SYAHADAT walaupun hanya terdiri dari 2(dua) buah
kesaksian, namun SYAHADAT tidak bisa dilaksanakan secara asal-asalan, asal sudah
di baca, asal sudah di ucapkan, maka selesai sudah kewajiban SYAHADAT yang kita
laksanakan. Jika ini yang terjadi pada diri kita saat melaksanakan SYAHADAT,
maka berdasarkan hadits qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, SYAHADAT yang
telah kita laksanakan dapat dikatakan belum sesuai dengan makna yang terkandung
yang terdapat di dalam kebesaran SYAHADAT.
Abu Said ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Wahai Musa! Andaikata langit dan semua isinya, bumi dengan
semua isinya dan laut dengan semua isinya diletakkan di atas sebuah neraca dan
disampingnya diletakkan kalimat "La illaha Illa ALLAH" niscaya akan
lebih unggul dan lebih beratlah kalimat syahadat itu.
(HQR
Abu Ya'la; 272:204)
Ali ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman:
"Laillaha illa Allah" benteng-Ku,
dan barangsiapa memasuki benteng-Ku ia bebas dari siksaan-Ku.
(HQR
Abu Nu'aim, Ibnu Najjar dan Ibnu Asakir, 272:166)
Untuk itu sebelum diri kita melaksanakan SYAHADAT
sebaiknya dan seharusnya kita harus tahu dan kita harus mengerti terlebih
dahulu apa yang akan kita SYAHADATkan dan/atau kita harus memiliki ilmu dan
pengetahuan terlebih dahulu sebelum melaksanakan SYAHADAT seperti halnya kita
memiliki ilmu dan pengetahuan untuk melakukan suatu pekerjaan. Timbul pertanyaan,
kenapa harus seperti itu kita melaksanakan SYAHADAT?
Hal ini dikarenakan SYAHADAT yang akan kita
laksanakan atau yang telah kita laksanakan sangat berhubungan erat dengan
apa-apa yang akan kita persaksikan, yaitu ALLAH SWT yang memiliki KEBESARAN dan
KEMAHAAN sebagai satu-satunya TUHAN yang berhak di sembah di alam semesta ini,
serta NABI MUHAMMAD SAW sebagai Utusan ALLAH SWT yang akan menjadi CONTOH,
IKUTAN, TAULADAN bagi seluruh umat manusia. Di lain sisi, kondisi dan keadaan
diri kita sebagai orang yang akan melaksanakan SYAHADAT adalah makhluk yang ada
di dunia ini karena kehendak ALLAH SWT; hidup menumpang di muka bumi yang
dimiliki oleh ALLAH SWT sehingga dapat dikatakan manusia, termasuk diri kita
tidak memiliki apapun juga dibandingkan dengan ALLAH SWT.
Adanya perbedaan kondisi dasar antara diri kita
dengan ALLAH SWT tentu akan berdampak kepada posisi diri kita dibandingkan
ALLAH SWT. Yang jelas di
dalam melaksanakan SYAHADAT kita tidak bisa mensejajarkan diri dengan ALLAH SWT
atau kita tidak akan mungkin berada di atas ALLAH SWT. Akan tetapi kita harus
dapat meletakkan diri sesuai dengan kondisi dan keadaan diri kita yang miskin,
yang hina, yang ada di muka bumi karena di adakan oleh ALLAH SWT, yang tidak
memiliki apapun juga dibandingkan ALLAH SWT. Adanya kondisi seperti
ini memang sudah sepatutnya dan sepantasnya diri kita merendahkan diri sewaktu
melaksanakan SYAHADAT. Selanjutnya setelah diri kita melaksanakan SYAHADAT,
masih ada hal lainnya yang harus kita ketahui mengenai SYAHADAT yang kita
lakukan yaitu sudah sampai dimanakah tingkatan SYAHADAT yang kita laksanakan
dan/atau sudah sampai dimanakah kualitas SYAHADAT yang telah kita laksanakan.
Untuk mengetahui tentang tingkatan SYAHADAT atau
kualitas dari SYAHADAT yang telah pernah kita laksanakan, mari kita lanjutkan
pembahasan tentang SYAHADAT secara lebih mendalam lagi.
A. SYAHADAT Tingkat Pertama
atau Kualitas Terendah adalah SYAHADAT berdasarkan PEKABARAN dari DALIL atau
KABAR yang MEYAKINKAN (HUJJAH) tanpa melihat secara langsung
Dalam kehidupan sehari-hari untuk dapat menerima apalagi mempercayai
suatu informasi atau berita atau kabar yang tidak kita saksikan langsung, tentu
tidak serta merta kita menerimanya apalagi mempercayainya. Untuk dapat
mempercayai suatu informasi atau berita yang tidak pernah kita saksikan secara
langsung, katakanlah informasi tentang kecelakaan lalu lintas, maka harus ada
syarat tertentu, barulah kita dapat mempercayai informasi atau berita dimaksud.
Apakah syaratnya? Syaratnya adalah siapakah yang menyampaikan informasi atau
berita dimaksud. Semakin tinggi tingkat kompetensi penyampai berita maka
semakin tinggi pula kita mempercayai informasi atau berita yang disampaikannya.
Akan tetapi jika semakin rendah tingkat kompetensi penyampai informasi atau
berita maka akan semakin rendah pula kita mempercayai berita yang
disampaikannya. Adanya kondisi di atas ini, akan terdapat 2(dua) kemungkinan
informasi yang kita peroleh, yaitu Informasi yang tingkat akurasinya tinggi
yang berasal dari sumber yang tingkat kompetensinya tinggi (yaitu kepolisian
atau surat kabar ternama atau berita televisi) dan Informasi yang tingkat
akurasinya rendah yang berasal dari sumber yang tingkat kompetensinya rendah
(yaitu anak kecil, orang yang tidak waras, hilang ingatan).
Adanya dua buah kemungkinan tingkat akurasi informasi atau berita yang
kita peroleh, maka jika kita sampai mempercayai informasi atau berita dimaksud
berarti diri kita juga memiliki dua buah kualitas hujjah sewaktu melakukan
kesaksian, yaitu ada yang kualitas tinggi dan ada yang kualitas rendah.
Sekarang bagaimana jadinya jika kita memberikan kesaksian kepada pihak ke tiga
tentang kecelakaan lalu lintas yang terjadi yang tidak kita saksikan secara
langsung dengan mempergunakan 2(dua) buah kemungkinan hujjah yang kita miliki,
yaitu yang berdasarkan hujjah tingkat tinggi dan berdasarkan hujjah tingkat
rendah? Sepanjang diri kita kita tidak bisa menyaksikan langsung kecelakaan
yang terjadi maka nilai atau tingkatan atau kualitas kesaksian yang kita
berikan kepada pihak ketiga selamanya akan memiliki nilai yang berkualitas
rendah. Sekarang apa yang terjadi jika kondisi di atas ini kita terapkan pada
waktu kita melaksanakan SYAHADAT? Jika sampai kondisi di atas kita terapkan
saat diri kita melaksanakan SYAHADAT berarti kualitas atau tingkatan SYAHADAT
yang kita laksanakan berada pada kualitas atau tingkatan yang paling rendah.
Timbul pertanyaan atas dasar apakah kualitas atau tingkatan SYAHADAT yang
kita laksanakan dikatakan sebagai yang paling rendah? SYAHADAT yang artinya
adalah sebuah Kesaksian yang berasal dari seseorang kepada sesuatu yang akan
dipersaksikannya, tidak akan dapat memberikan kualitas yang tinggi sepanjang
diri kita tidak bisa mempersaksikan secara langsung tentang apa-apa yang kita
persaksikan dan/atau sepanjang diri kita memberikan kesaksian berdasarkan
keterangan dari orang lain, baik yang kompeten ataupun tidak sewaktu
mempersaksikan Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW utusan ALLAH
SWT walaupun itu semua berasal dari Al-Qur'an dan Hadits. Jika keadaan dan
kondisi ini kita laksanakan sewaktu melakukan SYAHADAT maka tidak ada bedanya
dengan diri kita yang memberikan kesaksian bahwa cabai itu pedas akan tetapi
kita sendiri belum pernah sekalipun merasakan langsung pedasnya cabai.
Inilah Ironi atau keadaan yang kontradiktif yang sering terjadi dalam
masyarakat, terutama umat Islam, dimana kita berani mempersaksikan Tiada Tuhan
selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW sebagai Utusan ALLAH SWT tanpa pernah
tahu dan tanpa pernah mengerti serta tanpa memiliki ilmu tentang apa dan
bagaimana ALLAH SWT kepada umat manusia dan juga tanpa pernah merasakan apa
yang dinamakan dengan nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT.
Sebagai KHALIFAH yang sedang melaksanakan tugas di muka bumi, apa jadinya
SYAHADAT yang telah kita laksanakan dengan memberikan kesaksian bahwa Tiada
Tuhan selain ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW utusan ALLAH SWT hanya berdasarkan
hujjah atau keterangan dari orang lain dikarenakan kita tidak mau dan tidak
mampu mengenal, tidak mau dan tidak mampu mempersaksikan keberadaan ALLAH SWT,
padahal nilai dari kesaksian seseorang sangat tergantung seberapa jauh diri
kita dapat mengenal, sejauh mana diri kita dapat mengetahui, sejauh mana diri
kita dapat merasakan dari apa-apa yang kita persaksikan, dalam hal ini adalah
ALLAH SWT dan NABI MUHAMMAD SAW?
Sepanjang diri kita tidak dapat memenuhi kriteria dasar dari suatu
kesaksian dan/atau sepanjang diri kita tidak mau dan tidak mampu menjadi
seorang SAKSI yang baik maka akan semakin rendah tingkat dan nilai kesaksian
yang kita berikan kepada ALLAH SWT dan kepada NABI MUHAMMAD SAW sewaktu
melaksanakan SYAHADAT. Jika hal ini yang sudah terjadi pada diri kita, maka
kita harus mau dan mampu memperbaiki kualitas SYAHADAT yang telah kita pernah
kita laksanakan. Untuk memberikan gambaran tentang SYAHADAT kualitas paling
rendah, mari kita lihat apa yang dikemukakan ALLAH SWT dalam surat Al Qashash
(28) ayat 44 yang kami kemukakan di bawah ini, dimana ALLAH SWT telah
memperingatkan kepada orang-orang yang tidak mempersaksikan sesuatu secara
langsung dan/atau orang yang tidak mengalami sesuatu secara langsung untuk
tidak berkata bohong atau tidak mengemukakan sesuatu yang tidak pernah
diketahuinya. Hal ini dikemukakan oleh ALLAH SWT agar manusia tidak tersesat
dan/atau menyesatkan orang lain sewaktu melaksanakan SYAHADAT dan/atau sewaktu
menjadi SAKSI.
dan tidaklah kamu (Muhammad) berada di sisi yang
sebelah barat[1125] ketika Kami menyampaikan perintah kepada Musa, dan tiada
pula kamu Termasuk orang-orang yang menyaksikan.
(surat
Al Qashash (28) ayat 44)
[1125] Maksudnya: di sebelah barat lembah suci
Thuwa; Lihat surat
Thaha ayat 12.
Hal lain yang harus kita perhatikan sewaktu melaksanakan SYAHADAT adalah
semakin rendah kualitas SYAHADAT kita maka semakin rendah pula persepsi diri
kita kepada ALLAH SWT dan juga kepada
NABI MUHAMMAD SAW. Demikian pula sebaliknya semakin tinggi kualitas SYAHADAT
kita maka semakin tinggi pula persepsi diri kita kepada ALLAH SWT dan juga
kepada Nabi Muhammad SAW.
Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala
berfirman: Aku selalu menurutkan persangkaan hamba-Ku terhadap diriku dan Aku
selalu menyertainya (membantu padanya) selama ia berdzikir (ingat dan menyebut)
nama-Ku.
(HQR Muslim dan Al Hakiem, 272:68)
Untuk itu jangan pernah salahkan ALLAH SWT atau jangan pernah
berprasangka buruk kepada ALLAH SWT jika kita tidak pernah memperoleh
janji-janji ALLAH SWT atau jika kita tidak pernah merasakan betapa nikmatnya
bertuhankan kepada ALLAH SWT sebab hal itu semua terpulang dari sejauh mana
tingkat persepsi diri kita kepada ALLAH SWT selaku Tuhan di alam semesta ini.
Sebagai KHALIFAH yang sedang menjalankan tugas di muka bumi, kami sangat
berharap jangan sampai diri kita memberikan KESAKSIAN Tiada Tuhan selain ALLAH
SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT hanya berdasarkan keterangan
resmi saja baik yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan juga melalui Hadits . Hal ini disebabkan nilai dari sebuah kesaksian yang
kita laksanakan bukan karena adanya informasi
yang berasal dari Al-Qur'an dan Hadits. Akan tetapi sangat tergantung
seberapa jauh kita dapat mengenal, seberapa jauh kita dapat mengetahui,
seberapa jauh kita dapat merasakan apa-apa yang akan kita persaksikan dalam hal
ini adalah ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SAW melalui Al-Qur'an dan Hadits. Selain
daripada itu, sepanjang diri kita belum dapat memenuhi kriteria sebagai seorang
Saksi yang memiliki ilmu dan kejujuran saat melaksanakan Kesaksian maka akan
semakin rendah nilai dari SYAHADAT yang kita laksanakan.
A. SYAHADAT
Tingkat KEDUA adalah SYAHADAT yang dilakukan berdasarkan tanda-tanda atau
bukti-bukti tentang adanya AL LAH
SWT.
Ada sebuah kecelakaan lalu lintas, namun pada saat
kecelakaan lalu lintas terjadi kita tidak berada di lokasi kejadian sehingga
tidak melihat secara langsung kecelakaan tersebut. Akan tetapi kita berada di
tempat kejadian setelah semua korban kecelakaan di bawa ke rumah sakit sehingga
pada saat itu kita hanya dapat menyaksikan tanda-tanda atau bukti-bukti bahwa
telah terjadi sebuah kecelakaan di tempat tersebut. Selanjutnya apa yang
terjadi, jika diri kita yang tidak menyaksikan langsung kecelakaan lalu lintas,
lalu memberikan kesaksian berdasarkan tanda-tanda adanya kecelakaan yang kita
lihat di lokasi kecelakaan setelah kecelakaan telah berlalu?
Jika kita mengacu kepada kondisi ini, maka kualitas kesaksian yang kita lakukan sudah
lebih maju atau sedikit lebih baik dibandingkan kesaksian yang berdasarkan
hujjah dari orang lain atau kesaksian yang tidak kita lihat secara langsung.
Hal ini dikarenakan dengan melihat tanda-tanda adanya kecelakaan secara
langsung di tempat kejadian, maka kita dapat merekonstruksi dan/atau dapat
membayangkan peristiwa kecelakaan yang terjadi untuk dijadikan sebagai suatu
kesaksian. Sekarang jika kondisi dan keadaan di atas ini kita terapkan dan
aplikasikan pada saat diri kita melaksanakan SYAHADAT yaitu dengan memberikan
SYAHADAT hanya berdasarkan tanda-tanda atau bukti-bukti adanya ALLAH SWT di
alam ini seperti kita melihat adanya bukti-bukti telah terjadi sebuah
kecelakaan yang mana kita sendiri tidak melihat langsung kecelakaan tersebut?
Katakanlah: "Wahai Allah, Pencipta langit dan
bumi, yang mengetahui barang ghaib dan yang nyata, Engkaulah yang memutuskan
antara hamba-hamba-Mu tentang apa yang selalu mereka memperselisihkannya."
(surat
Az Zumar (39) ayat 46)
Jika hal ini terjadi pada diri kita sewaktu
melaksanakan SYAHADAT berarti tingkat dan kualitas SYAHADAT yang kita
laksanakan sedikit meningkat dari titik terendah menjadi kualitas tingkat ke
dua dari bawah. Hal ini dikarenakan saat diri kita bersaksi Tiada Tuhan selain
ALLAH SWT hanya berdasarkan rekaan-rekaan yang kita peroleh dari tanda-tanda
adanya ALLAH SWT di alam semesta ini tanpa bisa
merasakan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT .
Sebagai KHALIFAH yang sedang menjalankan tugas di
muka bumi, apa jadinya SYAHADAT yang telah kita laksanakan dengan memberikan
kesaksian hanya berdasarkan tanda-tanda adanya ALLAH SWT di alam semesta ini
tanpa bisa merasakan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT? Jika kita mengacu kepada
surat Az Zumar (39) ayat 46 yang kami kemukakan di atas ini, maka :
1. SYAHADAT
yang kita lakukan baru sampai tahap mengenal
ALLAH SWT melalui ciptaan melalui yang tersurat serta melalui
tanda-tanda keberadaan ALLAH SWT yang ada di alam semesta ini melalui yang
tersirat dan/atau
2. SYAHADAT
yang kita lakukan belum sampai pada tahap
merasakan apa-apa yang tersembunyi di balik ciptaan ALLAH SWT yang ada
di alam semesta yaitu merasakan langsung Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT
dan/atau
3. SYAHADAT
yang kita lakukan belum dapat menghantarkan diri kita untuk merasakan langsung
nikmatnya dari bertuhankan kepada ALLAH SWT karena diri kita masih berpedoman
kepada ciptaan ALLAH SWT dan Tanda-Tanda Keberadaan ALLAH SWT.
Jika apa yang kami kemukakan di atas ini, sudah
terjadi pada diri kita, maka jalan keluar yang terbaik adalah memperbaiki
SYAHADAT yang telah pernah kita laksanakan agar sesuai dengan kehendak ALLAH
SWT.
Untuk dapat memperbaiki SYAHADAT apa yang harus kita
lakukan? Untuk memperbaiki SYAHADAT dimulai dari mengakui segala kesalahan
kepada ALLAH SWT yang dilanjutkan dengan meminta ampunan kepada ALLAH SWT.
Kemudian kita harus dapat melihat apa yang tersurat dari ALLAH SWT melalui
segala ciptaan-Nya, kemudian kita harus dapat mempersaksikan apa yang tersirat
dibalik segala ciptaan ALLAH SWT dan terakhir kita harus dapat merasakan secara
langsung KEBESARAN dan KEMAHAAN ALLAH
SWT di alam semesta ini. Adanya kondisi ini maka apa yang dikemukakan ALLAH SWT
dalam surat Az Zumar (39) ayat 46 yang
menyatakan bahwa ALLAH SWT adalah pencipta langit dan bumi serta yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata tidak dapat hanya kita percayai saja.
Akan tetapi kita harus dapat
pula merasakan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang ada di alam semesta ini. Untuk
itu sangat dibutuhkan kesungguhan diri kita untuk memperoleh segala manfaat
dari yang kita persaksikan maka disinilah letak dari komitmen kita sewaktu
melaksanakan SYAHADAT yaitu maukah diri kita memenuhi segala apa-apa yang di
kehendaki ALLAH SWT. Hal yang harus kita perhatikan adalah sepanjang diri kita tidak mampu menjadikan SYAHADAT
sebagai sebuah Komitmen dan Pengakuan atau sepanjang diri kita tidak mau
mengakui bahwa ALLAH SWT adalah pencipta langit dan bumi serta yang mengetahui
yang ghaib dan yang nyata secara mantap maka diri kita hanya akan dapat melihat
dan menyaksikan ciptaan ALLAH SWT dan juga tanda-tanda kebesaran ALLAH SWT.
Sedangkan untuk mempersaksikan sesuatu yang
tersembunyi dibalik ciptaan ALLAH SWT atau merasakan Kebesaran ALLAH SWT tidak
akan pernah kita dapatkan dan rasakan. Apabila kondisi ini terus terjadi
dikarenakan kita tidak pernah mau memperbaiki
SYAHADAT yang kita laksanakan maka SYAHADAT yang kita lakukan tidak dapat
memberikan dampak positif dalam diri kita atau diri kita tidak dapat
melaksanakan HADITS yang berbunyi "Siapa yang mengenal ALLAH SWT maka ia dapat mengenal dirinya sendiri
atau siapa yang dapat mengenal dirinya sendiri maka ia dapat mengenal ALLAH
SWT". Untuk
itu kita harus yakin, kita harus mengimani bahwa ALLAH SWT pencipta langit dan
bumi serta yang mengetahui segala yang ghaib dan yang nyata barulah SYAHADAT
yang kita laksanakan dapat berbuah manis. Selanjutnya masih ada hal lainnya
yang dapat kita lakukan untuk meningkatkan kualitas SYAHADAT yaitu dengan
memperhatikan secara seksama apa yang dikemukakan dalam surat Al Jumuah (62)
ayat 8 di bawah ini, dimana diri kita diperintahkan oleh ALLAH SWT untuk
mempersaksikan dengan mata kepala sendiri dan/atau dengan melihat secara
langsung tentang kematian yang pasti terjadi atau pasti menimpa setiap manusia.
Sekarang mampukah manusia mempertahankan Ruhani
untuk tidak berpisah dengan Jasmani sewaktu melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di
muka bumi?
Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu
lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian
kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang
nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan".
(surat
Al Jumu'ah (62) ayat 8)
Sampai dengan saat ini tidak ada alat bantu ataupun teknologi yang
canggih yang mampu menghilangkan adanya Kematian atau tidak akan ada alat
secanggih apapun juga yang mampu untuk tetap mempertahankan agar Ruhani jangan
sampai berpisah dengan Jasmani. Jika sudah demikian keadaannya, tidakkah hal ini
dapat kita Persaksian secara nyata di dalam SYAHADAT yang kita laksanakan bahwa
Kematian pasti berlaku bagi setiap manusia. Adanya kondisi seperti ini memang
sudah seharusnya kita bersyahadat bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH SWT yang
paling berkuasa di alam semesta ini. Yang menjadi persoalan saat ini adalah
sudahkah kita melaksanakan SYAHADAT sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?
B. SYAHADAT
tingkat KETIGA adalah SYAHADAT berdasarkan MELIHAT dengan NYATA KEBESARAN ALLAH
SWT.
Ada
sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas, dimana pada saat kejadian kita berada
persis di lokasi kejadian sehingga kita dapat melihat dengan nyata apa yang
terjadi secara langsung. Akan tetapi walaupun diri kita berada di lokasi
kecelakaan, namun kita tidak turut serta membantu mengevakuasi korban
kecelakaan sampai ke rumah sakit (kita
hanya menjadi penonton atas peristiwa kecelakaan yang terjadi).
Selanjutnya apa yang terjadi, jika diri kita yang menyaksikan langsung
kecelakaan memberikan kesaksian? Sebagai saksi mata dari kecelakaan yang
terjadi maka sudah seharusnya kita mampu menceritakan secara detail seluruh
peristiwa kecelakaan yang terjadi secara tepat dan juga dapat merasakan
kengerian akibat dari kecelakaan yang terjadi serta dapat memberikan kesaksian
mana yang salah dan mana yang benar dari peristiwa kecelakaan tersebut.
Sekarang jika kondisi dan keadaan di atas ini kita terapkan dan aplikasikan
pada saat diri kita melaksanakan SYAHADAT yaitu mempersaksikan Tiada Tuhan
selain ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT berdasarkan
Kebesaran ALLAH SWT yang kita saksikan secara langsung, apa yang akan kita
peroleh?
Jika
kita mampu melaksanakan SYAHADAT berdasarkan kesaksian diri kita sendiri yang
mampu melihat secara nyata Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT di alam semesta maka kualitas
SYAHADAT yang kita miliki belum tentu dapat menghantarkan diri kita merasakan
nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT? Timbul pertanyaan, kenapa dikatakan
demikian? Hal ini dikarenakan apa yang kita lakukan masih ada yang kurang yaitu
setelah melihat dengan nyata Kebesaran dan Kemahaan yang diperlihatkan oleh
ALLAH SWT kita tidak aktif atau hanya berdiam diri tanpa berusaha untuk
melibatkan diri di dalam Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT dikarenakan kita
merasa tidak membutuhkannya atau jika mengacu kepada kecelakaan yang terjadi,
kita hanya menjadi penonton saat terjadi kecelakaan lalu lintas tanpa berusaha
untuk membantu mengevakuasi korban kecelakaan lalu lintas.
Sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan kasih
sayang-Nya kepada kita, sekarang bagaimana ALLAH SWT akan memberikan
pertolongan-Nya kepada kita, sekarang bagaimana mungkin ALLAH SWT akan
memberikan perlindungan-Nya kepada kita, sekarang bagaimana mungkin ALLAH SWT
akan memberikan hidayah-Nya kepada kita, jika kita sendiri hanya berdiam diri
saja tanpa melakukan aktivitas apapun atau kita hanya menunggu dan menunggu
akan diberikan sesuatu oleh ALLAH SWT?
Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemuinya
dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemuinya.
(HQR
Al Bukhari, Malik dan An Nasa'ie dari Abu Hurairah, 272:17)
Kami tidak mengatakan melainkan bahwa sebagian
sembahan Kami telah menimpakan penyakit gila atas dirimu." Huud menjawab:
"Sesungguhnya aku bersaksi kepada Allah dan saksikanlah olehmu sekalian
bahwa Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan,
(surat
Huud (11) ayat 54)
Jawaban
dari pertanyaan di atas adalah ALLAH
SWT dapat dipastikan tidak akan memberikan apa-apa kepada hamba-Nya yang tidak
mau meminta kepada-Nya atau ALLAH SWT akan melepaskan diri dari tanggung jawab
sebagai Tuhan semesta alam kepada manusia dan mungkin juga termasuk kepada diri
kita. Sekarang apa jadinya jika sampai diri kita melaksanakan SYAHADAT
berdasarkan kebesaran ALLAH SWT yang mampu kita saksikan secara nyata namun
kita tidak turut melibatkan diri secara aktif dengan kebesaran ALLAH SWT
tersebut?
ALLAH
SWT yang sudah MAHA sejak ada dan sampai dengan kapanpun juga akan MAHA, maka
ALLAH SWT dapat dipastikan tidak membutuhkan KEBESARAN yang dimiliki-Nya untuk
diri-Nya sendiri. Adanya kondisi ini maka akan sia-sialah Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT tersebut yang
ditujukan dan yang diperuntukkan untuk seluruh makhluk-Nya jika makhluk-Nya
sendiri menyia-nyiakan segala Fasilitas dan Kemudahan dari ALLAH SWT dengan
bersikap pasif atau menunggu untuk diberikan sedangkan untuk memperoleh
Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT kita harus selalu aktif untuk memperolehnya.
Sebagai contoh kita melaksanakan SYAHADAT
dengan menyatakan Tiada Tuhan selain ALLAH SWT yang mampu memberikan
pertolongan kepada seluruh hambanya secara nyata (contohnya ALLAH SWT mampu menolong hambanya dari ancaman bencana,
penyakit seperti yang terdapat
di dalam surat Huud (11) ayat 54),
akan tetapi kita sebagai hambanya yang membutuhkan pertolongan ALLAH SWT justru
diam seribu bahasa. Inilah
Ironi yang terjadi di dalam kehidupan manusia atau mungkin dalam kehidupan diri
kita sendiri, yaitu manusia hidup berkekurangan (hidup miskin) di dalam lumbung
padi yang sangat kaya raya. Inilah tragedi besar yang terjadi dalam kehidupan
umat manusia, sekarang apakah hal ini akan terjadi pula pada diri kita? Jika
sampai tragedi ini terjadi pada kehidupan diri kita, berarti ada yang salah di
dalam SYAHADAT yang kita lakukan. Untuk itu tidak ada jalan lain bagi kita
untuk memperbaiki SYAHADAT yang telah kita laksanakan.
Sebagai
KHALIFAH yang sedang menjalankan tugas di muka bumi, kami sangat berharap jika
kita semua mampu melaksanakan SYAHADAT tidak sampai berhenti pada tingkatan
SYAHADAT yang ketiga dan/atau jangan sampai menjadikan diri kita hanya sebatas
Penonton belaka atas pertunjukkan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT sehingga
kita hanya mampu berlaku Pasif atas Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT sehingga
kita hanya bisa menunggu dan menunggu untuk diberikan kenikmatan bertuhankan
kepada ALLAH SWT. Sebagai Makhluk yang tidak memiliki apapun juga di muka
bumi ini dan juga hidup menumpang di buminya ALLAH SWT, tentu diri kita sangat
membutuhkan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT sewaktu menjalankan tugas sebagai
KHALIFAH di muka bumi. Terkecuali jika memang kita sendiri merasa tidak
membutuhkan Kebesaran dan Kemahaan dari ALLAH SWT, maka cukuplah sampai di
tingkat ini saja kita melaksanakan SYAHADAT.
Untuk itu bertanyalah langsung kepada diri sendiri,
butuhkah atau perlukah diri kita dengan SYAHADAT atau punya apakah diri kita
saat datang ke dunia ini? Jika anda merasa butuh dengan SYAHADAT, maka tidak
ada jalan lain kecuali memperbaiki diri dan meningkatkan kualitas SYAHADAT yang
sesuai dengan kehendak ALLAH SWT (ingat
parameter yang dipergunakan bukanlah parameter yang berasal dari diri kita
melainkan parameter yang berasal dari ALLAH SWT) dan jika diri kita
hanya merasa perlu dengan SYAHADAT, yang pasti adalah ALLAH SWT tidak akan
pernah membutuhkan apapun juga dari diri kita sebab ALLAH SWT sudah MAHA. Untuk
itu bertanyalah kepada rumput yang bergoyang.
D. SYAHADAT
tingkat KEEMPAT adalah SYAHADAT yang berdasarkan MELIHAT dengan NYATA dengan
ikut melibatkan diri serta merasakan buahnya
Ada
sebuah peristiwa kecelakaan lalu lintas, dimana pada saat kejadian kita berada
persis di lokasi kejadian sehingga kita dapat melihat dengan nyata apa yang
terjadi secara langsung. Lalu dengan kesadaran penuh, tanpa paksaan dari
siapapun kita turut melibatkan diri menjadi relawan untuk mengevakuasi korban
kecelakaan serta membantu kepolisian membersihkan sisa-sisa dampak kecelakaan
sehingga lalu lintas menjadi lancar kembali. Selanjutnya apa yang terjadi, jika
diri kita yang menjadi saksi mata dan juga menjadi relawan memberikan
kesaksian?
Kesaksian
yang berasal dari diri kita haruslah sebuah kesaksian yang terbaik dan juga
terlengkap serta tidak memihak kepada siapapun baik yang kita sampaikan kepada
kepolisian maupun kepada keluarga korban. Selain daripada itu sebagai saksi
mata diri kita juga mampu merasakan apa yang dirasakan oleh korban sehingga
diri kita akan terikat dalam sebuah ikatan emosional yang sangat erat dengan
korban. Hal ini akan terlihat dikemudian hari jika korban sembuh dari akibat
kecelakaan biasanya ungkapan terima kasih yang tidak putusnya akan diberikan
korban dan/atau timbul perasaan salut dan angkat topi dari keluarga korban
kepada diri kita yang telah dengan sukarela telah menolong korban. Selanjutnya
apa yang terjadi jika pelaksanaan SYAHADAT kita kondisikan seperti apa yang
kami kemukakan di atas ini?
Berdasarkan
uraian di atas, maka kitapun dapat menjadi saksi mata langsung atas kebesaran
dan kemahaan ALLAH SWT sehingga yang akan kelihatan oleh diri kita hanyalah
ALLAH SWT di alam semesta ini dan juga diri kita dapat menjadi RELAWAN ALLAH
SWT di muka bumi atau menjadikan diri sebagai HAMBA ALLAH SWT yang berbakti
hanya kepada-Nya saja atau berbuat hanya untuk ALLAH SWT semata. Jika kondisi
ini mampu kita laksanakan maka inilah posisi dan keadaan SYAHADAT yang kita
laksanakan masuk dalam kategori tertinggi atau terbaik. Hal ini dikarenakan
diri kita telah mampu melihat, mampu meyakini serta mampu merasakan dengan
nyata kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT yang dilanjutkan dengan diri kita ikut
terlibat langsung di dalamnya dengan berbuat dan bertindak sesuai dengan
kemahaan dan kebesaran ALLAH SWT untuk kepentingan umat manusia dalam rangka
ikhlas berbuat hanya karena ALLAH SWT. Sehingga jika kita melihat alam semesta ini yang terlihat hanyalah
Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT semata. Dan jika SYAHADAT yang
kita laksanakan sudah berada pada tingkat ke empat maka hal-hal yang akan kami
kemukakan di bawah ini dapat kita peroleh, yaitu:
a. Diri kita
akan selalu berada di dalam kehendak ALLAH SWT.
b. Diri kita
akan memperoleh janji-janji ALLAH SWT.
c. Diri kita
akan merasakan kenikmatan dari bertuhankan kepada ALLAH SWT.
Selain
ke tiga hal yang kami kemukakan di atas ini, jika diri kita telah mampu
melaksanakan SYAHADAT tingkat ke-empat seperti yang telah kami kemukakan di
atas ini, maka akan ada 2(dua) hal yang sangat penting ada pada diri kita,
apakah itu? Berikut ini akan kami kemukakan ke dua hal tersebut, yaitu:
1. Diri
kita dapat dipastikan telah memiliki ILMU dan juga PENGETAHUAN tentang SYAHADAT
dengan baik dan benar.
Dalam kehidupan sehari-hari, untuk dapat mengerjakan
sesuatu kita diharuskan untuk memiliki Ilmu dan Pengetahuan yang berhubungan
dengan pekerjaan yang akan kita lakukan. Jika kita bekerja tanpa memiliki Ilmu
dan Pengetahuan dapat dipastikan hasil akhirnya tidak akan sama kualitasnya
dengan jika kita bekerja dengan Ilmu dan Pengetahuan. Hal yang sama juga
berlaku saat diri kita melaksanakan SYAHADAT, yaitu kualitas dan tingkatan
SYAHADAT sangat berhubungan erat dengan seberapa jauh diri kita memiliki Ilmu
dan Pengetahuan yang berhubungan erat dengan SYAHADAT.
Jika kita memiliki Ilmu dan Pengetahuan tentang
SYAHADAT yang tinggi maka akan semakin baik pelaksanaan SYAHADAT yang kita
laksanakan. Demikian pula sebaliknya semakin rendah Ilmu dan Pengetahuan
tentang SYAHADAT yang kita miliki maka nilai dari pelaksanaan SYAHADAT yang
kita laksanakan akan semakin rendah kualitas dan tingkatannya. Sekarang
sudahkah diri kita memiliki Ilmu yang berhubungan erat dengan SYAHADAT atau
Ilmu tentang ALLAH SWT dan juga Ilmu tentang DIINUL ISLAM yang baik dan benar sesuai dengan kehendak ALLAH SWT?
Untuk dapat
mengenal; untuk dapat tahu; untuk dapat mengerti yang pada akhirnya dapat
menghantarkan diri kita melaksanakan Iman kepada ALLAH SWT atau melaksanakan
SYAHADAT yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT atau melaksanakan DIINUL ISLAM
secara KAFFAH, tidak akan mungkin dapat tercapai tanpa diri kita memiliki Ilmu
dan Pengetahuan yang berhubungan erat dengan apa-apa yang kita imani; dengan
apa-apa yang akan kita persaksikan dan dengan yang akan kita jadikan Agama yang
Haq.
Sekarang diri kita sudah dijadikan oleh ALLAH SWT
sebagai KHALIFAH di muka bumi. Timbul pertanyaan, sudah sejauh manakah kita memiliki Ilmu dan Pengetahuan tentang
KEKHALIFAHAN di muka bumi? Jika kita ingin sukses melaksanakan KEKHALIFAHAN
di muka bumi tidak ada jalan lain kita harus meluangkan waktu dan
bersungguh-sungguh untuk belajar memikili Ilmu dan Pengetahuan yang berhubungan
dengan diri kita sebagai KHALIFAH dan juga tentang DIINUL ISLAM sebagai konsep
Ilahiah bagi kepentingan diri kita dan juga baik anak dan keturunan kita.
Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan
melainkan Dia (yang berhak disembah), yang menegakkan keadilan. Para Malaikat
dan orang-orang yang berilmu[188] (juga menyatakan yang demikian itu). tak ada
Tuhan melainkan Dia (yang berhak disembah), yang Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
(surat
Ali Imran (3) ayat 18)
[188] Ayat ini
untuk menjelaskan martabat orang-orang berilmu.
Sekarang mari kita perhatikan dengan seksama apa
yang dikemukakan oleh ALLAH SWT dalam surat Ali Imran (3) ayat 18 yang kami
kemukakan di atas ini. ALLAH SWT menyatakan bahwa SYAHADAT yang dilaksanakan
oleh orang-orang yang berilmu (maksudnya
memiliki ilmu dan pengetahuan tentang DIINUL ISLAM secara baik dan benar)
syahadatnya disamakan oleh ALLAH SWT dengan syahadatnya para Malaikat.
Selanjutnya seperti apakah Malaikat bersyahadat? Malaikat melaksanakan syahadat kepada ALLAH SWT tanpa pernah mengeluh,
Malaikat bersyahadat tanpa pernah berhenti; Malaikat bersyahadat tanpa pernah
membantah sedikitpun; Malaikat bersyahadat tanpa ada rasa menyesal; Malaikat
bersyahadat dengan ikhlas tanpa ada maksud-maksud lainnya kecuali beribadah
kepada ALLAH SWT semata. Adanya kondisi ini, terlihat dengan jelas bahwa
memiliki Ilmu tentang DIINUL ISLAM, memiliki Ilmu tentang ALLAH SWT; memiliki
Ilmu tentang SYAHADAT sangatlah penting bagi kesuksesan diri kita di dalam
melaksanakan tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi.
Yang menjadi persoalan saat ini adalah kita malas untuk belajar, kita
merasa tidak ada waktu untuk belajar, sibuk, repot, atau nanti saja kalau sudah
tua belajar DIINUL ISLAM yang sesuai dengan kehendak ALLAH SWT. Inilah ironi
yang terjadi di masyarakat, mau memiliki ilmu dan pengetahuan tentang DIINUL
ISLAM akan tetapi tidak mau belajar sama sekali. Jika
ini yang terjadi pada diri kita maka tidak ada bedanya jika kita memiliki HP
Black Berry terbaru, namun hanya memiliki pulsa Rp.10,- (sepuluh rupiah) tetapi
ingin memperoleh fasilitas SMS, MMS, GPRS, SLI dan SLLJ dari Operator Selular
tanpa henti. Untuk
itu jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika saat ini kita tidak pernah merasakan
nikmatnya bertuhankan ALLAH SWT atau jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika
hidup kita selalu di rundung masalah/problem dari waktu ke waktu, akibat diri
kita yang malas, akibat diri kita yang acuh dengan DIINUL ISLAM, akibat diri
kita sibuk mengejar dunia, akibat menjadikan diri kita seperti laksana HP yang
hanya memiliki saldo pulsa Rp.10,- (sepuluh rupiah) saja
(apa yang dapat kita lakukan dengan pulsa hanya sebesar Rp.10,-(sepuluh
rupiah) kecuali hanya menunggu dan menunggu).
2. Diri kita telah memiliki KEJUJURAN atau mampu bersikap JUJUR baik kepada diri
sendiri maupun kepada ALLAH SWT.
Sudahkah diri kita Jujur baik kepada diri sendiri
dan juga kepada ALLAH SWT sewaktu menjadi KHALIFAH di muka bumi atau dalam
rangka melaksanakan DIINUL ISLAM secara KAFFAH? Jika kita telah memiliki Ilmu
dan Pengetahuan tentang Kekhalifahan di muka bumi secara baik dan benar
dan/atau Ilmu dan Pengetahuan tentang DIINUL ISLAM secara baik dan benar telah
kita miliki maka langkah awal untuk berlaku jujur baik kepada diri sendiri maupun
kepada ALLAH SWT sudah kita persiapkan sarananya.
Sekarang adakah hubungan antara Jujur atau Kejujuran
dengan pelaksanaan SYAHADAT? Untuk dapat melaksanakan SYAHADAT yang sesuai
dengan kehendak ALLAH SWT tidak akan dapat dilaksanakan jika tanpa ada kejujuran
yang berasal dari diri kita sendiri. Hal ini dikarenakan JUJUR merupakan salah
point terpenting dan yang utama jika kita ingin melakukan persaksian atau saat
diri kita menjadi SAKSI. Berdasarkan surat Al Maaidah (5) ayat 106 yang kami
kemukakan di bawah ini, ALLAH SWT mewajibkan kepada seluruh umat manusia,
termasuk kepada diri kita, jika ingin berwasiat maka diwajibkan untuk mencari
saksi. Katakanlah, diri kita yang menjadi saksi bagi orang yang akan berwasiat,
maka sebagai orang yang terlibat secara langsung di dalam kesaksian tentu kita
harus jujur dengan apa-apa yang kita persaksikan tersebut.
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang
kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat
itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang
berlainan agama dengan kamu[454], jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi lalu
kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang
(untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu
ragu-ragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga
yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan
tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian
tentulah Termasuk orang-orang yang berdosa".
(surat
Al Maaidah (5) ayat 106)
[454] Ialah: mengambil orang lain yang tidak seagama
dengan kamu sebagai saksi dibolehkan, bila tidak ada orang Islam yang akan
dijadikan saksi.
Adanya saksi atas suatu wasiat yang dikemukakan oleh
orang yang akan meninggal, maka dari sisi orang yang akan meninggal tersebut
saksi dapat memperkuat wasiat yang akan ditinggalkannya atau adanya saksi akan
mengurangi ekses yang mungkin terjadi atas wasiat dimata para ahli waris
seperti ketidakpercayaan ahli waris terhadap wasiat yang telah di buat.
Sekarang apa jadinya jika orang yang menjadi saksi pembuatan wasiat justru
mengkhianati kesaksian yang telah dilakukannya? Adanya peristiwa ini maka
harapan dari pembuat wasiat menjadi berantakan serta akan terjadi keributan
pada ahli waris.
Selanjutnya jika keadaan di atas kami tukar, yaitu
dengan menjadikan diri kita menjadi saksi bahwa ALLAH SWT adalah inisiator,
pencipta pemilik langit dan bumi termasuk kekhalifahan di muka bumi, sebagai
seorang saksi apa yang harus kita perbuat? Tentu kita harus jujur dengan diri
sendiri dan harus jujur pula dengan kesaksian yang kita berikan yaitu bahwa
Tiada Tuhan selain ALLAH SWT yang mampu menjadikan, memelihara, merawat langit
dan bumi termasuk di dalamnya kekhalifahan di muka bumi. Jika sekarang
kejujuran yang diminta oleh ALLAH SWT telah dapat kita penuhi sewaktu
melaksanakan SYAHADAT maka secara otomatis ketentuan dasar dari kesaksian yang
berjumlah 8(delapan) ketentuan akan dapat dengan mudah kita penuhi. Hal ini
disebabkan untuk berlaku Jujur atau untuk menunjukkan Kejujuran yang kita
miliki tidaklah semudah membalik telapak tangan. JUJUR sangat membutuhkan bukti
atau JUJUR tidak dapat berdiri sendiri atau Jujur harus ada sesuatu yang mengiringinya
atau JUJUR sangat memerlukan hal-hal sebagai berikut untuk membuktikan
kejujuran yang kita miliki, seperti:
1. Jujur
hanya dapat dilakukan oleh orang yang waras, tidak hilang ingatan.
2. Jujur
harus di-iringi dengan sikap teliti, konsisten dari waktu ke waktu, sebab jika
tidak kejujuran akan gugur.
3. Jujur
harus di imbangi dengan ilmu dan pengetahuan agar orang lain dapat memetik
hikmah dibalik adanya sebuah kejujuran.
4. Jujur
merupakan hasil akhir dari sebuah perjuangan tanpa mengenal batas usia maupun
waktu sehingga jujur baru dapat diperoleh setelah diri kita aktif melakukannya.
5. Jujur
merupakan bukti nyata dari sebuah perbuatan dan/atau Jujur baru dapat berlaku
jika mampu dibuktikan.
6. Jujur
merupakan cerminan sikap yang bersifat individual yang berasal dari kehendak
dan kemampuan seseorang yang dibuktikan dalam perbuatan.
Itulah jujur atau kejujuran yang terjadi dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Timbul pertanyaan, sudahkah atau beranikah diri
kita menjadi SAKSI yang Jujur saat melaksanakan SYAHADAT dengan mengatakan
bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT? Jika kita termasuk orang yang telah Tahu Diri yaitu
tahu siapa diri kita sebenarnya dan tahu siapa ALLAH SWT sebenarnya maka dapat
dipastikan kita berani menjadi Saksi yang jujur atau kita sudah menjadi
Saksi yang jujur sewaktu melaksanakan
SYAHADAT dengan berani Jujur untuk mengakui, berani Jujur untuk mengimani,
berani Jujur untuk merasakan langsung bahwa Tiada Tuhan selain ALLAH SWT di
alam semesta ini dan Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT.
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH
ta'ala berfirman: Tidaklah Aku akan memperhatikan hak hamba-Ku sebelum ia
memperhatikan hak-Ku terhadap dia.
(HQR
Ath Thabarani, 272:125)
Setelah kita mampu bersikap Jujur, mampu berperilaku
Jujur di dalam melaksanakan SYAHADAT, apakah sudah cukup sampai disitu saja
kita Jujur kepada ALLAH SWT? Jika kita merasa sudah cukup berhentilah sampai
disitu saja. Namun jika kita merasa kurang maka lakukanlah langkah berikutnya
yaitu dengan bersikap Aktif untuk membuktikan Kejujuran itu dengan cara
terlibat langsung dengan Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT yang sudah ada
bersama diri kita dan juga sudah ada di
alam semesta ini dan/atau diri kita harus berani untuk membuktikan Kejujuran
yang telah kita miliki dengan selalu memenuhi Hak-Hak ALLAH SWT melalui:
1. Jika
ALLAH SWT telah memerintahkan untuk memeluk dan melaksanakan DIINUL ISLAM
secara KAFFAH maka laksanakanlah perintah ALLAH SWT tersebut tanpa ada bantahan
sedikitpun.
2. Jika
kita telah tahu dan mengerti dengan Kehendak ALLAH SWT maka penuhilah apa-apa
yang dikehendaki ALLAH SWT secara Ikhlas tanpa merasa dipaksa apalagi
terpaksa.
3. Jika
kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Pengasih dan Penyayang maka
lakukanlah perbuatan yang sama yaitu dengan memberikan kasih sayang, memberikan bantuan serta pertolongan kepada
sesama umat manusia.
4. Jika
kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Adil maka lakukanlah
tindakan dan perbuatan ADIL pula sewaktu diri kita menjadi KHALIFAH di muka
bumi.
5. Jika
kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Tahu maka lakukanlah
tindakan untuk berbagi Ilmu dan Pengetahuan kepada sesama manusia sehingga umat
menjadi tahu dan mengerti akan sesuatu hal.
6. Jika
kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Pemberi Rezeki maka
lakukanlah tindakan untuk berbagi Rezeki dengan mengeluarkan HAK ALLAH SWT
melalui Zakat atau memberikan Shadaqah ataupun Infaq kepada yang
membutuhkannya.
7. Jika
kita tahu dan mengerti bahwa ALLAH SWT adalah Maha Terpercaya maka jadikanlah
diri sebagai orang terpercaya pula dengan selalu bersikap JUJUR. Demikian
seterusnya sesuai dengan ASMAUL HUSNA dan SIFAT MA'ANI yang dimiliki ALLAH SWT.
Adanya kesesuaian antara Perbuatan yang kita lakukan dengan Kebesaran dan
Kemahaan ALLAH SWT maka ALLAH SWTpun akan memberikan hal-hal sebagai berikut
kepada diri kita, yaitu Kemudahan di dalam melakukan pekerjaan; Dibukakannya
pintu rezeki yang tidak terduga-duga; Ditambahi Ilmu; Ditingkatkannya Aura;
Merasakan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT; dan lain sebagainya.
Selanjutnya, masih ada satu hal yang harus kita perhatikan setelah kita
memperoleh apa yang kami kemukakan di atas ini yaitu apakah cukup hanya sekali saja kita memperoleh janji-janji
ALLAH SWT ataukah hanya sesekali saja kita membutuhkan segala apa-apa yang
telah dijanjikan oleh ALLAH SWT? Jika kita sudah merasa cukup dengan apa yang telah
diberikan ALLAH SWT maka lakukanlah kesesuaian perbuatan secara sekali saja
atau sesekali saja. Namun apabila diri kita merasa tidak cukup dan sangat
membutuhkan kenikmatan bertuhankan kepada ALLAH SWT dari waktu ke waktu maka
jangan pernah ingkari pula dari waktu ke
waktu SYAHADAT tingkat ke empat yang kita laksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar