4. MENGUNGKAPKAN
RASA SYUKUR KEPADA ALLAH SWT
Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 9 dan hadits yang diriwayatkan oleh Abud Dardaa' ra, yang kami kemukakan di bawah ini, dengan diri kita melaksanakan ibadah Haji berarti kita telah diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk mengungkapkan rasa syukur atas diberikannya nikmat badan yang sehat dan juga nikmat rezeki yang luas kepada diri kita. Bersyukur kepada Allah SWT bukanlah mengucapkan Hamdallah, atau mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT karena diri kita telah mendapatkan sesuatu. Syukur kepada Allah SWT adalah tindakan nyata yang kita laksanakan setelah menerima sesuatu dari Allah SWT dimana tindakan yang kita lakukan harus sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan nikmat Allah (yang telah dikurniakan) kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya[1204]. dan adalah Allah Maha melihat akan apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Ahzab (33) ayat
9)
[1204] Ayat ini
menerangkan kisah AHZAB Yaitu golongan-golongan yang dihancurkan pada
peperangan Khandaq karena menentang Allah dan Rasul-Nya. yang dimaksud dengan tentara
yang tidak dapat kamu Lihat adalah Para Malaikat yang sengaja didatangkan Tuhan
untuk menghancurkan musuh-musuh Allah itu.
Allah SWT berfirman dalam
hadist Qudsi: "Seseorang yang telah Aku kurniai badan yang sehat dan rizki
yang lapang, namun tidak mau bertamu setelah empat tahun, sesungguhnya ia
terlarang untuk mendapat pahala dari sisi Allah SWT".
(Hadits
Qudsi Riwayat Thabarani kitab Al-Ausath dan Abu Ya'laa dari Abud-Dardaa' r.a)
Untuk
memudahkan pemahaman tentang Syukur, akan kami ilustrasikan hal-hal sebagai
berikut: Katakan kita menerima hadiah berupa kain sarung dari seseorang, lalu
kita ucapkan terima kepada yang memberikan kain sarung itu dan jika hal ini
kita lakukan tidak serta merta kita dikatakan telah bersyukur. Hal ini
dikarenakan ucapan terima kasih adalah adab atau sopan santun jika menerima
pemberian dari orang lain. Kita baru bisa dikatakan bersyukur jika kain sarung
yang diberikan oleh seseorang kita pergunakan sebagaimana mestinya sesuai
harapan dari pemberi kain sarung. Selanjutnya jika kain sarung yang kita
peroleh dari seseorang tadi kita pergunakan untuk mengepel lantai, atau mencuci
mobil, itulah bentuk dari ketidaksyukuran diri kita akan hadiah kain sarung. Sekarang bagaimana
dengan Allah SWT yang telah memberikan kepada diri kita, hal-hal sebagai
berikut:
a. Allah SWT telah memberikan Ruh/Ruhani dan
Jasmani kepada diri kita, lalu setelah Ruh/Ruhani dan Jasmani bersatu yang
melahirkan hidup, lalu sudahkah hidup yang kita laksanakan hari ini sesuai
dengan kehendak Allah SWT, atau sudahkah hidup yang kita lakukan saat ini mampu
menghantarkan diri kita menjadi Makhluk yang Terhormat?
b. Allah SWT telah memberikan Amanah yang 7
(dalam hal ini adalah Qudrat, Iradat,
Sami', Bashir, Kalam, Hayat dan Ilmu), Akal, Perasaan, Hubbul yang 7
(dalam hal ini Hubbul Maal, Hubbul
Maadah, Hubbul Riasah, Hubbul Istitlaq, Hubbul Jam'i, Hubbul Syahwat, Hubbul
Hurriyah), lalu sudahkah pemberian hal itu kita pergunakan sesuai dengan
kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemberi itu semua?
c. AllahSWT telah memberikan kepada kita nikmat dan karunia kesehatan, sudahkah kesehatan yang diberikan oleh Allah SWT itu kita pergunakan untuk melakukan ibadah serta berbuat kebaikan kepada sesama?
d. Allah SWT telah memberikan kepada kita nikmat
dan karunia rezeki yang berlebih, sudahkah hak Allah SWT yang terdapat di dalam rezeki dikeluarkan
sebagai zakat, infaq dan sedekah sehingga jurang pemisah antara yang kaya dan
yang miskin menjadi lebih sempit?
e. Allah SWT telah memberikan kepada kita Ilmu, sudahkah Ilmu yang diberikan oleh Allah SWT diajarkan dan diamalkan kepada sesama tanpa ada yang disembunyikan karena takut dikalahkan oleh murid?
Sebagai makhluk yang sejak awal diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang terhormat, lalu jika kita hanya mampu mengucapkan Hamdallah atau hanya mampu mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT atas nikmat dan karunia yang telah diberikannya kepada diri kita berarti diri kita bukanlah makhluk terhormat yang dikehendaki oleh Allah SWT sebab kita tidak mampu mencerminkan, atau tidak dapat menunjukkan perilaku terhormat kepada Allah SWT setelah menerima sesuatu yang paling berharga dari Allah SWT. Lalu bagaimana jika kita tidak mau bersyukur atas diberikannya keleluasaan Rezeki dan kesehatan yang berasal dari Allah SWT sehingga kita lalai melaksanakan ibadah Haji dan Umroh?
Jawabannya ada pada hadits di bawah ini. Untuk itu berfikirlah jutaan kali jika kita tidak mau mensyukuri pemberian Allah SWT, karena resikonya sangat luar biasa beratnya, yaitu dipersilahkan mati menjadi Yahudi atau Nasrani, yang berarti bersiaplah pulang kampung ke Neraka Jahannam untuk hidup bertetangga dengan syaitan sang laknatullah.
Barangsiapa memiliki bekal dan kendaraan (biaya perjalanan) yang dapat menyampaikannya ke Baitillahil Haram dan tidak menunaikan (ibadah) haji maka tidak mengapa baginya wafat sebagai orang Yahudi atau Nasrani.
(Hadits Riwayat Attirmidzi
dan Ahmad)
Sebagai Khalifah di muka bumi yang sudah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, ketahuilah bahwa keleluasaan Rezeki dan Kesehatan serta tersedianya akomodasi dan transport adalah patokan dasar dari jatuhnya kewajiban untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh kepada diri kita yang pertama dan berlakulah ketentuan hadits di atas kepada diri kita. Sehingga apabila kondisi ini telah tercapai, maka tidak ada alasan untuk menunda-nunda melaksanakan ibadah Haji dan Umroh karena resiko yang kita hadapi sangatlah luar biasa, yang tidak akan mungkin dapat kita tebus dengan apapun juga.
Kewajiban melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak ada hubungannya dengan tua atau mudanya seseorang. Sepanjang seseorang memenuhi kriteria di atas, kita tidak memiliki alasan untuk menunda-nunda melaksanakan ibadah Haji dan Umroh sampai usia tua. Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT jika kita tidak bisa merasakan rasa diterima oleh Allah SWT saat menjadi Tamu Allah SWT di Baitullah setelah kewajiban Haji dan Umroh ada pada diri kita akibat kita menunda-nunda kewajiban yang sudah jatuh tempo. Jangan sampai kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh namun waktunya sudah terlambat sehingga kehadiran diri kita diacuhkan atau tidak diharapkan oleh Tuan Rumah akibat ulah kita sendiri.
Di dalam masyarakat sering kita mendengar istilah belum ada panggilan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, ketahuilah istilah ini bukanlah istilah yang tepat lagi dibenarkan syariat. Hal ini dikarenakan kewajiban melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak ada hubungannya dengan panggilan melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Kewajiban melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh secara pribadi-pribadi, ada pada terpenuhinya kriteria keleluasaan Rezeki dan Kesehatan serta tersedianya akomodasi dan transport sehingga jika kriteria itu terpenuhi maka jatuhlah kewajiban melaksanakan Haji dan Umroh kepada diri kita dan sesegera mungkin kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Disinilah salah satu letak rasa bersyukur diri kita setelah memperoleh Rezeki dan Kesehatan yang berasal dari Allah SWT. Jika hal ini mampu kita laksanakan berarti kesempatan diri kita untuk menjadi Tamu yang kedatangannya sudah ditunggu-tunggu oleh Allah SWT dapat kita peroleh sehingga pintu untuk merasakan rasa diterima oleh Tuan Rumah terbuka lebar untuk diri kita.
Sekarang bertanyalah kepada diri kita masing-masing dengan mempertanyakan sudah terpenuhikah kriteria keleluasaan Rezeki dan Kesehatan serta tersedianya akomodasi dan transport untuk melaksanakan ibadah haji sehingga ancaman Allah SWT tidak berlaku kepada diri kita? Ayo segera membuka tabungan haji di Bank yang telah ditunjuk oleh Pemerintah lalu segeralah mendaftar Haji di kantor Kementerian Agama setempat atau di Biro Perjalanan Haji yang berizin resmi pemerintah sebagai bentuk rasa bersyukur kita atas keleluasaan rezeki dan kesehatan yang telah Allah SWT berikan kepada kita. Jika tidak berarti kita termasuk orang yang tidak bersyukur kepada Allah SWT.
5. MELAKSANAKAN PERINTAH ALLAH SWT YANG USIA
PERINTAHNYA PALING TUA DI MUKA BUMI
Berdasarkan surat Ali Imron (3) ayat 95-96-97-98 dan surat Al Hajj (22) ayat 26-27-28 yang kami kemukakan di bawah ini, perintah melaksanakan Ibadah Haji bukanlah perintah yang datang begitu saja dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Perintah melaksanakan Ibadah Haji sudah ada sejak jaman Nabi Ibrahim as, dan akan berlaku terus sampai dengan hari kiamat kelak. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa perintah melaksanakan Ibadah Haji dapat dikatakan sebagai salah satu perintah Allah SWT yang sudah lama umurnya dan akan menjadi salah satu perintah Allah SWT yang paling panjang masa berlakunya di muka bumi ini, yaitu dimulai dari sejak jaman Nabi Ibrahim as, sampai dengan hari kiamat kelak.
Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, berarti kita adalah salah satu orang yang mampu memperpanjang masa berlakunya perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, atau berarti kita adalah salah satu orang yang mengakui eksistensi dari perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh yang berlaku di muka bumi ini yang telah diperintahkan Allah SWT kepada seluruh umat manusia yang ada di muka bumi ini.
Katakanlah: "Benarlah (apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang musyrik.
Sesungguhnya
rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah
yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua
manusia[214]. padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam
Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.
Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, mengapa kamu ingkari ayat-ayat Allah, Padahal Allah Maha
menyaksikan apa yang kamu kerjakan?".
(surat
Ali Imran (3) ayat 95-96-97-98)
[214] Ahli kitab
mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis,
oleh karena itu Allah membantahnya.
[215] Ialah: tempat
Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
[216] Yaitu: orang
yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat
jasmani dan perjalananpun aman.
dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
dan berserulah kepada
manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan
berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap
penjuru yang jauh,
supaya mereka menyaksikan
berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari
yang telah ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan
(sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir.
(surat
Al Hajj (22) ayat 26-27-28)
[984] Unta yang kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh
jemaah haji.
[985] Hari yang ditentukan ialah hari raya haji dan hari tasyriq, Yaitu
tanggal 10, 11, 12 dan 13 Dzulhijjah.
[986] Yang dimaksud dengan binatang ternak di sini ialah
binatang-binatang yang Termasuk jenis unta, lembu, kambing dan biri-biri.
Melaksanakan ibadah
Haji dan Umroh tidak akan bisa dipisahkan dengan apa-apa yang dialami secara
langsung oleh Nabi Ibrahim as, beserta keluarganya seperti Ka'bah yang
dahulunya dibangun oleh Nabi Ibrahim as bersama anaknya Nabi Ismail as; Sa'i
yaitu berlari dan berjalan antara Safa dan Marwah yang merupakan napak tilas
perjuangan dari Istri Nabi Ibrahim as, yaitu Siti Hajar untuk memperoleh Air
untuk Nabi Ismail as saat masih bayi di tengah tandusnya gurun setelah keduanya
ditinggal oleh Nabi Ibrahim as atas perintah Allah SWT; Melempar Jumroh dalam
rangka melempar Syaitan yang telah mengganggu Nabi Ibrahim as dan keluarganya
di saat akan melaksanakan perintah untuk
berkurban.
Jika Nabi Ibrahim as, beserta keluarganya sudah memberikan keteladanan kepada seluruh umat manusia dan apa yang pernah dilakukan dapat kita lihat dan rasakan sampai dengan saat ini. Sekarang setelah diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah keteladanan yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim as beserta keluarganya dan yang juga telah kita napak tilasi telah melekat di dalam diri kita sehingga diri kita mampu pula menjadi manusia Teladan di tengah masyarakat serta berguna bagi masyarakat setelah kembali melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Jika keteladanan dari Nabi Ibrahim as, dan keluarganya tidak dapat menjadikan diri kita manusia teladan setelah diri kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh. Tentu ada sesuatu yang salah di dalam pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan. Hal ini dikarenakan perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak pernah salah, yang salah adalah diri kita yang tidak mampu melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sekali lagi kami ulangi lagi, melaksanakan ibadah Haji dan Umroh harus menjadikan diri kita menjadi manusia teladan yang berguna bagi masyarakat. Melaksanakan ibadah Haji dan Umroh bukan menjadikan diri kita menjadi benalu di dalam masyarakat yang selalu menyusahkan masyarakat. Untuk itu segeralah melakukan introspeksi diri jika kita belum menjadi manusia teladan seperti teladannya keluarga Nabi Ibrahim as, setelah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Ingat kesempatan untuk introspeksi diri yang dilanjutkan dengan Taubatan Nasuha hanya berlaku sebelum Malaikat Maut melaksanakan tugasnya kepada diri kita, yaitu memisahkan Jasmani dengan Ruh/Ruhani, atau sebelum Ruh/Ruhani tiba dikerongkongan. Untuk itu manfaatkanlah sisa waktu hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya dengan melakukan karya besar sebagai wujud kita telah sukses menjadi Haji yang mabrur.
6. MEMPERKOKOH
KEBERADAAN KA’BAH YANG BERADA DI MASJIDIL HARAM SEBAGAI KIBLAT UMAT MANUSIA.
Berdasarkan surat Ali Imron (3) ayat 95-96 dan surat Al Baqarah (2) ayat 150, Ibadah Haji adalah ibadah dalam rangka untuk memperkokoh keberadaan Masjidil Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah sebagai kiblat umat manusia yang ada di muka bumi ini. Ibadah Haji adalah Ibadah untuk memperkokoh keberadaan Kiblat sebagai satus-satunya arah saat mendirikan Shalat dan juga Kiblat juga menunjukkan arah untuk menuju kepada yang satu, dalam hal ini Allah SWT. Ka’bah adalah porosnya bumi, atau titik tengah dari bumi yang posisinya tegak lurus dengan Arsy (tempat bertahtanya Allah SWT) sehingga jika kita berada di lingkungan atau diseputaran Ka’bah akan terasa sesuatu yang sangat menyejukkan hati, akan terasa adanya ketenangan serta dapat merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT karena pancaran dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT lebih terfokus di Baitullah.
Katakanlah: "Benarlah
(apa yang difirmankan) Allah". Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan
bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang musyrik.
Sesungguhnya rumah yang
mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di
Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia[214].
(surat
Ali Imran (3) ayat 95-96)
[214] Ahli kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun
berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Allah membantahnya.
dan dari mana saja kamu
(keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja
kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada
hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka.
Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar
Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 150)
Dengan diri kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh berarti kita telah berusaha untuk terus menjadikan Masjidil Haram yang ada di Makkah sebagai perlambang dari ketauhidan, atau perlambang akan kebesaran dan kemahaan Allah SWT yang ditunjukkan dengan adanya kesamaan arah untuk menuju kepada yang satu, dalam hal ini menuju kepada Allah SWT, yang direpresentasikan menuju Ka’bah. Selanjutnya dengan diri kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh berarti kita memiliki kesempatan untuk melihat langsung Ka’bah yang selama ini hanya kita tahu dari gambarnya saja atau dari arahnya saja dan bisa pula merasakan langsung betapa hebatnya Ka’bah itu (maksudnya betapa hebatnya pemilik dari Ka’bah itu, dalam hal ini Allah SWT).
Hal yang harus kita perhatikan setelah diri kita memperoleh kesempatan melihat Ka’bah secara langsung, jangan pernah terpesona dengan bangunan Ka’bah. Akan tetapi berusahalah untuk bertemu dengan pemilik Ka’bah itu, karena pemilik Ka’bah itulah yang telah mengundang diri kita ke Baitullah, dalam rangka melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh. Lalu jadikan diri kita menjadi Tamu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Tuan Rumah, atau jadikan diri kita menjadi pribadi-pribadi yang sangat dibanggakan oleh Tuan Rumah, dengan berperilaku yang sesuai dengan kehendak Allah SWT baik di Baitullah maupun setelah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas, mengharuskan diri kita untuk mematuhi segala ketentuan, segala peraturan saat menjadi tamu Allah SWT di Baitullah. Disinilah letaknya kita harus memiliki ilmu tentang Tata Cara Berhaji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pengundang dan pemilik alam semesta ini. Sebagai bahan perbandingan, untuk bertemu dengan Presiden saja kita harus memenuhi segala syarat protokoler istana, barulah kita bisa bertemu dengan Presiden. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita untuk menjadi Tamu yang dikehendaki oleh Allah SWT, dapat dipastikan kitapun harus pula memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, seperti memenuhi dan mematuhi serta melaksanakan Rukun Haji dan Umroh, Wajib Haji dan Umroh serta Sunnah Haji dan Umroh yang juga harus dibarengi dengan memiliki ilmu tentang manasik Haji dan Umroh serta mampu melunasi biaya Haji dan Umroh dengan keuangan yang halal.
Saat diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, maka pada saat itu kita harus bisa menyesuaikan diri dengan Kemahaan, Kebesaran dan Kesucian Allah SWT selaku Tuan Rumah. Jika Allah SWT memiliki Af’al atau perbuatan Al-Quddus maka kita harus suci pula saat menjadi tamu Allah SWT maupun setelah pulang dari melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh dengan melakukan Thaharah terlebih dahulu serta mempergunakan Ihram. Jika Allah SWT memiliki perbuatan Ar Rahman dan Ar Rahiem maka kita harus pula berperilaku kasih sayang kepada sesama baik saat menjadi Tamu Allah SWT maupun setelah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna.Adanya kesamaan perbuatan yang kita lakukan dengan kemahaan dan kebesaran Allah SWT terjadilah apa yang dinamakan kesesuaian antara diri kita selaku tamu yang diundang dengan pengundang yang pada akhirnya akan memudahkan diri kita menjadi tamu yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sekarang bertanyalah kepada diri kita sendiri, apakah kondisi yang kami kemukakan di atas ini sudah kita miliki dan juga kita terapkan saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh dan juga setelah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh sebagai bentuk manifestasi Haji dan Umroh yang mabrur?
7. MENSUCIKAN DIRI DARI NAJIS, DOSA DAN
SYIRIK.
Berdasarkan surat Al Hajj (22) ayat 29 yang kami kemukakan
di bawah ini, Ibadah Haji ke Baitullah adalah ibadah dalam rangka untuk
mensucikan diri kita sendiri dari Najis, dari dosa, dari kesalahan, dari
perbuatan Syirik baik lahir dan bathin, yang telah kita perbuat selama hidup di
dunia, atau dalam rangka mengembalikan kefitrahan diri, atau menjadikan jiwa
kita menjadi Jiwa Taqwa atau menjadikan jiwa kita menjadi Jiwa Muthmainnah.
Jika kondisi ini terjadi, berarti setelah diri kita pulang dari melaksanakan
Ibadah Haji, segala tingkah laku kita, segala tindak tanduk kita, segala
perbuatan kita selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan
Nilai-Nilai Ilahiah. Yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana kita bisa
kembali fitrah (disucikan oleh Allah SWT dari noda, najis dan dosa) jika kita sendiri tidak pernah tahu dan tidak
mau belajar tentang Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT?
Inilah ironi yang sering terjadi pada Jamaah Haji dan
Umroh, mau kembali fitrah, mau merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT
tetapi tidak mau belajar, tidak memiliki ilmu tentang Haji dan Umroh. Untuk itu
mulai saat ini kita harus segera belajar untuk memiliki Ilmu tentang Haji dan
Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, kita harus bisa menyesuaikan diri
dengan perilaku Tuan Rumah yang termaktub di dalam Asmaul Husna serta kita
harus pula mempersiapkan diri sebelum melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh dengan
sebaik-baiknya.
Kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran[987] yang ada pada badan mereka dan
hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka[988] dan hendaklah mereka
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
(surat Al Hajj (22) ayat 29)
[987] Yang dimaksud dengan menghilangkan kotoran di sini ialah memotong
rambut, mengerat kuku, dan sebagainya.
[988] Yang dimaksud dengan Nazar di sini ialah nazar-nazar yang baik yang
akan dilakukan selama ibadah haji.
Agar kesempatan yang mungkin hanya bisa kita rasakan sekali
dalam seumur hidup tidak sia-sia, atau jangan sampai sinyalamen banyak orang
yang melaksanakan Haji dan Umroh, tetapi mereka belum Berhaji sehingga yang
didapat hanya rasa lelah dan letih seperti halnya orang yang berpuasa yang
hanya mendapat haus dan lapar belaka. Sekarang semuanya tergangtung kepada diri
kita sendiri, maukah belajar, belajar dan belajar untuk memiliki ilmu yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT baik sebelum maupun sesudah menunaikan ibadah
Haji dan Umroh. Terkecuali kita mampu mensucikan diri sendiri dan mengembalikan
kefitrahan tanpa bantuan Allah SWT.
Sebagai Khalifah yang saat ini sedang melaksanakan tugas di muka bumi, tentunya saat ini diri kita tidak bisa terlepas dari gangguan Ahwa yang tidak sesuai dengan Nilai-Nilai Ilahiah maupun gangguan Syaitan, termasuk di dalamnya gangguan dari Syaitan yang telah berubah wujud menjadi manusia atau manusia yang telah berubah wujud menjadi Syaitan. Sedangkan di lain sisi kita harus dapat menjaga kefitrahan diri sesuai dengan kehendak Allah SWT dari waktu ke waktu. Ingat, kita hadir kemuka bumi dalam kondisi fitrah dan kembalipun harus fitrah pula. Agar kefitrahan ini terjaga dari waktu ke waktu tidak ada jalan lain untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah.
Diinul Islam adalah konsep Ilahiah yang dipersiapkan dan diciptakan oleh Allah SWT dalam rangka memudahkan, dalam rangka mensukseskan kekhalifahan yang ada di muka bumi, sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, yaitu bahagia di dunia dan pulang kampung ke Syurga untuk bertemu dengan Allah SWT. Diinul Islam terdiri dari 3(tiga) ketentuan pokok yaitu ketentuan tentang Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, dengan ketentuan ketiganya tidak dapat dipisahkan dalam bentuk apapun juga. Adanya kondisi ini berarti setiap ketentuan yang ada di dalam Diinul Islam, apakah itu Rukun Iman, apakah Rukun Islam dan apakah itu ketentuan Ikhsan, harus dilaksanakan dalam satu kesatuan.
Selanjutnya dengan diri kita mampu melaksanakan perintah melaksanakan Ibadah Haji berarti diri kita sudah melaksanakan seluruh ketentuan Rukun Iman, ke empat ketentuan Rukun Islam dan siap untuk mempertunjukkan hasil dari pelaksanaan Diinul Islam yang Kaffah dalam bentuk kebaikan-kebaikan, atau disebut juga dengan Ikhsan dan juga berarti kita telah bertekad bulat untuk bertuhankan kepada Allah SWT dengan mematuhi segala perintah dan larangan-Nya saat diri kita menjadi Khalifah di muka bumi, saat menjadi tamu yang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT.
8. TIDAK
MEMILIKI HUTANG LAGI KEPADA ALLAH SWT
Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 97 yang kami kemukakan di bawah ini, dengan diri kita melaksanakan Ibadah Haji berarti Allah SWT memberikan kesempatan diri kita untuk melunasi kewajiban diri kita kepada Allah SWT, sehingga sempurnalah seluruh ketentuan Rukun Islam yang kita laksanakan yang artinya kita harus siap membuktikannya (maksudnya hasil dari melaksanakan ibadah Haji dan Umroh) di dalam perbuatan baik dalam kerangka Ikhsan, yang terpisahkan dengan ketentuan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Hal yang harus kita perhatikan setelah diri kita tidak memiliki hutang lagi kepada Allah SWT maka kita harus segera mempertunjukkan, atau memperlihatkan hasil dari menjadi Tamu yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam bentuk kebaikan-kebaikan atau melaksanakan Ikhsan dalam kerangka melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah. Jika hal ini tidak bisa kita lakukan setelah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh segeralah introspeksi diri karena ketidakmampuan diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
padanya terdapat tanda-tanda yang nyata,
(di antaranya) maqam
Ibrahim[215]; Barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia;
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang
yang sanggup Mengadakan perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari
(kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu)
dari semesta alam.
(surat
Ali Imran (3) ayat 97)
[215] Ialah: tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
[216] Yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat
pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.
Ingat, orang yang hanya
melaksanakan ibadah Umroh saja, maka ia masih memiliki kewajiban melaksanakan
ibadah Haji. Hal ini dikarenakan ibadah Umroh tidak bisa mengganti atau
menghapus kewajiban ibadah Haji dan jika saat ini kita sudah melaksanakan
ibadah Umroh berarti ketentuan yang tertuang di dalam surat Ali Imroh (3) ayat
97 masih berlaku kepada diri kita sehingga kita wajib melaksanakan ibadah Haji
walaupun kita telah berulangkali atau bahkan lebih dari seratus kali telah melaksanakan
ibadah Umroh. Untuk itu jangan sampai kita mendahulukan melaksanakan ibadah
Umroh dengan menomorduakan ibadah Haji
karena masa tunggu melaksanakan ibadah Haji sangat lama. Ingat, syarat dan
ketentuan ibadah Haji berbeda dengan syarat dan ketentuan ibadah Umroh sehingga
kita harus tetap mendahulukan ibadah Haji dibandingkan dengan melaksanakan
ibadah Umroh. Jangan sampai ibadah Haji yang merupakan bagian dari Diinul Islam
yang kaffah justru kita kebelakangkan
hanya karena waktu tunggu yang begitu lama.
Akibat dari kita yang mendahulukan
ibadah Umroh dibandingkan dengan ibadah Haji maka kita masih memiliki kewajiban
untuk melaksanakan ibadah Haji. Untuk itu ada baiknya kita mengukur dan
merenungi sisa usia yang tidak pernah kita ketahui sampai kapan sedangkan masa
tunggu untuk melaksanakan ibadah Haji yang begitu lama sehingga keduanya
berkejaran. Jika usia kita melebihi masa tunggu maka kita bisa melaksanakan
ibadah Haji dan hal ini tidak menjadi masalah jika kita sudah melunasi Biaya
Perjalanan Ibadah Haji. Namun jika usia kita tidak bisa melebihi masa tunggu dan
kita belum melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji padahal syarat dan ketentuan
ibadah Haji sudah kita miliki maka kondisi inilah yang sangat tidak kita
inginkan, yaitu kita dipersilahkan oleh Allah SWT untuk mati secara Yahudi
ataupun Nasrani padahal kita beragama Islam. Jangan sampai hal ini terjadi pada
diri kita, pada anak dan keturunan kita masing masing. Jangan pernah menunda
nunda untuk melaksanakan ibadah Haji karena resiko sangat berat, terkecuali
kita sanggup menahan panasnya api neraka.
9. PERJALANAN
LAHIR DAN BATHIN.
Berdasarkan surat
Al Baqarah (2) ayat 150 yang kami kemukakan di bawah ini, melaksanakan Ibadah Haji ke Baitullah dapat
dikatakan sebagai sebuah perjalanan lahir dan bathin. Dikatakan perjalanan
lahir dan bathin karena ibadah Haji adalah ibadah yang multi dimensi. Untuk
melaksanakan ibadah Haji tidak hanya didukung oleh keleluasaan rezeki dengan
mampunya diri kita melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) semata.
Sehingga kemampuan keuangan bukanlah satu satunya faktor utama yang dapat
mensukseskan diri kita melaksanakan ibadah Haji yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT.
Untuk itu kita harus pula mempersiapkan ilmu tentang Haji baik syariat dan hakekat, niat yang ikhlas, kesehatan Jasmani yang prima, kefitrahan Ruh/Ruhani, mempersiapkan bekal iman dan taqwa serta kesabaran semaksimal mungkin. Selain daripada itu, kita yang akan menunaikan ibadah Haji harus pula memenuhi regulasi yang telah diatur oleh Pemerintah karena ibadah Haji yang akan kita laksanakan bukan dilaksanakan di tanah air melainkan di Kerajaan Arab Saudi yang memiliki hukum dan ketentuan yang berbeda serta cuaca yang berbeda pula.
Untuk itu kita harus pula mempersiapkan ilmu tentang Haji baik syariat dan hakekat, niat yang ikhlas, kesehatan Jasmani yang prima, kefitrahan Ruh/Ruhani, mempersiapkan bekal iman dan taqwa serta kesabaran semaksimal mungkin. Selain daripada itu, kita yang akan menunaikan ibadah Haji harus pula memenuhi regulasi yang telah diatur oleh Pemerintah karena ibadah Haji yang akan kita laksanakan bukan dilaksanakan di tanah air melainkan di Kerajaan Arab Saudi yang memiliki hukum dan ketentuan yang berbeda serta cuaca yang berbeda pula.
dan dari mana saja kamu (keluar), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka Palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 150)
Disinilah salah satu letak dari ibadah Haji dikatakan sebagai perjalanan lahir dan bathin atau ibadah lahir dan bathin yang melibatkan banyak dimensi dimensi yang kesemuanya harus kita miliki, kita persiapkan dan juga kita laksanakan serta kita rasakan hasilnya baik saat di Baitullah maupun setelah kembali ke tanah air.
Jika saat ini kita pergi melaksanakan ibadah haji, banyak kemudahan kita peroleh dibandingkan dengan melaksanakan ibadah haji sebelum teknologi pesawat udara ada. Dengan semakin majunya teknologi trasnportasi, cukup hanya sekian jam saja (sekarang kurang lebih sembilan jam) kita sudah sampai ke Makkah atau ke Madinah.
Sekarang coba kita bayangkan jika kita mempegunakan kapal laut, atau kapal layar, berapa lama waktu yang kita tempuh untuk menuju ke Makkah atau ke Madinah. Sebuah perjuangan yang begitu hebat harus kita lalui, ombak, terpaan gelombang, mabuk laut, perasaan jenuh di atas kapal juga harus kita hadapi. Setelah sampai di Makkah atau Madinah, kita masih harus berjuang lagi untuk melaksanakan ibadah Haji. Setelah selesai melaksanakan Haji dan Umroh, kita masih harus berjuang lagi untuk pulang ke tanah air. Begitu hebat perjuangan yang harus kita lalui, begitu lama perjalanan yang harus kita tempuh, disinilah salah satu letak ibadah Haji dikatakan sebagai perjalanan lahir dan bathin.
Dan jika sekarang kita melaksanakan ibadah Haji atau melaksanakan ibadah Umroh dengan mempergunakan pesawat udara tentu hal ini sangat memudahkan diri kita karena jangka waktu perjalanan menjadi lebih singkat. Akan tetapi perlu kita ketahui dengan mudahnya waktu perjalanan tidak menghilangkan nilai perjalanan lahir dan bathin yang harus kita laksanakan karena yang harus melaksanakan ibadah Haji ataupun ibadah Umroh adalah Ruh/Ruhani beserta komponen Amanah yang 7 (maksudnya qudrat, iradat, ilmu, sami’, bashir, kalam, hayat yang menjadi modal dasar diri kita) sedangkan Jasmani yang prima harus tunduk patuh kepada Ruh/Ruhani. Sehingga yang ada hanyalah sifat sifat alamiah Ruh/Ruhani yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nass) yang sesuai dengan Asmaul Husna. Adanya kondisi ini pada saat diri kita menjadi tamu Allah SWT maka keadaan inilah yang bermakna perjalanan lahir dan bathin.
Hal yang terakhir adalah tidak ada pahala yang paling utama jika kita mampu menjadi Tamu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Allah SWT saat melaksanakan Ibadah Haji adalah memperoleh Haji Mabrur yang pahalanya adalah Syurga dan kondisi ini pulalah yang juga dapat dikatakan sebagai perjalanan atau ibadah lahir dan bathin.
Antara Umroh yang pertama dengan Umroh yang kedua penghapusan dosa-dosa (yang
dilakukan antara keduanya) dan haji mabrur tiada pahala kecuali Syurga.
(Hadits Riwayat Bukhari)
Semoga kita yang telah diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah Haji atau ibadah Umroh mampu merasakan, mampu menikmati, mampu menunjukkan hasil dari perjalanan/ibadah lahir dan bathin. Bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri, melainkan juga untuk keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan juga negara bahkan untuk generasi yang datang di kemudian hari sehingga kita memperoleh apa yang dinamakan umur panjang, yaitu mampu dikenang dalam kebaikan oleh generasi yang datang di kemudian hari. Semoga hal ini mampu memotivasi diri kita menjadi manusia manusia teladan seperti teladannya Nabi Ibrahim as, beserta keluarganya.
Inilah beberapa ketentuan dasar dari Ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan Allah SWT kepada umat manusia, dan masih banyak lagi. Timbul pertanyaan, butuhkah diri kita dengan Ibadah Haji dan Umroh atau butuhkah diri kita dengan segala manfaat yang hakiki yang terdapat dibalik perintah Ibadah Haji dan Umroh? Jawaban dari pertanyaan ini, tergantung kepada diri kita sendiri, karena Allah SWT tidak membutuhkan Ibadah Haji atau Umroh yang kita laksanakan. Mau melaksanakan atau tidak melaksanakan, tidak akan menambah atau mengurangi Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT sedikitpun. Allah SWT tetap Maha dan akan Maha selamanya. Jadi bertanyalah kepada diri kita sendiri lalu renungkanlah Hadits yang kami kemukakan di bawah ini.
Abu
Hind Addarmi ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Barangsiapa tidak rela menerima hukum-Ku dan tidak bersabar menghadapi
ujian-Ku, maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku.
(Hadits
Qudsi Riwayat Ibnu Hibbam, Aththabarani, Abu Dawud dan Asakir; 272:155)
Berdasarkan hadits di atas, ketentuan melaksanakan Ibadah
Haji dan Umroh adalah hukum yang berlaku
di muka bumi ini, dan jika kita tidak mau melaksanakan ketentuan ini
maka Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi untuk mempersilahkan
kita untuk keluar dari langit dan bumi Allah SWT, dikarenakan Allah SWT tidak
mau menjadi Tuhan bagi diri kita. Sekarang jika Allah SWT sampai mewajibkan
diri kita untuk melaksanakan Ibadah Haji sekali dalam seumur hidup, apakah hal
ini berlebihan?
Untuk itu kami persilahkan pembaca tulisan ini untuk memberikan jawaban yang paling sesuai dengan pemahaman tentang Ibadah Haji yang telah anda miliki saat ini, karena jawaban itu adalah cerminan dari diri kita sendiri. Selain daripada itu, untuk menambah wawasan tentang pengertian dasar dari apa itu Haji dan Umroh, berikut ini akan kami kemukakan beberapa ketentuan hadits yang sangat berhubungan erat dengan pengertian dimaksud, yaitu:
Untuk itu kami persilahkan pembaca tulisan ini untuk memberikan jawaban yang paling sesuai dengan pemahaman tentang Ibadah Haji yang telah anda miliki saat ini, karena jawaban itu adalah cerminan dari diri kita sendiri. Selain daripada itu, untuk menambah wawasan tentang pengertian dasar dari apa itu Haji dan Umroh, berikut ini akan kami kemukakan beberapa ketentuan hadits yang sangat berhubungan erat dengan pengertian dimaksud, yaitu:
Jihad yang paling afdhol adalah haji yang mabrur.
(Hadits
Riwayat Bukhari)
Barangsiapa yang berhaji karena Allah dengan tidak berkata jelek dan tidak berbuat dosa, maka ia seperti baru keluar dari perut ibunya.
(Hadits
Riwayat Bukhari Muslim)
Tamu Allah ada tiga: Orang yang berhaji, orang yang berumrah dan orang yang berperang sabil.
(Hadits
Riwayat An Nassa’i, Ibnu Hibban dan Hakim dari Abu Hurairah ra,)
Allah swt berfirman kepada Malaikat-malaikat-Nya: Lihatlah kepada orang yang menziarahi rumah-Ku, Sesungguhnya mereka telah mengunjungi Aku, hingga kusut masai keadaannya dan penuh debu.
(Hadits
Qudsi Riwayat Hakim yang bersumber dari Abu Hurairah ra,)
Pengeluaran ongkos-ongkos untuk berhaji sama seperti pengeluaran ongkos-ongkos fi sabilillah (perang sabil usaha-usaha pada jalan Allah) Satu Dirham dengan tujuh ratus kali ganda.
(Hadits
Riwayat Ahmad)
Sebagai Khalifah di muka bumi yang sangat membutuhkan Ibadah Haji dan
Umroh, sudahkah kita mengetahui apa makna dari ibadah Haji dan Umroh dan lalu sudahkah
kita mempelajarinya, sudahkah kita memahami itu semua sesuai dengan kehendak
pemberi perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh? Harapan kami, semoga
dengan adanya tulisan singkat ini mampu memotivasi kita untuk memiliki ilmu tentang Ibadah Haji dan
Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, mampu memiliki niat yang ikhlas,
mampu mempersiapkan Jasmani dan Ruh/Ruhani yang prima, mampu mempersiapkan
bekal iman dan taqwa, sehingga kita mampu memperoleh dan merasakan apa-apa yang
telah dipersiapkan oleh Allah SWT kepada tamunya dan mampu pula membuktikan
hasil dari pelaksanaaan Haji yang mabrur.
Selanjutnya timbul pertanyaan yang paling mendasar, untuk apakah Allah
SWT memerintahkan kepada diri kita, kepada anak keturunan kita, yang saat ini
menumpang di langit dan di bumi untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh,
minimal sekali seumur hidup, terutama untuk ibadah Haji? Ada tiga alasan yang
mendasar kenapa kita harus melaksanakan Ibadah Haji minimal sekali seumur hidup,
yaitu :
a.
Untuk menyelamatkan Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah
jati diri manusia yang sesungguhnya dari pengaruh Ahwa dan juga Syaitan yang
dapat menjadikan kualitas Ruh/Ruhani menjadi tidak fitrah lagi (menjadi jiwa
fujur). Ingat, Ruh/Ruhani asalnya fitrah dan harus kembali dalam kondisi yang
fitrah (jiwa muthmainnah) agar bisa bertemu Allah SWT di tempat yang fitrah
(maksudnya Syurga). Disinilah letak yang paling hakiki dari perintah menunaikan
ibadah Haji dan Umroh yang mabrur yaitu Allah SWT berkehendak agar Ruh/Ruhani
yang berasal Allah SWT tetap fitrah saat melaksanakan tugas sebagai Khalifah di
muka bumi dan kembalinya pun harus fitrah pula. Jika sampai Ruh/Ruhani tidak
fitrah lagi maka akan difitrahkan oleh Allah SWT melalui proses dibakar di
Neraka Jahannam.
.
b.
Allah SWT berkehendak kepada diri kita agar kita mampu
merasakan langsung nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT, di tempat yang
terbaik di muka bumi ini (maksudnya di Baitullah) serta di saat yang terbaik
yaitu saat Allah SWT melaksanakan Open House yaitu saat Wukuf di Padang Arafah
pada tanggal 9 (sembilan) Dzulhijjah, yang hasilnya bisa mengembalikan
kefitrahan diri kita (mampu menjadikan kita kembali fitrah) sepanjang kita
mampu melaksanakan ibadah Haji yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
c. Allah SWT berkehendak untuk mengembalikan kefitrahan diri kita atau menjadikan jiwa kita jiwa muthmainnah, akibat pengaruh dari perbuatan dosa yang telah kita lakukan dan juga akibat pengaruh Ahwa yang didukung oleh Syaitan sehingga menjadikan diri kita tidak sesuai lagi dengan konsep awal penciptaan manusia yang mengakibatkan diri kita tidak fitrah lagi atau yang mengakibatkan jiwa kita telah menjadi jiwa fujur.
Adanya ketiga hal yang kami kemukakan di atas, terlihat sangat jelas bahwa perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah untuk kepentingan yang memerintahkan Haji dan Umroh, melainkan untuk kepentingan yang diperintahkan oleh Allah SWT sehingga ibadah Haji terlihat sebagai ibadah yang bersifat individualistik.
Saat ini Allah SWT telah memerintahkan kepada diri kita untuk melaksanakan ibadah Haji dan ibadah Umroh berarti Allah SWT berkehendak kepada diri kita untuk secara langsung merasakan rasa sinergi antara Ruh atau Ruhani dengan Allah SWT selaku Yang Maha Bercahaya melalui pelaksanaan ibadah Haji dan ibadah Umroh sehingga hasil akhir pelaksanaan ibadah Haji dan ibadah Umroh mampu menjadikan diri kita tetap fitrah dari waktu ke waktu. Sebagai Khalifah di muka bumi, butuhkah kita merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT atau butuhkah kita bersinergi langsung dengan Allah SWT di Baitullah saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan? Adalah sebuah kejanggalan, adalah sebuah keanehan, adalah sebuah kelucuan, jika kita yang tidak lain adalah perpanjangan tangan Allah SWT tidak mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, padahal Allah SWT adalah pencipta kita, pengutus kita, pemberi fasilitas kita, sehingga kita ada di muka bumi saat ini.
Hal lain kenapa kita harus melaksanakan ibadah Haji dan Umroh karena kita tidak bisa sendirian menghadapi ahwa dan juga syaitan karena keduanya ada karena Allah SWT semata. Sehingga hanya dengan bersama Allah SWT sajalah kita bisa mengatasi Ahwa dan juga bisa mengalahkan syaitan. Jika ini kondisinya berarti hanya diri kita sendirilah yang tahu secara pasti apakah kita sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh ataukah tidak. Dan yang pasti Allah SWT tidak membutuhkan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan, akan tetapi kitalah yang membutuhkan ibadah Haji dan Umroh seperti halnya diri kita butuh mandi agar bisa memperoleh dan merasakan sehat dan segar.
Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu melaksanakan perintah Allah
SWT yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga kita mampu menjadikan diri
kita tamu yang dikehendaki lagi dibanggakan oleh Allah SWT oleh sebab ibadah
Haji dan Umroh yang kita laksanakan. Untuk itu, tidak ada jalan lain bagi diri
kita yang hendak melaksanakan ibadah Haji ataupun ibadah Umroh untuk mempersiapkan
segala sesuatunya dengan baik dan benar yang tentunya harus sesuai dengan
kehendak Allah SWT serta yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Ayo berusaha
dengan sungguh-sungguh agar kita terhindar dari memperoleh Haji Mardud, yaitu
ibadah haji yang dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar