setiap jamaah yang melaksanakan Haji Tamattu’ diwajibkan untuk membayar dam yang berarti menyembelih seekor kambing. Sementara pelaksanaan Haji Tamattu’ itu sendiri bukan satu pelanggaran, namun demikian yang mengerjakan Haji Tamattu’ tidak mesti di Dam karena bukan satu pelanggaran tetapi wajib menyembelih seekor kambing dan jika tidak menyembelih seekor kambing hendaklah berpuasa sepuluh hari, tiga hari di Makkah dan tujuh hari setelah kembali ke tanah air.
Seluruh jamah Haji yang berasal dari Indonesia dapat dipastikan semuanya melaksanakan ibadah hajinya dengan pilihan Haji Tamattu’ dengan konsekuensi harus membayar dam yang berarti menyembelih seekor kambing. Selain daripada itu, ketiga pilihan untuk melaksanakan ibadah Haji, apakah itu Haji Qiran, Haji Ifrat, ataukah Haji Tamattu’, ketiganya tidak perlu diperdebatkan karena ketiganya sama baiknya dan yang paling terpenting adalah bagaimana menjadikan diri kita menjadi Haji Mabrur yang dijamin masuk Syurga oleh Allah SWT.
Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk melaksanakan kewajiban Ibadah Haji dan Umroh, maka kita harus tahu pengertian dasar dan juga memiliki Ilmu tentang Ibadah Haji dan Umroh yang akan kita laksanakan tersebut. Hal ini dikarenakan kualitas, atau hasil akhir dari pelaksanaan dari Ibadah Haji dan Umroh sangat tergantung kepada sejauh mana pengertian dasar dan Ilmu tentang Ibadah Haji dan Umroh yang telah kita pahami sebelum kita berangkat menunaikan Ibadah Haji dan Umroh.
Jika kita memiliki pemahaman bahwa Ibadah Haji adalah melaksanakan Rukun Islam yang ke lima maka hal itulah yang akan kita peroleh dari pelaksanaan Ibadah Haji yang kita laksanakan. Sedangkan jika kita memiliki pemahaman bahwa Ibadah Haji artinya berkunjung ke Baitullah untuk melaksanakan beberapa amalan ibadah pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu pula antara lain: Wukuf di Arafah, Thawaf, Sa’i, Tahallul, melontar Jumroh, Mabit di Muzdalifah dan Mina, karena semata-mata memenuhi panggilan Allah SWT maka hal inilah yang akan kita peroleh dari pelaksanaan Ibadah Haji. Demikian seterusnya sesuai dengan pemahaman yang kita miliki tentang Ibadah Haji dan juga ibadah Umroh yang artinya melaksanakan amalan ibadah Thawaf, Sa’i, dan Tahallul.
Untuk itu jangan sampai diri kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh sebatas pemahaman yang kita miliki semata, padahal kesempatan untuk melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh belum tentu kita miliki lagi (ibadah yang kita laksanakan menjadi ibadah Haji pertama dan juga menjadi ibadah Haji terakhir), atau jangan sampai kita yang sudah jauh-jauh pergi melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh hasilnya hanya memperoleh sesuai dengan pemahaman diri kita sendiri sehingga hanya merasakan lelah letih semata tanpa pernah merasakan rasa diterima menjadi tamu Allah SWT dengan merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT baik di Baitullah maupun saat wukuf di Arafah serta setelah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Adanya kondisi seperti ini, mengharuskan diri kita untuk memiliki Ilmu dan pemahaman tentang Ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh mulai saat ini juga selama hayat masih di kandung badan.
Sebagai Khalifah yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh ketahuilah
bahwa semakin tinggi kualitas pemahaman tentang ibadah Haji dan Umroh yang kita
miliki maka semakin tinggi pula kualitas dari penghayatan dan pengamalan ibadah
Haji dan Umroh yang kita lakukan. Demikian pula sebaliknya semakin rendah
kualitas pemahaman tentang ibadah Haji dan Umroh yang kita miliki maka semakin
rendah pula kualitas dari penghayatan dan pengamalan ibadah Haji dan Umroh yang
kita lakukan dan ingat kondisi inilah yang paling dikehendaki oleh Syaitan sang
musuh abadi diri kita. Hal ini dikarenakan orang yang rendah pemahaman, rendah
penghayatan dan rendah pula pengamalan dari ibadah Haji dan Umroh akan mudah
diganggu dan digoda oleh Syaitan. Disinilah letak pentingnya diri kita belajar,
sehingga kita memiliki bekal Ilmu tentang Ibadah Haji dan Umroh yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
Belajar tentang ibadah Haji dan Umroh harus kepada yang memerintahkan
ibadah dimaksud, yaitu hanya kepada Allah SWT. Agar diri kita bisa belajar
tentang Ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah maka
kita harus menempatkan Allah SWT pada posisi yang sesungguhnya, serta mampu
pula menempatkan posisi Nabi Muhammad SAW yang sesuai dengan posisinya dan juga
harus bisa pula menempatkan posisi Ulama, Kyai, Ustadz pada posisinya. Hal ini
penting kami kemukakan agar kita tidak salah kaprah di dalam belajar tentang
Ibadah Haji dan Umroh.
Untuk itu kita harus belajar tentang Ibadah Haji dan Umroh hanya kepada Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW melalui Ulama, Kyai, Ustadz. Dan ingat kita tidak diperkenankan oleh Allah SWT untuk belajar tentang Ibadah Haji dan Umroh kepada selain Allah SWT termasuk tidak diperkenankan pula untuk belajar tentang Ibadah Haji dan Umroh kepada Nabi Muhammad SAW dan juga kepada Ulama, Kyai, Ustadz karena mereka semua bukanlah pemberi perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh serta dengan belajar hanya kepada Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW melalui Ulama, Kyai, Ustadz akan terjadilah apa yang dinamakan dengan kesamaan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah sehingga akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah dimaksud yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah.
Saat ini kita sudah memiliki kesempatan untuk melaksanakan kewajiban
Ibadah Haji dan Umroh lalu sudahkah kita memiliki ilmu dan juga pemahaman
tentang Ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan Kehendak Allah SWT? Harapan
kami, melalui buku yang singkat ini mampu menjadikan diri kita memiliki ilmu
dan pemahaman yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga pemahaman, penghayatan
dan pengamalan dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan mampu
menjadikan diri kita menjadi tamu yang dibanggakan oleh Tuan Rumah sehingga mampu
menghantarkan diri kita memperoleh Haji Mabrur yang pahalanya adalah
Syurga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar