Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 23 Januari 2018

HIKMAH HAJI DAN UMROH (part 2 of 2)

Selanjutnya agar kefitrahan diri selalu terjaga dari waktu ke waktu, kita tidak bisa hanya berpedoman kepada  ke empat ketentuan dasar dari kembali fitrah yang telah kami kemukakan di atas. Masih ada beberapa ketentuan yang lain yang juga harus menjadi perhatian bagi setiap jamaah Haji dan Umroh setelah kembali ke tanah air, yaitu:


1. SELALU MEMPERHATIKAN KONSEP HALALAN WA THAYIBAN DI DALAM MENGKONSUMSI MAKANAN DAN MINUMAN.

Orang yang telah menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur berarti orang tersebut mampu melaksanakan ketentuan Allah SWT yang tertuang di dalam surat Abasa (80) ayat 24 di bawah ini, yaitu mampu memperhatikan dengan seksama apa-apa yang akan dimakannya, apa-apa yang akan dikonsumsinya, termasuk apa-apa yang akan dikonsumsi oleh istrinya/suaminya, oleh anak dan keturunannya sehingga tidak sembarangan mengkonsumsi makanan dan minuman. Selain dari pada itu, mampu memenuhi ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 168 dan surat An Nahl (16) ayat 114 di bawah ini, yaitu orang yang mampu mengatur syarat dan ketentuan tentang makanan dan minuman yang akan dikonsumsinya. Seperti apakah syarat dan ketentuan dimaksud? Kita diwajibkan, kita diperintahkan oleh Allah SWT untuk selalu mengkonsumsi makanan dan minuman yang memenuhi kriteria Halalan wa Thayiban, atau Halal lagi Baik (maksudnya Halal lagi sesuai dengan ilmu gizi dan kesehatan).

Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.
(surat Abasa (80) ayat 24)

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
(surat Al Baqarah (2) ayat 168)

Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.
(surat An Nahl (16) ayat 114)

Ibnu Abbas  r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Iblis: Ya Tuhan; Semua makhluk-Mu telah engkau tentukan rezekinya, maka manakah rezekiku. Allah berfirman: Rezekimu adalah makanan yang tidak disebut nama-Ku padanya.
(Hadits Qudsi Riwayat Abussyekh; 272-259)

Selain ketentuan di atas, masih ada ketentuan lain yang harus kita perhatikan sebelum makan dan minum, yaitu berdasarkan Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, di atas ini, kita Wajib membaca Basmallah sebelum mengkonsumsi makanan atau minuman termasuk di dalamnya segala aktivitas yang akan kita kerjakan. Selain daripada itu, untuk melengkapi itu semua maka kita diwajibkan untuk membaca doa sebelum makan dan minum. Hal ini dikarenakan melalui doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT, semoga Allah SWT memberikan berkah dan karunia serta dihindarkannya diri kita dari mudharat yang terdapat di dalam makanan dan minuman yang akan kita konsumsi serta pekerjaan yang akan kita lakukan. konsumsi makanan dan minumanrdoa seperti yang kami kemukakan di atas. di bawah ini harus sudah mampu kita laksana

Sebagai Khalifah di muka bumi masih ada satu hal penting lainnya yang harus kita perhatikan dengan seksama, yaitu ketentuan Halal lagi Baik (Halalan Wa Thayiban) dari makanan dan minuman yang akan kita konsumsi bukanlah ketentuan yang berdiri sendiri. Akan tetapi ketentuan ini juga sangat berkaitan erat atau tidak bisa dilepaskan dengan  cara memperoleh makanan dan minuman yang akan kita konsumsi, atau ketentuan Halal lagi Baik sangat berhubungan erat dengan cara memperoleh penghasilan, atau sangat berhubungan erat dengan pekerjaan yang kita lakukan untuk mendapatkan makanan dan minuman.

Sebagai kepala keluarga, sebagai suami yang baik, sebagai istri yang baik, tidak hanya sebelum menunaikan ibadah Haji dan Umroh kita memperhatikan makanan dan minuman yang kita konsumsi. Namun selama hayat masih di kandung badan kita harus tetap memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a.     Kita tidak bisa sembarangan bekerja. Kita harus memperhatikan apa yang kita kerjakan apakah sudah memenuhi Syariat yang berlaku ataukah melanggar Syariat, karena hasil dari pekerjaan itu akan kita konsumsi bersama istri, suami dan anak keturunan.

b.  Kita tidak bisa sembarangan memperoleh penghasilan, atau uang. Kita harus memperhatikan dengan pasti dari manakah asalnya penghasilan atau uang tersebut, apakah halal, apakah haram, apakah melanggar ketentuan undang-undang yang berlaku, karena halal dan haram tidak bisa dicampur adukkan. Halal dan Haram adalah sesuatu yang masing-masing berdiri sendiri-sendiri.

c.    Kita tidak bisa sembarangan di dalam mendapatkan makanan dan minuman. Kita harus jeli dan tahu persis bagaimana makanan dan minuman itu kita peroleh, apakah dibeli dengan uang yang halal, apakah di dalam dengan cara mencuri, karena apa yang kita lakukan dapat berdampak negatif kepada apa yang akan kita konsumsi.

d.      Untuk mendapatkan keluarga Sakinah, anak dan keturunan yang Shaleh dan Shalehah tidak akan mungkin bisa kita wujudkan, jika penghasilan kita, jika pekerjaan kita, jika makanan dan minuman yang kita konsumsi berasal dari yang haram lagi syaiat. Keluarga sakinah ada karena kita sendiri yang menciptakan, kita sendiri yang merencanakan untuk ada sehingga keluarga sakinah bukan turun dari langit.  

Halal dan Haram tidak akan mungkin sama kedudukannya dihadapan Allah SWT. Halal dan Haram sampai dengan hari kiamat akan tetap berbeda. Halal akan membawa kepada kebaikan sedangkan Haram akan membawa kepada keburukan. Jika ini adalah kondisi dasar dari ketentuan Halal dan Haram yang berlaku di muka bumi ini, maka mulai saat ini kita tidak bisa begitu saja makan dan minum, kita bisa begitu saja bekerja, kita tidak bisa begitu saja memperoleh penghasilan, kita tidak bisa begitu saja memperoleh makanan dan minuman, terkecuali jika kita ingin pulang kampung ke Neraka Jahannam bersama Syaitan sang laknatullah. 

Sekarang pernahkah kita semua membayangkan jika Jasmani yang secara Sunnatullah sudah memiliki sifat-sifat yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan, atau disebut dengan Ahwa, lalu kondisi ini ditambah dengan sewaktu kita merawat dan memeliharanya, atau menjadikan regenerasi kekhalifahan di muka bumi, dimana sumbernya atau makanan dan minuman yang kita konsumsi bersifat Haram lagi Syaiat? Apabila makanan dan minuman yang kita konsumsi memenuhi unsur Haram lagi Syaiat maka hal-hal sebagai berikut akan terjadi, yaitu :

a.  Sifat-sifat alamiah Jasmani yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan akan lebih sempurna keburukan-keburukannya.

b.      Nilai-Nilai Keburukan yang terdapat di dalam Jasmani menjadi lebih kental, atau bahkan menjadi bertambah dengan adanya unsur Haram lagi Syaiat.

c.       Adanya makanan dan minuman yang Haram lagi Syaiat maka Ahwa akan memperoleh tambahan bahan bakar sehingga kemampuan Ahwa untuk mengendalikan dan untuk mempengaruhi Ruh/Ruhani menjadi bertambah kuat.   

Jika sampai diri kita selalu memberikan makanan dan minuman kepada Jasmani berupa makanan dan minuman yang masuk dalam kategori Haram lagi Syaiat berarti kita telah memberikan kesempatan bagi Syaitan untuk membangun rumahnya, membangun istananya di dalamnya Jasmani diri kita, yang pada akhirnya akan memudahkan Syaitan untuk melaksanakan aksinya mengganggu, dan mengoda diri kita serta menjauhkan diri kita kepada jalan yang lurus dan juga menggagalkan diri kita memperoleh anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah.

Setiap manusia pasti terdiri dari Jasmani dan Ruhani, lalu apakah hanya Jasmani saja yang membutuhkan makanan dan minuman untuk merawatnya, sehingga Ruhani tidak perlu dirawat dan dipelihara? Selama diri kita masih terdiri dari Jasmani dan Ruh/Ruhani maka keduanya harus dirawat dan dijaga kesehatannya. Dan jika kita berpedoman kepada asal usul dari Jasmani dan Ruh/Ruhani maka makanan dan minuman untuk merawat dan menjaga Jasmani dan Ruh/Ruhani pasti berbeda. 

Sekarang makanan dan minuman apakah yang paling dibutuhkan oleh Ruh/Ruhani? Ruh/Ruhani yang asalnya dari Allah SWT pasti Ruh/Ruhani memerlukan kedekatan dengan Allah SWT. Untuk dapat mendekatkan Ruh/Ruhani dengan Allah SWT, maka makanan dan minuman Ruh/Ruhani adalah melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah, membaca dan mengamalkan Al-Qur'an, mendirikan Shalat, Menunaikan Zakat, pergi Haji atau Umroh, Shadaqah Zariah serta Dzikir kepada Allah SWT. Adanya perbedaan makanan dan minuman antara Jasmani dan Ruh/Ruhani maka kita harus pandai-pandai menyeimbangkan pemberian makanan dan minuman baik kepada Jasmani maupun kepada Ruh/Ruhani.

Untuk itulah kita tidak bisa hanya condong kepada Jasmani semata dengan melalaikan kebutuhan Ruh/Ruhani, karena Ruh/Ruhani juga membutuhkan Jasmani yang sehat. Demikian pula sebaliknya kita tidak bisa hanya condong kepada Ruh/Ruhani semata dengan melalaikan kesehatan Jasmani, karena hidup adalah saat bersatunya Jasmani dengan Ruh/Ruhani, dimana keduanya dituntut dalam kondisi sehat. Untuk itu kita tidak bisa hanya mementingkan makanan Ruh/Ruhani saja dengan mengabaikan kepentingan Jasmani sebab baik Ruh/Ruhani maupun Jasmani harus tetap kita pelihara dan harus kita rawat sesuai dengan kondisinya masing-masing, yaitu Ruh/Ruhani melalui Diinul Islam (maksudnya konsep ilahiah yang diciptakan oleh Allah SWT untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi), sedangkan Jasmani melalui ilmu kesehatan dan ilmu gizi.


2. HABBLUM MINALLAH  DIBUKTIKAN SAAT MELAKSANAKAN HABBLUM MINANNASS

Orang yang telah melaksanakan Haji dan Umroh yang mabrur adalah orang yang mampu melaksanakan Habblum Minallah (hubungan vertikal) yang tercermin di dalam Habblum Minannass (hubungan horizontal) yang pada akhirnya  diri, keluarga, masyarakat, bangsa, negara mampu merasakan buah dari hasil kedekatan kita kepada Allah SWT melalui fitrah dan melalui Jiwa Muthmainnah sehingga keberadaan diri kita di tengah masyarakat bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan berkah bagi masyarakat. Sekarang seperti apakah Hubungan dengan Allah SWT (Habblum Minallah) itu?

Hubungan dengan Allah SWT tidak dapat terjadi begitu saja terjadi,.Hubungan dengan Allah SWT tidak dapat begitu saja terjalin dua arah. Hubungan dengan Allah SWT baru akan dapat terjadi dan memberikan dampak positif kepada diri kita jika: Kita yang kecil wajib menyelaraskan, wajib menyerasikan, dan wajib menyeimbangkan dengan kondisi dan keadaan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus berada di dalam ketentuan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus sesuai dengan Syarat dan Ketentuan yang dikehendaki oleh Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah sekalipun meninggalkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan pernah mencoba mengalahkan Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil jangan  pernah sekalipun melecehkan  Allah SWT Yang Maha Besar; Kita yang kecil harus selalu berada di dalam gelombang dan siaran yang sama dengan Allah SWT Yang Maha Besar.


Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 110)

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
(surat Al Bayyinah (98) ayat 5)

Sebagai Makhluk yang tidak memiliki apapun juga saat datang ke muka bumi ini, sudahkah kita melaksanakan tujuh ketentuan yang kami kemukakan di atas? Jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri, apa yang kami kemukakan di atas sudah pasti dapat kita lakukan dengan sebaik mungkin karena hanya dengan itulah kita bisa bersinergi dengan Allah SWT. Sekarang siapakah yang paling diuntungkan jika kita mampu bersinergi dengan Allah SWT? Allah SWT sampai kapanpun juga tidak butuh dengan sinergi, akan tetapi kitalah yang sangat membutuhkan sinergi dengan Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti yang paling diuntungkan adalah diri kita sendiri.

Sekarang diri kita sudah mampu Habblum Minallah, berarti saat ini kita sedang mensinergikan Ruh/Ruhani kita dengan Allah SWT, kita sedang mensinergikan Amanah yang 7 yang ada pada diri kita dengan Allah SWT serta kita juga sedang mensinergikan Sibghah Asmaul Husna yang ada pada diri kita dengan Allah SWT. Akan tetapi jika proses sinergi yang telah kita lakukan dengan Allah SWT tidak dapat dikatakan berjalan sesuai dengan konsep fitrah dan juga Jiwa Muthmainnah jika jika apa-apa yang  telah tersambung dengan Allah SWT, jika apa-apa yang telah bersinergi dengan Allah SWT, tidak mampu kita tunjukkan di dalam perbuatan kepada sesama umat manusia secara utuh.

Untuk itu kita harus bisa menghilangkan saat ini juga  konsep untung rugi di dalam berbuat dan bertindak, jika baik untuk diri, keluarga serta kelompok kita kerjakan, jika buruk untuk diri, keluarga serta kelompok ambil untungnya buang ruginya ketempat lain. Selain daripada itu konsep menyembunyikan sesuatu saat mengajarkan sesuatu hilang atau tidak berlaku lagi, yang ada hanyalah Ikhlas berbuat karena Allah SWT semata tanpa ada udang di balik batu, tanpa menyembunyikan sesuatu. Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari sinergi dimaksud, yaitu:

a.       Jika Ruh/Ruhani bersinergi dengan Kebesaran Allah SWT, atau Ruh/Ruhani diri kita tersambung dengan Kebesaran Allah SWT berarti Ruh/Ruhani diri kita mampu menguasai Jasmani diri kita, sehingga Nilai-Nilai Kebaikan yang dibawa oleh Ruh/Ruhani mampu mengalahkan Nilai-Nilai Keburukan yang dibawa oleh Jasmani. Dan jika ini terjadi pada diri kita berarti segala perbuatan diri kita selalu berada di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang tidak hanya dapat dinikmati oleh diri sendiri, tetapi juga oleh keluarga, oleh anak dan keturunan, oleh masyarakat, oleh Bangsa dan Negara.

b.      Jika Ilmu yang kita miliki mampu bersinergi dengan Ilmu Allah SWT maka Ilmu tersebut tidak disimpan hanya untuk kepentingan diri, keluarga atau kelompok tertentu saja. Namun Ilmu itu harus diajarkan kepada semua orang tanpa ada yang ditutup-tutupi, tanpa ada yang disembunyikan sehingga berguna bagi semua orang.

c.   Jika Qudrat yang kita miliki mampu tersambung dengan Qudrat Allah SWT maka segala kekuatan, segala kekuasaan yang kita miliki tidak hanya bermanfaat bagi diri, keluarga semata.  Akan tetapi dengan Qudrat itu semua orang menjadi tertolong, terbantu, atau tidak mengakibatkan kerugian bagi masyarakat luas.

d.      Jika Kalam yang kita miliki mampu tersambung dengan Kalam Allah SWT maka kata-kata, tutur kata, omongan yang keluar dari mulut kita tidak akan menyakiti hati orang lain, selalu  bermanfaat, dapat menyenangkan banyak orang, dapat menjadi pendengar yang baik serta mampu menerapkan falsafah diam itu emas.

e.       Jika Ar Rahman dan Ar Rahhiem, yang kita miliki tersambung dengan Allah SWT maka banyak orang tidak mampu yang ada disekitar diri kita tertolong, terbantu, oleh sebab keberadaan diri kita tanpa melihat siapa mereka, darimana mereka berasal serta kesenjangan sosial dapat teratasi dengan sendirinya.

f.       Jika Ar Razaq yang kita miliki dapat tersambung dengan Af’al Ar Razaq yang dimiliki Allah SWT? Hal yang akan terjadi adalah kita tidak mau mengambil hak orang lain, kita tidak akan mau Kolusi, Korupsi, Nepotisme di dalam mencari Rezeki serta setelah memperoleh Rezeki sebagian dari Rezeki itu dikeluarkan kembali dalam bentuk Zakat, Infaq, Shadaqah, Jariah, yang pada intinya untuk menolong banyak orang. Demikian seterusnya.

Sebagai Khalifah di muka bumi, jangan sampai diri kita hanya mampu Habblum Minallah semata, tanpa bisa membuktikan saat melaksanakan Habblum Minannass, atau kita harus bisa melaksanakan Habblum Minannass yang sesuai dengan konsep Habblum Minallah.

Melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass harus kita laksanakan saat hidup di dunia karena hanya pada saat itulah kita diberi kesempatan untuk membuktikan itu semua dihadapan Allah SWT sebelum akhirnya kita mempertanggung jawabkan itu semua. Jika semua orang yang telah mampu melaksanakan Habblum Minallah dan Habblum Minannass secara selaras, serasi dan seimbang, terjadilah apa yang dinamakan dengan Gemah Ripah Loh Jinawi, Masyarakat Madani serta tidak akan terjadi apa yang dinamakan dengan kesenjangan sosial. Dan jika sekarang yang terjadi adalah sebaliknya, seperti jurang yang kaya dan yang miskin sangat jauh, korupsi, kolusi serta nepotisme semakin merajalela, ketidakadilan semakin menjadi-jadi, kampanye hitam semakin tumbuh subur, berarti ibadah Haji dan Umroh yang telah kita lakukan belum sesuai dengan kehendak Allah SWT, atau ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.


3.  SELALU INGAT KEPADA ALLAH SWT, DIMANAPUN & KAPANPUN.

Orang yang telah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur adalah orang yang selalu ingat kepada Allah SWT dimanapun ia berada, dalam kondisi apapun sehingga ia merasa selalu diawasi oleh Allah SWT, atau ia merasa bahwa Allah SWT selalu menyertai dirinya di manapun dan kapanpun sehingga kita tidak bisa menghindarkan diri dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT. Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah bahwa ingat kepada Allah SWT bukanlah sekedar ingat. Akan tetapi ingat kepada Allah SWT haruslah ingat yang disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan yang kita ingat. Katakan jika kita ingat Allah SWT adalah Maha Kaya, maka jika kita memiliki kekayaan yang berasal dari Allah SWT sudahkah kekayaan yang kita miliki kita pergunakan di dalam kehendak Allah SWT, atau sudahkah sebahagian kekayaan yang kita miliki kita keluarkan hak Allah SWT kepada orang yang memerlukan, atau sudahkah kekayaan yang kita miliki kita pergunakan untuk membeli tiket masuk Syurga atau jangan sampai kekayaan yang kita miliki justru membawa diri kita ke Neraka Jahannam.

Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
(surat An Nisaa' (4) ayat 103)

Jangan pernah menjadikan diri kita hanya sebatas penonton belaka, hanya sebagai pengagum belaka, atau hanya mampu menjadi komentator dan juga pengamat dari Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT semata karena kebodohan kita. Akan tetapi kita harus aktif memperoleh, aktif untuk mendapatkan, aktif merasakan langsung Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT, atau aktif merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT yang kesemuanya memang dikhususkan untuk seluruh manusia yang ada di muka bumi ini, termasuk untuk diri kita sepanjang diri kita mau meminta kepada Allah SWT.  

Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Aku selalu menurutkan persangkaan hambaKu terhadap diriKu, jika ia bersangka baik, maka ia dapat balasannya, demikian pula bila ia berprasangka jahat, maka ia dapat balasannya.
(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad, Muslim, Ath Tharani, Ibnu An Najjar; 272:73)

Jangan pernah kita berprasangka buruk kepada Allah SWT karena berdasarkan hadits di atas ini, hasilnya adalah keburukan pula. Contohnya kita berprasangka kepada Allah SWT bahwa Allah SWT tidak akan menolong kita maka Allah SWT pun tidak akan menolong kita. Akan tetapi jika kita selalu berprasangka baik kepada Allah SWT lalu kita mohon kepada Allah SWT maka Allah SWTpun akan mengabulkan apa yang kita mohonkan. Prasangka baik akan memperoleh kebaikan pula, demikian pula dengan prasangka buruk akan memperoleh keburukan pula.

Hal yang harus kita jadikan pedoman saat berprasangka adalah berhati hatilah dengan prasangka kepada Allah SWT karena dibalik prasangka baik dan juga prasangka buruk selalu ada Syaitan yang siap menungganginya sehingga kita dibuat pesimis dalam hidup dan kehidupan. Saat kita berprasangka baik kepada Allah SWT maka syaitan akan mengganggu keyakinan yang telah kita yakini dengan menimbulkan rasa tidak akan diterima oleh Allah SWT. Hal yang samapun jika kita berprasangka buruk kepada Allah SWT maka syaitan lebih leluasa di dalam menggangu keyakinan kita. Disinilah letak pentingnya keimanan kepada Allah SWT, jika kita yakin dengan prasangka baik kepada Allah SWT pertahankan prasangka baik itu, jangan hiraukan gangguan syaitan karena syaitan berusaha untuk menggagalkan apa yang kita mohonkan. Syaitan akan sangat bergembira dan bersuka cita jika kita selalu berprasangka buruk kepada Allah SWT. Adanya kondisi ini sangat memudahkan syaitan menggangu diri kita dan kondisi ini sangat dikehendaki Syaitan. 

4.  BILA DISEBUT NAMA ALLAH SWT GEMETAR HATINYA

Orang yang telah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur adalah orang yang bila disebut nama Allah SWT kepadanya atau jika mendengar, atau jika diperdengarkan nama Allah SWT kepadanya maka gemetarlah hatinya, tersentuhlah af’idah atau perasaannya, sehingga ia sangat membutuhkan Allah SWT sehingga kita merasa kecil dihadapan Allah SWT. Hal ini terjadi karena orang tersebut telah mengetahui siapa Allah SWT yang sesungguhnya, telah mengerti dengan benar  dimana Allah SWT berada atau orang tersebut telah ma’rifatullah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT..

(yaitu) orang-orang yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mareka, orang-orang yang sabar terhadap apa yang menimpa mereka, orang-orang yang mendirikan sembahyang dan orang-orang yang menafkahkan sebagian dari apa yang telah Kami rezkikan kepada mereka.
(surat Al Hajj (22) ayat 35)

Dalam kehidupan sehari-hari, katakan kita mengenal seseorang yang sangat kita kenal, kemudian karena sesuatu sebab kita berpisah dengannya sekian lama. Lalu pada suatu ketika kita mendengar namanya disebut orang, apa yang kita rasakan saat itu? Setelah mendengar nama orang yang sangat kita kenal tersebut maka tergetarlah hati kita yang kemudian kitapun berusaha untuk mencari tahu dimana ia berada.

Tergetarnya hati kita ketika disebut namanya karena kita sudah sangat mengenal betul orang tersebut. Sekarang bagaimana jika kita mendengar nama Allah SWT disebut orang, apakah hati kita juga akan bergetar? Jika kita termasuk orang yang telah fitrah atau jiwa kita telah menjadi jiwa Muthmainnah berarti kita sudah pasti mengenal siapa Allah SWT yang sesungguhnya dan sudah pasti mengenal siapa diri kita yang sesungguhnya. Adanya kondisi ini maka sudah seharusnya jika disebut nama Allah SWT kepada diri kita, bergetarlah hati kita. Dan jika hal ini tidak terjadi pada diri kita maka dapat dipastikan kita belum fitrah dan juga belum menjadikan jiwa kita jiwa Muthmainnah sehingga ada sesuatu yang salah di dalam diri kita. Sekarang apa yang harus kita sikapi dengan kondisi seperti ini, apakah cukup dengan bergetar saja, ataukah harus melakukan suatu perbuatan?

Sebagai orang yang telah mampu merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT maka di setiap apa yang kita lihat di muka bumi ini maka harus terbayang oleh kita bahwa semuanya ada karena diciptakan oleh Allah SWT (semuanya adalah Ciptaan Allah SWT), yang dilanjutkan dengan memberikan pernyataan bahwa semua yang ada di muka bumi adalah tanda-tanda dari Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT dan yang terakhir kita harus bisa menyatakan bahwa di setiap ciptaan yang ada di muka bumi ini selalu bersama Kebesaran, Kemahaan serta Ilmu Allah SWT (di setiap ciptaan ada Allah SWT). Lalu apa yang harus kita lakukan dengan kondisi ini? Jika apa yang kami kemukakan di atas  telah mampu kita lakukan maka kita harus bisa menempatkan dan meletakkan bahwa Allah SWT adalah segala-galanya dan selanjutnya kita harus berbuat, bekerja, berkarya, sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Hal yang harus kita perhatikan adalah saat kita berbuat, bekerja dan berkarya maka tidak boleh sekalipun menempatkan dan meletakkan segala yang diciptakan oleh Allah SWT, segala tanda-tanda Kebesaran, Kemahaan dan Ilmu dari Allah SWT lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Allah SWT itu sendiri dan lalu kita meminta bantuan kepadanya (maksudnya kita tidak boleh meminta bantuan kepada Ciptaan Allah SWT atau meminta bantuan kepada Tanda-Tanda Kebesaran, Kemahaan, dan Ilmu Allah SWT karena di luar itu semua masih ada Allah SWT). Lalu kepada siapa kita harus meminta pertolongan? Untuk itu kita harus meminta pertolongan langsung hanya kepada Allah SWT melalui Kemahaan, Kebesaran dan Ilmu yang ada pada Allah SWT, tanpa melalui perantara oleh sebab apapun juga. 

Jika Allah SWT memiliki sifat Ilmu maka kita harus bisa membayangkan betapa tingginya Ilmu Allah SWT sehingga mampu menciptakan alam semesta ini dan jika saat ini kita juga memiliki Ilmu yang berasal dari Allah SWT maka kita harus mempergunakan Ilmu yang berasal dari Allah SWT selalu di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan. Dan jika pada saat diri kita berbuat, bekerja dan berkarya mengalami kekurangan Ilmu atau jika kita ingin mencari Ilmu, jangan pernah mencari Ilmu kepada ciptaan Allah SWT, atau jangan pernah pula mencari Ilmu kepada Tanda-Tanda Kebesaran dan Kemahaan Allah SWT. Akan tetapi mintalah langsung kepada Allah SWT selaku pemilik Ilmu (dan juga Ilmu merupakan salah satu Sifat Ma’ani Allah SWT) itu sendiri melalui doa yang kita panjatkan sebelum memulai belajar dengan mengatakan “Ya Allah, Tambahi Ilmu, Pertinggilah Kecerdasanku, serta berikanlah aku pemahaman yang sesuai dengan Kehendak-Mu’. Demikian seterusnya sesuai dengan sifat Ma’ani Allah SWT dan Asmaul Husna.

Inilah beberapa hal yang harus kita perhatikan setelah diri kita kembali fitrah melalui ibadah Haji dan Umroh yang mabrur. Dimana ketentuan Fitrah yang dimaksud adalah masih sesuaikah kondisi dan keadaan diri kita saat pertama kali diciptakan oleh Allah SWT. Lalu apakah keberadaan diri kita masih sesuai dengan konsep awal penciptaan manusia yang sesuai dengan konsep penciptaan Allah SWT? Mudah-mudahan kondisi dan keadaan kita masih fitrah dan saat ini lebih banyak manusia yang fitrah dibandingkan dengan yang sudah tidak fitrah lagi dan jika kondisi yang tidak fitrah ingin kita kembalikan ke kondisi fitrah maka lakukan sekarang juga Taubatan Nasuha sebelum Ruh Tiba dikerongkongan. Sekarang bertanyalah kepada diri kita sendiri, butuhkah kita dengan fitrah, atau butuhkah kita dengan Allah SWT sehingga diri kita kembali kepada fitrah? Jawaban dari pertanyan ini, hanya diri kita dan Allah SWT sajalah yang tahu dan ingat segala konsekuensi dari ini semua diri kita sendirilah yang akan merasakannya.

Timbul pertanyaan, masih berlakukah ketentuan Fitrah dari Allah SWT kepada diri kita saat ini? Allah SWT masih tetap memberlakukan atau Allah SWT masih tetap melaksanakan atau Allah SWT masih tetap konsisten terhadap ketentuan Fitrah terhadap diri kita, yang dimulai dari pernyataan di dalam rahim sampai dengan hari kiamat kelak. Yang menjadi persoalan saat ini adalah sudah sejauh mana diri kita konsisten dengan kefitrahan yang diberlakukan oleh Allah SWT? Semoga kita semua mampu menjaga kefitrahan diri dalam kondisi apapun juga dan mampu melaksanakan segala apa yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada diri kita.

Panjang atau pendeknya fitrah yang kita butuhkan bukanlah Allah SWT yang menentukan, akan tetapi diri kita sendirilah yang memutuskan. Hal ini dikarenakan Allah SWT tidak butuh dengan Fitrah diri kita, tetapi kitalah yang sangat membutuhkan fitrah selama hayat masih dikandung badan, selama ahwa dan syaitan masih menjadi musuh diri kita (selama kita tidak mampu mengalahkan ahwa dan syaitan seorang diri). Hal yang harus kita perhatikan adalah dampak kembali ke fitrah melalui rasa diterimanya diri kita saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak hanya kita rasakan pada saat di Baitullah, pada saat di Arafah, pada saat di Madinah. Akan tetapi harus terus selama hayat masih di kandung badan serta harus pula berdampak kepada diri, keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara.

Selanjutnya akan kami kemukakan tujuh buah indikator dari telah kembalinya fitrah dalam diri yang dapat kita jadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:

a.       Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 125 di bawah ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka hidupnya selalu dalam kebaikan, tidak hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi untuk masyarakat luas. Sekarang sudahkah kita selalu berbuat kebaikan setelah pulang melaksanakan ibadah haji dan umroh?

Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.
(surat An Nisaa’ (4) ayat 125)

Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, akan selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas, menjadi tokoh yang terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat. Masyarakat merasa terbantu karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena keberadaan diri kita. Hal yang tidak akan mungkin terjadi jika kita telah kembali fitrah yang jiwanya adalah jiwa Muthmainnah adalah menjadikan dirinya sebagai pelaku kejahatan, menjadikan dirinya sebagai  biang keributan, menjadikan dirinya sebagai biang keonaran, menjadikan dirinya sebagai otak di balik kejahatan, atau masyarakat menjadi teraniaya oleh sebab perbuatannya dan juga  oleh sebab omongannya.

Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah,
(surat Al Anbiyaa' (21) ayat 73)

Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).
dan Barangsiapa mengambil Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, Maka Sesungguhnya pengikut (agama) Allah[423] Itulah yang pasti menang.
(surat Al Maa-idah (5) ayat 55-56)

[423] Yaitu: orang-orang yang menjadikan Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman sebagai penolongnya.

Jika kita telah kembali fitrah yang memiliki jiwa Muthmainnah dapat dipastikan kita selalu memiliki keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu ingin berbagi kepada sesama, tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun kesenangan, selalu ingin berbuat kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu.  Sedangkan berdasarkan hadits yang kami kemukakan di bawah ini, kita akan diberikan afiah di dunia dan juga Allah SWT akan memberikan ampunan bagi diri kita, bagi anak keturunan kita yang mampu melaksakanan ibadah haji dan umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.


Abu Dzar ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Dawud: Ya Tuhan-Ku apakah yang didapat oleh hamba-hamba-Mu yang telah berziarah ke rumah-Mu? Allah berfirman: Sesungguhnya tiap orang yang berziarah mempunyai hak terhadap yang diziarahi/dikunjungi. Wahai Dawud: Adalah hak mereka pengunjung rumah-Ku, bahwa Aku mengurniai afiah kepada mereka di dunia dan mengampuni mereka bila mereka menemui-Ku.
(Hadits Qudsi Riwayat Aththabarani, 272:245)

b.      Berdasarkan surat Yunus (10) ayat 105 di bawah ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia tidak akan mau lagi berbuat syirik lagi musyrik di dalam kehidupannya, apalagi setelah merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT melalui ibadah Haji dan Umroh yang mabrur.  

Dan (aku telah diperintah): "Hadapkanlah mukamu kepada agama dengan tulus dan ikhlas dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang musyrik.
(surat Yunus (10) ayat 105)

Di lain sisi, saat diri kita melaksanakan  ibadah Haji dan Umroh kita diwajibkan untuk bertalbiyah saat di Baitullah. Di dalam Talbiyah yang kita ucapkan, kita telah menyatakan tidak ada sekutu bagimu Ya Allah. lalu apakah hanya saat di Baitullah saja kita menyatakan seperti itu kemudian setelah kembali ke tanah air pernyataan itu berubah? Jika kita telah kembali fitrah maka pernyataan untuk tidak menyekutukan Allah SWT dengan sesuatu tidak hanya kita laksanakan saat di Baitullah saja. Melainkan dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun kita tidak boleh sekalipun menyekutukan Allah SWT, terkecuali jika kita ingin merasakan pulang kampung bersama Syaitan ke Neraka Jahannam.

c.       Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 72 di bawah ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu tolong menolong, ringan tangan untuk menolong, ikhlas dalam berbuat, selalu menyayangi sesama. Sekarang sudahkah kita menjadi pelopor di dalam kebaikan di tengah masyarakat setelah diri kita pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur?

Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi[624]. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
(surat Al Anfaal (8) ayat 72)

[624] Yang dimaksud lindung melindungi Ialah: di antara muhajirin dan anshar terjalin persaudaraan yang Amat teguh, untuk membentuk masyarakat yang baik. demikian keteguhan dan keakraban persaudaraan mereka itu, sehingga pada pemulaan Islam mereka waris-mewarisi seakan-akan mereka bersaudara kandung.

Jika belum berarti hakekat dari ibadah Sa’i yang tidak lain adalah napak tilas perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as, tidak bisa kita laksanakan karena kita tidak mampu menjadikan diri kita seperti keluarga Nabi Ibrahim as, yang kita napak tilasi, yang pada akhirnya kita tidak   mampu berbuat kebaikan bagi masyarakat luas. Sedangkan keluarga Nabi Ibrahim as, mampu meninggalkan kebaikan dalam hal ini air zam zam sampai dengan hari kiamat kelak. Dan yang kedua dapat dikarenakan apa apa yang telah kita lontarkan saat Jumroh kembali lagi kepada diri kita, seperti sifat malas, pelit, tergesa gesa, mementingkan diri sendiri, kembali menjadi perbuatan diri kita. Padahal sifat sifat itu sudah kita buang melalui lontar Jumroh.

d.      Berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 3 di bawah ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu dekat dengan Allah SWT sehingga ia akan selalu menomorsatukan Allah SWT disetiap perbuatan dan langkah yang diperbuatnya. Sebagai orang yang telah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah kita menjadi orang dekat Allah SWT sehingga perbuatan kita selalu berkesesuaian dengan Allah SWT Yang Maha Dekat?


Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
(Az Zumar (39) ayat 3)

Katakan Allah SWT  memiliki perbuatan Al Rachman Al Rahiem kemudian apakah kita yang sudah menjadi orang yang dekat kepada Allah SWT justru berbuat yang berseberangan dengan perbuatan Allah SWT yaitu Ar Rachman Al Rahiem? Jika sampai kita melakukan perbuatan menganiaya sesama manusia berarti kita belum kembali fitrah setelah menunaikan ibadah Haji dan Umroh. Demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul Husna.  

e.  Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 29 di bawah ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu berbuat adil, lurus, selalu mendirikan shalat (melaksanakan diinul islam secara kaffah) serta ikhlas. Sebagai orang yang telah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah hal hal yang kami kemukakan di atas menjadi perbuatan kita? Jika tidak berarti ada yang salah di dalam pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan.

Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat Al A’raaf (7) ayat 29)

[533] Maksudnya: tumpahkanlah perhatianmu kepada sembahyang itu dan pusatkanlah perhatianmu semata-mata kepada Allah.

Untuk itu segeralah memperbaiki diri atau segeralah introspeksi diri dengan selalu melihat ke dalam karena hanya dengan melihat ke dalam dirilah langkah menuju perubahan kepada yang lebih baik terbuka luas. Segeralah berubah ke arah yang lebih baik yang sesuai dengan kehendak Allah SWT atau kita akan dirubah oleh syaitan ke arah keburukan. 

f.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 122 di bawah ini, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu belajar, selalu menuntut ilmu, untuk kepentingan kaum atau masyarakat banyak. Sebagai orang yang telah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah hal ini kita perbuat?

Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
(surat At Taubah (9) ayat 122.

Setelah diri kita giat belajar lalu memiliki ilmu ketahuilah ilmu yang kita miliki belum dikatakan menjadi ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain. Semakin banyak kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh orang banyak.

g.  Berdasarkan surat Al Maa’uun (107) ayat 1-2-3, orang yang telah kembali fitrah atau telah difitrahkan oleh Allah SWT maka ia akan selalu menjadi penolong bagi yatim, faqir, dan miskin. Sebagai orang yang telah pulang melaksanakan ibadah haji dan umroh, sudahkah hal ini kita perbuat untuk kemaslahatan diri kita sendiri sebagai buah dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur?

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
Itulah orang yang menghardik anak yatim,
Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
(surat Al Maa’uun (107) ayat 1-2-3)


Jangan sampai kita yang sudah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur mensiasiakan hasil dari pelaksanaan ibadah tersebut hilang ditelan ombak karena kita tidak mampu membuktikan hakekat yang hakiki yang terdapat di balik perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh.

Sekarang kita telah pulang ke tanah air setelah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh lalu kitapun telah memperoleh Haji dan Umroh yang mabrur, yang artinya kita telah kembali fitrah karena telah difitrahkan oleh Allah SWT. Jika ini kondisinya maka langkah dan modal dasar untuk menjadikan diri kita menjadi manusia yang dibanggakan oleh Allah SWT. Selanjutnya tinggal bagaimana diri kita mengolah dan menjadikan modal dasar ini menjadi sesuatu yang sangat berguna bagi diri kita,  bagi keluarga, bagi masyarakat, bagi bangsa dan negara serta bagi generasi yang datang dikemudian hari yang mengakibatkan nama kita selalu dikenang di dalam kebaikan dan menjadi umur yang panjang bagi diri kita.

Sebagai Khalifah di muka bumi baik sudah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh maupun yang belum melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, itulah enam buah ketentuan dasar yang berlaku kepada orang yang kembali fitrah. Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita sendiri, apakah mau menjadi orang yang kembali fitrah ataukah tidak dan ingat Allah SWT tidak membutuhkan kembali fitrahnya diri kita. Allah SWT juga tidak membutuhkan apapun umat manusia, akan tetapi kitalah yang membutuhkan Allag SWT. Jadi tentukanlah mulai saat ini juga karena waktu terus berjalan dan juga waktu tidak bisa diputar ulang dan ingat kesempatan hanya berlaku sebelum Ruh/Ruhani tiba di kerongkongan


Sekali lagi kami katakan, jika saat ini kita sudah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, lalu sudahkah diri kita kembali fitrah kembali sehingga ciri-ciri orang fitrah ada pada diri kita? Jika apa yang kami kemukakan belum ada pada diri kita berarti ada sesuatu yang salah di dalam pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita lakukan dan ingat perintah  yang berasal Allah SWT sampai kapanpun tidak akan pernah salah, yang salah adalah diri kita yang tidak bisa melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Untuk itu jangan pernah salahkan pemberi perintah melaksanakan ibadah haji dan umroh, tetapi salahkan diri sendiri yang tidak bisa melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Dan jika sekarang di dalam diri tidak ada perubahan yang luar biasa segeralah bertaubat sepanjang kesempatan untuk bertaubat masih ada pada diri kita. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar