Untuk memulai pembahasan buku ini, perkenankan
kami untuk mengutarakan hal-hal sebagai berikut: untuk menciptakan sesuatu yang
harus dimulai dari adanya kehendak, kemampuan dan ilmu secara bersamaan yang
sangat hebat barulah ciptaan itu ada. Hal ini dikarenakan jika yang ada hanya
ilmu tanpa di dukung oleh kehendak dan kemampuan artinya hanyalah konsep
belaka. Dan jika yang ada hanyalah kehendak saja tanpa dibarengi dengan adanya
kemampuan dan ilmu artinya hanyalah angan-angan belaka sedangkan jika yang ada
hanya kemampuan belaka tanpa dibarengi dengan kehendak dan ilmu yang ada adalah
mimpi di siang hari. Jika sekarang langit, bumi beserta isinya sudah ada dan
sudah pula ditempati oleh manusia yang juga ada di muka bumi.
Adanya kondisi
ini menunjukkan kepada diri kita bahwa
yang mengadakan atau yang menciptakan itu semua pasti memiliki kehendak,
pasti memiliki kemampuan dan pasti memiliki ilmu yang sangat hebat secara
berbarengan dan hanya ALLAH SWT sajalah yang memiliki itu semua secara
berbarengan. Jika sudah demikian keadaannya berarti langit bumi beserta isinya
termasuk di dalamnya seluruh manusia dan diri kita saat ini bukanlah sesuatu
yang datang tiba-tiba, bukan pula sesuatu yang keberadaannya begitu saja turun
dari langit tanpa suatu proses yang sangat mendalam di dalam Ilmu ALLAH SWT
yang sangat hebat. Lalu sebagai apakah manusia diciptakan oleh ALLAH SWT?
Berdasarkan surat Al Baqarah yang kami kemukakan di bawah ini, seluruh manusia
diciptakan oleh ALLAH SWT dalam rangka untuk dijadikan KHALIFAH di muka bumi.
ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman:
"Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(surat Al Baqarah (2) ayat 30)
Sekarang, apakah artinya KHALIFAH? KHALIFAH adalah pengatur atau pemelihara atau penjaga atau pengayom atau pengawas terhadap apa-apa yang telah ALLAH SWT ciptakan di muka bumi. Adanya KHALIFAH dimuka bumi, maka KHALIFAH tersebut secara tidak langsung adalah pelaksana tugas-tugas sehari-hari ALLAH SWT atau perpanjangan tangan ALLAH SWT (Ex Officio ALLAH SWT) di muka bumi dengan demikian akan terciptalah kedamaian dan akan terciptalah ketentraman serta terperiharalah segala ciptaan ALLAH SWT yang ada di muka bumi ini oleh sebab adanya KHALIFAH.
Siapakah yang berhak menjadi KHALIFAH di muka bumi atau apakah KHALIFAH hanya berlaku untuk satu kelompok tertentu saja? Seluruh Anak dan Keturunan Nabi Adam as, adalah KHALIFAH di muka bumi, atau siapapun juga sepanjang dia anak dan keturunan dari Nabi Adam as, adalah KHALIFAH di muka bumi. ALLAH SWT tidak memberikan batasan, siapapun orangnya pasti KHALIFAH di muka bumi. Untuk menjadi KHALIFAH di muka bumi ALLAH SWT tidak memandang latar belakang seseorang, tidak ada batasan ras, suku, agama, beriman ataupun kafir, sepanjang orang tersebut anak dan keturunan dari Nabi Adam as, maka ia adalah seorang KHALIFAH di muka bumi.
Di lain sisi, sebelum manusia diciptakan oleh ALLAH SWT. ALLAH SWT sudah menetapkan adanya Syurga dan adanya Neraka sebagai tempat kembali manusia. Adanya Syurga dan adanya Neraka, maka kekhalifahan yang diciptakan oleh ALLAH SWT akan menjadi 2(dua) kelompok yaitu kelompok yang akan menjadi calon penghuni Syurga dan kelompok yang akan menjadi calon penghuni Neraka. Sehingga baik calon penghuni Syurga dan calon penghuni Neraka sama-sama memiliki Hak Hidup di muka bumi ini. Selanjutnya dengan adanya Syurga dan Neraka sebagai tempat kembali berarti ada pula ketentuan yang berlaku untuk yang ingin pulang ke Syurga ataupun yang ingin pulang ke Neraka kelak.
Abu Na’im
dalam kitabnya “Al Hidayah” telah meriwayatkan sebagai berikut:
“ALLAH telah
memberi wahyu kepada Musa, Nabi Bani Israil, bahwa barangsiapa bertemu dengan
Aku, padahal ia ingkar kepada Ahmad, niscaya Aku masukkan dirinya ke dalam
neraka. Musa berkata:”Siapakah Ahmad itu, Wahai Tuhan-Ku”? ALLAH berfirman:
‘Tidak pernah Aku ciptakan satu ciptaan yang lebih mulia menurut pandangan-Ku
dari padanya. Telah Ku tuliskan namanya bersama nama-Ku di Arasy sebelum Aku
ciptakan tujuh lapis langit dan bumi. Sesungguhnya surga terlarang bagi semua
makhluk-Ku,sebelum ia dan ummatnya terlebih dahulu memasukinya”. Musa a.s.
berkata: “Siapakah umatnya itu?” Firman-Nya: “Mereka yang banyak memuji ALLAH,
Mereka Memuji ALLAH sambil naik, sambil turun dan pada setiap keadaan. Mereka
mengikat pinggang (menutup aurat) dan berwudhu’ membersihkan anggota badan.
Mereka berpuasa siang hari, bersepi diri dan ber-dzikir sepanjang malam. Aku
terima amal yang dikerjakan dengan ikhlas, meskipun sedikit. Akan Ku-masukkan
mereka ke dalam surga karena kesaksiannya tiada Tuhan yang sebenarnya di
ibadahi selain ALLAH”. Musa berkata: “Jadikan saya Nabi Ummat itu”. ALLAH
berfirman: “Nabi Ummat itu dari mereka sendiri”. Musa berkata lagi: “Masukkan
saya dalam golongan Ummat Nabi itu”. ALLAH menerangkan: “Engkau lahir
mendahului Nabi dan ummat itu, sedang dia lahir kemudian. Aku berjanji kepadamu
untuk mengumpulkan engkau bersamanya di Daarul-Jalaal (surga)”
(HQR
Abu Nu'aim dalam Al Hidayah)
Sekarang jika setiap
orang adalah KHALIFAH di muka bumi sedangkan tempat kembalinya ada dua, yaitu
Syurga dan Neraka. Adanya ketentuan dua buah tempat kembali bagi KHALIFAH
berarti ketentuan KHALIFAH bagi seluruh keturunan anak Nabi Adam as, adalah
ketentuan umum yang tidak dapat diberlakukan untuk menetapkan siapa yang berhak
masuk ke Neraka dan siapa yang berhak masuk ke Syurga. Adanya kondisi ini menegaskan kepada diri kita
bahwa KHALIFAH adalah sebuah ketentuan umum yang berlaku untuk siapapun juga
tanpa memandang latar belakang seseorang, termasuk di dalamnya diri kita dan
juga anak dan keturunan kita adalah KHALIFAH. ALLAH SWT selaku pencipta dan
pemilik dari kekhalifahan di muka bumi memiliki kriteria sendiri untuk
menetapkan siapa yang berhak menempati Syurga dan siapa yang berhak menempati
Neraka, sehingga dengan adanya ketentuan ini akan terjadi seleksi alamiah dari
kekhalifahan yang ada di muka bumi ini.
Untuk apakah ALLAH SWT merencanakan dan menjadikan adanya Kekhalifahan di muka bumi? Jawabannya adalah pasti ada sesuatu dibalik rencana kekhalifahan di muka bumi, apakah itu? Sebelum Nabi Adam as, diciptakan, seluruh kehidupan dalam keadaan tenang dan tentram di dalam syurga, tidak ada gejolak, semua Makhluk Ciptaan ALLAH SWT yang pada waktu itu hanya ada Malaikat baik yang diciptakan dari Unsur Nur dan Unsur Api. Mereka semuanya Patuh dan Taat kepada ALLAH SWT dan mereka selalu bertasbih untuk selalu memuji dan mensucikan ALLAH SWT. Ini berarti bahwa kehidupan pada saat sebelum Nabi Adam as, diciptakan adalah Monoton.
Di lain sisi, seperti kita ketahui bersama bahwa ALLAH SWT adalah DZAT yang menamakan dirinya sendiri adalah ALLAH, dimana Dzat-Nya ALLAH SWT sangat hebat kekuatannya, tidak ada satupun makhluk atau ciptaannya yang dapat melihat, menjangkau apalagi menandinginya. DzatNya ALLAH SWT juga mempunyai Sifat Salbiyah (wujud, qidam, baqa, qiyamuhu binafsih, wahdaniah, muqalafah lil hawadish) serta Sifat Ma’ani (qudrat, iradat, sami’, bashir, kalam, hayat, ilmu) serta Af’al atau Perbuatan-Perbuatan yang ALLAH SWT lakukan yang termaktub dalam 99 (sembilan puluh sembilan) Nama-Nama ALLAH SWT yang Indah dimana itu semua adalah Satu Kesatuan Yang Tidak Dapat Dipisahkan antara Dzat, Sifat dan Af’al-Nya yang dimiliki oleh ALLAH SWT. Selanjutnya jika kehidupan yang ada sebelum Nabi Adam as, diciptakan bersifat Monoton, timbul pertanyaan dapat Aktifkah Sifat dan Af’al yang dimiliki oleh ALLAH SWT?
Sesuatu baru dapat dikatakan Hebat dan Mampu, jika ada yang mengatakan itu Hebat dan Mampu. Sekarang jika tidak ada yang mengatakan bahwa Itu Hebat dan Mampu, apakah Sesuatu Itu dapat dikatakan Hebat dan Mampu? Seseorang baru akan dikatakan dia kaya, jika ada orang yang miskin. Seseorang baru dapat dikatakan patuh dan taat, jika ada orang yang membandel dan ingkar janji. Sekarang bagaimana dengan kebesaran dan kemahaan ALLAH SWT? Jika seluruh makhluk ciptaan ALLAH SWT semuanya kaya, tidak ada yang miskin, bagaimanakah dengan Al-Ghani (Maha Kaya)-Nya ALLAH SWT? Jika makhluk sudah tidak membutuhkan dan memerlukan ALLAH SWT, dimana letak Keesaan ALLAH SWT dan dimana letak bahwa ALLAH SWT dibutuhkan oleh makhluknya? Adanya Kekhalifahan di muka bumi adalah cara dan methode ALLAH SWT untuk menunjukkan, cara ALLAH SWT untuk memperlihatkan dan mempertontonkan kemampuan dan kehebatan dari DzatNya ALLAH SWT, Sifat ALLAH SWT dan Af’al ALLAH SWT sehingga dengan demikian Aktiflah apa-apa yang dimiliki oleh ALLAH SWT.
Sebagai KHALIFAH di muka bumi, tentu kita sangat berharap untuk memperoleh kebahagaiaan di dunia dan sukses pula di akhirat dengan menjadi penghuni syurga. Akan tetapi untuk mencapai itu semua tidaklah mudah seperti membalik telapak tangan. Hal ini dikarenakan di dalam diri setiap manusia ada 2(dua) musuh abadi manusia yang selalu mengajak manusia untuk mengerjakan Nilai-Nilai Keburukan yaitu AHWA yang berasal dari Jasmani manusia itu sendiri dan juga Syaitan yang kesemuanya hanya akan menjadikan diri kita sukses hanya di dunia saja dan/atau yang akan dapat menghantarkan diri kita ke Neraka Jahannam.
ALLAH SWT selaku pencipta kekhalifahan di muka bumi tentu sangat berkehendak kepada para khalifahnya untuk sukses meraih kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Untuk itu ALLAH SWT sudah memberikan kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita hal-hal sebagai berikut seperti Ruhani, Amanah 7, Hubbul, Hati Ruhani tempat diletakkannya akal dan perasaan dalam rangka menyeimbangkan, dalam rangka melawan, dalam rangka memenangkan diri kita atau Ruhani kita dari pengaruh Ahwa dan juga pengaruh Syaitan. Agar diri kita selamat dari gangguan Ahwa dan juga Syaitan ada baiknya kita harus dapat memahami dan memperhatikan apa yang dinamakan dengan Ahwa dan juga siapakah itu Syaitan. Ahwa adalah perbuatan atau pengaruh yang berasal dari sifat-sifat alamiah Jasmani yang berasal dari alam kepada Ruhani yang jika sampai manusia melakukannya maka manusia tersebut dikatakan telah mengikuti atau mempertuhankan Ahwa. Sedangkan Syaitan adalah makhluk Ghaib yang sudah mendapatkan izin dan restu dari ALLAH SWT untuk menggoda dan merayu manusia untuk berbuat kejahatan atau melakukan tindakan di luar Nilai-Nilai Kebaikan melalui Ahwa sehingga Ahwa merupakan pintu masuk bagi Syaitan untuk melaksanakan aksinya kepada manusia.
Di saat diri kita menjadi KHALIFAH di muka bumi kita harus dapat mempertahankan Kefitrahan Ruh; Amanah 7; Hubbul, dan juga Hati Ruhani yang telah diberikan oleh ALLAH SWT kepada diri kita. Timbul pertanyaan, melalui cara apakah diri kita mampu mengalahkan Ahwa dan Syaitan dan juga di dalam mempertahankan Kefitrahan diri? Disinilah letak pentingnya Diinul Islam bagi Manusia sehingga dengan adanya Diinul Islam yang berasal dari ALLAH SWT maka manusia akan dapat sukses mengalahkan Ahwa dan Syaitan serta dapat mempertahankan kefitrahan diri dari waktu ke waktu yang pada akhirnya akan dapat menghantarkan diri kita memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat kelak atau memperoleh kebahagiaan hakiki menjadi penghuni Syurga.
Timbul pertanyaan, apakah itu Diinul Islam? Berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 30 yang kami kemukakan di bawah ini Diinul Islam dapat dikatakan sebagai Konsep Ilahiah yang berasal langsung dari ALLAH SWT untuk kepentingan Kekhalifahan yang ada di muka bumi, termasuk di dalamnya untuk diri kita, untuk anak dan keturunan kita, untuk dapat menghantarkan diri kita tetap selalu berada di dalam Kehendak ALLAH SWT.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui[1168],
(surat Ar Ruum (30) ayat 30)
[1168] Fitrah Allah:
Maksudnya ciptaan Allah. manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama
Yaitu agama tauhid. kalau ada manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu
tidaklah wajar. mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh
lingkungan.
Sebagai KHALIFAH yang saat ini sedang menjalankan tugas, tentu pada saat ini kita tengah bekerja, tengah berkarya, sudah memiliki profesi, apakah itu eksekutif, apakah itu yudikatif, apakah itu legislatif, apakah itu pegawai atau berwiraswasta.Timbul pertanyaan, apakah dengan memiliki itu semua, apakah dengan memiliki jabatan, apakah dengan memiliki harta kekayaan yang banyak, ada kepastian yang bersifat Mutlak dengan memiliki itu semua dan menjadikan apa-apa yang telah kita peroleh dapat menghantarkan diri kita sukses memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat atau dapat menghantarkan diri kita memperoleh kebahagiaan hakiki menjadi penghuni Syurga?
Adanya Syurga dan adanya Neraka, adanya Ruhani dan adanya Jasmani, adanya
Nilai-Nilai Kebaikan dan adanya Nilai-Nilai Keburukan, adanya Syaitan dan adanya
Malaikat, yang kesemuanya berproses di dalam diri kita berarti dengan adanya
itu semua akan ada manusia yang menang dan ada manusia yang kalah atau ada
manusia yang menjadi calon penghuni syurga dan juga calon penghuni neraka. Jika
ini yang terjadi maka walaupun
diri kita telah memiliki harta kekayaan, telah memiliki pendidikan yang tinggi,
telah memiliki jabatan dan anak buah yang banyak, tidak akan ada kepastian yang
bersifat Mutlak yang dengan itu semua akan dapat menjadikan diri kita sukses
memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat atau dapat menghantarkan
kita untuk bertempat tinggal di Syurga.
Sekarang jika ini adalah jawaban dari pertanyaan di atas, apa yang harus
kita perbuat saat diri kita hidup di muka bumi ini? Disinilah letak pentingnya
Diinul Islam bagi diri kita sehingga dengan adanya Diinul Islam yang berasal
dari ALLAH SWT maka akan dapat memudahkan diri kita sukses sebagai KHALIFAH di
muka bumi yang sekaligus menjadi Makhluk Pilihan; sehingga mampu menjadikan
Ruhani sebagai diri kita; sehingga kita mampu menjadikan ukuran kesuksesan
hidup bukanlah materi yang berlandaskan Jasmani akan tetapi kebahagiaan Ruhani
yang menjadi ukurannya; sehingga kita mampu mengalahkan Ahwa dan juga Syaitan;
sehingga diri kita dapat merasakan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
kelak. Selanjutnya apakah hanya itu saja yang akan kita peroleh dari berpegang
teguh kepada tali Diinul Islam?
dan pada sebahagian malam hari bersembahyang
tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; Mudah-mudahan Tuhan-mu
mengangkat kamu ke tempat yang Terpuji.
dan Katakanlah: "Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku
secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar
dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong[866].
(surat
Al Israa' (17) ayat 79-80)
[866] Maksudnya: memohon kepada Allah supaya kita
memasuki suatu ibadah dan selesai daripadanya dengan niat yang baik dan penuh
keikhlasan serta bersih dari ria dan dari sesuatu yang merusakkan pahala. ayat
ini juga mengisyaratkan kepada Nabi supaya berhijrah dari Mekah ke Madinah. dan
ada juga yang menafsirkan: memohon kepada Allah s.w.t. supaya kita memasuki
kubur dengan baik dan keluar daripadanya waktu hari-hari berbangkit dengan baik
pula.
Berdasarkan surat Al Israa' (17) ayat 79-80 yang kami kemukakan di atas ini, diperoleh keterangan bahwa ALLAH SWT akan mengangkat atau akan mengembalikan diri kita ke tempat yang terpuji yaitu Syurga atau menempatkan diri kita ke tempat yang terpuji pula. Adanya kondisi ini maka jika kita melaksanakan Diinul Islam yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT maka kita akan pulang kampung dengan cara terhormat dan juga dihormati sesuai dengan Rencana Awal ALLAH SWT sewaktu menciptakan Manusia sebagai makhluk yang sudah ditempatkan lebih baik dari apa-apa yang ada di bumi dan/atau sudah sejak awal diciptakan sebagai makhluk terhormat di muka bumi terkecuali memang diri kita sendiri yang memilih sendiri untuk pulang ke Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan.
Untuk itu tolong perhatikan dan jadikan renungan yang kami kemukakan di
bawah ini, yaitu jika
Jin/Iblis/Syaitan pulang kampung ke Neraka Jahannam dikarenakan memang
disanalah kampung halamannya. Api akan kembali ke Api sehingga hal ini tidak akan menjadi
persoalan bagi Jin/Iblis/Syaitan untuk kembali ke API, yang menjadi persoalan
saat ini adalah justru kita memilih untuk pulang kampung bersama Jin/Iblis/Syaitan
ke Neraka Jahannam. Sekarang
seperti apakah Diinul Islam itu
dan kenapa pula Diinul Islam dibutuhkan
oleh manusia? Seperti telah kita ketahui bersama bahwa Diinul Islam
dapat diterangkan atau dapat dibedakan menjadi 3(tiga) ketentuan pokok yang
terdiri 3(tiga) ketentuan induk, yang terdiri dari:
A.
Adanya ketentuan RUKUN IMAN yang terdiri dari 6 (enam) ketentuan pokok,
yaitu :
1. Iman kepada ALLAH.
2. Iman kepada para Rasul-Nya.
3. Iman kepada para Malaikat-Nya.
4. Iman kepada Kitab-Kitab-Nya.
5. Iman kepada hari Akhirat.
6. Iman kepada Qada; Qadar dan Taqdir.
B. Adanya ketentuan RUKUN ISLAM yang terdiri dari 5(lima) ketentuan pokok, yaitu :
1. Percaya bahwa Tiada TUHAN melainkan ALLAH dan
bahwa NABI MUHAMMAD adalah UTUSAN ALLAH.
2. Menegakkan Shalat fardhu.
3. Membayar Zakat wajib.
4. Puasa Ramadhan.
5. Haji, jika mampu.
C. Adanya ketentuan IKHSAN yaitu "Menyembah ALLAH seolah-olah engkau
melihat-Nya. Sekalipun engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia
melihatmu".
Berdasarkan apa-apa yang telah kami kemukakan di atas ini, Diinul Islam dapat dikatakan sebagai sebuah rangkaian ketentuan yang berasal dari ALLAH SWT atau sebuah konsep yang berasal dari ALLAH SWT untuk kepentingan kekhalifahan di muka bumi yang terdiri dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Adanya ketentuan ini maka kita tidak bisa meletakkan, menempatkan, mengkotak-kotakkan Diinul Islam DIINUL ISLAM secara terpisah-pisah sehingga kita tidak bisa hanya melaksanakan Rukun Iman dengan mengabaikan Rukun Islam dan Ikhsan atau kita tidak bisa memisahkan Rukun Iman dengan Rukun Islam dan Ikhsan, demikian pula sebaliknya.
Setelah diri kita mengetahui dengan pasti bahwa Diinul Islam terdiri dari
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, masih ada hal lainnya yang harus kita
jadikan pengetahuan secara mantap yaitu Diinul Islam sebagai sebuah Konsep yang
berasal dari ALLAH SWT, maka kita harus meyakini dan harus pula mengimani bahwa
konsep yang diturunkan dan yang diciptakan olehALLAH SWT merupakan cerminan
dari pemilik konsep itu sendiri. Jika Diinul Islam hanya dipandang sebagai
sebuah Agama Semata, tentu hal ini tidak akan dapat mencerminkan Kebesaran dan
Kemahaan dari pemilik konsep itu sendiri, dalam hal ini ALLAH SWT.
Apalagi jika Diinul Islam hanya dimaknai hanya sebatas Syurga dan Neraka,
sebatas Pahala dan Dosa, sebatas Halal dan Haram, sebatas Kafir dan Taat,
sebatas Syahadat dan Puasa, sebatas Shalat dan Zakat, sebatas Haji, sebatas
Rukun Iman dan Ikhsan saja, hal ini bukannya salah. Akan tetapi Diinul Islam
sebagai Konsep Ilahiah bukan berarti sekedar itu semata. Diinul Islam sebagai
Konsep Ilahiah lebih dari itu semua dikarenakan Diinul Islam merupakan cerminan
langsung dari Fitrah ALLAH SWT (lihat kembali surat Ar Ruum (30) ayat 30) yang
sangat Maha.
Adanya kondisi ini berarti kondisi dasar Diinul Islam harus dapat mencerminkan Kemahaan ALLAH SWT dan jika kita hanya mampu mengatakan Diinul Islam sebatas pahala dan dosa atau sebatas syurga atau neraka saja maka kemahaan dan kebesaran ALLAH SWT yang terdapat di dalam Diinul Islam seolah-olah hanya sebatas itu saja dan jika kita tetap berpedoman atau tetap berpandangan bahwa Diinul Islam hanya sebatas itu saja, maka kita sendirilah yang telah menutup diri atau telah membatasi diri dengan arti dan makna dari sebuah konsep yang berasal dari ALLAH SWT sebagai sebuah Tuntunan dan Pedoman bagi keselamatan diri kita di muka bumi.
Untuk itu jangan salahkan ALLAH SWT jika kita hanya memperoleh dan
mendapatkan sesuai dengan apa-apa yang telah kita persepsikan dan sangkakan
kepada Diinul Islam tersebut. Untuk dapat memperoleh makna dan arti Diinul
Islam yang sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT, jangan pernah berprasangka atau
mempersepsikan seperti yang kami sebutkan di atas. Akan
tetapi kita wajib meletakkan, mendudukkan, serta menempatkan Diinul
Islam sebagai cerminan langsung dari Kebesaran dan Kemahaan ALLAH SWT itu
sendiri.
Dengan demikian kita akan dapat memperoleh dan mendapatkan apa-apa yang
terkandung di dalam Diinul Islam sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT atau sesuai
dengan Kebesaran ALLAH SWT itu sendiri. Sekarang apa jadinya jika kita berbuat
atau menilai atau mempersepsikan Diinul Islam hanya berdasarkan prasangka yang
bersifat dangkal? Hasilnya adalah tidak
bedanya kita seperti "katak di
dalam tempurung". Untuk itu jadikan Hadits Qudsi yang kami
kemukakan di bawah ini sebagai patokan dan pedoman bagi diri kita untuk tidak
bersikap dan tidak memandang sempit Diinul Islam hanya sebatas Ritual Belaka
seperti kita menganggap Diinul Islam hanya sebatas Pahala dan Dosa, sebatas
Syurga dan Neraka, sebatas Halal dan
Haram semata, sehingga tugas kita hanya pengumpul pahala, sehingga setelah tua
saja kita beribadah kepada ALLAH SWT.
Akan tetapi kita harus keluar dari pengertian itu semua, sebab jika kita
terus berprinsip seperti itu maka yang akan kita peroleh dari Diinul Islam
hanya sebatas itu pula. Sedangkan telah kita ketahui bersama bahwa
ALLAH SWT lebih dari sekadar itu semua sebab ALLAH SWT adalah
segala-galanya. ALLAH SWT memang memberikan kebebasan kepada umat manusia atau
kepada KHALIFAH-Nya untuk berprasangka kepada-Nya, apakah itu prasangka baik
ataupun prasangka buruk, atau apakah itu prasangka sempit ataupun prasangka yang
mendalam. Adanya prasangka atau penilaian yang diberikan manusia kepada Diinul
Islam DIINUL ISLAM, maka dari sinilah ALLAH SWT memulai penilaian kepada
manusia.
Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku.
(HQR
Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu
Hurairah ra: 272: 67)
Watsilah bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW
bersabda: ALLAH ta'ala berfirman: Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku
terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa
yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa
yang ia sangka dari pada-Ku.
(HQR
Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71)
Semakin baik dan semakin tinggi manusia menilai atau berprasangka baik kepada ALLAH SWT atau semakin tinggi manusia berprasangka terhadap Diinul Islam yang diturunkan oleh ALLAH SWT maka akan semakin tinggi dan semakin baik pula yang akan diberikan ALLAH SWT kepada manusia. Apa buktinya? Berdasarkan Hadits Qudsi yang kami kemukakan di bawah ini, terlihat dengan jelas bagaimanakah ALLAH SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu ingat kepada-Nya, yaitu ALLAH SWT selalu bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh hambanya, terutama jika hambanya melakukan penilaian ataupun berprasangka atau mempunyai perbuatan yang bersifat Positif Point kepada ALLAH SWT. Akan tetapi ALLAH SWT tidak melakukan sesuatu yang melebihi perbuatan hamba-Nya jika hamba-Nya berbuat negatif atau berbuat yang berseberangan dengan kehendak ALLAH SWT. ALLAH SWT hanya membalas sebatas penilaian atau sebatas prasangka yang dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut.
Anas ra. berkata: Nabi SAW bersabda: ALLAH ta'ala
berfirman: Wahai Anak Adam! Jika ingat kepada-Ku dalam dirimu, Akupun ingat
kepadamu dalam diri-Ku dan bila engkau ingat kepada-Ku di dalam himpunan orang,
akan Aku ingat kepadamu dalam himpunan yang lebih baik dari himpunanmu. Jika
engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatimu sedepa, bila engkau mendekati-Ku
sedepa Aku dekati engkau sehasta. Dan bila engkau datang kepada-Ku berjalan ,
Aku akan datang kepadamu berlari.
(HQR
Ahmad dan Abd. Bin Hamid; 272:185)
Disinilah ALLAH SWT menunjukkan kasih sayang-Nya kepada Manusia yang dijadikannya KHALIFAH di muka bumi. Untuk itu jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika ALLAH SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita atau bahkan ALLAH SWT tidak bersikap sama sekali kepada kita atau ALLAH SWT justru mengacuhkan diri kita, hal ini disebabkan ALLAH SWT berbuat sesuai dengan apa yang kita persangkakan kepada-Nya. Akan tetapi jika kita ingin memperoleh dan mendapatkan sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah sesuai dengan apa-apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT selaku pemilik, pencipta dari langit dan bumi serta Diinul Islam.
Saat ini ALLAH SWT sudah menurunkan Diinul Islam kepada diri kita dalam rangka mensukseskan Kekhalifahan di muka bumi, terimalah, letakkan, tempatkan, serta laksanakan Diinul Islam itu sesuai dengan Kemahaan ALLAH SWT dan jangan pernah memberikan penilaian, persepsi, anggapan, seperti Katak dalam Tempurung untuk Diinul Islam sebab baik dan buruknya Penilaian ALLAH SWT kepada diri kita dimulai dari apa yang kita lakukan kepada apa-apa yang dikehendaki oleh ALLAH SWT.
Sebelum kami membahas lebih lanjut tentang SYAHADAT sebagai bagian dari
Rukun Islam, ada baiknya kami menerangkan terlebih dahulu hubungan antara Rukun
Iman dengan Rukun Islam dan Ikhsan. Jika Diinul Islam kami ibaratkan dengan
sebuah Bangunan maka kedudukan Rukun Iman merupakan Pondasi dari Bangunan atau
Pondasi Dasar dari Diinul Islam sedangkan Rukun Islam dan Ikhsan merupakan
bagian lain dari Bangunan itu sendiri yang berdiri di atas Pondasi Bangunan.
Sekarang apa jadinya jika sebuah Bangunan Pondasinya labil atau Pondasinya
tidak kuat, sedangkan di atas Pondasi itu berdiri bagian lain dari Bangunan?
Segala yang ada di atas Pondasi, apakah itu tembok, apakah itu tiang, apakah
itu plafond, apakah itu kusen, apakah itu genting, akan menjadi tidak kuat atau
akan menjadi rapuh kedudukannya sehingga Bangunan tersebut menjadi tidak tahan
lama dan/atau akan mudah goyah apabila terkena gempa. Hal yang sama juga
terjadi pada Diinul Islam, dimana Diinul Islam tidak akan dapat berjalan sesuai dengan Kehendak ALLAH SWT jika Rukun
Iman tidak dapat menjadi Pondasi yang kokoh terhadap Rukun Islam dan Ikhsan
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan Diinul
Islam Sebagai contoh, tanpa adanya Iman di dalam diri maka :
1.
SYAHADAT yang telah kita lakukan akan menjadi
sia-sia belaka, demikian pula sebaliknya, Iman tidak akan berjalan tanpa
SYAHADAT, atau
2.
SHALAT yang telah kita dirikan akan menjadi sia-sia
belaka, demikian pula sebaliknya, Iman tidak akan dapat berjalan tanpa SHALAT,
atau
3.
ZAKAT yang telah kita tunaikan akan menjadi sia-sia
belaka, demikian pula sebaliknya, Iman tidak akan dapat berjalan tanpa ZAKAT,
atau
4.
PUASA yang telah kita lakukan akan menjadi sia-sia
belaka, demikian pula sebaliknya, Imantidak akan berjalan tanpa PUASA, atau
5.
HAJI yang telah kita lakukan akan menjadi sia-sia
belaka, demikian pula sebaliknya, Iman tidak akan berjalan tanpa HAJI, atau
6.
IKHSAN atau Perbuatan Baik yang telah kita perbuat
menjadi sia-sia belaka tanpa Iman, tanpa Rukun Islam sebab Ikhsan merupakan cerminan dari diri kita yang telah
melaksanakan Diinul Islam dan seterusnya.
Adanya hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara Rukun Iman, dengan
Rukun Islam dan Ikhsan, maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang telah
dijadikan ALLAH SWT sebagai KHALIFAH di muka bumi untuk menjalankan ketiganya
dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan secara konsisten dari waktu ke
waktu. Akan tetapi jika kita berkeinginan untuk berseberangan atau berketetapan
hati untuk berada di luar Kehendak ALLAH SWT,
maka kita dapat memilah-milah di dalam mengerjakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan secara sesuka hati
atau hanya mengerjakan yang enak-enak saja sedangkan yang susah ditinggalkan,
yang pada akhirnya akan dapat menghantarkan diri kita ke Neraka Jahannam.
Berikut ini akan kami kemukakan beberapa contoh dari umat-umat terdahulu
yang gagal melaksanakan Diinul Islam atau tidak sempurna melaksanakan Diinul
Islam yang kemudian dihancurkan oleh
ALLAH SWT seperti umat Nabi NUH as, umat Nabi LUTH as, serta umat Nabi
MUSA as yang ditenggelamkan di laut Merah. Adanya contoh-contoh dari umat terdahulu yang tidak sempurna
melaksanakan Diinul
Islam, kiranya dapat
menjadikan diri kita berfikir ulang jika ingin melanggar atau jika tidak mau
melaksanakan Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak
terpisahkan secara konsisten dari waktu ke waktu. Segala
Resiko yang timbul dari tidak maunya diri kita menerima dan melaksanakan serta
menjalankan Diinul Islam secara KAFFAH ada pada diri kita sendiri sehingga
jangan pernah salahkan ALLAH SWT jika kita pulang ke Neraja hidup bertetangga
dengan Jin, Iblis dan Syaitan.
Selain daripada itu, Diinul Islam sebagai sebuah rangkain ketentuan yang terdiri dari Rukun Iman, Rukun
Islam dan Ikhsan, juga memiliki beberapa karakteristik dasar yang harus kita
ketahui dan pahami serta harus di jadikan pedoman bagi diri kita sewaktu melaksanakan
tugas sebagai KHALIFAH di muka bumi. Timbul pertanyaan, sudahkah kita semua
menyadarinya atau sudahkah kita semua mengetahuinya?
Adapun karakteristik dari Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, dapat kami
kemukakan sebagai berikut:
1.
Suatu Bangunan tidak akan dapat berdiri kokoh tanpa
ada pondasi yang kokoh pula. Demikian
pula dengan Diinul Islam tidak akan dapat berdiri kokoh tanpa dilandasi dengan
PondasiI yang kokoh pula (dalam hal ini adalah Rukun Iman). Selanjutnya tidak
akan dapat berdiri suatu Bangunan yang kokoh atau tidak akan dapat dikatakan
sebagai Bangunan yang sempurna walaupun sudah memiliki Pondasi yang kokoh jika
tidak ada sesuatu yang dapat merekatkan atau adanya sesuatu yang dapat
menyatukan tembok, jendela, pintu, rangka atap, genting, dan lain sebagainya ke
dalam bangunan. Untuk itulah Semen sangat dibutuhkan di dalam membuat sebuah
Bangunan.
Sekarang bagaimana dengan
bangunan Diinul Islam? Bangunan Diinul Islam tidak akan dapat berdiri dengan
kokoh jika tidak ada perekatnya atau Bangunan Diinul Islam tidak akan berdiri
tegak jika tidak ada penyatunya, dalam hal ini adalah SYAHADAT. Adanya SYAHADAT
yang kita laksanakan maka Rukun Iman sebagai pondasi dapat menyatu atau dapat
direkatkan dengan Rukun Islam yang merupakan bagian dari bangunan sehingga
lahirlah apa yang dinamakan dengan Ikhsan.
2.
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan memiliki posisi
dan kedudukan yang tidak bisa saling menghilangkan apalagi meniadakan kedudukan
yang lainnya. Maksudnya Rukun Iman tidak bisa menghilangkan atau meniadakan
Rukun Islam dan Ikhsan, demikian pula sebaliknya Rukun Islam tidak bisa
meniadakan Rukun Iman dan Ikhsan, demikian seterusnya dengan Ikhsan yang tidak
dapat menghilangkan Rukun Iman dan Rukun Islam.
3.
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan memiliki
kedudukan yang sama pentingnya sebab kesemuanya satu kesatuan dari bangunan
Diinul Islam. Jika salah satu Rukun ada yang lebih tinggi kedudukannya
bagaimana jadinya suatu bangunan padahal ketiganya adalah bagian integral dari
bangunan Diinul Islam? Adanya kondisi ini dapat dikatakan kedudukan Rukun Iman,
Rukun Islam dan Ikhsan Rukun IMAN, Rukun ISLAM dan IKHSAN tidak ada yang lebih
tinggi di antara ketiganya, namun ketiganya saling melengkapi.
4.
Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan sebagai satu
kesatuan yang tidak terpisahkan hanya dapat dibedakan atau berbeda jika
ditinjau dari sisi pelaksanaannya saja atau Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan
hanya dapat dibedakan dari sisi pelaksanaan tata cara ibadahnya saja. Adanya
perbedaan pelaksanaan antara Rukun Iman, Rukun Islam dan Ikhsan, tentu akan
menimbulkan syariat yang berbeda-beda pula di dalam melaksanakan ketentuan
dimaksud.
Berikut ini akan kami kemukakan mekanisme kerja pelaksanaan Rukun Iman,
Rukun Islam dan Ikhsan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yang kiranya
dapat kita jadikan patokan awal di saat melaksanakaan Diinul Islam secara
Kaffah, yaitu:
1.
Melalui Rukun Iman yang terdiri dari 6(enam)
ketentuan pokok, ALLAH SWT berkehendak kepada manusia untuk mengenal, untuk
mengetahui, untuk meyakini, serta untuk mengimani seluruh ketentuan Rukun Iman
yang terdiri: Iman kepada ALLAH; Iman kepada para Rasul, Iman kepada para
Kitab, Iman kepada Malaikat; Iman kepada Hari Kiamat; Iman kepada Qadha, Qadar
dan Taqdir.
Hasil akhir dari pelaksanaan dari Rukun Iman harus
dapat menghantarkan diri kita mampu menempatkan dan meletakkan ketentuan Rukun
Iman dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal yang paling mendasar dari
pelaksanaan Rukun Iman adalah Iman kepada ALLAH SWT. Hal ini dikarenakan
kedudukan ALLAH SWT sangat sentral dan sangat sakral, dan juga dikarenakan
tanpa Iman kepada ALLAH SWT maka Iman yang lainnya menjadi batal.
2.
Melalui Rukun Islam yang terdiri dari 5(lima)
ketentuan pokok, ALLAH SWT berkehendak kepada manusia untuk berinteraksi, untuk
merasakan secara langsung dengan apa-apa yang telah di-Imaninya, apakah itu
Iman kepada ALLAH SWT, apakah itu iman kepada Rasul, apakah itu iman kepada
Kitab, apakah itu iman kepada Malaikat, apakah itu Iman kepada Hari Akhirat,
apakah itu iman kepada Qadha, Qadar dan Taqdir melalui SYAHADAT yang kita
laksanakan, melalui SHALAT yang kita dirikan, melalui PUASA, melalui ZAKAT yang
kita tunaikan dan melalui HAJI yang kita laksanakan, dengan catatan sebagai
berikut:
a.
melalui pelaksanaan SYAHADAT manusia diperintahkan
oleh ALLAH SWT untuk mempersaksikan ALLAH SWT baik melalui Kemahaan dan
Kebesaran yang dimilikinya juga melalui ciptaan-Nya, melalui diri manusia,
melalui alam, melalui binatang dan sebagainya. Sehingga diri kita akan dapat
mempersaksikan bahwa tidak ada Tuhan selain ALLAH SWT yang mampu
memperlihatkan, yang mampu menunjukkan kebesaran yang dimiliki-Nya dengan
sejelas-jelasnya, dengan segamblang-gamblangnya.
Agar manusia tidak salah langkah atau agar manusia
tidak salah di dalam melaksanakan Diinul Islam maka ALLAH SWT perlu mengutus
manusia pilihan-Nya yaitu Nabi Muhammad SAW adalah utusan ALLAH SWT untuk
dijadikan suri teladan bagi manusia sewaktu menjalankan tugas sebagai KHALIFAH
di muka bumi.
Ada hal yang harus kita perhatikan yaitu kita tidak
akan dapat merasakan atau memperoleh apa-apa yang terdapat di balik maksud dan
tujuan perintah SHALAT, PUASA, ZAKAT dan HAJI jika kita tidak pernah
melaksanakan SYAHADAT. SYAHADAT di dalam Rukun Islam memegang peranan sangat
penting dikarenakan SYAHADAT merupakan pintu gerbang atau syarat utama untuk
menjadikan Agama Islam sebagai Agama yang Haq atau prasyarat untuk merasakan
nikmatnya bertuhankan kepada ALLAH SWT atau kunci pembuka bagi kesuksesan hidup
dan kehidupan yang kita jalani saat ini.
b.
melalui SHALAT, manusia diperintahkan oleh ALLAH SWT
untuk merasakan sendiri-sendiri secara langsung rasa atau kenikmatan dari
bertuhankan kepada ALLAH SWT atau merasakan hasil dari komunikasi antara diri
kita dengan ALLAH SWT melalui SHALAT yang kita dirikan. Hal ini dimungkinkan
sebab melalui SHALAT yang Khusyu' manusia akan dapat berdialog atau akan dapat
berbisik langsung dengan ALLAH SWT, manusia dapat meminta pertolongan, dapat
meminta petunjuk, dapat meminta ampunan, dapat mensucikan diri, supaya hidup
subur dan makmur, dan lain sebagainya serta melalui SHALAT pula ALLAH SWT
hendak menyempurnakan nikmat-nikmat yang ALLAH SWT telah berikan.
Sekarang apa-apa yang terdapat di balik perintah
SHALAT tidak akan dapat kita peroleh sebelum diri kita melaksanakan SYAHADAT
apalagi jika kita sendiri tidak mau mendirikan SHALAT yang sesuai dengan
kehendak pemberi perintah mendirikan SHALAT.
c.
melalui PUASA, manusia diperintahkan oleh ALLAH SWT
untuk mengembalikan Kefitrahan diri yang telah tercemar akibat pengaruh Ahwa
dan Syaitan selama kurun waktu 11 (sebelas) bulan. Hal dimungkinkan karena yang
berpuasa adalah Jasmani sedangkan Ruhani pada bulan puasa justru tidak
dipuasakan.
Selanjutnya dengan dipuasakannya Jasmani selama
kurun waktu tertentu maka kesehatan Jasmani dapat terjaga karena
di-istirahatkan serta dengan dikuranginya makan kepada Jasmani diharapkan pengaruh
Ahwa dan juga Syaitan kepada Ruhani dapat berkurang. Dilain sisi, Ruhani selama
Puasa diberi kesempatan oleh ALLAH SWT untuk diberi makan seluas-luasnya tanpa
batasan melalui ibadah Sunnat yang ditingkatkan oleh ALLAH SWT menjadi Wajib,
sedangkan ibadah Wajib dilipat gandakan pahalanya.
d.
melalui ZAKAT, manusia diperintahkan oleh ALLAH SWT
untuk membersihkan segala hasil usaha yang telah kita kerjakan selama kurun
waktu setahun dengan mengeluarkan HAK
ALLAH SWT atas segala hasil usaha yang kita lakukan di muka bumi yang
tidak pernah kita miliki.
Hal yang harus kita ingat adalah diri kita tidak
memiliki apapun juga saat di muka bumi ini, karena ALLAH SWT lah yang
memberikan modal berupa Jasmani, berupa Ruhani, berupa Amanah 7, berupa Hubbul,
berupa Hati RuhaniI tempat diletakkanya Iradat, Akal dan Perasaaan, termasuk
air, udara, tumbuhan. Adanya ZAKAT yang ditunaikan maka akan terciptalah
keseimbangan antara orang yang berpunya (Muzakki) dengan orang yang tidak
berpunya (Mustahik) di muka bumi.
e.
melalui ibadah HAJI, manusia di undang oleh ALLAH
SWT untuk datang ke Rumah ALLAH SWT (BAITULLAH) sebagai Tamu sedangkan ALLAH
SWT sebagai Tuan Rumah atau menghadiri Open House yang di adakan oleh ALLAH SWT
di Padang Arafah, minimal sekali seumur hidup. Hal yang harus di ingat sewaktu
melaksanakan ibadah Haji adalah jadilah Tamu yang dapat menyenangkan Tuan Rumah
atau tamu yang paling dikehendaki oleh Tuan Rumah dengan selalu mematuhi segala
Protokoler yang ditetapkan oleh Tuan Rumah berupa Rukun Haji, Wajib Haji
ataupun Sunnah Haji.
3. Ikhsan dapat dikatakan Buah atau Hasil dari pelaksanaan Rukun Iman
dan Rukun Islam yang telah kita laksanakan yang akan tercermin dari seberapa
tinggi Perbuatan Baik yang telah kita lakukan selama menjalankan tugas sebagai
KHALIFAH di muka bumi. Semakin baik dan tinggi kualitas Rukun Iman dan Rukun
Islam yang kita laksanakan maka semakin tinggi pula tingkat kualitas Ikhsan
yang telah kita laksanakan atau yang tercermin di dalam diri kita, demikian
pula sebaliknya.
Inilah sekilas keterkaitan antara Rukun Iman, dengan
Rukun Islam dan juga Ikhsan yang akan kami gunakan sebagai acuan ataupun asumsi
di dalam membahas tentang SYAHADAT, membahas tentang SHALAT, membahas tentang
PUASA, membahas tentang ZAKAT, membahas tentang HAJI dan juga membahas tentang
IKHSAN dalam buku-buku kami selanjutnya.
Untuk itu kami berharap buku ini dapat menjadi
Nuansa Baru bagi pemurnian, pemantapan serta peningkatan Aqidah Islam bagi
pembaca, keluarga, anak dan keturunan dari diri kita yang tidak lain adalah bagian
dari proses Regenerasi Kekhalifahan yang ada di muka bumi ini, sehingga mampu
menghantarkan diri kita semua ke Syurga serta dapat menjadi Modal Awal bagi pembentukan
Masyarakat dan Negeri yang Madani di Indonesia, tanah air yang kita cintai ini.
Amien Ya Rabbal Alamien.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar