Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 23 Januari 2018

HIKMAH HAJI DAN UMROH (part 1 of 2)


Sebagai Khalifah di muka bumi ketahuilah bahwa saat ini perintah melaksanakan Ibadah Haji atau perintah melaksanakan Ibadah Umroh sudah berlaku di muka bumi ini. Lalu apakah kita yang telah diperintahkan oleh Allah SWT mau menyianyiakan begitu saja perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT  sehingga kita mengabaikan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik perintah Haji dan Umroh? Semoga kita termasuk orang-orang yang mampu melaksanakan perintah Haji dan Umroh yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sehingga mampu menjadikan diri kita menjadi tamu yang sudah ditunggu-tunggu kedatangannya oleh Allah SWT  atau tamu yang sangat dibanggakan oleh Allah SWT selaku Tuan Rumah yang selanjutnya mampu merasakan hikmah yang terdapat dibalik perintah ibadah Haji dan Umroh. Untuk itu, tidak ada jalan lain bagi diri kita yang hendak melaksanakan ibadah Haji ataupun melaksanakan ibadah Umroh untuk memiliki ilmu dan pemahaman tentang Haji dan Umroh mulai saat ini juga yang tentunya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Semoga kita yang telah diberikan kesempatan untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh berusaha dengan sungguh-sungguh agar terhindar dari memperoleh Haji Mardud, yaitu ibadah haji yang dikehendaki oleh Syaitan sang laknatullah.

Sekarang apa yang akan kita peroleh jika kita melaksanakan Ibadah Haji dan Umroh ke Baitullah yang sesuai dengan kehendak Allah SWT? Hal ini penting kami kemukakan karena jika sampai diri kita tidak tahu maksud dan tujuan yang hakiki (hikmah) dari pelaksanaan Ibadah Haji dan Umroh atau jika sampai kita tidak tahu apa hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik Ibadah Haji dan Umroh, maka kita tidak akan memiliki patokan atau pedoman apa yang akan kita peroleh, kita tidak tahu apa yang akan kita rasakan saat melaksanakan Ibadah Haji atau Umroh atau apa yang harus kita  lakukan setelah pulang Ibadah Haji dan Umroh.

Adapun hikmah yang paling hakiki yang terdapat di balik perintah melaksnakan Ibadah Haji dan Umroh yang mabrur yang telah diperintahkan oleh Allah SWT kepada umat manusia, dapat kami kemukakan sebagai berikut:  

a.       Untuk menyelamatkan Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya dari pengaruh Ahwa dan juga Syaitan yang dapat menjadikan kualitas Ruh/Ruhani menjadi tidak fitrah lagi (menjadi jiwa fujur). Ingat, Ruh/Ruhani asalnya fitrah dan harus kembali dalam kondisi yang fitrah (jiwa muthmainnah) agar bisa bertemu Allah SWT di tempat yang fitrah (maksudnya Syurga). Disinilah letak yang paling hakiki dari perintah menunaikan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur yaitu Allah SWT berkehendak agar Ruh/Ruhani yang berasal Allah SWT tetap fitrah saat melaksanakan tugas sebagai Khalifah di muka bumi dan kembalinya pun harus fitrah pula. Jika sampai Ruh/Ruhani tidak fitrah lagi maka akan difitrahkan oleh Allah SWT melalui proses dibakar di Neraka Jahannam.
 
b.      Allah SWT berkehendak kepada diri kita agar kita mampu merasakan langsung nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT, di tempat yang terbaik di muka bumi ini (maksudnya di Baitullah) serta di saat yang terbaik yaitu saat Allah SWT melaksanakan Open House yaitu saat Wukuf di Padang Arafah pada tanggal 9 (sembilan) Dzulhijjah, yang hasilnya bisa mengembalikan kefitrahan diri kita (mampu menjadikan kita kembali fitrah) sepanjang kita mampu melaksanakan ibadah Haji yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

c.       Allah SWT berkehendak untuk mengembalikan kefitrahan diri kita atau menjadikan jiwa kita jiwa muthmainnah, akibat pengaruh dari perbuatan dosa yang telah kita lakukan dan juga akibat pengaruh Ahwa yang didukung oleh Syaitan sehingga menjadikan diri kita tidak sesuai lagi dengan konsep awal penciptaan manusia yang mengakibatkan diri kita tidak fitrah lagi atau yang mengakibatkan jiwa kita telah menjadi jiwa fujur.

Adanya 3(tiga) buah keadaan yang kami kemukakan di atas, terlihat sangat jelas bahwa perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT bukanlah untuk kepentingan yang memerintahkan Haji dan Umroh. Melainkan untuk kepentingan yang diperintahkan oleh Allah SWT, yaitu diri kita dan juga anak keturunan kita sehingga ibadah Haji dan Umroh dapat dikatakan ibadah yang bersifat individualistik, yaitu hanya yang mampu melaksanakan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sajalah yang bisa memperoleh hikmah dari Haji dan Umroh.

Sekarang timbul pertanyaan baru, apa yang dimaksud dengan kembali fitrah atau kefitrahan diri, sehingga Allah SWT memerintahkan kepada diri kita untuk melaksanakan ibadah Haji dan Umroh minimal sekali dalam seumur hidup? Fitrah secara harfiah artinya suci, murni, bersih, belum ternoda. Kembali kepada Fitrah bukanlah berarti suci, murni, bersih, belum ternoda. Akan tetapi kembali ke fitrah adalah apakah diri kita  masih sesuai dengan kondisi awal penciptaan manusia atau apakah manusia masih sesuai dengan kondisi aslinya atau apakah manusia masih sesuai dengan program Allah SWT atau apakah manusia masih sesuai dengan Konsep Awal Penciptaan Manusia dari sisi pencipta manusia itu sendiri, dalam hal ini Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti jika kita dikatakan dalam kondisi fitrah atau kembali ke fitrah setelah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang mabrur maka keadaan diri kita masih sesuai dengan kodrat awal penciptaannya, atau dikembalikan ke kondisi awal penciptaan yang sesuai dengan konsep Allah SWT.

Lalu seperti apakah kondisi atau keadaan atau kodrat awal manusia yang masih fitrah itu atau seperti apakah kembali kepada fitrah itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kondisi dan keadaan dari manusia yang masih fitrah itu,  yaitu :

A.    RUH/RUHANI ADALAH JATI DIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA

Seorang dikatakan kembali fitrah atau telah difitrahkan kembali oleh Allah SWT melalui ibadah Haji dan Umroh yang mabrur maka orang tersebut tahu dan mengerti bahwa jati dirinya yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani. Jika Ruh/Ruhani adalah Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya maka yang sesungguhnya menjadi Khalifah di muka bumi adalah Ruh/Ruhani serta yang dikhalifahi secara mikro adalah Jasmani sedangkan secara makro yang dikhalifahi adalah bumi. Ruh/Ruhani asalnya dari Allah SWT sehingga hanya Allah SWT sajalah yang memiliki ilmu dan yang paling paham tentang Ruh/Ruhani, hanya Allah SWT sajalah yang mampu menciptakan Ruh/Ruhani serta Allah SWT sajalah yang mampu merawat Ruh/Ruhani. Apabila kita sangat berkepentingan dengan Ruh/Ruhani yang menjadi diri kita yang sesungguhnya dan yang menjadi Khalifah maka hanya dengan memenuhi segala apa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT maka kefitrahan Ruh/Ruhani bisa kita jaga sehingga Ruh/Ruhani datang fitrah kembalinya pun harus fitrah pula.  

Sekarang jika manusia kembali kepada fitrah berarti jati diri kita yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani dan jika Ruh/Ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya, lalu sudahkah perilaku, perbuatan Ruh/Ruhani yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan (Nass) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi Khalifah di muka bumi? Jika sikap dan perbuatan kita belum mencerminkan sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan (nass) berarti diri kita belum kembali fitrah atau kita belum sesuai dengan kehendak Allah SWT. Untuk itu segera kembalikan kefitrahan diri melalui proses Taubatan Nasuha yang diikuti dengan melaksanakan Diinul Islam secara kaffah saat ini juga karena waktu tidak bisa diputar ulang.

Jika kita telah kembali fitrah (maksudnya telah mampu menjadikan diri yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani) berarti kita telah mampu bertuhankan hanya kepada Allah SWT sesuai dengan janji yang telah dikemukakan oleh Ruh/Ruhani sesaat setelah Ruh/Ruhani dipersatukan dengan Jasmani di dalam rahim seorang ibu. Ingat, orang yang telah bertuhankan hanya kepada Allah SWT berarti orang itu tidak pernah sekalipun memutuskan hubungan dengan Allah SWT saat hidup di muka bumi.

 dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)

Sekarang jika manusia kembali kepada fitrah berarti ibadah Haji dan Umroh yang kita laksnakan harus dapat mengembalikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani. Dan jika Ruh/Ruhani adalah jati diri kita yang sesungguhnya berarti sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) harus menjadi perilaku dan perbuatan diri kita saat menjadi Khalifah di muka bumi. Jika sikap dan perbuatan diri kita setelah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh belum mencerminkan sifat-sifat alamiah Ruh/Ruhani (Nass) yang mencerminkan Nilai-Nilai Kebaikan (Nafs/Anfuss) berarti diri kita belum Kembali ke Fitrah, sehingga masih sesuai dengan kehendak Syaitan.Contohnya: jika sebelum melaksanakan ibadah Haji dan Umroh  kita pelit (bakhil), tidak mau berbagi, hanya mementingkan diri sendiri maka setelah ibadah Haji dan Umroh kita menjadi lebih dermawan, peduli kepada sesama. Lalu jika sebelum berhaji dan umroh kita selalu tergesa-gesa maka setelah berhaji dan umroh kita menjadi orang yang sabar.Jika sebelum berhaji dan umroh kita sering berbuat korupsi, kolusi dan nepotisme, setelah berhaji dan umroh kita tidak mau lagi melakukan hal-hal yang merugikan orang banyak. Jika sebelum puasa kita tidak bisa menghargai orang lain, setelah berhaji dan umroh kita bisa toleran kepada sesama. Jika sebelum berhaji dan umroh masih menjadi beban masyarakat, setelah berhaji dan umroh kita harus bermanfaat bagi masyarakat.

Sebaliknya jika kita masih pelit, masih mementingkan diri sendiri dan kelompok tertentu saja, masih selalu tergesa-gesa, masih menyakiti orang lain melalui kata-kata atau perbuatan, masih juga korupsi secara sendiri-sendiri atau berjamaah, masih suka kolusi, masih suka nepotisme, masih suka menjadi teroris, masih tetap menjadi pecandu narkoba, masih suka menipu, masih suka pamer aurat, masih berjudi, yang kesemuanya pada sesuai dengan kehendak Syaitan sang lakanatullah, maka berarti kita harus segera introspeksi diri karena kita masih memiliki masalah dengan perintah melaksanakan ibadah Haji dan Umroh yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, terkecuali jika mampu menahan panasnya api Neraka yang panasnya 70 (tujuh puluh) kali api dunia.

Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk Indonesia Raya
(Wage Rudolf Supratman)

Selanjutnya jika konsep fitrah itu adalah manusia yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani berarti kita harus mendahulukan pendidikan Ruh/Ruhani, dibandingkan dengan pendidikan Jasmani. Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikehendaki oleh para pendiri bangsa ini yang tertuang di dalam lagu kebangsaan Indonesia, yaitu Indonesia Raya. Alangkah hebatnya bangsa Indonesia yang setiap tahun rakyatnya banyak yang menunaikan ibadah Haji dan Umroh lalu semuanya mampu kembali fitrah yang kemudian menunjukkan hasil dari kefitrahannya kepada bangsa dan negara ini.

B.     KHALIFAH ALLAH SWT DI MUKA BUMI

Berdasarkan surat Al Baqarah (2) ayat 30 di bawah ini setiap manusia yang ada di muka bumi ini semuanya adalah Khalifah Allah SWT. Khalifah artinya pengganti, atau perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi sehingga dengan adanya kekhalifahan di muka bumi ini terperiharalah apa apa yang ada di muka bumi. Sebagai seorang Khalifah di muka bumi berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari asal usul diri kita dalam hal ini Allah SWT. Kita juga tidak bisa terlepas dan melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan pengutus diri kita di muka bumi.

Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)

Hal ini harus kita sadari betul saat menjadi Khalifah adalah dengan diri kita tahu dan mengerti siapa diri kita yang sesungguhnya maka kitapun harus tahu dan mengerti yang siapa Allah SWT yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan antara diri kita dengan Allah SWT tidak akan bisa dipisahkan serta kedudukannya tidak sejajar. “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka ia akan mengenal dirinya”. Inilah pedoman yang harus kita ketahui dan pahami jika kita mengaku sebagai Khalifah Allah SWT di muka bumi.

Selanjutnya jika kita kembali fitrah berarti kondisi dasar diri kita tidak bisa melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari kekhalifahan yang ada di muka bumi. Jika hal ini yang menjadi dasar dari kembali fitrah maka masihkah perilaku dari diri kita yang telah kembali fitrah sesuai dengan perilaku Allah SWT yang mencerminkan Nama Namanya Yang Indah (Asmaul Husna) ?.  

Shibghah Allah[91]. dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah.
(surat Al Baqarah (2) ayat 138)

[91] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.

Rasulullah SAW bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan orang yang haram (tersentuh) api neraka? Para sahabat berkata, iya, wahai Rasulullah. ‘Beliau menjawab (haram tersentuh api neraka) adalah Hayyin (orang yang memiliki ketenangan dan keteduhan lahir bathin); Layyin (orang yang lembut berkata dan berbuat); Qarib (orang yang ramah dan menyenangkan) dan Sahl (orang yang gemar mempermudah orang lain)”.
(Hadits Riwayat Ath Thirmidzi, Ibnu Hibban)

Untuk menjawab pertanyaan di atas, mari kita perhatikan hadits yang kami kemukakan di atas ini, kebaikan yang utama bagi diri kita yang telah diangkat oleh Allah SWT sebagai Khalifah di muka bumi adalah kita wajib berperilaku yang sesuai dengan Asmaul Husna yang telah menjadi sifat Ruh/Ruhani diri kita. Jika Ruh/Ruhani diri kita telah disifati oleh Allah SWT dengan Ar Rachman (Yang Maha Pengasih) dan Ar Rahiem (Yang Maha Penyayang) berarti perbuatan dan perilaku diri kita harus pula mencerminkan perilaku Pengasih dan Penyayang pula. Jika ini kita laksanakan berarti kita sudah bertindak apa yang dinamakan dengan Layyin (sesuai kata dengan perbuatan).  Sekarang bagaimana jika Ruh/Ruhani diri kita telah disifati dengan Asmaul Husna Ar Razaaq berarti perilaku kita setelah memperoleh Rezeki dari Allah SWT maka rezeki itu tidak untuk kepentingan diri sendiri semata, melainkan harus pula dibelanjakan di jalan Allah melalui infaq, melalui shadaqah ataupun wakaf. Jika sampai kita tidak mampu berbuat sesuai dengan kehendak Allah SWT berarti perilaku diri kita seperti garam yang sudah tidak asin lagi dan tidak pantas menyandang gelar garam. Demikian seterusnya dengan sifat sifat Ruh/Ruhani yang lainnya yang telah disifati dengan Asmaul Husna.

 Untuk itu mari kita renungkan apa yang dinamakan dengan sambal lado, dimana sambal lado merupakan gabungan dari bumbu bumbu yang disatukan seperti cabai, garam, tomat, terasi, gula dan lain sebagainya. Setiap dzat yang dipersatukan semuanya mempertontonkan dan mempertunjukkan sifat sifat yang dimilikinya, seperti cabai dengan pedasnya, garam dengan asinnya, tomat dengan rasa tomatnya, gula dengan rasa manisnya. Hasil akhir dari itu semua adalah sambal lado yang enak dan lezat. Sekarang apa jadinya jika garam yang memiliki sifat asin menahan rasa asinnya? Kurang asin atau kurang garam akan menyebabkan sambal lado menjadi kurang enak. 

Hal yang samapun berlaku dalam kehidupan manusia, jika sampai sifat Ruh/Ruhani ditahan dalam pergaulan sehari hari atau jika sampai sifat pengasih dan penyayang tidak ada di dalam kehidupan bermasyarakat maka hidup terasa hambar dan terjadilah apa yang dinamakan kebencian, kecurigaan serta tindas menindas karena hilangnya rasa welas asih di antara sesama manusia. Demikian seterusnya dengan Asmaul Husna yang lain yang harus menjadi perilaku diri kita saat hidup di muka bumi ini.Inilah salah satu bentuk kebaikan dalam kerangka ibadah Ikhsan yang utama dalam kehidupan kita. Ingat, kondisi ini baru bisa kita lakukan jika kita tahu dan mengerti bahwa Ruh/Ruhani adalah jati diri manusia yang sesungguhnya yang telah disifati oleh Allah SWT dengan Asmaul Husna. Sekarang semuanya tergantung kepada diri kita sendiri, maukah menjadikan sifat alamiah Ruh/Ruhani menjadi perbuatan diri kita seperti garam yang mampu yang berperilaku mengasinkan apa apa yang diliputinya. Jika kita tidak mampu berarti diri kita sama dengan garam yang sudah tidak asin lagi. Jika garam sudah tidak asin lagi maka tidak pantas ia mengaku garam atau disebut sebagai garam. Hal yang samapun jika kita tidak mampu menjadikan sifat Ruh/Ruhani menjadi sifat dan perbuatan kita maka kitapun sudah tidak pantas lagi disebut sabagai Khalifa Allah SWT  muka bumi. 

Kembali fitrah selain bermakna seperti yang telah kami kemukakan di atas, kembali fitrah juga bermakna Ruh/Ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya adalah subyek sedangkan jasmani dan juga bumi adalah obyek. Adanya kondisi ini berarti fitrah adalah suatu kondisi dimana subyek harus dapat mengendalikan obyek. Sekarang jika yang terjadi adalah obyek yang mengatur subyek berarti ada salah dari kekhalifahan yang kita laksanakan dan terjadilah apa yang dinamakan dengan keluar dari konsep awal penciptaan manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Agar subyek mampu mengendalikan obyek maka kemampuan dari subyek harus lebih tinggi dari kemampuan obyek. 

Disinilah letak dari kemampuan kita untuk selalu menjaga kefitrahan diri sehingga kemampuan subyek selalu terjaga dari waktu ke waktu dengan selalu mematuhi segala apa apa yang dikehendaki Allah SWT.  Hal yang terjadi dan dapat kita rasakan jika seluruh subyek mampu mengendalikan atau mengalahkan obyek berarti yang ada di muka bumi ini hanyalah nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sedangkan jika obyek sampai mampu mengendalikan subyek yang ada adalah nilai nilai keburukan yang dikehendaki oleh Syaitan. Jika sekarang kita telah selesai menunaikan ibadah Haji dan Umroh berarti jika kita kembali fitrah maka ibadah hajinya adalah Haji yang mabrur, demikian pula sebaliknya jika kefitrahan tidak kita peroleh maka hajinya adalah Haji Mardud. Semoga kita tidak mengalami dan menjadi Haji Mardud.
                                                                                             
C.    JIWA MUTHMAINNAH ADALAH  JIWA MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA

Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 172 di bawah ini, setiap Ruh/Ruhani tanpa terkecuali sudah menyatakan dan mengambil sumpah dengan memberikan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT semata. Ini berarti setiap Ruh/Ruhani telah terikat dengan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT sejak masih dalam kandungan sampai dengan kapanpun juga. Lalu dimanakah letaknya kembali fitrah itu jika dihubungkan dengan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT?  

 dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)",
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)

Kembali fitrah berarti kualitas dari pernyataan Ruh/Ruhani yang tidak lain adalah diri kita yang sesungguhnya akan terus menyatakan bertuhankan kepada Allah SWT sejak pertama kali dinyatakan, yaitu sejak dalam kandungan seorang ibu sampai dengan saat ini kapanpun kondisinya tetap berkualiatas. Berkualitasnya pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT yang telah kita nyatakan berarti jiwa kita yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah, yaitu suatu keadaan dimana Ruh/Ruhani mampu mengalahkan ahwa yang tidak lain perbuatan dari nilai nilai keburukan yang sesuai dengan kehendak syaitan yang ada dalam jasmani.   

Hai jiwa yang tenang.
Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,
masuklah ke dalam syurga-Ku.
(surat Al Fajr (91) ayat 27 sampai 30)

Hidup merupakan saat bersatunya Ruh/Ruhani dengan Jasmani sehingga di saat hidup itulah  akan terjadi apa yang dinamakan pertarungan antara Jasmani dengan Ruh/Ruhani untuk memperebutkan Amanah yang 7 (tujuh) dan Hubbul yang 7 (tujuh). Apabila Jasmani menang atas Ruh/Ruhani (maksudnya Jasmani mampu mengendalikan Ruh/Ruhani) maka sifat-sifat alamiah Jasmani yang mencerminkan Nilai-Nilai Keburukan (ahwa) akan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa Fujur. Sedangkan jika Ruh/Ruhani mampu mengendalikan Jasmani maka Nilai-Nilai Kebaikan (Nass) yang bersumber dari Nilai-Nilai Ilahiah akan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia dikatakan sebagai Jiwa Taqwa.

Selain daripada itu adalah orang yang telah mampu menjadikan diri yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani serta orang yang telah fitrah dapat dipastikan memiliki jiwa Muthmainnah dan yang tidak mungkin terjadi adalah orang yang kembali ke fitrah tetapi jiwanya Jiwa Fujur. Ciri dari orang yang telah kembali fitrah akan lebih mendahulukan kepentingan kehidupan akhirat dibandingkan dengan kepentingan untuk kehidupan dunia. (maksudnya kehidupan dunia yang saat ini dilaksanakannya mampu dijadikan alat bantu untuk menggapai kebahagiaan hidup di akhirat kelak atau kehidupan dunia yang dijalani saat ini dapat dijadikan alat bantu untuk membeli tiket masuk ke Syurga).

Ciri lain dari orang yang fitrah atau memiliki jiwa Muthmainnah adalah mampu menjauhi dosa besar seperti Syirik dan Musyrik, mampu tidak melakukan perbuatan keji dan mungkar serta mau memberikan pintu maaf kepada sesama manusia serta hidupnya selalu di dalam ketenangan, tidak pernah resah dan gelisah apalagi takut saat menghadapi persoalan.

dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf.
(surat Asy Syuura (42) ayat 37)

Jika saat ini kita menjadi pemimpin, berarti yang menjadi pemimpin itu adalah Ruh/Ruhani. Jika saat ini kita menjadi pengusaha dan penguasa maka yang menjadi pengusaha dan penguasa itu adalah Ruh/Ruhani. Dan jika ini yang terjadi pada setiap profesi, pada setiap jabatan, pada setiap kedudukan yang ada di dalam masyarakat ditambah semuanya telah kembali fitrah (maksudnya semuanya berjiwa muthmainnah) maka Nilai-Nilai Kebaikan yang berasal dari Nilai Nilai Ilahiah akan memenuhi alam semesta ini.

Selain daripada itu semua, orang yang telah menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah Ruh/Ruhani yang jiwanya Jiwa Muthmainnah berarti hal-hal sebagai berikut mampu dilaksanakan, seperti:

a.       Selalu menyadari dari waktu ke waktu bahwa kita sangat membutuhkan Allah SWT sehingga disetiap langkah kita selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT.

b.      Tidak pernah merasa resah dan gelisah apalagi takut di dalam menghadapi sesuatu, sebab orang yang telah fitrah akan selalu tenang di dalam menghadapi sesuatu.

c.       Selalu memberi makan Ruh/Ruhani melalui ibadah wajib dan sunnah serta selalu berbuat amal kebaikan dari waktu ke waktu sehingga Ruh/Ruhani tidak pernah sekalipun dipuasakan (maksudnya Ruh/Ruhani selalu dihubungkan dengan Allah SWT sehingga yang dipuasakan adalah Jasmani).

d.      Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT merupakan perbuatan yang selalu dikerjakan sehingga dirinya bukanlah menjadi beban bagi masyarakat melainkan selalu berguna bagi kemaslahatan umat.

e.   Merasa dirinya kecil dihadapan Allah SWT, merasa dirinya bodoh dihadapan Allah SWT, sehingga merasa sangat membutuhkan Allah SWT dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun.

f.       Tidak pernah mengkafirkan orang lain, tidak pernah merasa diri sendiri paling benar sedangkan orang lain salah, sehingga kita yang telah kembali fitrah tidak pernah merasa hebat atau merasa benar sendiri saja sedangkan orang lain salah.

g.      Selalu menempatkan diri sebagai Muzakki dibangdingkan menjadi Mustahik disetiap kesempatan serta mampu menjadikan diri sendiri yang membutuhkan orang tidak berpunya (mustahik) sehingga kita sendirilah yang mendatangi orang tidak berpunya (mustahik) pada saat menunaikan Zakat. 

Sebagai Khalifah di muka bumi, kami berharap apa yang telah kami kemukakan di atas ini, merupakan cerminan dari diri kita sendiri setelah mampu menunaikan ibadah Haji dan Umroh dan semoga hal ini dapat kita ajarkan terus kepada anak keturunan kita sendiri, kepada masyarakat luas sehingga terciptalah Negeri Madani di Indonesia yang kita cintai.


D.    BERMUSUHAN DENGAN SYAITAN DAN MENJADI PEMENANG

Berdasarkan surat Al A’raaf (7) ayat 22 yang kami kemukakan di bawah ini, kembali fitrah berarti kita harus bermusuhan dengan syaitan sampai dengan kapanpun juga dan inilah fitrah dari manusia yang harus kita ketahui dan pahami. Adanya kondisi fitrah yang seperti ini maka jangan pernah sekalipun menjadikan syaitan yang sudah ditetapkan sebagai musuh, justru kita rubah posisinya menjadi kawan bagi diri kita, menjadi pahlawan bagi diri kita, menjadi atasan bagi diri kita, menjadi pemimpin bagi diri kita, menjadi konsultan bagi diri kita, atau menjadi guru bagi diri kita, dalam hidup dan kehidupan yang kita jalani saat ini. Alangkah bodohnya diri kita jika ketetapan Allah SWT yang menjadikan syaitan sebagai musuh kita rubah menjadi hal hal yang kami kemukakan di atas, karena resikonya sangat berat.

Maka syaitan membujuk keduanya (untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka: "Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu berdua?"
(surat Al A’raaf (7) ayat 22)

Memiliki ilmu tentang syaitan merupakan salah satu jalan yang paling dikehendaki oleh Allah SWT jika kita ingin mengalahkan syaitan. Syaitan sebagai musuh bukanlah musuh yang mudah dikalahkan, syaitan tidak akan pernah putus asa di dalam mengganggu dan menggoda musuhnya agar musuhnya kalah. Sebagai musuh daari syaitan maka sudah seharusnya kita meniru langkah langkah syaitan terutama dari sisi kegigihannya dalam menggoda dan menggangu diri kita. Jika sikap syaitan sudah seperti ini kepada diri kita maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang ingin menang melawan syaitan  maka kita harus gigih pula untuk mengalahkannya. Jangan pernah merasa kalah kepada syaitan, kita harus terus berjuang untuk memenangkan pertarungan ini sebab tidak ada tujuan perang yang hakiki kecuali kemenangan.

Perencanaan yang baik akan memberi lebih banyak peluang untuk menang, sementara semakin buruk perencanaan, semakin sedikit peluang untuk menang. Jadi bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki rencana?
(Sun Tzu)

Sebagai pelaksana dari ketetapan untuk bermusuhan dengan syaitan,  tidak ada jalan lain kecuali harus melaksanakan ketetapan ini dengan sebaik baiknya. Untuk itu kita harus segera mempersiapkan rencana yang baik agar menjadi pemenang dan juga harus mengetahui pula apa posisi syaitan yang lainnya di dalam kerangka rencana besar kekhalifahan di muka bumi ini. Syaitan diciptakan oleh Allah SWT bukan hanya sebatas musuh bagi umat manusia. Syaitan juga dijadikan Allah SWT sebagai sarana atau alat bantu untuk menseleksi secara adil siapa yang berhak untuk masuk ke Syurga dan siapa yang berhak masuk Neraka. Adanya syaitan dalam rencana besar kekhalifahan di muka bumi maka lahirlah apa yang disebut menang masuk syurga dan juga kalah masuk neraka yang keduanya hanya berlaku bagi umat manusia. Serta dengan adanya syaitan akan melahirkan adanya nilai dari sebuah kemenangan dan juga nilai dari sebuah kekalahan. Nilai inilah yang akan menghantarkan kita di tingkat berapa kita berada di Syurga dan juga di tingkat berapa kita berada di Neraka. Untuk itu jangan pernah merubah ketetapan Allah SWT yang berlaku kepada diri kita yaitu tetap jadikan syaitan sebagai musuh karena hanya dengan adanya permusuhan ini akan diketahui kualitas kefitrahan seseorang. 

Syaitan asalnya dari api dan jika api kembali ke neraka jahannam bukanlah sesuatu yang istimewa karena kampung halaman dari api adalah neraka. Yang menjadi persoalan adalah kita yang sudah dikehendaki oleh Allah SWT sebagai pemenang justru pulang kampungnya ke neraka akibat kalah melawan syaitan, padahal kampung halaman asli diri kita adalah syurga. Jadi siapakah yang pintar sekarang, manusia ataukah syaitan? Ayo segera pelihara dan jaga serta rawatlah kefitrahan yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT kepada diri kita karena hasil akhir daripada kefitrahan bukan untuk kepentingan Allah SWT melainkan untuk kepentingan diri kita sendiri. Allah SWT tidak butuh dengan kefitrahan diri kita melainkan kita lah yang sangat membutuhkan kefitrahan, terkecuali kita mau difitrahkan oleh Allah SWT lewat jalur khusus yang bernama neraka jahannam sebelum dipindahkan ke Syurga.

Kemenangan adalah tujuan utama dari perang
(Sun Tzu)


Inilah makna fitrah yang harus kita pahami dengan benar bahwa kembali fitrah harus menjadikan diri kita pemenang melawan syaitan, bukan menjadi pecundang yang menjadikan syaitan sebagai pemenang. Jika kita adalah pemenang di dalam permusuhan abadi dengan syaitan berarti kita telah kembali fitrah. Agar kemenangan terus menjadi milik kita maka kita harus memiliki ilmu tentang musuh dengan sebaik baiknya. Syaitan selaku musuh tidak akan mungkin bisa kita kalahkan jika kita tidak tahu apa kelemahannya dan apa kekuatannya. Ingat, untuk mengalahkan musuh secara mudah harus melalui kelemahannya, bukan melalui kekuatannya. Ayo segera belajar dalam kerangka memiliki ilmu tentang syaitan agar kefitrahan kepada syaitan tetap terjaga dari waktu ke waktu, yaitu bermusuhan lalu menang melawan syaitan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar