Menurut sejarah, ibadah Haji dan Umroh mulai diwajibkan kepada umat Islam
pada tahun ke 6 sesudah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah. Walaupun demikian,
sebenarnya ajakan dan pelaksanaan haji sudah berlangsung sejak zaman Nabi
Ibrahim as, yang mendapat perintah Allah SWT agar ia bersama anaknya Ismail
membangun Baitullah (Ka’bah) dan agar ia mensucikan dan mengajak manusia untuk
melaksanakan haji ke sana. Hal ini sesuai dengan apa yang telah Allah SWT
kemukakan di dalam Al-Qur’an yang terdapat di dalam surat Al Hajj (22) ayat
26-27 dan surat Al Baqarah (2) ayat 158 di
bawah ini.
Dan
(ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah
(dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan
aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang
yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
Dan
berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus[984] yang datang
dari segenap penjuru yang jauh,
(surat
Al Hajj (22) ayat 26-27)
[984] Unta yang
kurus menggambarkan jauh dan sukarnya yang ditempuh oleh jemaah haji.
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi'ar Allah[102]. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya[103] mengerjakan sa'i antara keduanya.
dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[104] kebaikan lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 158)
[102] Syi'ar-syi'ar Allah: tanda-tanda atau tempat
beribadah kepada Allah.
[103] Tuhan mengungkapkan dengan Perkataan tidak ada
dosa sebab sebahagian sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ,
karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyahpun tempat itu
digunakan sebagai tempat sa'i. untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah
menurunkan ayat ini.
[104] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala
terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan
sebagainya.
Setelah diri
kita mengetahui saat mulai diberlakukannya pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh
oleh Allah SWT maka masa berlaku perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh kepada seluruh umat manusia,
dapat dibedakan menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan
masa berlaku dalam arti khusus. Secara
umum masa berlaku perintah melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh, dimulai dari sejak Nabi Ibrahim as, yang kemudian
dipertegas oleh Nabi Muhammad SAW di tahun ke 6 setelah beliau hijrah ke
Madinah sampai dengan manusia ada di muka bumi. Sepanjang
bumi ini masih ada maka perintah melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh masih tetap berlaku, atau sepanjang Diinul Islam
adalah Agama yang Haq di muka bumi ini maka sepanjang itu pula perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh berlaku,
sehingga perintah melaksanakan Ibadah
Haji dan Umroh akan tetap berlaku sampai dengan hari Kiamat kelak.
Sekarang
bagaimana dengan masa berlakunya perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh dalam arti khusus yaitu masa
berlaku bagi individual atau bagi pribadi-pribadi? Berdasarkan Hadits yang
diriwayatkan oleh Abud Dardaa’ ra, di bawah ini, kewajiban melaksanakan ibadah
Haji dan Umroh bagi individual atau secara pribadi-pribadi, dimulai sejak diberikan
kesehatan dan rezeki yang lapang sampai dengan empat tahun berlalu dan jika
setelah empat tahun berlalu ketentuan ini tidak kita laksanakan maka ketentuan
di atas menjadi batal dan sampai disitulah masa berlaku ketentuan Haji dan
Umroh yang berlaku kepada diri kita sehingga kita yang melanggar ketentuan ini
terlarang untuk mendapatkan pahala dari sisi Allah SWT.
Allah SWT berfirman dalam
hadist Qudsi: "Seseorang yang telah Aku kurniai badan yang sehat dan rizki
yang lapang, namun tidak mau bertamu setelah empat tahun, sesungguhnya ia
terlarang untuk mendapat pahala dari sisi Allah SWT".
(Hadits
Qudsi Riwayat Thabarani kitab Al-Ausath dan Abu Ya'laa dari Abud-Dardaa' r.a)
Kesempatan
untuk memenuhi undangan Allah SWT atau
kesempatan untuk menjadi tamu Allah SWT dalam kerangka melaksanakan ibadah haji
secara individual hanya berlaku empat tahun sejak diberikannya kesehatan dan
kelapangan rezeki kepada diri kita. Apabila kesempatan yang telah diberikan
terlampaui maka habis sudah kesempatan untuk memenuhi undangan Allah SWT karena
ulah kita sendiri lalu bersiaplah menanggung resikonya. Hal yang harus kita
perhatikan adalah masa berlakunya
kewajiban melaksanakan ibadah Haji dan Umroh secara individual tidak ada
hubungannya dengan usia seseorang, melainkan berhubungan erat dengan kesehatan
dan keleluasaan rezeki yang telah kita peroleh serta sejauh mana kita
memutuskan atau mengambil sikap terhadap perintah melaksanakan ibadah Haji dan
Umroh walaupun kewajiban telah sampai kepada diri kita.
Sekali lagi
kami tegaskan bahwa melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak serta merta ada
hubungannya dengan tua atau mudanya seseorang. Melainkan sejauh mana kita
memenuhi syarat dan ketentuan Allah SWT maka sejauh itu pula kewajiban Haji dan
Umroh telah jatuh kepada diri kita, sehingga kita tidak bisa menunggu tua dulu
baru menunaikan ibadah Haji dan Umroh. Jika keleluasaan Rezeki dan kesehatan
sudah kita peroleh di usia muda kita, maka di usia muda itulah kewajiban
berhaji dan umroh sudah jatuh kepada diri kita. Semakin cepat kita melaksanakan
kewajiban yang telah jatuh kepada diri kita maka semakin baik kita mematuhi
ketentuan Allah SWT dan memenuhi perintah Allah SWT serta semakin cepat pula
kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT dan juga semakin cepat
kita membuktikan hasil dari pelaksanaan Haji yang mabrur yang berguna bagi
diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya
seorang hamba yang telah Aku beri sehat badan dan luas rezeki dalam
penghidupannya, lalu berjalan selama lima tahun tidak juga datang berkunjung
kepada-Ku sungguh ia seorang yang rugi dan kecewa.
(Hadits
Qudsi Riwayat Ibn Hibban, Abu Ya’la, Saied, Ibn Ady dan Ibn Asakir, 272:38)
Berdasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra. di atas, kewajiban berhaji
secara individual hampir sampai dengan ketentuan hadits di atas, yang
membedakan hanyalah jangka waktunya saja yaitu lima tahun serta resiko yang
dihadapinya berbeda, yaitu menjadi orang yang merugi dan kecewa. Sekarang
bagaimana jika kita tidak mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, padahal kita
sudah diberikan kesehatan dan keleluasaan rezeki oleh Allah SWT? Berdasarkan
hadits di bawah ini, Allah SWT mempersilahkan kepada diri kita mau wafat secara
Yahudi atau Nasrani dipersilahkan, atau dengan kata lain Allah SWT melepaskan
tanggung jawab kepada diri kita dengan mempersilahkan mati secara Yahudi
ataupun Nasrani.
Barangsiapa
memiliki bekal dan kendaraan (biaya perjalanan) yang dapat menyampaikannya ke
Baitillahil Haram dan tidak menunaikan (ibadah) haji tidak mengapa baginya
wafat sebagai orang Yahudi atau Nasrani,
(Hadits
Riwayat Attirmidzi dan Ahmad)
Harapan kami,
jangan sampai kita yang telah diberikan keleluasaan rezeki dan kesehatan tidak
mau melaksanakan ibadah Haji karena resiko yang menanti diri kita sangatlah
luar biasa, yang tidak akan bisa kita tebus dengan apapun juga dan jangan
menjadi penyesalan yang tidak berkesudahan akibat diri kita yang selalu menunda
nunda melaksanakan ibadah Haji. Ingat, kesempatan tidak datang dua kali, waktu
tidak bisa diputar ulang, usia tidak tahu sampai kapan, kita tidak selamanya
sehat serta tidak ada istilah dalam kehidupan ini bahwa penyesalan ada di muka.
Segera bergegas untuk melaksanakan ibadah Haji, jangan menunda nunda kenikmatan
bertuhankan kepada Allah SWT sebelum tibanya kematian.
Adanya kondisi
yang kami kemukakan di atas, maka dapat dikatakan bahwa masa berlaku perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh secara individual
atau secara pribadi–pribadi sangat tergantung kepada individu masing-masing,
yaitu:
a. Apakah individu itu mau melaksanakan atau
mau berkomitmen untuk melaksanakan perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh yang telah
jatuh kewajiban kepadanya, ataukah
b. Apakah individu itu tidak mau menerima atau
tidak mau berkomitmen untuk melaksanakan perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh yang telah
jatuh kewajiban kepadanya.
Berdasarkan
2(dua) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini, berarti jika kita mau
berkomitmen untuk melaksanakan perintah melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT maka masa
berlaku perintah melaksanakan Ibadah
Haji dan Umroh bagi diri kita di mulai dari jatuhnya kewajiban berhaji dan
umroh kepada diri kita sampai dengan empat atau lima tahun sesudah diri
kita memperoleh kesehatan yang prima serta kelapangan rezeki dari Allah SWT. Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan
untuk tidak mau berkomitmen untuk melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, maka
sampai disitulah masa berlaku perintah melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh bagi diri kita sehingga berakhirlah kebutuhan diri
kita dengan Ibadah Haji dan Umroh, walaupun kewajiban telah sampai kepada diri
kita. Sekarang pilihan untuk
melaksanakan perintah melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh ada pada diri kita sendiri. Untuk itu jangan
pernah salahkan pemberi perintah melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh jika kita tidak bisa memperoleh manfaat di balik
perintah itu, akibat diri kita yang tidak mau melaksanakan perintah melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh sesuai
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Berikut ini akan kami kemukakan
sebuah hadits qudsi yang melarang diri kita untuk menunda-nunda kewajiban
melaksanakan ibadah haji, karena kita tidak tahu kapan dan dimana kita akan
mati sedangkan kewajiban berhaji sudah wajib berlaku kepada diri kita. Lalu apa
yang bisa kita perbuat? Lalu siapa yang
bisa melunasi kewajiban diri kita padahal melaksanakan ibadah haji bersifat
sangat individualistik? Semoga kita tidak termasuk orang yang menunda-nunda
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh ataupun ibadah yang lainnya.
Allah swt berfirman dalam
hadits qudsi kepada Nabi Adam as.:
Wahai Adam pergilah
laksanakan ibadah haji (menuju ke) Rumah ini (Baitullah) sebelum menimpa
kejadian atasmu”.
Adam bertanya: Apakah
kejadian yang bakal menimpa atasku, ya Tuhan?’
Firman-Nya: Tidak tahukah
engkau yang disebut dengan mati?”
Adam bertanya lagi: Apakah
mati itu?”
Allah menjawab: Nanti
engkau akan merasainya”.
Adam berkata lagi: Siapakah
yang seharusnya aku tunjuk menggantikan aku mengawasi keluargaku?’
Allah berfirman:
Tawarkanlah hal itu kepada langit, bumi dan gunung-gunung”.
Pada waktu ini Baitullah
berupaYaqut merah yang kosong dilaknya. Ditawarkannya pula kepada bumi, namun
ia pun menolaknya. Kemudian ditawarkannya kepada gunung, tapi iapun menolaknya.
Maka diterimalah penawaran itu oleh anaknya yang jadi pembunuh saudaranya.
Berangkatlah Adam dari India untuk menunaikan haji (menuju ke Baitullah). Dalam
perjalanan ke tanah suci itu beliau singgah pada beberapa tempat dan
sepeninggalnya persinggahan itu di kemudian hari menjadi kota-kota yang ramai.
Di saat beliau tiba di Makkah disambut oleh para Malaikat yang berkata:
Assalammu’alaika ya Adam! Semoga hajimu mabrur (diterima Allah). Ketahuilah
bahwa sesungguhnya telah dilakukan haji pada rumah Allah ini sejak dua ribu
tahun sebelum engkau (ini), sedangkan Baitullah pada waktu itu (berupa) Yaqut
yang merah”.
(Hadits Qudsi Riwayat Ad
Dailami yang bersumber dari Anas ra,)
Melaksanakan
Ibadah Haji dan Umroh sangat
tergantung kepada diri kita sendiri, apakah mau melaksanakannya atau tidak. Jika sampai diri kita tidak mau melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh
saat hidup di dunia berarti diri kita telah memutuskan hubungan dua arah yang
terjadi saat melaksanakan Ibadah Haji
dan Umroh, yaitu memutuskan hubungan antara pemberi perintah dengan yang melaksanakan perintah, padahal diri kita
yang sangat membutuhkan Allah SWT saat hidup di muka bumi ini. Agar diri kita jangan sampai salah mengambil
sikap, untuk itu perhatikanlah dengan seksama Hadits Qudsi yang kami kemukakan
di bawah ini, yaitu Allah SWT dengan
tegas menyatakan tidak akan pernah memperhatikan hak hak hambanya sebelum
hambanya memperhatikan hak hak Allah SWT yang berlaku terhadap dia. Ini berarti
Allah SWT tidak akan pernah
memperhatikan diri kita sebelum diri kita melaksanakan apa-apa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT. Allah SWT juga tidak akan pernah memperhatikan
diri kita sebelum diri kita mematuhi apa yang telah dilarang oleh Allah SWT.
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi
SAW bersabda, Allah ta'ala berfirman: Tidaklah Aku akan memperhatikan hak
hamba-Ku sebelum ia memperhatikan hak-Ku terhadap dia.
(Hadits
Qudsi Riwayat Aththabarani; 272:125)
Abu Hurairah r.a. berkata;
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,
Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan
menemuinya.
(Hadits
Qudsi Riwayat Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abu Hurairah, 272:17)
Selain dari pada itu, Allah SWT
juga dengan tegas menyatakan jika diri kita mau menemui Allah SWT maka Allah
SWT pun mau menemui diri kita dan jika kita mau berkomunikasi dengan Allah SWT
maka Allah SWT pun mau berkomunikasi dengan diri kita, jika kita mau menjadi
tamu Allah SWT maka Allah SWTpun akan menjadi Tuan Rumah bagi diri kita, demikian
pula sebaliknya. Jika kita enggan dan tidak mau untuk berkomunikasi dengan Allah
SWT maka Allah SWT pun enggan dan tidak mau berkomunikasi dengan diri kita.
Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita sendiri, mau menunaikan ibadah
Haji dan Umroh ataupun tidak.
Agar komunikasi diri kita dengan
Allah SWT berjalan lancar maka kita harus mengetahui ketentuan dasar saat
melakukan komunikasi dengan Allah SWT yaitu diri kitalah yang harus aktif untuk memulai komunikasi melalui Shalat
yang kita dirikan, atau diri kitalah yang aktif berdoa hanya kepada Allah SWT,
atau diri kitalah yang harus aktif untuk membina komunikasi dengan Allah SWT
saat wukuf di Arafah, atau melalui ibadah yang lainnya saat melaksanakan ibadah
Haji dan Umroh di Baitullah. Hal
ini dikarenakan Allah SWT tidak butuh dengan diri kita sehingga yang
membutuhkanlah yang harus aktif terlebih dahulu untuk membina komunikasi dengan
Allah SWT maka barulah Allah SWT akan aktif menjalin komunikasi dengan diri
kita dan barulah Allah SWT mau menerima kita serta mau memberikan predikat Haji
yang mabrur kepada diri kita.
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi saw
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku,
Aku ingat kepadamu dan bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Dan
jika engkau ta’at kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat
dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku, Engkau
berpaling dari pada-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu
makan dikala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan
memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku
keluarkan engkau ke alam dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian
seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu.
(Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher
Rabi’ah bin Ali Al-Ajli dan Arrafi’ie; 272:182)
Ingat, Allah SWT tidak
pernah berpaling kepada diri kita, namun diri kitalah yang sering berpaling
dari Allah SWT. Dan jika ini yang kita lakukan maka sikap Allah SWT yang
seharusnya bisa kita terima dan rasakan menjadi hilang karena ulah diri kita
sendiri yang selalu bersikap pasif, menunggu diberikan sesuatu oleh Allah SWT.
Hal ini tidak mungkin terjadi karena Allah SWT tidak butuh kepada kita sehingga
kita yang harus aktif untuk mendapatkan dan merasakan apa apa yang telah
dijanjikan oleh Allah SWT baik melalui ibadah Haji dan Umroh yang kita
laksanakan maupun melalui ibadah lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar