Keberadaan diri kita di muka bumi adalah mata rantai dari keberadaan
kekhalifahan yang berada di atas diri kita dan/atau keberadaan diri kita tidak
terlepas dari adanya seorang perempuan dan seorang lelaki yang di dahului dan
diikat dengan tali pernikahan yang kemudian lahirlah diri kita ke muka bumi ini.
Setelah lahir kepada mereka berdua kita memanggil dengan sebutan Ibu dan Bapak
atau Mama dan Papa. Selanjutnya timbul pertanyaan, atas dasar apakah diri kita
memanggil ke duanya dengan sebutan Ibu dan Bapak atau Mama dan Papa? Adanya
anak dan orang tua akan melahirkan apa yang dinamakan dengan hubungan hak dan
kewajiban anak kepada orang tua dan hubungan hak dan kewajiban orang tua kepada
anak. Adanya hak dan kewajiban orang tua kepada anak maka diri kita memperoleh
apa yang dinamakan kasih sayang, perlindungan, pendidikan, arahan, rasa aman,
pengayoman, kelembutan, dan lain sebagainya. Sebagai anak maka kita diwajibkan
untuk berbakti kepadanya, menghormatinya, menjunjung harkat dan martabat mereka
dengan selalu menjaga nama baiknya, dan lain sebagainya. Ini berarti diri kita
memanggil Ibu dan Bapak bukanlah tanpa ada sesuatu hal yang melatarbelakanginya
dan/atau diri kita memiliki alasan yang sangat tinggi di balik panggilan kepada
mereka berdua. Timbul pertanyaan, kenapa diri kita mau melaksanakan kewajiban
kepada orang tua?
Selain karena perintah ALLAH SWT, kita melakukan
hal tersebut kepada orang tua karena diri kita sendiri telah menyaksikan dan
merasakan langsung secara keseluruhan atas apa-apa yang menjadi kewajiban orang
tua kepada anaknya yang dimulai dari mendidik, membesarkan, merawat, membiayai,
dan seterusnya tanpa putus-putusnya. Berdasarkan hal-hal yang kami sebutkan di atas,
dapat dikatakan antara orang tua dengan anak atau antara anak dan orang tua
tidak hanya terikat hubungan kekeluargaan, akan tetapi juga terikat dalam
hubungan emosional yang tidak mungkin terpisahkan.
Timbul pertanyaan, sampai kapankah masa berlakunya diri kita memanggil
Ibu dan Bapak atau sampai kapankah masa berlakunya hubungan antara diri kita
sebagai anak dengan Ibu dan Bapak sebagai orang tua dan/atau sampai kapankah
masa berlakunya kewajiban diri kita kepada Ibu dan Bapak? Masa berlaku hubungan
antara diri kita dengan ke dua orang tua kita, bisa jangka pendek, bisa juga
jangka panjang. Apakah maksudnya? Panjang
dan Pendeknya masa berlaku hubungan antara diri kita dengan ke dua orang tua
sangat tergantung dengan hal-hal yang akan kami kemukakan di bawah ini:
1. Sepanjang diri kita mau mengakui dan mau menerima
mereka berdua adalah ke dua orang tua dan/atau
2. Sepanjang diri kita tidak memutuskan hubungan
dengan ke dua orang tua dan/atau
3. Sepanjang diri kita mau terikat di dalam struktur
kekeluargaan.
Jika ke tiga hal yang kami kemukakan di atas
ini, kita laksanakan maka berlakulah ketentuan masa berlakunya hubungan antara
diri kita dengan ke dua orang tua kita. Hal yang harus kita perhatikan adalah
masa berlaku hubungan antara orang tua dengan anaknya berbeda dengan masa
berlaku hubungan anak kepada orang tua. Jika anak yang memutuskan hubungan
dengan orang tua maka sampai disitulah hubungan berakhir.
Adanya pemutusan hubungan yang dilakukan anak
kepada orang tua maka lahirlah apa yang dinamakan dengan Anak Durhaka. Akan tetapi orang tua yang diputuskan hubungan oleh
anak, belum tentu memutuskan hubungan dengan anak-anaknya. Sehingga walaupun
anaknya telah memutuskan diri, orang tua tidak bisa begitu saja memutuskan
hubungan dengan anaknya. Selanjutnya jika kita mengacu kepada surat Al Ahqaaf
(46) ayat 15 dan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim yang kami
kemukakan di bawah ini, diri kita telah diperintahkan untuk selalu berbuat
baik, untuk selalu berbakti kepada ke dua orang tua, tidak hanya saat orang tua
kita masih hidup saja. Akan tetapi setelah ke duanya meninggal dunia, kita
pun masih diberikan kesempatan untuk berbakti kepada mereka berdua melalui doa
yang kita panjatkan kepada ALLAH SWTsampai RUH kita sendiri tiba
dikerongkongan.
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".
(surat Al Ahqaaf (46) ayat 15)
Rasulullah
SAW bersabda: “Bila seseorang telah meninggal, terputus untuknya pahala segala
amal kecuali tiga hal yang tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat yang diajarkan,
dan anak shaleh yang senantiasa mendoakannya”. (HR Bukhari-Muslim)
Selain daripada itu, khusus untuk anak-anak kaum
muslim yang mati saat di usia balita, hubungan mereka dengan ke dua orang tua
tidak terputus sama sekali dan/atau masih tetap terpelihara. Apa buktinya?
Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan di atas ini, hubungan antara anak yang meninggal di usia
dini masih ada dan tetap berlaku sampai dengan hari kiamat kelak. Yang menjadi
persoalan adalah hubungan ini hanya dapat berjalan jika antara diri kita dan
juga orang tua kita sama-sama melaksanakan dan/atau berada di dalam DIINUL
ISLAM sebagai agama yang Haq. Tanpa ada kesamaan gelombang atau tanpa adanya kesamaan
di dalam DIINUL ISLAM maka kemudahan untuk mendoakan atau kemudahan untuk masuk
Syurga yang di dapat melalui anak yang meninggal dalam usia kecil akan menjadi
sia-sia belaka.
Menurut
Hadist Qudsi: ALLAH SWT berfirman pada
qiamat kepada anak-anak: “Masuklah kalian ke dalam surga”! Anak-anak itu
berkata: “Wahai Tuhan kami, (kami menunggu) hingga ayah ibu kami masuk”. Lalu
mereka mendekati pintu surga! Tapi tidak mau masuk ke dalamnya. ALLAH SWT
berfirman lagi: “Mengapa Aku lihat mereka enggan masuk? Masuklah kalian ke
dalam surga! Mereka menjawab: “Tetapi (bagaimana) orang tua kami? ALLAH SWT
berfirman: “Masuklah kalian ke dalam surga bersama orangtua kalian”.
(HQR Ahmad dari Syurahbil bin Syu’ah yang bersumber
dari shahabat Nabi SAW)
Syurahbil bin Syuf'ah dari seorang sahabat berkata:
Nabi SAW bersabda: Kelak dihari kiamat ALLAH ta'ala menyuruh kepada anak-anak
(anak-anak kaum muslim yang mati kecil): Masuklah kalian ke dalam syurga. Jawab
mereka: Ya Rabbi kami menunggu sehingga ayah dan ibu-ibu kami masuk syurga,
lalu mereka pergi ke syurga tetapi enggan masuk, sehingga ditanya oleh ALLAH:
Mengapakah mereka enggan masuk, lalu diperintahkan masuklah ke syurga. Mereka
bertanya: Ya Tuhan ayah-ayah kami? Lalu ALLAH berfirman: Masuklah kalian dan
ayah-ayahmu ke syurga.
(HQR
Ahmad, 272:212)
Untuk itu sudahkah diri kita mengajarkan anak dan keturunan kita DIINUL
ISLAM secara baik dan benar di dalam kerangka regenerasi kekhalifahan di muka
bumi?
Itulah
masa berlaku hubungan yang terjadi antara diri kita dengan ke dua orang tua
kita, dimana kesemuanya sangat tergantung seberapa jauh diri kita selaku anak
mau melaksanakan komitmen untuk mempertahankan hubungan dengan ke dua orang tua
kita. Sekarang bagaimana dengan masa berlakunya SYAHADAT, apakah SYAHADAT yang
artinya Kesaksian bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW
adalah utusan ALLAH SWT juga memiliki masa berlaku? SYAHADAT yang tidak lain
adalah Komitmen dan Pengakuan untuk mengakui, untuk menerima, untuk menjadikan
ALLAH SWT adalah satu-satunya Tuhan dan NABI MUHAMMAD SAW adalah utusan-Nya,
juga memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku dalam arti khusus.
Secara umum masa berlaku SYAHADAT sepanjang manusia ada di muka bumi dan/atau
sepanjang bumi ini masih ada maka SYAHADAT masih berlaku dan/atau sepanjang
DIINUL ISLAM sebagai Agama yang HAQ di muka bumi ini maka sepanjang itu pula
SYAHADAT berlaku dan/atau SYAHADAT berlaku sampai dengan hari KIAMAT. Sekarang
bagaimana dengan masa berlaku SYAHADAT dalam arti khusus yaitu masa berlaku
bagi individual atau bagi pribadi-pribadi?
Bagi
individual atau secara pribadi-pribadi masa berlaku SYAHADAT dapat dibedakan
menjadi 2(dua) yaitu Dimulai dari saat ditiupkannya RUH dalam JASMANI sampai
dengan sebelum RUH tiba dikerongkongan dan/atau Dimulai dari saat ditiupkannya
RUH dalam JASMANI sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak
mau melaksanakan SYAHADAT dan/atau diri kita sendiri yang memutuskan hubungan dengan ALLAH SWT dengan
tidak mau lagi melaksanakan SYAHADAT.Jika dalam kehidupan sehari-hari ada
istilah anak durhaka, yaitu suatu istilah bagi anak yang memutus hubungan
dengan orang tua, maka istilah anak durhakapun (maksudnya adalah orang yang
kafir) akan terjadi jika diri kita tidak mau melaksanakan SYAHADAT yang
berarti memutus hubungan dengan ALLAH SWT. Adanya kondisi yang kami kemukakan
di atas ini, maka dapat dikatakan bahwa masa berlaku SYAHADAT bagi individual
sangat tergantung kepada individu-individu itu sendiri, yaitu:
1. Apakah
ia mau menerima, apakah ia mau menjadikan Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI
MUHAMMAD SAW adalah Utusan ALLAH SWT, ataukah
2. Apakah
ia tidak mau menerima dan tidak mau
menjadikan Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW adalah
utusan ALLAH SWT.
Berdasarkan
2(dua) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini, berarti jika kita mau
berkomitmen untuk mengakui, untuk
menerima, untuk menjadikan Tiada
Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW adalah utusan ALLAH SWT maka masa
berlaku SYAHADAT yang kita lakukan akan panjang selama pengakuan tersebut terus
kita lakukan dari waktu ke waktu selama hayat di kandung badan atau sampai RUH
kita tiba dikerongkongan. Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan untuk
tidak berkomitmen menerima dan tidak mau menjadikan Tiada Tuhan selain ALLAH
SWT dan NABI MUHAMMAD SAW adalah utusan ALLAH SWT maka sampai disitulah masa
berlaku SYAHADAT yang kita laksanakan dan/atau berakhirlah hubungan diri kita
dengan ALLAH SWT. Sekarang pilihan untuk melaksanakan SYAHADAT ada pada diri
kita sendiri.
Apakah ibadah SYAHADAT yang tidak lain adalah Komitmen dan Pengakuran dari diri kita kepada ALLAH SWT dan juga kepada
NABI MUHAMMAD SAW hanya sebatas kesaksian yang bersifat se-arah saja ataukah
SYAHADAT dapat menjadikan antara diri kita dengan ALLAH SWT dan juga NABI
MUHAMMAD SAW memiliki hubungan yang bersifat dua arah? Jika kita mengacu kepada
hubungan antara anak dengan orang tua, dimana hubungan di antara ke duanya
bukanlah hubungan yang bersifat se-arah saja. Akan tetapi antara anak dan orang
tua terjalin hubungan dua arah, sepanjang anak mau tetap mengakui dan mau
menerima keberadaan orang tua. Adanya hubungan dua arah antara anak dan orang
tua akan melahirkan apa yang dinamakan hak dan kewajiban di antara keduanya.
Sekarang apa yang terjadi jika anak memutuskan
hubungan dengan orang tua? Jika ini yang terjadi maka akan terjadilah hubungan
satu arah, yaitu orang tua kepada anak saja dikarenakan orang tua belum tentu
akan bersikap sama dengan anak yaitu memutuskan hubungan walaupun anak telah
memutuskan hubungan. Sekarang bagaimana dengan SYAHADAT yang kita laksanakan?
Hal yang samapun akan terjadi jika kita melaksanakan SYAHADAT yang artinya
Komitmen dan Pengakuan Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW adalah
utusan ALLAH SWT, maka antara diri kita dengan ALLAH SWT dan juga dengan NABI
MUHAMMAD SAW akan terjalin suatu hubungan yang bersifat dua arah. Hal yang
harus kita perhatikan saat melakukan hubungan dua arah dengan ALLAH SWT melalui
SYAHADAT adalah ALLAH SWT bersikap pasif atau ALLAH SWT menunggu aksi manusia
sehingga kitalah yang harus aktif untuk memulai hubungan dua arah melalui
SYAHADAT dan/atau aktif untuk membina hubungan dua arah dengan ALLAH SWT
melalui SYAHADAT.
Abu Hurairah r.a. berkata; Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin
menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya dan bila ia enggan
menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR
Al-Bukhari, Malik dan Annasa'ie dari Abu Hurairah, 272:17)
Hal ini bisa kita lihat dan pelajari melalui Hadits
Qudsi yang kami kemukakan di atas ini, yaitu jika diri kita mau menemui ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun mau menemui
diri kita dan jika kita mau berhubungan dengan ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun
akan mau berhubungan dengan diri kita, demikian pula sebaliknya. Jika kita
enggan dan tidak mau untuk berhubungan dengan ALLAH SWT maka ALLAH SWT pun akan
enggan dan tidak mau berhubungan dengan diri kita. Hal
yang harus kita perhatikan saat melakukan komunikasi dengan ALLAH SWT adalah ALLAH SWT selaku DZAT yang
MAHA, dapat dipastikan ALLAH SWT tidak akan memerlukan hubungan komunikasi
dengan diri kita. Akan tetapi diri kitalah yang sangat membutuhkan hubungan
komunikasi dengan ALLAH SWT. Jika ini keadaannya, apakah kita akan
menyianyiakan kesempatan untuk berhubungan dengan ALLAH SWT dan/atau membuang
begitu saja kesempatan yang telah diberikan ALLAH SWT?
Hamba ALLAH SWT, dengan telah dilaksanakannya
SYAHADAT yang artinya adalah Komitmen dan Pengakuan bahwa Tiada Tuhan selain
ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW adalah utusan ALLAH SWT oleh diri kita berarti
antara diri kita dengan ALLAH SWT dan juga dengan NABI MUHAMMAD SAW sudah
terikat di dalam suatu hubungan dua arah sepanjang diri kita tidak memutuskan
hubungan dengan ALLAH SWT dan juga NABI MUHAMMAD SAW. Selanjutnya sebelum kami
membahas lebih lanjut tentang hubungan antara diri kita dengan ALLAH SWT,
perkenankan kami mengemukakan terlebih dahulu hubungan yang terjadi antara diri
kita dengan NABI MUHAMMAD SAW. Timbul pertanyaan, hubungan yang seperti apakah
yang terjadi antara diri kita dengan NABI MUHAMMAD SAW setelah diri kita
melaksanakan SYAHADAT? Jika diri kita telah melaksanakan SYAHADAT berarti diri
kita telah berkomitmen untuk selalu menjadikan NABI MUHAMMAD SAW menjadi:
1. Penuntun
bagi diri kita untuk menuju ALLAH SWT dan/atau ikutan dan tauladan bagi diri
kita saat menjadi KHALIFAH di muka bumi.
2. Penerang isi dan kandungan Al-Qur'an.
3. Penyeru bagi umat manusia untuk Menyembah ALLAH
SWT dan untuk menjauhi THAGHUT.
4. Pembawa Petunjuk dan Agama yang benar yang berasal
dari ALLAH SWT semata.
5. Penuntun
yang mengajarkan dan yang mencontohkan bagaimana cara untuk menjalankan syariat
DIINUL ISLAM.
6. Penuntun
dan pemberi petunjuk untuk memperoleh atau untuk mendapatkan Ampunan dan Rahmat
dari ALLAH SWT dan/atau Penuntun dan pemberi petunjuk bagi Manusia di dalam
melaksanakan Ketauhidan atau beraqidah hanya kepada ALLAH SWT.
7.
Penyampai,
Pengajar, Penyebar AD DIIN atau DIINUL ISLAM sebagai satu-satunya Agama yang
Haq.
8. Pemberi
SYAFAAT bagi orang-orang yang beriman di waktu hari kiamat dan/atau hanya akan
diberikan kepada orang-orang yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang
dikehendaki ALLAH SWT saja.
Seperti apakah bentuk hubungan yang terjadi antara
diri kita dengan ALLAH SWT? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka kita harus
mengetahui terlebih dahulu apa yang dikemukakan ALLAH SWT di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 yang
kami kemukakan di bawah ini.
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada
Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di
muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan
(khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Surat Al Baqarah (2) ayat
30 di atas ini, dapat dikatakan sebagai titik awal adanya hubungan antara diri
kita dengan ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan yang menciptakan Manusia, yang akan
dijadikan sebagai KHALIFAH di muka bumi adalah ALLAH SWT. Adanya kondisi ini
berarti konsep tentang keberadaan
manusia di muka bumi berasal hanya dari ALLAH SWT tanpa ada campur tangan lain
dari siapapun juga sehingga keberadaan manusia di muka bumi suci dan murni
hanya berasal dari ALLAH SWT semata.
Sekarang jika ALLAH SWT adalah pencipta dari
kekhalifahan di muka bumi, ini berarti keberadaan diri kita sebagai KHALIFAH di
muka bumi tidak akan bisa dilepaskan dengan adanya Kehendak dan Kemampuan serta Ilmu ALLAH SWT. Adanya kondisi ini
menunjukkan kepada diri kita bahwa antara diri kita dengan ALLAH SWT memiliki
hubungan yang sangat erat secara timbal balik atau adanya hubungan dua arah
antara pencipta dengan ciptaannya sepanjang diri kita tetap mempertahankan
hubungan ini berlaku dari waktu ke waktu.
Dan apabila hal-hal yang
telah kami kemukakan di atas ini kami jadikan asumsi dasar, di dalam menilai
suatu hubungan antara Pencipta dan Ciptaan-Nya maka kita akan mendapatkan 2(dua)
buah hubungan yang melibatkan antara Pencipta dengan Ciptaan secara timbal
balik pula, yaitu:
1. Adanya hubungan antara
PENCIPTA dengan CIPTAAN, dalam hal ini ALLAH SWT dengan MANUSIA.
Sebagaimana kita ketahui bersama setiap Inisiator,
Pencipta dan Pemilik dari sesuatu hal pasti mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan
apa-apa yang telah diciptakannya atau yang dimilikinya. Hal yang sama juga
berlaku dengan ALLAH SWT kepada seluruh ciptaannya, dalam hal ini ALLAH SWT
kepada langit dan bumi beserta isinya dan/atau ALLAH SWT kepada manusia yang
dijadikannya KHALIFAH di muka bumi. Adanya hubungan yang seperti ini maka dapat
dikatakan bahwa:
a.
ALLAH SWT pasti yang Maha
Tahu dan yang Maha Ahli atas langit dan bumi beserta isinya; ALLAH SWT juga
yang Maha Tahu dan Maha Ahli atas
kekhalifahan di muka bumi, termasuk juga yang Maha Tahu dan Maha Ahli
terhadap Jin/Iblis/Syaitan serta yang Maha Tahu dan Maha Ahli atas Malaikat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa ALLAH SWT pasti memiliki Ilmu dan Pengetahuan
atas apa-apa yang diciptakan-Nya dan atas apa-apa yang dimiliki-Nya.
b.
ALLAH SWT pasti memiliki
Kehendak dan Kemampuan atau ALLAH SWT memiliki sifat Qudrat dan Iradat yang
sama-sama HEBAT sebab jika suatu Kehendak tanpa dibarengi dengan Kemampuan di
dalam menciptakan sesuatu berarti hanya angan-angan belaka.
c.
ALLAH SWT pasti memiliki
Kemahaan atau Kekuatan atau Kemampuan atau Kekuasaan yang lebih dibandingkan
dengan kemampuan dan kekuatan yang dimiliki oleh makhluk yang diciptakan-Nya.
d.
ALLAH SWT pasti lebih Berkuasa
dibandingkan dengan kekuasaan dari apa-apa yang diciptakan-Nya sehingga dengan
demikian Eksistensi keberadaan ALLAH SWT selaku Pemilik dan Pencipta dapat dilihat, dapat dibedakan, dapat dinilai
dengan sangat jelas di mata apa-apa yang diciptakan-Nya.
e.
ALLAH SWT selaku
Inisiator, Pencipta dan Pemilik dapat dipastikan akan memelihara, akan menjaga,
akan mengawasi, akan mengontrol, akan mengayomi, akan memberikan pertolongan
kepada seluruh ciptaan-Nya. Hal ini untuk membuktikan ALLAH SWT adalah Maha Bertanggung
Jawab serta untuk menunjukkan Eksistensi ALLAH SWT di mata ciptaan-Nya.
f.
ALLAH SWT pasti akan
memberikan Sanksi atau Teguran atau Ancaman kepada siapapun juga yang
melecehkan ALLAH SWT selaku Inisiator, Pencipta dan Pemilik dari alam semesta
ini dan ALLAH SWT akan memberikan pula
Sanksi atau Teguran atau Ancaman kepada siapapun yang merusak atas apa-apa yang
dimiliki oleh ALLAH SWT.
g.
ALLAH SWT pasti akan
senang kepada ciptaan-Nya yang mau
menjaga dan mau memelihara segala sesuatu yang dimiliki oleh ALLAH SWT. Dan
juga ALLAH SWT pasti akan senang kepada ciptaan-Nya yang dapat menempatkan,
dapat meletakkan dan dapat memposisikan ALLAH SWT sesuai dengan keadaan ALLAH
SWT yang sebenarnya, dalam hal ini menempatkan ALLAH SWT selaku Inisiator, Pencipta
dan Pemilik.
h.
ALLAH SWT pasti sudah
memikirkan dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk kepentingan seluruh apa-apa
yang diciptakannya sepanjang ciptaan itu ada di antara langit dan bumi sehingga
dapat dikatakan ALLAH SWT pasti sudah mempunyai sarana dan prasarana baik
langsung maupun tidak langsung untuk memenuhi segala kebutuhan makhluk yang
diciptakannya di antara langit dan bumi tanpa terkecuali. Untuk itu lihatlah
apa yang telah ALLAH SWT lakukan kepada
manusia sejak mulai diciptakan sampai dengan hari kiamat nanti, berapa banyak
udara, berapa banyak hewan dan tumbuhan, berapa banyak air yang telah
diciptakan oleh ALLAH SWT untuk kepentingan manusia?
ALLAH SWT selaku
Inisiator, Pencipta dan Pemilik langit dan bumi tentu Wajib dan Harus
melakukan, memiliki, membuat, menetapkan, mempunyai, memperlihatkan,
menunjukkan apapun juga dalam rangka menunjukkan bahwa ALLAH SWT adalah
segala-galanya, sehingga apa-apa yang akan kami sebutkan dalam point a sampai dengan point e di bawah ini menjadi
MUTLAK MILIK ALLAH SWT semata, yaitu:
a.
ALLAH SWT menetapkan dan
memberlakukan adanya Ketentuan-Ketentuan atau adanya Undang-undang atau adanya
Hukum-Hukum mengenai Qhada; Qadar dan Taqdir harus berlaku di alam semesta ini
dan/atau
b.
ALLAH SWT membuat
Garis-Garis Besar Haluan Ilahiah dengan menetapkan AD DIIN atau DIINUL ISLAM
menjadi AGAMA yang HAQ sehingga harus dipatuhi atau di taati oleh kekhalifahan
yang diciptakan-Nya dan/atau
c.
ALLAH SWT menunjukkan
Kemahaan yang dimiliki-Nya kepada
seluruh ciptaannya dengan menetapkan Larangan, Perintah, Janji serta Ancaman
dan/atau
d.
ALLAH SWT membuat,
menetapkan dan menjalankan sebuah
Management System yang sangat terintegrasi di Lauh Mahfuzh di dalam
mengelola, menjaga, mengawasi, merawat seluruh ciptaan-Nya dan/atau
e.
ALLAH SWT mempunyai Kekuasaan Mutlak atas
seluruh ciptaan-Nya yang ada di langit dan di bumi.
Sampai kapankah
Kemutlakan yang Dimiliki oleh ALLAH SWT kepada seluruh ciptaan-Nya itu atau
sampai kapankah masa berlakunya hubungan ALLAH SWT dengan seluruh ciptaan-Nya
yang ada di langit dan di bumi? Di dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita
akan melindungi, merawat, memelihara, menjaga apa-apa yang kita miliki dengan
sekuat tenaga sampai hayat di kandung badan. Ini berarti kemampuan untuk
melindungi dan menjaga hak kepemilikan dari seorang manusia mempunyai batas
tertentu yaitu hanya sampai dengan Hayat di kandung Badan atau sampai dengan
anak dan cucu. Sekarang bagaimana dengan
ALLAH SWT yang pasti Kekal Selamanya dan yang tidak akan mungkin musnah
oleh sebab apapun juga? Jika ini adalah kondisi ALLAH SWT maka Kemutlakan yang dimiliki oleh
ALLAH SWT kepada seluruh ciptaan-Nya itu akan tetap Kekal Selamanya sesuai
dengan kondisi ALLAH SWT dan/atau hubungan ALLAH SWT dengan seluruh ciptaan-Nya
yang ada di langit dan di bumi sesuai dengan KEKEKALAN yang dimiliki-Nya. Yang
sering menjadi persoalan saat ini adalah Tahukah, Yakinkah, kita semua dengan
Kemutlakan yang dimiliki oleh ALLAH SWT? Selama ini kita hanya mengetahui itu
semua, akan tetapi keyakinan belum tumbuh di dalam diri dan yang lebih parah
lagi kita malah tidak mau mempercayai itu semua.
2. Adanya hubungan antara CIPTAAN dengan PENCIPTA
dalam hal ini ALLAH SWT dengan MANUSIA.
Sekarang jika kita mengacu atau berkaca dengan
Kondisi Dasar yang melekat pada ALLAH
SWT kepada apa-apa yang diciptakan-Nya, maka dapat dikatakan bahwa :
a.
Ciptaan itu adalah
sesuatu yang hanya ada jika ia diciptakan dan jika ia tidak pernah diciptakan
maka ia tidak akan pernah ada selamanya.
b.
Ciptaan itu adalah
sesuatu yang tidak memiliki dan tidak mempunyai apapun juga dibandingkan dengan
Pencipta, dan jika ciptaan itu memiliki dan mempunyai sesuatu itu karena
diberikan oleh ALLAH SWT selaku Pencipta.
c.
Ciptaan itu adalah
sesuatu yang tidak mempunyai kekuasaan apapun juga dibandingkan dengan Pencipta
dan jika ciptaan memiliki kekuasaan itu karena diberikan oleh ALLAH SWT selaku
Pencipta.
d.
Ciptaan itu adalah
sesuatu yang tidak akan sanggup melawan dan/atau tidak memiliki kemampuan untuk
dapat mengalahkan Pencipta dalam hal ini adalah ALLAH SWT.
e.
Ciptaan itu adalah
sesuatu yang keberadaannya hanya dijadikan sebagai obyek atau hanya sebagai
mainan bagi penciptanya dalam hal ini
adalah mainan atau permaian ALLAH SWT. Dan jika ciptaan ini adalah MAINAN bagi
penciptanya maka MAINAN tidak akan mungkin membuat sendiri aturan permainan
untuk dirinya sendiri atau mainan tidak akan mungkin pula menjadi WASIT di
dalam permainan yang dilakoninya sendiri.
f.
Ciptaan itu adalah
sesuatu atau obyek yang tidak bisa berbuat sekehendak hatinya saja apalagi
berbuat di tempat yang tidak dimilikinya sendiri sebab ia dan tempat itu juga
sama-sama diciptakan oleh ALLAH SWT.
Jika apa-apa yang kami kemukakan di atas ini adalah
kondisi dasar dari suatu hubungan antara
Manusia dengan ALLAH SWT. Selanjutnya jika kondisi dasar manusia ini kita
bandingkan dengan kondisi dasar ALLAH
SWT yang telah kami kemukakan juga di atas, apa yang harus kita perbuat kepada
ALLAH SWT? Sebelum menjawab pertanyaan ini, akan kami kemukakan 2(dua) ayat
yang terdapat di dalam Al-Qur'an yang akan memberikan gambaran apa yang
dilakukan oleh Ciptaan kepada Penciptanya, yaitu:
semua
yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah
(menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(surat Al Hadiid (57) ayat 1)
Apakah
kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di
bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang
melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang
telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.
(surat Al Hajj (22) ayat 18)
Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1 dan surat
Al Hajj (22) ayat 18 yang kami kemukakan di atas ini, diterangkan bahwa seluruh
apa-apa yang ada di langit dan seluruh apa-apa yang ada di muka bumi, yang
terdiri dari matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan, tanpa
terkecuali melakukan SUJUD kepada ALLAH SWT dan/atau BERTASBIH kepada ALLAH
SWT, dengan menyatakan dan mengakui akan kebesaran ALLAH SWT; menyatakan dan
mengakui akan kekuasan ALLAH SWT, menyatakan dan mengakui kemahaan ALLAH SWT.
Bagaimana dengan MANUSIA atau dengan DIRI KITA yang
saat ini sama-sama berada di tengah-tengah langit dan bumi seperti halnya
matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, dan tumbuhan? MANUSIA atau DIRI
KITA sebagai MAKHLUK yang diciptakan oleh ALLAH SWT sama seperti halnya
matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan, tentu kita tidak memiliki
kekuatan dan kemampuan apapun juga dibandingkan dengan ALLAH SWT. Dan jika DIRI
KITA adalah sama-sama makhluk yang diciptakan oleh ALLAH SWT, apakah DIRI KITA
juga telah melaksanakan seperti yang dilaksanakan oleh matahari, bulan,
bintang, gunung, binatang, tumbuhan, udara, air, kepada ALLAH SWT. Lalu
bagaimana jika DIRI KITA tidak mau melaksanakan seperti yang dilaksanakan oleh
matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada ALLAH SWT, lalu apa bedanya DIRI KITA yang
telah dijadikan KHALIFAH di muka bumi dibandingkan dengan matahari, bulan,
bintang, gunung, binatang, tumbuhan sedangkan KHALIFAH itu sendiri dapat di
artikan sebagai Makhluk yang Terhormat dibandingkan dengan makhluk ALLAH SWT
lainnya? Yang jelas jika kita mengacu kepada isi surat Al Hajj (22) ayat 18,
hanya sebahagian saja MANUSIA yang melaksanakan seperti yang dilaksanakan oleh
matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada ALLAH SWT.
Termasuk di dalam kelompok manakah DIRI KITA ini,
apakah kelompok yang sujud dan bertasbih kepada ALLAH SWT atau apakah kelompok
yang tidak mau sujud dan bertasbih kepada ALLAH SWT? Sekarang bagaimana jika
kita tidak mau sujud dan tidak mau bertasbih seperti sujud dan bertasbihnya
matahari, bulan, bintang, gunung, binatang, tumbuhan kepada ALLAH SWT, apakah
ada sanksinya atau konsekuensinya? Jika kita tidak mau sujud dan bertasbih
dengan menyatakan dan mengakui akan kebesaran
ALLAH SWT, berarti MANUSIA atau diri kita termasuk orang-orang yang
Tidak Tahu Diri dan/atau telah memutuskan hubungan dengan ALLAH SWT.
Jika saat ini kita ada di dunia ini, berarti
keberadaan diri kita di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang bersifat insidentil
atau datang dengan tiba-tiba tanpa ada perencanaan sedikitpun. Namun keberadaan
diri kita adalah bagian dari Kehendak dan Kemampuan ALLAH SWT di dalam
melaksanakan Rencana Besar KEKHALIFAHAN di muka bumi. Diri Kita sebagai MAKHLUK
yang diciptakan oleh ALLAH SWT berarti Diri Kita dapat dikatakan sebagai sebuah
Mainan bagi ALLAH SWT. Pemain tidak akan mungkin menentukan sendiri Aturan Main
dalam suatu Permainan. Akan tetapi Pemain hanyalah Boneka-Boneka yang harus
melaksanakan dan menjalankan Aturan Permainan. Ini berarti jika Diri Kita
adalah MAINAN bagi ALLAH SWT maka Diri Kita harus menjalankan dan melaksanakan
Aturan Permainan yang telah Ditetapkan oleh
ALLAH SWT selaku Inisiator, Pencipta dan Pemilik dari Kekhalifahan di
muka bumi.
Hidup di dunia adalah suatu permainan maka di dalam
permainan yang saat ini kita jalankan, dalam hal ini kita menjalankan
Kekhalifahan di muka bumi, maka :
a.
Di dalam setiap permainan
harus ada awalnya dan harus pula ada akhirnya.
b.
Di dalam setiap permaian
maka harus ada tempat bertanding atau ada arenanya.
c.
Di dalam setiap permainan
harus ada kawan dan harus pula ada lawan atau musuh sehingga dengan adanya
lawan atau musuh maka akan menghasilkan suatu kemenangan atau suatu kekalahan
atau ada yang menang atau ada yang kalah.
d.
Di dalam setiap permainan
harus ada aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan yang baku untuk membedakan
peserta permainan atau juga untuk menentukan siapakah pemenang dari suatu
permainan.
e.
Di dalam setiap permainan
harus ada Wasit atau Pengawas Pertandingan dalam rangka menegakkan prinsip
FAIRPLAY dalam permainan.
Timbul pertanyaan yang paling mendasar bagi diri
kita selaku PEMAIN di dalam permainan kekhalifahan di
muka bumi yaitu mau menjadi PECUNDANGKAH atau mau menjadi PEMENANGKAH diri
kita? RASANYA tidak akan ada MANUSIA yang ingin
menjadi PECUNDANG di dalam permainan KEKHALIFAHAN di muka bumi sebab Hadiah dan
Penghargaan yang akan diterimanya adalah KAMPUNG KESENGSARAAN dan KEBINASAAN. Semua
Manusia termasuk diri kita pasti ingin menjadi PEMENANG sebab akan memperoleh
apa yang dinamakan dengan KAMPUNG KEBAHAGIAAN sehingga kita dapat bertemu
langsung dengan ALLAH SWT dan juga NABI MUHAMMAD SAW dan/atau dengan NABI-NABI
yang terdahulu. Akan tetapi untuk
menjadi PEMENANG bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan, sebab
MUSUH atau LAWAN yang akan KITA hadapi adalah:
a.
MUSUH atau LAWAN yang
sangat PROFESIONAL kerjanya,
b.
MUSUH atau LAWAN yang
Tidak Nampak oleh Mata namun pengaruhnya sangat hebat,
c.
MUSUH atau LAWAN yang
tidak pernah kenal lelah dalam rangka mengalahkan lawannya,
d.
MUSUH atau LAWAN yang
dapat bergerak mengikuti delapan penjuru mata angin.
e.
MUSUH atau LAWAN yang
sangat Licin, Licik yang akan mempergunakan segala Cara tanpa ada batasan,
apakah HALAL ataupun HARAM yang penting lawannya KALAH menjadi PECUNDANG.
Timbul pertanyaan,
mampukah diri kita mengalahkan MUSUH atau LAWAN yang mempunyai KUALIFIKASI
seperti di atas atau mampukah kita mengalahkan SYAITAN seorang diri? RASANYA
jika kita hanya seorang diri atau kita
hanya mengandalkan kemampuan yang ada pada diri sendiri untuk menghadapi
SYAITAN sangat sulit atau bahkan tidak akan mungkin kita dapat mengalahkan
mereka. Apalagi di saat kita berperang melawan SYAITAN di dalam diri kita
sendiri pun masih ada MUSUH yang tersembunyi, apakah itu? MUSUH dalam SELIMUT
yang terdapat di dalam diri setiap MANUSIA adalah AHWA atau HAWA NAFSU. Untuk
itu di saat kita berperang melawan IBLIS/JIN/SYAITAN, kita tidak boleh menganggap
remeh, enteng dengan AHWA yang ada di dalam diri kita atau kita tidak boleh
mengatakan AHWA adalah Lawan atau Musuh
yang mudah dikalahkan.
Hal ini dimungkinkan
karena AHWA adalah kendaraan atau alat bantu bagi SYAITAN untuk mengalahkan
MANUSIA. Jika ini adalah KONDISI DASAR dari PERMAINAN yang sedang kita
laksanakan, apakah yang harus kita perbuat? Apabila kita ingin memenangkan
Pertandingan melawan SYAITAN dan menang melawan AHWA atau apabila kita ingin
selalu menjadikan diri kita sendiri
sebagai MAKHLUK yang TERHORMAT di antara makhluk ciptaan ALLAH SWT lainnya. Tidak
ada jalan lain kecuali menerima, melaksanakan,
dengan sepenuh hati DIINUL ISLAM
secara KAFFAH atau melaksanakan Komitmen dan Pengakuan Tiada Tuhan selain ALLAH
SWT dan NABI MUHAMMAD SAW utusan ALLAH SWT. Apabila kita mampu melaksanakan
DIINUL ISLAM secara KAFFAH dan/atau melaksanakan SYAHADAT dengan baik dan benar
atau mampu menempatkan serta meletakkan ALLAH SWT selaku Inisiator, Pencipta
dan Pemilik dari langit dan bumi sesuai dengan Kehendak-Nya maka kita akan
mampu mengalahkan SYAITAN dan juga AHWA secara berbarengan.
Selain daripada itu dengan adanya
DIINUL ISLAM sebagai Agama yang Haq bagi diri kita maka hal itu akan
menjadikan diri kita tetap sebagai Makhluk yang Terhormat, sebab tercermin dari
perilaku kita yang selalu berperilaku Terhormat sehingga kitapun dapat pulang
kampung secara Terhormat ke tempat yang Terhormat untuk bertemu dengan ALLAH
SWT dalam suasana yang saling Hormat Menghormati. Sekarang
tinggal bagaimana kita menyikapi kondisi ini dengan sebaik-baiknya, sebab
RESIKO yang timbul tanggung jawab diri sendiri.
Berdasarkan apa-apa yang kami kemukakan di atas
tentang hubungan antara ALLAH SWT dengan manusia atau hubungan antara manusia
dengan ALLAH SWT, jelas terlihat bahwa manusia sangat membutuhkan ALLAH SWT
jika ingin sukses menjadi KHALIFAH di muka bumi. Dan jika kesuksesan menjadi
KHALIFAH yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT yang kita inginkan saat ini,
tidak ada jalan lain kecuali memenuhi hak-hak
ALLAH SWT dan jangan pernah sakali-kali untuk memutuskan hubungan dengan
ALLAH SWT dalam kondisi apapun juga.
Ibnu Abbas ra berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Tidaklah Aku akan memperhatikan hak hamba-Ku sebelum ia
memperhatikan hak-Ku terhadap dia.
(HQR
Ath Thabarani, 272:125)
Hal yang harus kita ingat adalah ALLAH SWT bersikap
pasif atau ALLAH SWT menunggu manusia
melaksanakan apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT dan/atau ALLAH SWT menunggu
manusia mau memenuhi hak-hak ALLAH SWT. Untuk itu manusialah yang harus aktif terlebih dahulu kepada ALLAH SWT
maka barulah ALLAH SWT aktif memenuhi kewajibannya kepada manusia. Ini berarti
sepanjang manusia mau berhubungan dengan ALLAH SWT atau sepanjang manusia mau
menjadikan ALLAH SWT sebagai
satu-satunya Tuhan di alam semesta ini maka ALLAH SWT pun mau berhubungan dengan
manusia. Sedangkan jika manusia memutuskan hubungan dengan ALLAH SWT atau jika manusia tidak mau
menjadikan ALLAH SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang berhak di sembah maka ALLAH SWT pun akan tidak mau menjadi
Tuhan bagi manusia. Untuk itu jangan pernah melakukan tindakan dan
perbuatan yang dapat mengakibatkan terputusnya hubungan antara diri kita dengan
ALLAH SWT. Perbuatan dan tindakan apakah itu?
Berikut ini adalah tindakan dan perbuatan yang mengakibatkan putusnya hubungan diri kita
kepada ALLAH SWT yaitu perbuatan Syirik, Musyrik, Murtad, Munafiq, Terlena akan
kehidupan dunia, Buruk Sangka kepada ALLAH SWT dan lain sebagainya. Apabila hal
ini yang kita lakukan maka yang rugi ataupun yang akan menderita bukanlah ALLAH
SWT melainkan diri kita sendiri. Inilah kondisi dasar dari hubungan antara ALLAH SWT
dengan manusia dan juga sebaliknya. Sekarang masih maukah diri kita tidak
melaksanakan SYAHADAT dengan tidak mengakui bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH SWT
dan Nabi Muhammad adalah Utusan ALLAH SWT? Jika ini yang kita lakukan dan
laksanakan berarti diri kita sudah memilih dengan kesadaran sendiri untuk :
a. Menjadikan
selain dari ALLAH SWT sebagai Tuhan-Tuhan Baru pengganti ALLAH SWT saat menjadi
KHALIFAH di muka bumi atau melakukan perbuatan Syirik.
b. Putus
hubungan dengan ALLAH SWT dan/atau sudah tidak
membutuhkan lagi pertolongan dari ALLAH SWT.
c. Menjadikan
diri sendiri sebagai pecundang di dalam permainan kekhalifahan di muka bumi.
d. Menjadikan
NERAKA JAHANNAM sebagai tempat kembali.
Namun jika kita tidak ingin putus hubungan dengan ALLAH SWT
atau jika kita merasa sangat membutuhkan ALLAH SWT maka tidak ada jalan lain
kecuali memanfaatkan sisa usia yang ada sebelum Ruh tiba di kerongkongan dengan
melakukan perbuatan atau tindakan yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT.
Hal ini dikarenakan masa berlaku SYAHADAT secara
individual dimulai dari saat ditiupkannya Ruh ke dalam Jasmani sampai dengan
sebelum Ruh tiba dikerongkongan. Sebagai KHALIFAH yang sedang menjalankan tugas di muka bumi
perhatikanlah dengan baik-baik masa berlakunya SYAHADAT, jangan sampai setelah
habis waktu baru kita sadar telah melakukan kesalahan atau setelah selesai
berkelahi baru ingat jurus silat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar