G. KA’BAH
Ka’bah secara
bahasa artinya kubus. Ka’bah adalah suatu bangunan persegi dan kosong. Bangunan
yang terbuat dari batu-batu hitam keras yang tersusun dengan cara yang sangat
sederhana, sedang sebagai penutup celah-celahnya dipergunakan kapur putih,
dibungkus kain hitam serta berdiri di tengah-tengah Masjidil Haram di Makkah Al
Mukarramah. Pada salah satu sudut Ka’bah terdapat Hajar Al Aswad (batu hitam).
Baik Hajar Al Aswad maupun Ka’bah bukanlah sasaran atau tujuan peribadatan
ibadah Haji dan Umroh, melainkan sekedar sarana pendukung pentahbisan terhadap
Allah SWT. Dan bagi umat Islam, Ka’bah merupakan tempat menghadap Allah SWT
saat mendirikan Shalat sehingga Ka’bah menjadi perlambang pusat spiritual umat
Islam.
Ka’bah adalah
bangunan sederhana, tanpa design dan dekorasi. Ka’bah sedemikian sederhana
tanpa warna warni dan ornamen karena Allah SWT
Yang Maha Akbar tidak mempunyai bentuk dan warna, sedangkan tak
sesuatupun yang menyerupainya. Tidak ada pola-pola atau visualisasi tentang Allah
SWT yang dapat dibayangkan oleh manusia sehingga tidak akan mungkin bisa dapat
digambarkan oleh manusia. Allah SWT adalah Maha Kuasa dan Maha Meliputi maka Allah
SWT adalah Yang Maha Mutlak.
Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat
beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan
menjadi petunjuk bagi semua manusia[214].
(surat Ali Imran (3) ayat 96)
[214] Ahli kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang
pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh karena itu Allah membantahnya.
Ka’bah walaupun
tidak mempunyai arah karena bentuknya kubus, tetapi dengan menghadapnya ketika
shalat sesungguhnya kita menghadap Allah SWT. Ketika kita shalat di luar
Ka’bah, kita harus menghadap ke arahnya karena Ka’bah menghadap ke setiap arah
dan tidak menghadap ke arah manapun juga. Hal ini dikarenakan Ka’bah
adalah perlambang Allah SWT yang selalu
berada di manapun juga.
Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka'bah).
(surat Quraisy (106) ayat 3)
sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke
langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai.
Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu berada,
Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan
Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa
berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
(surat Al Baqarah (2) ayat 144)
[96] Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering
melihat ke langit mendoa dan menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan
beliau menghadap ke Baitullah.
Sebagai orang yang
telah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, dapat dipastikan kita
menyaksikan Ka’bah secara langsung sehingga Ka’bah ada dihadapan kita, lalu
terjadilah apa yang dinamakan terpesona akan kebesaran Ka’bah itu. Sesuatu yang
hanya bisa dilihat melalui gambar, melalui layar kaca, sekarang ada di hadapan
kita dan kitapun langsung akan menghadap ke Ka’bah dalam rangka mendirikan
Shalat dan mengitari Ka’bah saat melaksanakan Thawaf.
Ingatlah selalu
bahwa Ka’bah hanyalah tonggak penunjuk jalan, pemersatu, arah menuju kepada
yang satu, sehingga Ka’bah menjadi perlambang untuk menuju Allah SWT. Setelah
bertekad untuk menuju Allah SWT barulah kita melakukan Thawaf. Sebuah langkah,
sebuah gerakan menuju Allah SWT, sebuah gerakan untuk menemui Allah SWT,
sehingga Thawaf itu sendiri bukanlah gerakan menuju Ka’bah melainkan menuju
kepada Allah SWT. Thawaf di Ka’bah merupakan awal dari perjalanan dari suatu
perjalanan, bukan akhir dari perjalanan. Untuk itu kita harus bisa membersihkan
hati ruhani dari pikiran-pikiran mengenai dirimu sendiri atau jangan sampai
kita masih terikat dengan diri sendiri yang mengakibatkan kita tidak bisa diterima
oleh Allah SWT. Jika ini kondisi untuk menemui Allah SWT, untuk bisa diterima
oleh Allah SWT, tidak ada jalan lain kecuali diri kita memenuhi segala apa yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT karena inilah protokeler yang berlaku untuk
bertemu dan menjadi tamu Allah SWT yang sudah ditunggu kedatangannya oleh Tuan
Rumah.
Hal yang harus kita
perhatikan sekali lagi adalah Ka’bah bukanlah tujuan yang utama dari
pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh. Ka’bah adalah penunjuk arah. Mula-mula kita
datang ke Ka’bah tetapi kedatangan kita di dalam melaksanakan ibadah Haji bukan
untuk berhenti di sana. Apabila kita berhenti, dimanapun juga kita berhenti,
maka kita pasti akan tersesat dan binasa. Ka’bah dijadikan kiblat oleh Allah SWT agar kita tidak berpaling kepada
kiblat-kiblat yang lain, apakah itu harta, tahta ataupun wanita. Untuk itu jangan
pernah jadikan Ka’bah atau Kiblat menjadi tujuan ibadah Haji dan Umroh dan ingat
bahwa ibadah Haji dan Umroh tidak berakhir di Ka’bah atau Kiblat, tetapi tempat
untuk memulai ibadah Haji dan Umroh. Untuk itu carilah pemilik yang hakiki dari
Ka’bah karena pemiliknya lah yang menjadi tujuan utama dari pelaksanaan ibadah
Haji dan Umroh.
H.
THAWAF
Thawaf berarti mengelilingi dan
yang dimaksud adalah mengelilingi Ka’bah (Baitullah) sebanyak 7 (tujuh) kali
putaran, dimulai dari Hajar Aswad lalu berputar berlawanan arah jarum jam (dari
arah kiri menuju arah kanan) serta berakhir di Hajar Aswad.
Kemudian,
hendaklah mereka menghilangkan kotoran[987] yang ada pada badan mereka dan
hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka[988] dan hendaklah mereka
melakukan melakukan thawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).
(surat
Al Hajj (22) ayat 29)
[987] Yang dimaksud dengan menghilangkan kotoran di
sini ialah memotong rambut, mengerat kuku, dan sebagainya.
[988] Yang dimaksud dengan Nazar di sini ialah
nazar-nazar yang baik yang akan dilakukan selama ibadah haji.
Jenis
Jenis Thawaf
1
|
Thawaf Umroh
|
Dilaksanakan setelah jamaah mengambil Miqat
dengan menggunakan Ihram jika jamaah hanya melaksanakan ibadah Umroh di luar
musim Haji yang dilanjutkan dengan Sa’i lalu diakhiri dengan Tahallul.
|
2
|
Thawaf Qudum
|
Dilaksanakan setelah jamaah mengambil Miqat
dengan menggunakan Ihram jika jamaah haji melaksanakan Umroh dalam kerangka Haji
Tamattu yang dilanjutkan dengan Sa’i yang diakhiri dengan Tahallul.
|
3
|
Thawaf Haji/Ifadhah
|
Dilaksanakan dengan baju bebas (tanpa Ihram)
dilaksanakan setelah Jamaah selesai melontar Jumroh yang dilanjutkan dengan
Sa’i tanpa Tahallul.
|
4
|
Thawaf Nadzar
|
Dilaksanakan tanpa Miqat dengan baju bebas
(tanpa Ihram) jika jamaah hanya berniat untuk Thawaf semata tanpa Sa’i dan
tanpa Tahallul. Sedangkan jika jamaah bernadzar untuk Umroh dimulai dari Miqat
dalam kondisi berihram yang dilanjutkan dengan Sa’i yang diakhiri dengan
Tahallul.
|
5
|
Thawaf Sunnah
|
Dilaksanakan dengan baju bebas, tanpa Ihram
bisa dilaksanakan kapan saja sepanjang jamaah berada di Makkah. Thawaf Sunnah
tidak bisa dilanjutkan dengan Sa’i sehingga tanpa ada Tahallul (Ingat, tidak
ada ibadah Sa’i Sunnah apalagi Tahallul Sunnah).
|
6
|
Thawaf Wada’
|
Dilaksanakan dengan baju bebas, dalam
kondisi tanpa Ihram
|
Catatan Khusus:
Thawaf Wada dilakukan ketika mau
pulang ke tanah air bagi jamaah gelombang pertama atau hendak pergi ziarah ke
Madinah bagi jamaah gelombang ke dua. Tata caranya sama dengan Thawaf yang
lain, hanya saja Thawaf wada’ tidak dilanjutkan dengan Sa’i (tanpa Sa’i) serta
tanpa tahallul.
Dari Ya’la bin Umayyah bahwasanya Nabi SAW Thawaf dengan
Idhthiba dan ia memakai selendang.
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi)
Sunnah Dalam Thawaf
1
|
Mencium Hajar Aswad.
|
2
|
Menjadikan Ihram dibawah ketiak kanan dan
meletakkan ujungnya di atas pundak kiri serta membiarkan pundak kanan
terbuka, hal ini disebut dengan istilah Al-idthiba.
|
3
|
Berjalan cepat (al raml) berlari-lari kecil
(hanya bagi pria), selama tiga putaran penuh kemudian berjalan biasa selama
empat putaran sisa.
|
4
|
Memulai Thawaf dari sisi Rukun Yamani
(kanan) dekat Hajar Aswad kemudian menghadap Hajar Aswad seraya mengangkat
kedua tangan.
|
5
|
Tidak memutus putaran Thawaf.
|
Catatan Khusus tentang Thawaf :
a. Kedudukan Thawaf sama dengan Shalat (suci
dari hadas, junub, haid dan nifas) dan dilakukan dalam keadaan suci atau berwudhu.
b. Menutup Aurat. Bagi laki-laki, antara pusar
sampai bagian bawah lutut.Sedangkan bagi wanita adalah seluruh tubuh kecuali
wajah dan telapak tangan.
c. Mengelilingi Ka’bah sebanyak 7(tujuh) kali
arah ke kiri (Ka’bah selalu berada di sebelah kiri).
d. Bermula dan berakhir di sudut Hajar Aswad.
e. Memberi salam kepada Hajar Aswad dan Rukun
Yamani meski dengan isyarat tangan saja.
f. Shalat sunnah di belakang Maqam Nabi Ibrahim
as searah Multazam.
g. Thawaf ada yang wajib dan ada yang sunnah.
Saat diri kita Thawaf maka kita
tidak bisa melepaskan diri dari Hajar Aswad. Untuk itu Rasulullah SAW telah
memberikan tuntunan dalam bersikap terhadap Hajar Aswad. Jika mungkin, orang
yang Thawaf supaya mencium Hajar Aswad. Jika tidak mungkin cukup menyentuhnya
dengan tangan. Kemudian mencium tangannya yang telah menyentuh Hajar Aswad.
Jika tidak mungkin cukup beri isyarat dari jauh, dengan mengangkat tangan
kemudian menciumnya.
Umar Ra, berkata: “Sungguh aku mengetahui engkau
hanyalah batu, sekiranya aku tidak melihat Rasulullah SAW telah menciumnya dan
mengusapnya, niscaya aku tidak akan mengusapmu dan menciummu.”
(Hadits Riwayat Ahmad)
Jangan sampai diri kita
memaksakan diri untuk mencium Hajar Aswad dengan cara cara yang membahayakan
diri sendiri, atau membahayakan orang lain. Mencium Hajar Aswad adalah ibadah
sunnah sehingga jangan sampai kita sibuk mengejar ibadah sunnah dengan
mengabaikan atau mengalahkan ibadah wajib lainnya. Ingat, jika kita tidak
mencium Hajar Aswad tidak akan mengakibatkan ibadah Haji atau ibadah Umroh yang
kita laksanakan menjadi tidak sah atau berkurang nilainya di hadapan Allah
SWT.
Agar diri kita yang menunaikan
ibadah Haji dan Umroh paham akan makna yang tersembunyi di balik Thawaf. Berikut
ini akan kami kemukakan pemandangan yang bisa kita lihat di alam semesta ini
yang pada dasarnya adalah Thawaf. Bukankah bumi mengelilingi matahari dengan
penuh ketundukan kepada Allah SWT? Dan bukankah pada gilirannya, mataharipun
beserta planet-planetnya termasuk bumi mengelilingi galaksi bima sakti?
Dan
bukankah galaksi bima saktipun bersama-sama galaksi-galaksi lainnya berputar
mengelilingi Arsy Allah SWT? Dari sini nyatalah bahwa seluruh alam semesta
berthawaf mengelilingi Arsy, dalam rangka memenuhi kehendak Allah SWT. Berdasarkan
apa yang kami kemukakan di atas, Thawaf juga melambangkan gerak kosmos dalam
ketundukannya yang total kepada kehendak Allah SWT. Menurut tradisi Islam,
Thawaf dilakukan bukan hanya di Mekkah, tetapi juga diseluruh jagad raya dari
mulai para malaikat sampai dengan alam semesta, dikatakan bahwa berjuta-juta
malaikat melakukan Thawaf mengelilingi Arsy. Selain para malaikat, alam semesta
juga ternyata melakukan Thawaf.
Oleh karena itu, orang-orang yang
melakukan Thawaf di Makkah, apakah ketika melaksanakan Haji atau Umrah, diberi
kesempatan yang sangat istimewa, karena telah ikut berpartisipasi dalam drama
kosmik yang sebenarnya yang merupakan tindakan ketundukkan universal kepada
kehendak Allah SWT Yang Maha Kuasa. Orang-orang yang berthawaflah yang
sebenarnya sedang melakukan tindakan pengabdian universal kepada Allah SWT
bersama makhluk-makhluk Allah SWT yang ada di langit dan di bumi, yang lainnya
tidak. Inilah keistimewaan Thawaf dibandingkan dengan ibadah-ibadah yang
lainnya.
Sekarang pernahkah kita
memperhatikan apa yang kita alami saat kita hidup di muka bumi ini. Selama kita
hidup di muka bumi berarti kita berada di dalam rotasi bumi yang selalu
berputar searah jarum jam. Namun apa yang terjadi dengan diri kita, kita tidak
pernah merasa pusing di dalam putaran bumi. Hal ini dikarenakan di dalam diri ada
sesuatu yang Thawaf sehingga pengaruh dari putaran bumi tidak mengakibatkan
diri kita pusing. Apa yang Thawaf sehingga kita tidak merasa pusing? Lihatlah
lalu perhatikan dengan seksama aliran darah dalam diri yang bergerak dari bilik
kiri ke bilik kanan. Adanya aliran darah yang berlawanan arah dengan arah rotasi
bumi mampu menetralisir pengaruh putaran bumi kepada kita sehingga tidak
mengakibatkan kita pusing. Ini sudah terjadi dan kita pun sudah merasakan
manfaat dari adanya Thawaf yang ada pada diri kita, inilah yang kami istilahkan
dengan Thawaf Jasmani.
Jika Jasmani sudah Thawaf yang
mengakibatkan diri kita tidak pusing di dalam putaran bumi, lalu bagaimana
dengan Ruh/Ruhani. Apakah Ruh/Ruhani harus Thawaf seperti halnya Jasmani? Saat diri kita hidup di muka bumi ini dapat
dipastikan Ruh/Ruhani dari diri kita tidak dapat mengindarkan diri dari
pengaruh Ahwa dan Syaitan yang mengakibatkan kefitrahan Ruh/Ruhani menjadi
kotor atau tidak fitrah lagi sedangkan kita harus mempertahan kefitrahan itu
(datang fitrah kembali harus fitrah). Adanya pengaruh dari Ahwa dan Syaitan
yang tidak bisa kita hindari maka salah satu jalan keluar untuk mengatasinya
adalah Ruh/Ruhanipun harus Thawaf seperti halnya Jasmani Thawaf. Adapun tata
cara Ruh/Ruhani Thawaf dengan tata cara Jasmani Thawaf sangat berbeda aturannya.
Thawafnya Jasmani adalah anugerah Allah SWT (sunnatullah) yang tiada terhingga kepada diri
kita dimana aliran darah yang mampu menetralisir pengaruh putaran bumi kepada
tubuh kita. Lalu bagaimana dengan Thawafnya Ruh/Ruhani? Untuk itu mari kita
lanjutkan pembahasan tentang Thawafnya Ruh/Ruhani di bawah ini.
Sebagai Khalifah yang telah
diundang oleh Allah SWT ke Baitullah untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh,
pernahkah kita bertanya atau mempertanyakan kenapa kita harus Thawaf berlawanan
dengan arah jarum jam atau kita Thawaf tetapi Thawaf yang kita lakukan berbeda
dengan Thawaf makhluk? Kita harus melaksanakan Thawaf Ruh/Ruhani tidak searah
jarum jam dikarenakan :
a. Ruh/Ruhani adalah bagian dari Nur Allah SWT
sehingga pada saat Ruh/Ruhani Thawaf berarti diri kita yang sesungguhnya masuk ke
dalam garis edar Allah SWT, masuk ke dalam kehendak Allah SWT, masuk ke dalam
perintah Allah SWT sehingga diri kita yang sesungguhnya bersama dengan
kebesaran dan kemahaan Allah SWT.
b. Allah SWT adalah pencipta dan pemilik alam
semesta sedangkan makhluk itu sendiri adalah ciptaannya sehingga garis edar
Allah SWT berbeda dengan garis edar
makhluk. Jika garis edar Allah SWT sama dengan garis edar makhluk lalu dimana
letak kebesaran dan kemahaan Allah SWT?
c. Setiap manusia adalah Khalifah Allah SWT di
muka bumi dimana kedudukan Khalifah sudah ditempatkan oleh Allah SWT di atas
apa apa yang dikhalifahinya. Jika yang dikhalifahi Thawafnya searah dengan
jarum jam maka Thawaf Khalifah harus berlawanan arah jarum jam (dari kiri ke
kanan) sebab jika Thawafnya sama tidak ada beda antara Khalifah dengan yang
dikhalifahinya dan bagaimana mungkin Khalifahnya sukses mengkhalifahi sesuatu
hal jika melaksanakan Thawafnya searah jarum jam?.
Hal yang harus
kita perhatikan saat diri kita melaksanakan Thawaf Ruh/Ruhani berarti kita
sudah berada di dalam garis edar Allah SWT, berada di kebesaran dan kemahaan
Allah SWT kemudian kita katakana kepada Allah SWT “Maha Suci Engkau Ya Allah,
Maha Suci Engkau Ya Allah, Tiada Tuhan selain Engkau Ya Allah, Engkau Maha
Besar Ya Allah ” Jika ini yang kita katakan kepada Allah SWT saat berada di
dalam garis edar Allah SWT berarti kita ini kecil, sangat kecil sehingga yang
kecil bukanlah siapa-siapa, kita yang kecil hanyalah partikel yang tidak ada
apa-apanya dibandingkan AllahSWT sehingga kita yang kecil yang sangat membutuhkan
Allah SWT Dzat Yang Maha Besar.
Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang berkeliling ka’bah (thawaf) tujuh kali, dan ia tidak berkata,
kecuali “Subhanallah wal hamdu lillah wa la ilaha illallah wallahu akbar wa la
haula wa la quwwata illa billah”, niscaya akan dihapus darinya sepuluh
keburukan dan dituliskannya sepuluh kebaikan dan diangkat derajatnya sepuluh
tingkat.
(Hadits Riwayat Ibnu
Majjah)
Thawaf
itu adalah shalat dan bila perlu berbicara (saat melakukan thawaf) hendaklah
bicara yang baik-baik.
(Hadits
Riwayat Athtirmidzi)
Perjalanan
Thawaf Ruh/Ruhani yang berjumlah tujuh putaran, hal ini juga bisa melambangkan
perjalanan diri kita menaiki tujuh lapis langit dalam rangka untuk menuju
kepada Allah SWT, atau dalam rangka melapor kepada Allah SWT atas kedatangan
kita saat menjadi tamu Allah SWT. Setelah tujuh kali mengelilingi Ka’bah maka
selesailah Thawaf Ruh/Ruhani yang kita lakukan, setelah itu kita menuju Maqam
Ibrahim untuk melaksanakan shalat sunnah Thawaf dua rakaat. Dimana shalat
sunnah Thawaf ini bisa berkmakna kesempatan diri kita melaporkan diri kepada Allah
SWT dalam rangka memenuhi undangan Allah SWT sehingga kita siap menjadi tamu
yang sudah dinantikan oleh Allaah SWT dan semoga kita mampu menjadi tamu yang
dibanggakan oleh Tuan Rumah.
Hal yang harus
kita perhatikan di dalam melaksanakan Thawaf Ruh/Ruhani adalah apakah kehadiran
kita untuk menemui Allah SWT, ataukah untuk melaporkan kedatangan kita kepada Allah
SWT, atau apakah kehadiran kita saat memenuhi undangan Allah SWT, diterima oleh
Allah SWT selaku tuan rumah dan juga selaku pengundang? Adalah sesuatu yang
sangat sia-sia jika kita yang datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh untuk menjadi
tamu Allah SWT, untuk memenuhi undangan Allah SWT, akan tetapi kehadiran diri
kita tidak dikehendaki oleh Allah SWT sehingga kita hanya mampu menjadi
penonton, hanya mampu menjadi pengagum, hanya mampu menjadi komentator dari
pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh karena tidak mampu merasakan rasa diterima
oleh Allah SWT (karena tidak bisa merasakan rasa ditemui oleh Tuan Rumah) yang
selanjutnya bagaimana mungkin akan menjadi Haji yang mabrur yang pahalanya
adalah Syurga.
Maqam Ibrahim
adalah sebuah batu dimana terdapat jejak kakinya. Di atas batu inilah Nabi
Ibrahim as, berdiri untuk meletakkan batu landasan Ka’bah sehingga berdirilah
Ka’bah sebagai Kiblat manusia. Di dalam sejarah manusia, Nabi Ibrahim as,
adalah tokoh pemberontak yang menentang penyembahan berhala dan menegakkan
monotheisme di atas dunia ini. Kini kita berdiri di atas Maqam Ibrahim as.
Inilah hasil tertinggi yang dapat dicapai oleh Nabi Ibrahim as, inilah tempat
yang paling dekat kepada Allah SWT. Nabi Ibrahim as, pembangun Ka’bah, arsitek
rumah kebebasan, penegak tauhid, pemerang berhala, telah dianiaya oleh Nimrod.
Nabi Ibrahim as, sebagai pemimpin kaumnya, manusia yang memerangi kebodohan dan
kekafiran, dan yang benar-benar mengenal cinta dan tanggung jawab. Nabi Ibrahim
as, juga menghindari godaan-godaan syaitan dan pembisik yang memberikan
saran-saran buruk ke dalam hati manusia.
Di Maqam
Ibrahim ini, kita berjabat tangan dengan Allah SWT. lalu hiduplah seperti Nabi
Ibrahim, as dan jadikan diri kita sebagai arsitek Ka’bah (arsitek Agama Islam)
di jaman kita sendiri. Selamatkanlah bangsa, keluarkanlah rakyat dari kehidupan
mandek yang tidak berfaedah menuju kebaikan. Jagalah rakyat (diri, keluarga,
masyarakat) dari keterlenaan sehingga mereka keluar dari penindasan dan
kebodohan. Bantulah rakyat (diri, keluarga, masyarakat) untuk bergerak. Ajaklah
mereka untuk melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Ajarkan mereka untuk
kembali fitrah. Oleh karena itu setelah kita melaksanakan Thawaf dan juga telah
sampai di Maqam Ibrahim, maka sebagai sekutu Allah SWT, atau sebagai Khalifah Allah
SWT di muka bumi, kita harus :
a. Membuat negeri sendiri aman seperti yang telah
kita rasakan di Tanah Haram.
b. Hidup seperti di dalam keadaan Ihram,
seolah-olah keadaan ihram tersebut tidak pernah berkesudahan.
c. Membuat dunia ini sebagai Masjid Yang Aman
(Masjid-ul Haram) seolah-olah kita sedang berada di sana.
Semua ini harus kita laksananakan
dengan sebaik mungkin karena dunia ini, bumi ini adalah Masjid Masjid Allah
SWT, akan tetapi realitas yang terjadi tidaklah demikian atau belum sesuai
dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.
Sekarang mari kita renungi lagi arah
perjalanan Thawaf Ruh/Ruhani yang berlawanan arah dengan arah jarum jam, apakah
hanya sebatas yang telah kami kemukakan di atas ataukah masih ada lagi rahasia
lain yang tersembunyi? Jika kita termasuk orang yang mau berfikir, masih ada rahasia lain yang terkandung yang
terdapat di balik arah Thawaf yaitu kita dikehendaki oleh Allah SWT untuk
menjadi golongan kanan yaitu menjadi orang yang beruntung yang tempat
kembalinya adalah Syurga. Ingat, Thawaf Ruh/Ruhani bukan menjadikan diri kita
menjadi golongan kiri yaitu orang yang merugi yang tempat kembalinya adalah
Neraka. Adanya Thawaf Ruh/Ruhani kita juga dikehendaki Allah SWT untuk hijrah keluar
dari pola pola kehidupan duniawi untuk segera menuju pola pola kehidupan
ukhrawi (akhirat). Kehidupan duniawi akan menghantarkan diri kita menjadi
golongan kiri sedangkan kehidupan ukhrawi (akhirat) akan menghantarkan diri
kita menjadi golongan kanan.
Selain daripada itu dengan diri
kita melakukan Thawaf Ruh/Ruhani kita sedang melakukan apa yang dinamakan dengan
menuju Kebesaran Allah SWT dari yang sebelumnya berada di dalam Tanda Tanda
Kebesaran Allah SWT. Ingat kita menuju
kepada kebesaran Allah SWT bukan menuju kepada Tanda Tanda Kebesaran Allah SWT.
Jika ketiga hal yang kami kemukakan di atas adalah rahasia yang tersembunyi
yang terdapat di dalam Thawaf Ruh/Ruhani lalu sudahkah diri kita mampu
melaksanakannya dan membuktikan hasilnya setelah pulang menunaikan ibadah Haji
dan Umroh? Sebagai orang yang akan menunaikan ibadah Haji dan Umroh atau yang
telah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sudahkah apa yang kami kemukakan di
atas kita perbuat dan masyarakat juga telah menikmati buah dari Haji dan Umroh
yang mabrur yang kita laksanakan? Semoga kita yang sudah melaksanakan ibadah Haji
dan Umroh ataupun yang belum melaksanakan Haji dan Umroh mampu melaksanakan
apa-apa yang dikehendaki Allah SWT.
II. SA’I
Sa’i artinya lari-lari kecil
antara bukit Shafa dan bukit Marwah yang dilakukan setelah jamaah atau diri
kita melaksanakan shalat sunnah Thawaf Qudum bagi jamaah Haji Tamattu atau
shalat sunnah Thawaf Umroh bagi jamaah Umroh. Jamaah yang sedang Sa’i masih
mempergunakan Ihram sehingga saat Sa’i dilaksanakan jamaah masih terikat dengan
ketentuan Ihram. Ibadah Sa’i bagian dari Rukun Haji yang dilaksanakan setelah
Thawaf Qudum bagi yang menunaikan ibadah Haji Tamattu atau setelah Thawaf Umroh
bagi yang menunaikan Umroh sehingga Sa’i tidak bisa digantikan dengan ibadah
lainnya.
Syarat Sahnya Sa’i
A
|
Sa’i harus dilaksanakan setelah
jamaah melaksanakan Shalat Sunnah Thawaf Qudum 2 (dua) rakaat bagi jamaah Haji
Tamattu dan dalam kondisi berihram atau setelah melaksanakan Shalat Sunnah
Thawaf Umroh 2(dua) rakaat bagi yang menunaikan Umroh dalam kondisi berihram.
|
B
|
Sa’i adalah ibadah lanjutan yang harus dilaksanakan oleh setiap jamaah
setelah menyelesaikan Thawaf Qudum bagi Haji Tamattu atau Thawaf Umroh bagi
yang melaksanakan Umroh sehingga apabila Sa’i tidak dilaksanakan tidak sah
Haji Tamattunya atau tidak sah Umrohnya.
|
C
|
Sa’i tidak mengenal adanya Sa’i Sunnah baik yang dilaksanakan dengan
berihram ataupun dengan baju bebas. Sa’i terikat dengan Thawaf Qudum dan
Thawaf Ifhadah bagi yang menunaikan Haji Tamattu serta dengan Thawaf Umroh
bagi yang menunaikan Umroh semata.
|
D
|
Ukuran terpenuhinya Sa’I adalah tujuh putaran (perjalanan) yang dimulai
dari bukit Shafa dan diakhiri di bukit Marwah (jarak antara keduanya adalah
420m)
|
Sesungguhnya
Shafaa dan Marwah adalah sebahagian dari syi'ar Allah[102]. Maka Barangsiapa
yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa
baginya[103] mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan
suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha
Mensyukuri[104] kebaikan lagi Maha mengetahui.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 158)
[102] Syi'ar-syi'ar
Allah: tanda-tanda atau tempat beribadah kepada Allah.
[103] Tuhan
mengungkapkan dengan Perkataan tidak ada dosa sebab sebahagian sahabat merasa
keberatan mengerjakannya sa'i di situ, karena tempat itu bekas tempat berhala.
dan di masa jahiliyahpun tempat itu digunakan sebagai tempat sa'i. untuk
menghilangkan rasa keberatan itu Allah menurunkan ayat ini.
[104] Allah
mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan
kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan sebagainya.
Kewajiban Dalam Sa’i
a
|
Berjalan sendiri apabila mampu
|
b
|
Menyempurnakan tujuh putaran.
|
Sunnah Dalam Sa’i
a
|
Kesinambungan antara Thawaf dan Sa’i.
|
b
|
Mendaki bukit Shafa dan bukit Marwah pada
setiap kali Sa’i.
|
c
|
Menghadap Kiblat, mengucap takbir dan
tahlil, berdoa dan membaca shalawat saat mendaki Shafa dan Marwah.
|
d
|
Berjalan dengan cepat antara dua tiang
hijau yang didirikan di dinding tempat Sa’i dalam setiap tujuh putaran.
|
Catatan
khusus tentang Sa’i:
a. Tidak disyaratkan dalam keadaan suci/wudhu
b. Berjalan 7(tujuh) kali antara Shafa dan Marwah,
berakhir di Marwah.
c. Setiap melintas diantara 2(dua) pilar hijau,
laki-laki disunnahkan berlari-lari kecil.
d. Disunahkan berdoa di setiap bukit.
e. Sa’i tidak mengenal istilah adanya Sa’i
sunnah seperti halnya Thawaf Sunnah.
Sa’i yang dilaksanakan setelah
Thawaf melambangkan perjuangan seorang manusia yang bernama Siti Hajar dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus tawakkal menyerahkan nasib Nabi Ismail
as, ke tangan Allah SWT, yakni penyerahan total setelah usaha keras kepada
kemurahan Allah SWT. Sa’i juga
melambangkan perbaikan motif tindakan manusia atau niat yang hendaknya hanya
dimulai dari kesucian (shafa) menuju kebajikan (marwah), kemudian dari
kebajikan menuju kepada kesucian (shafa).
Seperti di dalam melaksanakan Thawaf,
ulangilah Sa’i ini sampai tujuh kali. Tujuh adalah sebuah angka ganjil, bukan
genap. Tujuh adalah angka simbolis yang disepanjang hidup kita melambangkan
Marwah. Mulailah dari Shafa yang berarti cinta murni kepada orang-orang lain.
Tujuanmu adalah Marwah yang berarti kembali ke fitrah manusia, sikap
menghargai, bermurah hati dan memaafkan orang lain serta berguna bagi
masyarakat luas. Melakukan Sa’i dari bukit Shafa (bukit kesucian) menuju bukit
Marwah (bukit kebajikan) dan terus berulang sebanyak tujuh kali, diharapkan
orang yang melakukan Sa’i tersebut setelah kembali ke tanah air akan dapat
memperbaiki niat dan motif tindakannya, dan tidaklah melakukan sesuatu kecuali
dari kesucian menuju kepada kebajikan, atau sebaliknya dari kebajikan menuju
kesucian. Dengan demikian maka Sa’i bisa menjadi sarana pendidikan moral
melalui perbaikan motif tindakan dan sekaligus pensucian jiwa manusia daripada
menuruti ahwa.
Ibadah Sa’i
bermakna sebuah pencarian. Ibadah Sa’i juga bermakna perjuangan phisik yang
berarti mengerahkan tenaga dan upaya di dalam pencarian air. Ibadah Sa’i adalah
gerakan yang memiliki tujuan dan digambarkan dengan gerak berlari-lari serta
bergegas-gegas. Disinilah terlihat persatuan yang sesungguhnya karena di dalam
melaksanakan ibadah Sa’i segala bentuk pola, warna, derajat, kepribadian,
batas, perbedaan dan jarak dihancurkan atau bahkan dihilangkan. Yang kita
saksikan adalah manusia-manusia yang polos, kecuali keyakinan, kepercayaan dan
aksi sehingga tidak ada sesuatu pun yang menonjol yaitu ikhlas karena Allah SWT
semata.
Tidak ada
tokoh-tokoh yang dikemukakan dalam Sa’i, Nabi Ibrahim as, Nabi Ismail as, dan
Siti Hajar hanyalah sekedar nama-nama, kata-kata dan simbol-simbol. Apapun yang
ada bergerak secara terus menerus baik sebagai humanitas ataupun spritualitas
dan diantara keduanya yang ada hanyalah disiplin. Pencarian air melambangkan
pencarian kehidupan materiil di atas dunia, sedangkan kehidupan materiil ini
adalah kebutuhan nyata manusia yang menunjukkan hubungan di antara manusia
dengan alam. Demikianlah cara mendapatkan syurga di atas dunia dan menikmatinya
di dalam kehidupan ini.
Saat ini sampai dengan hari kiamat
kelak, kita akan selalu dipertontonkan oleh Allah SWT sebuah karya besar dari
perjuangan Siti Hajar, yaitu Air Zam-Zam. Dimana air ini tidak akan pernah
habis sampai kapanpun juga. Dan jika saat ini kita telah pula menikmati Air
Zam-Zam dan telah pula menapak tilasi perjuangan Siti Hajar, lalu apa yang
sudah kita lakukan untuk kebaikan, untuk kemashalahatan generasi akan datang di
kemudian hari dari hasil napak tilas perjuangan Siti Hajar sehingga kitapun
mampu dikenang oleh generasi yang datang dikemudian hari? Jika sampai
kehancuran, kemerosotan moral, gontok-gontokan, caci memaki, illegal logging,
korupsi dan lain sebagainya yang sesuai dengan kehendak Syaitan masih kita
lakukan setelah napak tilas perjuangan Siti Hajar, kondisi ini bukanlah yang dikehendaki
oleh Allah SWT dan juga berarti ada yang salah di dalam pelaksanaan ibadah Haji
dan Umroh yang kita lakukan.
Jjika kita termasuk orang yang
telah sukses melakukan napak tilas dari perjuangan Siti Hajar berarti setelah
pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh maka kita harus bisa melakukan karya besar seperti apa yang dilakukan
oleh Siti Hajar dalam bentuk yang lain sepanjang untuk kepentingan masyarakat
banyak yang tidak hanya bersifat lokal tetapi juga bersifat nasional ataupun
international serta sedapat mungkin bisa pula dinikmati oleh generasi yang
datang dikemudian hari. Dan jika kita tidak mampu melakukan itu semua berarti
apa yang telah kita lakukan belum sesuai dengan makna yang hakiki dari napak
tilas yang kita laksanakan. Jika saat ini Ruh/Ruhani belum dipisahkan dengan
Jasmani berarti kita masih memiliki kesempatan untuk melakukan karya besar
sebagai bukti keberhasilan diri kita melakukan napak tilas perjuangan keluarga
Nabi Ibrahim as. Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita masing-masing,
mau berkarya besar ataukah tidak dan yang pasti Allah SWT tidak butuh dengan
karya yang kita buat tetapi kitalah yang membutuhkan karya dimaksud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar