Hamba ALLAH SWT, itulah tingkatan-tingkatan SYAHADAT yang dilakukan oleh
manusia dan juga yang dilakukan oleh diri kita. Sekarang jawablah pertanyaan
ini dengan JUJUR yaitu sudah pada tingkat berapakah SYAHADAT yang telah kita
laksanakan saat ini? Kami sangat berharap kita semua termasuk orang-orang yang
mampu menempati urutan ke empat atau urutan teratas dari tingkat SYAHADAT. Dan
jika harapan kami meleset maka tidak ada jalan lain kecuali memperbaiki atau
memperbaharui SYAHADAT yang telah pernah kita laksanakan.
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
(surat Al A’raaf (7) ayat 172)
Setelah diri kita mengetahui bahwa SYAHADAT yang dilakukan dapat dikelompokkan
menjadi 4(empat) buah tingkatan kualitas. Di lain sisi jika kita mengacu kepada
surat Al A'raaf (7) ayat 172 yang kami kemukakan di atas ini dengan tegas menyebutkan bahwa setiap RUH manusia, tanpa
terkecuali termasuk pula RUH diri kita, setelah ditiupkan ke dalam Jasmani saat
masih di rahim ibu sudah melaksanakan SYAHADAT dan/atau telah bersyahadat
dengan mengakui bahwa ALLAH SWT adalah TUHAN bagi diri kita.
Timbul pertanyaan
adakah hubungan antara 4(empat) buah tingkatan kualitas SYAHADAT yang
dilaksanakan manusia dengan RUH setiap manusia yang telah melaksanakan SYAHADAT
sewaktu di dalam rahim seorang ibu dan/atau apa yang harus kita sikapi dengan
adanya kondisi ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menelaah
kembali apa yang dikemukakan di dalam
surat Al A’raaf (7) ayat 172
dimana kita akan memperoleh 3(tiga) ketentuan dan keterangan yang wajib kita
jadikan pedoman saat menjadi KHALIFAH,
yaitu:
A. Adanya PERNYATAAN ALLAH SWT adalah TUHAN bagi
seluruh MANUSIA.
Di
dalam surat Al A'raaf (7) ayat 172 terdapat suatu pernyataan yang tegas berasal
dari ALLAH SWT yaitu ALLAH SWT telah menyatakan kesanggupannya untuk menjadi
TUHAN bagi seluruh makhluknya termasuk untuk diri kita. Adanya pernyataan yang
berasal dari ALLAH SWT berarti ALLAH SWT
telah memberikan jaminan dan kesanggupan untuk memenuhi segala apa-apa yang
dibutuhkan makhluknya melalui kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya, dalam
hal ini adalah :
1.
Kebesaran dan Kemahaan DZAT ALLAH SWT yang memiliki SIFAT SALBIYAH yang terdiri
dari Wujud; Qidah, Baqa; Qiyamuhu
Binafsih; Wahdaniah; Mukhalafatul Lil Hawadish dan/atau
2.
Kebesaran
dan Kemahaan SIFAT MAANI ALLAH SWT yang terdiri dari Qudrat, Iradat, Kalam, Hayat, Sama' Bashar, Ilmu dan/atau
3.
Kebesaran
dan Kemahaan ASMA ALLAH SWT yang berjumlah 99 (sembilan puluh sembilan) yang
tertuang dalam ASMAUL HUSNA.
Berdasarkan
ke tiga hal yang kami kemukakan di atas ini, yang kemudian kami hubungkan
dengan kesaksian ALLAH SWT yang siap untuk menjadi Tuhan bagi seluruh
makhluknya, maka pernyataan dari ALLAH SWT tidak hanya menyatakan satu kondisi
saja yaitu Akulah Tuhan. Akan tetapi pernyataan ALLAH SWT berkembang sesuai
dengan komitmen ALLAH SWT sebagai Tuhan bagi seluruh alam sehingga selain
Akulah Tuhan maka ALLAH SWT secara
tegas juga menyatakan Akulah Pencipta; Akulah Pemelihara; Akulah Pengawas,
Akulah Penguasa; Akulah Pengayom, Akulah Pembimbing; Akulah Penjaga; Akulah
Pemberi dan seterusnya sesuai dengan ASMAUL HUSNA yang kesemuanya dapat
dipastikan bersifat Baqa; Qiyamuhu Binafsih; Wahdaniah; Mukhalafatul Lil
Hawadish. Dan jika sekarang ALLAH SWT sudah memberikan Kesaksian dan
Penyataan tentang kesanggupannya untuk menjadi TUHAN, maka kita akan memperoleh
hal-hal sebagai berikut sebagai bentuk tanggung jawab ALLAH SWT sebagai Tuhan
bagi seluruh makhluknya, yaitu :
1.
Ilmu
ALLAH SWT dapat dipastikan akan selalu ada di tengah dan di sekeliling kita.
2.
Pendengaran
dan Penglihatan ALLAH SWT akan selalu ada di tengah dan di sekeliling kita.
3.
Qudrat
dan Iradat ALLAH SWT akan selalu ada di tengah dan di sekeliling kita.
4.
Kalam
dan Hayat ALLAH SWT akan selalu ada di tengah dan disekeliling kita.
5.
Kasih
sayang, pengawasan, pemeliharaan dari
ALLAH SWT akan selalu ada di tengah dan di sekeliling diri kita.
6.
Akhirnya
kita tidak dapat dipisahkan sehingga kita akan selalu berada di dalam Ilmu
ALLAH SWT; diri kita akan selalu berada di dalam Pendengaran ALLAH SWT; diri
kita akan selalu berada di dalam Penglihatan ALLAH SWT; diri kita akan selalu
berada di dalam Qudrat ALLAH SWT; diri kita akan selalu berada di dalam Iradat
ALLAH SWT; diri kita akan selalu berada di dalam Kalam ALLAH SWT, diri kita
selalu berada di dalam Hayat ALLAH SWT, diri kita selalu berada di dalam Kasih
Sayang ALLAH SWT, di dalam Pengawasan ALLAH SWT serta di dalam Pemeliharaan
ALLAH SWT.
Jika
itu semua adalah posisi dan keadaan dari Pernyataan akan kesanggupan ALLAH SWT
untuk menjadi TUHAN bagi seluruh makhluk-Nya, selanjutnya apakah kita akan
menyianyiakannya atau apakah kita akan mengabaikannya atau apakah kita mau menerima
Pernyataan ALLAH SWT dengan sebenar-benarnya keimanan?
Sekarang
tinggal bagaimana kita menyikapi pernyataan ALLAH SWT tersebut, maukah kita
menerimanya atau maukah kita mempercayai ataukah kita menolaknya dengan
mengganti dengan yang lain seperti Tuhan Jabatan, Tuhan Pekerjaan, Tuhan Uang
dan lain sebagainya? Jawaban dari pertanyaan ini sangat tergantung kepada diri kita sendiri,
apakah kita butuh kepada ALLAH SWT ataukah hanya perlu kepada ALLAH SWT dan
yang pasti ALLAH SWT tidak akan membutuhkan apapun juga diri kita.
B. Adanya PERNYATAAN RUH kepada
ALLAH SWT
Inilah
pengakuan RUH di dalam rahim ibu kita pada waktu janin berusia 121 hari
dan/atau setelah RUH ditiupkan ke dalam JASMANI yaitu RUH mengakui bahwa ALLAH
SWT adalah TUHAN bagi diri kita. Selanjutnya jika kita mengimani bahwa RUH
adalah ciptaan ALLAH SWT saja tanpa ada campur tangan dari pihak manapun juga
maka seluruh RUH MANUSIA tanpa terkecuali akan menyatakan dengan TEGAS tanpa
paksaan dari siapapun juga bahwa ALLAH
SWT adalah TUHANNYA. Adanya
pernyataan RUH kepada ALLAH SWT ini berarti RUH telah mengakui pula
Pernyataan ALLAH SWT yang telah siap
untuk menjadi TUHAN bagi seluruh alam atau RUH telah mengakui Beriman kepada
ALLAH SWT. Selanjutnya atas dasar apakah RUH mengakui bahwa ALLAH
SWT adalah TUHANNYA atau RUH telah mengaku beriman kepada ALLAH SWT? Kesaksian RUH kepada ALLAH SWT bahwa ALLAH
SWT adalah TUHANNYA dikarenakan RUH mengenal SIAPA itu ALLAH SWT; RUH tahu APA
dan BAGAIMANA itu ALLAH SWT; RUHpun tahu dari mana RUH berasal; RUHpun tahu
bahwa ALLAH SWT-lah yang menciptakannya.
Apakah
hanya itu saja sehingga RUH mengakui ALLAH SWT adalah TUHANNYA? RUH adalah
bagian dari ALLAH SWT, jika suatu bagian dipisahkan dari Asalnya maka bagian
yang dipisahkan pasti akan tahu atau
pasti akan mencari sesuatu yang sama dengan dirinya atau pasti akan
menuju kepada asalnya dan selanjutnya RUH pasti akan mengetahui siapa yang
menciptakannya. Jika RUH tahu bahwa ALLAH SWT adalah TUHANNYA dimana Pernyataan
itu sudah dinyatakan sejak awal kehidupan manusia atau sejak bersatunya RUHANI
dengan JASMANI maka apakah hal ini tidak cukup bagi diri kita untuk Beriman
kepada ALLAH SWT selama-lamanya. Selain 4(empat) hal yang telah kami kemukakan
di atas tentang latar belakang RUH, masih terdapat informasi dan ketentuan lain
yang dapat kita peroleh dari surat Al A’raaf (7) ayat 172, yaitu :
1. Adanya
pengakuan RUH kita bahwa ALLAH SWT adalah TUHAN bagi diri kita di awal
bersatunya RUHANI dengan JASMANI, ini menunjukkan bahwa ALLAH SWT sudah memperhitungkan
dan mempertimbangkan jika terjadi Complain dan/atau Sanggahan di kemudian hari,
maka kondisi itu tidak berlaku lagi.
2.
RUH-pun
sudah tahu dan sudah mengerti akan adanya hari KIAMAT dan/atau Hari Pembalasan.
Jika RUH sudah tahu akan adanya hari KIAMAT, ini berarti RUHpun sudah tahu akan
adanya RUKUN IMAN yang ENAM, dan ini juga berarti bahwa RUH-pun tahu tentang
Iman kepada RASUL, Iman kepada MALAIKAT, Iman kepada KITAB, Iman kepada Qadha
Qadar dan Taqdir dan yang pasti RUH pun telah beriman kepada ALLAH SWT.
3.
Jika
RUH telah beriman dengan Mempercayai Rukun IMAN yang ENAM dalam satu kesatuan
yang tidak terpisahkan antara ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain,
lalu bagaimana dengan JASMANI? Apakah Jasmani tahu dengan Rukun IMAN? Jasmani
tidak mengetahui akan adanya Hari Kiamat apalagi dengan adanya Rukun IMAN.
Sekarang,
jika setiap manusia sudah melakukan
janji setia kepada ALLAH SWT, lalu apakah setelah kita hidup di muka bumi yang
tidak pernah kita ciptakan dan tidak pernah pula kita miliki, menjadikan diri
kita lupa, lalai, sombong, dengan tidak mau mengakui janji setia tersebut?
Dalam permasalahan ini yang jelas adalah ALLAH SWT tidak akan mengalami
kerugian apapun juga jika manusia, termasuk diri kita ingkar kepada janji setia
kepada ALLAH SWT. Sekarang tergantung manusianyalah atau tergantung diri kita
sendirilah yang menentukan pilihan, apakah mau rugi ataukah mau untung atau
apakah mau masuk syurga ataukah mau masuk Neraka Jahannam?
C. Sampai Kapan Masa Berlakunya PERNYATAAN RUH kepada ALLAH SWT
Pernyataan
RUH kepada ALLAH SWT mulai berlaku sejak bersatunya RUHANI dengan JASMANI atau
saat dimulainya diri kita disebut sebagai MANUSIA sampai dengan Hari Kiamat.
Kondisi ini berlaku untuk keseluruhan
umat manusia. Sedangkan untuk pribadi-pribadi di mulai dari saat bersatunya
Ruhani dengan Jasmani sampai dengan berpisahnya Ruhani dengan Jasmani. Adanya
kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa RUHANI dan/atau diri kita sudah
menyatakan Kontrak secara Permanen yang tidak dapat diganggu gugat lagi tentang
pernyataan Beriman kepada ALLAH SWT atau RUHANI telah mengakui adanya Rukun
IMAN yang Enam dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan sampai dengan hari
kiamat atau sampai RUH berpisah dengan JASMANI. Jika diri kita telah memberikan
pernyataan kontrak secara permanen, lalu bagaimanakah kita harus bersikap? Kita wajib mematuhi Pernyataan Janji Setia
sampai dengan Hari Kiamat atau sampai dengan Malaikat Izrail melaksanakan
tugasnya. Sekarang bagaimana dengan ALLAH SWT, yang Jelas dan
Teramat Jelas bahwa ALLAH SWT tidak akan sekalipun ingkar janji terhadap
pernyataan-Nya untuk menjadi TUHAN bagi semesta alam.
Setelah
menjalani hidup di dunia ini atau setelah
menjadi KHALIFAH di muka bumi bagaimanakah Kualitas dari Pernyataan diri kita
kepada ALLAH SWT, apakah masih tetap seperti sediakala ataukah sudah berubah
ataukah kita telah melanggar janji dengan berubah sikap dengan menjadikan diri
kita sebagai Tuhan selain ALLAH SWT? Mudah-mudahan Kualitas dan
Pernyataan diri kita kepada ALLAH SWT tidak berubah sedikitpun sehingga
kemudahan menjadi KHALIFAH di muka bumi yang sekaligus MAKHLUK PILIHAN dapat
kita rasakan dan nikmati dan selanjutnya akan dapat menghantarkan diri kita
pulang kampung ke SYURGA.
Adanya
ikatan secara permanen antara ALLAH SWT sebagai TUHAN dengan MANUSIA selaku
hamba tentu akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang telah
mengikatkan diri. Dalam hal ini, dapat dipastikan ALLAH SWT tidak akan pernah
Ingkar Janji sedikitpun dengan apa-apa yang telah dinyatakan-Nya terutama
tentang kesanggupan ALLAH SWT untuk menjadi TUHAN yang akan sanggup memberikan
apapun juga kepada manusia sepanjang manusia sesuai dengan kehendak ALLAH SWT.
Hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah sudahkah manusia termasuk diri
kita konsekuen dengan perjanjian yang telah dibuatnya sewaktu di dalam rahim
seorang ibu? Jika kita termasuk
orang yang telah TAHU DIRI, tentu saat ini diri kita konsekuen dengan
perjanjian yang telah kita buat sehingga apa-apa yang telah dijanjikan ALLAH
SWT dapat kita raih dan dapat kita rasakan.
Selanjutnya
agar kesaksian atas pernyataan bertuhankan kepada ALLAH SWT berlaku terus
menerus di dalam kehidupan manusia, maka ALLAH SWT menciptakan DIINUL ISLAM
sebagai jembatan atau sarana bagi ALLAH SWT dan juga bagi manusia melaksanakan
hak dan kewajiban yang timbul atas adanya ikatan kontrak permanen hanya
bertuhankan kepada ALLAH SWT. Dan jika sekarang manusia diwajibkan
melaksanakan Iman kepada ALLAH SWT sebagai bagian dari Rukun IMAN dan juga melaksanakan SYAHADAT sebagai bagian dari
Rukun ISLAM merupakan salah satu bentuk dari konsekuensi pelaksanaaan kontrak
permanen bertuhankan kepada ALLAH SWT. Adanya kondisi
seperti ini, maka sudah sepantasnya dan sudah sepatutnya setiap manusia yang
telah TAHU DIRI membutuhkan SYAHADAT sebagai bentuk konsekuensi atas pernyataan
bertuhankan kepada ALLAH SWT yang telah kita nyatakan sewaktu di dalam rahim
seorang ibu.
Sekarang bagaimanakah kondisi dan keadaan SYAHADAT
yang telah kita laksanakan, apakah kualitasnya sudah dan apakah masih sesuai
dengan pernyataan bertuhankan kepada ALLAH SWT sewaktu di dalam rahim ibu? Jika kita kembali kebelakang
tentang adanya empat buah tingkatan SYAHADAT, maka tingkatan yang paling cocok
dan yang paling sesuai dengan kontrak permanen yang telah kita nyatakan di
dalam rahim ibu adalah SYAHADAT tingkat ke empat sebab di dalam tingkat inilah
apa-apa yang dikehendaki ALLAH SWT dapat kita penuhi. Sekarang bagaimana jika
SYAHADAT yang kita miliki masih berada pada tingkatan SYAHADAT pertama? Apabila
ini yang terjadi pada diri kita maka konsekuensi dari pelaksanaan ikatan
kontrak secara permanen yang pernah kita lakukan di rahim ibu menjadi JAUH
panggang dari API atau dengan kata lain rencana dengan realisasi masih jauh
dari harapan. Hal yang sama juga berlaku pada tingkatan SYAHADAT yang ke dua
dan juga pada tingkatan SYAHADAT yang ketiga, dimana keduanya belum mampu
sesuai antara kontrak permanen dengan realisasinya.
Adanya ketidaksesuaian antara ikatan permanen yang telah kita lakukan dengan
realisasinya saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi, dikarenakan adanya
pengaruh AHWA dan pengaruh SYAITAN atau diri kita tidak mampu memenuhi segala
apa-apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT maka hasil akhirnya akan menentukan
dimanakah kelak kita akan pulang kampung. Jika
pulang kampungnya ke SYURGA, maka di tingkat SYURGA yang manakah kita akan
pulang dan jika pulang kampungnya ke NERAKA maka di tingkat NERAKA yang manakah
kita akan pulang. Hal ini dikarenakan baik SYURGA maupun NERAKA memiliki
tingkatan-tingkatan.
Berikut
ini akan kami kemukakan tingkatan-tingkatan di maksud. Tingkatan SYURGA terdiri
dari Syurga Firdaus; Syurga 'Adn;
Syurga Na'iim; Syurga Na'wa; Syurga Darussalaam; Syurga Daarul Muaqaamah;
Syurga Al-Muqqamul Amin dan Syurga Khuldi. Adapun tingkatan atau
kaveling-kaveling yang ada di dalam NERAKA terdiri dari Neraka Jahannam; Neraka Jahiim; Neraka
Hawiyah; Neraka Wail; Neraka Sa'iir; Neraka Ladhaa; Neraka Saqar dan Neraka
Hutomah. Adanya pilihan tempat kembali yang bertingkat-tingkat baik
di SYURGA maupun di NERAKA, timbul
pertanyaan sudahkah kita semua memesan tempat atau memesan kaveling SYURGA atau
memesan keveling NERAKA? Kami persilahkan anda memilih
sendiri-sendiri kaveling yang di idam-idamkan atau keveling yang paling cocok
dengan apa yang sedang dan telah anda lakukan
saat ini. Sebagai pedoman untuk memilih tempat kembali adalah jika kita telah menjual SAPI, maka jangan
pernah berharap mendapatkan dan memperoleh AIR SUSUNYA KEMBALI atau jika anda
telah keluar dari Kehendak ALLAH SWT maka jangan pernah berharap untuk
mendapatkan SYURGA dengan segala fasilitasnya yang ada padanya. Jika
ini adalah keadaan yang kita hadapi, yang kesemuanya sangat tergantung bagaimana diri kita menyikapinya,
apakah mau merubah diri atau apakah mau menjadikan diri selalu sesuai dengan
kehendak ALLAH SWT atau maukah diri kita dirubah oleh AHWA dan SYAITAN untuk
menjadi calon penghuni NERAKA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar