B. HAJI DAN UMROH DALAM ARTI YANG
TERSIRAT DAN YANG TERSEMBUNYI
Agar diri kita mampu melaksanakan ibadah Haji yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan juga memperoleh maksud dan tujuan yang hakiki yang terdapat di balik perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh. Sudah sepantasnya dan sepatutnya kita kita mempelajari secara lebih mendalam lagi tentang ibadah dimaksud. Untuk itu mari kita pelajari ibadah Haji dan Umroh dalam arti yang tersirat dan yang tersembunyi seperti yang kami kemukakan di bawah ini.
1. MEMENUHI UNDANGAN ALLAH SWT
Berdasarkan Bacaan Talbiyah yang kita katakan setelah berniat di Miqat, Ibadah Haji dan Umroh berarti memenuhi Undangan Allah SWT. Ibadah Haji dan Umroh berarti melaksanakan panggilan Allah SWT. Ibadah Haji dan Umroh berarti menjadi tamu Allah SWT. Ibadah Haji dan Umroh adalah kesempatan bagi diri kita untuk bertemu dengan Allah SWT di Baitullah karena kita telah menjadi Tamu Allah SWT. Sebagai Tamu yang telah diundang oleh Allah SWT sudahkah kita mampu menjadikan diri kita sendiri menjadi tamu yang kedatangannya sudah sangat dinantikan oleh Tuan Rumah saat melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh, atau sudahkah diri kita menjadi tamu yang dibanggakan oleh Tuan Rumah?
Hal yang harus kita perhatikan pada saat diri kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh adalah Allah SWT wajib ditempatkan sebagai Tuan Rumah yang memiliki kebesaran dan kemahaan yang sangat Maha karena kemampuannya mampu menciptakan segala sesuatu tanpa bantuan siapapun juga dan juga Tuhan bagi semesta alam.
“Labbaika Allahumma Labbaik, Labbaika laa syariika laka Labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulku laa syaariika lak (Kusambut panggilan-Mu Ya Allah, kusambut panggilan-Mu, kusambut panggilan-Mu, sesungguhnya segala puji dan nikmat dan kerajaan adalah milik-Mu, tiada sekutu bagi-Mu)”.
Orang-orang yang berhaji dan orang-orang yang berumroh adalah tamu-tamu Allah SWT. Jika mereka berdoa memohon kepada-Nya, niscaya diperkenankan-Nya dan jika mereka memohon ampunan kepada-Nya, niscaya mereka diampuni-Nya.
(Hadits
Riwayat Ibnu Majaah yang bersumber dari Abu Hurairah ra)
Sedangkan kita yang datang ke Baitullah bertindak sebagai Tamu yang tidak memiliki apapun, bukan apa apa dan bukan siapa siapa. Ingat, kita ada karena diciptakan oleh Allah SWT sehingga pada saat menunaikan ibadah Haji dan Umroh kita wajib mematuhi segala syarat dan ketentuan dari Tuan Rumah dan menjunjung tinggi serta menghormati Tuan Rumah dengan segala ketentuan dan kemahaan-Nya karena kita tidak sepadan dengan Allah SWT.
Selanjutnya
sebagai Tamu yang datang untuk memenuhi undangan dari Tuan Rumah, ketahuilah
dan pahamilah bahwa :
a. Allah
SWT selaku Tuan Rumah wajib ada dan tidak akan mungkin tidak ada pada saat Tamu
yang diundangnya datang untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
b. Allah
SWT selaku Tuan Rumah pasti akan akan menyambut Tamu yang telah diundangnya ke
Baitullah dan juga saat wukuf (saat
Allah SWT mengadakan Open House) di Padang Arafah.
c. Allah
SWT selaku Tuan Rumah siap memberikan apapun yang diminta oleh Tamu yang di
undangnya meminta sesuatu kepada-Nya, sepanjang Tamu dimaksud mampu menjadi Tamu yang dikehendaki-Nya, yaitu
tamu yang mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkanNya berlaku.
d. Allah
SWT selaku Tuan Rumah pasti bertanggungjawab atas tamu yang telah diundangnya
sehingga seluruh Tamu yang datang pasti akan mendapatkan sesuatu dari Allah
SWT, sepanjang Tamu yang datang tersebut
mampu menjadi Tamu yang menyenangkan bagi Tuan Rumah.
e. Allah
SWT selaku Tuan Rumah harus menjadi tujuan atau yang harus ditemui oleh para
Tamunya. Sekarang apa jadinya jika Tamu yang datang melaksanakan ibadah Haji
dan Umroh, tetapi tidak berjumpa dengan Allah SWT selaku Tuan Rumah. Sedangkan
inti dari berkunjung atau inti dari bertamu atau inti dari memenuhi undangan
adalah bertemu langsung dengan Tuan Rumah dan Tuan Rumah mau menerima kedatangan diri kita sebagai tamunya dengan
senang hati.
f. Saat
diri kita di Rumah Allah SWT (maksudnya di Baitullah) kita harus berperilaku
seperti perilaku Tuan Rumah. Jika Tuan Rumah memiliki perilaku Ar Rachman dan
Ar Rahiem, maka kitapun harus berperilaku kasih sayang kepada sesama manusia,
baik selama di Baitullah maupun setelah pulang menunaikan Ibadah Haji, atau
selama hayat masih dikandung badan. Demikian seterusnya sesuai dengan Asmaul
Husna yang dimiliki oleh Allah SWT.
Setelah mengetahui 6 (enam) hal yang kami kemukakan di atas, maka kita harus memiliki Ilmu dan pemahaman yang sangat baik tentang siapakah Tuan Rumah itu sesungguhnya, apakah posisinya di alam semesta ini, serta bagaimana cara menempatkan dan meletakkan Tuan Rumah yang sesuai dengan kehendak Tuan Rumah itu sendiri di rumah tuan rumah sendiri. Tuan Rumah yang akan kita temui saat melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh adalah pencipta, pemilik dari langit dan bumi beserta isinya, termasuk di dalamnya pencipta dan pemilik dari kekhalifahan yang ada di muka bumi. Jika ini kondisi dasar dari pada Allah SWT selaku Tuan Rumah, lalu sebagai apakah kita di muka bumi ini?
Keberadaan diri kita di muka bumi sudah pasti bukan pencipta dan bukan pula pemilik dari langit dan bumi. Kita di muka bumi adalah tamu yang sedang menumpang di langit dan di bumi yang diciptakan oleh Allah SWT sehingga kita tidak akan mungkin bisa mensejajarkan diri dengan Allah SWT yang berarti kita bukanlah sesuatu yang sepadan dengan Allah SWT. Dan jika sekarang kita berada di Baitullah dalam rangka memenuhi undangan Allah SWT, apa yang harus kita lakukan?
Untuk itu jadilah tamu yang baik lagi menyenangkan Tuan Rumah, jadilah tamu yang keberadaannya paling dikehendaki oleh Tuan Rumah, jadilah tamu yang paling dibanggakan oleh Tuan serta jadikan Pertemuan dengan Tuan Rumah di Baitullah dan di Padang Arafah menjadi sebuah pertemuan yang paling berkesan dan bernilai tinggi di dalam melaksanakan ibadah Haji dan Umroh. Sehingga nilai dan rasa pertemuan dapat kita rasakan terus dan terus selama hayat masih di kandung badan dan bisa menjadi bekal setelah pulang dari melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh yang tercermin di dalam Ikhsan.
Jangan sampai diri kita menjadi tamu
yang tidak dikehendaki oleh Allah SWT saat melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh
karena kesalahan yang kita perbuat di masa lalu, karena tidak memiliki ilmu dan
pemahaman tentang ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT
atau karena kita menantang Allah SWT di Rumah Allah SWT dengan melakukan
perbuatan Syirik dengan berani menserikatkan Allah SWT dengan sesuatu padahal
kita sedang berada Baitullah. Padahal bacaan Talbiyah yang kita kemukakan selama
di Baitullah tidak ada sekutu bagi Allah SWT. Jika sampai ini kita lakukan saat
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, bersiaplah menjadi tamu yang tidak
dikehendaki Allah SWT sehingga kita tidak akan pernah merasakan nikmatnya
bertuhankan kepada Allah SWT.
Sebagai orang yang akan memenuhi undangan Allah SWT atau sebagai tamu yang akan datang memenuhi undangan Allah SWT, tentu kita tidak bisa sembarangan datang begitu saja menemui Allah SWT selaku Tuan Rumah di Baitullah atau di Padang Arafah. Untuk itu kita harus terlebih dahulu memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuan Rumah barulah kita bisa menemui Allah SWT selaku Tuan Rumah, barulah kita bisa menjadi Tamu yang dikehendaki oleh Allah SWT, barulah kita bisa diterima oleh Allah SWT, yang pada akhirnya Allah SWT selaku Tuan Rumah mau memberikan oleh-oleh berupa Haji dan Umroh yang mabrur kepada diri kita atau Syurga kepada diri kita kelak.
Antara Umroh yang pertama dengan Umroh yang kedua penghapusan dosa-dosa (yang dilakukan antara keduanya) dan haji mabrur tiada pahala kecuali Syurga.
(Hadits Riwayat Bukhari)
Tamu tetaplah Tamu yang tidak bisa membuat ketentuan sendiri di Baitullah. Untuk itu ketahuilah bahwa ketentuan Tuan Rumah adalah sesuatu yang mutlak kita patuhi selama diri kita melaksanakan ibadah Haji dan Umroh karena hanya dengan cara itulah kita bisa menjadi Tamu yang paham siapa sesungguhnya Tuan Rumah dan mampu menempatkan Tuan Rumah sesuai dengan kemahaan yang dimilikiNya.
Sekarang kita yang akan berangkat menjadi Tamu Allah SWT atau yang akan memenuhi undangan Allah SWT, sudahkah kita memiliki undangan dari Allah SWT, atau sudahkah kita merasa diundang oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh atau sudahkah kita menjadi tamu yang menyenangkan bagi Tuan Rumah lagi membanggakan Tuan Rumah sehingga kehadiran kita sudah dinantikan oleh Allah SWT? Alangkah lucunya, alangkah malunya, alangkah tidak tahu dirinya :
a. Jika kita
datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, sedangkan kita tidak pernah diundang
oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah.
b. Jika kita datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, tetapi kehadiran kita tidak dikehendaki oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah.
c. Jika kita datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, tetapi kita merasa lebih hebat dari Tuan Rumah padahal kita menumpang di langit dan di bumi Allah SWT dengan mempersekutukan Allah SWT di Baitullah.
d. Jika kita datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, tetapi kita hanya bisa melihat dari jauh atau hanya terpukau dengan hidangan Tuan Rumah karena kita tidak bisa bertemu dengan Allah SWT selaku Tuan Rumah.
e. Jika kita datang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, lalu kita tidak bisa bertemu dengan Allah SWT selaku Tuan Rumah padahal konsep undangan adalah diterima dengan baik oleh Tuan Rumah.
Sebagai Tamu yang akan memenuhi undangan Allah SWT dalam rangka melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, apa yang kami kemukakan di atas ini jangan sampai terjadi pada diri kita. Untuk itu ketahuilah bahwa melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak bisa dilaksanakan berdasarkan keinginan diri kita selaku Tamu yang diundang. Melainkan kita harus bisa memenuhi kriteria apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pengundang dan juga selaku Tuan Rumah di dalam pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh.
Sebagai Tamu yang datang ke Baitullah, jangan sampai diri kita hanya mampu menjadi penonton atas kebesaran Allah SWT yang ditunjukkan-Nya saat pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh sehingga kita hanya bisa menjadi pengagum, hanya bisa menjadi komentator atas kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT tanpa pernah bisa merasakan betapa nikmatnya bertuhankan Allah SWT saat menunaikan ibadah Haji dan Umroh.
Jika kita sangat berkepentingan untuk merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT saat melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk segera memenuhi segala apa yang dikehendaki oleh Allah SWT sebelum diri kita melaksanakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT. Hal ini dikarenakan kita bukanlah sesuatu yang sepadan dengan Allah SWT sehingga bisa mengatur Allah SWT dan bisa melaksanakan ibadah Haji dan Umroh dengan seenaknya saja tanpa mengindahkan siapa Allah SWT sesungguhnya.
Sekarang kita yang akan berangkat menunaikan ibadah Haji dan Umroh, bertanyalah kepada diri sendiri, sudahkah kita memiliki Ilmu tentang Allah SWT, sudakah kita memiliki ilmu tentang diri kita sendiri, serta sudahkah memiliki ilmu tentang ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Jika belum, manfaatkanlah waktu yang tersisa sebelum Ruh/Ruhani dipisahkan dengan Jasmani karena hanya pada saat itulah kita bisa belajar, belajar dan belajar lalu merubah atas apa-apa yang telah ada pada diri kita menjadi sesuai dengan kehendak Allah SWT serta mampu menjadikan diri kita sendiri sebagai pribadi-pribadi yang kedatangannya sudah dinantikan oleh Allah SWT.
.
2. MENGHADIRI
OPEN HOUSE ALLAH SWT (WUKUF) DI PADANG
ARAFAH.
Haji itu adalah Arafah sehingga setiap jamaah Haji yang menunaikan ibadah Haji harus melakukan Wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah yang dimulai dari menjelang Shalat Dzuhur sampai menjelang Shalat Magrib. Wukuf di Padang Arafah adalah bagian dari Rukun Haji yang tidak bisa tergantikan dengan ibadah lainnya, jika kita tidak hadir di Padang Arafah untuk Wukuf maka tidak sah ibadah Haji seseorang. Hal yang harus kita jadikan pedoman adalah pelaksanaan Wukuf di Padang Arafah hanya ada setahun sekali, yaitu hanya diadakan oleh Allah SWT pada setiap tanggal 9 Dzulhijjah yang waktunya kurang lebih 6 (enam) jam yang dimulai dari menjelang shalat Dzuhur sampai menjelang shalat Maghrib.
Haji adalah Wukuf pada hari Arafah.
(Hadits
Riwayat Bukhari Muslim)
Adanya kondisi ini bisa berarti kesempatan untuk menghadiri Wukuf (Open House) di Padang Arafah yang kita hadiri saat ini bisa saja itu merupakan kesempatan pertama kita dan juga kesempatan terakhir kita. Hal ini dikarenakan kita tidak tahu kapan lagi kita bisa menunaikan ibadah Haji lagi. Jika sudah seperti ini keadaannya alangkah baiknya kita memanfaatkan sebaik mungkin kesempatan Wukuf ini karena kita tidak tahu kapan lagi bisa menghadiri Wukuf (Open House) di sisa usia kita yang tersisa.
Selain dari pada itu, pada saat Wukuf di Padang Arafah maka pada saat itu Allah SWT selaku Tuan Rumah mempersilahkan kepada seluruh Tamu yang diundangnya untuk hadir dalam perjamuan resmi Allah SWT dimana Allah SWT mempersilahkan kepada seluruh TamuNya untuk mengajukan apapun kepadaNya. Sekarang coba bayangkan, kita berada di hadapan pemilik dan pencipta langit dan bumi, lalu kita dipersilahkan oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah untuk mengajukan apa saja kepada Allah SWT dan Allah SWT siap memberikan apa yang kita minta. Untuk itu tidak ada jalan lain segeralah mempersiapkan segala doa yang akan kita ajukan kepada Allah SWT yang tentunya sudah kita persiapkan sewaktu masih di tanah air.
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka
berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut
(membangga-banggakan) nenek moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih
banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan
Kami, berilah Kami (kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian
(yang menyenangkan) di akhirat.
dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya
Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan
peliharalah Kami dari siksa neraka"[127].
(surat Al Baqarah (2) ayat 200 dan 201)
[126] Adalah menjadi kebiasaan orang-orang Arab
Jahiliyah setelah menunaikan haji lalu Bermegah-megahan tentang kebesaran nenek
moyangnya. setelah ayat ini diturunkan Maka memegah-megahkan nenek moyangnya
itu diganti dengan dzikir kepada Allah.
[127] Inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang
Muslim.
Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari kakeknya ra, dari Nabi SAW beliau bersabda: “Doa yang paling utama di Arafah dan yang paling utama dari apa yang aku katakan dan para nabi sebelumku adalah: “Tiada tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagiNya, BagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu”.
(Hadits Riwayat At Thirmidzi)
Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 198-199-200 yang kami kemukakan di bawah ini, Ibadah Haji yang kita lakukan ke Baitullah adalah ibadah dalam rangka untuk mengingat Allah SWT, ibadah dalam rangka memuji akan kebesaran dan kemahaan Allah SWT, dan ibadah dalam rangka memohon kepada Allah SWT, di tempat terbaik yang ada di muka bumi ini serta di waktu yang terbaik, yaitu pada saat diri kita melaksanakan Wukuf di Padang Arafah. Untuk itu jangan pernah kita sia-siakan ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan. Jangan biarkan ibadah Haji dan Umroh berlalu tanpa kesan padahal kesempatan untuk melaksanakannya hanya saat ini saja karena belum tentu kita bisa mengulanginya lagi.
tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
kemudian
bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak ('Arafah) dan
mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.
apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut
Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di
dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 198-199-200)
[125] Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.
[126] Adalah menjadi kebiasaan orang-orang Arab Jahiliyah setelah
menunaikan haji lalu Bermegah-megahan tentang kebesaran nenek moyangnya.
setelah ayat ini diturunkan Maka memegah-megahkan nenek moyangnya itu diganti
dengan dzikir kepada Allah.
Jangan pernah membuang-buang waktu pada saat pelaksanaan Wukuf di Padang Arafah. Manfaatkan waktu yang hanya sebentar saat Wukuf dengan sebaik baiknya. Jangan sampai kita sibuk dengan urusan kita sendiri tanpa pernah bisa merasakan rasa diterima oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah. Hal ini dikarenakan pada saat Wukuf inilah Allah SWT melaksanakan Open House bagi seluruh tamu yang diundang-Nya untuk meminta, untuk memohon apapun kepada Allah SWT dan merasakan langsung rasa yang begitu hebat yang tidak bisa dikatakan dengan kata-kata yaitu betapa nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT. Disinilah puncak dari pelaksanaan ibadah Haji sehingga setiap orang yang melaksanakan ibadah Haji harus hadir melaksanakan Wukuf di Padang Arafah tanpa terkecuali.
Sebagai jamaah yang memiliki kesempatan berada di Tempat dan Waktu yang terbaik pada saat pelaksanaan Ibadah Haji. Tentu kita harus bisa memanfaatkan kesempatan yang mungkin hanya bisa kita nikmati sekali dalam seumur hidup dengan sebaik-baiknya dengan menjadikan diri kita menjadi tamu yang paling dikehendaki kehadirannya oleh Tuan Rumah. Sehingga apa yang kita minta, apa yang kita mohonkan, apa yang kita ajukan, diterima oleh Allah SWT dan selanjutnya Allah SWT selaku Tuan Rumah mau memberikan oleh-oleh berupa Haji yang Mabrur kepada diri kita yang pahalanya adalah Syurga.
Harapan kami jangan sampai diri kita yang sudah susah payah melaksanakan ibadah Haji justru hilang kesempatan untuk merasakan rasa diterima oleh Allah SWT karena ulah kita sendiri yang tidak memiliki ilmu tentang Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT, karena kehadiran kita tidak dikehendaki oleh Tuan Rumah karena syarat dan ketentuan dari Allah SWT kita langgar dan lain sebagainya. Jika sampai diri kita seperti ini berarti sia-sialah ibadah Haji yang kita laksanakan, walaupun gelar Haji atau Hajjah telah kita peroleh dan yang terakhir bisa jadi kita memperoleh Haji/Hajjah Mardud yang sesuai dengan kehendak Syaitan.
Sekali lagi kami ingatkan bahwa pada saat diri kita Wukuf di Padang Arafah kita diperbolehkan memohon langsung segala kebutuhan diri kita kepada Allah SWT, baik urusan dunia ataupun urusan akhirat dan utamakan memohon ampunan dan curahan rahmat, hidayah dan taufik, keselamatan dunia dan akhirat, untuk pribadi kita, untuk orang tua kita, untuk anak keturunan kita, untuk saudara saudara kita, untuk guru guru kita dan untuk seluruh umat Islam. Jangan sampai kita hadir untuk Wukuf di Padang Arafah hanya bisa berdiam diri, hanya bisa berdoa ala kadarnya sehingga waktu yang tersedia berlalu tanpa kesan. Sedangkan waktu Wukuf di Padang Arafah adalah sebaik baik tempat dan sebaik baik waktu untuk berdoa kepada Allah SWT baik secara individual maupun secara berjamaah. Jangan pernah sia siakan waktu yang sangat berharga yang lamanya hanya 6(enam) jam saat Wukuf di Padang Arafah karena kesempatan hanya datang satu kali dalam kehidupan kita atau yang ada hanya penyesalan belaka.
Melaksanakan ibadah Wukuf di Padang Arafah sebagai sebuah rukun Haji kelihatannya sangatlah mudah, namun penuh perjuangan. Hal ini dikarenakan baik buruknya Wukuf di Padang Arafah sangat ditentukan oleh cerminan dari diri kita sendiri. Semakin tinggi nilai keimanan kita, semakin fitrah diri kita, semakin tinggi kualitas ketaqwaan diri kita, akan semakin mudah kita melaksanakan Wukuf di Padang Arafah, demikian pula sebaliknya. Jika kita berharap bisa melaksanakan ibadah Haji yang sesuai dengan kehendak Allah SWT maka tidak ada jalan lain kecuali mempersiapkan ilmu syariat dan hakekat, bekal dari yang halal, keimanan yang tinggi serta kesucian jasmani dan ruh/ruhani secara baik dan benar sebelum diri kita menunaikan Ibadah Haji serta mampu melaksanakannya sesuai syariat yang berlaku. Semoga hal ini bisa kita siapkan dengan sebaik baiknya.
3. NAPAK
TILAS DARI PERJALANAN HIDUP NABI IBRAHIM as, DAN KELUARGANYA.
Berdasarkan surat Al Mumthahanah (60) ayat 6 dan surat Al Baqarah (2) ayat 158 yang kami kemukakan di bawah ini, dengan diri kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh berarti diri kita diberi kesempatan oleh Allah SWT untuk menjadikan diri sendiri menjadi manusia teladan melalui proses Napak Tilas dari perjalanan hidup Nabi Ibrahim as, beserta keluarganya, dalam hal ini saat diri kita melakukan ibadah Sa’i dan juga melakukan Jumroh. Allah SWT menceritakan tentang cerita Nabi Ibrahim as, beserta keluarganya, bukanlah sekedar cerita yang diceritakan kembali tanpa maksud dan tujuan yang jelas. Allah SWT berkehendak kepada diri kita melalui cerita yang diceritakan kembali di dalam Al Qur’an tentang Nabi Ibrahim as, beserta keluarganya, bisa kita jadikan hikmah dan pelajaran saat diri kita menjadi Khalifah di muka bumi dan melalui itu pula harus bisa menjadikan diri kita menjadi manusia teladan seperti teladannya Nabi Ibrahim, as, teladannya Siti Hajar dan teladannya Nabi Ismail as,. Sekarang sudahkah diri kita menjadi manusia teladan, setelah diri kita melaksanakan Ibadah Haji atau Umroh?
Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (pahala) Allah dan (keselamatan pada) hari kemudian. dan Barangsiapa yang berpaling, Maka Sesungguhnya Allah Dia-lah yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
(surat
Al Mumthahanah (60) ayat 6)
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar Allah[102]. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-'umrah, Maka tidak ada dosa baginya[103] mengerjakan sa'i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[104] kebaikan lagi Maha mengetahui.
(surat Al Baqarah (2) ayat 158)
[102] Syi'ar-syi'ar Allah: tanda-tanda atau tempat
beribadah kepada Allah.
[103] Tuhan mengungkapkan dengan Perkataan tidak ada
dosa sebab sebahagian sahabat merasa keberatan mengerjakannya sa'i di situ,
karena tempat itu bekas tempat berhala. dan di masa jahiliyahpun tempat itu
digunakan sebagai tempat sa'i. untuk menghilangkan rasa keberatan itu Allah
menurunkan ayat ini.
[104] Allah mensyukuri hamba-Nya: memberi pahala
terhadap amal-amal hamba-Nya, mema'afkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya dan
sebagainya.
Untuk itu perhatikanlah dan lalu renungkanlah salah satu peninggalan dari keluarga Nabi Ibrahim as, yaitu Siti Hajar yaitu Air Zam-Zam yang sampai dengan hari ini dan bahkan sampai dengan hari kiamat kelak tidak pernah habis-habisnya walaupun telah diambil dan dikonsumsi jutaan orang dan juga telah dibawa oleh jutaan orang ke seluruh dunia sebagai oleh oleh Haji dan Umroh. Air sangatlah bernilai tinggi jika keberadaannya ada di tengah gurun pasir sehingga Air Zam-Zam lebih bernilai dibandingkan emas ataupun perak pada waktu lampau.
Kondisi inipun masih berlaku sampai dengan saat ini dimana harga satu liter Air di Kerajaan Arab Saudi lebih mahal dari pada bahan bakar minyak. Inilah yang ditinggalkan oleh Siti Hajar kepada umat manusia, sesuatu yang sangat berharga dan sangat panjang waktunya lalu sudahkah kita yang telah menapak tilasi perjuangan dari Siti Hajar berbuat kebaikan kepada sesama manusia? Jika belum berarti kita tidak bisa melaksanakan pesan yang sangat berharga yang terdapat di dalam proses napak tilas keluarga Nabi Ibrahim as.
Namun apabila kita mampu melaksanakan pesan kebaikan yang terdapat di balik napak tilas yang kita laksanakan berarti setelah diri kita pulang dari melaksanakan ibadah Haji dan Umroh tidak ada jalan lain kita harus berbuat kebaikan kebaikan bagi kepentingan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Tidak hanya untuk kepentingan sesaat namun juga bisa dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari sehingga kita bisa dikenang di dalam kebaikan dan inilah yang disebut dengan umur panjang. Jika sampai kita tidak memiliki kebaikan apapun yang dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang dikemudian hari seperti halnya Siti Hajar aatau jika sampai kita tidak punya karya besar yang bermanfaat bagi masyarakat luas setelah napak tilas keluarga Nabi Ibrahim as, berarti ada sesuatu salah pada ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan atau ada sesuatu yang salah pada saat diri kita melaksanakan napak tilas perjalanan hidup dari keluarga Nabi Ibrahim as. Semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita.
Sekali lagi kami kemukakan, cerita tentang napak tilas dari keluarga Nabi Ibrahim as, bukanlah sekedar cerita yang diceritakan kembali oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an. Akan tetapi cerita yang harus menjadikan diri kita menjadi manusia teladan seperti teladannya keluarga Nabi Ibrahim as. Kondisi inilah yang harus kita jadikan pedoman setelah diri kita pulang melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, yaitu dengan berbuat sesuatu kebaikan yang bersifat jangka panjang yang dapat dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari.
Alangkah hebatnya ibadah Haji dan Umroh, jika setiap orang yang berhaji dan umroh mampu membuktikan bahwa ia telah melaksanakan napak tilas keluarga Nabi Ibrahim as, dengan berbuat kebaikan-kebaikan yang bersifat jangka panjang, dengan berbuat dan berkarya besar yang melampaui jaman. Alangkah hebatnya maksud dan tujuan dari ibadah Haji dan Umroh yang diperintahkan oleh Allah SWT sehingga terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Ayo segera kita buktikan ke khalayak bahwa kita mampu melaksanakan napak tilas perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as, sekarang juga.
Ingat, perjalanan hidup kita setelah Ruh/Ruhani dipisahkan
dengan Jasmani oleh Malaikat Maut, masih
sangat panjang melebihi panjangnya usia kita saat hidup di muka bumi sehingga
membutuhkan bekal yang jangka panjang pula. Sekarang bagaimana mungkin kita bisa
memiliki bekal jangka panjang jika kita sendiri tidak mau berbuat kebaikan yang
bersifat jangka panjang pula. Disinilah letak pentingnya kita merealisasikan
hasil dari napak tilas yang telah kita laksanakan saat Haji dan Umroh dengan
berbuat sesuatu yang bisa dinikmati oleh generasi yang datang kemudian hari
seperti halnya Siti Hajar dengan Air Zam Zamnya. Jangan sampai kita hanya mampu
melaksanakan napak tilas perjuangan keluarga Nabi Ibrahim as, tanpa mampu
membuktikan hasil akhir dari napak tilas yang telah kita napak tilasi yaitu
berbuat kebaikan yang bersifat jangka panjang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar