C. MEMPERSIAPKAN NIAT YANG IKHLAS
Berdasarkan ketentuan yang
berlaku secara umum, untuk dapat melaksanakan sesuatu, harus dimulai dari
adanya kehendak (Iradat) yang keluar dari Hati Ruhani, yang dilanjutkan dengan
adanya dukungan kemampuan (Qudrat) serta Ilmu untuk mewujudkan apa-apa yang
akan dilaksanakan. Ini berarti untuk
dapat melaksanakan sesuatu dengan baik dan benar, atau untuk menghasilkan
sesuatu yang baik dan benar maka kehendak tidak bisa berdiri sendiri, namun kehendak
harus ditunjang oleh kemampuan dan ilmu sehingga ketiga hal ini harus ada di
dalam satu kesatuan. Sekarang
apakah ketentuan ini berlaku juga saat diri kita hendak melaksanakan perintah Allah
SWT yang telah diperintahkanNya? Untuk
dapat melaksanakan perintah Allah SWT dengan baik dan benar maka ketentuan umum
yang kami kemukakan di atas, dapat pula
diaplikasikan saat diri kita melaksanakan perintah Allah SWT. Hal ini
dikarenakan untuk dapat melaksanakan perintah Allah SWT maka hal yang pertama
harus ada di dalam diri adalah Kehendak yang keluar dari dalam Hati Ruhani
untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Lalu Kehendak tersebut harus
ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu yang memadai jika kita berharap
memperoleh hasil yang maksimal. Kehendak
(walaupun telah keluar dari dalam Hati Ruhani) tidak akan dapat menghantarkan
diri kita untuk melaksanakan apa yang diperintahkan oelh Allah SWT dengan baik
dan benar, jika kehendak tersebut tidak ditunjang dengan Kemampuan serta Ilmu
yang memadai. Atau dengan kata lain Kehendak yang telah keluar dari dalam Hati
Ruhani harus terpadu dalam satu kesatuan dengan Kemampuan dan Ilmu jika kita
ingin sukses melaksanakan apa-apa yang telah
diperintahkan Allah SWT. Sekarang sudahkah
kita memiliki kehendak seperti yang kami kemukakan di atas, saat diri kita
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh?. Mudah-Mudahan kita semua mampu memiliki dan mampu melakukan apa yang
seharusnya kita lakukan.
Adanya keterpaduan antara
Kehendak, Kemampuan serta Ilmu saat diri kita menunaikan ibadah Haji dan Umroh berarti
di dalam diri telah terjadi apa yang dinamakan dengan kebulatan tekad untuk
melaksanakan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah SWT. Sekarang apa yang sebenarnya terjadi dengan
adanya keterpaduan antara Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang menghasilkan
kebulatan tekad itu? Seperti kita ketahui bersama bahwa Kehendak, Kemampuan,
serta Ilmu yang kita miliki asalnya dari Allah SWT (Kehendak, Kemampuan serta
Ilmu adalah Sifat Ma’ani Allah SWT). Lalu dengan diri kita melaksanakan apa yang diperintahkan Allah SWT
berarti kita sedang melaksanakan Sinergi, yaitu mensinergikan Kehendak,
Kemampuan, serta Ilmu yang kita miliki dengan Pemilik, Pencipta dari Kehendak,
Kemampuan dan Ilmu itu sendiri, dalam hal ini Allah SWT. Adanya proses sinergi
yang kita lakukan maka tersambunglah
apa-apa yang telah Allah SWT berikan kepada diri kita dengan kebesaran dan
kemahaan Allah SWT selaku pemilik, pencipta itu semua serta pemberi perintah menunaikan
ibadah Haji dan Umroh.
Sekarang mari kita hubungkan
antara ketentuan di atas dengan ketentuan
Hadits Qudsi di bawah ini. Hadits di bawah ini menerangkan bahwa Allah SWT baru
akan menemui diri kita jika kita mau menemui Allah SWT, demikian pula
sebaliknya jika kita tidak mau menemui Allah SWT maka Allah SWTpun tidak akan
mau menemui diri kita. Ini berarti untuk mencapai sebuah kesesuaian dengan Allah SWT tidak ada jalan lain
kecuali diri kita menyesuaikan apa-apa yang ada pada diri kita (dalam hal ini
Kehendak, Kemampuan serta Ilmu) dengan Allah SWT selaku pencipta, pemilik dari
Kehendak, Kemampuan dan Ilmu yang kita miliki. Setelah hal ini mampu kita lakukan maka modal awal untuk mensukseskan
ibadah Haji dan Umroh sudah kita miliki.
Abu Hurairah ra, berkata:
Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku,
Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan
menemuinya.
(Hadits
Qudsi Riwayat Al Bukhari, Malik, Annasa'ie dari Abu Hurairah;272-17)
Sekarang ada istilah Niat, lalu
dimanakah letaknya Niat itu di dalam diri kita? Niat tidak bisa dilepaskan dengan adanya Kehendak yang keluar dari
dalam Hati Ruhani, yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu. Hal ini dikarenakan
Niat itu sendiri merupakan hasil akhir dari proses yang keluar dari Kehendak
yang didukung oleh Kemampuan dan Ilmu dalam rangka untuk melaksanakan sesuatu, dalam hal ini adalah melaksanakan perintah Allah
SWT. Adanya kondisi ini berarti Niat
dapat dikatakan sebagai kebulatan tekad untuk melaksanakan apa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT
kepada diri kita, tanpa ada paksaan dari siapapun juga sehingga terjadilah
kekompakan di dalam diri kita saat melaksanakan perintah menunaikan ibadah Haji
dan Umroh.
Adanya Niat untuk menunaikan
ibadah Haji dan Umroh berarti kita melakukan upaya untuk mensatupadukan, atau
upaya untuk mengkompakkan seluruh komponen yang ada di dalam diri kita (dalam
hal ini Ruh dan Amanah yang 7) untuk dihadapkan kepada Allah SWT, atau
mensinergikan Ruh dan Amanah yang 7 yang kita miliki dengan Kemahaan dan
Kebesaran Allah SWT. Selanjutnya jika
Kehendak yang didukung Kemampuan dan Ilmu keluar dari dalam Hati Ruhani maka
Niatpun harus pula keluar dari Hati Ruhani. Sekarang setelah diri kita memiliki kebulatan tekad tanpa ada paksaan
siapapun, untuk melaksanakan perintah melaksanakan Haji dan Umroh yang telah
diperintahkan Allah SWT, lalu seperti
apakah Niat yang baik itu?
Anas ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku tidak menerima sesuatu amal, kecuali amal
yang diniatkan untuk-Ku.
(Hadits
Qudsi Riwayat Al Bukhari, 272:167)
Niat baru dapat dikatakan sebuah
Niat yang ikhlas maka Niat itu hanya diniatkan untuk Allah SWT semata. Contohnya, jika kita berniat untuk
melaksanakan perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang berasal dari Allah
SWT maka kita harus meniatkan Haji dan Umroh yang kita laksanakan hanya untuk
melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT semata. Tanpa ada
maksud dan tujuan lain yang menyertai niat kita, sehingga yang ada dalam diri
kita hanyalah tulus dan ikhlas dalam melaksanakan perintah Allah SWT semata.
Sekarang bagaimana jika Niat
untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang ada di dalam diri bukan keluar dari
dalam Hati Ruhani namun keluarnya dari dalam mulut? Sepanjang Kehendak yang diberikan Allah SWT
diletakkan di dalam Hati Ruhani maka Niatpun harus keluar pula dari Hati
Ruhani. Dan jika sekarang Niat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh keluarnya
dari mulut berarti ada sesuatu yang salah di dalam kehendak yang kita miliki.
Hal ini dikarenakan yang ada di dalam mulut kita bukanlah kehendak melainkan
Kalam, yang berasal juga dari Allah SWT. Untuk itu jika saat ini kita berniat untuk menunaikan
ibadah Haji dan Umroh, tetapi niat menunaikan ibadah Haji dan Umroh keluar dari
mulut berarti yang berniat untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh adalah Kalam
(disinilah terjadi ketidaksesuaian antara diri kita dengan Allah SWT selaku
pemberi menunaikan ibadah Haji dan Umroh). Ini berarti kesesuaian antara diri
kita dengan Allah SWT tidak dapat terjadi karena Niat yang keluar dari Kalam
tidak bisa disinergikan dengan Iradat Allah SWT karena Kalam hanya bisa
disinergikan dengan Kalam pula.
Sebagai Khalifah yang sangat
membutuhkan ibadah Haji dan Umroh tentu kita harus berniat terlebih dahulu
sebelum menunaikan ibadah Haji dan Umroh, untuk itu maka lakukanlah niat yang
sesuai dengan kondisi yang sebenarnya yaitu jika kehendak asalnya diletakkan di
dalam Hati Ruhani maka niat yang tidak lain hasil dari proses Kehendak,
Kemampuan dan Ilmu, harus pula keluar dari Hati Ruhani. Sekarang pilihan dari Niat ada pada diri
kita sendiri, apakah mau yang keluar dari Hati Ruhani ataukah yang keluar dari
Mulut?
Sesungguhnya
segala perbuatan itu disertai niat. Dan seseorang diganjar sesuai dengan
niatnya.
(Hadits Riwayat Bukhari,
Muslim)
Allah
tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Allah melihat hati dan perbuatan
kalian.
(Hadits Riwayat Muslim,
Ibnu Majah, dan Ahmad)
Sekarang mari kita perhatikan
2(dua) buah hadits yang kami kemukakan di atas ini, Allah SWT memberikan penilaian kepada
seseorang sangat tergantung kepada apa yang diniatkan oleh seseorang saat
melakukan sesuatu tindakan. Allah SWT tidak pernah menjadikan fisik
(penampilan) seseorang dan harta seseorang sebagai acuan dasar untuk menilai
keberhasilan seseorang melaksanakan apa yang telah diperintahkan-Nya. Allah SWT memiliki ketentuan sendiri di
dalam menilai keberhasilan seseorang yaitu dengan mempergunakan kriteria
seberapa ikhlas seseorang melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan-Nya,
atau seberapa tinggi kualitas Niat yang ikhlas yang keluar dari Hati Ruhani
seseorang melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT
kepadanya. Niat yang Ikhlas
sangat memegang peranan penting di dalam setiap melaksanakan suatu perintah
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT.
Sebagai Khalifah yang membutuhkan
ibadah Haji dan Umroh berarti pada saat ini kita harus memiliki dan menunjukkan
Niat yang Ikhlas kepada Allah SWT di dalam melaksanakan segala apa-apa yang
telah diperintahkan Allah SWT kepada diri kita. Timbul pertanyaan apakah itu Ikhlas atau apa itu Niat yang Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa
arti dari Ikhlas itu sendiri, yaitu
:
1.
Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 80 di bawah ini, Ikhlas artinya
Rahasia. Ikhlas adalah suatu Rahasia yang terdapat di dalam diri kita sehingga
orang lain tidak tahu apa yang akan kita perbuat dan kitapun tidak hendak memberi
tahu tentang apa yang kita perbuat. Ini berarti Niat yang Ikhlas adalah Rahasia
yang tersembunyi di dalam Hati Ruhani diri kita sehingga yang tahu hanya diri
kita dan Allah SWT semata.
Maka
tatkala mereka berputus asa dari pada (putusan) Yusuf[761] mereka menyendiri
sambil berunding dengan berbisik-bisik. berkatalah yang tertua diantara mereka:
"Tidakkah kamu ketahui bahwa Sesungguhnya ayahmu telah mengambil janji
dari kamu dengan nama Allah dan sebelum itu kamu telah menyia-nyiakan Yusuf.
sebab itu aku tidak akan meninggalkan negeri Mesir, sampai ayahku mengizinkan
kepadaku (untuk kembali), atau Allah memberi keputusan terhadapku. dan Dia
adalah hakim yang sebaik-baiknya".
(surat Yusuf (12) ayat 80)
[761] Yakni putusan Yusuf yang menolak permintaan mereka untuk menukar
Bunyamin dengan saudaranya yang lain.
Adanya Rahasia
yang hanya diketahui oleh diri kita dan Allah SWT semata, berarti apa yang kita lakukan bukanlah sesuatu
untuk dipamerkan, untuk diperlihatkan kepada orang lain, atau riya, atau karena
ingin dianggap mampu, atau karena ingin dianggap alim.
2. Berdasarkan
surat Az Zumar (39) ayat 3 di bawah ini, Ikhlas artinya suci dan murni atau
tidak ada campuran atau tidak ada pengaruh darimanapun, dari apapun serta dari
siapapun juga kecuali dari Allah SWT semata.
Ingatlah,
hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). dan orang-orang yang
mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka
melainkan supaya mereka mendekatkan Kami kepada Allah dengan sedekat-
dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa
yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang
yang pendusta dan sangat ingkar.
(surat Az Zumar (39) ayat
3)
Niat yang Ikhlas adalah suatu
keadaan dimana apa yang kita niatkan adalah sesuatu yang suci dan yang murni, bukan
karena bujukan, bukan karena hasutan, bukan karena ajakan dari orang lain
apalagi karena keterpaksaan, untuk melaksanakan apa-apa yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT sehingga yang ada pada diri kita saat melaksanakan
apa yang diperintahkan Allah SWT hanyalah ikhlas karena Allah SWT semata.
3. Berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 64 di bawah
ini, Ikhlas artinya dekat, akrab, dengan Allah SWT. Adanya niat yang ikhlas
untuk melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT berarti pada
saat diri kita melaksanakan perintah Allah SWT terjadi suatu hubungan yang
sangat dekat antara diri kita yang diperintahkan menunaikan ibadah Haji dan
Umroh dengan Allah SWT yang memerintahkan menunaikan ibadah Haji dan Umroh.
dan raja berkata:
"Bawalah Yusuf kepadaKu, agar aku memilih Dia sebagai orang yang rapat
kepadaku". Maka tatkala raja telah bercakap-cakap dengan Dia, Dia berkata:
"Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan
Tinggi lagi dipercayai pada sisi kami".
(surat
Yusuf (12) ayat 54)
Terjadinya kedekatan antara diri
kita dengan Allah SWT karena apa yang kita lakukan merupakan rahasia antara
diri kita dengan Allah SWT. Sehingga dengan adanya kerahasiaan ini akan
menumbuhkan suatu kedekatan antara diri kita dengan Allah SWT.
4. Berdasarkan
surat Yusuf (12) ayat 24 di bawah ini, Ikhlas artinya suci dari segala
kekotoran dan kejahatan. Suatu Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan apa-apa yang
telah diperintahkan Allah SWT berarti pada saat diri kita melaksanakan itu
semua yang ada hanyalah kesucian dan kemurnian untuk melaksanakan dan
memperoleh apa-apa yang terdapat di balik perintah Allah SWT.
Sesungguhnya wanita itu
telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusufpun bermaksud
(melakukan pula) dengan wanita itu andaikata Dia tidak melihat tanda (dari)
Tuhannya[750]. Demikianlah, agar Kami memalingkan dari padanya kemungkaran dan
kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu Termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.
(surat
Yusuf (12) ayat 24)
[750] Ayat ini tidaklah menunjukkan bahwa Nabi Yusuf
a.s. punya keinginan yang buruk terhadap wanita itu (Zulaikha), akan tetapi
godaan itu demikian besanya sehingga andaikata Dia tidak dikuatkan dengan
keimanan kepada Allah s.w.t tentu Dia jatuh ke dalam kemaksiatan.
Hal ini dimungkinkan karena
setiap apa yang diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk kepentingan diri kita
sendiri (untuk kepentingan yang menerima dan menjalankan perintah) sehingga di
balik perintah Allah SWT tidak akan pernah ada kekotoran apalagi kejahatan yang
akan menimpa diri kita sepanjang perintah Allah SWT mampu kita laksanakan
dengan baik dan benar sesuai dengan kehendak Allah SWT.
5. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 94 di bawah ini, Ikhlas artinya khusus tertentu. Niat
yang Ikhlas di dalam melaksanakan suatu perintah yang telah diperintahkan oleh
Allah SWT berarti kita melaksanakan sesuatu yang bersifat khusus tertentu,
dalam hal ini untuk kepentingan diri kita sendiri yang dilandasi karena Allah
SWT semata.
Katakanlah:
"Jika kamu (menganggap bahwa) kampung akhirat (surga) itu khusus untukmu
di sisi Allah, bukan untuk orang lain, Maka inginilah[75] kematian(mu), jika
kamu memang benar.
(surat Al Baqarah (2) ayat
94)
[75] Maksudnya:
mintalah agar kamu dimatikan sekarang juga.
Contohnya, jika kita ikhlas menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT berarti Haji dan Umroh yang kita laksanakan
merupakan ibadah Haji dan Umroh yang bersifat Khusus tertentu yaitu untuk
kepentingan diri kita semata sehingga orang lain tidak akan mungkin memperoleh
hasil dari Haji dan Umroh yang kita laksanakan, akan tetapi bisa merasakan
hasil dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan.
6. Berdasarkan
surat Ash Shaaffat (37) ayat 160-161 di bawah ini, Ikhlas artinya suci daripada selain Allah
SWT. Niat yang Ikhlas untuk melaksanakan perintah Allah SWT berarti saat diri
kita melaksanakan perintah tidak ada pengaruh lain dari selain Allah SWT atau
kita tidak pernah melaksanakan perintah karena selain Allah SWT. Selanjutnya
jika kita melaksanakan perintah karena ada tujuan lain, atau karena ada
perintah dari yang lain, atau karena ingin mendapatkan sesuatu yang lain di
luar apa yang akan didapat dari Allah
SWT maka Niat yang Ikhlas belum kita lakukan.
kecuali hamba-hamba
Allah[1292] yang dibersihkan dari (dosa).
Maka Sesungguhnya kamu dan
apa-apa yang kamu sembah itu,
(surat Ash Shaaffat (37)
ayat 160-161)
[1292] Yang dimaksud hamba Allah di sini ialah
golongan jin yang beriman.
Inilah 6 (enam) arti dari Niat
yang Ikhlas, yang harus kita ketahui,
yang harus kita laksanakan, yang harus kita tunjukkan kepada Allah SWT selaku
pemberi perintah dengan sebaik mungkin. Jika kita ingin merasakan secara
langsung apa yang dinamakan dengan kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT
melalui ibadah Haji dan Umroh yang kita tunaikan. Sekarang, apakah Niat yang
Ikhlas hanya sebatas dipergunakan saat menunaikan ibadah Haji dan Umroh saja,
ataukah di dalam setiap perbuatan
serta dalam keadaan apa dan
kepada siapakah kita harus ikhlas? Niat yang Ikhlas tidak hanya dipergunakan saat diri kita menunaikan
ibadah Haji dan Umroh saja. Akan tetapi Niat yang Ikhlas harus dipergunakan di
saat diri kita melaksanakan tugas sebagai Khalifah di muka bumi. Apa dasarnya dan pada saat apa sajakah kita
harus Ikhlas? Berikut ini akan kami kemukakan hal dimaksud, yaitu:
1. Berdasarkan
surat An Nisaa’ (4) ayat 146 di bawah ini, Niat yang Ikhlas harus juga
dilaksanakan pada saat diri kita berpegang teguh kepada Agama Allah SWT, atau
saat melaksanakan Diinul Islam yang Kaffah atau saat menunaikan ibadah Haji dan
Umroh dan ibadah lainnya sepanjang sesuai dengan syariat yang berlaku.
kecuali orang-orang yang
taubat dan Mengadakan perbaikan[369] dan berpegang teguh pada (agama) Allah dan
tulus ikhlas (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah
bersama-sama orang yang beriman dan kelak Allah akan memberikan kepada orang-orang
yang beriman pahala yang besar.
(surat
An Nisaa' (4) ayat 146)
[369] Mengadakan perbaikan berarti berbuat
pekerjaan-pekerjaan yang baik untuk menghilangkan akibat-akibat yang jelek dan
kesalahan-kesalahan yang dilakukan.
2.
Berdasarkan
surat Al Mu’min (40) ayat 65 di bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita
lakukan disaat berdoa hanya kepada Allah SWT dan juga disaat beribadah kepada Allah
SWT sehingga yang ada adalah diri kita dan Allah SWT semata.
Dialah yang hidup kekal,
tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia; Maka sembahlah Dia dengan
memurnikan ibadat kepada-Nya. segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.
(surat
Al Mu'min (40) ayat 65)
Katakanlah: "Tuhanku
menyuruh menjalankan keadilan". dan (katakanlah): "Luruskanlah muka
(diri)mu[533] di Setiap sembahyang dan sembahlah Allah dengan mengikhlaskan
ketaatanmu kepada-Nya. sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan
(demikian pulalah kamu akan kembali kepadaNya)".
(surat
Al A'raaf (7) ayat 29)
Sedangkan berdasarkan surat Al
A’raaf (7) ayat 29 di atas, Niat yang Ikhlas harus pula dilaksanakan pada saat
diri kita menjalankan, atau memutuskan suatu perkara dengan seadil-adilnya
sehingga Niat yang Ikhlas juga wajib dilaksanakan saat menjalankan fungsi
fungsi keadilan atau saat memutuskan suatu perkara. .
3. Berdasarkan surat Al Bayyinah (98) ayat 5 di
bawah ini, Niat yang Ikhlas juga harus kita laksanakan pada saat diri kita bekerja,
saat beramal, saat mengabdi, dan saat beribadah hanya kepada Allah SWT.
Padahal mereka tidak
disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya
dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat
dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.
(surat
Al Bayyinah (98) ayat 5)
[1595] Lurus berarti jauh dari syirik
(mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
4. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 139 dan surat Al Mu’min (40) ayat 14 di bawah ini,
Niat yang Ikhlas tidak boleh diperuntukkan kepada selain Allah SWT, atau Niat
yang Ikhlas wajib diperuntukkan hanya untuk Allah SWT semata.
Katakanlah: "Apakah
kamu memperdebatkan dengan Kami tentang Allah, Padahal Dia adalah Tuhan Kami
dan Tuhan kamu; bagi Kami amalan Kami, dan bagi kamu amalan kamu dan hanya
kepada-Nya Kami mengikhlaskan hati,
(surat
Al Baqarah (2) ayat 139)
Maka sembahlah Allah dengan
memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).
(surat
Al Mu'min (40) ayat 14)
Lalu dapatkah Niat yang Ikhlas selalu
terpelihara di dalam Hati Ruhani jika ada Ahwa dan Syaitan yang akan selalu
mengganggu diri kita? Adanya
pengaruh Ahwa dan Syaitan kepada diri kita, akan mengakibatkan Niat yang Ikhlas
di dalam diri menjadi tidak beraturan kualitasnya, atau bahkan bisa menurunkan
kualitas dari Niat yang Ikhlas.
Untuk itu jika kita berkeinginan untuk selalu
menjaga Niat yang Ikhlas di setiap perbuatan, atau di setiap ibadah yang kita
lakukan maka Niat yang Ikhlas yang ada di dalam diri kita jangan dibiarkan berdiri
seorang diri. Akan tetapi Niat yang Ikhlas harus ditunjang dengan hal hal
sebagai berikut, yaitu : Jangan pernah ragu dalam beramal shaleh atau di saat
berbuat kebaikan; Memelihara Amanah yang 7 yang
berasal dari Allah SWT sesuai dengan kehendak-Nya; Syahadat yang telah
kita laksanakan; Ingat, Allah SWT akan selalu menjaga kita; Ingat, Allah SWT
mengetahui setiap pekerjaan kita; Ingat, Allah SWT selalu melihat dan
menyaksikan diri kita; Ingat, bahwa manusia harus mempertanggungjawabkan segala
perbuatannya; Ingat, segala apa yang tersembunyi dalam hati diketahui oleh Allah
SWT; Ingat, kita akan menuai apa-apa yang pernah kita kerjakan
Jika saat ini kita termasuk orang yang mampu
memiliki Niat yang Ikhlas yang kemudian ditujukan hanya kepada Allah SWT, maka
Allah SWT akan memberikan kepada kita, hal hal sebagai berikut kepada diri kita,
yaitu :
1. Berdasarkan
surat Maryam (19) ayat 31 di bawah ini, kita akan dijadikan oleh Allah SWT
sebagai hamba-hamba pilihan Allah SWT, atau hamba yang selalu diberkati Allah
SWT dimana saja kita berada.
dan Dia menjadikan aku
seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku
(mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup;
(surat Maryam (19) ayat 31)
2. Selamat
dari gangguan Syaitan sang Laknatullah, atau selalu dilindungi oleh Allah SWT
dari gangguan Syaitan.
3. Berdasarkan
surat Ash Shaaffat (37) ayat 38-41 di bawah ini, kita akan diselamatkan dari
azab yang pedih dan diberi kehidupan yang mulia
Sesungguhnya
kamu pasti akan merasakan azab yang pedih.
dan
kamu tidak diberi pembalasan melainkan terhadap kejahatan yang telah kamu
kerjakan,
tetapi
hamba-hamba Allah yang dibersihkan (dari dosa).
mereka
itu memperoleh rezki yang tertentu,
(surat Ash Shaaffat (37)
ayat 38-41)
Sebagai
Khalifah yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh dan yang tidak lama lagi
akan menunaikannya, sudahkah Niat yang Ikhlas kita miliki saat melaksanakan
apa-apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT? Semoga kita mampu memiliki Niat yang Ikhlas di setiap apa yang telah
diperintahkan Allah SWT kepada diri kita sehingga dengan itu semua mampu
menghantarkan diri kita merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT tidak
hanya saat menunaikan Haji dan Umroh dan
juga setelah kembali ke tanah air selama hayat masih di kandung badan.
D.
MEMPERSIAPKAN
KESUCIAN RUH/RUHANI
Sebagai Khalifah di muka bumi
yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, tolong perhatikan dengan seksama
dua buah hadits yang kami kemukakan di bawah ini sebelum diri kita melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh ataupun sebelum diri kita melaksanakan Diinul Islam yang
Kaffah. Hal ini penting kami kemukakan karena kita tidak akan bisa menjadi tamu
yang dikehendaki oleh Tuan Rumah saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh jika
ketentuan yang ada pada ke dua hadits di bawah ini belum kita penuhi. Untuk itu
kita harus segera memenuhi ketentuan hadits di bawah ini agar ibadah Haji dan
Umroh yang kita lakukan bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT, yaitu seberapa
jauh tingkat kebersihan diri kita sewaktu akan melaksanakan ibadah Haji dan
Umroh, atau seberapa jauh kesesuaian antara diri kita dengan tingkat kesucian Allah
SWT sebelum diri kita melaksanakan Diinul Islam secara Kaffah.
Dari
Ibnu Umar ra, katanya, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak diterima
shalat seseorang tanpa suci, dan tidak diterima sedekah yang berasal dari
kejahatan (seperti mencuri, menipu, menggelapkan atau korupsi, rampok, judi dan
sebagainya).
(Hadits Riwayat Bukhari No.175)
Hudzaifah ra, berkata: Nabi
SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Allah SWT telah mewahyukan kepadaku: "Wahai saudara para Rasul dan saudara
para pemberi peringatan! Berilah berita peringatan kepada kaummu untuk tidak
memasuki rumahKu (masjid) kecuali dengan hati yang bersih, lidah yang jujur,
tangan yang suci, dan kemaluan yang bersih. Dan janganlah mereka memasuki
rumahKu (masjid) padahal mereka masih tersangkut barang aniayaan hak hak orang
lain. Sesungguhnya Aku mengutuknya selama ia berdiri mengerjakan shalat di
hadapanKu sehingga ia mengembalikan barang aniayaan itu kepada pemiliknya yang
berhak. Apabila ia telah mengembalikannya, maka Aku menjadi pendengarannya yang
dengannya ia mendengar, menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat dan ia
akan menjadi salah seorang kekasihKu, orang pilihanKu dan bersanding bersamaKu
bersama para Nabi, para shiddiqin dan para syuhada di dalam syurga.
(Hadits
Qudsi Riwayat Abu Nua'im, Hakim, Ad-Dailami, dan Ibnu Asakir; 272:240)
Berdasarkan ketentuan hadits di
atas, kita tidak bisa serta merta begitu saja melaksanakan ibadah Haji dan Umroh,
kita tidak bisa sembarangan menghadiri jamuan resmi Allah SWT (maksudnya
melaksanakan Wukuf di Padang Arafah)
serta kitapun tidak bisa seenaknya memasuki Masjidil Haram dan Masjid Nabawi
ataupun masjid lainnya begitu saja. Ketahuilah semuanya ada syarat dan
ketentuan yang harus kita penuhi terlebih dahulu sebelum diri kita melaksanakan
apa yang kami kemukakan di atas.
Adapun syarat dan ketentuan yang wajib kita
penuhi yang keseluruhannya sangat dikehendaki Allah SWT adalah : hati yang bersih, lidah yang benar, tangan
yang suci serta kemaluan yang bersih. Selain daripada masih
melalui ketentuan hadits di atas Allah SWT tidak memperkenankan diri kita untuk
memasuki masjid, atau tidak memperkenankan diri kita mendirikan Shalat jika
kita masih tersangkut barang aniayaan hak orang lain, sebelum diri kita melunasi
atau mengembalikan barang aniayaan itu kepada yang berhak. Atau dengan kata
lain uang yang dipergunakan untuk membiayai ibadah Haji ataupun Umroh haruslah
uang yang halal yang tidak terkontaminasi sedikitpun dengan hasil dari korupsi,
kolusi dan nepotisme.
Timbul pertanyaan, ada apa dengan
kondisi seperti itu sehingga Allah SWT sampai harus menetapkan hal ini dengan
tegas sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh atau sebelum diri
kita mendirikan Shalat atau sebelum diri kita melaksanakan Diinul Islam secara
Kaffah. Ada beberapa alasan kenapa Allah SWT sampai harus menetapkan kondisi
dasar setiap manusia sebelum melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah
SWT seperti melaksanakan Haji dan Umroh, mendirikan Shalat, atau sebelum
memasuki masjid, atau sebelum menghadap Allah SWT , yaitu :
1. Hati yang Bersih merupakan syarat utama untuk
berkomunikasi dengan Allah SWT, hal ini dikarenakan Allah SWT hanya bisa
dijangkau oleh Hati yang Mukmin.
2. Allah SWT adalah Dzat yang Maha Suci,
sekarang bagaimana mungkin kita akan berhubungan, atau menghadap, atau menjadi
tamu, atau berkomunikasi dengan yang Maha Suci dengan baik dan benar jika
lidah, tangan, kemaluan, harta, pakaian, serta diri kita sendiri masih dalam
keadaan kotor.
3. Adanya barang aniayaan milik orang lain yang
masih belum kita lunasi, atau belum kita kembalikan kepada yang pemiliknya yang
berhak, atau adanya barang aniayaan yang masih melekat di dalam harta kita
berarti saat diri kita menghadap, atau saat berhubungan, atau menjadi tamu,
atau saat berkomunikasi dengan Allah SWT
berarti kondisi harta yang kita miliki, atau sesuatu yang kita miliki belum
seluruhnya dalam keadaan bersih, atau masih dalam keadaan kotor sedangkan Allah
SWT adalah Dzat yang Maha Suci. Adanya perbedaan kondisi ini akan menghambat
diri kita untuk bersinergi dengan Allah SWT melalui ibadah Haji dan Umroh yang
kita laksanakan dan juga saat Shalat.
Allah SWT akan mengutuk kepada
orang yang masih tersangkut barang aniayaan, kepada orang yang masih tersangkut
dengan barang curian, kepada orang yang masih tersangkut dengan korupsi, kepada
orang yang masih tersangkut hak hak orang lain yang diambil tanpa hak, seperti
menipu, sampai dengan apa yang telah diambilnya dikembalikan kepada pemiliknya
yang berhak atau yang sah, terkecuali
kita siap untuk dikutuk Allah SWT. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri
kita bahwa ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan (melaksanakan Diinul
Islam yang Kaffah) tidak akan pernah sesuai dengan kehendak Allah SWT
selaku pemberi perintah sepanjang diri kita masih mencuri, sepanjang
diri kita masih merampok, masih mengambil hak orang lain, masih korupsi, masih
kolusi serta masih belum mengembalikan barang aniayaan dan semuanya menunjukkan
kepada kita bahwa membiayai ibadah Haji dan Umroh harus dari penghasilan yang
halal yang tidak terkontaminasi sedikitpun dengan yang haram.
Jika sampai yang haram sampai
menjadi penghasilan kita, akan sia-sialah Shalat kita, akan sia-sialah kita ke
Masjid, akan sia-sialah kita melaksanakan Haji dan Umroh, karena Allah SWT
tidak menghendaki diri kita ada dihadapan Allah SWT baik pada saat kita hadir
di rumah Allah SWT (maksudnya di masjid), pada saat diri menghadap Allah SWT
(maksudnya saat mendirikan Shalat), pada saat diri kita memenuhi undangan Allah
SWT (maksudnya saat melaksanakan Haji dan Umroh atau Wukuf) karena ulah kita
sendiri yang tidak mampu membersihkan harta kekayaan atau tidak mampu memperoleh harta kekayaan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT.
Lalu setelah diri kita mampu membersihkan hati,
membersihkan lidah, membersihkan tangan, membersihkan kemaluan serta membersihkan harta kekayaan
maka terjadilah apa yang dinamakan kesesuaian kondisi antara diri kita dengan Allah
SWT, yaitu Yang Maha Suci hanya bisa ditemui dengan yang suci pula. Sehingga jika Allah SWT adalah Yang Maha Suci maka kitapun
harus suci terlebih dahulu sebelum menghadap Yang Maha Suci. Lalu jika Allah
SWT adalah Yang Maha Terpuji, maka kitapun harus berperilaku terpuji sebelum
menghadap Yang Maha Terpuji. Berikutnya jika Allah SWT adalah Yang Maha Terhormat,
maka kitapun harus berperilaku terhormat sebelum menghadap Yang Maha Terhormat. Adanya kesesuaian yang kita lakukan sebelum
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, atau sebelum mendirikan Shalat berarti diri
kita telah menempatkan dan meletakkan Allah SWT sesuai dengan Kebesaraan dan
Kemahaan yang dimiliki-Nya.
Sebagai Khalifah di muka bumi
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk melaksanakan ibadah Haji dan
Umroh, apa yang kami kemukakan di atas adalah kondisi awal yang harus kita
penuhi sebelum diri kita melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh. Semakin baik kita memenuhi ketentuan di atas maka
semakin memudahkan diri kita memperolah predikat Haji yang mabrur yang
pahalanya adalah Syurga. Semakin buruk kondisi kita (maksudnya kita tidak mampu
memenuhi syarat dan ketentuan Allah SWT di atas) semakin memudahkan diri
kita memperoleh predikat Haji yang mardud
yang dikehendaki oleh Syaitan.
Berikutnya ada satu hal yang harus kita
perhatikan dengan sungguh-sungguh saat diri kita menyamakan kondisi diri kita
dengan kondisi Allah SWT Yang Maha Suci, yaitu yang harus kita sucikan bukan
hanya Jasmani semata. Akan tetapi Ruh/Ruhani juga harus kita sucikan melalui
proses Thaharah sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Hal ini dikarenakan manusia terdiri dari
Jasmani dan juga Ruh/Ruhani dan di lain sisi baik Jasmani dan Ruh/Ruhani akan
mengalami suatu keadaan yang mengakibatkan Ruh/Ruhani tidak fitrah lagi karena
pengaruh Ahwa dan Syaitan dan karena adanya aktivitas tubuh dan lingkungan
mengakibatkan Jasmani menjadi kotor dan tidak suci lagi dari hadast besar
maupun hadats kecil.
Setiap manusia yang hidup pasti
akan mengalami apa yang dinamakan proses pengaruh mempengaruhi antara Jasmani
dengan Ruh/Ruhani serta setiap manusia pasti akan mengalami gangguan Ahwa dan
Syaitan yang akhirnya akan mempengaruhi tingkat kefitrahan manusia, atau
timbullah kekotoran jiwa manusia, atau manusia sudah tidak sesuai lagi dengan
konsep awal penciptaan manusia. Di lain sisi pada saat manusia hidup maka
setiap manusia pasti akan melakukan aktivitas, yang mana aktivitas ini akan
mengakibatkan jasmani mengalami gangguan berupa debu, berupa keringat, berupa
bau badan, berupa daki, mengakibatkan buang air kecil maupun besar. Adanya pengaruh negatif baik kepada Jasmani
maupun kepada Ruh/Ruhani tentu hal ini akan mengakibatkan baik Jasmani maupun Ruh/Ruhani
menjadi tidak suci atau tidak fitrah lagi, atau mengalami suatu kekotoran.
Adanya
kekotoran, atau ketidaksucian yang dialami oleh Jasmani maupun oleh Ruh/Ruhani
maka kondisi ini harus dikembalikan lagi ke posisi yang suci lagi karena kita
akan menghadap kepada yang Maha Suci. Untuk mengembalikan kefitrahan Ruh/Ruhani
menjadi sediakala, atau membersihkan Jasmani dari kekotoran akibat proses alam,
atau akibat proses alamiah jasmani maka Thaharah harus kita laksanakan.
Sebelum kami melanjutkan
pembahasan tentang Thaharah, ada baiknya kita mengetahui apa yang disebut tidak
suci baik ditinjau dari sisi Ruh/Ruhani dan juga dari sisi Jasmani sehingga
dengan kita mengetahui hal ini maka akan memudahkan diri kita melaksanakan
Thaharah sebelum diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh atau saat diri
kita mendirikan Shalat. Berikut ini akan kami kemukakan apa yang dikatakan
tidak suci dari sisi Ruh/Ruhani dan juga dari sisi Jasmani, yaitu :
1. Berdasarkan
surat Al Maaidah (5) ayat 41-42 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah
Hati Ruh/Ruhani yang Kafir, yaitu suatu keadaan dimana mulut mengatakan kami
telah beriman sedangkan di dalam hati belum beriman, atau suatu keadaan lain di
mulut lain di hati (orang yang munafik).
hai rasul, janganlah
hendaknya kamu disedihkan oleh orang-orang yang bersegera (memperlihatkan)
kekafirannya, Yaitu diantara orang-orang yang mengatakan dengan mulut
mereka:"Kami telah beriman", Padahal hati mereka belum beriman; dan
(juga) di antara orang-orang Yahudi. (orang-orang Yahudi itu) Amat suka
mendengar (berita-berita) bohong[415] dan Amat suka mendengar
perkataan-perkataan orang lain yang belum pernah datang kepadamu[416]; mereka
merobah[417] perkataan-perkataan (Taurat) dari tempat-tempatnya. mereka
mengatakan: "Jika diberikan ini (yang sudah di robah-robah oleh mereka)
kepada kamu, Maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini Maka
hati-hatilah". Barangsiapa yang Allah menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali
kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Allah. mereka
itu adalah orang-orang yang Allah tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka
beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.
(surat
Al Maaidah (5) ayat 41)
[415] Maksudnya Ialah: orang Yahudi Amat suka mendengar
perkataan-perkataam pendeta mereka yang bohong, atau Amat suka mendengar
perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w untuk disampaikan kepada
pendeta-pendeta dan kawan-kawan mereka dengan cara yang tidak jujur.
[416] Maksudnya: mereka Amat suka mendengar perkataan-perkataan
pemimpin-pemimpin mereka yang bohong yang belum pernah bertemu dengan Nabi
Muhammad s.a.w. karena sangat benci kepada beliau, atau Amat suka mendengarkan
perkataan-perkataan Nabi Muhammad s.a.w. untuk disampaikan secara tidak jujur
kepada kawan-kawannya tersebut.
[417] Maksudnya: merobah arti kata-kata, tempat atau menambah dan
mengurangi.
2. Berdasarkan surat Al Anfaal (8) ayat 11 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah adanya gangguan Syaitan kepada diri
kita, atau adanya pengaruh dari gangguan Syaitan kepada diri kita yang
mengakibatkan diri kita selalu berbuat dan bertindak yang sesuai dengan
kehendak Syaitan, dalam hal ini bertindak dan berbuat di dalam koridor
Nilai-Nilai Keburukan.
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu
mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu
dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8)
ayat 11)
[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan
keteguhan hati dan keteguhan pendirian.
3. Berdasarkan surat Al Ahzab (33) ayat 32-33 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci
adalah jika kita masih melaksanakan, atau berbuat dan bertindak dengan
mempergunakan Etika Jahiliyah dengan melakukan tindakan yang tidak ada tuntunan
syariat yang berlaku.
Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian
tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu
tunduk[1213] dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit
dalam hatinya[1214] dan ucapkanlah Perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu[1215]
dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah
yang dahulu[1216] dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah
dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari
kamu, Hai ahlul bait[1217] dan membersihkan kamu sebersih bersihnya.
(surat Al Ahzab (33)
ayat 32-33)
[1213] Yang dimaksud dengan tunduk di sini ialah berbicara dengan sikap
yang menimbulkan keberanian orang bertindak yang tidak baik terhadap mereka.
[1214] Yang dimaksud dengan dalam hati mereka ada penyakit Ialah: orang
yang mempunyai niat berbuat serong dengan wanita, seperti melakukan zina.
[1215] Maksudnya: isteri-isteri Rasul agar tetap di rumah dan ke luar
rumah bila ada keperluan yang dibenarkan oleh syara'. perintah ini juga
meliputi segenap mukminat.
[1216] Yang dimaksud Jahiliyah yang dahulu ialah Jahiliah kekafiran yang
terdapat sebelum Nabi Muhammad s.a.w. dan yang dimaksud Jahiliyah sekarang
ialah Jahiliyah kemaksiatan, yang terjadi sesudah datangnya Islam.
[1217] Ahlul bait di sini, Yaitu keluarga rumah tangga Rasulullah s.a.w.
4. Berdasarkan surat Al Hajj (22) ayat 26 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah jika kita masih berbuat Syirik,
atau kita masih melakukan suatu kegiatan tertentu yang masuk di dalam kategori
perbuatan Syirik dan Musyrik, seperti percaya dengan klenik klenik, ajimat dan
lain sebagainya.
dan (ingatlah), ketika Kami memberikan
tempat kepada Ibrahim di tempat Baitullah (dengan mengatakan): "Janganlah
kamu memperserikatkan sesuatupun dengan aku dan sucikanlah rumahKu ini bagi
orang-orang yang thawaf, dan orang-orang yang beribadat dan orang-orang yang
ruku' dan sujud.
(surat Al Hajj (22)
ayat 26)
5. Berdasarkan surat Al Muddatstsir (74) ayat
4-7 di bawah ini, yang dikatakan tidak suci itu adalah jika kita masih memiliki
akhlak yang buruk, atau watak yang buruk belum juga hilang dari diri kita.
dan pakaianmu bersihkanlah,
dan perbuatan dosa tinggalkanlah,
dan janganlah kamu memberi (dengan maksud)
memperoleh (balasan) yang lebih banyak.
dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu,
bersabarlah.
(surat Al
Muddatstsir (74) ayat 4-7)
6. Berdasarkan
surat Huud (11) ayat 78 dan surat Al A’raaf (7) ayat 80 di bawah ini, yang
dikatakan tidak suci adalah jika kita masih melakukan perbuatan atau Tindakan
A-Moral atau kita masih suka melaksanakan aktivitas yang tidak sesuai lagi
dengan Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai-Nilai Ilahiah.
dan datanglah kepadanya
kaumnya dengan bergegas-gegas. dan sejak dahulu mereka selalu melakukan
perbuatan-perbuatan yang keji[730]. Luth berkata: "Hai kaumku, Inilah
puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan
janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. tidak Adakah di
antaramu seorang yang berakal?"
(surat
Huud (11) ayat 78)
[730] Maksudnya perbuatan keji di sini Ialah:
mengerjakan liwath (homoseksuall).
dan (kami juga telah
mengutus) Luth (kepada kaumnya). (ingatlah) tatkala Dia berkata kepada mereka:
"Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu[551], yang belum pernah
dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?"
(surat
Al A'raaf (7) ayat 80)
[551] Perbuatan faahisyah di sini Ialah: homoseksual
sebagaimana diterangkan dalam ayat 81 berikut.
7. Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 55 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah seluruh bentuk dari kekafiran
termasuk di dalamnya hasil, atau buah dari aktivitas kekafiran yang pernah
dikerjakan oleh seseorang.
(ingatlah), ketika Allah berfirman:
"Hai Isa, Sesungguhnya aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan
mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir,
dan menjadikan orang-orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir
hingga hari kiamat. kemudian hanya kepada Akulah kembalimu, lalu aku memutuskan
diantaramu tentang hal-hal yang selalu kamu berselisih padanya".
(surat Ali Imran (3)
ayat 55)
8. Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 108 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Masjid yang didirikan tanpa dasar keimanan
dan ketaqwaan, atau Masjid yang didirikan bukan untuk kebaikan akan tetapi untuk
menutup-nutupi kejahatan yang pernah dilakukan, seperti dibangun dari uang
hasil menipu atau uang hasil korupsi.
janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid
itu selama-lamanya. Sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa
(mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya.
di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih.
(surat At Taubah (9)
ayat 108)
9. Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 222 di
bawah ini, yang dikatakan tidak suci adalah Haidnya seorang perempuan.
mereka bertanya kepadamu tentang haidh.
Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu
hendaklah kamu menjauhkan diri[137] dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci[138]. apabila mereka telah Suci,
Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.
(surat Al Baqarah
(2) ayat 222)
[137] Maksudnya menyetubuhi wanita di waktu haidh.
[138] Ialah sesudah mandi. Adapula yang menafsirkan sesudah berhenti
darah keluar.
Inilah sembilan keadaan yang
dikatakan sebagai sesuatu yang tidak suci, yang akan dialami setiap manusia
yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kesucian/kefitrahan Ruh/Ruhani
ataupun Jasmani diri kita. Adanya ketidaksucian yang terdapat di dalam diri
kita (baik Ruh/Ruhani maupun Jasmani) maka kondisi ini harus kita bersihkan,
atau kita kembalikan ke kondisi suci melalui proses Thaharah sehingga pada saat
diri melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, pada saat diri kita Wukuf di Arafah,
pada saat kita mendirikan Shalat, ataupun setelah mendirikan Shalat, maka
antara diri kita dengan Allah SWT sudah dan selalu berada di dalam kesesuaian
kesucian. Adanya kondisi ini (maksudnya kesamaan kesucian antara diri kita
dengan Allah SWT) akan memudahkan diri kita menghadap kepada Allah SWT, atau
akan melancarkan komunikasi diri kita dengan Allah SWT yang pada akhirnya
memudahkan diri kita bersinergi dengan Allah SWT yang pada akhirnya kita mampu menjadi
tamu yang sudah ditunggu tunggu kedatangannya oleh Allah SWT.
Sekarang apa yang harus kita
lakukan jika ketidaksucian masih terdapat di dalam diri kita, atau diri kita
masih belum sesuai dengan keadaan Allah SWT yang Maha Suci? Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa cara yang telah ditunjukkan oleh Allah SWT jika kita
berkeinginan untuk mensucikan Jasmani maupun memfitrahkan Ruh/Ruhani, termasuk
di dalamnya hal-hal yang masih belum suci yang terdapat di dalam harta kita,
yaitu :
1. Berdasarkan
surat Al Anfaal (8) ayat 11 di bawah ini, untuk mensucikan gangguan Syaitan
maka kita harus selalu selalu berlindung kapanpun, dimanapun dan dalam keadaan
apapun hanya kepada Allah SWT. Ingat, walaupun diri kita berada di Masjidil
Haram, berada di Padang Arafah, berada di Muzdalifah, berada di Mina atau
berada di Masjid Nabawi Madinah, syaitan tetap ada di sana dan siap mengganggu
ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan dan hanya orang orang yang meminta
perlindungan Allah SWT sajalah yang terhindar dari gangguan syaitan.
(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu
mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan
kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan
menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu
dan memperteguh dengannya telapak kaki(mu)[598].
(surat Al Anfaal (8)
ayat 11)
[598] Memperteguh telapak kaki disini dapat juga diartikan dengan
keteguhan hati dan keteguhan pendirian.
Sedangkan berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 6 di bawah ini, untuk
mensucikan Jasmani, atau untuk membersihkan junub harus mempergunakan Air yang
suci dan jika kita dalam perjalanan kita diperbolehkan untuk Tayammum dengan
mempergunakan Tanah yang baik (bersih), atau dengan mempergunakan debu.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,
dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404]
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
(surat Al Maa-idah(5) ayat 6)
[403] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[404] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian
mufassirin Ialah: menyetubuhi.
Timbul pertanyaan, apa yang harus
kita lakukan dengan air ataupun dengan tanah yang bersih itu? Air yang
bersih dapat kita gunakan untuk mandi jika kita sedang junub. Air juga kita
pergunakan untuk Wudhu, dalam rangka membasuh kedua tapak tangan tiga kali,
kemudian memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup dan
mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai
siku tiga kali, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh ke dua kaki hingga
mata kaki tiga kali.
Abdullah bin Zaid r.a. ketika ditanya
tentang wudhu-nya Nabi SAW, ia minta mangkok berisi air wudhu, menyontohkan
wudhu Nabi SAW, Maka menuangkan air ke tangan dan membasuh ke dua tapak tangan
tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam mangkuk lalu kumur dan menghirup
air dan mengeluarkannya dari hidung tiga kali, kemudian memasukkan tangan ke
dalam air dan membasuh muka tiga kali, kemudian membasuh tangan hingga siku dua
kali, kemudian memasukkan tangan ke dalam air lalu mengusap kepalanya dari muka
sampai ke belakang satu kali, kemudian membasuh ke dua kaki hingga mata kaki.
(Hadits Riwayat
Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan No.136)
Usman bin Affan r.a. minta bejana air untuk
wudhu, lalu menuangkan air membasuh kedua tapak tangannya tiga kali, kemudian
memasukkan tangan ke dalam tempat air, lalu kumur dan menghirup dan
mengeluarkan dari hidung, lalu membasuh muka tiga kali, dan kedua tangan sampai
siku tiga kali, kemudian mengusap kepalanya, kemudian membasuh ke dua kaki
hingga mata kaki tiga kali, kemudian berkata: Rasulullah SAW bersabda: Siapa
yang wudhu seperti wudhu'ku ini, lalu sembahyang dua rakaat dengan khusyu tidak
berkata apa-apa dalam hatinya, maka ia akan diampunkan dosanya yang telah lalu.
(Hadits Riwayat
Bukhari, Muslim, Al-Lulu Wal Marjan No.135)
Sekarang apa yang kita lakukan
dengan tanah yang baik (bersih)? “Sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah yang
bersih ” dalam rangka untuk bertayammum.
2. Berdasarkan
surat At Taubah (9) ayat 103 di bawah ini, untuk mensucikan harta, atau
kekayaan yang kita miliki maka kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk menunaikan
Zakat, atau membayar Infaq, Shadaqah, Jariah.
ambillah zakat dari sebagian harta mereka,
dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan
mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa
bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
(surat At Taubah (9) ayat 103)
[658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta
yang berlebih-lebihan kepada harta benda
[659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati
mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
Alangkah baiknya sebelum diri kita menunaikan ibadah Haji dan Umroh kita
sudah menyelesaikan hak hak Allah SWT yang melekat pada harta kekayaan kita
melalui Zakat, melalui infaq dan shadaqah sehingga segalanya sudah bersih dan
dengan kebersihan ini akan memudahkan diri kita menghadap Dzat Yang Maha Suci.
3. Berdasarkan surat At Taubah (9) ayat 104 di
bawah ini, untuk mensucikan dosa yang pernah kita perbuat saat hidup di dunia
maka kita diharuskan untuk bertaubat dengan sebenar-benarnya Taubat hanya
kepada Allah SWT semata.
tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah
menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah
Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang?
(surat At Taubah (9)
ayat 104)
4. Berdasarkan
surat An Nisaa’ (4) ayat 57 dan surat Al Baqarah (2) ayat 25 di bawah ini,
untuk mendapatkan sesuatu yang suci yang berasal dari Allah SWT (dalam hal ini
adalah Syurga) maka kita diwajibkan untuk beriman dan beramal shaleh tanpa
putus-putusnya saat menjadi Khalifah di muka bumi.
dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amalan-amalan yang shaleh, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam surga yang
di dalamnya mengalir sungai-sungai; kekal mereka di dalamnya; mereka di
dalamnya mempunyai isteri-isteri yang Suci, dan Kami masukkan mereka ke tempat
yang teduh lagi nyaman.
(surat An Nisaa' (4)
ayat 57)
dan sampaikanlah berita gembira kepada
mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan
dalam surga-surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah diberikan
kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk
mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di
dalamnya[32].
(surat Al Baqarah (2)
ayat 25)
[32] Kenikmatan di syurga itu
adalah kenikmatan yang serba lengkap, baik jasmani maupun rohani.
5. Berdasarkan surat Al Mujaadilah (58) ayat 12
di bawah ini, kita diwajibkan untuk bersedekah terlebih dahulu sebelum
berbicara dengan Nabi (atau jika kita ingin melakukan suatu kegiatan tertentu
yang di dalamnya terdapat ketidakpastian) agar kesucian dan kemudahan dapat
kita peroleh sehingga segala urusan dan keperluan kita dimudahkan oleh Allah
SWT.
Hai orang-orang
beriman, apabila kamu Mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu
mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang
demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh
(yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
(surat
Al Mujaadilah (58) ayat 12)
6. Berdasarkan surat Ali Imran (3) ayat 15-16 di
bawah ini, untuk memperoleh dan mendapatkan kesucian dari Allah SWT maka
diwajibkan oleh Allah SWT untuk selalu memohon ampun kepada Allah SWT atas
dosa-dosa yang pernah kita perbuat.
Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan
kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". untuk orang-orang
yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir
dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. dan (mereka dikaruniai)
isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah. dan Allah Maha melihat akan
hamba-hamba-Nya.
(yaitu) orang-orang yang berdoa: Ya Tuhan
Kami, Sesungguhnya Kami telah beriman, Maka ampunilah segala dosa Kami dan
peliharalah Kami dari siksa neraka,"
(surat Ali Imran (3)
ayat 15-16)
Inilah 6 (enam) cara yang
diperkenankan oleh Allah SWT untuk mensucikan diri kita akibat pengaruh
aktivitas kehidupan sehari-hari ditambah akibat pengaruh buruk dari Ahwa dan
Syaitan dan juga karena adanya tarik menarik antara kepentingan Jasmani dengan Ruh/Ruhani.
Sebagai Khalifah yang sangat
membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, berarti kita harus bisa melaksanakan
Thaharah dengan baik dan benar jika kita ingin merasakan rasa dari nikmatnya
bertuhankan Allah SWT, atau jika kita ingin merasakan rasa diterima oleh Allah SWT
saat menjadi tamu Allah SWT di Baitullah, atau jika kita ingin memperoleh Haji yang
mabrur yang pahalanya adalah Syurga. Adanya pemenuhan syarat dan ketentuan
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sangat
tergantung kepada diri kita sendiri, apakah mau memenuhinya ataukah tidak dan yang
pasti adalah kebesaran dan kemahaan Allah SWT tidak akan berkurang sedikitpun
jika kita tidak mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar