Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 23 Januari 2018

PERSIAPAN MENUJU IBADAH HAJI DAN UMROH YANG MABRUR (part 2 of 3)


C.    MEMPERSIAPKAN NIAT YANG IKHLAS

Berdasarkan ketentuan yang berlaku secara umum, untuk dapat melaksanakan sesuatu, harus dimulai dari adanya kehendak (Iradat) yang keluar dari Hati Ruhani, yang dilanjutkan dengan adanya dukungan kemampuan (Qudrat) serta Ilmu untuk mewujudkan apa-apa yang akan dilaksanakan. Ini berarti untuk dapat melaksanakan sesuatu dengan baik dan benar, atau untuk menghasilkan sesuatu yang baik dan benar maka kehendak tidak bisa berdiri sendiri, namun kehendak harus ditunjang oleh kemampuan dan ilmu sehingga ketiga hal ini harus ada di dalam satu kesatuan. Sekarang apakah ketentuan ini berlaku juga saat diri kita hendak melaksanakan perintah Allah SWT yang telah diperintahkanNya? Untuk dapat melaksanakan perintah Allah SWT dengan baik dan benar maka ketentuan umum yang kami kemukakan di atas,  dapat pula diaplikasikan saat diri kita melaksanakan perintah Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk dapat melaksanakan perintah Allah SWT maka hal yang pertama harus ada di dalam diri adalah Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.

Lalu Kehendak tersebut harus ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai jika kita berharap memperoleh hasil yang maksimal. Kehendak (walaupun telah keluar dari dalam Hati Ruhani) tidak akan dapat menghantarkan diri kita untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oelh Allah SWT dengan baik dan benar, jika kehendak tersebut tidak ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai. Atau dengan kata lain Kehendak yang telah keluar dari dalam Hati Ruhani harus terpadu dalam satu kesatuan dengan Kemampuan dan Ilmu jika kita ingin sukses melaksanakan apa-apa  yang telah diperintahkan Allah SWT. Sekarang sudahkah kita memiliki kehendak seperti yang kami kemukakan di atas, saat diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh?. Mudah-Mudahan kita semua mampu memiliki dan mampu melakukan apa yang seharusnya kita lakukan.  

Adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan serta Ilmu saat diri kita menunaikan ibadah Haji dan Umroh berarti di dalam diri telah terjadi apa yang dinamakan dengan kebulatan tekad untuk melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sekarang apa yang sebenarnya terjadi dengan adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang menghasilkan kebulatan tekad itu? Seperti kita ketahui bersama bahwa Kehendak, Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki asalnya dari Allah SWT (Kehendak, Kemampuan serta Ilmu adalah Sifat Ma’ani Allah SWT). Lalu dengan diri kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT berarti kita sedang melaksanakan Sinergi, yaitu mensinergikan Kehendak, Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki dengan Pemilik, Pencipta dari Kehendak, Kemampuan dan Ilmu itu sendiri, dalam hal ini Allah SWT. Adanya proses sinergi yang kita lakukan  maka tersambunglah apa-apa yang telah Allah SWT berikan kepada diri kita dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku pemilik, pencipta itu semua serta pemberi perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh.  

Sekarang mari kita hubungkan antara ketentuan di atas  dengan ketentuan Hadits Qudsi di bawah ini. Hadits di bawah ini menerangkan bahwa Allah SWT baru akan menemui diri kita jika kita mau menemui Allah SWT, demikian pula sebaliknya jika kita tidak mau menemui Allah SWT maka Allah SWTpun tidak akan mau menemui diri kita. Ini berarti untuk mencapai sebuah kesesuaian dengan Allah SWT tidak ada jalan lain kecuali diri kita menyesuaikan apa-apa yang ada pada diri kita (dalam hal ini Kehendak, Kemampuan serta Ilmu) dengan Allah SWT selaku pencipta, pemilik dari Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang kita miliki. Setelah hal ini mampu kita lakukan maka modal awal untuk mensukseskan ibadah Haji dan Umroh sudah kita miliki.

Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(Hadits Qudsi Riwayat Al Bukhari, Malik, Annasa'ie dari Abu Hurairah;272-17)
Sekarang ada istilah Niat, lalu dimanakah letaknya Niat itu di dalam diri kita? Niat tidak bisa dilepaskan dengan adanya Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani, yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu. Hal ini dikarenakan Niat itu sendiri merupakan hasil akhir dari proses yang keluar dari Kehendak yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu dalam rangka untuk melaksanakan sesuatu, dalam hal ini adalah melaksanakan perintah Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti Niat dapat dikatakan sebagai kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh   Allah SWT kepada diri kita, tanpa ada paksaan dari siapapun juga sehingga terjadilah kekompakan di dalam diri kita saat melaksanakan perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh.

Adanya Niat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh berarti kita melakukan upaya untuk mensatupadukan, atau upaya untuk mengkompakkan seluruh komponen yang ada di dalam diri kita (dalam hal ini Ruh dan Amanah yang 7) untuk dihadapkan kepada Allah SWT, atau mensinergikan Ruh dan Amanah yang 7 yang kita miliki dengan Kemahaan dan Kebesaran Allah SWT. Selanjutnya jika Kehendak yang didukung Kemampuan dan Ilmu keluar dari dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus pula keluar dari Hati Ruhani. Sekarang setelah diri kita memiliki kebulatan tekad tanpa ada paksaan siapapun, untuk melaksanakan perintah melaksanakan Haji dan Umroh yang telah diperintahkan Allah SWT,  lalu seperti apakah Niat yang baik itu?

Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku tidak menerima sesuatu amal, kecuali amal yang diniatkan untuk-Ku.
(Hadits Qudsi Riwayat Al Bukhari, 272:167)

Niat baru dapat dikatakan sebuah Niat yang ikhlas maka Niat itu hanya diniatkan untuk Allah SWT semata. Contohnya, jika kita berniat untuk melaksanakan perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang berasal dari Allah SWT maka kita harus meniatkan Haji dan Umroh yang kita laksanakan hanya untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT semata. Tanpa ada maksud dan tujuan lain yang menyertai niat kita, sehingga yang ada dalam diri kita hanyalah tulus dan ikhlas dalam melaksanakan perintah Allah SWT semata.

Sekarang bagaimana jika Niat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang ada di dalam diri bukan keluar dari dalam Hati Ruhani namun keluarnya dari dalam mulut? Sepanjang Kehendak yang diberikan Allah SWT diletakkan di dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus keluar pula dari Hati Ruhani. Dan jika sekarang Niat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh keluarnya dari mulut berarti ada sesuatu yang salah di dalam kehendak yang kita miliki. Hal ini dikarenakan yang ada di dalam mulut kita bukanlah kehendak melainkan Kalam, yang berasal juga dari  Allah SWT. Untuk itu jika saat ini kita berniat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh, tetapi niat menunaikan ibadah Haji dan Umroh keluar dari mulut berarti yang berniat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh adalah Kalam (disinilah terjadi ketidaksesuaian antara diri kita dengan Allah SWT selaku pemberi menunaikan ibadah Haji dan Umroh). Ini berarti kesesuaian antara diri kita dengan Allah SWT tidak dapat terjadi karena Niat yang keluar dari Kalam tidak bisa disinergikan dengan Iradat Allah SWT karena Kalam hanya bisa disinergikan dengan Kalam pula.

Sebagai Khalifah yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh tentu kita harus berniat terlebih dahulu sebelum menunaikan ibadah Haji dan Umroh, untuk itu maka lakukanlah niat yang sesuai dengan kondisi yang sebenarnya yaitu jika kehendak asalnya diletakkan di dalam Hati Ruhani maka niat yang tidak lain hasil dari proses Kehendak, Kemampuan dan Ilmu, harus pula keluar dari Hati Ruhani. Sekarang pilihan dari Niat ada pada diri kita sendiri, apakah mau yang keluar dari Hati Ruhani ataukah yang keluar dari Mulut?       

Sesungguhnya segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan niatnya.
(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim)

Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan perbuatan kalian.
(Hadits Riwayat Muslim, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Sekarang mari kita perhatikan 2(dua) buah hadits yang kami kemukakan di atas ini, Allah SWT memberikan penilaian kepada seseorang sangat tergantung kepada apa yang diniatkan oleh seseorang saat melakukan sesuatu tindakan. Allah SWT tidak pernah menjadikan fisik (penampilan) seseorang dan harta seseorang sebagai acuan dasar untuk menilai keberhasilan seseorang melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya. Allah SWT memiliki ketentuan sendiri di dalam menilai keberhasilan seseorang yaitu dengan mempergunakan kriteria seberapa ikhlas seseorang melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya, atau seberapa tinggi kualitas Niat yang ikhlas yang keluar dari Hati Ruhani seseorang melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepadanya. Niat yang Ikhlas sangat memegang peranan penting di dalam setiap melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.

Sebagai Khalifah yang membutuhkan ibadah Haji dan Umroh berarti pada saat ini kita harus memiliki dan menunjukkan Niat yang Ikhlas kepada Allah SWT di dalam melaksanakan segala apa-apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepada diri kita. Timbul pertanyaan apakah itu Ikhlas atau apa itu Niat yang Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa arti dari Ikhlas itu sendiri,  yaitu :  

1.      Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 80 di bawah ini, Ikhlas artinya Rahasia. Ikhlas adalah suatu Rahasia yang terdapat di dalam diri kita sehingga orang lain tidak tahu apa yang akan kita perbuat dan kitapun tidak hendak memberi tahu tentang apa yang kita perbuat. Ini berarti Niat yang Ikhlas adalah Rahasia yang tersembunyi di dalam Hati Ruhani diri kita sehingga yang tahu hanya diri kita dan Allah SWT semata.

Maka tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf[761] mereka menyendiri sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua diantara mereka: "Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf. sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. dan Dia adalah hakim yang sebaik-baiknya".
(surat Yusuf (12) ayat 80)

[761] Yakni putusan Yusuf yang menolak permintaan mereka untuk menukar Bunyamin dengan saudaranya yang lain.

Adanya Rahasia yang hanya diketahui oleh diri kita dan Allah SWT semata, berarti apa yang kita lakukan bukanlah sesuatu untuk dipamerkan, untuk diperlihatkan kepada orang lain, atau riya, atau karena ingin dianggap mampu, atau karena ingin dianggap alim.   

2.   Berdasarkan surat Az Zumar (39) ayat 3 di bawah ini, Ikhlas artinya suci dan murni atau tidak ada campuran atau tidak ada pengaruh darimanapun, dari apapun serta dari siapapun juga kecuali dari Allah SWT semata.

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.
(surat Az Zumar (39) ayat 3)


Niat yang Ikhlas adalah suatu keadaan dimana apa yang kita niatkan adalah sesuatu yang suci dan yang murni, bukan karena bujukan, bukan karena hasutan, bukan karena ajakan dari orang lain apalagi karena keterpaksaan, untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sehingga yang ada pada diri kita saat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT hanyalah ikhlas karena Allah SWT semata. 

3.   Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 64 di bawah ini, Ikhlas artinya dekat, akrab, dengan Allah SWT. Adanya niat yang ikhlas untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan perintah Allah SWT terjadi suatu hubungan yang sangat dekat antara diri kita yang diperintahkan menunaikan ibadah Haji dan Umroh dengan Allah SWT yang memerintahkan menunaikan ibadah Haji dan Umroh.  

dan raja berkata: "Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang yang rapat kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
(surat Yusuf (12) ayat 54)

Terjadinya kedekatan antara diri kita dengan Allah SWT karena apa yang kita lakukan merupakan rahasia antara diri kita dengan Allah SWT. Sehingga dengan adanya kerahasiaan ini akan menumbuhkan suatu kedekatan antara diri kita dengan Allah SWT. 

4.   Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 24 di bawah ini, Ikhlas artinya suci dari segala kekotoran dan kejahatan. Suatu Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan Allah SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan itu semua yang ada hanyalah kesucian dan kemurnian untuk melaksanakan dan memperoleh apa-apa yang terdapat di balik perintah Allah SWT.

Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud (melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
(surat Yusuf (12) ayat 24)

[750] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan dengan keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.

Hal ini dimungkinkan karena setiap apa yang diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk kepentingan diri kita sendiri (untuk kepentingan yang menerima dan menjalankan perintah) sehingga di balik perintah Allah SWT tidak akan pernah ada kekotoran apalagi kejahatan yang akan menimpa diri kita sepanjang perintah Allah SWT mampu kita laksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah SWT.

5.   Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 94 di bawah ini, Ikhlas artinya khusus tertentu. Niat yang Ikhlas di dalam melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT berarti kita melaksanakan sesuatu yang bersifat khusus tertentu, dalam hal ini untuk kepentingan diri kita sendiri yang dilandasi karena Allah SWT semata.

Katakanlah: "Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah[75] kematian(mu), jika kamu memang benar.
(surat Al Baqarah (2) ayat 94)

[75] Maksudnya: mintalah agar kamu dimatikan sekarang juga.

Contohnya, jika kita ikhlas menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT berarti Haji dan Umroh yang kita laksanakan merupakan ibadah Haji dan Umroh yang bersifat Khusus tertentu yaitu untuk kepentingan diri kita semata sehingga orang lain tidak akan mungkin memperoleh hasil dari Haji dan Umroh yang kita laksanakan, akan tetapi bisa merasakan hasil dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan.

6.   Berdasarkan surat Ash Shaaffat (37) ayat 160-161 di bawah ini,  Ikhlas artinya suci daripada selain Allah SWT. Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah SWT berarti saat diri kita melaksanakan perintah tidak ada pengaruh lain dari selain Allah SWT atau kita tidak pernah melaksanakan perintah karena selain Allah SWT. Selanjutnya jika kita melaksanakan perintah karena ada tujuan lain, atau karena ada perintah dari yang lain, atau karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain di luar apa yang akan didapat  dari Allah SWT maka Niat yang Ikhlas belum kita lakukan.
 
kecuali hamba-hamba Allah[1292] yang dibersihkan dari (dosa).
Maka Sesungguhnya kamu dan apa-apa yang kamu sembah itu,
(surat Ash Shaaffat (37) ayat 160-161)

[1292] Yang dimaksud hamba Allah di sini ialah golongan jin yang beriman.

Inilah 6 (enam) arti dari Niat yang Ikhlas,  yang harus kita ketahui, yang harus kita laksanakan, yang harus kita tunjukkan kepada Allah SWT selaku pemberi perintah dengan sebaik mungkin. Jika kita ingin merasakan secara langsung apa yang dinamakan dengan kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT melalui ibadah Haji dan Umroh yang kita tunaikan. Sekarang, apakah Niat yang Ikhlas hanya sebatas dipergunakan saat menunaikan ibadah Haji dan Umroh saja, ataukah di dalam setiap perbuatan  serta  dalam keadaan apa dan kepada siapakah kita harus ikhlas? Niat yang Ikhlas tidak hanya dipergunakan saat diri kita menunaikan ibadah Haji dan Umroh saja. Akan tetapi Niat yang Ikhlas harus dipergunakan di saat diri kita melaksanakan tugas sebagai Khalifah di muka bumi. Apa dasarnya dan pada saat apa sajakah kita harus Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan hal dimaksud, yaitu:    
 
1.   Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 146 di bawah ini, Niat yang Ikhlas harus juga dilaksanakan pada saat diri kita berpegang teguh kepada Agama Allah SWT, atau saat melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah atau saat menunaikan ibadah Haji dan Umroh dan ibadah lainnya sepanjang sesuai dengan syariat yang berlaku.

kecuali orang-orang yang taubat dan Mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman pahala yang besar.
(surat An Nisaa' (4) ayat 146)

[369] Mengadakan perbaikan berarti berbuat pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dan kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

2.      Berdasarkan surat Al Mu’min (40) ayat 65 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita lakukan disaat berdoa hanya kepada Allah SWT dan juga disaat beribadah kepada Allah SWT sehingga yang ada adalah diri kita dan Allah SWT semata.
Dialah yang hidup kekal, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
(surat Al Mu'min (40) ayat 65)

Katakanlah: "Tuhanku menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka (diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan (demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat Al A'raaf (7) ayat 29)

Sedangkan berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 29 di atas, Niat yang Ikhlas harus pula dilaksanakan pada saat diri kita menjalankan, atau memutuskan suatu perkara dengan seadil-adilnya sehingga Niat yang Ikhlas juga wajib dilaksanakan saat menjalankan fungsi fungsi keadilan atau saat memutuskan suatu perkara. .

3.   Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita laksanakan pada saat diri kita bekerja, saat beramal, saat mengabdi, dan saat beribadah hanya kepada Allah SWT.

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
(surat Al Bayyinah (98) ayat 5)

[1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

4.   Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 139 dan surat Al Mu’min (40) ayat 14 di bawah ini, Niat yang Ikhlas tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah SWT, atau Niat yang Ikhlas wajib diperuntukkan hanya untuk Allah SWT semata.

Katakanlah: "Apakah kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
(surat Al Baqarah (2) ayat 139)

Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).
(surat Al Mu'min (40) ayat 14)

Lalu dapatkah Niat yang Ikhlas selalu terpelihara di dalam Hati Ruhani jika ada Ahwa dan Syaitan yang akan selalu mengganggu diri kita? Adanya pengaruh Ahwa dan Syaitan kepada diri kita, akan mengakibatkan Niat yang Ikhlas di dalam diri menjadi tidak beraturan kualitasnya, atau bahkan bisa menurunkan kualitas dari Niat yang Ikhlas. 

Untuk itu jika kita berkeinginan untuk selalu menjaga Niat yang Ikhlas di setiap perbuatan, atau di setiap ibadah yang kita lakukan maka Niat yang Ikhlas yang ada di dalam diri kita jangan dibiarkan berdiri seorang diri. Akan tetapi Niat yang Ikhlas harus ditunjang dengan hal hal sebagai berikut, yaitu : Jangan pernah ragu dalam beramal shaleh atau di saat berbuat kebaikan; Memelihara Amanah yang 7 yang  berasal dari Allah SWT sesuai dengan kehendak-Nya; Syahadat yang telah kita laksanakan; Ingat, Allah SWT akan selalu menjaga kita; Ingat, Allah SWT mengetahui setiap pekerjaan kita; Ingat, Allah SWT selalu melihat dan menyaksikan diri kita; Ingat, bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya; Ingat, segala apa yang tersembunyi dalam hati diketahui oleh Allah SWT; Ingat, kita akan menuai apa-apa yang pernah kita kerjakan

Jika saat ini kita termasuk orang yang mampu memiliki Niat yang Ikhlas yang kemudian ditujukan hanya kepada Allah SWT, maka Allah SWT akan memberikan kepada kita, hal hal sebagai berikut kepada diri kita, yaitu : 

1.   Berdasarkan surat Maryam (19) ayat 31 di bawah ini, kita akan dijadikan oleh Allah SWT sebagai hamba-hamba pilihan Allah SWT, atau hamba yang selalu diberkati Allah SWT dimana saja kita berada.

dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
(surat Maryam (19) ayat 31)

2.  Selamat dari gangguan Syaitan sang Laknatullah, atau selalu dilindungi oleh Allah SWT dari gangguan Syaitan.
3.   Berdasarkan surat Ash Shaaffat (37) ayat 38-41 di bawah ini, kita akan diselamatkan dari azab yang pedih dan diberi kehidupan yang mulia

Sesungguhnya kamu pasti akan merasakan azab yang pedih.
dan kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu kerjakan,
tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
mereka itu memperoleh rezki yang tertentu,
(surat Ash Shaaffat (37) ayat 38-41)

Sebagai Khalifah yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh dan yang tidak lama lagi akan menunaikannya, sudahkah Niat yang Ikhlas kita miliki saat melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT? Semoga kita mampu memiliki Niat yang Ikhlas di setiap apa yang telah diperintahkan Allah SWT kepada diri kita sehingga dengan itu semua mampu menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT tidak hanya saat menunaikan Haji dan Umroh dan  juga setelah kembali ke tanah air selama hayat masih di kandung badan.

D.     MEMPERSIAPKAN KESUCIAN RUH/RUHANI

Sebagai Khalifah di muka bumi yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, tolong perhatikan dengan seksama dua buah hadits yang kami kemukakan di bawah ini sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh ataupun sebelum diri kita melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah. Hal ini penting kami kemukakan karena kita tidak akan bisa menjadi tamu yang dikehendaki oleh Tuan Rumah saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh jika ketentuan yang ada pada ke dua hadits di bawah ini belum kita penuhi. Untuk itu kita harus segera memenuhi ketentuan hadits di bawah ini agar ibadah Haji dan Umroh yang kita lakukan bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu seberapa jauh tingkat kebersihan diri kita sewaktu akan melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, atau seberapa jauh kesesuaian antara diri kita dengan tingkat kesucian Allah SWT sebelum diri kita melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah.

Dari Ibnu Umar ra, katanya, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima shalat seseorang tanpa suci, dan tidak diterima sedekah yang berasal dari kejahatan (seperti mencuri, menipu, menggelapkan atau korupsi, rampok, judi dan sebagainya).
(Hadits Riwayat Bukhari No.175)

Hudzaifah ra, berkata: Nabi SAW  bersabda: Allah ta’ala berfirman: Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para Rasul dan saudara para pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu untuk tidak memasuki rumahKu (masjid) kecuali dengan hati yang bersih, lidah yang jujur, tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki rumahKu (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak hak orang lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia berdiri mengerjakan shalat di hadapanKu sehingga ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang berhak. Apabila ia telah mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat dan ia akan menjadi salah seorang kekasihKu, orang pilihanKu dan bersanding bersamaKu bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga.
(Hadits Qudsi Riwayat Abu Nua'im, Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir; 272:240)

Berdasarkan ketentuan hadits di atas, kita tidak bisa serta merta begitu saja melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, kita tidak bisa sembarangan menghadiri jamuan resmi Allah SWT (maksudnya melaksanakan Wukuf  di Padang Arafah) serta kitapun tidak bisa seenaknya memasuki Masjidil Haram dan Masjid Nabawi ataupun masjid lainnya begitu saja. Ketahuilah semuanya ada syarat dan ketentuan yang harus kita penuhi terlebih dahulu sebelum diri kita melaksanakan apa yang kami kemukakan di atas. 

Adapun syarat dan ketentuan yang wajib kita penuhi yang keseluruhannya sangat dikehendaki Allah SWT adalah : hati yang bersih, lidah yang benar, tangan yang suci serta kemaluan yang bersih. Selain daripada masih melalui ketentuan hadits di atas Allah SWT tidak memperkenankan diri kita untuk memasuki masjid, atau tidak memperkenankan diri kita mendirikan Shalat jika kita masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain, sebelum diri kita melunasi atau mengembalikan barang aniayaan itu kepada yang berhak. Atau dengan kata lain uang yang dipergunakan untuk membiayai ibadah Haji ataupun Umroh haruslah uang yang halal yang tidak terkontaminasi sedikitpun dengan hasil dari korupsi, kolusi dan nepotisme.

Timbul pertanyaan, ada apa dengan kondisi seperti itu sehingga Allah SWT sampai harus menetapkan hal ini dengan tegas sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh atau sebelum diri kita mendirikan Shalat atau sebelum diri kita melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah. Ada beberapa alasan kenapa Allah SWT sampai harus menetapkan kondisi dasar setiap manusia sebelum melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah SWT seperti melaksanakan Haji dan Umroh, mendirikan Shalat, atau sebelum memasuki masjid, atau sebelum menghadap Allah SWT , yaitu :

1.  Hati yang Bersih merupakan syarat utama untuk berkomunikasi dengan Allah SWT, hal ini dikarenakan Allah SWT hanya bisa dijangkau oleh Hati yang Mukmin.

2.     Allah SWT adalah Dzat yang Maha Suci, sekarang bagaimana mungkin kita akan berhubungan, atau menghadap, atau menjadi tamu, atau berkomunikasi dengan yang Maha Suci dengan baik dan benar jika lidah, tangan, kemaluan, harta, pakaian, serta diri kita sendiri masih dalam keadaan kotor.

3.  Adanya barang aniayaan milik orang lain yang masih belum kita lunasi, atau belum kita kembalikan kepada yang pemiliknya yang berhak, atau adanya barang aniayaan yang masih melekat di dalam harta kita berarti saat diri kita menghadap, atau saat berhubungan, atau menjadi tamu, atau saat berkomunikasi  dengan Allah SWT berarti kondisi harta yang kita miliki, atau sesuatu yang kita miliki belum seluruhnya dalam keadaan bersih, atau masih dalam keadaan kotor sedangkan Allah SWT adalah Dzat yang Maha Suci. Adanya perbedaan kondisi ini akan menghambat diri kita untuk bersinergi dengan Allah SWT melalui ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan dan juga saat Shalat. 


Allah SWT akan mengutuk kepada orang yang masih tersangkut barang aniayaan, kepada orang yang masih tersangkut dengan barang curian, kepada orang yang masih tersangkut dengan korupsi, kepada orang yang masih tersangkut hak hak orang lain yang diambil tanpa hak, seperti menipu, sampai dengan apa yang telah diambilnya dikembalikan kepada pemiliknya yang berhak atau  yang sah, terkecuali kita siap untuk dikutuk Allah SWT. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan (melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah) tidak akan pernah sesuai dengan kehendak  Allah SWT  selaku pemberi perintah sepanjang diri kita masih mencuri, sepanjang diri kita masih merampok, masih mengambil hak orang lain, masih korupsi, masih kolusi serta masih belum mengembalikan barang aniayaan dan semuanya menunjukkan kepada kita bahwa membiayai ibadah Haji dan Umroh harus dari penghasilan yang halal yang tidak terkontaminasi sedikitpun dengan yang haram.

Jika sampai yang haram sampai menjadi penghasilan kita, akan sia-sialah Shalat kita, akan sia-sialah kita ke Masjid, akan sia-sialah kita melaksanakan Haji dan Umroh, karena Allah SWT tidak menghendaki diri kita ada dihadapan Allah SWT baik pada saat kita hadir di rumah Allah SWT (maksudnya di masjid), pada saat diri menghadap Allah SWT (maksudnya saat mendirikan Shalat), pada saat diri kita memenuhi undangan Allah SWT (maksudnya saat melaksanakan Haji dan Umroh atau Wukuf) karena ulah kita sendiri yang tidak mampu membersihkan harta kekayaan atau tidak mampu  memperoleh harta kekayaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. 

Lalu setelah diri kita mampu membersihkan hati, membersihkan lidah, membersihkan tangan, membersihkan  kemaluan serta membersihkan harta kekayaan maka terjadilah apa yang dinamakan kesesuaian kondisi antara diri kita dengan Allah SWT, yaitu Yang Maha Suci hanya bisa ditemui dengan yang suci pula. Sehingga jika Allah SWT adalah Yang Maha Suci maka kitapun harus suci terlebih dahulu sebelum menghadap Yang Maha Suci. Lalu jika Allah SWT adalah Yang Maha Terpuji, maka kitapun harus berperilaku terpuji sebelum menghadap Yang Maha Terpuji. Berikutnya jika Allah SWT adalah Yang Maha Terhormat, maka kitapun harus berperilaku terhormat sebelum menghadap Yang Maha Terhormat. Adanya kesesuaian yang kita lakukan sebelum melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, atau sebelum mendirikan Shalat berarti diri kita telah menempatkan dan meletakkan Allah SWT sesuai dengan Kebesaraan dan Kemahaan yang dimiliki-Nya.

Sebagai Khalifah di muka bumi yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, apa yang kami kemukakan di atas adalah kondisi awal yang harus kita penuhi  sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Semakin baik kita memenuhi ketentuan di atas maka semakin memudahkan diri kita memperolah predikat Haji yang mabrur yang pahalanya adalah Syurga. Semakin buruk kondisi kita (maksudnya kita tidak mampu memenuhi syarat dan ketentuan Allah SWT di atas) semakin memudahkan diri kita  memperoleh predikat Haji yang mardud yang dikehendaki oleh Syaitan. 

Berikutnya ada satu hal yang harus kita perhatikan dengan sungguh-sungguh saat diri kita menyamakan kondisi diri kita dengan kondisi Allah SWT Yang Maha Suci, yaitu yang harus kita sucikan bukan hanya Jasmani semata. Akan tetapi Ruh/Ruhani juga harus kita sucikan melalui proses Thaharah sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Hal ini dikarenakan manusia terdiri dari Jasmani dan juga Ruh/Ruhani dan di lain sisi baik Jasmani dan Ruh/Ruhani akan mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan Ruh/Ruhani tidak fitrah lagi karena pengaruh Ahwa dan Syaitan dan karena adanya aktivitas tubuh dan lingkungan mengakibatkan Jasmani menjadi kotor dan tidak suci lagi dari hadast besar maupun hadats kecil. 

Setiap manusia yang hidup pasti akan mengalami apa yang dinamakan proses pengaruh mempengaruhi antara Jasmani dengan Ruh/Ruhani serta setiap manusia pasti akan mengalami gangguan Ahwa dan Syaitan yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kefitrahan manusia, atau timbullah kekotoran jiwa manusia, atau manusia sudah tidak sesuai lagi dengan konsep awal penciptaan manusia. Di lain sisi pada saat manusia hidup maka setiap manusia pasti akan melakukan aktivitas, yang mana aktivitas ini akan mengakibatkan jasmani mengalami gangguan berupa debu, berupa keringat, berupa bau badan, berupa daki, mengakibatkan buang air kecil maupun besar. Adanya pengaruh negatif baik kepada Jasmani maupun kepada Ruh/Ruhani tentu hal ini akan mengakibatkan baik Jasmani maupun Ruh/Ruhani menjadi tidak suci atau tidak fitrah lagi, atau mengalami suatu kekotoran. 

Adanya kekotoran, atau ketidaksucian yang dialami oleh Jasmani maupun oleh Ruh/Ruhani maka kondisi ini harus dikembalikan lagi ke posisi yang suci lagi karena kita akan menghadap kepada yang Maha Suci. Untuk mengembalikan kefitrahan Ruh/Ruhani menjadi sediakala, atau membersihkan Jasmani dari kekotoran akibat proses alam, atau akibat proses alamiah jasmani maka Thaharah harus kita laksanakan.

Sebelum kami melanjutkan pembahasan tentang Thaharah, ada baiknya kita mengetahui apa yang disebut tidak suci baik ditinjau dari sisi Ruh/Ruhani dan juga dari sisi Jasmani sehingga dengan kita mengetahui hal ini maka akan memudahkan diri kita melaksanakan Thaharah sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh atau saat diri kita mendirikan Shalat. Berikut ini akan kami kemukakan apa yang dikatakan tidak suci dari sisi Ruh/Ruhani dan juga dari sisi Jasmani, yaitu :

1.   Berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 41-42 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Hati Ruh/Ruhani yang Kafir, yaitu suatu keadaan dimana mulut mengatakan kami telah beriman sedangkan di dalam hati belum beriman, atau suatu keadaan lain di mulut lain di hati (orang yang munafik). 


hai rasul, janganlah hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan) kekafirannya, Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut mereka:"Kami telah beriman", Padahal hati mereka belum beriman; dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) Amat suka mendengar (berita-berita) bohong[415] dan Amat suka mendengar perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka) kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
(surat Al Maaidah (5) ayat 41)

[415] Maksudnya Ialah: orang Yahudi Amat suka mendengar perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau Amat suka mendengar perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[416] Maksudnya: mereka Amat suka mendengar perkataan-perkataan pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah bertemu dengan Nabi Muhammad s.a.w. karena sangat benci kepada beliau, atau Amat suka mendengarkan perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan secara tidak jujur kepada kawan-kawannya tersebut.
[417] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan mengurangi.

2.   Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 11 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah adanya gangguan Syaitan kepada diri kita, atau adanya pengaruh dari gangguan Syaitan kepada diri kita yang mengakibatkan diri kita selalu berbuat dan bertindak yang sesuai dengan kehendak Syaitan, dalam hal ini bertindak dan berbuat di dalam koridor Nilai-Nilai Keburukan.

(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8) ayat 11)

[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.


3.   Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 32-33 di bawah ini, yang dikatakan  tidak suci adalah jika kita masih melaksanakan, atau berbuat dan bertindak dengan mempergunakan Etika Jahiliyah dengan melakukan tindakan yang tidak ada tuntunan syariat yang berlaku.

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah Perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215] dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih bersihnya.
(surat Al Ahzab (33) ayat 32-33)

[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.
[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.


4.   Berdasarkan surat Al Hajj (22) ayat 26 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita masih berbuat Syirik, atau kita masih melakukan suatu kegiatan tertentu yang masuk di dalam kategori perbuatan Syirik dan Musyrik, seperti percaya dengan klenik klenik, ajimat dan lain sebagainya. 

dan (ingatlah), ketika Kami memberikan tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang ruku' dan sujud.
(surat Al Hajj (22) ayat 26)


5.   Berdasarkan surat Al Muddatstsir (74) ayat 4-7 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci itu adalah jika kita masih memiliki akhlak yang buruk, atau watak yang buruk belum juga hilang dari diri kita. 

dan pakaianmu bersihkanlah,
dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.
(surat Al Muddatstsir (74) ayat 4-7)


6.   Berdasarkan surat Huud (11) ayat 78 dan surat Al A’raaf (7) ayat 80 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita masih melakukan perbuatan atau Tindakan A-Moral atau kita masih suka melaksanakan aktivitas yang tidak sesuai lagi dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah.

dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji[730]. Luth berkata: "Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di antaramu seorang yang berakal?"
(surat Huud (11) ayat 78)

[730] Maksudnya perbuatan keji di sini Ialah: mengerjakan liwath (homoseksuall).

dan (kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu[551], yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"
(surat Al A'raaf (7) ayat 80)

[551] Perbuatan faahisyah di sini Ialah: homoseksual sebagaimana diterangkan dalam ayat 81 berikut.

7.   Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 55 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah seluruh bentuk dari kekafiran termasuk di dalamnya hasil, atau buah dari aktivitas kekafiran yang pernah dikerjakan oleh seseorang.

(ingatlah), ketika Allah berfirman: "Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".
(surat Ali Imran (3) ayat 55)


8.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 108 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Masjid yang didirikan tanpa dasar keimanan dan ketaqwaan, atau Masjid yang didirikan bukan untuk kebaikan akan tetapi untuk menutup-nutupi kejahatan yang pernah dilakukan, seperti dibangun dari uang hasil menipu atau uang hasil korupsi.

janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
(surat At Taubah (9) ayat 108)


9.   Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 222 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Haidnya seorang perempuan.

mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
(surat Al Baqarah (2) ayat 222)

[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti darah keluar.



Inilah sembilan keadaan yang dikatakan sebagai sesuatu yang tidak suci, yang akan dialami setiap manusia yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesucian/kefitrahan Ruh/Ruhani ataupun Jasmani diri kita. Adanya ketidaksucian yang terdapat di dalam diri kita (baik Ruh/Ruhani maupun Jasmani) maka kondisi ini harus kita bersihkan, atau kita kembalikan ke kondisi suci melalui proses Thaharah sehingga pada saat diri melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, pada saat diri kita Wukuf di Arafah, pada saat kita mendirikan Shalat, ataupun setelah mendirikan Shalat, maka antara diri kita dengan Allah SWT sudah dan selalu berada di dalam kesesuaian kesucian. Adanya kondisi ini (maksudnya kesamaan kesucian antara diri kita dengan Allah SWT) akan memudahkan diri kita menghadap kepada Allah SWT, atau akan melancarkan komunikasi diri kita dengan Allah SWT yang pada akhirnya memudahkan diri kita bersinergi dengan Allah SWT yang pada akhirnya kita mampu menjadi tamu yang sudah ditunggu tunggu kedatangannya oleh Allah SWT. 

Sekarang apa yang harus kita lakukan jika ketidaksucian masih terdapat di dalam diri kita, atau diri kita masih belum sesuai dengan keadaan Allah SWT yang Maha Suci? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa cara yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT jika kita berkeinginan untuk mensucikan Jasmani maupun memfitrahkan Ruh/Ruhani, termasuk di dalamnya hal-hal yang masih belum suci yang terdapat di dalam harta kita, yaitu : 

1.   Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 11 di bawah ini, untuk mensucikan gangguan Syaitan maka kita harus selalu selalu berlindung kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan apapun hanya kepada Allah SWT. Ingat, walaupun diri kita berada di Masjidil Haram, berada di Padang Arafah, berada di Muzdalifah, berada di Mina atau berada di Masjid Nabawi Madinah, syaitan tetap ada di sana dan siap mengganggu ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan dan hanya orang orang yang meminta perlindungan Allah SWT sajalah yang terhindar dari gangguan syaitan.

(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8) ayat 11)

[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan keteguhan hati dan keteguhan pendirian.

Sedangkan berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 6 di bawah ini, untuk mensucikan Jasmani, atau untuk membersihkan junub harus mempergunakan Air yang suci dan jika kita dalam perjalanan kita diperbolehkan untuk Tayammum dengan mempergunakan Tanah yang baik (bersih), atau dengan mempergunakan debu. 


Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(surat Al  Maa-idah(5) ayat 6)

[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi.

Timbul pertanyaan, apa yang harus kita lakukan dengan air ataupun dengan tanah yang bersih itu? Air yang bersih dapat kita gunakan untuk mandi jika kita sedang junub. Air juga kita pergunakan untuk Wudhu, dalam rangka membasuh kedua tapak tangan tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup dan mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki tiga kali.

Abdullah bin Zaid r.a. ketika ditanya tentang wudhu-nya Nabi SAW, ia minta mangkok berisi air wudhu, menyontohkan wudhu Nabi SAW, Maka menuangkan air ke tangan dan membasuh ke dua tapak tangan tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam mangkuk lalu kumur dan menghirup air dan mengeluarkannya dari hidung tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam air dan membasuh muka tiga kali, kemudian membasuh tangan hingga siku dua kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam air lalu mengusap kepalanya dari muka sampai ke belakang satu kali, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki.
(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan No.136)

Usman bin Affan r.a. minta bejana air untuk wudhu, lalu menuangkan air membasuh kedua tapak tangannya tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup dan mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki tiga kali, kemudian berkata: Rasulullah SAW bersabda: Siapa yang wudhu seperti wudhu'ku ini, lalu sembahyang dua rakaat dengan khusyu tidak berkata apa-apa dalam hatinya, maka ia akan diampunkan dosanya yang telah lalu.
(Hadits Riwayat Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan No.135)

Sekarang apa yang kita lakukan dengan tanah yang baik (bersih)? “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah yang bersih ” dalam rangka untuk bertayammum.

2.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 103 di bawah ini, untuk mensucikan harta, atau kekayaan yang kita miliki maka kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk menunaikan Zakat, atau membayar Infaq, Shadaqah, Jariah.

ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(surat At Taubah (9) ayat 103)

[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.

Alangkah baiknya sebelum diri kita menunaikan ibadah Haji dan Umroh kita sudah menyelesaikan hak hak Allah SWT yang melekat pada harta kekayaan kita melalui Zakat, melalui infaq dan shadaqah sehingga segalanya sudah bersih dan dengan kebersihan ini akan memudahkan diri kita menghadap Dzat Yang Maha Suci.

3.   Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 104 di bawah ini, untuk mensucikan dosa yang pernah kita perbuat saat hidup di dunia maka kita diharuskan untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya Taubat hanya kepada Allah SWT semata.

tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
(surat At Taubah (9) ayat 104)

4.   Berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 57 dan surat Al Baqarah (2) ayat 25 di bawah ini, untuk mendapatkan sesuatu yang suci yang berasal dari Allah SWT (dalam hal ini adalah Syurga) maka kita diwajibkan untuk beriman dan beramal shaleh tanpa putus-putusnya saat menjadi Khalifah di muka bumi.

dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat yang teduh lagi nyaman.
(surat An Nisaa' (4) ayat 57)
dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya[32].
(surat Al Baqarah (2) ayat 25)

[32] Kenikmatan di syurga itu adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.


5.   Berdasarkan surat Al Mujaadilah (58) ayat 12 di bawah ini, kita diwajibkan untuk bersedekah terlebih dahulu sebelum berbicara dengan Nabi (atau jika kita ingin melakukan suatu kegiatan tertentu yang di dalamnya terdapat ketidakpastian) agar kesucian dan kemudahan dapat kita peroleh sehingga segala urusan dan keperluan kita dimudahkan oleh Allah SWT.

Hai orang-orang beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(surat Al Mujaadilah (58) ayat 12)


6.   Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 15-16 di bawah ini, untuk memperoleh dan mendapatkan kesucian dari Allah SWT maka diwajibkan oleh Allah SWT untuk selalu memohon ampun kepada Allah SWT atas dosa-dosa yang pernah kita perbuat.

Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan hamba-hamba-Nya.
(yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan peliharalah Kami dari siksa neraka,"
(surat Ali Imran (3) ayat 15-16)

Inilah 6 (enam) cara yang diperkenankan oleh Allah SWT untuk mensucikan diri kita akibat pengaruh aktivitas kehidupan sehari-hari ditambah akibat pengaruh buruk dari Ahwa dan Syaitan dan juga karena adanya tarik menarik antara kepentingan Jasmani dengan Ruh/Ruhani.


Sebagai Khalifah yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, berarti kita harus bisa melaksanakan Thaharah dengan baik dan benar jika kita ingin merasakan rasa dari nikmatnya bertuhankan Allah SWT, atau jika kita ingin merasakan rasa diterima oleh Allah SWT saat menjadi tamu Allah SWT di Baitullah, atau jika kita ingin memperoleh Haji yang mabrur yang pahalanya adalah Syurga. Adanya pemenuhan syarat dan ketentuan melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sangat tergantung kepada diri kita sendiri, apakah mau memenuhinya ataukah tidak dan yang pasti adalah kebesaran dan kemahaan Allah SWT tidak akan berkurang sedikitpun jika kita tidak mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar