Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 23 Januari 2018

IBADAH HAJI DAN UMROH YANG DIKEHENDAKI ALLAH SWT (part 4 of 4)


J.    TAHALUL

Tahallul berasal dari kata halal, yang artinya adalah penghalalan diri. Apabila telah selesai menuju Allah SWT, diri yang telah diharamkan harus dihalalkan kembali sehingga dapat berhubungan lagi dengan dunia sekeliling dengan cara menggunting beberapa helai rambut. Jika shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam sebagai tahalulnya, maka Haji dan Umroh diawali dengan ihram dan diakhiri dengan tahalul. Setelah Tahallul, selesai sudah ibadah Umroh dalam kerangka Haji Tamattu. Jamaah Haji diperbolehkan berganti pakaian dengan pakaian biasa dan bebas dari seluruh larangan Ihram, selanjutnya menunggu tanggal 8 Dzulhijjah untuk pelaksanaan Haji.

Tahallul baru bisa dilaksanakan oleh jamaah Haji ataupun jamaah Umroh jika jamaah telah selesai melaksanakan Sa’i dan pada saat itu jamaah masih mengenakan Ihram. Jika Tahallul tidak dilaksanakan oleh jamaah yang telah melaksanakan Sa’i maka jamaah masih terus terikat dengan ketentuan Ihram dan hanya melalui Tahallul inilah jamaah bisa melepaskan diri dari ketentuan ihram. Tahallul adalah ibadah penghalalan bagi jamaah Haji dan Umroh setelah terikat dengan ketentuan Ihram.

Tahallul tidak mengenal apa yang dinamakan dengan istilah Tahallul sunnah. Tahallul terikat dengan ketentuan Ihram semata sehingga setiap ibadah Haji dan Umroh yang diiringi dengan  kewajiban berihram seperti Thawaf Qudum yang dilanjutkan dengan Sa’i atau Thawaf Umroh yang dilanjutkan dengan Sa’i harus di akhiri dengan Tahallul. Adapun ketentuan cara memotong rambut adalah :

a.       Bagi laki laki dengan memotong sebagian rambut kepala atau mencukur habis. Jika mencukur dimulai dari separuh kepala bagian kanan kemudian separuh bagian kiri.
b.      Bagi perempuan hanya memotong sebagian rambut kepala (minimal 3(tiga) helai).
c.       Bagi jamaah yang tidak tumbuh rambut di kepalanya (botak), cukup dengan menempelkan pisau cukur/gunting sebagai isyarat mencukur/memotong rambut.
d.      Diperbolehkan untuk memotong rambut sendiri atau dengan bantuan orang lain. Seorang pria boleh menggunting rambut perempuan atau sebaliknya, apabila ada hubungan mahram. Bila tidak ada hukumnya haram. 

Mencukur rambut hanya diperintahkan untuk kaum laki laki sedangkan perempuan tidak wajib berdasarkan hadits dibawah ini.

Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada keharusan bagi perempuan untuk bercukur (dalam Tahallul), akan tetapi diharuskan untuk memotong (rambut kepala).
(Hadits Riwayat Abu Dawud)


Cara Tahalul
Bagi Ibadah Haji :

-Cukur/potong rambut
-Lontar Jumroh Aqabah
-Thawaf Ifadhah dan Sa’i

Tahallul Awal, bila 2 dari 3 di atas dilakukan
Tahallul Tsani, bila ketiga hal di atas dilakukan

Bagi Ibadah Umrah :

- Cukur atau potong rambut setelah Thawaf Umroh dan Sa’i dalam kondisi berihram.
Tahallul oleh banyak orang sering diartikan dengan memotong rambut (cukur), pengertian ini tidak selamanya benar. Dalam ibadah Umroh cara bertahallul dengan memotong atau mencukur rambut, tapi dalam ibadah Haji cara Tahallulnya berbeda. Tahallul adalah keadaan seseorang yang sudah bebas (halal) dari ihramnya karena telah menyelesaikan amalan amalan manasik hajinya. Tahallul terbagi dalam 2 bagian yaitu Tahallul awal (pertama) dan Tahallul Tsani (kedua). Tahallul awal ialah melepaskan diri dari keadaan ihram setalah melakukan dua diantara tiga perbutan yaitu:

a.       Melontar Jumroh Aqabah dan menggunting/mencukur rambut.
b.      Thawaf Ifhadah, Sa’i  dan menggungting/mencukur rambut.
c.       Thawaf Ifhadah, Sa’i dan melontar Jumroh Aqabah.

Sedangkan Tahallul Tsani ialah suatu keadaan seseorang setelah melakukan ketiga perbuatan di atas yaitu melontar Jumroh Aqabah, bercukur dan Thawaf Ifhadah beserta Sa’i.  Orang yang telah bertahallul awal sudah boleh melakukan perbuatan keduniaan apapun seperti berpakaian biasa, memakai wangi-wangian, kecuali hubungan suami istri. Hubungan suami istri hanya boleh dilakukan setelah Tahallul Tsani.

Sebagai jamaah Haji dan Umroh yang berkepentingan dengan Haji yang mabrur ketahuilah bahwa kepala adalah letak dan perlambang dari kesombongan dan keangkuhan manusia. Dengan melaksanakan Tahallul (mencukur atau memotong rambut yang ada di kepala) diharapkan segala kesombongan dan segala keangkuhan yang melekat dalam diri manusia sirna atau hilang dalam diri manusia. Sehingga yang ada hanyalah ketertundukkan, kesederhanaan, kemurahatian, saling hormat menghormati yang kesemuanya sesuai dengan apa apa yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Jika kesombongan dan keangkuhan masih tetap bercokol dalam diri  dan menjadi perbuatan diri kita setelah pulang menunaikan ibadah Haji dan Umroh berarti ada yang salah dalam proses Tahallul yang kita laksanakan. Jangan sampai ini terjadi pada diri kita yang sudah berusaha semaksimal mungkin menunaikan ibadah Haji dan Umroh.

Aktivitas sujud dalam shalat memiliki kesamaan dengan aktivitas Tahallul, dimana keduanya sangat berhubungan dengan kepala. Jika pada Tahallul, rambut yang ada di kepala yang digunting ataupun yang dicukur. Lain halnya dengan sujud saat Shalat, dimana kepala harus diposisikan lebih rendah daripada bokong dan harus dilaksanakan di atas lantai sehingga kepala menjadi sejajar dengan kaki. Adanya posisi sujud yang sedemikian rupa, menunjukkan kepada kita bahwa dengan melakukan sujud di atas lantai sehingga kepala berada sejajar dengan kaki berarti melalui sujud kita telah menghilangkan segala bentuk kesombongan dan keangkuhan yang melekat di kepala sehingga menunjukkan bahwa kita bukanlah siapa siapa dan bukan apa apa dibandingkan dengan Allah SWT sehingga kita harus berperilaku terhormat dari waktu ke waktu. Sehari semalam kita sujud  minimal 34 (tiga puluh empat) kali dan ini seharusnya menjadikan diri kita rendah hati, tidak mau menang sendiri, tidak merasa diri benar orang lain salah, yang ada saling hormat menghormati sesama dan kondisi ini sejalan pula dengan maksud dan tujuan yang hakiki dari Tahallul yang kita lakukan yaitu menjadikan diri kita rendah hati dan juga penuh hormat kepada sesama. Sudahkah kita menyadari bahwa apa apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri sendiri, melainkan saling lengkap melengkapi yang intinya kita harus berperilaku terhormat dari waktu ke waktu.   


K.     WUKUF DI PADANG ARAFAH

Wukuf berasal dari kata Waqafa, yang artinya berhenti atau berdiam diri. Diam diartikan tidak menyibukkan diri kecuali dari mengingat Allah SWT, berdzikir dan berdoa hanya kepada Allah SWT. Wukuf dilakukan di sebuah padang pasir yang sangat luas yang bernama Padang Arafah dengan ketentuan waktu tertentu yaitu hanya diadakan setahun sekali setiap tanggal 09 Dzulhijjah yang waktunya dimulai dari menjelang Shalat Dzuhur sampai menjelang shalat Maghrib. Syarat dan ketentuan untuk melaksanakan Wukuf sangat berbeda dengan pelaksanaan Thawaf dimana setiap jamaah yang melaksanakan Thawaf wajib dalam kondisi bersih dari junub, haid ataupun dari hadats besar maupun hadats kecil tanpa terkecuali. Sedangkan prosesi Wukuf tidak terikat dengan kondisi tersebut sehingga jamaah Haji yang melakukan Wukuf tidak disyaratkan suci dari hadats besar maupun hadats kecil. Wukuf bisa dilaksanakan oleh setiap jamaah Haji yang sedang haid, nifas, junub, dan hadats kecil. 

Waktu Untuk Wukuf
A
AWAL
-          Secepat- cepatnya waktu Dzuhur tanggal 9 Dzulhijjah.
B
AKHIR
-          Secepat-cepatnya waktu Maghrib tanggal 9 Dzulhijjah.

Saat diri kita akan melaksanakan Wukuf di Padang Arafah berarti kita sudah melaksanakan ibadah Umroh yang terdiri dari Thawaf yang tidak lain kita sudah masuk ke dalam garis edar Allah SWT sehingga kita selalu di dalam kehendak Allah SWT. Kita sudah pula melaksanakan Sa’i yang tidak lain adalah napak tilas perjuangan dari keluarga Nabi Ibrahim as, serta kita juga telah Tahallul yang tidak lain kita telah menghilangkan segala kesombongan yang dalam diri kita. Inilah kondisi dasar diri kita sebelum menunaikan Wukuf di Padang Arafah dan mudah mudahan dengan kondisi ini akan memudahkan diri kita menghadiri acara Open House (jamuan resmi Allah SWT) yang dilaksanakan oleh Allah SWT dalam rangka menyambut seluruh tamu yang telah diundang-Nya menunaikan ibadah Haji.

Sekarang katakan hari ini tanggal 08 Dzulhijjah berarti seluruh jamaah Haji Tamattu yang tidak mengambil prosesi Tarwiyah sedang mempersiapkan diri sebaik mungkin lalu kenakanlah Ihram lalu ambillah Miqat dari pemondokan masing masing kemudian tinggalkanlah kota Makkah, berjalanlah ke arah timur menuju Padang Arafah, dan berhentilah di Padang Arafah hingga matahari terbenam di hari yang ke sembilan Dzulhijjah guna untuk menghadiri dan merasakan langsung Open House yang diselenggarakan oleh Allah SWT yang hanya setahun sekali. Adapun kegiatan saat Wukuf di Padang Arafah terdiri dari mendengarkan khutbah Wukuf; Shalat Zhuhur dan Ashar jama’ taqdim dan qasar, dilanjutkan dengan melaksanakan Wukuf; Selama Wukuf memperbanyak Talbiyah, zikir, membaca Al Qur’an dan berdoa; Wukuf diakhiri dengan Shalat Maghrib dan Isya jama’ taqdim dan qasar selanjutnya bersiap siap untuk menuju Muzdalifah untuk Mabid disana.

Wukuf di Padang Arafah merupakan inti dari pada ibadah Haji yang kita laksanakan. Dimana seluruh jamaah Haji harus hadir dalam kondisi apapun juga di Padang Arafah pada waktu tertentu dan saat tertentu pula. Jika sampai kita yang berhaji tidak hadir pada saat Wukuf maka hajinya tidak Sah dan wajib diulang pada tahun berikutnya. Ibadah Wukuf tidak bisa digantikan dengan ibadah lainnya sehingga ibadah Wukuf tidak bisa dikenakan Dam bagi yang meninggalkannya. Ibadah Wukuf tidak bisa digantikan dengan orang lain atau diwakilkan oleh orang lain oleh sebab apapun juga. Jamaah Haji harus hadir dalam kondisi apapun sehingga ada istilah jamaah Haji yang sakit disafari wukufkan agar ia hadir di Padang Arafah walaupun hanya sebentar dan di dalam kendaraan. 

Dalam sebuah hadits: Nabi Muhammad SAW wukuf di Arafah, di saat matahari hampir terbenam. Beliau berkata: Wahai Bilal suruhlah umat manusia mendengarkan saya, Maka Bilal pun berdiri seraya berkata: Dengarkanlah Rasulullah SAW maka mereka mendengarkan, lalu Nabi  bersabda: Wahai umat manusia, baru saja Jibril as, datang kepadaku, maka dia membacakan salam dari Tuhanku dan dia mengatakan: Sungguh Allah SWT mengampuni dosa dosa  orang yang berwukuf di Arafah  dan orang orang bermalam di Masy’aril Haram (Muzdalifah)  dan menjamin membebaskan mereka dari tuntutan balasan dan dosa dosa mereka. Maka Umar ibn Khattab pun berdiri dan bertanya, Ya Rasulullah, apakah ini khusus untuk kita kita saja? Rasulullah menjawab: Ini untukmu dan untuk orang orang yang datang sesudahmu hingga hari kiamat kelak. Umar ra, pun lalu berkata, Kebaikan Allah sungguh banyak dan dia Maha Pemurah”.
(Hadits Riwayat Ibnu Mubarik dari Sufyan al Tsauri dari Zubair Ibn Uday dari Anas)

“Tiada hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka selain dari Hari Arafah:.
(Hadits Riwayat Muslim)

Berdasarkan ketentuan hadits di atas, setiap orang yang melaksanakan Wukuf di Padang Arafah dan juga yang Mabid di Muzdalifah akan memperoleh ampunan dari dosa dosa mereka dari Allah SWT. Wukuf juga merupakan saat dimana Allah SWT selaku Tuan Rumah dan juga selaku pengundang mengadakan Open House bagi seluruh tamu yang telah diundangnya untuk melaksanakan ibadah Haji dimana Tuan Rumah mempersilahkan kepada seluruh tamu yang hadir untuk mengajukan apapun kepada-Nya dan Allah SWT siap memberikan apa apa yang diminta dan dimohonkan oleh tamunya. Untuk itu kita harus mempersiapkan segala doa dan harapan yang akan kita ajukan dan mohonkan kepada Allah SWT saat Wukuf di Padang Arafah.

Wukuf di Padang Arafah hanya dibuka oleh Allah SWT setahun sekali dan hanya berlaku khusus untuk jamaah Haji semata, jamaah Umroh tidak memiliki kesempatan untuk melaksanakan Wukuf. Wukuf yang hanya ada setahun sekali berarti kesempatan untuk menghadiri Open House hanya ada setahun sekali pula. Apabila saat ini kita menunaikan ibadah Haji berarti kesempatan untuk menghadiri Open House Allah SWT di Padang Arafah yang kita hadiri saat ini bisa bermakna kesempatan pertama dan juga kesempatan terakhir karena kita tidak tahu apakah akan memiliki  kesempatan lagi untuk menghadiri Open House yang diadakan di Padang Arafah. Ingat usia kita saat ini dan kemudian lamanya masa tunggu dari ibadah Haji yang berlaku saat ini.

Untuk itu tidak ada jalan lain bagi diri kita yang memiliki kesempatan menghadiri Open House di Padang Arafah, untuk bisa semaksimal mungkin menghadirinya dan mampu pula memaksimalkan apa apa yang terbaik yang bisa kita sampaikan kepada Allah SWT melalui doa dan harapan yang kita panjatkan. Lalu sudahkah kita mempersiapkan segala doa dan harapan yang terbaik untuk kita panjatkan dan mohonkan kepada Allah SWT. Jangan sampai kesempatan yang hanya ada satu tahun sekali dan yang lamanya hanya kurang lebih 6 (enam) jam saja, tidak bisa kita manfaatkan semaksimal mungkin. Jangan pula kita hanya bisa mengaminkan doa yang dipanjatkan  orang lain karena kita tidak bisa mengajukan doa sendiri kepada Allah SWT karena kecerobohan, karena kebodohan, karena ketidaktahuan, karena kemalasan, karena kekotoran Ruh/Ruhani, sehingga kita tidak mampu memanfaatkan waktu yang ada.
  
Dari Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari kakeknya ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Doa yang paling utama di Arafah dan yang paling utama dari apa yang aku katakana dan para nabi sebelumku adalah: “Tiada Tuhan kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu bagi Nya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi)

Inilah salah satu doa yang paling utama yang disampaikan di Padang Arafah saat Wukuf (doa lain saat yang bisa dimohonkan saat Wukuf ada di bab terakhir buku ini). Tentu saja dikatakan secara berulang ulang sekaligus dihayati dan diresapi isi dan kandungan dari doanya. Disamping doa tersebut, kita diperbolehkan pula untuk meminta langsung segala kebutuhan kita kepada Allah SWT, baik urusan dunia ataupun urusan akhirat serta utamakan untuk memohon ampunan dan curahan rahmat, hidayah dan taufik, keselamatan dunia dan akhirat, untuk pribadi, keluarga,orang tua, anak keturunan, saudara saudara kita serta seluruh umat Islam. Sebaiknya dan memang seharusnya doa dan harapan yang akan kita mohonkan kepada Allah SWT sudah kita persiapkan baik dari doa doa dari Al Qur’an ataupun dari hadits serta jangan lupa doakanlah mereka yang berpesan untuk minta didoakan di Padang Arafah.  

Jangan sampai diri kita yang saat itu memiliki kesempatan berada di tempat yang terbaik, berada di saat yang terbaik, yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup justru kita hanya mampu membaca doa tanpa pernah bisa berdoa kepada Allah SWT. Hal ini dikarenakan antara membaca doa dengan berdoa adalah dua hal yang sangat berbeda sehingga sangat berbeda jauh kualitasnya. Sekali lagi kami ingatkan, jangan pernah membaca doa kepada Allah SWT melainkan berdoalah hanya kepada Allah SWT. 

Jangan sampai kita hanya bisa menjadi penonton atau menjadi komentator atau hanya mampu menjadi pengagum dari pelaksanaan Wukuf di Padang Arafah, padahal kita ada disana untuk melaksanakan Wukuf. Hal ini dikarenakan kita tidak mampu menjadi tamu yang kedatangannya sudah ditunggu-tunggu oleh Tuan Rumah atau kerena kita menjadi tamu yang tidak dikehendaki oleh Tuan Rumah saat wukuf sehingga kita hanya bisa mengantuk, sakit, tidur atau sibuk dengan urusan urusan pribadi yang tidak berhubungan dengan makna yang hakiki dari pelaksanaan Open House yang hanya terjadi setahun sekali seperti sibuk dengan urusan makan dan minum, sibuk dengan urusan ke kamar mandi serta photo photo yang tidak ada hubungannya dengan ibadah yang sedang berlangsung.

Sebagai tamu yang sudah diundang untuk menghadiri Open House yang diadakan oleh Allah SWT hanya setahun sekali, jangan pernah melewatkan kesempatan yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup berlalu tanpa kesan, berlalu apa adanya karena kebodohan yang kita miliki. Kita harus bisa memanfaatkan peristiwa/moment yang sangat bernilai dan langka bagi diri kita menjadi hal yang paling berkesan dan bermakna dalam hidup sehingga tidak bisa kita lupakan pengalaman lahir dan bathin selama hidup serta menjadi mampu menjadi bekal kita selama kita hidup di dunia yang pada akhirnya mampu menghantarkan kita Syurga kelak untuk bertemu dengan Allah SWT selaku pemilik dan pencipta alam semesta ini.
 
L.    MABID DI MUZDALIFAH

Setelah diri kita selesai melaksanakan Wukuf di Padang Arafah, kemudian berangkatlah menuju Muzdalifah untuk Mabid (bermalam disana). Sebelum meninggalkan Padang Arafah, shalat Maghrib dan Isya dengan jama’ taqdim dani diqashar. Mabid di Muzdalifah dimulai setelah shalat Maghrib sampai dengan terbit fajar 10 Dzulhijjah dan Mabid di Muzdalifah boleh dilakukan sesaat saja asal sudah lewat tengah malam. Selama Mabid di Muzdalifah setiap jamaah Haji ditekankan untuk mengumandangkan talbiyah atau takbir dan tahlil dan sebelum meninggalkan Muzdalifah dianjurkan untuk berdoa sambil menghadap Qiblat dan mengangkat tangan. Mabid di Muzdalifah merupakan salah satu wajib Haji yang harus dilaksanakan oleh setiap jamaah Haji, namun demikian apabila seorang jamaah tidak melakukan salah satu wajib Haji maka ia dikenakan Dam dengan menyembelih seekor kambing atau bisa diganti dengan melaksanakan puasa.

tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
(surat Al Baqarah (2) ayat 198)

[125] Ialah bukit Quzah di Muzdalifah.

Saat jamaah Haji melaksanakan Mabid di Muzdalifah maka pada saat itu pula jamaah Haji akan mengambil dan mengumpulkan batu kerikil untuk keperluan Jumroh pada tanggal 10, 11, 12 bagi yang mengambil Nafar Awal atau mengumpulkan batu untuk keperluan Jumroh pada tanggal 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah bagi jamaah yang mengambil Nafar Tsani. Dengan ketentuan bagi jamaah Nafar Awal harus mempersiapkan batu kerikil sejumlah 49 (empat puluh sembilan) batu sedangkan bagi jamaah Nafar Tsani harus mempersiapkan batu kerikil sejumlah 70 (tujuh puluh) batu.

Setelah batu kerikil terkumpul bukan berarti kita telah siap dan bisa memerangi syaitan atau mampu melempar syaitan dengan batu kerikil padahal syaitan tidak bisa kita lihat. Konsep Jumroh yang seperti ini bukanlah konsep yang bermakna hakiki. Konsep ini harus kita rubah dengan menyatakan bahwa dengan telah terkumpulnya batu untuk melaksanakan Jumroh berarti pada saat kita meninggalkan Muzdalifah untuk menuju Mina telah siap untuk memerangi, melempar serta membuang jauh jauh nilai nilai syaitani yang ada pada diri kita sehingga setelah Jumroh kita laksanakan yang ada pada diri kita adalah hanyalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Ayo kita berubah karena hanya dengan perubahanlah kita bisa merasakan hasil akhir yang hakiki dari ibadah Haji dan Umroh yang kita laksanakan.

M.    JUMROH 

Setiap jamaah Haji yang telah menyelesaikan Mabid di Muzdalifah akan bergerak menuju Mina untuk melaksanakan prosesi melontar Jumroh Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Yaum al Nahr). Setelah itu jamaah Haji akan melakukan Mabid di Mina yaitu bermalam di Mina pada hari hari Tasyrik (malam tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Mabid di Mina merupakan salah satu wajib Haji sehingga apabila tidak  dilaksanakan akan dikenakan Dam dengan menyembelih satu ekor kambing atau berpuasa. Bagi jamaah haji yang mengambil Nafar Awal akan Mabid di Mina pada malam tanggal 11 Dzulhijjah dan 12 Dzulhijjah sedangkan bagi jamaah yang mengambil Nafar Tsani akan Mabid di Mina malam tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Adapun syarat dan cara melontar Jumroh Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Yaum al Nahr) dapat kami kemukakan sebagai berikut:

a.       Jamaah sudah melaksanakan Mabid di Muzdalifah.
b.      Berdiri menghadap qiblat, qiblat (Makkah) berada di sebelah kiri kita.
c.       Melontar dengan batu kerikil sebanyak tujuh lontaran dengan setiap lontaran satu batu kerikil, tidak diperkenankan untuk langsung melontar dengan tujuh batu sekaligus karena tetap dihitung satu lontaran.
d.      Setiap lontaran disertai membaca “Bismillah Allahuakbar.
e.       Selesai melontar dilanjutkan dengan berdoa (tanpa mengangkat tangan) dengan doa: “Ya Allah jadikanlah Haji ini Haji yang mabrur dan dosa yang diampuni”.

Waktu melontar 3(tiga) Jumroh,  Ula, Wustha dan Aqabah, bisa dilaksanakan pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah saja, kondisi ini disebut dengan Nafar Awal. Dan bisa juga mulai dari tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, kondisi ini disebut dengan Nafar Tsani.

dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang[128]. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan Barangsiapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula baginya[129], bagi orang yang bertakwa. dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.
(surat Al Baqarah (2) ayat 203)

[128] Maksud dzikir di sini ialah membaca takbir, tasbih, tahmid, talbiah dan sebagainya. beberapa hari yang berbilang ialah tiga hari sesudah hari raya haji Yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Zulhijjah. hari-hari itu dinamakan hari-hari tasy'riq.
[129] Sebaiknya orang haji meninggalkan Mina pada sore hari terakhir dari hari tasy'riq, mereka boleh juga meninggalkan Mina pada sore hari kedua.

Adapun teknis dari pelaksanaan melontar 3(tiga) jumroh, Ula, Jumroh Whusta, dan Jumroh Aqabah pada tanggal 11 Dzulhijjah, dapat kami kemukakan sebagai berikut:

a.       Jamaah sudah menyelesaikan melontar Jumroh Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Yaum al Nahr).
b.      Melontar secara berurutan yang dimulai dari Jumroh Ula lalu berdiri menghadapnya.
c.       Kiblat (Makkah) berada di sebelah kiri kita.
d.      Melontar dengan batu kerikil sebanyak tujuh kali dengan setiap lontaran dengan mengucapkan “Bismillah Allahuakbar”
e.       Setelah selesai melontar mencari tempat yang lenggang untuk berdoa sesuai dengan keperluan masing masing sambil mengangkat tangan dan menghadap Kiblat.
f.       Setelah selesai melontar Jumrah Ula kemudian menuju Jumroh Wustha untuk melontarnya dengan cara yang sama seperti melontar Jumroh Ula.
g.      Setelah selesai melontar Jumroh Wustha kemudian menuju Jumroh Aqabah untuk melontarnya dengan cara melontar yang sama seperti melontar Jumroh Wustha. Hanya setelah melontar Jumroh Aqabah langsung berdoa tanpa mengangkat kedua tangan dengan doa: “Ya Allah jadikanlah Haji ini Haji yang Mabrur dan dosa yang diampuni’.

Pada tanggal 12 Dzulhijjah kembali melontar 3(tiga) Jumroh, prakteknya sama dengan melontar Jumroh pada tanggal 11 Dzulhijjah. Setelah selesai melontar 3(tiga) Jumroh ini jamaah haji boleh langsung kembali ke Makkah untuk melaksanakan salah satu rukun Haji terakhir yaitu Thawaf Ifhadah dan ini disebut dengan Nafar Awal. Bagi yang mau melaksanakan Nafar Tsani kembali ke tenda untuk esok hari melontar kembali 3(tiga) Jumroh, setelah selesai bisa langsung ke Makkah untuk melaksanakan salah satu rukun Haji terakhir yaitu Thawaf Ifhadah dan cara ini disebut dengan Nafar Tsani.

Itulah arti secara tersurat dari Jumroh yang artinya melempar atau melakukan pelemparan dengan batu-batu kecil di tiga tempat, yaitu Jumroh ‘Ula, Jumroh Wustha, Jumroh ‘Aqabah. Tradisi jumrah ini bermula dengan peristiwa yang menimpa Nabi Ibrahim as, ketika mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail. Kebimbangan Nabi Ibrahim as, antara mengikuti perintah Allah SWT tersebut dengan perasaan berat dirinya untuk mengorbankan putranya dimanfaatkan oleh Syaitan untuk menggoda beliau agar tidak melaksanakan perintah Allah SWT tersebut karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk memenangkan perintah Allah SWT, maka Nabi Ibrahim as, berusaha mengusir Syaitan tersebut dengan melemparnya dengan tujuh buah batu kecil. Tetapi ternyata setelah beberapa ratus meter berjalan, Syaitan datang lagi untuk menggoda kedua kalinya. Maka pelemparan pun terjadi lagi untuk yang kedua kalinya, dan larilah Syaitan dari hadapannya.

Tetapi syaitan bukanlah Syaitan kalau ia cepat putus asa dalam menggoda manusia, maka untuk terakhir kalinya, sebelum penyembelihan Ismail betul-betul dilaksanakan, Syaitan menggoda kembali Nabi Ibrahim as, setelah beliau mencapai tempat penyembelihannya di Jumrah Aqabah. Maka Nabi Ibrahim as, pun untuk ketiga kalinya melempari Syaitan dengan tujuh kerikil untuk mengusir kembali Syaitan dari hadapannya. Ketika Syaitan pergi, bulatlah tekad Nabi Ibrahim as, dan dilakukanlah tindakan yang paling berat yang pernah dihadapi seorang manusia, yaitu menyembelih putranya sendiri. Kemudian kita tahu bahwa Allah SWT menggantikan Ismail dengan seekor domba.

Prinsip perang adalah jangan pernah berasumsi musuh tidak akan datang, melainkan bersiaplah menyambut kedatangannya. Jangan menduga musuh tidak akan menyerang melainkan buatlah agar posisi anda tidak bisa bisa diserang.
(Sun Tzu)

Adapun filosofi yang terdapat dibalik peristiwa itu juga berkaitan dengan pensucian jiwa. Pengorbanan hewan yang dilakukan seseorang pada hari Idul Adha, melambangkan pengorbanan nafsu hewani yang ada dalam diri manusia. Jadi ketika melakukan pengorbanan hewan tersebut, maka hendaknya diniatkan untuk menghilangkan nafsu hewani dalam diri kita. Sedangkan melempar Jumrah sebanyak sekian batu, dimaksudkan sebagai simbolisme untuk menghilangkan, atau melemparkan bermacam-macam jenis penyakit hati yang mengotori setiap jiwa manusia, dengan demikian sucilah jiwa manusia yang telah melakukan Jumrah tadi dari segala kekotoran hawa nafsu. Dengan demikian, diharapkan kita akan menjadi manusia yang lebih baik setelah kembali ke tanah air, yang itu merupakan tanda diterima atau tidaknya ibadah haji seseorang, atau dengan kata lain mabrur atau tidaknya haji seseorang.

Melontar Jumroh bukanlah melempar Syaitan yang sesungguhnya dengan batu kerikil dalam jumlah tertentu. Akan tetapi melontar atau membuang sesuatu yang ada di dalam diri kita, dalam hal ini adalah sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) yang sesuai dengan nilai nilai syaitani sehingga yang ada di dalam diri setelah melontar Jumroh yang ada hanyalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang kesemuanya sesuai dengan kehendak Allah SWT. Selanjutnya untuk mempertegas makna hakiki dari melontar Jumroh, ada baiknya kami mengemukakan hal-hal sebagai berikut: katakan kita sedang marah, lalu kita melempar piring menjadi piring terbang menuju ke seseorang. Timbul pertanyaan, yang hakiki saat diri kita melempar piring, apakah yang kita lempar itu piring yang menjadi piring terbang semata ataukah kekesalan kita yang kita lempar yang terefleksikan menjadi piring terbang?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah secara kasat mata memang kita melempar piring, akan tetapi dengan melempar piring menjadi piring terbang merupakan manipestasi dari dikeluarkannya kekesalan yang ada pada diri kita sehingga hilang menjadi kebaikan. Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita melaksanakan Jumroh, dimana secara kasat mata kita melemparkan batu, akan tetapi secara hakiki bukanlah batu yang kita lempar. Yang kita lempar adalah sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) yang berjumlah sebanyak batu yang kita lempar yang kesemuanya merupakan pintu masuk bagi Syaitan untuk menggoda diri kita. Sehingga dengan tidak ada lagi pintu masuk bagi Syaitan maka nilai-nilai kebaikan (Nass) yang dikehendaki oleh Allah SWT menjadi perilaku diri kita yang tercermin di dalam Ikhsan, sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.

Sekarang mari kita hitung jumlah batu yang kita lontar saat jumroh, bagi yang Nafar Awal jumlah batu yang dilontar ke Ula sebanyak 14 batu kerikil, ke Wustha sebanyak 14 batu kerikil sedangkan ke Aqabah sebanyak 21 batu kerikil. Sedangkan bagi yang Nafar Tsani jumlah batu yang dilontar ke Ula adalah 21 batu kerikil, ke Wustho sebanyak 21 batu kerikil sedangkan ke Aqabah sebanyak 28 batu kerikil. Di lain sisi Ula merupakan perlambang dari perbuatan dosa dosa kecil, Wustha adalah perlambang dari perbuatan dosa dosa menengah sedangkan Aqabah adalah perlambang dari perbuatan dosa dosa besar. Dengan diri kita melontar Jumroh dengan cara Nafar Awal berarti kita telah membuang 14 nilai nilai syaitaniah perlambang dari perbuatan  dosa yang kecil, 14 nilai nilai syaitaniah perlambang dari perbuatan dosa berskala menengah dan 21 nilai nilai syaitaniah perlambang dari perbuatan dosa berskala besar,  yang kesemuanya bersarang dalam diri. Setelah diri kita melontar Jumroh sebanyak 49 kali lontaran berarti 49 perlambang nilai nilai syaitaniah yang ada dalam diri telah hilang sehingga yang ada hanyalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kondisi inilah yang harus kita pertahankan selama hayat masih di kandung badan dan inilah pula cerminan dari Haji yang mabrur.  

Katakan saat ini, kita sudah melaksanakan Jumroh dan sudah pula pulang ke tanah air, lalu sudahkah perilaku diri kita berubah dikarenakan Nilai-Nilai Keburukan yang ada di dalam diri kita sudah kita buang melalui Jumroh sehingga yang ada saat ini adalah Nilai-Nilai Kebaikan? Jika apa-apa yang dikehendaki oleh Syaitan masih menjadi perbuatan diri kita berarti ada yang salah di dalam Jumroh yang kita laksanakan atau ada yang salah di dalam ibadah haji yang kita laksanakan. Akan tetapi jika setelah pulang melaksanakan ibadah haji kita menjadi lebih baik dari waktu ke waktu dengan selalu berbuat kebaikan atau bahkan mampu berbuat sesuatu yang bisa dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari maka inilah yang dikehendaki oleh Allah SWT dan ini pulalah yang tidak dikehendaki oleh Syaitan. Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita masing-masing, mau sesuai dengan kehendak Allah SWT ataukah mau sesuai dengan kehendak Syaitan dan yang pasti kitalah yang membutuhkan ibadah Haji, bukan Allah SWT yang membutuhkan ibadah Haji. Jadi tentukanlah sikap sekarang juga karena kita tidak tahu kapan Malaikat Maut melaksanakan tugasnya kepada diri kita.

N.     KURBAN

Ibadah Kurban adalah rangkaian ibadah yang tidak bisa dipisahkan dengan ibadah Haji yang kita laksakanan, terutama ibadah Jumroh. Ibadah Kurban juga tidak bisa dilepaskan dengan keluarga Nabi Ibrahim as, dimana Nabi Ibrahim as, diperintahkan untuk menyembelih Nabi Ismail, yang kemudian perintah itu diganti dengan menyembelih kambing. Dan yang harus kita perhatikan adalah kambing, domba, sapi, kerbau, unta  ataupun binatang ternak lainnya bukanlah tujuan yang hakiki dari pelaksanaan ibadah kurban. Kambing, domba, sapi, kerbau, unta  ataupun binatang ternak lainnya hanyalah simbol dari pelaksanaan ibadah kurban.

Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa secara kasad mata atau secara tersurat memang kambing, domba, sapi, kerbau, unta  ataupun binatang ternak lainnya yang disembelih atau dipotong. Akan tetapi makna yang hakiki dari itu bukanlah memotong kambing, domba, sapi, kerbau, unta  ataupun binatang ternak lainnya, melainkan ada sesuatu yang lebih dari itu semua. Apakah itu? Ibadah kurban adalah ibadah untuk memotong kecintaan diri kita dengan harta kekayaan, kedudukan, mobil, cinta, keluarga, uang, rumah, kelas sosial, kebun, pakaian, keelokan paras, profesi, ketenaran, ahwa, atau yang lainnya sehingga yang ada hanyalah ikhlas kepada Allah SWT semata. Sekarang bagaimana dengan diri kita yang juga telah diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkurban? Jika kita berkurban pada saat melaksanakan ibadah Haji berarti pada saat melaksanakan ibadah Kurban posisi diri kita harus sudah dalam keadaan :

a.       sudah  menyatakan ketauhidan (monotheisme) yaitu hanya bertuhankan kepada Allah SWT semata dengan melakukan Thawaf.
b.      sudah melaksanakan napak tilas perjuangan Siti Hajar dengan melakukan Sa’i.
c.       sudah menghadiri open house yang dilaksanakan oleh Allah SWT di Arafah dengan melakukan Wukuf.
d.      sudah membuang Nilai-Nilai Keburukan yang paling dikehendaki oleh Syaitan dengan melakukan Jumroh.

Jika saat ini kita yang akan melaksanakan ibadah Kurban, berarti posisi diri kita pada saat akan berkurban di Mina sudah kembali fitrah atau sudah dikembalikan fitrah oleh Allah SWT atau jiwa kita sudah berada di dalam kategori Jiwa Taqwa sehingga sempurnalah pelaksanaan Rukun Islam yang kita laksanakan, yang selanjutnya kita harus siap mempertunjukkan kepada keluarga, kepada masyarakat, kepada bangsa dan negara, apa yang dinamakan dengan ibadah Ikhsan. Dan jika ini kondisinya berarti sempurnalah diri kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah sehingga akan terlihat dengan jelas bahwa Islam adalah Rahmat bagi seluruh alam. Sebagai orang yang telah melaksanakan ibadah haji, sudahkah kita mampu melaksanakan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT? Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas belum bisa kita laksanakan berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.

Sekarang bagaimana dengan diri kita yang melaksanakan ibadah Kurban di tanah air? Melaksanakan ibadah Kurban di tanah air pada prinsipnya hampir sama dengan ibadah Kurban yang dilaksanakan di Mina pada waktu melaksanakan ibadah haji, yaitu kita harus bisa meletakkan dan menempatkan hewan kurban yang akan kita kurbankan hanyalah simbol sehingga hewan kurban bukanlah hakekat dari dari ibadah Kurban yang kita laksanakan. Ibadah Kurban haruslah ibadah untuk menghilangkan kecintaan diri kita terhadap sesuatu, atau ibadah untuk meniadakan atau menghilangkan ahwa yang di dalam diri.  Ibadah kurban yang kita laksanakan haruslah menjadi ibadah untuk menghilangkan nilai-nilai keburukan yang diganti dengan nilai-nilai kebaikan sehingga mampu menghentikan dan mengilangkan hal-hal yang dikehendaki oleh Syaitan menjadi hal-hal yang dikehendaki oleh Allah SWT. Ibadah kurban yang kita laksanakan haruslah menjadi  ibadah dalam rangka menjadikan jiwa kita menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah dan jiwa muthmainnah), atau ibadah untuk menghilangkan jiwa fujur menjadi jiwa taqwa.

Lalu bagaimana kita bisa membuktikan jika kita telah mampu melaksanakan ibadah Kurban? Seseorang baru bisa dikatakan telah mandi, jika setelah mandi orang tersebut segar, sehat, tidak menggaruk kegatalan serta hilangnya daki di badan. Hal yang samapun harus terjadi di dalam diri setelah diri kita berkurban, yaitu nilai-nilai keburukan yang merupakan sifat alamiah jasmani (insan) yang dikehendaki oleh syaitan hilang diganti dengan nila-nilai kebaikan yang merupakan sifat alamiah ruh/ruhani (nass) yang dikehendaki oleh Allah SWT dan itulah yang menjadi perbuatan diri kita. Selain daripada itu, dengan diri kita telah melaksanakan kurban berarti masyarakat menjadi tertolong, terbantu oleh sebab adanya diri kita dan jika saat ini kita masih menjadi beban masyarakat karena ulah diri kita berarti ada yang salah dalam diri kita dan kondisi ini tidak dikehendaki oleh Allah SWT.
 

Sebagai Khalifah di muka bumi yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, ketahuilah apa yang telah kami kemukakan di atas tentang pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh termasuk di dalamnya syarat dan ketentuan ibadah Haji dan Umroh, hanyalah sebagian kecil dari pengertian apa yang dimaksud dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang kami ketahui. Hanya Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling mengerti tentang ibadah Haji dan Umroh karena Allah SWT yang memerintahkan dan mewajibkan itu semua. Dan jika kita berharap dan berkeinginan ingin lebih tahu, lebih mengerti serta ingin lebih memahami dari apa apa yang telah kami kemukakan di atas, belajarlah langsung kepada Allah SWT dan semoga Allah SWT memberikan itu semua kepada hamba-Nya yang berkehendak untuk mendapatkan itu semua yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini penting kami kemukakan karena jangan sampai kesempatan menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang mungkin hanya sekali dalam seumur hidup, sirna begitu saja, berlalu tanpa kesan, hilang seperti debu yang yang terkena hujan atau bagi yang telah melaksanakan ibadah haji dan umorh buku ini bisa dijadaikan bahan renungan ini untuk memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar