SYAHADAT
sebagai sebuah KESAKSIAN tidak akan mungkin dapat dipisahkan dengan 2(dua) hal
yaitu PELAKU dari SYAHADAT yang akan mempersaksikan sesuatu serta sesuatu yang
akan dipersaksikan oleh PELAKU dari SYAHADAT. Adanya kondisi seperti
ini berarti SYAHADAT baru akan dapat terlaksana jika ke dua hal tersebut ada pada
saat pelaksanaan SYAHADAT. Sekarang timbul pertanyaan yang paling mendasar dari
pelaksanaan SYAHADAT yaitu siapakah yang akan menjadi PELAKU dari SYAHADAT,
apakah hanya diri kita ataukah hanya anak dan keturunan kita ataukah seluruh
orang harus melaksanakan SYAHADAT saat hidup di muka bumi? Jika kita mengacu
kepada surat Al A'raaf (7) ayat 172 maka setiap diri manusia tanpa
terkecuali sudah menyatakan SYAHADAT
kepada ALLAH SWT. Ini berarti saat ini kita telah terikat dengan
perjanjian tersebut dan saat ini juga wajib memelihara perjanjian tersebut.
Berikut ini akan kami kemukakan kenapa kita harus melaksanakan SYAHADAT dan
kenapa pula ANAK dan KETURUNAN kita harus pula melaksanakan SYAHADAT.
A.
DIRI SENDIRI
Sewaktu kita membeli sebuah handphone, untuk siapakah segala fasilitas yang dijanjikan operator selular? Operator Selular sebagai penyedia jasa layanan komunikasi hanya akan memberikan semua fasilitas yang dimilikinya kepada pemegang handphone yang telah terdaftar dan/atau yang telah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah dipersyaratkan operator selular yang terdiri dari 3(tiga) ketentuan yaitu yang telah mengaktivasi kartu selular, yang telah membayar tagihan atau yang telah mengisi pulsa dan yang selalu menjaga battery handphone dalam kondisi prima secara bersamaan.
Sekarang jika kita mampu memenuhi syarat dan
ketentuan yang diminta oleh operator selular maka kitalah yang akan mendapatkan
semua fasilitas-fasilitas yang telah dijanjikan Operator Selular dan/atau
Operator Selular tidak akan pernah memberikan fasilitas apapun kepada orang
yang tidak pernah memenuhi syarat dan ketentuan yang ditetapkannya. Lalu bagaimana
dengan ALLAH SWT dengan orang yang melaksanakan SYAHADAT? Seperti halnya
Operator Selular, ALLAH SWT pun HANYA akan memberikan segala
fasilitas-fasilitas yang telah dijanjikan-Nya kepada orang per orang atau
secara individual atau kepada siapa saja tanpa terkecuali, jika mereka semua
mau menerima dan mau melaksanakan :
1. segala syarat dan ketentuan yang telah ALLAH SWT tetapkan,
dalam hal ini melaksanakan SYAHADAT, atau melaksanakan DIINUL ISLAM secara
KAFFAH saat menjadi KHALIFAH di muka bumi, atau
2.
selalu sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki ALLAH
SWT, atau selalu di dalam kesesuaian
dengan KEHENDAK ALLAH SWT, atau selalu
dalam kondisi FITRAH sesuai dengan FITRAH ALLAH SWT, atau
3.
mau tunduk dan patuh serta taat hanya kepada ALLAH
SWT atau hanya beriman kepada ALLAH SWT dan beramal shaleh.
Jika kita secara INDIVIDUAL melakukan hal tersebut di atas, maka ALLAH
SWT akan memberikan kepada kita apa-apa yang telah dijanjikannya kepada diri
kita sebagai Khalifah-Nya di muka bumi. Selanjutnya jika saat ini diri kita
telah memutuskan hanya ingin menjadi KHALIFAH yang juga Makhluk Pilihan, maka
tidak ada jalan lain kecuali memenuhi segala syarat dan ketentuan yang telah
kami kemukakan di atas dan/atau diri kitalah yang harus melaksanakan SYAHADAT
dengan baik dan benar agar apa-apa yang telah dijanjikan oleh ALLAH SWT dapat
kita peroleh.
Berdasarkan apa-apa yang kami kemukakan di atas, terlihat dengan jelas
bahwa ALLAH SWT hanya akan memberikan
segala yang telah dijanjikan-Nya hanya kepada individu-individu atau kepada
orang-orang yang mau melaksanakan dan mau menerima segala ketetapan yang telah
ditetapkan-Nya. Adanya
kondisi dasar hubungan antara ALLAH SWT dengan diri kita yang bersifat
INDIVIDUAL, maka tidak ada jalan lain pada saat diri kita melaksanakan SYAHADAT
harus pula SYAHADAT bersifat INDIVIDUAL pula.
Seperti apakah SYAHADAT yang bersifat INDIVIDUAL itu? Berikut ini akan
kami kemukakan beberapa ketentuan dasar dari SYAHADAT yang bersifat Individual itu, yaitu :
1. SYAHADAT
yang bersifat Individual adalah SYAHADAT yang dilaksanakan berdasarkan
KEJUJURAN, baik kepada diri sendiri selaku PELAKU SYAHADAT maupun kepada
apa-apa yang akan dipersaksikan, dalam hal ini adalah ALLAH SWT dan NABI
MUHAMMAD SAW. sehingga pada saat diri kita melaksanakan SYAHADAT tidak akan ada
lagi kebohongan apapun juga yang kemudian tercermin di dalam tingkah laku kita
yang selalu berkesesuaian antara apa yang dikemukakan, apa yang di dalam hati
dengan apa yang diperbuat.
2. SYAHADAT
sebagai Ibadah Individual maka setiap
pribadi-pribadi akan bertanggung jawab dengan SYAHADATnya masing-masing.
Ini berarti di dalam pelaksanaan SYAHADAT tidak mengenal apa yang dinamakan
dengan SYAHADAT group atau SYAHADAT kelompok.
3. SYAHADAT
sebagai Ibadah Individual tidak bisa diwakilkan kepada siapapun juga, termasuk
kepada orang tua kita sendiri apalagi melalui orang lain.
4. SYAHADAT
sebagai Ibadah Individual wajib dilaksanakan secara langsung, tanpa perantara,
tanpa mediator, tanpa calo, tanpa penghubung.
5. SYAHADAT
sebagai ibadah Individual wajib dilaksanakan secara SADAR, WARAS, tidak dalam
keadaan MABUK apalagi dalam keadaan GILA.
6. SYAHADAT
sebagai ibadah Individual wajib dan harus dilaksanakan secara UTUH, tidak boleh
di ubah-ubah, tidak boleh dilaksanakan sepotong-sepotong, apalagi disesuaikan
untuk maksud dan tujuan tertentu.
7. SYAHADAT
sebagai ibadah Individual wajib dilaksanakan secara tulus, ikhlas tanpa ada
maksud-maksud tertentu yang melatarbelakanginya, seperti ingin memperoleh harta
kekayaan, ingin naik jabatan, ingin menikah lagi dan lain sebagainya.
8. Setiap
Individu yang melaksanakan SYAHADAT harus memiliki ilmu dan pengetahuan yang
baik dan benar terhadap apa-apa yang dipersaksikannya sehingga ia mampu
mengenali, mampu mengetahui, serta
merasa yakin dengan apa-apa yang dipersaksikannya dalam hal ini adalah ALLAH
SWT dan NABI MUHAMMAD SAW, sehingga mampu melahirkan keimanan serta adanya
kesesuaian diri dengan kehendak ALLAH SWT.
9. Setiap
Individu yang melaksanakan SYAHADAT
tidak bisa hanya bersikap PASIF dengan apa-apa yang dipersaksikannya
dan/atau setiap Individu harus bersikap AKTIF dengan apa-apa yang
dipersaksikannya, dalam hal ini adalah ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW sehingga
kita mampu memperoleh manfaat dari keyakinan atau dari keimanan yang kita
laksanakan, dalam hal ini Iman kepada ALLAH SWT dan Iman kepada RASUL.
Jika saat ini diri kita telah melaksanakan SYAHADAT, apakah ke sembilan
ketentuan di atas ini sudah kita penuhi secara Keseluruhan tanpa
terpotong-potong? Kami sangat berharap, kita semua mampu melaksanakan
kesembilan hal yang telah kami kemukakan di atas secara sempurna. Jika ini yang
terjadi maka SYAHADAT yang telah kita lakukan akan menjadi sebuah Komitmen dan
Pengakuan diri kita kepada ALLAH SWT dan juga kepada NABI MUHAMMAD SWT sebagai
utusan ALLAH SWT dan mudah-mudahan kita di masukkan ke dalam kelompok Makhluk
Pilihan oleh ALLAH SWT.
Setelah diri kita mampu melaksanakan SYAHADAT secara Individual dengan
baik dan benar, berarti antara diri kita dengan ALLAH SWT dan dengan NABI
MUHAMMAD SAW sudah terikat dalam suatu Akad atau Perjanjian.
Seperti apakah Akad atau Perjanjian itu? Sebuah Akad atau Perjanjian, adalah
HUKUM yang berlaku bagi para pihak yang
mengadakan Akad atau Perjanjian. Ini berarti akad yang di buat setelah diri
kita melaksanakan SYAHADAT yang artinya Komitmen dan Pengakuan berarti itu
adalah Hukum yang harus dijalankan dan dilaksanakan oleh para pihak yang
melaksanakan Akad atau Perjanjian tesebut.
Setelah Komitmen dan Pengakuan yang telah kita buat
menjadi suatu Hukum maka Hukum tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan
cara-cara yang tidak semestinya, atau dengan cara-cara asal-asalan, atau dengan
cara-cara yang tidak sesuai dengan keadaan yang dinyatakan, dalam hal ini
adalah tentang ALLAH SWT dan juga tentang NABI MUHAMMAD SAW. Untuk itulah AD
DIIN atau DIINUL ISLAM diturunkan oleh ALLAH SWT sebagai Tuntutan dan Pedoman
bagi seluruh umat manusia di dalam melaksanakan SYAHADAT.
Adanya AD DIIN atau DIINUL ISLAM yang diturunkan
oleh ALLAH SWT maka akan terjadi kesamaan sistem dan prosedur di dalam
melaksanakan DIINUL ISLAM secara KAFFAH, yang pada akhirnya akan memudahkan
umat manusia secara keseluruhan oleh adanya keteraturan dan keseragaman. Berdasarkan
apa-apa yang telah kami kemukakan di atas ini, dapat dikatakan bahwa Diri Kita atau setiap Individu akan bertanggung
jawab secara sendiri-sendiri terhadap SYAHADAT yang dilakukannya, terhadap
perbuatan yang dilakukannya. Ini berarti apa-apa yang kita laksanakan, apakah
itu SYAHADAT, ataukah melaksanakan AD
DIIN atau DIINUL ISLAM tidak dapat di alihkan atau tidak dapat dilimpahkan
kepada siapapun juga atau tidak dapat diwariskan atau tidak dapat dilakukan
secara group/kelompok sehingga masing-masing setiap diri bertanggungjawab untuk
dirinya sendiri.
2. ANAK dan KETURUNAN
Adanya anak dan keturunan dalam sebuah silsilah keluarga, dimulai dari
adanya seorang laki-laki dan seorang perempuan yang di ikat dengan tali
pernikahan (mushaharah). Timbulnya suatu tali pernikahan atau adanya ikatan
pernikahan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan merupakan bagian
dari ketetapan ALLAH SWT atas diberikannya apa yang disebut dengan Hubbul Syahwat.
Hubbul Syahwat merupakan motor penggerak bagi
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk melakukan sebuah keinginan untuk
berhubungan dengan lawan jenis.Tanpa adanya Hubbul Syahwat yang diberikan ALLAH
SWT kepada manusia, tidak akan mungkin seorang laki-laki dan seorang perempuan
dapat menjalin hubungan dalam rangka untuk membina sebuah keluarga.
Untuk apakah ALLAH SWT memberikan Hubbul Syahwat kepada setiap manusia? ALLAH
SWT memberikan Hubbul Syahwat kepada setiap manusia baik laki-laki ataupun
perempuan di dalam kerangka besar menambah atau terjadinya regenerasi antar
anggota keluarga di muka bumi. Selain daripada itu dengan adanya Hubbul Syahwat di dalam diri setiap manusia
baik laki-laki dan perempuan maka akan menimbulkan Rasa kasih sayang di antara
laki-laki dan perempuan; Rasa Lindung Melindungi (memberikan perlindungan)
serta Rasa Persaudaraan atau Menambah banyak Silaturrahmi atau keluarga.
Apakah hanya itu saja maksud dan tujuan ALLAH SWT memberikan Hubbul
Syahwat kepada laki-laki dan perempuan? Hubbul Syahwat diberikan kepada setiap
manusia baik laki-laki dan perempuan bukan hanya terbatas yang kami sebutkan di
atas saja. Akan tetapi dengan adanya Hubbul Syahwat diharapkan akan terciptanya
Regenerasi Kekhalifahan di muka bumi. Untuk mencapai apa yang disebut dengan Renegerasi Kekhalifahan di muka
bumi yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT maka dimulai dari adanya KELUARGA
SAKINAH. Tanpa adanya keluarga yang SAKINAH akan sulit
mendapatkan kekhalifahan-kekhalifahan yang baru yang sesuai dengan Kehendak
ALLAH SWT. Timbul pertanyaan, dapatkah kita membuat, menjadikan diri kita atau
keluarga kita menjadi sebuah keluarga yang SAKINAH tanpa dilandasi dengan suatu
konsep yang berasal dari ALLAH SWT yaitu berupa DIINUL ISLAM yang dilaksanakan
secara KAFFAH dan/atau apakah hanya salah satu anggota keluarga saja yang
melaksanakan DIINUL ISLAM secara KAFFAH
maka keluarga SAKINAH dapat kita wujudkan dan/atau apakah seluruh keluarga
termasuk anak dan keturunan yang melaksanakan DIINUL ISLAM yang KAFFAH baru
keluarga SAKINAH dapat kita wujudkan? Untuk dapat mewujudkan keluarga SAKINAH diperlukan sebuah Tuntunan dan
Pedoman yang baku dan jelas di dalam mewujudkannya. Tanpa adanya Tuntunan dan
Pedoman yang baku, serta perjuangan antar sesama anggota keluarga, apakah itu
orang tua, apakah anak dan keturunan, maka keluarga SAKINAH akan sangat sulit
diwujudkan.
ALLAH SWT sebagai Inisiator dari Kekhalifahan di muka bumi, sudah di
dalam Ilmu-Nya yang sangat Sempurna, yaitu dengan menurunkan DIINUL ISLAM yang
berasal dari Fitrah-Nya sendiri untuk dijadikan Tuntunan dan Pedoman guna
mewujudkan keluarga SAKINAH. Sekarang jika itu adalah kondisinya, maka yang
harus memeluk DIINUL ISLAM secara KAFFAH atau yang harus melaksanakan SYAHADAT
tidak hanya diri kita sendiri, akan tetapi seluruh anggota keluarga termasuk di
dalamnya Anak dan Keturunan kita sendiri wajib dan harus memeluk DIINUL ISLAM
tanpa terkecuali atau harus melaksanakan SYAHADAT. Adanya kondisi ini berarti untuk mewujudkan keluarga SAKINAH di tengah
keluarga kita serta Regenerasi Kekhalifahan di muka bumi, tidak hanya diri kita
secara pribadi saja yang harus memeluk DIINUL ISLAM secara KAFFAH dan/atau
tidak hanya diri kita saja yang melaksanakan SYAHADAT. Akan tetapi Anak dan
Keturunan dari diri kita termasuk Istri atau Suami juga harus memeluk DIINUL
ISLAM secara KAFFAH atau melaksanakan SYAHADAT secara baik dan benar.
Sebagai KHALIFAH yang sedang menjalankan tugas di muka bumi, Keberadaan
diri kita tidak bisa dilepaskan dengan adanya regenerasi kekhalifahan yang ada
di atas diri kita, seperti adanya orang tua, kakek nenek. Sekarang bagaimana
dengan anak, cucu dan keturunan kita? Anak, cucu dan keturunan diri kita juga
tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan diri kita saat ini. Jika hari ini kita
telah merasakan kenikmatan dari bertuhankan hanya kepada ALLAH SWT yang berasal
dari pelaksanaan DIINUL ISLAM yang KAFFAH atau merasakan buah dari SYAHADAT
yang telah kita lakukan dengan baik dan benar, dapatkah anak dan keturunan kita
merasakan hal yang sama dengan yang kita rasakan saat ini?
Sepanjang diri kita tidak pernah mengenalkan, tidak
pernah mengajarkan DIINUL ISLAM secara KAFFAH dan/atau sepanjang diri kita
tidak pernah menjadikan SYAHADAT sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan kepada ALLAH SWT dan kepada NABI MUHAMMAD SAW kepada
anak dan keturunan kita maka
hal yang telah pernah kita rasakan tidak akan pernah dapat dirasakan oleh anak
dan keturunan kita. Jika ini adalah keadaannya, berarti nikmat bertuhankan
kepada ALLAH SWT dan/atau buah dari pelaksanaan SYAHADAT tidak akan dapat
diwariskan, tidak akan dapat di alihkan walaupun kepada anak dan keturunan kita
sepanjang anak dan keturunan kita tidak mau menjadikan dirinya melakukan hal
yang sama seperti yang kita lakukan.
Rasulullah SAW bersabda: “Bila seseorang
telah meninggal, terputus untuknya pahala segala amal kecuali tiga hal yang
tetap kekal: Shadaqah Jariah, Ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
senantiasa mendoakannya”. (HR
Bukhari-Muslim)
Selanjutnya tolong perhatikan Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Muslim di atas ini. Hadits ini dapat dikatakan sebagai bonus atau pemberian
ekstra ataupun bukti bakti anak yang shaleh/shalehah kepada orang tua, sehingga
orang tua termasuk di dalamnya kakek, nenek dapat pula kita doakan kepada ALLAH
SWT agar mereka semua di ampuni segala dosa dan kesalahannya, dilapangkan
jalannya atau dilapangkan kuburnya, diterima amal ibadahnya, oleh sebab doa
dari anak dan keturunan yang shaleh atau shalehah.
Sekarang darimana datangnya anak yang Shaleh dan
Shalehah itu atau apakah ia datang dengan begitu saja dari langit? Untuk
mendapatkan dan memperoleh anak yang shaleh dan shalehah, maka kita diwajibkan
untuk mendidik dan mengajarkan anak dan keturunan kita dengan menjadikan DIINUL
ISLAM sebagai satu-satunya AGAMA yang Haq serta menjalankannya secara KAFFAH
atau melaksanakan Komitmen dan Pengakuan Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI
MUHAMMAD SAW sebagai utusan ALLAH SWT. Tanpa adanya hal ini maka anak Shaleh
dan Shalehah tidak akan mungkin kita peroleh dan dapatkan dan/atau tidak akan
mungkin mau mendoakan kita kelak dikemudian hari, terkecuali jika kita tidak
berkeinginan untuk di doakan oleh anak dan keturunan kita sendiri.
Selain daripada itu, Hadits yang kami kemukakan di atas ini, dapat
dikatakan sebuah kemudahan, sebuah kemurahan, sebuah keringanan, yang akan
diberikan ALLAH SWT kepada Khalifah-Nya yang ada di muka bumi. Akan tetapi fasilitas
atau kemudahan ini hanya dapat berlaku jika antara diri kita dengan yang di
doakan atau antara anak dan keturunan
dengan diri kita telah sama-sama memeluk DIINUL ISLAM sebagai AGAMA yang
HAQ atau sama-sama telah memberikan Komitmen dan Pengakuan Tiada Tuhan selain
ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW utusan ALLAH SWT. Selanjutnya, sebagai bahan
pemikiran dan sebagai pemacu bagi diri kita untuk menjadikan anak dan keturunan
kita berada di dalam kesamaan DIINUL ISLAM sebagai Agama yang Haq, berikut ini
akan kami kemukakan 2(dua) hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim
tentang paman dari NABI MUHAMMAD SAW yang sampai akhir hayatnya belum memeluk
agama ISLAM.
Al-Abbas bin Abdulmuththalib ra. tanya kepada Nabi
SAW: Apakah pertolonganmu (manfaatmu) bagi Abu Thalib yang telah memeliharamu
dan membelamu, bahkan ia marah karenamu? Jawab Nabi SAW: Ia kini di atas
permukaan neraka, dan andaikan tidak karenaku niscaya ia di tingkat terbawah
dalam neraka.
(HR
Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:125)
Abu Saied Alkhudri ra. mendengarkan Rasulullah SAW
ketika disebut padanya ami Abu Thalib, maka sabda Nabi SAW: Semoga berguna
baginya syafa'atku sehingga diletakkan di bagian atas dalam neraka sehingga api
neraka hanya membakar sampai batas mata kakinya yang cukup untuk mendidihkan
otaknya.
(HR
Bukhari,Muslim; Al Lulu Wal Marjan:126)
Adanya perbedaan keyakinan
antara Abu Thalib dengan NABI MUHAMMAD SAW, mengakibatkan terjadinya jurang
pemisah yang tidak dapat ditolerir oleh ALLAH SWT. Selanjutnya coba anda bayangkan Doa, Permohonan dari NABI dan RASUL
terakhir saja tidak mampu menghantarkan Abu Thalib secara langsung ke Syurga,
sekarang bagaimana dengan diri kita yang tidak ada apa-apanya dibandingkan
dengan NABI MUHAMMAD SAW. Jika ini adalah kondisi NABI MUHAMMAD SAW kepada
Pamannya sendiri, selanjutnya bagaimana dengan diri kita kepada orang tua
dan/atau bagaimana dengan anak keturunan kita dengan diri kita?
Kita harus menyadari betapa pentingnya pendidikan dan pengajaran DIINUL
ISLAM sebagai Agama yang Haq dan/atau pelaksanaan SYAHADAT sebagai sebuah
Komitmen dan Pengakuan kepada anak dan keturunan kita sendiri. Tanpa
itu semua, apa yang dapat kita lakukan kepada orang tua kita atau apa yang
dapat kita harapkan dari anak dan keturunan kita jika kita tidak pernah memberikan
dan mengajarkan AD DIIN atau DIINUL ISLAM sebagai Agama yang Haq yang berasal
dari Fitrah ALLAH SWT. Tanpa adanya kesamaan, dalam hal ini adalah kesamaan
dalam DIINUL ISLAM sebagai AGAMA yang FITRAH, maka jangan pernah berharap ALLAH
SWT memberikan Fasilitas Kemudahan ini. Dengan demikian kita sebagai KHALIFAH
atau kita sebagai orang tua wajib dan harus mengajarkan kepada anak dan
keturunan kita masing-masing tentang DIINUL ISLAM atau SYAHADAT sebagai sebuah
Komitmen dan Pengakuan kepada ALLAH SWT dan kepada NABI MUHAMMAD SAW sehingga
baik diri kita maupun anak dan keturunan berada dalam satu kesatuan yaitu dalam
DIINUL ISLAM sebagai AGAMA yang FITRAH dari ALLAH SWT.
Apakah hanya sebatas itu
saja diri kita atau anak keturunan kita melaksanakan SYAHADAT sebagai bagian
dari pelaksanaan DIINUL ISLAM secara KAFFAH? Jika kita melihat dan berfikir
sederhana memang hanya sebatas itulah kita melaksanakan SYAHADAT. Akan tetapi
jika kita mau berfikir bahwa perintah melaksanakan SYAHADAT asalnya dari ALLAH
SWT, maka sudah barang tentu ada sesuatu yang sangat-sangat baik dibalik
perintah SYAHADAT bagi kepentingan diri kita saat menjadi KHALIFAH di muka
bumi. Sekarang coba anda bayangkan, inisiator, pencipta, pemilik, pemelihara,
penjaga dari langit dan bumi yang memerintahkan kepada diri kita untuk
melaksanakan SYAHADAT atau melaksanakan DIINUL ISLAM secara KAFFAH, bukankah
hal ini sesuatu yang sangat hebat.
Thalhah bin Ubaidillah r.a. berkata: Seorang dari
Najed datang kepada Nabi SAW, sedang ia terurai rambutnya, lalu ia mendekat
kepada Nabi SAW, dapat didengar dengung suaranya tetapi tidak dapat ditangkap
(dimengerti) apa yang ditanyakannya, tiba-tiba ia menanya tentang Islam. Maka
Rasulullah SAW bersabda: Lima kali sembahyang dalam sehari semalam. Ia bertanya:
Apakah ada kewajiban bagiku selain itu? Jawab Nabi SAW: Tidak, kecuali jika
anda akan sembahyang sunnat. Lalu Nabi SAW bersabda: Dan puasa pada bulan
Ramadhan. Orang itu bertanya: Apakah ada lagi puasa yang wajib atasku selain
itu? Jawab Nabi SAW: Tidak, kecuali jika anda puasa sunnat. Lalu Nabi SAW
menerangkan kewajiban zakat. Maka ia tanya: Apakah ada kewajiban selain itu?
Jawab Nabi SAW: Tidak kecuali jika anda bersedekah sunnat. Maka pergilah orang
itu, sambil berkata: Demi ALLAH saya tidak akan melebihi atau mengurangi dari
itu. Maka Rasulullah SAW, bersabda: Sungguh bahagia ia jika benar-benar (yakni
dalam ucapannya tidak akan mengurangi atau melebihi itu)
(HR
Bukhari, Muslim, Al Lulu Wal Marjan No.6)
Berdasarkan
hadits yang kami kemukakan di atas ini, ada sesuatu hal yang akan kami
kemukakan yaitu di
dalam perintah SYAHADAT tidak
ada istilah atau tidak mengenal adanya istilah SYAHADAT yang bersifat SUNNAH,
kapanpun, dimanapun, dalam kondisi
apapun juga. Yang ada di dalam perintah melaksanakan SYAHADAT hanyalah ibadah
yang bersifat WAJIB ataupun ibadah yang mutlak dilakukan tanpa ada bantahan. Jika
ini adalah kondisi dasar dari pelaksanaan SYAHADAT yang dikehendaki ALLAH SWT,
maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang sedang menjadi KHALIFAH di muka
bumi harus serius melaksanakan SYAHADAT; kita tidak bisa main-main di dalam melaksanakan
SYAHADAT; kita harus dengan kesadaran tinggi melaksanakan SYAHADAT, kita harus
bertanggung jawab saat melaksanakan SYAHADAT, kita harus jujur saat melaksanakan
SYAHADAT serta kitapun diharuskan untuk memiliki ilmu tentang SYAHADAT sehingga
hasil dari SYAHADAT yang kita laksanakan dapat kita peroleh dan dapat kita
rasakan baik untuk kepentingan hidup di dunia maupun untuk kepentingan di
akhirat kelak dan juga untuk sesama manusia.
Selain
daripada jika kita telah mampu melaksanakan SYAHADAT dengan baik dan benar maka
SYAHADAT yang kita laksanakan sudah menjadikan SYAHADAT sebagai perekat,
sebagai penyatu, sebagai jembatan dan juga sebagai pondasi dari pelaksanaan
perintah SHALAT, perintah PUASA,
perintah ZAKAT dan perintah HAJI. Hal ini dikarenakan prasyarat utama sebelum
melaksanakan perintah SHALAT, PUASA, ZAKAT serta HAJI adalah SYAHADAT dan/atau jika kita tidak pernah
melaksanakan SYAHADAT bagaimana mungkin kita dapat melaksanakan ibadah SHALAT,
ibadah PUASA, ibadah ZAKAT maupun ibadah HAJI dengan baik dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar