J. TAHALUL
Tahallul berasal dari kata halal,
yang artinya adalah penghalalan diri. Apabila telah selesai menuju Allah SWT,
diri yang telah diharamkan harus dihalalkan kembali sehingga dapat berhubungan
lagi dengan dunia sekeliling dengan cara menggunting beberapa helai rambut.
Jika shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam sebagai
tahalulnya, maka Haji dan Umroh diawali dengan ihram dan diakhiri dengan
tahalul. Setelah Tahallul, selesai sudah ibadah Umroh dalam kerangka Haji
Tamattu. Jamaah Haji diperbolehkan berganti pakaian dengan pakaian biasa dan
bebas dari seluruh larangan Ihram, selanjutnya menunggu tanggal 8 Dzulhijjah
untuk pelaksanaan Haji.
Tahallul baru bisa dilaksanakan
oleh jamaah Haji ataupun jamaah Umroh jika jamaah telah selesai melaksanakan
Sa’i dan pada saat itu jamaah masih mengenakan Ihram. Jika Tahallul tidak
dilaksanakan oleh jamaah yang telah melaksanakan Sa’i maka jamaah masih terus
terikat dengan ketentuan Ihram dan hanya melalui Tahallul inilah jamaah bisa
melepaskan diri dari ketentuan ihram. Tahallul adalah ibadah penghalalan bagi
jamaah Haji dan Umroh setelah terikat dengan ketentuan Ihram.
Tahallul tidak mengenal apa yang
dinamakan dengan istilah Tahallul sunnah. Tahallul terikat dengan ketentuan
Ihram semata sehingga setiap ibadah Haji dan Umroh yang diiringi dengan kewajiban berihram seperti Thawaf Qudum yang
dilanjutkan dengan Sa’i atau Thawaf Umroh yang dilanjutkan dengan Sa’i harus di
akhiri dengan Tahallul. Adapun ketentuan cara memotong rambut adalah :
a. Bagi laki laki dengan memotong sebagian
rambut kepala atau mencukur habis. Jika mencukur dimulai dari separuh kepala
bagian kanan kemudian separuh bagian kiri.
b. Bagi perempuan hanya memotong sebagian rambut
kepala (minimal 3(tiga) helai).
c. Bagi jamaah yang tidak tumbuh rambut di
kepalanya (botak), cukup dengan menempelkan pisau cukur/gunting sebagai isyarat
mencukur/memotong rambut.
d. Diperbolehkan untuk memotong rambut sendiri
atau dengan bantuan orang lain. Seorang pria boleh menggunting rambut perempuan
atau sebaliknya, apabila ada hubungan mahram. Bila tidak ada hukumnya
haram.
Mencukur rambut hanya diperintahkan
untuk kaum laki laki sedangkan perempuan tidak wajib berdasarkan hadits dibawah
ini.
Rasulullah SAW bersabda: Tidak ada keharusan bagi
perempuan untuk bercukur (dalam Tahallul), akan tetapi diharuskan untuk
memotong (rambut kepala).
(Hadits Riwayat Abu Dawud)
Cara
Tahalul
Bagi Ibadah Haji :
-Cukur/potong rambut
-Lontar Jumroh Aqabah
-Thawaf Ifadhah dan Sa’i
Tahallul Awal, bila 2 dari 3 di atas
dilakukan
Tahallul Tsani, bila ketiga hal di atas
dilakukan
|
Bagi Ibadah Umrah :
- Cukur atau potong rambut setelah Thawaf
Umroh dan Sa’i dalam kondisi berihram.
|
Tahallul oleh banyak orang sering
diartikan dengan memotong rambut (cukur), pengertian ini tidak selamanya benar.
Dalam ibadah Umroh cara bertahallul dengan memotong atau mencukur rambut, tapi
dalam ibadah Haji cara Tahallulnya berbeda. Tahallul adalah keadaan seseorang
yang sudah bebas (halal) dari ihramnya karena telah menyelesaikan amalan amalan
manasik hajinya. Tahallul terbagi dalam 2 bagian yaitu Tahallul awal (pertama)
dan Tahallul Tsani (kedua). Tahallul awal ialah melepaskan diri dari keadaan
ihram setalah melakukan dua diantara tiga perbutan yaitu:
a. Melontar Jumroh Aqabah dan
menggunting/mencukur rambut.
b. Thawaf Ifhadah, Sa’i dan menggungting/mencukur rambut.
c. Thawaf Ifhadah, Sa’i dan melontar Jumroh
Aqabah.
Sedangkan Tahallul Tsani ialah
suatu keadaan seseorang setelah melakukan ketiga perbuatan di atas yaitu
melontar Jumroh Aqabah, bercukur dan Thawaf Ifhadah beserta Sa’i. Orang yang telah bertahallul awal sudah boleh
melakukan perbuatan keduniaan apapun seperti berpakaian biasa, memakai
wangi-wangian, kecuali hubungan suami istri. Hubungan suami istri hanya boleh
dilakukan setelah Tahallul Tsani.
Sebagai jamaah Haji dan Umroh
yang berkepentingan dengan Haji yang mabrur ketahuilah bahwa kepala adalah
letak dan perlambang dari kesombongan dan keangkuhan manusia. Dengan
melaksanakan Tahallul (mencukur atau memotong rambut yang ada di kepala) diharapkan
segala kesombongan dan segala keangkuhan yang melekat dalam diri manusia sirna
atau hilang dalam diri manusia. Sehingga yang ada hanyalah ketertundukkan,
kesederhanaan, kemurahatian, saling hormat menghormati yang kesemuanya sesuai
dengan apa apa yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Jika kesombongan dan
keangkuhan masih tetap bercokol dalam diri
dan menjadi perbuatan diri kita setelah pulang menunaikan ibadah Haji
dan Umroh berarti ada yang salah dalam proses Tahallul yang kita laksanakan.
Jangan sampai ini terjadi pada diri kita yang sudah berusaha semaksimal mungkin
menunaikan ibadah Haji dan Umroh.
Aktivitas sujud dalam shalat
memiliki kesamaan dengan aktivitas Tahallul, dimana keduanya sangat berhubungan
dengan kepala. Jika pada Tahallul, rambut yang ada di kepala yang digunting
ataupun yang dicukur. Lain halnya dengan sujud saat Shalat, dimana kepala harus
diposisikan lebih rendah daripada bokong dan harus dilaksanakan di atas lantai
sehingga kepala menjadi sejajar dengan kaki. Adanya posisi sujud yang
sedemikian rupa, menunjukkan kepada kita bahwa dengan melakukan sujud di atas
lantai sehingga kepala berada sejajar dengan kaki berarti melalui sujud kita
telah menghilangkan segala bentuk kesombongan dan keangkuhan yang melekat di
kepala sehingga menunjukkan bahwa kita bukanlah siapa siapa dan bukan apa apa dibandingkan
dengan Allah SWT sehingga kita harus berperilaku terhormat dari waktu ke waktu.
Sehari semalam kita sujud minimal 34
(tiga puluh empat) kali dan ini seharusnya menjadikan diri kita rendah hati, tidak
mau menang sendiri, tidak merasa diri benar orang lain salah, yang ada saling
hormat menghormati sesama dan kondisi ini sejalan pula dengan maksud dan tujuan
yang hakiki dari Tahallul yang kita lakukan yaitu menjadikan diri kita rendah
hati dan juga penuh hormat kepada sesama. Sudahkah kita menyadari bahwa apa apa
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri
sendiri, melainkan saling lengkap melengkapi yang intinya kita harus
berperilaku terhormat dari waktu ke waktu.
K. WUKUF
DI PADANG ARAFAH
Wukuf berasal
dari kata Waqafa, yang artinya berhenti atau berdiam diri. Diam diartikan tidak
menyibukkan diri kecuali dari mengingat Allah SWT, berdzikir dan berdoa hanya
kepada Allah SWT. Wukuf dilakukan di sebuah padang pasir yang sangat luas yang
bernama Padang Arafah dengan ketentuan waktu tertentu yaitu hanya diadakan
setahun sekali setiap tanggal 09 Dzulhijjah yang waktunya dimulai dari
menjelang Shalat Dzuhur sampai menjelang shalat Maghrib. Syarat dan ketentuan
untuk melaksanakan Wukuf sangat berbeda dengan pelaksanaan Thawaf dimana setiap
jamaah yang melaksanakan Thawaf wajib dalam kondisi bersih dari junub, haid
ataupun dari hadats besar maupun hadats kecil tanpa terkecuali. Sedangkan
prosesi Wukuf tidak terikat dengan kondisi tersebut sehingga jamaah Haji yang
melakukan Wukuf tidak disyaratkan suci dari hadats besar maupun hadats kecil.
Wukuf bisa dilaksanakan oleh setiap jamaah Haji yang sedang haid, nifas, junub,
dan hadats kecil.
Waktu Untuk Wukuf
A
|
AWAL
-
Secepat-
cepatnya waktu Dzuhur tanggal 9 Dzulhijjah.
|
B
|
AKHIR
-
Secepat-cepatnya
waktu Maghrib tanggal 9 Dzulhijjah.
|
Saat diri kita
akan melaksanakan Wukuf di Padang Arafah berarti kita sudah melaksanakan ibadah
Umroh yang terdiri dari Thawaf yang tidak lain kita sudah masuk ke dalam garis
edar Allah SWT sehingga kita selalu di dalam kehendak Allah SWT. Kita sudah
pula melaksanakan Sa’i yang tidak lain adalah napak tilas perjuangan dari
keluarga Nabi Ibrahim as, serta kita juga telah Tahallul yang tidak lain kita
telah menghilangkan segala kesombongan yang dalam diri kita. Inilah kondisi
dasar diri kita sebelum menunaikan Wukuf di Padang Arafah dan mudah mudahan
dengan kondisi ini akan memudahkan diri kita menghadiri acara Open House (jamuan
resmi Allah SWT) yang dilaksanakan oleh Allah SWT dalam rangka menyambut seluruh
tamu yang telah diundang-Nya menunaikan ibadah Haji.
Sekarang katakan
hari ini tanggal 08 Dzulhijjah berarti seluruh jamaah Haji Tamattu yang tidak
mengambil prosesi Tarwiyah sedang mempersiapkan diri sebaik mungkin lalu kenakanlah
Ihram lalu ambillah Miqat dari pemondokan masing masing kemudian tinggalkanlah
kota Makkah, berjalanlah ke arah timur menuju Padang Arafah, dan berhentilah di
Padang Arafah hingga matahari terbenam di hari yang ke sembilan Dzulhijjah guna
untuk menghadiri dan merasakan langsung Open House yang diselenggarakan oleh
Allah SWT yang hanya setahun sekali. Adapun kegiatan saat Wukuf di Padang Arafah
terdiri dari mendengarkan khutbah Wukuf; Shalat Zhuhur dan Ashar jama’ taqdim
dan qasar, dilanjutkan dengan melaksanakan Wukuf; Selama Wukuf memperbanyak
Talbiyah, zikir, membaca Al Qur’an dan berdoa; Wukuf diakhiri dengan Shalat
Maghrib dan Isya jama’ taqdim dan qasar selanjutnya bersiap siap untuk menuju
Muzdalifah untuk Mabid disana.
Wukuf di Padang
Arafah merupakan inti dari pada ibadah Haji yang kita laksanakan. Dimana
seluruh jamaah Haji harus hadir dalam kondisi apapun juga di Padang Arafah pada
waktu tertentu dan saat tertentu pula. Jika sampai kita yang berhaji tidak
hadir pada saat Wukuf maka hajinya tidak Sah dan wajib diulang pada tahun
berikutnya. Ibadah Wukuf tidak bisa digantikan dengan ibadah lainnya sehingga
ibadah Wukuf tidak bisa dikenakan Dam bagi yang meninggalkannya. Ibadah Wukuf
tidak bisa digantikan dengan orang lain atau diwakilkan oleh orang lain oleh
sebab apapun juga. Jamaah Haji harus hadir dalam kondisi apapun sehingga ada
istilah jamaah Haji yang sakit disafari wukufkan agar ia hadir di Padang Arafah
walaupun hanya sebentar dan di dalam kendaraan.
Dalam
sebuah hadits: Nabi Muhammad SAW wukuf di Arafah, di saat matahari hampir
terbenam. Beliau berkata: Wahai Bilal suruhlah umat manusia mendengarkan saya,
Maka Bilal pun berdiri seraya berkata: Dengarkanlah Rasulullah SAW maka mereka
mendengarkan, lalu Nabi bersabda: Wahai
umat manusia, baru saja Jibril as, datang kepadaku, maka dia membacakan salam
dari Tuhanku dan dia mengatakan: Sungguh Allah SWT mengampuni dosa dosa orang yang berwukuf di Arafah dan orang orang bermalam di Masy’aril Haram
(Muzdalifah) dan menjamin membebaskan
mereka dari tuntutan balasan dan dosa dosa mereka. Maka Umar ibn Khattab pun
berdiri dan bertanya, Ya Rasulullah, apakah ini khusus untuk kita kita saja?
Rasulullah menjawab: Ini untukmu dan untuk orang orang yang datang sesudahmu
hingga hari kiamat kelak. Umar ra, pun lalu berkata, Kebaikan Allah sungguh
banyak dan dia Maha Pemurah”.
(Hadits
Riwayat Ibnu Mubarik dari Sufyan al Tsauri dari Zubair Ibn Uday dari Anas)
“Tiada
hari yang lebih banyak Allah membebaskan seorang hamba dari neraka selain dari
Hari Arafah:.
(Hadits
Riwayat Muslim)
Berdasarkan
ketentuan hadits di atas, setiap orang yang melaksanakan Wukuf di Padang Arafah
dan juga yang Mabid di Muzdalifah akan memperoleh ampunan dari dosa dosa mereka
dari Allah SWT. Wukuf juga merupakan saat dimana Allah SWT selaku Tuan Rumah
dan juga selaku pengundang mengadakan Open House bagi seluruh tamu yang telah
diundangnya untuk melaksanakan ibadah Haji dimana Tuan Rumah mempersilahkan
kepada seluruh tamu yang hadir untuk mengajukan apapun kepada-Nya dan Allah SWT
siap memberikan apa apa yang diminta dan dimohonkan oleh tamunya. Untuk itu
kita harus mempersiapkan segala doa dan harapan yang akan kita ajukan dan
mohonkan kepada Allah SWT saat Wukuf di Padang Arafah.
Wukuf di Padang
Arafah hanya dibuka oleh Allah SWT setahun sekali dan hanya berlaku khusus
untuk jamaah Haji semata, jamaah Umroh tidak memiliki kesempatan untuk
melaksanakan Wukuf. Wukuf yang hanya ada setahun sekali berarti kesempatan
untuk menghadiri Open House hanya ada setahun sekali pula. Apabila saat ini
kita menunaikan ibadah Haji berarti kesempatan untuk menghadiri Open House
Allah SWT di Padang Arafah yang kita hadiri saat ini bisa bermakna kesempatan
pertama dan juga kesempatan terakhir karena kita tidak tahu apakah akan
memiliki kesempatan lagi untuk
menghadiri Open House yang diadakan di Padang Arafah. Ingat usia kita saat ini
dan kemudian lamanya masa tunggu dari ibadah Haji yang berlaku saat ini.
Untuk itu tidak
ada jalan lain bagi diri kita yang memiliki kesempatan menghadiri Open House di
Padang Arafah, untuk bisa semaksimal mungkin menghadirinya dan mampu pula
memaksimalkan apa apa yang terbaik yang bisa kita sampaikan kepada Allah SWT
melalui doa dan harapan yang kita panjatkan. Lalu sudahkah kita mempersiapkan
segala doa dan harapan yang terbaik untuk kita panjatkan dan mohonkan kepada
Allah SWT. Jangan sampai kesempatan yang hanya ada satu tahun sekali dan yang
lamanya hanya kurang lebih 6 (enam) jam saja, tidak bisa kita manfaatkan
semaksimal mungkin. Jangan pula kita hanya bisa mengaminkan doa yang
dipanjatkan orang lain karena kita tidak
bisa mengajukan doa sendiri kepada Allah SWT karena kecerobohan, karena
kebodohan, karena ketidaktahuan, karena kemalasan, karena kekotoran Ruh/Ruhani,
sehingga kita tidak mampu memanfaatkan waktu yang ada.
Dari
Amr bin Syuaib, dari ayahnya dari kakeknya ra, dari Nabi SAW, beliau bersabda:
“Doa yang paling utama di Arafah dan yang paling utama dari apa yang aku
katakana dan para nabi sebelumku adalah: “Tiada Tuhan kecuali Allah yang Maha
Esa, tiada sekutu bagi Nya. BagiNya kerajaan dan bagiNya segala puji dan Dia
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
(Hadits
Riwayat Ath Thirmidzi)
Inilah salah
satu doa yang paling utama yang disampaikan di Padang Arafah saat Wukuf (doa
lain saat yang bisa dimohonkan saat Wukuf ada di bab terakhir buku ini). Tentu
saja dikatakan secara berulang ulang sekaligus dihayati dan diresapi isi dan
kandungan dari doanya. Disamping doa tersebut, kita diperbolehkan pula untuk
meminta langsung segala kebutuhan kita kepada Allah SWT, baik urusan dunia
ataupun urusan akhirat serta utamakan untuk memohon ampunan dan curahan rahmat,
hidayah dan taufik, keselamatan dunia dan akhirat, untuk pribadi,
keluarga,orang tua, anak keturunan, saudara saudara kita serta seluruh umat
Islam. Sebaiknya dan memang seharusnya doa dan harapan yang akan kita mohonkan
kepada Allah SWT sudah kita persiapkan baik dari doa doa dari Al Qur’an ataupun
dari hadits serta jangan lupa doakanlah mereka yang berpesan untuk minta
didoakan di Padang Arafah.
Jangan sampai
diri kita yang saat itu memiliki kesempatan berada di tempat yang terbaik, berada
di saat yang terbaik, yang mungkin hanya terjadi sekali seumur hidup justru
kita hanya mampu membaca doa tanpa pernah bisa berdoa kepada Allah SWT. Hal ini
dikarenakan antara membaca doa dengan berdoa adalah dua hal yang sangat berbeda
sehingga sangat berbeda jauh kualitasnya. Sekali lagi kami ingatkan, jangan
pernah membaca doa kepada Allah SWT melainkan berdoalah hanya kepada Allah SWT.
Jangan sampai kita hanya bisa menjadi penonton atau menjadi komentator atau
hanya mampu menjadi pengagum dari pelaksanaan Wukuf di Padang Arafah, padahal
kita ada disana untuk melaksanakan Wukuf. Hal ini dikarenakan kita tidak mampu
menjadi tamu yang kedatangannya sudah ditunggu-tunggu oleh Tuan Rumah atau
kerena kita menjadi tamu yang tidak dikehendaki oleh Tuan Rumah saat wukuf
sehingga kita hanya bisa mengantuk, sakit, tidur atau sibuk dengan urusan urusan
pribadi yang tidak berhubungan dengan makna yang hakiki dari pelaksanaan Open
House yang hanya terjadi setahun sekali seperti sibuk dengan urusan makan dan
minum, sibuk dengan urusan ke kamar mandi serta photo photo yang tidak ada hubungannya
dengan ibadah yang sedang berlangsung.
Sebagai tamu
yang sudah diundang untuk menghadiri Open House yang diadakan oleh Allah SWT
hanya setahun sekali, jangan pernah melewatkan kesempatan yang mungkin hanya
terjadi sekali seumur hidup berlalu tanpa kesan, berlalu apa adanya karena kebodohan
yang kita miliki. Kita harus bisa memanfaatkan peristiwa/moment yang sangat
bernilai dan langka bagi diri kita menjadi hal yang paling berkesan dan
bermakna dalam hidup sehingga tidak bisa kita lupakan pengalaman lahir dan
bathin selama hidup serta menjadi mampu menjadi bekal kita selama kita hidup di
dunia yang pada akhirnya mampu menghantarkan kita Syurga kelak untuk bertemu
dengan Allah SWT selaku pemilik dan pencipta alam semesta ini.
L. MABID
DI MUZDALIFAH
Setelah diri
kita selesai melaksanakan Wukuf di Padang Arafah, kemudian berangkatlah menuju
Muzdalifah untuk Mabid (bermalam disana). Sebelum meninggalkan Padang Arafah,
shalat Maghrib dan Isya dengan jama’ taqdim dani diqashar. Mabid di Muzdalifah
dimulai setelah shalat Maghrib sampai dengan terbit fajar 10 Dzulhijjah dan
Mabid di Muzdalifah boleh dilakukan sesaat saja asal sudah lewat tengah malam. Selama
Mabid di Muzdalifah setiap jamaah Haji ditekankan untuk mengumandangkan
talbiyah atau takbir dan tahlil dan sebelum meninggalkan Muzdalifah dianjurkan
untuk berdoa sambil menghadap Qiblat dan mengangkat tangan. Mabid di Muzdalifah
merupakan salah satu wajib Haji yang harus dilaksanakan oleh setiap jamaah
Haji, namun demikian apabila seorang jamaah tidak melakukan salah satu wajib
Haji maka ia dikenakan Dam dengan menyembelih seekor kambing atau bisa diganti
dengan melaksanakan puasa.
tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat,
berdzikirlah kepada Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan
menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya
kamu sebelum itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
(surat Al Baqarah (2) ayat 198)
[125] Ialah bukit Quzah di
Muzdalifah.
Saat jamaah Haji
melaksanakan Mabid di Muzdalifah maka pada saat itu pula jamaah Haji akan
mengambil dan mengumpulkan batu kerikil untuk keperluan Jumroh pada tanggal 10,
11, 12 bagi yang mengambil Nafar Awal atau mengumpulkan batu untuk keperluan
Jumroh pada tanggal 10, 11, 12, 13 Dzulhijjah bagi jamaah yang mengambil Nafar
Tsani. Dengan ketentuan bagi jamaah Nafar Awal harus mempersiapkan batu kerikil
sejumlah 49 (empat puluh sembilan) batu sedangkan bagi jamaah Nafar Tsani harus
mempersiapkan batu kerikil sejumlah 70 (tujuh puluh) batu.
Setelah batu kerikil
terkumpul bukan berarti kita telah siap dan bisa memerangi syaitan atau mampu melempar
syaitan dengan batu kerikil padahal syaitan tidak bisa kita lihat. Konsep
Jumroh yang seperti ini bukanlah konsep yang bermakna hakiki. Konsep ini harus
kita rubah dengan menyatakan bahwa dengan telah terkumpulnya batu untuk
melaksanakan Jumroh berarti pada saat kita meninggalkan Muzdalifah untuk menuju
Mina telah siap untuk memerangi, melempar serta membuang jauh jauh nilai nilai
syaitani yang ada pada diri kita sehingga setelah Jumroh kita laksanakan yang
ada pada diri kita adalah hanyalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Ayo kita berubah karena hanya dengan perubahanlah kita bisa
merasakan hasil akhir yang hakiki dari ibadah Haji dan Umroh yang kita
laksanakan.
M. JUMROH
Setiap jamaah Haji
yang telah menyelesaikan Mabid di Muzdalifah akan bergerak menuju Mina untuk
melaksanakan prosesi melontar Jumroh Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Yaum al
Nahr). Setelah itu jamaah Haji akan melakukan Mabid di Mina yaitu bermalam di
Mina pada hari hari Tasyrik (malam tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah). Mabid di
Mina merupakan salah satu wajib Haji sehingga apabila tidak dilaksanakan akan dikenakan Dam dengan
menyembelih satu ekor kambing atau berpuasa. Bagi jamaah haji yang mengambil
Nafar Awal akan Mabid di Mina pada malam tanggal 11 Dzulhijjah dan 12
Dzulhijjah sedangkan bagi jamaah yang mengambil Nafar Tsani akan Mabid di Mina
malam tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Adapun syarat dan cara melontar Jumroh
Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Yaum al Nahr) dapat kami kemukakan sebagai
berikut:
a. Jamaah sudah melaksanakan Mabid di
Muzdalifah.
b. Berdiri menghadap qiblat, qiblat (Makkah)
berada di sebelah kiri kita.
c. Melontar dengan batu kerikil sebanyak tujuh
lontaran dengan setiap lontaran satu batu kerikil, tidak diperkenankan untuk
langsung melontar dengan tujuh batu sekaligus karena tetap dihitung satu
lontaran.
d. Setiap lontaran disertai membaca “Bismillah
Allahuakbar.
e. Selesai melontar dilanjutkan dengan berdoa
(tanpa mengangkat tangan) dengan doa: “Ya Allah jadikanlah Haji ini Haji yang
mabrur dan dosa yang diampuni”.
Waktu melontar 3(tiga)
Jumroh, Ula, Wustha dan Aqabah, bisa
dilaksanakan pada tanggal 11 dan 12 Dzulhijjah saja, kondisi ini disebut dengan
Nafar Awal. Dan bisa juga mulai dari tanggal 11, 12 dan 13 Dzulhijjah, kondisi
ini disebut dengan Nafar Tsani.
dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa
hari yang berbilang[128]. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina)
sesudah dua hari, Maka tiada dosa baginya. dan Barangsiapa yang ingin
menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu), Maka tidak ada dosa pula
baginya[129], bagi orang yang bertakwa. dan bertakwalah kepada Allah, dan
ketahuilah, bahwa kamu akan dikumpulkan kepada-Nya.
(surat Al Baqarah (2) ayat 203)
[128] Maksud dzikir di sini ialah membaca takbir,
tasbih, tahmid, talbiah dan sebagainya. beberapa hari yang berbilang ialah tiga
hari sesudah hari raya haji Yaitu tanggal 11, 12, dan 13 bulan Zulhijjah.
hari-hari itu dinamakan hari-hari tasy'riq.
[129] Sebaiknya orang haji meninggalkan Mina pada
sore hari terakhir dari hari tasy'riq, mereka boleh juga meninggalkan Mina pada
sore hari kedua.
Adapun teknis dari pelaksanaan
melontar 3(tiga) jumroh, Ula, Jumroh Whusta, dan Jumroh Aqabah pada tanggal 11
Dzulhijjah, dapat kami kemukakan sebagai berikut:
a. Jamaah sudah menyelesaikan melontar Jumroh
Aqabah pada tanggal 10 Dzulhijjah (Yaum al Nahr).
b. Melontar secara berurutan yang dimulai dari
Jumroh Ula lalu berdiri menghadapnya.
c. Kiblat (Makkah) berada di sebelah kiri kita.
d. Melontar dengan batu kerikil sebanyak tujuh
kali dengan setiap lontaran dengan mengucapkan “Bismillah Allahuakbar”
e. Setelah selesai melontar mencari tempat yang
lenggang untuk berdoa sesuai dengan keperluan masing masing sambil mengangkat
tangan dan menghadap Kiblat.
f. Setelah selesai melontar Jumrah Ula kemudian
menuju Jumroh Wustha untuk melontarnya dengan cara yang sama seperti melontar
Jumroh Ula.
g. Setelah selesai melontar Jumroh Wustha
kemudian menuju Jumroh Aqabah untuk melontarnya dengan cara melontar yang sama
seperti melontar Jumroh Wustha. Hanya setelah melontar Jumroh Aqabah langsung
berdoa tanpa mengangkat kedua tangan dengan doa: “Ya Allah jadikanlah Haji ini
Haji yang Mabrur dan dosa yang diampuni’.
Pada tanggal 12
Dzulhijjah kembali melontar 3(tiga) Jumroh, prakteknya sama dengan melontar
Jumroh pada tanggal 11 Dzulhijjah. Setelah selesai melontar 3(tiga) Jumroh ini
jamaah haji boleh langsung kembali ke Makkah untuk melaksanakan salah satu
rukun Haji terakhir yaitu Thawaf Ifhadah dan ini disebut dengan Nafar Awal.
Bagi yang mau melaksanakan Nafar Tsani kembali ke tenda untuk esok hari
melontar kembali 3(tiga) Jumroh, setelah selesai bisa langsung ke Makkah untuk
melaksanakan salah satu rukun Haji terakhir yaitu Thawaf Ifhadah dan cara ini
disebut dengan Nafar Tsani.
Itulah arti secara
tersurat dari Jumroh yang artinya melempar atau melakukan pelemparan dengan
batu-batu kecil di tiga tempat, yaitu Jumroh ‘Ula, Jumroh Wustha, Jumroh ‘Aqabah.
Tradisi jumrah ini bermula dengan peristiwa yang menimpa Nabi Ibrahim as,
ketika mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya Ismail.
Kebimbangan Nabi Ibrahim as, antara mengikuti perintah Allah SWT tersebut
dengan perasaan berat dirinya untuk mengorbankan putranya dimanfaatkan oleh
Syaitan untuk menggoda beliau agar tidak melaksanakan perintah Allah SWT
tersebut karena bertentangan dengan kemanusiaan. Untuk memenangkan perintah Allah
SWT, maka Nabi Ibrahim as, berusaha mengusir Syaitan tersebut dengan
melemparnya dengan tujuh buah batu kecil. Tetapi ternyata setelah beberapa
ratus meter berjalan, Syaitan datang lagi untuk menggoda kedua kalinya. Maka
pelemparan pun terjadi lagi untuk yang kedua kalinya, dan larilah Syaitan dari
hadapannya.
Tetapi syaitan
bukanlah Syaitan kalau ia cepat putus asa dalam menggoda manusia, maka untuk
terakhir kalinya, sebelum penyembelihan Ismail betul-betul dilaksanakan,
Syaitan menggoda kembali Nabi Ibrahim as, setelah beliau mencapai tempat
penyembelihannya di Jumrah Aqabah. Maka Nabi Ibrahim as, pun untuk ketiga
kalinya melempari Syaitan dengan tujuh kerikil untuk mengusir kembali Syaitan
dari hadapannya. Ketika Syaitan pergi, bulatlah tekad Nabi Ibrahim as, dan
dilakukanlah tindakan yang paling berat yang pernah dihadapi seorang manusia,
yaitu menyembelih putranya sendiri. Kemudian kita tahu bahwa Allah SWT
menggantikan Ismail dengan seekor domba.
Prinsip
perang adalah jangan pernah berasumsi musuh tidak akan datang, melainkan
bersiaplah menyambut kedatangannya. Jangan menduga musuh tidak akan menyerang
melainkan buatlah agar posisi anda tidak bisa bisa diserang.
(Sun
Tzu)
Adapun filosofi yang
terdapat dibalik peristiwa itu juga berkaitan dengan pensucian jiwa.
Pengorbanan hewan yang dilakukan seseorang pada hari Idul Adha, melambangkan
pengorbanan nafsu hewani yang ada dalam diri manusia. Jadi ketika melakukan
pengorbanan hewan tersebut, maka hendaknya diniatkan untuk menghilangkan nafsu
hewani dalam diri kita. Sedangkan melempar Jumrah sebanyak sekian batu,
dimaksudkan sebagai simbolisme untuk menghilangkan, atau melemparkan
bermacam-macam jenis penyakit hati yang mengotori setiap jiwa manusia, dengan
demikian sucilah jiwa manusia yang telah melakukan Jumrah tadi dari segala
kekotoran hawa nafsu. Dengan demikian, diharapkan kita akan menjadi manusia
yang lebih baik setelah kembali ke tanah air, yang itu merupakan tanda diterima
atau tidaknya ibadah haji seseorang, atau dengan kata lain mabrur atau tidaknya
haji seseorang.
Melontar Jumroh
bukanlah melempar Syaitan yang sesungguhnya dengan batu kerikil dalam jumlah
tertentu. Akan tetapi melontar atau membuang sesuatu yang ada di dalam diri
kita, dalam hal ini adalah sifat-sifat alamiah Jasmani (insan) yang sesuai
dengan nilai nilai syaitani sehingga yang ada di dalam diri setelah melontar
Jumroh yang ada hanyalah nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan sifat-sifat
alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang kesemuanya sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Selanjutnya untuk mempertegas makna hakiki dari melontar Jumroh, ada baiknya
kami mengemukakan hal-hal sebagai berikut: katakan kita sedang marah, lalu kita
melempar piring menjadi piring terbang menuju ke seseorang. Timbul pertanyaan,
yang hakiki saat diri kita melempar piring, apakah yang kita lempar itu piring
yang menjadi piring terbang semata ataukah kekesalan kita yang kita lempar yang
terefleksikan menjadi piring terbang?
Jawaban dari
pertanyaan ini adalah secara kasat mata memang kita melempar piring, akan
tetapi dengan melempar piring menjadi piring terbang merupakan manipestasi dari
dikeluarkannya kekesalan yang ada pada diri kita sehingga hilang menjadi
kebaikan. Hal yang samapun terjadi pada saat diri kita melaksanakan Jumroh,
dimana secara kasat mata kita melemparkan batu, akan tetapi secara hakiki
bukanlah batu yang kita lempar. Yang kita lempar adalah sifat-sifat alamiah
Jasmani (insan) yang berjumlah sebanyak batu yang kita lempar yang kesemuanya
merupakan pintu masuk bagi Syaitan untuk menggoda diri kita. Sehingga dengan
tidak ada lagi pintu masuk bagi Syaitan maka nilai-nilai kebaikan (Nass) yang
dikehendaki oleh Allah SWT menjadi perilaku diri kita yang tercermin di dalam
Ikhsan, sehingga kita selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.
Sekarang mari kita
hitung jumlah batu yang kita lontar saat jumroh, bagi yang Nafar Awal jumlah
batu yang dilontar ke Ula sebanyak 14 batu kerikil, ke Wustha sebanyak 14 batu
kerikil sedangkan ke Aqabah sebanyak 21 batu kerikil. Sedangkan bagi yang Nafar
Tsani jumlah batu yang dilontar ke Ula adalah 21 batu kerikil, ke Wustho
sebanyak 21 batu kerikil sedangkan ke Aqabah sebanyak 28 batu kerikil. Di lain
sisi Ula merupakan perlambang dari perbuatan dosa dosa kecil, Wustha adalah
perlambang dari perbuatan dosa dosa menengah sedangkan Aqabah adalah perlambang
dari perbuatan dosa dosa besar. Dengan diri kita melontar Jumroh dengan cara
Nafar Awal berarti kita telah membuang 14 nilai nilai syaitaniah perlambang
dari perbuatan dosa yang kecil, 14 nilai
nilai syaitaniah perlambang dari perbuatan dosa berskala menengah dan 21 nilai
nilai syaitaniah perlambang dari perbuatan dosa berskala besar, yang kesemuanya bersarang dalam diri. Setelah diri
kita melontar Jumroh sebanyak 49 kali lontaran berarti 49 perlambang nilai
nilai syaitaniah yang ada dalam diri telah hilang sehingga yang ada hanyalah
nilai nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kondisi inilah yang
harus kita pertahankan selama hayat masih di kandung badan dan inilah pula
cerminan dari Haji yang mabrur.
Katakan saat ini, kita
sudah melaksanakan Jumroh dan sudah pula pulang ke tanah air, lalu sudahkah
perilaku diri kita berubah dikarenakan Nilai-Nilai Keburukan yang ada di dalam
diri kita sudah kita buang melalui Jumroh sehingga yang ada saat ini adalah
Nilai-Nilai Kebaikan? Jika apa-apa yang dikehendaki oleh Syaitan masih menjadi
perbuatan diri kita berarti ada yang salah di dalam Jumroh yang kita laksanakan
atau ada yang salah di dalam ibadah haji yang kita laksanakan. Akan tetapi jika
setelah pulang melaksanakan ibadah haji kita menjadi lebih baik dari waktu ke
waktu dengan selalu berbuat kebaikan atau bahkan mampu berbuat sesuatu yang
bisa dinikmati oleh generasi yang datang dikemudian hari maka inilah yang
dikehendaki oleh Allah SWT dan ini pulalah yang tidak dikehendaki oleh Syaitan.
Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita masing-masing, mau sesuai dengan
kehendak Allah SWT ataukah mau sesuai dengan kehendak Syaitan dan yang pasti
kitalah yang membutuhkan ibadah Haji, bukan Allah SWT yang membutuhkan ibadah Haji.
Jadi tentukanlah sikap sekarang juga karena kita tidak tahu kapan Malaikat Maut
melaksanakan tugasnya kepada diri kita.
N.
KURBAN
Ibadah Kurban adalah rangkaian
ibadah yang tidak bisa dipisahkan dengan ibadah Haji yang kita laksakanan,
terutama ibadah Jumroh. Ibadah Kurban juga tidak bisa dilepaskan dengan
keluarga Nabi Ibrahim as, dimana Nabi Ibrahim as, diperintahkan untuk
menyembelih Nabi Ismail, yang kemudian perintah itu diganti dengan menyembelih kambing.
Dan yang harus kita perhatikan adalah kambing, domba, sapi, kerbau, unta ataupun binatang ternak lainnya bukanlah
tujuan yang hakiki dari pelaksanaan ibadah kurban. Kambing, domba, sapi,
kerbau, unta ataupun binatang ternak
lainnya hanyalah simbol dari pelaksanaan ibadah kurban.
Adanya kondisi ini menunjukkan
kepada diri kita bahwa secara kasad mata atau secara tersurat memang kambing,
domba, sapi, kerbau, unta ataupun
binatang ternak lainnya yang disembelih atau dipotong. Akan tetapi makna yang
hakiki dari itu bukanlah memotong kambing, domba, sapi, kerbau, unta ataupun binatang ternak lainnya, melainkan
ada sesuatu yang lebih dari itu semua. Apakah itu? Ibadah kurban adalah ibadah
untuk memotong kecintaan diri kita dengan harta kekayaan, kedudukan, mobil,
cinta, keluarga, uang, rumah, kelas sosial, kebun, pakaian, keelokan paras,
profesi, ketenaran, ahwa, atau yang lainnya sehingga yang ada hanyalah ikhlas
kepada Allah SWT semata. Sekarang bagaimana dengan diri kita yang juga telah diperintahkan
oleh Allah SWT untuk berkurban? Jika kita berkurban pada saat melaksanakan
ibadah Haji berarti pada saat melaksanakan ibadah Kurban posisi diri kita harus
sudah dalam keadaan :
a. sudah
menyatakan ketauhidan (monotheisme) yaitu hanya bertuhankan kepada Allah
SWT semata dengan melakukan Thawaf.
b. sudah melaksanakan napak tilas perjuangan
Siti Hajar dengan melakukan Sa’i.
c. sudah menghadiri open house yang dilaksanakan
oleh Allah SWT di Arafah dengan melakukan Wukuf.
d. sudah membuang Nilai-Nilai Keburukan yang
paling dikehendaki oleh Syaitan dengan melakukan Jumroh.
Jika saat ini kita yang akan
melaksanakan ibadah Kurban, berarti posisi diri kita pada saat akan berkurban
di Mina sudah kembali fitrah atau sudah dikembalikan fitrah oleh Allah SWT atau
jiwa kita sudah berada di dalam kategori Jiwa Taqwa sehingga sempurnalah
pelaksanaan Rukun Islam yang kita laksanakan, yang selanjutnya kita harus siap
mempertunjukkan kepada keluarga, kepada masyarakat, kepada bangsa dan negara,
apa yang dinamakan dengan ibadah Ikhsan. Dan jika ini kondisinya berarti sempurnalah
diri kita melaksanakan Diinul Islam secara kaffah sehingga akan terlihat dengan
jelas bahwa Islam adalah Rahmat bagi seluruh alam. Sebagai orang yang telah
melaksanakan ibadah haji, sudahkah kita mampu melaksanakan apa yang dikehendaki
oleh Allah SWT? Jika sampai apa yang kami kemukakan di atas belum bisa kita
laksanakan berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri kita.
Sekarang bagaimana dengan diri
kita yang melaksanakan ibadah Kurban di tanah air? Melaksanakan ibadah
Kurban di tanah air pada prinsipnya hampir sama dengan ibadah Kurban yang
dilaksanakan di Mina pada waktu melaksanakan ibadah haji, yaitu kita harus bisa
meletakkan dan menempatkan hewan kurban yang akan kita kurbankan hanyalah
simbol sehingga hewan kurban bukanlah hakekat dari dari ibadah Kurban yang kita
laksanakan. Ibadah Kurban haruslah ibadah untuk menghilangkan kecintaan
diri kita terhadap sesuatu, atau ibadah untuk meniadakan atau menghilangkan
ahwa yang di dalam diri. Ibadah kurban
yang kita laksanakan haruslah menjadi ibadah untuk menghilangkan nilai-nilai
keburukan yang diganti dengan nilai-nilai kebaikan sehingga mampu menghentikan dan
mengilangkan hal-hal yang dikehendaki oleh Syaitan menjadi hal-hal yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Ibadah kurban yang kita laksanakan haruslah menjadi ibadah dalam rangka menjadikan jiwa kita
menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah dan jiwa muthmainnah), atau ibadah untuk
menghilangkan jiwa fujur menjadi jiwa taqwa.
Lalu bagaimana kita bisa
membuktikan jika kita telah mampu melaksanakan ibadah Kurban? Seseorang baru
bisa dikatakan telah mandi, jika setelah mandi orang tersebut segar, sehat,
tidak menggaruk kegatalan serta hilangnya daki di badan. Hal yang samapun harus
terjadi di dalam diri setelah diri kita berkurban, yaitu nilai-nilai keburukan
yang merupakan sifat alamiah jasmani (insan) yang dikehendaki oleh syaitan
hilang diganti dengan nila-nilai kebaikan yang merupakan sifat alamiah
ruh/ruhani (nass) yang dikehendaki oleh Allah SWT dan itulah yang menjadi
perbuatan diri kita. Selain daripada itu, dengan diri kita telah melaksanakan
kurban berarti masyarakat menjadi tertolong, terbantu oleh sebab adanya diri
kita dan jika saat ini kita masih menjadi beban masyarakat karena ulah diri
kita berarti ada yang salah dalam diri kita dan kondisi ini tidak dikehendaki
oleh Allah SWT.
Sebagai Khalifah di muka bumi
yang sangat membutuhkan ibadah Haji dan Umroh, ketahuilah apa yang telah kami
kemukakan di atas tentang pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh termasuk di
dalamnya syarat dan ketentuan ibadah Haji dan Umroh, hanyalah sebagian kecil
dari pengertian apa yang dimaksud dari pelaksanaan ibadah Haji dan Umroh yang
kami ketahui. Hanya Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling mengerti
tentang ibadah Haji dan Umroh karena Allah SWT yang memerintahkan dan
mewajibkan itu semua. Dan jika kita berharap dan berkeinginan ingin lebih tahu,
lebih mengerti serta ingin lebih memahami dari apa apa yang telah kami
kemukakan di atas, belajarlah langsung kepada Allah SWT dan semoga Allah SWT
memberikan itu semua kepada hamba-Nya yang berkehendak untuk mendapatkan itu
semua yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini penting kami
kemukakan karena jangan sampai kesempatan menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang
mungkin hanya sekali dalam seumur hidup, sirna begitu saja, berlalu tanpa kesan,
hilang seperti debu yang yang terkena hujan atau bagi yang telah melaksanakan
ibadah haji dan umorh buku ini bisa dijadaikan bahan renungan ini untuk
memperbaiki diri sebelum semuanya terlambat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar