Sebagai Khalifah yang sangat
membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, ada satu pertanyaan yang harus kita jawab,
yaitu berapa kalikah kita harus melaksanakan ibadah Haji atau berapa kalikah
kita harus melaksanakan ibadah Umroh saat diri kita menjadi Khalifah di muka
bumi ini? Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita perhatikan terlebih dahulu hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang kami kemukakan di bawah ini. Dimana
ibadah Syahadat dan juga Ibadah Haji tidak mengenal apa yang dinamakan Syahadat
Sunnah ataupun Ibadah Haji Sunnah. Lain halnya dengan ibadah Shalat, ada ibadah
Shalat Wajib dan ada ibadah Shalat Sunnah. Kemudian ibadah Puasa, ada Puasa
Wajib dan ada Puasa Sunnah. Demikian pula dengan ibadah Zakat, ada zakat wajib
dan ada Zakat Sunnah (maksudnya menunaikan infaq dan sadaqah). Ibadah Haji
sebagai ibadah yang hanya hanya memilki makna ibadah wajib tanpa ada ibadah
sunnah yang menyertainya maka setiap jamaah yang melaksanakannya harus
menunaikannya sebaik mungkin, semaksimal mungkin serta harus sesuai dengan
syariat dan hakekat yang berlaku.
Thalhah bin Ubaidillah r.a.
berkata: Seorang dari Najed datang kepada Nabi SAW, sedang ia terurai
rambutnya, lalu ia mendekat kepada Nabi SAW, dapat didengar dengung suaranya
tetapi tidak dapat ditangkap (dimengerti) apa yang ditanyakannya, tiba-tiba ia
menanya tentang Islam. Maka Rasulullah SAW bersabda: Lima kali sembahyang dalam
sehari semalam. Ia bertanya: Apakah ada kewajiban bagiku selain itu? Jawab Nabi
SAW: Tidak, kecuali jika anda akan sembahyang sunnat. Lalu Nabi SAW bersabda:
Dan puasa pada bulan Ramadhan. Orang itu bertanya: Apakah ada lagi puasa yang
wajib atasku selain itu? Jawab Nabi SAW: Tidak, kecuali jika anda puasa sunnat.
Lalu Nabi SAW menerangkan kewajiban zakat. Maka ia tanya: Apakah ada kewajiban
selain itu? Jawab Nabi SAW: Tidak kecuali jika anda bersedekah sunnat. Maka
pergilah orang itu, sambil berkata: Demi ALLAH saya tidak akan melebihi atau
mengurangi dari itu. Maka Rasulullah SAW, bersabda: Sungguh bahagia ia jika
benar-benar (yakni dalam ucapannya tidak akan mengurangi atau melebihi itu)
(Hadits
Riwayat Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan No.6)
Selain daripada itu, walaupun
ibadah Haji bersifat wajib bukan berarti ibadah haji wajib harus kita
laksanakan setiap tahun. Hal ini dikarenakan tidak setiap orang memiliki
kemampuan yang sama, dalam hal ini keleluasaan rezeki dan kesehatan. Sehingga
ibadah haji hanya wajib bagi yang telah memenuhi persyaratan dalam hal ini
adalah keleluasaan rezeki dan kesehatan pada kesempatan pertama dan alangkah
zhalimnya Allah SWT jika sampai memerintahkan kita untuk melaksanakan ibadah
Haji setiap tahun padahal kemampuan manusia tidak sama. Dan jika saat ini
keleluasaan rezeki serta kesehatan badan telah terpenuhi atau telah kita peroleh berarti kewajiban
melaksanakan ibadah haji sudah jatuh kepada diri kita dan kita wajib
melaksanakan ibadah yang pertama kali jatuh maksimal empat tahun atau lima
tahun ke depan sesuai dengan ketentuan dalam surat Ali Imran (3) ayat 97 dan hadits di bawah ini.
padanya
terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; Barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah
kewajiban manusia terhadap Allah, Yaitu (bagi) orang yang sanggup Mengadakan
perjalanan ke Baitullah[216]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka
Sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
(surat
Ali Imran (3) ayat 97)
[215] Ialah: tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri
membangun Ka'bah.
[216] Yaitu: orang yang sanggup mendapatkan
perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun
aman.
Allah SWT berfirman dalam
hadist Qudsi: "Seseorang yang telah Aku kurniai badan yang sehat dan rizki
yang lapang, namun tidak mau bertamu setelah empat tahun, sesungguhnya ia
terlarang untuk mendapat pahala dari sisi Allah SWT".
(Hadits
Qudsi Riwayat Thabarani kitab Al-Ausath dan Abu Ya'laa dari Abud-Dardaa' r.a)
Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya
seorang hamba yang telah Aku beri sehat badan dan luas rezeki dalam
penghidupannya, lalu berjalan selama lima tahun tidak juga datang berkunjung
kepada-Ku sungguh ia seorang yang rugi dan kecewa.
(Hadits
Qudsi Riwayat Ibn Hibban, Abu Ya’la, Saied, Ibn Ady dan Ibn Asakir, 272:38)
Dan jika sekarang ada ketentuan
untuk melaksanakan ibadah Haji minimal sekali seumur hidup, apakah ketentuan
ini sesuatu yang berlebihan jika dibandingkan dengan hikmah dan manfaat yang
akan kita peroleh dan rasakan melalui ibadah Haji yang kita laksanakan? Sepanjang
kriteria melaksanakan ibadah haji sudah jatuh/berlaku kepada diri kita, yaitu
terpenuhinya keleluasaan rezeki dan kesehatan, melaksanakan ibadah haji sekali
seumur hidup bukanlah sesuatu yang berlebihan karena perintah melaksanakan
ibadah Haji merupakan sarana atau alat bantu kita untuk memperoleh manfaat yang
hakiki yang terdapat di balik perintah menunaikan ibadah Haji yang nilainya
sangat luar biasa sehingga mampu menghantarkan kita ke syurga.Untuk itulah jika
kita sudah memiliki kesempatan untuk melaksanakan ibadah haji yang mungkin
hanya sekali seumur hidup, manfaatkan kesempatan ini secara maksimal untuk
kepentingan diri kita, keluarga, masyarakat, bangsa dan juga negara.
Lalu bolehkah kita melaksanakan
ibadah Haji lebih dari satu kali? Berdasarkan ketentuan yang ada (dalam hal ini
Al-Qur’an dan Hadits) tidak ada larangan bagi diri kita untuk melaksanakan
ibadah Haji lebih dari satu kali. Hal ini dimungkinkan karena adanya kenikmatan
dari rasa diterima oleh Allah SWT saat melaksanakan ibadah mendorong diri kita
untuk selalu balik dan balik lagi untuk melaksanakan ibadah Haji maupun Umroh.
Dan kondisi ini merupakan suatu sunnatullah yang berlaku bagi setiap manusia
yang pernah merasakan betapa nikmatnya bertuhankan Allah SWT saat melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh. Hal yang harus kita pertimbangan jika kita ingin
melaksanakan ibadah Haji lebih dari satu kali adalah jangka waktu pelaksanaan
ibadah haji janganlah terlalu dekat, katakan jangan satu tahun sekali. Alangkah
baiknya jika kita ingin mengulang kembali ibadah haji jangka waktunya diatur
sedemikian rupa katakan setelah sepuluh tahun.
Selain daripada jangka waktu,
kita juga harus mempertimbangkan kondisi dan keadaan orang-orang yang ada di sekitar
lingkungan kita, seperti keluarga dan tetangga yang di lingkungan tempat
tinggal kita, apakah masih ada yang
tidak berkecukupan sehingga membutuhkan pertolongan kita. Alangkah baiknya uang
untuk melaksanakan ibadah Haji yang kedua atau yang ketiga, dipergunakan untuk
mengentaskan mereka dari kemiskinan sebagai wujud dari hasil pelaksanaan ibadah
haji yang pertama yaitu bergunanya diri kita bagi keluarga, masyarakat, bangsa
dan negara setelah kita melakukan napak tilas perjalanan dari Nabi Ibrahim as,
dan keluarganya yaitu menjadi manusia teladan yang berguna bagi umat manusia.
Sekarang bagaimana dengan
kewajiban melaksanakan ibadah Umroh? Kewajiban melaksanakan ibadah Umroh
sebagai ibadah yang berdiri sendiri di luar pelaksanaan ibadah Haji (maksudnya
melaksanakan ibadah Umroh di luar pelakasanaaan ibadah Haji) belum diatur
secara secara spesifik seperti kewajiban melaksanakan ibadah Haji. Sehingga
kita bisa melaksanakan ibadah Umroh kapanpun sepanjang tahun. Dengan catatan :
a.
Jika kita melaksanakan
ibadah Umroh bersamaan dengan ibadah Haji maka ibadah Umroh tersebut merupakan
Rukun Haji bagi jamaah yang menghambil pilihan Haji Tamattu sehingga orang yang
menunaikan ibadah Haji dapat dipastikan sudah melaksanakan ibadah Umroh.
b.
Ibadah Umroh yang
kita laksanakan di dalam bulan bulan Haji tidak bisa dinilai sebagai ibadah
Sunnah dari ibadah Haji karena ibadah Haji tidak mengenal dan tidak diiringi
dengan ibadah sunnah. Apalagi jika
dilaksanakan dengan mengambil Miqat dari tanah haram ke tanah halal (maksudnya
ke Masjid Tan’im) lalu kembali lagi ke tanah haram untuk melaksanakan apa yang
dinamakan dengan Umroh Sunnah.
c.
Bagi jamaah
yang belum pernah menunaikan ibadah Haji maka ibadah Umroh yang dilaksanakannya
tidak bisa menghapus kewajiban ibadah Haji yang pertama yang berlaku kepadanya.
Sedangkan bagi jamaah yang sudah menunaikan ibadah Haji lalu ia melaksanakan
ibadah Umroh setelah kewajiban Haji pertamanya maka ibadah Umrohnya menjadi
ibadah sunnah belaka.
Ibadah Umroh dapat dilaksanakan kapan saja, kecuali ada beberapa waktu
yang dimakruhkan melaksanakan Umroh bagi jemaah Haji, yaitu pada saat jamaah
Haji wukuf di Padang Arafah pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah), hari Nahr
(tanggal 10 Dzulhijjah) dan hari hari Tasyriq (tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah).
Sebagai Khalifah di muka bumi
yang telah diperintahkan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh, jika saat
ini kita belum juga mau melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT setelah kewajiban berhaji dan umroh berlaku kepada diri
kita, berarti: kita berada di
dalam Jiwa Fujur yang sesuai dengan kehendak Syaitan sang laknatullah, atau
kita merasa mampu mengalahkan Ahwa dan Syaitan seorang diri tanpa bantuan dari Allah
SWT dikarenakan kita merasa lebih jago dan lebih hebat dari pada Allah SWT,
atau karena kita telah sanggup menahan panasnya api neraka yang panasnya 70
(tujuh puluh) kali panasnya api dunia, atau kita telah mampu mencari tuhan
selain Allah SWT sehingga kita bisa terbebas dari kewajiban mematuhi ketentuan
Allah SWT, atau bersiap-siaplah mati secara Yahudi ataupun Nasrani. Akan tetapi, jika kita ingin berubah, maka
lakukanlah Taubatan Nasuha saat ini juga lalu laksanakan Diinul Islam secara
Kaffah, karena kita tidak tahu kapan datangnya Malaikat Maut kepada diri kita
untuk melaksanakan tugasnya memisahkan antara Jasmani dengan Ruhani, terkecuali
kita mampu mengalahkan atau menggagalkan tugas Malaikat Mautl kepada diri kita
yang selama ini tidak pernah gagal di dalam melaksanakan tugasnya.
Selanjutnya kami ingin mengajak siapapun yang belum mau menunaikan ibadah
Haji untuk merenungi sebuah Sabda Nabi SAW yang kami ambil dari buku Hikmah dan
Rahasia Haji karangan Imam Al Ghazali di bawah ini. Nabi SAW telah bersabda :“Barangsiapa yang meninggal dunia dan ia
belum melakukan haji, maka hendaklah ia mati dalam keadaan memeluk agama
Yahudi bila mau, dan bila mau ia dalam
keadaan memeluk agama Nasrani”. Allah SWT
tidak suka dan sangat marah kepada diri kita jika syarat dan ketentuan
untuk melaksanakan Haji dan Umroh sudah terpenuhi namun sampai diri kita meninggal
belum juga mau melunasi Biaya Perjalanan Ibadah Haji atau belum juga mau melaksanakan
kewajiban ibadah Haji yang telah ditetapkan oleh Allah SWT tersebut. Keadaan
seperti ini tidak ada bedanya dengan perumpamaan kehidupan yang terjadi pada
saat ini. Di kampung hidup susah dan miskin pula lalu pergi merantau. Di rantau
kehidupan berubah dan hidup menjadi sukses dan berkecukupan namun yang terjadi
adalah kita tidak mau pulang kampung atau tidak mau mengakui lagi kampung
halaman kita sendiri. Timbul pertanyaan, apa kata orang kampung kepada diri
kita yang sudah sukses dan berkecukupan di rantau tetapi tidak mau pulang kampung?
Orang akan mengatakan kepada diri kita sombong, angkuh, lupa kacang dengan
kulitnya dan seterusnya yang kesemuanya menghujat kepada diri kita.
Hal yang samapun berlaku jika kita tidak mau melaksanakan kewajiban
ibadah Haji dan Umroh sekali seumur hidup pergi ke Baitullah (Rumah Allah) yang
memang sudah menjadi kewajiban diri kita kepada Allah SWT. Jika hal ini terjadi
pada diri kita berarti kondisi yang kami kemukakan dibawah ini wajib kita
cermati dengan seksama, yaitu :
1. Ingat, kita hadir ke muka bumi tidak memiliki
apapun juga, kita miskin, kita tidak mampu berbuat apa-apa selain hanya bisa menangis
dan menangis.
2.
Ingat, kita hadir ke muka bumi tidak membawa
apapun juga namun kita mempergunakan segala sesuatu yang telah diciptakan oleh
Allah SWT, seperti tanah, air, udara dan lain sebagainya.
3. Ingat, kita menumpang dan menjadi tamu di langit
dan di bumi yang tidak pernah kita ciptakan dan kita miliki, namun kita
mendayagunakan apa-apa yang ada di langit dan di muka bumi ini.
Lalu bandingkan kondisi diri kita saat ini, yang telah memiliki kedudukan,
yang sudah memiliki pangkat dan jabatan, yang sudah memiliki harta dan kekayaan
yang melimpah. Dari manakah asalnya itu semua, apakah dari diri kita sendiri
ataukah dari Allah SWT? Jika kita termasuk orang yang melaksanakan Diinul Islam
secara kaffah dan juga orang yang bersyukur kepada Allah SWT serta orang yang
tahu diri maka tidak sepatutnya kita mengabaikan kewajiban yang telah
diwajibkan kepada diri kita untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh.
Terkecuali jika kita berharap Allah SWT melepaskan diri dari diri kita sehingga
kita dipersilahkan untuk mati secara Yahudi ataupun mati secara Nasrani,
padahal kita sudah menyatakan beragama Islam. Semoga hal ini tidak pernah
terjadi pada diri, keluarga dan anak keturunan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar