Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 23 Januari 2018

IBADAH HAJI DAN UMROH YANG DIKEHENDAKI ALLAH SWT (part 3 of 4)


G.    KA’BAH 

Ka’bah secara bahasa artinya kubus. Ka’bah adalah suatu bangunan persegi dan kosong. Bangunan yang terbuat dari batu-batu hitam keras yang tersusun dengan cara yang sangat sederhana, sedang sebagai penutup celah-celahnya dipergunakan kapur putih, dibungkus kain hitam serta berdiri di tengah-tengah Masjidil Haram di Makkah Al Mukarramah. Pada salah satu sudut Ka’bah terdapat Hajar Al Aswad (batu hitam). Baik Hajar Al Aswad maupun Ka’bah bukanlah sasaran atau tujuan peribadatan ibadah Haji dan Umroh, melainkan sekedar sarana pendukung pentahbisan terhadap Allah SWT. Dan bagi umat Islam, Ka’bah merupakan tempat menghadap Allah SWT saat mendirikan Shalat sehingga Ka’bah menjadi perlambang pusat spiritual umat Islam.

Ka’bah adalah bangunan sederhana, tanpa design dan dekorasi. Ka’bah sedemikian sederhana tanpa warna warni dan ornamen karena Allah SWT  Yang Maha Akbar tidak mempunyai bentuk dan warna, sedangkan tak sesuatupun yang menyerupainya. Tidak ada pola-pola atau visualisasi tentang Allah SWT yang dapat dibayangkan oleh manusia sehingga tidak akan mungkin bisa dapat digambarkan oleh manusia. Allah SWT adalah Maha Kuasa dan Maha Meliputi maka Allah SWT adalah Yang Maha Mutlak.

Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia[214].
(surat Ali Imran (3) ayat 96)

[214] Ahli kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Allah membantahnya.

Ka’bah walaupun tidak mempunyai arah karena bentuknya kubus, tetapi dengan menghadapnya ketika shalat sesungguhnya kita menghadap Allah SWT. Ketika kita shalat di luar Ka’bah, kita harus menghadap ke arahnya karena Ka’bah menghadap ke setiap arah dan tidak menghadap ke arah manapun juga. Hal ini dikarenakan Ka’bah adalah  perlambang Allah SWT yang selalu berada di manapun juga. 

Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka'bah).
(surat Quraisy (106) ayat 3)

sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 144)

[96] Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke Baitullah.

Sebagai orang yang telah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, dapat dipastikan kita menyaksikan Ka’bah secara langsung sehingga Ka’bah ada dihadapan kita, lalu terjadilah apa yang dinamakan terpesona akan kebesaran Ka’bah itu. Sesuatu yang hanya bisa dilihat melalui gambar, melalui layar kaca, sekarang ada di hadapan kita dan kitapun langsung akan menghadap ke Ka’bah dalam rangka mendirikan Shalat dan mengitari Ka’bah saat melaksanakan Thawaf.
Ingatlah selalu bahwa Ka’bah hanyalah tonggak penunjuk jalan, pemersatu, arah menuju kepada yang satu, sehingga Ka’bah menjadi perlambang untuk menuju Allah SWT. Setelah bertekad untuk menuju Allah SWT barulah kita melakukan Thawaf. Sebuah langkah, sebuah gerakan menuju Allah SWT, sebuah gerakan untuk menemui Allah SWT, sehingga Thawaf itu sendiri bukanlah gerakan menuju Ka’bah melainkan menuju kepada Allah SWT. Thawaf di Ka’bah merupakan awal dari perjalanan dari suatu perjalanan, bukan akhir dari perjalanan. Untuk itu kita harus bisa membersihkan hati ruhani dari pikiran-pikiran mengenai dirimu sendiri atau jangan sampai kita masih terikat dengan diri sendiri yang mengakibatkan kita tidak bisa diterima oleh Allah SWT. Jika ini kondisi untuk menemui Allah SWT, untuk bisa diterima oleh Allah SWT, tidak ada jalan lain kecuali diri kita memenuhi segala apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT karena inilah protokeler yang berlaku untuk bertemu dan menjadi tamu Allah SWT yang sudah ditunggu kedatangannya oleh Tuan Rumah.

Hal yang harus kita perhatikan sekali lagi adalah Ka’bah bukanlah tujuan yang utama dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh. Ka’bah adalah penunjuk arah. Mula-mula kita datang ke Ka’bah tetapi kedatangan kita di dalam melaksanakan ibadah Haji bukan untuk berhenti di sana. Apabila kita berhenti, dimanapun juga kita berhenti, maka kita pasti akan tersesat dan binasa. Ka’bah dijadikan kiblat oleh  Allah SWT agar kita tidak berpaling kepada kiblat-kiblat yang lain, apakah itu harta, tahta ataupun wanita. Untuk itu jangan pernah jadikan Ka’bah atau Kiblat menjadi tujuan ibadah Haji dan Umroh dan ingat bahwa ibadah Haji dan Umroh tidak berakhir di Ka’bah atau Kiblat, tetapi tempat untuk memulai ibadah Haji dan Umroh. Untuk itu carilah pemilik yang hakiki dari Ka’bah karena pemiliknya lah yang menjadi tujuan utama dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh.

H.     THAWAF

Thawaf berarti mengelilingi dan yang dimaksud adalah mengelilingi Ka’bah (Baitullah) sebanyak 7 (tujuh) kali putaran, dimulai dari Hajar Aswad lalu berputar berlawanan arah jarum jam (dari arah kiri menuju arah kanan) serta berakhir di Hajar Aswad.

Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran[987] yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka[988] dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
(surat Al Hajj (22) ayat 29)

[987] Yang dimaksud dengan menghilangkan kotoran di sini ialah memotong rambut, mengerat kuku, dan sebagainya.
[988] Yang dimaksud dengan Nazar di sini ialah nazar-nazar yang baik yang akan dilakukan selama ibadah haji.

  

Jenis Jenis Thawaf
1
Thawaf Umroh
Dilaksanakan setelah jamaah mengambil Miqat dengan menggunakan Ihram jika jamaah hanya melaksanakan ibadah Umroh di luar musim Haji yang dilanjutkan dengan Sa’i lalu diakhiri dengan Tahallul.
2
Thawaf Qudum
Dilaksanakan setelah jamaah mengambil Miqat dengan menggunakan Ihram jika jamaah haji melaksanakan Umroh dalam kerangka Haji Tamattu yang dilanjutkan dengan Sa’i yang diakhiri dengan Tahallul.
3
Thawaf Haji/Ifadhah
Dilaksanakan dengan baju bebas (tanpa Ihram) dilaksanakan setelah Jamaah selesai melontar Jumroh yang dilanjutkan dengan Sa’i tanpa Tahallul.
4
Thawaf Nadzar
Dilaksanakan tanpa Miqat dengan baju bebas (tanpa Ihram) jika jamaah hanya berniat untuk Thawaf semata tanpa Sa’i dan tanpa Tahallul. Sedangkan jika jamaah bernadzar untuk Umroh dimulai dari Miqat dalam kondisi berihram yang dilanjutkan dengan Sa’i yang diakhiri dengan Tahallul.
5
Thawaf Sunnah
Dilaksanakan dengan baju bebas, tanpa Ihram bisa dilaksanakan kapan saja sepanjang jamaah berada di Makkah. Thawaf Sunnah tidak bisa dilanjutkan dengan Sa’i sehingga tanpa ada Tahallul (Ingat, tidak ada ibadah Sa’i Sunnah apalagi Tahallul Sunnah).
6
Thawaf Wada’
Dilaksanakan dengan baju bebas, dalam kondisi tanpa Ihram

Catatan Khusus:

Thawaf Wada dilakukan ketika mau pulang ke tanah air bagi jamaah gelombang pertama atau hendak pergi ziarah ke Madinah bagi jamaah gelombang ke dua. Tata caranya sama dengan Thawaf yang lain, hanya saja Thawaf wada’ tidak dilanjutkan dengan Sa’i (tanpa Sa’i) serta tanpa tahallul.

Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya Nabi SAW Thawaf dengan Idhthiba dan ia memakai selendang.
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi)


Sunnah Dalam Thawaf
1
Mencium Hajar Aswad.
2
Menjadikan Ihram dibawah ketiak kanan dan meletakkan ujungnya di atas pundak kiri serta membiarkan pundak kanan terbuka, hal ini disebut dengan istilah Al-idthiba.
3
Berjalan cepat (al raml) berlari-lari kecil (hanya bagi pria), selama tiga putaran penuh kemudian berjalan biasa selama empat putaran sisa.
4
Memulai Thawaf dari sisi Rukun Yamani (kanan) dekat Hajar Aswad kemudian menghadap Hajar Aswad seraya mengangkat kedua tangan.
5
Tidak memutus putaran Thawaf.

Catatan Khusus tentang Thawaf :

a.       Kedudukan Thawaf sama dengan Shalat (suci dari hadas, junub, haid dan nifas) dan dilakukan dalam keadaan suci atau berwudhu.
b.      Menutup Aurat. Bagi laki-laki, antara pusar sampai bagian bawah lutut.Sedangkan bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
c.       Mengelilingi Ka’bah sebanyak 7(tujuh) kali arah ke kiri (Ka’bah selalu berada di sebelah kiri).
d.      Bermula dan berakhir di sudut Hajar Aswad.
e.       Memberi salam kepada Hajar Aswad dan Rukun Yamani meski dengan isyarat tangan saja.
f.       Shalat sunnah di belakang Maqam Nabi Ibrahim as searah Multazam.
g.      Thawaf ada yang wajib dan ada yang sunnah.

Saat diri kita Thawaf maka kita tidak bisa melepaskan diri dari Hajar Aswad. Untuk itu Rasulullah SAW telah memberikan tuntunan dalam bersikap terhadap Hajar Aswad. Jika mungkin, orang yang Thawaf supaya mencium Hajar Aswad. Jika tidak mungkin cukup menyentuhnya dengan tangan. Kemudian mencium tangannya yang telah menyentuh Hajar Aswad. Jika tidak mungkin cukup beri isyarat dari jauh, dengan mengangkat tangan kemudian menciumnya.  

Umar Ra, berkata: “Sungguh aku mengetahui engkau hanyalah batu, sekiranya aku tidak melihat Rasulullah SAW telah menciumnya dan mengusapnya, niscaya aku tidak akan mengusapmu dan menciummu.”
(Hadits Riwayat Ahmad)

Jangan sampai diri kita memaksakan diri untuk mencium Hajar Aswad dengan cara cara yang membahayakan diri sendiri, atau membahayakan orang lain. Mencium Hajar Aswad adalah ibadah sunnah sehingga jangan sampai kita sibuk mengejar ibadah sunnah dengan mengabaikan atau mengalahkan ibadah wajib lainnya. Ingat, jika kita tidak mencium Hajar Aswad tidak akan mengakibatkan ibadah Haji atau ibadah Umroh yang kita laksanakan menjadi tidak sah atau berkurang nilainya di hadapan Allah SWT.     

Agar diri kita yang menunaikan ibadah Haji dan Umroh paham akan makna yang tersembunyi di balik Thawaf. Berikut ini akan kami kemukakan pemandangan yang bisa kita lihat di alam semesta ini yang pada dasarnya adalah Thawaf. Bukankah bumi mengelilingi matahari dengan penuh ketundukan kepada Allah SWT? Dan bukankah pada gilirannya, mataharipun beserta planet-planetnya termasuk bumi mengelilingi galaksi bima sakti? 

Dan bukankah galaksi bima saktipun bersama-sama galaksi-galaksi lainnya berputar mengelilingi Arsy Allah SWT? Dari sini nyatalah bahwa seluruh alam semesta berthawaf mengelilingi Arsy, dalam rangka memenuhi kehendak Allah SWT. Berdasarkan apa yang kami kemukakan di atas, Thawaf juga melambangkan gerak kosmos dalam ketundukannya yang total kepada kehendak Allah SWT. Menurut tradisi Islam, Thawaf dilakukan bukan hanya di Mekkah, tetapi juga diseluruh jagad raya dari mulai para malaikat sampai dengan alam semesta, dikatakan bahwa berjuta-juta malaikat melakukan Thawaf mengelilingi Arsy. Selain para malaikat, alam semesta juga ternyata melakukan Thawaf.

Oleh karena itu, orang-orang yang melakukan Thawaf di Makkah, apakah ketika melaksanakan Haji atau Umrah, diberi kesempatan yang sangat istimewa, karena telah ikut berpartisipasi dalam drama kosmik yang sebenarnya yang merupakan tindakan ketundukkan universal kepada kehendak Allah SWT Yang Maha Kuasa. Orang-orang yang berthawaflah yang sebenarnya sedang melakukan tindakan pengabdian universal kepada Allah SWT bersama makhluk-makhluk Allah SWT yang ada di langit dan di bumi, yang lainnya tidak. Inilah keistimewaan Thawaf dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang lainnya. 

Sekarang pernahkah kita memperhatikan apa yang kita alami saat kita hidup di muka bumi ini. Selama kita hidup di muka bumi berarti kita berada di dalam rotasi bumi yang selalu berputar searah jarum jam. Namun apa yang terjadi dengan diri kita, kita tidak pernah merasa pusing di dalam putaran bumi. Hal ini dikarenakan di dalam diri ada sesuatu yang Thawaf sehingga pengaruh dari putaran bumi tidak mengakibatkan diri kita pusing. Apa yang Thawaf sehingga kita tidak merasa pusing? Lihatlah lalu perhatikan dengan seksama aliran darah dalam diri yang bergerak dari bilik kiri ke bilik kanan. Adanya aliran darah yang berlawanan arah dengan arah rotasi bumi mampu menetralisir pengaruh putaran bumi kepada kita sehingga tidak mengakibatkan kita pusing. Ini sudah terjadi dan kita pun sudah merasakan manfaat dari adanya Thawaf yang ada pada diri kita, inilah yang kami istilahkan dengan Thawaf Jasmani.     

Jika Jasmani sudah Thawaf yang mengakibatkan diri kita tidak pusing di dalam putaran bumi, lalu bagaimana dengan Ruh/Ruhani. Apakah Ruh/Ruhani harus Thawaf seperti halnya Jasmani?  Saat diri kita hidup di muka bumi ini dapat dipastikan Ruh/Ruhani dari diri kita tidak dapat mengindarkan diri dari pengaruh Ahwa dan Syaitan yang mengakibatkan kefitrahan Ruh/Ruhani menjadi kotor atau tidak fitrah lagi sedangkan kita harus mempertahan kefitrahan itu (datang fitrah kembali harus fitrah). Adanya pengaruh dari Ahwa dan Syaitan yang tidak bisa kita hindari maka salah satu jalan keluar untuk mengatasinya adalah Ruh/Ruhanipun harus Thawaf seperti halnya Jasmani Thawaf. Adapun tata cara Ruh/Ruhani Thawaf dengan tata cara Jasmani Thawaf sangat berbeda aturannya. Thawafnya Jasmani adalah anugerah Allah SWT  (sunnatullah) yang tiada terhingga kepada diri kita dimana aliran darah yang mampu menetralisir pengaruh putaran bumi kepada tubuh kita. Lalu bagaimana dengan Thawafnya Ruh/Ruhani? Untuk itu mari kita lanjutkan pembahasan tentang Thawafnya Ruh/Ruhani di bawah ini.    

Sebagai Khalifah yang telah diundang oleh Allah SWT ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, pernahkah kita bertanya atau mempertanyakan kenapa kita harus Thawaf berlawanan dengan arah jarum jam atau kita Thawaf tetapi Thawaf yang kita lakukan berbeda dengan Thawaf makhluk? Kita harus melaksanakan Thawaf Ruh/Ruhani tidak searah jarum jam dikarenakan :

a.       Ruh/Ruhani adalah bagian dari Nur Allah SWT sehingga pada saat Ruh/Ruhani Thawaf berarti diri kita yang sesungguhnya masuk ke dalam garis edar Allah SWT, masuk ke dalam kehendak Allah SWT, masuk ke dalam perintah Allah SWT sehingga diri kita yang sesungguhnya bersama dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT.

b.      Allah SWT adalah pencipta dan pemilik alam semesta sedangkan makhluk itu sendiri adalah ciptaannya sehingga garis edar Allah SWT  berbeda dengan garis edar makhluk. Jika garis edar Allah SWT sama dengan garis edar makhluk lalu dimana letak kebesaran dan kemahaan Allah SWT?

c.       Setiap manusia adalah Khalifah Allah SWT di muka bumi dimana kedudukan Khalifah sudah ditempatkan oleh Allah SWT di atas apa apa yang dikhalifahinya. Jika yang dikhalifahi Thawafnya searah dengan jarum jam maka Thawaf Khalifah harus berlawanan arah jarum jam (dari kiri ke kanan) sebab jika Thawafnya sama tidak ada beda antara Khalifah dengan yang dikhalifahinya dan bagaimana mungkin Khalifahnya sukses mengkhalifahi sesuatu hal jika melaksanakan Thawafnya searah jarum jam?.

Hal yang harus kita perhatikan saat diri kita melaksanakan Thawaf Ruh/Ruhani berarti kita sudah berada di dalam garis edar Allah SWT, berada di kebesaran dan kemahaan Allah SWT kemudian kita katakana kepada Allah SWT “Maha Suci Engkau Ya Allah, Maha Suci Engkau Ya Allah, Tiada Tuhan selain Engkau Ya Allah, Engkau Maha Besar Ya Allah ” Jika ini yang kita katakan kepada Allah SWT saat berada di dalam garis edar Allah SWT berarti kita ini kecil, sangat kecil sehingga yang kecil bukanlah siapa-siapa, kita yang kecil hanyalah partikel yang tidak ada apa-apanya dibandingkan AllahSWT sehingga kita yang kecil yang sangat membutuhkan Allah SWT Dzat Yang Maha Besar.  

Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang berkeliling ka’bah (thawaf) tujuh kali, dan ia tidak berkata, kecuali “Subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar wa la haula wa la quwwata illa billah”, niscaya akan dihapus darinya sepuluh keburukan dan dituliskannya sepuluh kebaikan dan diangkat derajatnya sepuluh tingkat.
(Hadits Riwayat Ibnu Majjah)

Thawaf itu adalah shalat dan bila perlu berbicara (saat melakukan thawaf) hendaklah bicara yang baik-baik.
(Hadits Riwayat Athtirmidzi)

Perjalanan Thawaf Ruh/Ruhani yang berjumlah tujuh putaran, hal ini juga bisa melambangkan perjalanan diri kita menaiki tujuh lapis langit dalam rangka untuk menuju kepada Allah SWT, atau dalam rangka melapor kepada Allah SWT atas kedatangan kita saat menjadi tamu Allah SWT. Setelah tujuh kali mengelilingi Ka’bah maka selesailah Thawaf Ruh/Ruhani yang kita lakukan, setelah itu kita menuju Maqam Ibrahim untuk melaksanakan shalat sunnah Thawaf dua rakaat. Dimana shalat sunnah Thawaf ini bisa berkmakna kesempatan diri kita melaporkan diri kepada Allah SWT dalam rangka memenuhi undangan Allah SWT sehingga kita siap menjadi tamu yang sudah dinantikan oleh Allaah SWT dan semoga kita mampu menjadi tamu yang dibanggakan oleh Tuan Rumah.

Hal yang harus kita perhatikan di dalam melaksanakan Thawaf Ruh/Ruhani adalah apakah kehadiran kita untuk menemui Allah SWT, ataukah untuk melaporkan kedatangan kita kepada Allah SWT, atau apakah kehadiran kita saat memenuhi undangan Allah SWT, diterima oleh Allah SWT selaku tuan rumah dan juga selaku pengundang? Adalah sesuatu yang sangat sia-sia jika kita yang datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh untuk menjadi tamu Allah SWT, untuk memenuhi undangan Allah SWT, akan tetapi kehadiran diri kita tidak dikehendaki oleh Allah SWT sehingga kita hanya mampu menjadi penonton, hanya mampu menjadi pengagum, hanya mampu menjadi komentator dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh karena tidak mampu merasakan rasa diterima oleh Allah SWT (karena tidak bisa merasakan rasa ditemui oleh Tuan Rumah) yang selanjutnya bagaimana mungkin akan menjadi Haji yang mabrur yang pahalanya adalah Syurga. 

Maqam Ibrahim adalah sebuah batu dimana terdapat jejak kakinya. Di atas batu inilah Nabi Ibrahim as, berdiri untuk meletakkan batu landasan Ka’bah sehingga berdirilah Ka’bah sebagai Kiblat manusia. Di dalam sejarah manusia, Nabi Ibrahim as, adalah tokoh pemberontak yang menentang penyembahan berhala dan menegakkan monotheisme di atas dunia ini. Kini kita berdiri di atas Maqam Ibrahim as. Inilah hasil tertinggi yang dapat dicapai oleh Nabi Ibrahim as, inilah tempat yang paling dekat kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim as, pembangun Ka’bah, arsitek rumah kebebasan, penegak tauhid, pemerang berhala, telah dianiaya oleh Nimrod. Nabi Ibrahim as, sebagai pemimpin kaumnya, manusia yang memerangi kebodohan dan kekafiran, dan yang benar-benar mengenal cinta dan tanggung jawab. Nabi Ibrahim as, juga menghindari godaan-godaan syaitan dan pembisik yang memberikan saran-saran buruk ke dalam hati manusia.

Di Maqam Ibrahim ini, kita berjabat tangan dengan Allah SWT. lalu hiduplah seperti Nabi Ibrahim, as dan jadikan diri kita sebagai arsitek Ka’bah (arsitek Agama Islam) di jaman kita sendiri. Selamatkanlah bangsa, keluarkanlah rakyat dari kehidupan mandek yang tidak berfaedah menuju kebaikan. Jagalah rakyat (diri, keluarga, masyarakat) dari keterlenaan sehingga mereka keluar dari penindasan dan kebodohan. Bantulah rakyat (diri, keluarga, masyarakat) untuk bergerak. Ajaklah mereka untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Ajarkan mereka untuk kembali fitrah. Oleh karena itu setelah kita melaksanakan Thawaf dan juga telah sampai di Maqam Ibrahim, maka sebagai sekutu Allah SWT, atau sebagai Khalifah Allah SWT di muka bumi, kita harus :

a.   Membuat negeri sendiri aman seperti yang telah kita rasakan di Tanah Haram.
b.   Hidup seperti di dalam keadaan Ihram, seolah-olah keadaan ihram tersebut tidak pernah berkesudahan.
c.   Membuat dunia ini sebagai Masjid Yang Aman (Masjid-ul Haram) seolah-olah kita sedang berada di sana.

Semua ini harus kita laksananakan dengan sebaik mungkin karena dunia ini, bumi ini adalah Masjid Masjid Allah SWT, akan tetapi realitas yang terjadi tidaklah demikian atau belum sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.

Sekarang mari kita renungi lagi arah perjalanan Thawaf Ruh/Ruhani yang berlawanan arah dengan arah jarum jam, apakah hanya sebatas yang telah kami kemukakan di atas ataukah masih ada lagi rahasia lain yang tersembunyi? Jika kita termasuk orang yang mau berfikir,  masih ada rahasia lain yang terkandung yang terdapat di balik arah Thawaf yaitu kita dikehendaki oleh Allah SWT untuk menjadi golongan kanan yaitu menjadi orang yang beruntung yang tempat kembalinya adalah Syurga. Ingat, Thawaf Ruh/Ruhani bukan menjadikan diri kita menjadi golongan kiri yaitu orang yang merugi yang tempat kembalinya adalah Neraka. Adanya Thawaf Ruh/Ruhani kita juga dikehendaki Allah SWT untuk hijrah keluar dari pola pola kehidupan duniawi untuk segera menuju pola pola kehidupan ukhrawi (akhirat). Kehidupan duniawi akan menghantarkan diri kita menjadi golongan kiri sedangkan kehidupan ukhrawi (akhirat) akan menghantarkan diri kita menjadi golongan kanan.

Selain daripada itu dengan diri kita melakukan Thawaf Ruh/Ruhani kita sedang melakukan apa yang dinamakan dengan menuju Kebesaran Allah SWT dari yang sebelumnya berada di dalam Tanda Tanda Kebesaran Allah SWT. Ingat kita  menuju kepada kebesaran Allah SWT bukan menuju kepada Tanda Tanda Kebesaran Allah SWT. Jika ketiga hal yang kami kemukakan di atas adalah rahasia yang tersembunyi yang terdapat di dalam Thawaf Ruh/Ruhani lalu sudahkah diri kita mampu melaksanakannya dan membuktikan hasilnya setelah pulang menunaikan ibadah Haji dan Umroh? Sebagai orang yang akan menunaikan ibadah Haji dan Umroh atau yang telah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah apa yang kami kemukakan di atas kita perbuat dan masyarakat juga telah menikmati buah dari Haji dan Umroh yang mabrur yang kita laksanakan? Semoga kita yang sudah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh ataupun yang belum melaksanakan Haji dan Umroh mampu melaksanakan apa-apa yang dikehendaki Allah SWT.

II.    SA’I

Sa’i artinya lari-lari kecil antara bukit Shafa dan bukit Marwah yang dilakukan setelah jamaah atau diri kita melaksanakan shalat sunnah Thawaf Qudum bagi jamaah Haji Tamattu atau shalat sunnah Thawaf Umroh bagi jamaah Umroh. Jamaah yang sedang Sa’i masih mempergunakan Ihram sehingga saat Sa’i dilaksanakan jamaah masih terikat dengan ketentuan Ihram. Ibadah Sa’i bagian dari Rukun Haji yang dilaksanakan setelah Thawaf Qudum bagi yang menunaikan ibadah Haji Tamattu atau setelah Thawaf Umroh bagi yang menunaikan Umroh sehingga Sa’i tidak bisa digantikan dengan ibadah lainnya.   

Syarat Sahnya Sa’i
A
Sa’i  harus dilaksanakan setelah jamaah melaksanakan Shalat Sunnah Thawaf Qudum 2 (dua) rakaat bagi jamaah Haji Tamattu dan dalam kondisi berihram atau setelah melaksanakan Shalat Sunnah Thawaf Umroh 2(dua) rakaat bagi yang menunaikan Umroh dalam kondisi berihram.
B
Sa’i adalah ibadah lanjutan yang harus dilaksanakan oleh setiap jamaah setelah menyelesaikan Thawaf Qudum bagi Haji Tamattu atau Thawaf Umroh bagi yang melaksanakan Umroh sehingga apabila Sa’i tidak dilaksanakan tidak sah Haji Tamattunya atau tidak sah Umrohnya.
C
Sa’i tidak mengenal adanya Sa’i Sunnah baik yang dilaksanakan dengan berihram ataupun dengan baju bebas. Sa’i terikat dengan Thawaf Qudum dan Thawaf Ifhadah bagi yang menunaikan Haji Tamattu serta dengan Thawaf Umroh bagi yang menunaikan Umroh semata.
D
Ukuran terpenuhinya Sa’I adalah tujuh putaran (perjalanan) yang dimulai dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah (jarak antara keduanya adalah 420m)

Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi'ar Allah[102]. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya[103] mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[104] kebaikan lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 158)

[102] Syi'ar-syi'ar Allah: tanda-tanda atau tempat beribadah kepada Allah.
[103] Tuhan mengungkapkan dengan Perkataan tidak ada dosa sebab sebahagian sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyahpun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini.
[104] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.

Kewajiban Dalam Sa’i
a
Berjalan sendiri apabila mampu
b
Menyempurnakan tujuh putaran.

Sunnah Dalam Sa’i
a
Kesinambungan antara Thawaf dan Sa’i.
b
Mendaki bukit Shafa dan bukit Marwah pada setiap kali Sa’i.
c
Menghadap Kiblat, mengucap takbir dan tahlil, berdoa dan membaca shalawat saat mendaki Shafa dan Marwah.
d
Berjalan dengan cepat antara dua tiang hijau yang didirikan di dinding tempat Sa’i dalam setiap tujuh putaran.

Catatan khusus tentang Sa’i:

a.       Tidak disyaratkan dalam keadaan suci/wudhu
b.      Berjalan 7(tujuh) kali antara Shafa dan Marwah, berakhir di Marwah.
c.       Setiap melintas diantara 2(dua) pilar hijau, laki-laki disunnahkan berlari-lari kecil.
d.      Disunahkan berdoa di setiap bukit.
e.       Sa’i tidak mengenal istilah adanya Sa’i sunnah seperti halnya Thawaf Sunnah.

Sa’i yang dilaksanakan setelah Thawaf melambangkan perjuangan seorang manusia yang bernama Siti Hajar dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus tawakkal menyerahkan nasib Nabi Ismail as, ke tangan Allah SWT, yakni penyerahan total setelah usaha keras kepada kemurahan Allah SWT. Sa’i  juga melambangkan perbaikan motif tindakan manusia atau niat yang hendaknya hanya dimulai dari kesucian (shafa) menuju kebajikan (marwah), kemudian dari kebajikan menuju kepada kesucian (shafa).

Seperti di dalam melaksanakan Thawaf, ulangilah Sa’i ini sampai tujuh kali. Tujuh adalah sebuah angka ganjil, bukan genap. Tujuh adalah angka simbolis yang disepanjang hidup kita melambangkan Marwah. Mulailah dari Shafa yang berarti cinta murni kepada orang-orang lain. Tujuanmu adalah Marwah yang berarti kembali ke fitrah manusia, sikap menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain serta berguna bagi masyarakat luas. Melakukan Sa’i dari bukit Shafa (bukit kesucian) menuju bukit Marwah (bukit kebajikan) dan terus berulang sebanyak tujuh kali, diharapkan orang yang melakukan Sa’i tersebut setelah kembali ke tanah air akan dapat memperbaiki niat dan motif tindakannya, dan tidaklah melakukan sesuatu kecuali dari kesucian menuju kepada kebajikan, atau sebaliknya dari kebajikan menuju kesucian. Dengan demikian maka Sa’i bisa menjadi sarana pendidikan moral melalui perbaikan motif tindakan dan sekaligus pensucian jiwa manusia daripada menuruti ahwa.

Ibadah Sa’i bermakna sebuah pencarian. Ibadah Sa’i juga bermakna perjuangan phisik yang berarti mengerahkan tenaga dan upaya di dalam pencarian air. Ibadah Sa’i adalah gerakan yang memiliki tujuan dan digambarkan dengan gerak berlari-lari serta bergegas-gegas. Disinilah terlihat persatuan yang sesungguhnya karena di dalam melaksanakan ibadah Sa’i segala bentuk pola, warna, derajat, kepribadian, batas, perbedaan dan jarak dihancurkan atau bahkan dihilangkan. Yang kita saksikan adalah manusia-manusia yang polos, kecuali keyakinan, kepercayaan dan aksi sehingga tidak ada sesuatu pun yang menonjol yaitu ikhlas karena Allah SWT semata.

Tidak ada tokoh-tokoh yang dikemukakan dalam Sa’i, Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan Siti Hajar hanyalah sekedar nama-nama, kata-kata dan simbol-simbol. Apapun yang ada bergerak secara terus menerus baik sebagai humanitas ataupun spritualitas dan diantara keduanya yang ada hanyalah disiplin. Pencarian air melambangkan pencarian kehidupan materiil di atas dunia, sedangkan kehidupan materiil ini adalah kebutuhan nyata manusia yang menunjukkan hubungan di antara manusia dengan alam. Demikianlah cara mendapatkan syurga di atas dunia dan menikmatinya di dalam kehidupan ini.

Saat ini sampai dengan hari kiamat kelak, kita akan selalu dipertontonkan oleh Allah SWT sebuah karya besar dari perjuangan Siti Hajar, yaitu Air Zam-Zam. Dimana air ini tidak akan pernah habis sampai kapanpun juga. Dan jika saat ini kita telah pula menikmati Air Zam-Zam dan telah pula menapak tilasi perjuangan Siti Hajar, lalu apa yang sudah kita lakukan untuk kebaikan, untuk kemashalahatan generasi akan datang di kemudian hari dari hasil napak tilas perjuangan Siti Hajar sehingga kitapun mampu dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari? Jika sampai kehancuran, kemerosotan moral, gontok-gontokan, caci memaki, illegal logging, korupsi dan lain sebagainya yang sesuai dengan kehendak Syaitan masih kita lakukan setelah napak tilas perjuangan Siti Hajar, kondisi ini bukanlah yang dikehendaki oleh Allah SWT dan juga berarti ada yang salah di dalam pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kita lakukan.
  

Jjika kita termasuk orang yang telah sukses melakukan napak tilas dari perjuangan Siti Hajar berarti setelah pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh maka kita harus bisa  melakukan karya besar seperti apa yang dilakukan oleh Siti Hajar dalam bentuk yang lain sepanjang untuk kepentingan masyarakat banyak yang tidak hanya bersifat lokal tetapi juga bersifat nasional ataupun international serta sedapat mungkin bisa pula dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari. Dan jika kita tidak mampu melakukan itu semua berarti apa yang telah kita lakukan belum sesuai dengan makna yang hakiki dari napak tilas yang kita laksanakan. Jika saat ini Ruh/Ruhani belum dipisahkan dengan Jasmani berarti kita masih memiliki kesempatan untuk melakukan karya besar sebagai bukti keberhasilan diri kita melakukan napak tilas perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as. Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita masing-masing, mau berkarya besar ataukah tidak dan yang pasti Allah SWT tidak butuh dengan karya yang kita buat tetapi kitalah yang membutuhkan karya dimaksud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar