Selanjutnya agar kefitrahan diri selalu terjaga dari waktu ke waktu, kita
tidak bisa hanya berpedoman kepada ke empat
ketentuan dasar dari kembali fitrah yang telah kami kemukakan di atas. Masih
ada beberapa ketentuan yang lain yang juga harus menjadi perhatian bagi setiap
jamaah Haji dan Umroh setelah kembali ke tanah air, yaitu:
1. SELALU MEMPERHATIKAN KONSEP HALALAN WA THAYIBAN
DI DALAM MENGKONSUMSI MAKANAN DAN MINUMAN.
Orang
yang telah menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur berarti orang tersebut
mampu melaksanakan ketentuan Allah SWT yang tertuang di dalam surat Abasa (80)
ayat 24 di bawah ini, yaitu mampu memperhatikan dengan seksama apa-apa yang
akan dimakannya, apa-apa yang akan dikonsumsinya, termasuk apa-apa yang akan
dikonsumsi oleh istrinya/suaminya, oleh anak dan keturunannya sehingga tidak
sembarangan mengkonsumsi makanan dan minuman. Selain dari pada itu, mampu
memenuhi ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 168 dan surat An Nahl (16) ayat
114 di bawah ini, yaitu orang yang mampu mengatur syarat dan ketentuan tentang
makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya. Seperti apakah syarat dan
ketentuan dimaksud? Kita diwajibkan, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk
selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi kriteria Halalan wa
Thayiban, atau Halal lagi Baik (maksudnya Halal lagi sesuai dengan ilmu gizi
dan kesehatan).
Maka
hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
(surat Abasa (80) ayat 24)
Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(surat Al Baqarah
(2) ayat 168)
Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah.
(surat An Nahl (16) ayat 114)
Ibnu
Abbas r.a. berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta’ala berfirman: Berkata Iblis: Ya Tuhan; Semua makhluk-Mu telah engkau
tentukan rezekinya, maka manakah rezekiku. Allah berfirman: Rezekimu adalah
makanan yang tidak disebut nama-Ku padanya.
(Hadits
Qudsi Riwayat Abussyekh; 272-259)
Selain ketentuan di atas, masih ada ketentuan lain yang harus kita
perhatikan sebelum makan dan minum, yaitu berdasarkan Hadits Qudsi yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, di atas ini, kita Wajib membaca Basmallah
sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman termasuk di dalamnya segala aktivitas
yang akan kita kerjakan. Selain daripada itu, untuk melengkapi itu semua maka kita
diwajibkan untuk membaca doa sebelum makan dan minum. Hal ini dikarenakan
melalui doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT, semoga Allah SWT memberikan
berkah dan karunia serta dihindarkannya diri kita dari mudharat yang terdapat
di dalam makanan dan minuman yang akan kita konsumsi serta pekerjaan yang akan
kita lakukan.
Sebagai Khalifah di muka bumi masih ada satu hal penting lainnya yang
harus kita perhatikan dengan seksama, yaitu ketentuan Halal lagi Baik (Halalan
Wa Thayiban) dari makanan dan minuman yang akan kita konsumsi bukanlah
ketentuan yang berdiri sendiri. Akan tetapi ketentuan ini juga sangat berkaitan
erat atau tidak bisa dilepaskan dengan
cara memperoleh makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, atau
ketentuan Halal lagi Baik sangat berhubungan erat dengan cara memperoleh
penghasilan, atau sangat berhubungan erat dengan pekerjaan yang kita lakukan
untuk mendapatkan makanan dan minuman.
Sebagai kepala keluarga, sebagai suami yang baik, sebagai istri yang
baik, tidak hanya sebelum menunaikan ibadah Haji dan Umroh kita memperhatikan
makanan dan minuman yang kita konsumsi. Namun selama hayat masih di kandung
badan kita harus tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Kita
tidak bisa sembarangan bekerja. Kita harus memperhatikan apa yang kita kerjakan
apakah sudah memenuhi Syariat yang berlaku ataukah melanggar Syariat, karena
hasil dari pekerjaan itu akan kita konsumsi bersama istri, suami dan anak
keturunan.
b. Kita
tidak bisa sembarangan memperoleh penghasilan, atau uang. Kita harus
memperhatikan dengan pasti dari manakah asalnya penghasilan atau uang tersebut,
apakah halal, apakah haram, apakah melanggar ketentuan undang-undang yang
berlaku, karena halal dan haram tidak bisa dicampur adukkan. Halal dan Haram
adalah sesuatu yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.
c. Kita
tidak bisa sembarangan di dalam mendapatkan makanan dan minuman. Kita harus
jeli dan tahu persis bagaimana makanan dan minuman itu kita peroleh, apakah
dibeli dengan uang yang halal, apakah di dalam dengan cara mencuri, karena apa
yang kita lakukan dapat berdampak negatif kepada apa yang akan kita konsumsi.
d.
Untuk
mendapatkan keluarga Sakinah, anak dan keturunan yang Shaleh dan Shalehah tidak
akan mungkin bisa kita wujudkan, jika penghasilan kita, jika pekerjaan kita,
jika makanan dan minuman yang kita konsumsi berasal dari yang haram lagi syaiat.
Keluarga sakinah ada karena kita sendiri yang menciptakan, kita sendiri yang
merencanakan untuk ada sehingga keluarga sakinah bukan turun dari langit.
Halal dan Haram tidak akan
mungkin sama kedudukannya dihadapan Allah SWT. Halal dan Haram sampai dengan
hari kiamat akan tetap berbeda. Halal akan membawa kepada kebaikan sedangkan
Haram akan membawa kepada keburukan. Jika ini adalah kondisi dasar dari
ketentuan Halal dan Haram yang berlaku di muka bumi ini, maka mulai saat ini
kita tidak bisa begitu saja makan dan minum, kita bisa begitu saja bekerja,
kita tidak bisa begitu saja memperoleh penghasilan, kita tidak bisa begitu saja
memperoleh makanan dan minuman, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke
Neraka Jahannam bersama Syaitan sang laknatullah.
Sekarang
pernahkah kita semua membayangkan jika Jasmani yang secara Sunnatullah sudah
memiliki sifat-sifat yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan, atau disebut
dengan Ahwa, lalu kondisi ini ditambah dengan sewaktu kita merawat dan
memeliharanya, atau menjadikan regenerasi kekhalifahan di muka bumi, dimana
sumbernya atau makanan dan minuman yang kita konsumsi bersifat Haram lagi
Syaiat? Apabila makanan dan minuman yang kita konsumsi memenuhi unsur Haram
lagi Syaiat maka hal-hal sebagai berikut akan terjadi, yaitu :
a. Sifat-sifat alamiah Jasmani yang mencerminkan
Nilai-Nilai Keburukan akan lebih sempurna keburukan-keburukannya.
b. Nilai-Nilai Keburukan yang terdapat di dalam Jasmani
menjadi lebih kental, atau bahkan menjadi bertambah dengan adanya unsur Haram
lagi Syaiat.
c. Adanya makanan dan minuman yang Haram lagi
Syaiat maka Ahwa akan memperoleh tambahan bahan bakar sehingga kemampuan Ahwa
untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi Ruh/Ruhani menjadi bertambah
kuat.
Jika sampai
diri kita selalu memberikan makanan dan minuman kepada Jasmani berupa makanan
dan minuman yang masuk dalam kategori Haram lagi Syaiat berarti kita telah
memberikan kesempatan bagi Syaitan untuk membangun rumahnya, membangun
istananya di dalamnya Jasmani diri kita, yang pada akhirnya akan memudahkan
Syaitan untuk melaksanakan aksinya mengganggu, dan mengoda diri kita serta
menjauhkan diri kita kepada jalan yang lurus dan juga menggagalkan diri kita memperoleh
anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah.
Setiap
manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruhani, lalu apakah hanya Jasmani saja
yang membutuhkan makanan dan minuman untuk merawatnya, sehingga Ruhani tidak
perlu dirawat dan dipelihara? Selama diri kita masih terdiri dari Jasmani dan Ruh/Ruhani
maka keduanya harus dirawat dan dijaga kesehatannya. Dan jika kita berpedoman
kepada asal usul dari Jasmani dan Ruh/Ruhani maka makanan dan minuman untuk
merawat dan menjaga Jasmani dan Ruh/Ruhani pasti berbeda.
Sekarang makanan dan
minuman apakah yang paling dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani? Ruh/Ruhani yang asalnya
dari Allah SWT pasti Ruh/Ruhani memerlukan kedekatan dengan Allah SWT. Untuk
dapat mendekatkan Ruh/Ruhani dengan Allah SWT, maka makanan dan minuman Ruh/Ruhani
adalah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, membaca dan mengamalkan
Al-Qur'an, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, pergi Haji atau Umroh, Shadaqah
Zariah serta Dzikir kepada Allah SWT. Adanya
perbedaan makanan dan minuman antara Jasmani dan Ruh/Ruhani maka kita harus
pandai-pandai menyeimbangkan pemberian makanan dan minuman baik kepada Jasmani maupun
kepada Ruh/Ruhani.
Untuk itulah
kita tidak bisa hanya condong kepada Jasmani semata dengan melalaikan kebutuhan
Ruh/Ruhani, karena Ruh/Ruhani juga membutuhkan Jasmani yang sehat. Demikian
pula sebaliknya kita tidak bisa hanya condong kepada Ruh/Ruhani semata dengan
melalaikan kesehatan Jasmani, karena hidup adalah saat bersatunya Jasmani
dengan Ruh/Ruhani, dimana keduanya dituntut dalam kondisi sehat. Untuk itu kita
tidak bisa hanya mementingkan makanan Ruh/Ruhani saja dengan mengabaikan
kepentingan Jasmani sebab baik Ruh/Ruhani maupun Jasmani harus tetap kita
pelihara dan harus kita rawat sesuai dengan kondisinya masing-masing, yaitu Ruh/Ruhani
melalui Diinul Islam (maksudnya konsep ilahiah yang diciptakan oleh Allah SWT
untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi), sedangkan Jasmani melalui ilmu
kesehatan dan ilmu gizi.
2. HABBLUM MINALLAH DIBUKTIKAN SAAT MELAKSANAKAN HABBLUM MINANNASS
Orang
yang telah melaksanakan Haji dan Umroh yang mabrur adalah orang yang mampu
melaksanakan Habblum Minallah (hubungan vertikal) yang tercermin di dalam
Habblum Minannass (hubungan horizontal) yang pada akhirnya diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara
mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT melalui fitrah
dan melalui Jiwa Muthmainnah sehingga keberadaan diri kita di tengah masyarakat
bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat.
Sekarang seperti apakah Hubungan dengan Allah SWT (Habblum Minallah) itu?
Hubungan
dengan Allah SWT tidak dapat terjadi begitu saja terjadi,.Hubungan dengan Allah
SWT tidak dapat begitu saja terjalin dua arah. Hubungan dengan Allah SWT baru
akan dapat terjadi dan memberikan dampak positif kepada diri kita jika: Kita yang kecil wajib menyelaraskan, wajib
menyerasikan, dan wajib menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan Allah SWT
Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus berada di dalam ketentuan Allah SWT Yang
Maha Besar; Kita yang kecil harus sesuai dengan Syarat dan Ketentuan yang
dikehendaki oleh Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah
sekalipun meninggalkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah
mencoba mengalahkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah sekalipun melecehkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil
harus selalu berada di dalam gelombang dan siaran yang sama dengan Allah SWT
Yang Maha Besar.
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa
yang kamu kerjakan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 110)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali
supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
(surat Al Bayyinah (98) ayat 5)
Sebagai
Makhluk yang tidak memiliki apapun juga saat datang ke muka bumi ini, sudahkah
kita melaksanakan tujuh ketentuan yang kami kemukakan di atas? Jika kita
termasuk orang yang telah Tahu Diri, apa yang kami kemukakan di atas sudah
pasti dapat kita lakukan dengan sebaik mungkin karena hanya dengan itulah kita
bisa bersinergi dengan Allah SWT. Sekarang siapakah yang paling diuntungkan
jika kita mampu bersinergi dengan Allah SWT? Allah SWT sampai kapanpun juga
tidak butuh dengan sinergi, akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan sinergi
dengan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti yang paling diuntungkan adalah
diri kita sendiri.
Sekarang
diri kita sudah mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang
mensinergikan Ruh/Ruhani kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan
Amanah yang 7 yang ada pada diri kita dengan Allah SWT serta kita juga sedang
mensinergikan Sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan Allah SWT. Akan tetapi jika proses sinergi yang
telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai
dengan konsep fitrah dan juga Jiwa Muthmainnah jika jika apa-apa yang telah tersambung dengan Allah SWT, jika
apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di
dalam perbuatan kepada sesama umat manusia secara utuh.
Untuk
itu kita harus bisa menghilangkan saat ini juga
konsep untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri,
keluarga serta kelompok kita kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta
kelompok ambil untungnya buang ruginya ketempat lain. Selain daripada itu konsep
menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi,
yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di
balik batu, tanpa menyembunyikan sesuatu. Berikut ini akan kami kemukakan
beberapa contoh dari sinergi dimaksud, yaitu:
a. Jika Ruh/Ruhani bersinergi dengan Kebesaran Allah
SWT, atau Ruh/Ruhani diri kita tersambung dengan Kebesaran Allah SWT berarti Ruh/Ruhani
diri kita mampu menguasai Jasmani diri kita, sehingga Nilai-Nilai Kebaikan yang
dibawa oleh Ruh/Ruhani mampu mengalahkan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh
Jasmani. Dan jika ini terjadi pada diri kita berarti segala perbuatan diri kita
selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang tidak hanya dapat
dinikmati oleh diri sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh anak dan
keturunan, oleh masyarakat, oleh Bangsa dan Negara.
b. Jika Ilmu yang kita miliki mampu bersinergi
dengan Ilmu Allah SWT maka Ilmu tersebut tidak disimpan hanya untuk kepentingan
diri, keluarga atau kelompok tertentu saja. Namun Ilmu itu harus diajarkan
kepada semua orang tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan
sehingga berguna bagi semua orang.
c. Jika Qudrat yang kita miliki mampu tersambung
dengan Qudrat Allah SWT maka segala kekuatan, segala kekuasaan yang kita miliki
tidak hanya bermanfaat bagi diri, keluarga semata. Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang
menjadi tertolong, terbantu, atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat
luas.
d. Jika Kalam yang kita miliki mampu tersambung
dengan Kalam Allah SWT maka kata-kata, tutur kata, omongan yang keluar dari
mulut kita tidak akan menyakiti hati orang lain, selalu bermanfaat, dapat menyenangkan banyak orang,
dapat menjadi pendengar yang baik serta mampu menerapkan falsafah diam itu
emas.
e. Jika Ar Rahman dan Ar Rahhiem, yang kita
miliki tersambung dengan Allah SWT maka banyak orang tidak mampu yang ada
disekitar diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab keberadaan diri kita tanpa
melihat siapa mereka, darimana mereka berasal serta kesenjangan sosial dapat
teratasi dengan sendirinya.
f. Jika Ar Razaq yang kita miliki dapat
tersambung dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki Allah SWT? Hal yang akan terjadi
adalah kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak akan mau Kolusi,
Korupsi, Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah memperoleh Rezeki
sebagian dari Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Zakat, Infaq,
Shadaqah, Jariah, yang pada intinya untuk menolong banyak orang. Demikian
seterusnya.
Sebagai
Khalifah di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah
semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita
harus bisa melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum
Minallah.
Melaksanakan
Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di
dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan
itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu
semua. Jika semua orang yang telah mampu melaksanakan Habblum Minallah dan
Habblum Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang
dinamakan dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan
terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang
terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat
jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin
menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti ibadah Haji dan
Umroh yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada
sesuatu yang salah di dalam diri kita.
3. SELALU INGAT KEPADA ALLAH SWT, DIMANAPUN &
KAPANPUN.
Orang yang telah melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh yang mabrur adalah orang yang selalu ingat kepada Allah
SWT dimanapun ia berada, dalam kondisi apapun sehingga ia merasa selalu diawasi
oleh Allah SWT, atau ia merasa bahwa Allah SWT selalu menyertai dirinya di
manapun dan kapanpun sehingga kita tidak bisa menghindarkan diri dari kebesaran
dan kemahaan Allah SWT. Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah bahwa ingat
kepada Allah SWT bukanlah sekedar ingat. Akan tetapi ingat kepada Allah SWT
haruslah ingat yang disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan yang kita
ingat. Katakan jika kita ingat Allah SWT adalah Maha Kaya, maka jika kita
memiliki kekayaan yang berasal dari Allah SWT sudahkah kekayaan yang kita
miliki kita pergunakan di dalam kehendak Allah SWT, atau sudahkah sebahagian
kekayaan yang kita miliki kita keluarkan hak Allah SWT kepada orang yang memerlukan,
atau sudahkah kekayaan yang kita miliki kita pergunakan untuk membeli tiket
masuk Syurga atau jangan sampai kekayaan yang kita miliki justru membawa diri
kita ke Neraka Jahannam.
Maka apabila kamu telah
menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan
di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 103)
Jangan pernah menjadikan diri
kita hanya sebatas penonton belaka, hanya sebagai pengagum belaka, atau hanya
mampu menjadi komentator dan juga pengamat dari Kemahaan dan Kebesaran Allah
SWT semata karena kebodohan kita.
Akan tetapi kita harus aktif memperoleh, aktif untuk mendapatkan, aktif
merasakan langsung Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT, atau aktif merasakan
nikmatnya bertuhankan Allah SWT yang kesemuanya memang dikhususkan untuk
seluruh manusia yang ada di muka bumi ini, termasuk untuk diri kita sepanjang
diri kita mau meminta kepada Allah SWT.
Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Aku selalu menurutkan persangkaan hambaKu
terhadap diriKu, jika ia bersangka baik, maka ia dapat balasannya, demikian
pula bila ia berprasangka jahat, maka ia dapat balasannya.
(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad, Muslim,
Ath Tharani, Ibnu An Najjar; 272:73)
Jangan pernah kita berprasangka buruk
kepada Allah SWT karena berdasarkan hadits di atas ini, hasilnya adalah
keburukan pula. Contohnya kita berprasangka kepada Allah SWT bahwa Allah SWT tidak
akan menolong kita maka Allah SWT pun tidak akan menolong kita. Akan tetapi
jika kita selalu berprasangka baik kepada Allah SWT lalu kita mohon kepada
Allah SWT maka Allah SWTpun akan mengabulkan apa yang kita mohonkan. Prasangka
baik akan memperoleh kebaikan pula, demikian pula dengan prasangka buruk akan
memperoleh keburukan pula.
Hal yang harus kita jadikan pedoman saat
berprasangka adalah berhati hatilah dengan prasangka kepada Allah SWT karena
dibalik prasangka baik dan juga prasangka buruk selalu ada Syaitan yang siap
menungganginya sehingga kita dibuat pesimis dalam hidup dan kehidupan. Saat
kita berprasangka baik kepada Allah SWT maka syaitan akan mengganggu keyakinan
yang telah kita yakini dengan menimbulkan rasa tidak akan diterima oleh Allah
SWT. Hal yang samapun jika kita berprasangka buruk kepada Allah SWT maka
syaitan lebih leluasa di dalam menggangu keyakinan kita. Disinilah letak
pentingnya keimanan kepada Allah SWT, jika kita yakin dengan prasangka baik
kepada Allah SWT pertahankan prasangka baik itu, jangan hiraukan gangguan
syaitan karena syaitan berusaha untuk menggagalkan apa yang kita mohonkan.
Syaitan akan sangat bergembira dan bersuka cita jika kita selalu berprasangka
buruk kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini sangat memudahkan syaitan menggangu
diri kita dan kondisi ini sangat dikehendaki Syaitan.
4. BILA DISEBUT NAMA ALLAH SWT GEMETAR HATINYA
Orang yang telah melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh yang mabrur adalah orang yang bila disebut nama Allah SWT
kepadanya atau jika mendengar, atau jika diperdengarkan nama Allah SWT kepadanya
maka gemetarlah hatinya, tersentuhlah af’idah atau perasaannya, sehingga ia
sangat membutuhkan Allah SWT sehingga kita merasa kecil dihadapan Allah SWT. Hal ini terjadi karena orang tersebut telah mengetahui
siapa Allah SWT yang sesungguhnya, telah mengerti dengan benar dimana Allah SWT berada atau orang tersebut
telah ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT..
(yaitu) orang-orang yang
apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mareka, orang-orang yang sabar
terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan
orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada
mereka.
(surat
Al Hajj (22) ayat 35)
Dalam kehidupan sehari-hari,
katakan kita mengenal seseorang yang sangat kita kenal, kemudian karena sesuatu
sebab kita berpisah dengannya sekian lama. Lalu pada suatu ketika kita
mendengar namanya disebut orang, apa yang kita rasakan saat itu? Setelah
mendengar nama orang yang sangat kita kenal tersebut maka tergetarlah hati kita
yang kemudian kitapun berusaha untuk mencari tahu dimana ia berada.
Tergetarnya hati kita ketika
disebut namanya karena kita sudah sangat mengenal betul orang tersebut.
Sekarang bagaimana jika kita mendengar nama Allah SWT disebut orang, apakah
hati kita juga akan bergetar?
Jika kita termasuk orang yang telah fitrah atau jiwa kita telah menjadi jiwa
Muthmainnah berarti kita sudah pasti mengenal siapa Allah SWT yang sesungguhnya
dan sudah pasti mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya. Adanya kondisi ini
maka sudah seharusnya jika disebut nama Allah SWT kepada diri kita, bergetarlah
hati kita. Dan jika hal ini tidak terjadi pada diri kita maka dapat dipastikan
kita belum fitrah dan juga belum menjadikan jiwa kita jiwa Muthmainnah sehingga
ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Sekarang apa yang harus kita sikapi
dengan kondisi seperti ini, apakah cukup dengan bergetar saja, ataukah harus
melakukan suatu perbuatan?
Sebagai orang yang telah mampu
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT maka di setiap apa yang kita
lihat di muka bumi ini maka harus terbayang oleh kita bahwa semuanya ada karena
diciptakan oleh Allah SWT (semuanya adalah Ciptaan Allah SWT), yang dilanjutkan
dengan memberikan pernyataan bahwa semua yang ada di muka bumi adalah
tanda-tanda dari Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT dan yang terakhir
kita harus bisa menyatakan bahwa di setiap ciptaan yang ada di muka bumi ini
selalu bersama Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT (di setiap ciptaan ada
Allah SWT). Lalu apa yang harus kita lakukan dengan kondisi ini? Jika apa yang
kami kemukakan di atas telah mampu kita
lakukan maka kita harus bisa menempatkan dan meletakkan bahwa Allah SWT adalah
segala-galanya dan selanjutnya kita harus berbuat, bekerja, berkarya, sesuai
dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Hal yang harus kita perhatikan
adalah saat kita berbuat, bekerja dan berkarya maka tidak boleh sekalipun
menempatkan dan meletakkan segala yang diciptakan oleh Allah SWT, segala
tanda-tanda Kebesaran, Kemahaan dan Ilmu dari Allah SWT lebih tinggi
kedudukannya dibandingkan dengan Allah SWT itu sendiri dan lalu kita meminta
bantuan kepadanya (maksudnya kita tidak boleh meminta bantuan kepada
Ciptaan Allah SWT atau meminta bantuan kepada Tanda-Tanda Kebesaran, Kemahaan,
dan Ilmu Allah SWT karena di luar itu semua masih ada Allah SWT). Lalu kepada
siapa kita harus meminta pertolongan? Untuk itu kita harus meminta pertolongan
langsung hanya kepada Allah SWT melalui Kemahaan, Kebesaran dan Ilmu yang ada
pada Allah SWT, tanpa melalui perantara oleh sebab apapun juga.
Jika Allah SWT memiliki sifat
Ilmu maka kita harus bisa membayangkan betapa tingginya Ilmu Allah SWT sehingga
mampu menciptakan alam semesta ini dan jika saat ini kita juga memiliki Ilmu
yang berasal dari Allah SWT maka kita harus mempergunakan Ilmu yang berasal
dari Allah SWT selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Dan jika pada saat
diri kita berbuat, bekerja dan berkarya mengalami kekurangan Ilmu atau jika
kita ingin mencari Ilmu, jangan pernah mencari Ilmu kepada ciptaan Allah SWT,
atau jangan pernah pula mencari Ilmu kepada Tanda-Tanda Kebesaran dan Kemahaan
Allah SWT. Akan tetapi mintalah langsung kepada Allah SWT selaku pemilik Ilmu
(dan juga Ilmu merupakan salah satu Sifat Ma’ani Allah SWT) itu sendiri melalui
doa yang kita panjatkan sebelum memulai belajar dengan mengatakan “Ya Allah,
Tambahi Ilmu, Pertinggilah Kecerdasanku, serta berikanlah aku pemahaman yang
sesuai dengan Kehendak-Mu’. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani Allah
SWT dan Asmaul Husna.
Inilah beberapa hal yang harus kita perhatikan setelah diri kita kembali
fitrah melalui ibadah Haji dan Umroh yang mabrur. Dimana ketentuan Fitrah yang
dimaksud adalah masih sesuaikah kondisi dan keadaan diri kita saat pertama kali
diciptakan oleh Allah SWT. Lalu apakah keberadaan diri kita masih sesuai dengan
konsep awal penciptaan manusia yang sesuai dengan konsep penciptaan Allah SWT?
Mudah-mudahan kondisi dan keadaan kita masih fitrah dan saat ini lebih banyak manusia
yang fitrah dibandingkan dengan yang sudah tidak fitrah lagi dan jika kondisi
yang tidak fitrah ingin kita kembalikan ke kondisi fitrah maka lakukan sekarang
juga Taubatan Nasuha sebelum Ruh Tiba dikerongkongan. Sekarang bertanyalah
kepada diri kita sendiri, butuhkah kita dengan fitrah, atau butuhkah kita dengan
Allah SWT sehingga diri kita kembali kepada fitrah? Jawaban dari pertanyan ini,
hanya diri kita dan Allah SWT sajalah yang tahu dan ingat segala konsekuensi
dari ini semua diri kita sendirilah yang akan merasakannya.
Timbul pertanyaan, masih berlakukah ketentuan Fitrah dari Allah
SWT kepada diri kita saat ini? Allah SWT masih tetap memberlakukan atau Allah
SWT masih tetap melaksanakan atau Allah SWT masih tetap konsisten terhadap
ketentuan Fitrah terhadap diri kita, yang dimulai dari pernyataan di dalam
rahim sampai dengan hari kiamat kelak. Yang menjadi persoalan saat ini adalah
sudah sejauh mana diri kita konsisten dengan kefitrahan yang diberlakukan oleh
Allah SWT? Semoga kita semua mampu menjaga kefitrahan diri dalam kondisi apapun
juga dan mampu melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada
diri kita.
Panjang atau pendeknya fitrah yang kita butuhkan bukanlah Allah
SWT yang menentukan, akan tetapi diri kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini
dikarenakan Allah SWT tidak butuh dengan Fitrah diri kita, tetapi kitalah yang
sangat membutuhkan fitrah selama hayat masih dikandung badan, selama ahwa dan
syaitan masih menjadi musuh diri kita (selama kita tidak mampu mengalahkan ahwa
dan syaitan seorang diri). Hal yang harus kita perhatikan adalah dampak kembali
ke fitrah melalui rasa diterimanya diri kita saat melaksanakan ibadah Haji dan
Umroh tidak hanya kita rasakan pada saat di Baitullah, pada saat di Arafah,
pada saat di Madinah. Akan tetapi harus terus selama hayat masih di kandung
badan serta harus pula berdampak kepada diri, keluarga, anak keturunan,
masyarakat, bangsa dan negara.
Selanjutnya akan kami kemukakan tujuh buah indikator dari
telah kembalinya fitrah dalam diri yang dapat kita jadikan pedoman dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu:
a.
Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 125 di bawah ini,
orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka hidupnya
selalu dalam kebaikan, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk
masyarakat luas. Sekarang sudahkah kita selalu berbuat kebaikan setelah pulang
melaksanakan ibadah haji dan umroh?
Dan siapakah yang
lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada
Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang
lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
(surat An Nisaa’ (4)
ayat 125)
Orang yang telah menjadikan
jiwanya fitrah, akan selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas,
menjadi tokoh yang terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang
dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat merasa terbantu
karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena keberadaan
diri kita. Hal yang tidak akan mungkin terjadi jika kita telah kembali fitrah yang
jiwanya adalah jiwa Muthmainnah adalah menjadikan dirinya sebagai pelaku
kejahatan, menjadikan dirinya sebagai biang keributan, menjadikan dirinya sebagai biang
keonaran, menjadikan dirinya sebagai otak di balik kejahatan, atau masyarakat
menjadi teraniaya oleh sebab perbuatannya dan juga oleh sebab omongannya.
Kami telah menjadikan
mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami
dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan
sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,
(surat
Al Anbiyaa' (21) ayat 73)
Sesungguhnya penolong kamu
hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat
dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
dan Barangsiapa mengambil
Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka
Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang.
(surat
Al Maa-idah (5) ayat 55-56)
[423] Yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang
yang beriman sebagai penolongnya.
Jika kita telah kembali fitrah yang memiliki jiwa Muthmainnah dapat
dipastikan kita selalu memiliki keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu
ingin berbagi kepada sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun
kesenangan, selalu ingin berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari
waktu ke waktu. Sedangkan berdasarkan
hadits yang kami kemukakan di bawah ini, kita akan diberikan afiah di dunia dan
juga Allah SWT akan memberikan ampunan bagi diri kita, bagi anak keturunan kita
yang mampu melaksakanan ibadah haji dan umroh yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Abu
Dzar ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Dawud: Ya
Tuhan-Ku apakah yang didapat oleh hamba-hamba-Mu yang telah berziarah ke
rumah-Mu? Allah berfirman: Sesungguhnya tiap orang yang berziarah mempunyai hak
terhadap yang diziarahi/dikunjungi. Wahai Dawud: Adalah hak mereka pengunjung
rumah-Ku, bahwa Aku mengurniai afiah kepada mereka di dunia dan mengampuni
mereka bila mereka menemui-Ku.
(Hadits
Qudsi Riwayat Aththabarani, 272:245)
b.
Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 105 di bawah ini,
orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia
tidak akan mau lagi berbuat syirik lagi musyrik di dalam kehidupannya, apalagi
setelah merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT melalui ibadah Haji
dan Umroh yang mabrur.
Dan (aku telah
diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan
janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik.
(surat Yunus (10)
ayat 105)
Di lain sisi, saat diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh kita diwajibkan untuk
bertalbiyah saat di Baitullah. Di dalam Talbiyah yang kita ucapkan, kita telah
menyatakan tidak ada sekutu bagimu Ya Allah. lalu apakah hanya saat di
Baitullah saja kita menyatakan seperti itu kemudian setelah kembali ke tanah
air pernyataan itu berubah? Jika kita telah kembali fitrah maka pernyataan
untuk tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu tidak hanya kita laksanakan
saat di Baitullah saja. Melainkan dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun
kita tidak boleh sekalipun menyekutukan Allah SWT, terkecuali jika kita ingin
merasakan pulang kampung bersama Syaitan ke Neraka Jahannam.
c.
Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 72 di bawah ini,
orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia
akan selalu tolong menolong, ringan tangan untuk menolong, ikhlas dalam
berbuat, selalu menyayangi sesama. Sekarang sudahkah kita menjadi pelopor di
dalam kebaikan di tengah masyarakat setelah diri kita pulang melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh yang mabrur?
Sesungguhnya orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan
orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang
muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap)
orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban
sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi)
jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka
kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada
Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu
kerjakan.
(surat Al Anfaal (8) ayat 72)
[624] Yang dimaksud
lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan
yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan
keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka
waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.
Jika belum berarti hakekat dari ibadah Sa’i yang tidak
lain adalah napak tilas perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as, tidak bisa kita
laksanakan karena kita tidak mampu menjadikan diri kita seperti keluarga Nabi
Ibrahim as, yang kita napak tilasi, yang pada akhirnya kita tidak mampu berbuat kebaikan bagi masyarakat luas.
Sedangkan keluarga Nabi Ibrahim as, mampu meninggalkan kebaikan dalam hal ini
air zam zam sampai dengan hari kiamat kelak. Dan yang kedua dapat dikarenakan
apa apa yang telah kita lontarkan saat Jumroh kembali lagi kepada diri kita,
seperti sifat malas, pelit, tergesa gesa, mementingkan diri sendiri, kembali
menjadi perbuatan diri kita. Padahal sifat sifat itu sudah kita buang melalui
lontar Jumroh.
d.
Berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 3 di bawah ini,
orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia
akan selalu dekat dengan Allah SWT sehingga ia akan selalu menomorsatukan Allah
SWT disetiap perbuatan dan langkah yang diperbuatnya. Sebagai orang yang telah
pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah kita menjadi orang dekat Allah
SWT sehingga perbuatan kita selalu berkesesuaian dengan Allah SWT Yang Maha Dekat?
Ingatlah, hanya
kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.
(Az Zumar (39) ayat
3)
Katakan Allah SWT
memiliki perbuatan Al Rachman Al Rahiem kemudian apakah kita yang sudah
menjadi orang yang dekat kepada Allah SWT justru berbuat yang berseberangan
dengan perbuatan Allah SWT yaitu Ar Rachman Al Rahiem? Jika sampai kita
melakukan perbuatan menganiaya sesama manusia berarti kita belum kembali fitrah
setelah menunaikan ibadah Haji dan Umroh. Demikian seterusnya sesuai dengan
Asmaul Husna.
e.
Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 29 di bawah ini, orang yang telah
kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu
berbuat adil, lurus, selalu mendirikan shalat (melaksanakan diinul islam secara
kaffah) serta ikhlas. Sebagai orang yang telah pulang melaksanakan ibadah Haji
dan Umroh, sudahkah hal hal yang kami kemukakan di atas menjadi perbuatan kita?
Jika tidak berarti ada yang salah di dalam pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh
yang kita laksanakan.
Katakanlah: "Tuhanku menyuruh
menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka
(diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan
(demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat Al A’raaf (7) ayat 29)
[533] Maksudnya:
tumpahkanlah perhatianmu kepada sembahyang itu dan pusatkanlah perhatianmu
semata-mata kepada Allah.
Untuk itu segeralah memperbaiki diri atau segeralah
introspeksi diri dengan selalu melihat ke dalam karena hanya dengan melihat ke
dalam dirilah langkah menuju perubahan kepada yang lebih baik terbuka luas.
Segeralah berubah ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan kehendak Allah SWT
atau kita akan dirubah oleh syaitan ke arah keburukan.
f.
Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 122 di bawah ini, orang yang telah
kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu
belajar, selalu menuntut ilmu, untuk kepentingan kaum atau masyarakat banyak.
Sebagai orang yang telah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah
hal ini kita perbuat?
Tidak sepatutnya bagi mukminin itu
pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang
agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali
kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
(surat At Taubah (9) ayat 122.
Setelah diri kita giat belajar lalu memiliki ilmu ketahuilah ilmu yang
kita miliki belum dikatakan menjadi ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang
memilikinya. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan bermanfaat jika ilmu
yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain. Semakin banyak kita
ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh orang banyak.
g. Berdasarkan surat Al Maa’uun (107) ayat 1-2-3,
orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia
akan selalu menjadi penolong bagi yatim, faqir, dan miskin. Sebagai orang yang
telah pulang melaksanakan ibadah haji dan umroh, sudahkah hal ini kita perbuat
untuk kemaslahatan diri kita sendiri sebagai buah dari pelaksanaan ibadah Haji
dan Umroh yang mabrur?
Tahukah
kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah
orang yang menghardik anak yatim,
Dan
tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
(surat
Al Maa’uun (107) ayat 1-2-3)
Jangan sampai kita yang sudah melaksanakan ibadah Haji
dan Umroh yang mabrur mensiasiakan hasil dari pelaksanaan ibadah tersebut
hilang ditelan ombak karena kita tidak mampu membuktikan hakekat yang hakiki
yang terdapat di balik perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh.
Sekarang kita telah pulang ke tanah air setelah melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh lalu kitapun telah memperoleh Haji dan Umroh yang mabrur,
yang artinya kita telah kembali fitrah karena telah difitrahkan oleh Allah SWT.
Jika ini kondisinya maka langkah dan modal dasar untuk menjadikan diri kita
menjadi manusia yang dibanggakan oleh Allah SWT. Selanjutnya tinggal bagaimana
diri kita mengolah dan menjadikan modal dasar ini menjadi sesuatu yang sangat
berguna bagi diri kita, bagi keluarga, bagi
masyarakat, bagi bangsa dan negara serta bagi generasi yang datang dikemudian
hari yang mengakibatkan nama kita selalu dikenang di dalam kebaikan dan menjadi
umur yang panjang bagi diri kita.
Sebagai Khalifah di muka bumi baik sudah melaksanakan ibadah
Haji dan Umroh maupun yang belum melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, itulah
enam buah ketentuan dasar yang berlaku kepada orang yang kembali fitrah. Sekarang
semuanya terpulang kepada diri kita sendiri, apakah mau menjadi orang yang kembali
fitrah ataukah tidak dan ingat Allah SWT tidak membutuhkan kembali fitrahnya diri
kita. Allah SWT juga tidak membutuhkan apapun umat manusia, akan tetapi kitalah
yang membutuhkan Allag SWT. Jadi tentukanlah mulai saat ini juga karena waktu
terus berjalan dan juga waktu tidak bisa diputar ulang dan ingat kesempatan
hanya berlaku sebelum Ruh/Ruhani tiba di kerongkongan
Sekali lagi kami katakan, jika saat ini kita sudah
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, lalu sudahkah diri kita kembali fitrah
kembali sehingga ciri-ciri orang fitrah ada pada diri kita? Jika apa yang kami
kemukakan belum ada pada diri kita berarti ada sesuatu yang salah di dalam
pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita lakukan dan ingat perintah yang berasal Allah SWT sampai kapanpun tidak
akan pernah salah, yang salah adalah diri kita yang tidak bisa melaksanakan
perintah yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Untuk itu jangan pernah
salahkan pemberi perintah melaksanakan ibadah haji dan umroh, tetapi salahkan
diri sendiri yang tidak bisa melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak
pemberi perintah. Dan jika sekarang di dalam diri tidak ada perubahan yang luar
biasa segeralah bertaubat sepanjang kesempatan untuk bertaubat masih ada pada
diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar