Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah bahwa saat ini perintah
melaksanakan Ibadah Haji atau perintah melaksanakan Ibadah Umroh sudah berlaku
di muka bumi ini. Lalu apakah kita yang telah diperintahkan oleh Allah SWT mau
menyianyiakan begitu saja perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT sehingga kita mengabaikan hikmah yang hakiki
yang terdapat dibalik perintah Haji dan Umroh? Semoga kita termasuk orang-orang
yang mampu melaksanakan perintah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT sehingga mampu menjadikan diri kita menjadi tamu yang sudah ditunggu-tunggu
kedatangannya oleh Allah SWT atau tamu
yang sangat dibanggakan oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah yang selanjutnya mampu
merasakan hikmah yang terdapat dibalik perintah ibadah Haji dan Umroh. Untuk
itu, tidak ada jalan lain bagi diri kita yang hendak melaksanakan ibadah Haji
ataupun melaksanakan ibadah Umroh untuk memiliki ilmu dan pemahaman tentang
Haji dan Umroh mulai saat ini juga yang tentunya harus sesuai dengan kehendak Allah
SWT. Semoga kita yang telah diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah Haji
dan Umroh berusaha dengan sungguh-sungguh agar terhindar dari memperoleh Haji
Mardud, yaitu ibadah haji yang dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.
Sekarang apa yang akan kita
peroleh jika kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh ke Baitullah yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT? Hal ini penting kami kemukakan karena jika sampai
diri kita tidak tahu maksud dan tujuan yang hakiki (hikmah) dari pelaksanaan
Ibadah Haji dan Umroh atau jika sampai kita tidak tahu apa hikmah yang hakiki
yang terdapat dibalik Ibadah Haji dan Umroh, maka kita tidak akan memiliki
patokan atau pedoman apa yang akan kita peroleh, kita tidak tahu apa yang akan
kita rasakan saat melaksanakan Ibadah Haji atau Umroh atau apa yang harus
kita lakukan setelah pulang Ibadah Haji
dan Umroh.
Adapun hikmah yang paling hakiki
yang terdapat di balik perintah melaksnakan Ibadah Haji dan Umroh yang mabrur yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada umat manusia, dapat kami kemukakan
sebagai berikut:
a.
Untuk menyelamatkan Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah
jati diri manusia yang sesungguhnya dari pengaruh Ahwa dan juga Syaitan yang
dapat menjadikan kualitas Ruh/Ruhani menjadi tidak fitrah lagi (menjadi jiwa
fujur). Ingat, Ruh/Ruhani asalnya fitrah dan harus kembali dalam kondisi yang
fitrah (jiwa muthmainnah) agar bisa bertemu Allah SWT di tempat yang fitrah
(maksudnya Syurga). Disinilah letak yang paling hakiki dari perintah menunaikan
ibadah Haji dan Umroh yang mabrur yaitu Allah SWT berkehendak agar Ruh/Ruhani
yang berasal Allah SWT tetap fitrah saat melaksanakan tugas sebagai Khalifah di
muka bumi dan kembalinya pun harus fitrah pula. Jika sampai Ruh/Ruhani tidak
fitrah lagi maka akan difitrahkan oleh Allah SWT melalui proses dibakar di
Neraka Jahannam.
b.
Allah SWT berkehendak kepada diri kita agar kita mampu
merasakan langsung nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT, di tempat yang
terbaik di muka bumi ini (maksudnya di Baitullah) serta di saat yang terbaik
yaitu saat Allah SWT melaksanakan Open House yaitu saat Wukuf di Padang Arafah
pada tanggal 9 (sembilan) Dzulhijjah, yang hasilnya bisa mengembalikan
kefitrahan diri kita (mampu menjadikan kita kembali fitrah) sepanjang kita
mampu melaksanakan ibadah Haji yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
c.
Allah SWT berkehendak untuk mengembalikan kefitrahan
diri kita atau menjadikan jiwa kita jiwa muthmainnah, akibat pengaruh dari perbuatan
dosa yang telah kita lakukan dan juga akibat pengaruh Ahwa yang didukung oleh
Syaitan sehingga menjadikan diri kita tidak sesuai lagi dengan konsep awal
penciptaan manusia yang mengakibatkan diri kita tidak fitrah lagi atau yang
mengakibatkan jiwa kita telah menjadi jiwa fujur.
Adanya 3(tiga) buah keadaan yang kami kemukakan di atas, terlihat sangat
jelas bahwa perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah untuk kepentingan yang memerintahkan Haji
dan Umroh. Melainkan untuk kepentingan yang diperintahkan oleh Allah SWT, yaitu
diri kita dan juga anak keturunan kita sehingga ibadah Haji dan Umroh dapat
dikatakan ibadah yang bersifat individualistik, yaitu hanya yang mampu
melaksanakan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sajalah yang bisa memperoleh
hikmah dari Haji dan Umroh.
Sekarang timbul pertanyaan baru, apa yang dimaksud dengan kembali fitrah
atau kefitrahan diri, sehingga Allah SWT memerintahkan kepada diri kita untuk
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh minimal sekali dalam seumur hidup? Fitrah
secara harfiah artinya suci, murni, bersih, belum ternoda. Kembali kepada
Fitrah bukanlah berarti suci, murni, bersih, belum ternoda. Akan tetapi kembali
ke fitrah adalah apakah diri kita masih
sesuai dengan kondisi awal penciptaan manusia atau apakah manusia masih sesuai
dengan kondisi aslinya atau apakah manusia masih sesuai dengan program Allah
SWT atau apakah manusia masih sesuai dengan Konsep Awal Penciptaan Manusia dari
sisi pencipta manusia itu sendiri, dalam hal ini Allah SWT. Adanya kondisi ini
berarti jika kita dikatakan dalam kondisi fitrah atau kembali ke fitrah setelah
melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur maka keadaan diri kita masih
sesuai dengan kodrat awal penciptaannya, atau dikembalikan ke kondisi awal
penciptaan yang sesuai dengan konsep Allah SWT.
Lalu seperti apakah kondisi atau keadaan atau kodrat awal manusia yang
masih fitrah itu atau seperti apakah kembali kepada fitrah itu? Berikut ini
akan kami kemukakan beberapa kondisi dan keadaan dari manusia yang masih fitrah
itu, yaitu :
A. RUH/RUHANI ADALAH JATI DIRI MANUSIA YANG
SESUNGGUHNYA
Seorang dikatakan kembali fitrah atau telah difitrahkan kembali oleh
Allah SWT melalui ibadah Haji dan Umroh yang mabrur maka orang tersebut tahu
dan mengerti bahwa jati dirinya yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani. Jika
Ruh/Ruhani adalah Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya maka yang
sesungguhnya menjadi Khalifah di muka bumi adalah Ruh/Ruhani serta yang
dikhalifahi secara mikro adalah Jasmani sedangkan secara makro yang dikhalifahi
adalah bumi. Ruh/Ruhani asalnya dari Allah SWT sehingga hanya Allah SWT sajalah
yang memiliki ilmu dan yang paling paham tentang Ruh/Ruhani, hanya Allah SWT
sajalah yang mampu menciptakan Ruh/Ruhani serta Allah SWT sajalah yang mampu
merawat Ruh/Ruhani. Apabila kita sangat berkepentingan dengan Ruh/Ruhani yang
menjadi diri kita yang sesungguhnya dan yang menjadi Khalifah maka hanya dengan
memenuhi segala apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT maka kefitrahan Ruh/Ruhani
bisa kita jaga sehingga Ruh/Ruhani datang fitrah kembalinya pun harus fitrah
pula.
Sekarang
jika manusia kembali kepada fitrah berarti jati diri kita yang sesungguhnya
adalah Ruh/Ruhani dan jika Ruh/Ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya,
lalu sudahkah perilaku, perbuatan Ruh/Ruhani yang mencerminkan nilai-nilai
kebaikan (Nass) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi perilaku dan
perbuatan diri kita saat menjadi Khalifah di muka bumi? Jika sikap dan
perbuatan kita belum mencerminkan sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani yang
mencerminkan nilai-nilai kebaikan (nass) berarti diri kita belum kembali fitrah
atau kita belum sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu segera kembalikan
kefitrahan diri melalui proses Taubatan Nasuha yang diikuti dengan melaksanakan
Diinul Islam secara kaffah saat ini juga karena waktu tidak bisa diputar ulang.
Jika kita telah kembali fitrah (maksudnya telah mampu menjadikan diri
yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani) berarti kita telah mampu bertuhankan hanya
kepada Allah SWT sesuai dengan janji yang telah dikemukakan oleh Ruh/Ruhani sesaat
setelah Ruh/Ruhani dipersatukan dengan Jasmani di dalam rahim seorang ibu.
Ingat, orang yang telah bertuhankan hanya kepada Allah SWT berarti orang itu
tidak pernah sekalipun memutuskan hubungan dengan Allah SWT saat hidup di muka
bumi.
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)",
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)
Sekarang
jika manusia kembali kepada fitrah berarti ibadah Haji dan Umroh yang kita
laksnakan harus dapat mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah
Ruh/Ruhani. Dan jika Ruh/Ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya berarti
sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan
(Nafs/Anfuss) harus menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi Khalifah
di muka bumi. Jika sikap dan perbuatan diri kita setelah melaksanakan
ibadah Haji dan Umroh belum mencerminkan sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass)
yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) berarti diri kita belum
Kembali ke Fitrah, sehingga masih sesuai dengan kehendak Syaitan.Contohnya: jika
sebelum melaksanakan ibadah Haji dan Umroh
kita pelit (bakhil), tidak mau berbagi, hanya mementingkan diri sendiri
maka setelah ibadah Haji dan Umroh kita menjadi lebih dermawan, peduli kepada
sesama. Lalu jika sebelum berhaji dan umroh kita selalu tergesa-gesa maka
setelah berhaji dan umroh kita menjadi orang yang sabar.Jika sebelum berhaji
dan umroh kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah berhaji
dan umroh kita tidak mau lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak.
Jika sebelum puasa kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah berhaji dan
umroh kita bisa toleran kepada sesama. Jika sebelum berhaji dan umroh masih
menjadi beban masyarakat, setelah berhaji dan umroh kita harus bermanfaat bagi
masyarakat.
Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri dan
kelompok tertentu saja, masih selalu tergesa-gesa, masih menyakiti orang lain
melalui kata-kata atau perbuatan, masih juga korupsi secara sendiri-sendiri
atau berjamaah, masih suka kolusi, masih suka nepotisme, masih suka menjadi
teroris, masih tetap menjadi pecandu narkoba, masih suka menipu, masih suka
pamer aurat, masih berjudi, yang kesemuanya pada sesuai dengan kehendak Syaitan
sang lakanatullah, maka berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita
masih memiliki masalah dengan perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT, terkecuali jika mampu menahan panasnya api
Neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali api dunia.
Bangunlah
jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya
(Wage
Rudolf Supratman)
Selanjutnya jika konsep fitrah itu adalah manusia yang sesungguhnya
adalah Ruh/Ruhani berarti kita harus mendahulukan pendidikan Ruh/Ruhani,
dibandingkan dengan pendidikan Jasmani. Kondisi ini sejalan dengan apa yang
dikehendaki oleh para pendiri bangsa ini yang tertuang di dalam lagu kebangsaan
Indonesia, yaitu Indonesia Raya. Alangkah hebatnya bangsa Indonesia yang setiap
tahun rakyatnya banyak yang menunaikan ibadah Haji dan Umroh lalu semuanya
mampu kembali fitrah yang kemudian menunjukkan hasil dari kefitrahannya kepada
bangsa dan negara ini.
B. KHALIFAH ALLAH SWT DI MUKA BUMI
Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 30 di bawah ini setiap
manusia yang ada di muka bumi ini semuanya adalah Khalifah Allah SWT. Khalifah
artinya pengganti, atau perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi sehingga
dengan adanya kekhalifahan di muka bumi ini terperiharalah apa apa yang ada di
muka bumi. Sebagai seorang Khalifah di muka bumi berarti kita tidak bisa
melepaskan diri dari asal usul diri kita dalam hal ini Allah SWT. Kita juga
tidak bisa terlepas dan melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan
pengutus diri kita di muka bumi.
Dan
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat
Al Baqarah (2) ayat 30)
Hal ini harus kita sadari betul saat menjadi Khalifah adalah dengan
diri kita tahu dan mengerti siapa diri kita yang sesungguhnya maka kitapun
harus tahu dan mengerti yang siapa Allah SWT yang sesungguhnya. Hal ini
dikarenakan antara diri kita dengan Allah SWT tidak akan bisa dipisahkan serta
kedudukannya tidak sejajar. “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal
Tuhannya. Barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka ia akan mengenal dirinya”.
Inilah pedoman yang harus kita ketahui dan pahami jika kita mengaku sebagai
Khalifah Allah SWT di muka bumi.
Selanjutnya jika kita kembali fitrah berarti kondisi dasar diri
kita tidak bisa melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari
kekhalifahan yang ada di muka bumi. Jika hal ini yang menjadi dasar dari
kembali fitrah maka masihkah perilaku dari diri kita yang telah kembali fitrah
sesuai dengan perilaku Allah SWT yang mencerminkan Nama Namanya Yang Indah
(Asmaul Husna) ?.
Shibghah
Allah[91]. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya
kepada-Nya-lah Kami menyembah.
(surat
Al Baqarah (2) ayat 138)
[91] Shibghah
artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah
yang tidak disertai dengan kemusyrikan.
Rasulullah
SAW bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh) api
neraka? Para sahabat berkata, iya, wahai Rasulullah. ‘Beliau menjawab (haram
tersentuh api neraka) adalah Hayyin (orang yang memiliki ketenangan dan
keteduhan lahir bathin); Layyin (orang yang lembut berkata dan berbuat); Qarib
(orang yang ramah dan menyenangkan) dan Sahl (orang yang gemar mempermudah
orang lain)”.
(Hadits
Riwayat Ath Thirmidzi, Ibnu Hibban)
Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita perhatikan hadits yang kami
kemukakan di atas ini, kebaikan yang utama bagi diri kita yang telah diangkat
oleh Allah SWT sebagai Khalifah di muka bumi adalah kita wajib berperilaku yang
sesuai dengan Asmaul Husna yang telah menjadi sifat Ruh/Ruhani diri kita. Jika
Ruh/Ruhani diri kita telah disifati oleh Allah SWT dengan Ar Rachman (Yang Maha
Pengasih) dan Ar Rahiem (Yang Maha Penyayang) berarti perbuatan dan perilaku diri
kita harus pula mencerminkan perilaku Pengasih dan Penyayang pula. Jika ini
kita laksanakan berarti kita sudah bertindak apa yang dinamakan dengan Layyin
(sesuai kata dengan perbuatan). Sekarang
bagaimana jika Ruh/Ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar
Razaaq berarti perilaku kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah SWT maka
rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri semata, melainkan harus pula
dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, melalui shadaqah ataupun wakaf. Jika
sampai kita tidak mampu berbuat sesuai dengan kehendak Allah SWT berarti
perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi dan tidak pantas
menyandang gelar garam. Demikian seterusnya dengan sifat sifat Ruh/Ruhani yang
lainnya yang telah disifati dengan Asmaul Husna.
Untuk itu mari kita renungkan apa
yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan gabungan dari
bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi, gula dan lain
sebagainya. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya mempertontonkan dan
mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai dengan pedasnya,
garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, gula dengan rasa manisnya.
Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan lezat. Sekarang apa
jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa asinnya? Kurang asin
atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi kurang enak.
Hal yang samapun berlaku dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat
Ruh/Ruhani ditahan dalam pergaulan sehari hari atau jika sampai sifat pengasih
dan penyayang tidak ada di dalam kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa
hambar dan terjadilah apa yang dinamakan kebencian, kecurigaan serta tindas
menindas karena hilangnya rasa welas asih di antara sesama manusia. Demikian
seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang harus menjadi perilaku diri kita
saat hidup di muka bumi ini.Inilah salah satu bentuk kebaikan dalam kerangka
ibadah Ikhsan yang utama dalam kehidupan kita. Ingat, kondisi ini baru bisa
kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa Ruh/Ruhani adalah jati diri
manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul
Husna. Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan
sifat alamiah Ruh/Ruhani menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu
yang berperilaku mengasinkan apa apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu
berarti diri kita sama dengan garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam
sudah tidak asin lagi maka tidak pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai
garam. Hal yang samapun jika kita tidak mampu menjadikan sifat Ruh/Ruhani
menjadi sifat dan perbuatan kita maka kitapun sudah tidak pantas lagi disebut
sabagai Khalifa Allah SWT muka
bumi.
Kembali fitrah selain bermakna seperti yang telah kami kemukakan di atas,
kembali fitrah juga bermakna Ruh/Ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya adalah subyek
sedangkan jasmani dan juga bumi adalah obyek. Adanya kondisi ini berarti fitrah
adalah suatu kondisi dimana subyek harus dapat mengendalikan obyek. Sekarang
jika yang terjadi adalah obyek yang mengatur subyek berarti ada salah dari
kekhalifahan yang kita laksanakan dan terjadilah apa yang dinamakan dengan
keluar dari konsep awal penciptaan manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka
bumi. Agar subyek mampu mengendalikan obyek maka kemampuan dari subyek harus
lebih tinggi dari kemampuan obyek.
Disinilah letak dari kemampuan kita untuk
selalu menjaga kefitrahan diri sehingga kemampuan subyek selalu terjaga dari
waktu ke waktu dengan selalu mematuhi segala apa apa yang dikehendaki Allah
SWT. Hal yang terjadi dan dapat
kita rasakan jika seluruh subyek mampu mengendalikan atau mengalahkan obyek berarti
yang ada di muka bumi ini hanyalah nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Sedangkan jika obyek sampai mampu mengendalikan subyek yang
ada adalah nilai nilai keburukan yang dikehendaki oleh Syaitan. Jika sekarang
kita telah selesai menunaikan ibadah Haji dan Umroh berarti jika kita kembali
fitrah maka ibadah hajinya adalah Haji yang mabrur, demikian pula sebaliknya
jika kefitrahan tidak kita peroleh maka hajinya adalah Haji Mardud. Semoga kita
tidak mengalami dan menjadi Haji Mardud.
C. JIWA MUTHMAINNAH ADALAH JIWA MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA
Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 172 di bawah ini, setiap Ruh/Ruhani
tanpa terkecuali sudah menyatakan dan mengambil sumpah dengan memberikan
pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT semata. Ini berarti setiap Ruh/Ruhani
telah terikat dengan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT sejak masih dalam
kandungan sampai dengan kapanpun juga. Lalu dimanakah letaknya kembali fitrah
itu jika dihubungkan dengan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT?
dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?"
mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi".
(kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan Tuhan)",
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)
Kembali fitrah berarti kualitas dari pernyataan Ruh/Ruhani yang tidak
lain adalah diri kita yang sesungguhnya akan terus menyatakan bertuhankan
kepada Allah SWT sejak pertama kali dinyatakan, yaitu sejak dalam kandungan
seorang ibu sampai dengan saat ini kapanpun kondisinya tetap berkualiatas.
Berkualitasnya pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT yang telah kita nyatakan
berarti jiwa kita yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah, yaitu suatu
keadaan dimana Ruh/Ruhani mampu mengalahkan ahwa yang tidak lain perbuatan dari
nilai nilai keburukan yang sesuai dengan kehendak syaitan yang ada dalam
jasmani.
Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu
dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam
jama'ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam
syurga-Ku.
(surat Al Fajr (91) ayat 27
sampai 30)
Hidup merupakan saat bersatunya Ruh/Ruhani dengan Jasmani sehingga di
saat hidup itulah akan terjadi apa yang
dinamakan pertarungan antara Jasmani dengan Ruh/Ruhani untuk memperebutkan
Amanah yang 7 (tujuh) dan Hubbul yang 7 (tujuh). Apabila Jasmani menang atas
Ruh/Ruhani (maksudnya Jasmani mampu mengendalikan Ruh/Ruhani) maka sifat-sifat
alamiah Jasmani yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (ahwa) akan tumbuh dan
berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa
Fujur. Sedangkan jika Ruh/Ruhani mampu mengendalikan Jasmani maka Nilai-Nilai
Kebaikan (Nass) yang bersumber dari Nilai-Nilai Ilahiah akan tumbuh dan
berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa
Taqwa.
Selain daripada itu adalah orang
yang telah mampu menjadikan diri yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani serta
orang yang telah fitrah dapat dipastikan memiliki jiwa Muthmainnah dan yang
tidak mungkin terjadi adalah orang yang kembali ke fitrah tetapi jiwanya Jiwa
Fujur. Ciri dari orang yang telah kembali fitrah akan lebih mendahulukan
kepentingan kehidupan akhirat dibandingkan dengan kepentingan untuk kehidupan
dunia. (maksudnya kehidupan dunia yang saat ini dilaksanakannya mampu dijadikan
alat bantu untuk menggapai kebahagiaan hidup di akhirat kelak atau kehidupan
dunia yang dijalani saat ini dapat dijadikan alat bantu untuk membeli tiket
masuk ke Syurga).
Ciri lain dari orang yang fitrah
atau memiliki jiwa Muthmainnah adalah mampu menjauhi dosa besar seperti Syirik
dan Musyrik, mampu tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar serta mau
memberikan pintu maaf kepada sesama manusia serta hidupnya selalu di dalam
ketenangan, tidak pernah resah dan gelisah apalagi takut saat menghadapi
persoalan.
dan (bagi) orang-orang yang
menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah
mereka memberi maaf.
(surat
Asy Syuura (42) ayat 37)
Jika saat ini kita menjadi
pemimpin, berarti yang menjadi pemimpin itu adalah Ruh/Ruhani. Jika saat ini
kita menjadi pengusaha dan penguasa maka yang menjadi pengusaha dan penguasa
itu adalah Ruh/Ruhani. Dan jika ini yang terjadi pada setiap profesi, pada
setiap jabatan, pada setiap kedudukan yang ada di dalam masyarakat ditambah
semuanya telah kembali fitrah (maksudnya semuanya berjiwa muthmainnah) maka Nilai-Nilai
Kebaikan yang berasal dari Nilai Nilai Ilahiah akan memenuhi alam semesta ini.
Selain daripada itu semua, orang
yang telah menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani yang jiwanya
Jiwa Muthmainnah berarti hal-hal sebagai berikut mampu dilaksanakan, seperti:
a. Selalu menyadari dari waktu ke waktu bahwa
kita sangat membutuhkan Allah SWT sehingga disetiap langkah kita selalu sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
b. Tidak pernah merasa resah dan gelisah apalagi
takut di dalam menghadapi sesuatu, sebab orang yang telah fitrah akan selalu tenang
di dalam menghadapi sesuatu.
c. Selalu memberi makan Ruh/Ruhani melalui
ibadah wajib dan sunnah serta selalu berbuat amal kebaikan dari waktu ke waktu
sehingga Ruh/Ruhani tidak pernah sekalipun dipuasakan (maksudnya Ruh/Ruhani selalu
dihubungkan dengan Allah SWT sehingga yang dipuasakan adalah Jasmani).
d. Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT merupakan perbuatan yang selalu dikerjakan sehingga dirinya
bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan selalu berguna bagi
kemaslahatan umat.
e. Merasa dirinya kecil dihadapan Allah SWT,
merasa dirinya bodoh dihadapan Allah SWT, sehingga merasa sangat membutuhkan Allah
SWT dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun.
f. Tidak pernah mengkafirkan orang lain, tidak
pernah merasa diri sendiri paling benar sedangkan orang lain salah, sehingga
kita yang telah kembali fitrah tidak pernah merasa hebat atau merasa benar
sendiri saja sedangkan orang lain salah.
g. Selalu menempatkan diri sebagai Muzakki
dibangdingkan menjadi Mustahik disetiap kesempatan serta mampu menjadikan diri
sendiri yang membutuhkan orang tidak berpunya (mustahik) sehingga kita
sendirilah yang mendatangi orang tidak berpunya (mustahik) pada saat menunaikan
Zakat.
Sebagai Khalifah di muka bumi,
kami berharap apa yang telah kami kemukakan di atas ini, merupakan cerminan
dari diri kita sendiri setelah mampu menunaikan ibadah Haji dan Umroh dan
semoga hal ini dapat kita ajarkan terus kepada anak keturunan kita sendiri,
kepada masyarakat luas sehingga terciptalah Negeri Madani di Indonesia yang
kita cintai.
D. BERMUSUHAN DENGAN SYAITAN DAN MENJADI
PEMENANG
Berdasarkan surat Al A’raaf (7)
ayat 22 yang kami kemukakan di bawah ini, kembali fitrah berarti kita harus
bermusuhan dengan syaitan sampai dengan kapanpun juga dan inilah fitrah dari manusia
yang harus kita ketahui dan pahami. Adanya kondisi fitrah yang seperti ini maka
jangan pernah sekalipun menjadikan syaitan yang sudah ditetapkan sebagai musuh,
justru kita rubah posisinya menjadi kawan bagi diri kita, menjadi pahlawan bagi
diri kita, menjadi atasan bagi diri kita, menjadi pemimpin bagi diri kita,
menjadi konsultan bagi diri kita, atau menjadi guru bagi diri kita, dalam hidup
dan kehidupan yang kita jalani saat ini. Alangkah bodohnya diri kita jika ketetapan
Allah SWT yang menjadikan syaitan sebagai musuh kita rubah menjadi hal hal yang
kami kemukakan di atas, karena resikonya sangat berat.
Maka syaitan membujuk
keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah
merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah
keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru
mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan
aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi kamu berdua?"
(surat
Al A’raaf (7) ayat 22)
Memiliki ilmu tentang syaitan merupakan salah satu jalan yang paling
dikehendaki oleh Allah SWT jika kita ingin mengalahkan syaitan. Syaitan sebagai
musuh bukanlah musuh yang mudah dikalahkan, syaitan tidak akan pernah putus asa
di dalam mengganggu dan menggoda musuhnya agar musuhnya kalah. Sebagai musuh daari
syaitan maka sudah seharusnya kita meniru langkah langkah syaitan terutama dari
sisi kegigihannya dalam menggoda dan menggangu diri kita. Jika sikap syaitan
sudah seperti ini kepada diri kita maka tidak ada jalan lain bagi diri kita
yang ingin menang melawan syaitan maka
kita harus gigih pula untuk mengalahkannya. Jangan pernah merasa kalah kepada
syaitan, kita harus terus berjuang untuk memenangkan pertarungan ini sebab
tidak ada tujuan perang yang hakiki kecuali kemenangan.
Perencanaan
yang baik akan memberi lebih banyak peluang untuk menang, sementara semakin buruk
perencanaan, semakin sedikit peluang untuk menang. Jadi bagaimana dengan mereka
yang tidak memiliki rencana?
(Sun
Tzu)
Sebagai pelaksana dari ketetapan untuk bermusuhan dengan syaitan, tidak ada jalan lain kecuali harus
melaksanakan ketetapan ini dengan sebaik baiknya. Untuk itu kita harus segera
mempersiapkan rencana yang baik agar menjadi pemenang dan juga harus mengetahui
pula apa posisi syaitan yang lainnya di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan
di muka bumi ini. Syaitan diciptakan oleh Allah SWT bukan hanya sebatas musuh
bagi umat manusia. Syaitan juga dijadikan Allah SWT sebagai sarana atau alat
bantu untuk menseleksi secara adil siapa yang berhak untuk masuk ke Syurga dan
siapa yang berhak masuk Neraka. Adanya syaitan dalam rencana besar kekhalifahan
di muka bumi maka lahirlah apa yang disebut menang masuk syurga dan juga kalah
masuk neraka yang keduanya hanya berlaku bagi umat manusia. Serta dengan adanya
syaitan akan melahirkan adanya nilai dari sebuah kemenangan dan juga nilai dari
sebuah kekalahan. Nilai inilah yang akan menghantarkan kita di tingkat berapa
kita berada di Syurga dan juga di tingkat berapa kita berada di Neraka. Untuk
itu jangan pernah merubah ketetapan Allah SWT yang berlaku kepada diri kita
yaitu tetap jadikan syaitan sebagai musuh karena hanya dengan adanya permusuhan
ini akan diketahui kualitas kefitrahan seseorang.
Syaitan asalnya dari api dan jika api kembali ke neraka jahannam bukanlah
sesuatu yang istimewa karena kampung halaman dari api adalah neraka. Yang
menjadi persoalan adalah kita yang sudah dikehendaki oleh Allah SWT sebagai
pemenang justru pulang kampungnya ke neraka akibat kalah melawan syaitan, padahal
kampung halaman asli diri kita adalah syurga. Jadi siapakah yang pintar
sekarang, manusia ataukah syaitan? Ayo segera pelihara dan jaga serta rawatlah kefitrahan
yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT kepada diri kita karena hasil
akhir daripada kefitrahan bukan untuk kepentingan Allah SWT melainkan untuk kepentingan
diri kita sendiri. Allah SWT tidak butuh dengan kefitrahan diri kita melainkan
kita lah yang sangat membutuhkan kefitrahan, terkecuali kita mau difitrahkan
oleh Allah SWT lewat jalur khusus yang bernama neraka jahannam sebelum
dipindahkan ke Syurga.
Kemenangan
adalah tujuan utama dari perang
(Sun
Tzu)
Inilah makna fitrah yang harus kita pahami dengan benar
bahwa kembali fitrah harus menjadikan diri kita pemenang melawan syaitan, bukan
menjadi pecundang yang menjadikan syaitan sebagai pemenang. Jika kita adalah
pemenang di dalam permusuhan abadi dengan syaitan berarti kita telah kembali
fitrah. Agar kemenangan terus menjadi milik kita maka kita harus memiliki ilmu
tentang musuh dengan sebaik baiknya. Syaitan selaku musuh tidak akan mungkin
bisa kita kalahkan jika kita tidak tahu apa kelemahannya dan apa kekuatannya.
Ingat, untuk mengalahkan musuh secara mudah harus melalui kelemahannya, bukan
melalui kekuatannya. Ayo segera belajar dalam kerangka memiliki ilmu tentang
syaitan agar kefitrahan kepada syaitan tetap terjaga dari waktu ke waktu, yaitu
bermusuhan lalu menang melawan syaitan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar