Sebagai orang yang telah melaksanakan
syahadat ketauhidan dan juga syahadat kerasulan dalam satu kesatuan maka apa
yang telah kita nyatakan, atau yang telah kita ikrarkan, atau yang telah kita
janjikan harus tampil dalam hidup dan kehidupan yang kita jalani, sebagaimana
orang yang telah melaksanakan mandi maka ia harus menampilkan hasil dari mandi
yaitu mampu menjadikan diri ini sehat dan bersih lalu menjadi orang yang
bersemangat. Hal yang samapun berlaku setelah diri kita bertauhid kepada Allah
SWT. Dan inilah akhlak dari orang-orang yang telah bertauhid itu:
A.
HATINYA SELALU INGAT
ALLAH SWT.
Orang-orang yang
telah bertauhid, maka hatinya akan selalu mengingat Allah, dimanapun, kapanpun
dan dalam kondisi apapun ia akan selalu mengingat (dzikir) kepada Allah. Hal
ini berrbeda jauh dengan orang-orang yang masih sering dan banyak melupakan
Allah dan mereka lebih banyak mengingat urusan rezeki, susah, senang dan
masalah. Padahal hanya dengan mengingat Allah, maka hati ini akan tenang. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikuti ini: “(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
(surat Ar Rad (13) ayat 28).”
Sebagai abd’ (hamba)Nya yang sekaligus khalifahNya di muka bumi, ada satu
hal lainnya yang harus kita perhatikan yaitu ingat kepada Allah SWT (dzikrullah)
bukanlah sekedar ingat. Akan tetapi ingat kepada Allah SWT haruslah ingat yang
harus disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan yang kita ingat. Katakan
jika kita ingat Allah SWT adalah Maha Kaya, maka jika kita memiliki kekayaan
yang berasal dari Allah SWT sudahkah kekayaan yang kita miliki kita pergunakan
di dalam kehendak Allah SWT, atau sudahkah sebahagian kekayaan yang kita miliki
kita keluarkan hak Allah SWT kepada orang yang memerlukan, atau sudahkah
kekayaan yang kita miliki kita pergunakan untuk membeli tiket masuk syurga atau
jangan sampai kekayaan yang kita miliki justru membawa diri kita ke Neraka
Jahannam.
Allah SWT selaku Dzat
Yang Maha Besar tidak butuh dengan dzikir yang kita lakukan, melainkan kitalah
yang sangat membutuhkan dzikir kepada Allah SWT. Jika kita mampu berdzikir yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT maka akan mampu menghantarkan diri kita
mengenal siapa diri kita dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya lalu mampu meng-hantarkan
diri kita hanyalah sebagai hamba semata (abd) sedangkan Allah SWT adalah Tuhan
bagi seluruh alam semesta (Rabb).
Dan agar diri kita
mampu berdzikir yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Berikut ini akan kami
kemukakan beberapa pengertian, atau pemaknaan dari berdzikir sebagaimana
dikemukakan oleh “Asfa Davy Bya” dalam bukunya “sebening mata hati: oase penyejuk
jiwa dan pikiran” berikut ini:
1. Dzikir itu adalah
Warisan Rasulullah SAW. Seorang sufi bernama Sulaiman Ad Darani berkata, “Di
syurga ada lembah lembah tempat para malaikat menanam pohon pohon ketika
seseorang mulai berdzikir kepada Allah SWT. Terkadang salah satu malaikat itu
berhenti bekerja dan teman temannya bertanya kepadanya, “Mengapa engkau berhenti? Malaikat itu menjawab, “sahabatku telah
malas/kendur dzikirnya.” Sebagai orang yang beriman tentu kita tidak akan
menjadikan kata kata di atas ini sebagai hiasan dalam buku harian atau
menjadikannya kata kata mutiara untuk disampaikan atau dihadiahkan kepada
teman. Akan tetapi kita harus bisa menjadikan kisah di atas untuk meyakini
bahwa dengan berdzikir, diri kita akan mendapatkan manisnya keimanan yang akan
membawa kita pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Dzikir merupakan
warisan yang dibagi bagikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, dalam sebuah
riwayat, Abu Hurairah ra, berkata bahwa ketika masuk pasar, dia berkata, “Aku
melihat kalian disini sementara warisan Rasulullah di bagian dalam masjid.”
Orang orang lalu pergi ke masjid dan meninggalkan pasar. Setibanya di masjid
mereka tak melihat warisan itu, lalu mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, kami
tidak melihat warisan dibagikan di dalam masjid. Abu Hurairah balik bertanya,
“Apa yang kalian lihat? “ Mereka menjawab, “Kami melihat sekelompok orang
sedang berdzikir kepada Allah SWT dan membaca AlQur’an!” Abu Hurairah berkata,
“ Itulah warisan Rasulullah SAW!”.
Sebagai umat yang
telah diberikan warisan oleh Nabi Muhammad SAW tentunya kita harus bisa
memanfaatkan warisan ini dengan sebaik baiknya, apalagi warisan ini adalah
warisan yang tidak akan habis habisnya dimakan oleh waktu. Sepanjang kita mau
menerima warisan ini maka sepanjang itu pula warisan akan diberikan. Untuk itu
jadikan warisan ini sebagai modal dasar bagi kita untuk merasakan nikmatnya
bertuhankan Allah SWT atau meraih kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Amiin.
2. Dzikir itu adalah
makanan bagi orang orang yang mencari Tuhan. Dzikir dapat dikatakan sebagai makanan
bagi orang yang mencari Tuhan, hal ini dikarenakan pedzikir itu sadar bahwa
penyesalan akan tiba jika mereka lalai sedetikpun jika tidak berdzikir. Air
mata tumpah di kesendirian tatkala tahajud merupakan saksi akan munajatnya
pedzikir kepada Sang Khaliq. Muadz bin Jabal ra, pernah berkata: “Tidak ada yang disesali penghuni syurga
selain ketika sesaat saja mereka tidak berdzikir kepada Allah SWT”.
Menyesal adalah sebuah perasaan kecewa yang timbul dari hubungan sebab akibat.
Rasa sesal pasti dimiliki oleh setiap anak manusia karena rasa sesal termasuk
salah satu sifat dari jasmani manusia. Hal yang berbeda adalah bagaimana setiap
manusia mengekspresikan bentuk penyesalannya. Adanya kondisi ini maka dapat
dipastikan antara orang mukmin dibandingkan dengan orang kafir tentu akan
berbeda cara melampiaskan penyesalannya.
Bagi orang kafir atau
yang tidak beriman selalu mengkaitkan penyesalannya dengan sesuatu yang
berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan duniawi. Misalnya, dia menyesal
karena telah salah dalam membuat perhitungan sehingga dia mengalami kerugian.
Penyesalan itu biasanya dibarengi dengan berbagai tindakan yang menyesatkan
seperti, pergi ke bar untuk menghilangkan pikiran dengan meminum alkohol atau
mengkonsumsi narkoba, bahkan ada yang terjun bebas dari bangunan tinggi untuk
menghabisi dirinya. Menyesali diri atas setiap perbuatan dosa yang telah dilakukan di dunia
merupakan anugerah dari Allah SWT karena kita sesungguhnya masih diberi
kesempatan olehNya untuk memperbaiki diri.
Untuk itu, kehidupan
dunia haruslah dipandang sebagai ladang akhirat, makin banyak kita menanam amal
di dunia, insya Allah kita akan menuai hasilnya di akhirat kelak. Dan
penyesalan yang amat dahsyat sesungguhnya terjadi ketika kita belum sempurna
bertaubat saat malaikat maut datang menjemput. Tidak ada penyesalan
yang melebihi dari semua penyesalan yang ada di dunia ini ketika kita wafat
dalam keadaan suul khatimah.
3. Dzikir itu adalah
sarana bagi kita untuk mendapatkan syurga. Agar dzikir yang dilakukan oleh
pedzikir mampu menjadi sarana untuk mendapatkan syurga, renung-kanlah dengan
hati yang bersih lagi fitrah, hal yang kami kemukakan ini. Ketahuilah bahwa sementara
kita berdzikir di muka bumi, pada saat yang bersamaan dengan itu para malaikat
menanam pohon untuk para pedzikir pedzikir di syurga untuk kepentingan para
pedzikir. Para pedzikir pedzikir
sesungguhnya juga tengah menikmati indahnya taman taman syurga melalui majelis
majelis dzikir saat mereka di dunia minimal ia memperoleh ketenangan dan
ketenteraman bathin (sesuatu yang sangat mahal hari ini) sehingga ia mampu
hidup sesuai dengan kehendak Allah . Di samping itu, dzikir akan menjaga diri
kita dari setiap ancaman dan menjadi pedang untuk membantai setiap musuh yang
akan menggoda diri kita di dunia.
Imam Al Qusyairy
berkata: “Apabila dzikir kepadaNya telah
menguasai hati manusia, maka ketika syaitan datang mendekat, ia akan menggeliat
geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat geliat manakala syaitan
syaitan datang mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka semua setan akan
berkumpul dan mendatanginya seraya bertanya, ‘Apa yang terjadi padanya? Setan
yang lain berkata, ‘Seorang manusia telah
menghantam (dengan dzikir)nya!”. Dan ketika Rasulullah SAW dimikrajkan oleh
Allah SWT, Nabi Ibrahim as, berpesan kepadanya, “Sampaikan salam untuk umatmu, beritahukanlah kepada mereka bahwa
syurga tanahnya subur dan airnya sangat jernih, tetapi tanahnya kosong.
Tanamannya ialah dengan membaca ‘Subhanallah
walhamdulillah wala ilaha illallah wallahu akbar’ karena dengan demikian
dia telah menanam pohon di syurga.” Dan pada kesempatan yang lain, ketika
Rasulullah SAW sedang berjalan, beliau melihat Abu Hurairah ra, sedang menanam
pohon. Ketika ditanya, dia menjawab: “Saya sedang menanam pohon.” Kemudian
Rasulullah SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu sebaik baik pohon,
yaitu bacaan ‘La haula wala Quwwata illa billah’ karena akan menyebabkan
tumbuhnya pohon di syurga. Jika ini kondisinya, ayo sekarang kita
berlomba lomba menanam sebanyak banyaknya pohon di syurga mulai saat ini juga.
Jangan biarkan pohon itu layu dan tidak berkembang karena ulah perbuatan dosa
dan maksiat yang kita lakukan. Lalu sudah berapa banyak pohon yang telah kita
investasikan di syurga kelak?
4. Dzikir itu adalah
salah satu terapi bagi kalbu karena dzikir akan menye-hatkan ruhani. Orang yang dzikirnya
sedikit pertanda bahwa hatinya sedang sakit, dan orang yang tidak pernah
berdzikir hatinya telah mati. Dzikir adalah milik jiwa, yang menjai sulit
diraih apabila kita berpaling kepada ego. Mengingat Allah bukanlah milik ego
atau pikiran. Ego tidak memiliki keabadian. Sedangkan pikiran tidak dapat
meraih dimensi cahaya di atas cahaya. Jadi,
dzikir itu sesungguhnya adalah obat ruhani yang sekaligus inti jalan ruhani.
Dzikir sebagai jalan ruhani atau jalan spiritual sebenarnya adalah jalan yang
sangat sederhana. Intinya adalah, “Kalbu mencari Allah dan Allah mencari kalbu
yang diperkuat dengan menjadikan diri kita sebagai hamba Allah SWT semata dan
Allah SWT adalah satu satunya Rabb bagi diri kita. Ironisnya, mengapa masih
banyak orang yang berdzikir, menangis, bertaubat dalam dzikir dan doanya,
tetapi perilaku maksiatnya tak kunjung reda? Air mata dzikir dan air mata
taubat pun menjadi sia sia. Air mata itu akhirnya menjadi bahan gunjingan bagi
orang orang yang melihatnya.
Hal yang harus kita
jadikan pedoman saat berdzikir adalah: Air
mata bukanlah ukuran pertobatan dan lisan bukanlah jaminan pengakuan. Banyak
orang yang berdzikir dengan lisannya, tetapi belum dengan hatinya.Untaian
tasbih di tangan bukanlah jaminan bahwa hatinya juga bertasbih. Surban dan
jubah putih ataupun gamis panjang yang
membungkus tubuh tidak menunjukkan bening dan putihnya hati si pemakai. Dzikir
yang belum disertai dengan kehadiran hati telah membuka peluang pada pikiran,
ego, dan hawa nafsu untuk melalaikan hati kita. Kita melupakan misi dari
dzikir kita, tugas dan kewajiban personal kita. Kita tidak menghargai apa yang
telah dikaruniakan kepada kita dan kita tidak mengenal nilai sejatinya. Dzikir
kita kepada Allah SWT seharusnya tidak bergantung kepada kondisi internal atau
eksternal diri kita.
Dunia ini akan selalu
berupaya mencampakkan diri kita ke dalam jurang kealpaan. Dalam jurang ini kita
diuji. Mereka yang ingat akan diingatkanNya, dan mereka yang lalai akan
dilalaikanNya. Saat ini masih banyak
manusia yang menjalani kehidupannya dalam kealpaan dan kelalaian. Mereka
berdzikir tetapi tidak mampu mengenali sifat sifat ilahiah mereka secara sadar.
Tak heran jika kalbunya sudah terjaga dan dalam dirinya telah tertanam benih
dzikir, mereka sering berpaling dari jalan ruhani dan melupakanNya. Karenanya,
tidak setiap pejalan ruhani dapat menemukan jalan pulang, begitu banyak pedzikir
yang berpaling dari untaian dzikirnya.
Untuk itu jangan
pernah belenggu hati kita dengan kealpaan dan kelalaian yang berkepanjangan. Berdzikirlah dengan lisan dan hati sehingga
akal kita akan menterjemahkan nya ke dalam perilaku yang berdzikir atau pribadi
yang berdzikir. Berdzikir yang demikian akan membentuk ketaqwaan kita kepadaNya
sehingga tidak ada lagi celah bagi syaitan untuk menghembushembuskan bisikannya
di hati kita. Mengingat Allah
adalah satu satunya senjata kita untuk melawan kekuatan setan. Kita tahu bahwa
setan tidak pernah tidur, mereka kuat, tetapi Allah SWT jauh lebih kuat. Dan dengan diri kita terus menerus
mengingat Allah, hati kita akan terus terjaga sepanjang waktu. Dengan demikian
tak ada ruang bagi setan untuk mencelakakan kita. Untuk itu jangan biarkan
lidah dan hati ini lelah apalagi berhenti berdzikir. Jangan biarkan tangan ini
malas bersedekah setiap pagi karena sedekah merupakan penolak bala. Jangan
biarkan mata ini malas bangun malam untuk shalat tahajjud, jangan biarkan anak
istri kita memakan makanan yang syubhat dan haram. Jangan biarkan setan
menerobos pintu pintu hati yang telah bercahaya dengan dzikir.
5. Dzikir adalah
pembentuk akhlak yang mulia. Bukankah kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah
dzikir? Bukankah kehidupan para sahabat, tabiin, tabiutabiin juga adalah
dzikir? Tidak ada waktu yang tersisa dalam kehidupan mereka tanpa mengingat
Allah SWT. Mulai dari bangun malam, berdiri mendirikan shalat, bermunajat di
keheningan malam, mencari nafkah, hidup bermasyarakat, berkeluarga, mendidik
anak, belajar, sampai dengan hal hal yang berhubungan dengan tata cara atau
adab keseharian, semuanya penuh dan dimulai dengan kalimat kalimat dzikir. Ingat, tak ada satupun ajaran agama di dunia
ini yang mengatur secara paripurna kehidupan manusia mulai dari lahirnya jabang
bayi sampai wafat dengan dzikir dan doa, kecuali Islam.
Tak
ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan akhlak yang begitu sempurna,
kecuali hanya agama Islam. Bukankah Rasulullah SAW diutus untuk menyempurna-kan
akhlak. Sungguh banyak orang yang keliru.
Mereka mengira bahwa hal terpenting dalam agama adalah mempelajari fiqih,
menghafal AlQuran, wirid tiada henti, dan seterusnya. Mereka lupa bahwa tujuan
utama dari semua ibadah (shalat, puasa, doa, dzikir, zakat, haji dan
seterusnya) adalah untuk membenahi akhlak manusia. Kalau tidak, ibadah yang
dilakukannya akan menjadi semacam latihan olah raga atau kebisaan semata atau
penghapus kewajiban.
Rasulullah SAW
bersabda: “Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan manusia pada hari Kiamat
daripada akhlak yang baik.” (hadits riwayat Abu Dawud dan Ath Thirmidzi)
Rasulullah SAW
bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya,” (hadits riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad).
Benar Rasulullah SAW
berkata bahwa air mata adalah wujud kasih sayang yang Allah tanamkan di hati
para hambaNya. Tetapi tangisan dari Rasulullah tidak diikuti dengan perilaku
buruk! Beliau adalah seorang yang lembut hatinya, baik saat beribadah maupun di
luar beribadah karena hidupnya adalah ibadah. Sedangkan tangisan kita baru sampai tahap menyadari dosa dosa yang kita
lakukan, atau baru sampai tahap mensyukuri nikmat yang Allah berikan, atau ada
yang menangis karena jamaah kanan dan kirinya menangis, akhirnya ia ikut
menangis.
Dan agar
ibadah dzikir mampu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, maka ibadah dzikir yang kita lakukan setiap saat,
haruslah dipahami sebagai salah satu sarana untuk mencapai akhlak yang mulia
atau mampu menjadikan diri kita menampilkan penampilan Allah SWT saat hidup di
muka bumi ini (dalam hal ini Asmaul Husna).
6. Dzikir itu adalah
kunci pembuka pintu hati. Dzikir adalah kunci pembuka pintu hati. Apabila pintu hati terbuka maka muncullah di
dalamnya pemikiran yang brilian dan juga kata kata hikmah untuk membuka mata
hati. Bila mana mata hati telah terbuka maka tampaklah sifat sifat Allah serta
kemahaan dan kebesaran Allah SWT di hadapan mata hati kita. Dzikir yang
seperti ini sesungguhnya adalah dzikir kepada Allah berarti mengingat dan
mengikatkan diri kepada sifat sifat Allah dan juga dengan kemahaan dan
kebesaran Allah WT sebagai Tuhan yang berhak disembah dengan sebaik baiknya.
Dan
sekarang katakanlah, Allah SWT adalah Dzat Pemberi Rezeki dan jika Allah SWT
kita ingat sebagai Dzat Yang Memberi Rezeki berarti kita juga harus mengikatkan
diri kepada sifat pemberi ini. Sehingga kita wajib meminta rezeki hanya
kepadaNya dan setelah memperoleh rezeki maka kita wajib pula membantu sesama
melalui infaq dan sedekah. Jika kita
mampu melakukan berarti kita telah mampu membuka hati kita melalui dzikir,
terutama melalui nilai kebaikan dari memiliki rezeki bukanlah pada saat saldo
keuangan bertambah banyak melainkan saat mau berbagi rezeki kepada orang orang
yang membutuhkan dari rezeki yang telah kita terima dari Allah SWT.
Adanya kondisi yang
kami kemukakan di atas, dzikir (mengingat Allah SWT) juga dapat kita katakan
sebagai cara yang paling efektif untuk berdialog langsung dengan Allah sehingga
membuat pedzikir atau hamba hamba-Nya mampu secara aktif berpartisipasi dalam
komunikasi langsung dengan Allah SWT. Apalagi
pedzikir yang sudah mampu menampilkan penampilan Allah SWT setelah mereka
berdzikir berarti ia mampu membuat Allah SWT tersenyum bangga kepadanya.
Adanya kondisi dzikir yang seperti ini tentu saja tidak bisa serta merta
terlaksana karena kondisi spiritual dari pikiran atau hati dari setiap orang
yang berbeda-beda dalam menerimanya. Kesemuanya sangat tergantung dari
ketinggian atau kefitrahan spiritual yang dialami pedzikir pada saat berdzikir.
B.
SELALU MERASA BERDOSA.
Orang yang telah
bertauhid tidak akan mungkin lagi melakukan dosa-dosa besar. Jangankan yang
besar, dosa-dosa kecil pun tidak akan berani melakukannya. Jika ada dosa kecil
yang tidak sadar dilakukan, maka dia akan segera beristighfar. Meskipun secara
hakikat dia tidak melakukan dosa apapun, tapi dalam hatinya ia selalu merasa
berdosa di depan Allah. Dia merasa dosanya begitu banyak, hingga membuatnya
selalu memohon ampunan kepada Allah. Karena selalu intropeksi pada diri
sendiri, orang yang bertauhid tidak akan disibukan oleh keburukan orang lain.
Hal ini sesuai dengan
apa yang termaktub dalam surat Ali Imran (3) ayat 133-134-135 berikut ini: “Dan
bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan syurga yang
luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yan bertakwa.
(yaitu) orang yang berinfaq baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan memaafkah (kesalahan) orang lain. Dan Allah
mencintai orang yang berbuat kebaikan. Dan (juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau mendzalimi diri
sendiri (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas
dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah?
Dan mereka tidak meneruska perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.”
Berdasarkan ayat ini,
setidaknya melekat pada diri mereka 4 (empat) buah sifat mulia pada diri orang
yang bertauhid: Pertama, senang
berinfak di kala lapang atau susah. Kedua,
sanggup menahan amarah dan emosi. Ketiga,
suka memaafkan orang lain. Keempat,
jika berbuat keji atau menzalimi diri sendiri, mengingat Allah, memohon ampunan
kepada-Nya serta tidak mengulanginya.
C. JIKA DIBERI NIKMAT
BERSYUKUR DENGAN UCAPAN DAN AMAL PERBUATAN.
Bersyukur itu jangan
hanya diucapkan oleh mulut dengan mengucapkan “Hamdallah” semata, tetapi harus dibuktikan pula oleh amal
perbuatan. Intinya bersyukur tidak cukup dengan mengucapkan “Hamdallah”
melainkan harus dibuktikan dalam perilaku atau perbuatan yang sesuai dengan
harapan yang memberi. Salah satu contoh
bersyukur dengan amal perbuatan yaitu memberikan sebagian rezeki yang kita
dapat kepada orang-orang miskin, atau yang membutuhkan. Ketika diberikan
nikmat, orang yang bertauhid selalu bersyukur dengan ucapan dan amal.
Dan dia sepenuhnya
yakin kalau nikmat yang dimilikinya berasal dari Allah. Diberikan nikmat sehat,
syukurilah dengan memanfaatkan sehat untuk beribadah secara sungguh-sungguh. Diberikan
nikmat rezeki, manfaatkanlah rezeki di jalan Allah dengan menyantuni yatim dan
orang-orang yang mengalami kesusahan. Diberikan nikmat ilmu, ajarkan ilmu
kepada sesama tanpa ada yang disembunyikan dan tanpa pamrih. Itulah ciri yang
benar dari bersyukur. Dan Alangkah hebatnya umat Islam ini jika setiap orang
yang telah bertauhid mampu menjalankan konsep jika diberi akan bersyukur dengan
ucapan dan amal perbuatan. Hal ini dikarenakan orang yang bertauhid pasti mampu
melaksanakan hal-hal sebagai berikut:
1. Memberi bukanlah
sebatas sedekah yang berasal dari harta kekayaan atau penghasilan semata;
2. Memberi juga bisa
kita lakukan dengan cara membela kaum dhuafa yang teraniaya melalui zakat
(sedekah) yang berasal kekuatan atau kekuasaan yang kita miliki;
3. Memberi juga bisa
kita lakukan dalam kerangka untuk mengokohkan hujjah dan dalil dalil agama
melalui zakat (sedekah) argumentasi dan kefasehan lidah yang kita miliki;
4. Dan yang terakhir
memberi juga bisa kita lakukan dengan cara mengajarkan ilmu pengetahuan yang
melalui jalan zakat/sedekah ilmu pengetahuan yang kita miliki.
Apalagi jika apa-apa
yang kami kemukakan di atas ini terlaksana tanpa diketahui oleh tangan kiri
sewaktu tangan kanan memberi (maksudnya adalah berbuat dan bertindak secara
ikhlas karena Allah SWT semata), yang mana kekuatannya sangat luar biasa dan
hasil yang akan kita rasakan juga sepadan yaitu sangat luar biasa pula,
sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi bersabda;
“Seseorang yang memberi sedekah satu dirham selama hidupnya, lebih baik baginya
daripada memberi seratus dirham di waktu matinya”. (Hadits Riwayat Abu Dawud).”
.
D.
JIKA DITIMPA MUSIBAH
AKAN BERSABAR DAN TETAP BERSYUKUR
Tidak hanya urusan
nikmat, urusan musibah dan cobaan pada hakikatnya berasal dari Allah. Orang
yang jiwa tauhidnya sudah mengakar kuat meyakini hal tersebut. Ketika diberikan
nikmat kita harus bersyukur dan ketika diberikan cobaan kita harus bersabar dan
ikhlas menerimanya. Hal ini sejalan dengan jiwa dari hadits Nabi SAW yang mana
beliau bersabda: “Perkara orang mukmin itu mengagumkan, sesungguhnya semua perihalnya
baik dan itu tidak dimiliki seorang pun selain orang mu`min; bila tertimpa
kesenangan, ia bersyukur dan syukur itu baik baginya, dan bila tertimpa
musibah, ia bersabar dan sabar itu baik baginya. (Hadits Riwayat Bukhari
Muslim).”
Di samping itu, Allah
SWT juga menjanjikan keutamaan besar bagi mereka yang mampu bersabar dalam
menghadapi segala ujian (bala) ataupun musibah. Berikut ini akan kami kemukakan
3 (tiga) keutamaan dimaksud, yaitu:
1. Mengangkat derajat dan menghapus dosa, sebagaimana hadits berikut ini: “Dari Abu Hurairah, ia
berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Ujian senantiasa menimpa orang beriman pada
diri, anak dan hartanya hingga ia bertemu Allah dengan tidak membawa satu dosa
pun atasnya. (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi).”
2. Tanda kebaikan dari
Allah SWT, sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Sesungguhnya
besarnya balasan tergantung dari besarnya ujian, dan apabila Allah cinta kepada
suatu kaum Dia akan menguji mereka, barangsiapa yang ridha maka baginya keridhaan
Allah, namun barangsiapa yang murka maka baginya kemurkaan Allah. (Hadits
Riwayat Ath Thirmidzi).”
3. Memperoleh pahala
yang tidak terbatas, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “…….. Sesungguhnya hanya orang-orang yang
bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas. (surat Az Zumar (39)
ayat 10).”
Itulah 3 (tiga) buah
keutamaan dari orang-oramh yang mampu bersabar dan semoga diri kita termasuk
orang-orang mampu memperoleh dan merasakan keutamaan dari sabar.
E.
SELALU MEMBALAS
KEBURUKAN DENGAN KEBAIKAN.
Jika kita ingin jadi
orang yang bertauhid, kita harus menunjukkan akhlak yang mulia. Salah satu
contohnya adalah membalas keburukan dengan kebaikan. Jika ada orang yang
memfitnah kita, mencaci maki kita dan berbuat sesuatu yang buruk kepada kita,
jangan balas lagi dia dengan keburukan, tapi balaslah dia dengan kebaikan
dimulai dari mendoa-kannya. Untuk itu ada baiknya kita memperhatikan apa yang
telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada kita.
Dikisahkan, setiap
kali melintas di depan rumah seorang wanita tua, Nabi Muhammad SAW selalu
diludahi oleh si pemilik rumah tersebut. Saat menerima perlakuan tak pantas
itu, tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata kasar, apalagi memaki. Yang
dilakukannya hanya tersenyum, lalu kembali berjalan.Namun, pada suatu hari,
ketika Rasulullah SAW melewati rumah wanita tua itu, tidak dijumpainya gangguan
seperti biasa. Karena penasaran, beliau pun bertanya kepada seseorang tentang
wanita tua itu. Justru orang yang ditanya itu merasa heran, mengapa beliau menanyakan
kabar tentang wanita tua yang telah berlaku buruk kepadanya. Setelah itu Nabi
SAW mendapatkan jawaban bahwa wanita tua yang biasa meludahinya itu ternyata
sedang jatuh sakit. Bukannya bergembira, justru beliau memutuskan untuk
menjenguknya. Wanita tua itu tidak menyangka jika Nabi mau menjenguknya.
Ketika wanita tua itu
sadar bahwa manusia yang menjenguknya adalah orang yang selalu diludahinya
setiap kali melewati depan rumahnya, ia pun menangis di dalam hatinya, “Aduhai betapa luhur budi manusia ini.
Kendati tiap hari aku ludahi, justru dialah orang pertama yang menjengukku.”
Dengan menitikkan air mata haru dan bahagia, wanita tua itu lantas bertanya,
"Wahai Muhammad, mengapa engkau
menjengukku, padahal tiap hari aku meludahimu?" Nabi SAW menjawab,
"Aku yakin engkau meludahiku karena engkau belum tahu tentang kebenaranku.
Jika engkau telah mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan melakukannya."
Mendengar jawaban bijak dari Nabi, wanita tua itu pun menangis dalam hati.
Dadanya sesak, tenggorokannya terasa tersekat. Lalu, dengan penuh kesadaran, ia
berkata, “Wahai Muhammad, mulai saat ini
aku bersaksi untuk mengikuti agamamu." Lantas wanita tua itu mengikrarkan
dua kalimat syahadat, "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku
bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah.”
Demikianlah salah
satu kisah teladan tentang kesabaran Nabi Muhammad SAW yang sungguh menakjubkan
dan sarat akan nilai keteladanan. Nabi SAW tidak pernah membalas keburukan
orang yang menyakitinya dengan keburukan lagi, tetapi Nabi justru memaaf-kannya.
Lalu bagaimana dengan diri kita yang telah menyatakan syahadat kerasulan,
tentunya kita pun mampu melaksanakan hal ini dengan baik!.
F.
TIDAK TERLALU
MENCINTAI DUNIA.
Jika kita telah
mengaku bertauhid, seharusnya kita yakin kalau dunia ini hanya sementara,
sementara di akhirat kekal. Oleh sebab itu, sudah seharusnya kita lebih
mengedepankan urusan akhirat ketimbang urusan dunia. Namun kenyataannya tidak
demikian. Karena tauhid dalam hati kita masih lemah, kita masih terlalu
mencintai dunia ini. Kita tahu akan mati, tapi kita merasa tidak akan pernah
mati, kita tahu hidup di dunia ini hanya sementara, tapi kita mencari harta
seperti akan hidup selamanya.
Dan bagi orang yang
bertauhid, dunia itu bukan untuk mencari kekayaan atau kesenangan, tapi sebagai
jembatan untuk meraih keridhaan Allah dengan cara beramal shaleh dari waktu ke
waktu selama hayat masih di kandung badan.
Agar diri kita tidak
salah langkah, Allah SWT telah memberikan pedoman-Nya sebagai-mana dikemukakan
dalam firman-Nya berikut ini: “Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan
apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan
bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah
telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi.
Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (surat Al Qasas
(28) ayat 77).”
Akhirnya diri kita tidak
boleh tertipu oleh kehidupan dunia. Dan hendaklah kita mencurahkan waktunya
untuk beribadah kepada Allah. Banyak
manusia yang terlalaikan sehingga banyak waktu yang terbuang sia-sia hanya
untuk mengejar dunia, waktu yang digunakan mulai dari pagi hingga malam hanya
untuk mengurusi dunia, seperti mencari nafkah, dagang, kerja, lembur,
mengerjakan tugas kantor serta menyalurkan hobbi (kesenangan sesaat).
Sedangkan rezeki itu datangnya
dengan pasti, setiap anak yang lahir itu sudah membawa rezeki. Akan tetapi yang
belum pasti adalah keadaan kita dihadapan Allâh pada hari Kiamat, apakah amal
kita diterima atau tidak, apakah kita akan masuk syurga atau neraka. Oleh
karena itu, jangan jadikan dunia ini sebagai tujuan. Orang yang tujuannya dunia
akan dicerai beraikan dengan urusannya dan dijadikan kefakiran di depan pelupuk
matanya. Sehingga ia selalu merasa kurang, tidak cukup, dan fakir, padahal Allah
SWT telah memberikan nikmat yang begitu banyak
kepadanya.
Selain daripada itu, sebagai orang yang telah bertauhid maka kita harus
bisa menempatkan diri bahwa kita adalah seorang perantau. Dimana seorang perantau yang
menetap di negeri orang, suatu saat pasti akan kembali ke kampung halaman. Jika
ini adalah konsep dasar merantau berarti hidup di rantau yang dilakukan oleh
seseorang bukanlah tujuan akhir, akan tetapi tujuan sementara dalam rangka
untuk mencari bekal pulang kampung atau untuk pembuktian diri atas keberhasilan
hidup di rantau.
Adanya kondisi ini berarti kualitas hidup di rantau
sangat berhubungan erat dengan keberhasilan di kampung halaman. Ini berarti
segala apa yang kita lakukan saat hidup di rantau, akan mempengaruhi
keberhasilan atau ketidakberhasilan hidup di kampung halaman kelak. Sekarang bagaimana
dengan diri kita yang saat ini sedang merantau ke muka bumi, apakah kualitas
merantau yang kita lakukan saat ini akan memberikan dampak keberhasilankah atau
memberikan dampak ketidakberhasilankah untuk pulang ke negeri akhirat? Agar diri
kita berhasil menuju negeri akhirat yang bernama syurga, tentu saat ini kita
harus mencari bekal sebanyak mungkin di dalam koridor ketentuan untuk masuk
syurga.
Hal yang harus kita
perhatikan adalah bekal untuk masuk syurga tidak sama dengan bekal untuk masuk
neraka. Adanya perbedaan bekal untuk masuk syurga dan neraka, hal ini akan
mempengaruhi pula pola kerja saat diri kita menjadi khalifah di muka bumi.
Untuk itu sewaktu menjadi khalifah kita harus menentukan mau pulang kemanakah
diri kita, apakah mau ke syurga ataukah ke neraka.
Jika pilihan kita
adalah neraka jahannam, nomorsatukan kehidupan dunia, nomor-akhirkan kehidupan
akhirat, atau cintai kehidupan dunia saja, lalu lalaikan kehidupan akhirat.
Akan tetapi jika kita mengambil keputusan untuk pulang kampung ke syurga
berarti kita tidak boleh mencintai dunia, kita tidak boleh menomor-satukan
dunia, dengan mengakhirkan akhirat.
Apalagi Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik kekhalifahan di muka bumi melalui surat Al Baqarah
(2) ayat 204 berikut ini: “dan di antara
manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan
dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, Padahal ia adalah
penantang yang paling keras.” telah mengingatkan agar jangan sampai
kehidupan dunia menarik hati kita sehingga mengabaikan kehidupan akhirat. Adanya peringatan
dari Allah SWT seharusnya dapat menjadikan diri kita mawas diri saat menjadi
khalifah di muka bumi karena kehidupan dunia bukanlah kehidupan yang hakiki.
Yang menjadi
persoalan saat ini adalah kita berkehendak untuk pulang kampung ke syurga namun
perilaku hidup kita selalu tidak konsisten dengan apa yang kita hendaki.
Seolah-olah dengan perilaku ziq-zaq, kadang baik kadang buruk, dapat
menghantarkan diri kita ke syurga. Dan jika ini yang kita lakukan kita akan
berada di daerah abu-abu, sedangkan Allah SWT hanya menetapkan hitam (neraka)
atau putih (syurga) saja.
Untuk itu
perhatikanlah firman Allah SWT sebagaimana berikut ini: “Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang berpaling dari
peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah
sejauh-jauh pengetahuan mereka. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa
yang mendapat petunjuk. (surat An Najm (53) ayat 29-30).”
Selain daripada itu
Allah SWT juga mengingatkan kepada diri kita untuk tidak banyak bergaul dengan
orang yang menomorsatukan kehidupan dunia dibandingkan kehidupan akhirat atau
orang yang selalu menginginkan kehidupan duniawi. Hal ini agar diri kita tidak
tergoda atau digoda oleh mereka sehingga maksud dan tujuan kita yang seharusnya
pulang ke syurga justru berubah menjadi ke neraka Jahannam.
G. SELALU
MEMOHON, SELALU MENGADUKAN PERSOALAN HANYA KEPADA ALLAH SWT.
Di dalam
kehidupan sehari-hari, jika kita bekerja di suatu kantor tertentu lalu
ditugaskan sebagai kepala cabang di daerah tertentu pula. Sebagai kepala cabang
kita diharuskan untuk selalu berkoordinasi dengan kantor pusat sehingga kita
harus selalu berjalan sesuai dengan arahan kantor pusat atau kita tidak
diperkenankan untuk putus hubungan dengan kantor pusat. Selanjutnya dalam
perjalanan waktu, terjadi suatu permasalahan di kantor cabang yang kita pimpin,
apa yang harus kita lakukan? Kantor pusat akan membebankan segala tanggung
jawab termasuk kerugian yang terjadi di kantor cabang kepada pimpinan cabang,
jika segala sesuatu yang terjadi tidak pernah dilaporkan, tidak pernah
dimusyawarahkan dengan kantor pusat.
Akan
tetapi jika permasalahan yang terjadi di kantor cabang di koordinasikan, di
laporkan ke kantor pusat, maka secara otomatis kantor pusat akan membantu, akan
memberikan masukan, atau bahkan akan mengambil alih persoalan yang terjadi di
kantor cabang yang kita pimpin. Sekarang bagaimana dengan kedaaan diri kita
yang saat ini sedang melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi? Ketentuan yang sama juga berlaku pada saat diri kita
melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka
bumi. Dimana Allah SWT tentu akan memberikan bantuan dan pertolongan kepada
diri kita sepanjang diri kita meminta perto-longan dan bantuan kepada Allah
SWT. Jika manusia, termasuk diri kita enggan dan malas untuk memintanya maka Allah
SWTpun akan enggan dan malas pula memberikannya.
Selanjutnya,
jika yang kami kemukakan di atas ini
adalah kondisi dan keadaan dari hubungan antara Allah SWT kepada manusia
yang telah dijadikannya sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi lalu apa yang harus kita
lakukan jika kita yang telah bertauhid mengalami, menghadapi problematika hidup
seperti masalah anak, masalah istri atau suami, masalah pekerjaan, masalah
keuangan dan lain sebagainya? Jika kita termasuk orang yang telah memiliki
ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar berarti kita telah menjadikan Allah
SWT sebagai satu-satunya Tuhan di alam semesta ini yang mampu menyelesaikan
segala apapun problem yang kita hadapi.
Untuk
itu jangan pernah sekalipun kita mengadukan segala persoalan hidup yang kita
hadapi kepada selain Allah SWT. Adukanlah, laporkanlah, beritahukanlah apa-apa
yang telah terjadi hanya kepada Allah SWT karena kita ada karena Allah SWT juga. Lalu
mintalah jalan keluar yang terbaik kepada Allah SWT, atau mintalah perbaikan
hidup yang terbaik kepada Allah SWT, termasuk untuk anak dan keturunan kita
kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman: “sungguh Kami (sering) melihat mukamu
menengadah ke langit[96], Maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat
yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja
kamu berada, Palingkanlah mukamu ke arahnya. dan Sesungguhnya orang-orang
(Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui,
bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah
sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (surat
Al Baqarah (2) ayat 144)
[96]
Maksudnya ialah Nabi Muhammad s.a.w. sering melihat ke langit mendoa dan
menunggu-nunggu turunnya wahyu yang memerintahkan beliau menghadap ke
Baitullah.
Untuk
maksud tersebut di atas, jangan pernah sekalipun diri kita melakukan tindakan
atau perbuatan atau usaha-usaha sebagai berikut kepada Allah SWT, baik langsung
ataupun tidak langsung, seperti :
1. Jangan memalingkan wajah atau pandangan atau pengharapan atau permo-honan
kepada Tuhan selain Allah SWT dan jangan
pernah memutuskan hubungan komuni-kasi dengan
Allah SWT serta jangan pernah sekalipun meninggalkan Allah SWT dan
jangan pula sekalipun untuk mengadakan konfrontasi baik langung ataupun tidak
langsung dengan Allah SWT.
2. Jangan pernah menjadikan tuhan-tuhan selain Allah SWT apakah itu manu-sia,
jin, harta, pangkat, jabatan, pekerjaan, atasan menjadi pelindung, menjadi
penjaga, menjadi pemelihara diri kita sehingga mereka semua kita anggap
segala-galanya diban-dingkan dengan Allah SWT.
3. Jangan pernah menjadikan apa-apa yang telah dilarang oleh Allah SWT
men-jadi sebuah petunjuk atau menjadikan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah
SWT menjadi sesuatu yang dilarang sehingga hal-hal itulah yang kita jadikan
pedoman sewaktu menjalankan tugas di muka bumi. Apabila ini yang terjadi maka
kita akan sangat di sayang oleh syaitan sang Laknatullah.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, tahukah anda dengan hadits
qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Abi Umamah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman:
Pergilah hai Malaikat-Ku kepada hamba-Ku dan timpakanlah musibah diatasnya,
lalu pergilah si Malaikat menimpakan musibah di atas si hamba Allah yang
menerimanya dengan syukur dan segala pujian bagi Allah. Kembalilah Malaikat itu
kepada Tuhan seraya berkata: Ya, Tuhan kami, kami telah menimpakan musibah di
atasnya sebagaimana perintah-Mu, lalu berfirman Allah: Kembalilah kepadanya
(hamba-Ku) karena Aku ingin mendengar suaranya. (HQR At
Thabarani, 272:76)
Hadits di
atas ini mengemukakan tentang Allah SWT yang memang sengaja atau memang telah
membuat skenario tertentu untuk menilai kualitas para hamba-Nya melalui musibah
atau cobaan. Jika ini adalah asumsi dari apa yang kita alami dan rasakan saat
ini, siapakah yang sanggup melawan kehendak Allah SWT di atas dan siapakah yang sanggup mencarikan jalan keluar
persoalan yang kita hadapi. Lalu siapakah yang memiliki kemam-puan untuk
menyelesaikan segala persoalan yang tengah kita hadapi jika semuanya berasal
dari Allah SWT serta siapakah yang mampu menolong diri kita jika apa yang kita
alami asalnya dari Allah SWT?
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya yang telah mampu telah memiliki ketauhidan
dalam diri dengan baik dan benar maka kita harus dapat menyatakan dengan baik
dan benar pula bahwa hanya Allah SWT lah satu-satunya Tuhan yang ada di alam
semesta ini yang mampu menolong diri kita. Hasil akhir dari ini semua sangat
tergantung seberapa jauh tingkat keyakinan dari diri kita sendiri kepada Allah
SWT. Semakin tinggi tinggi tingkat keyakinan diri kita maka akan semakin tinggi
pula perhatian Allah SWT kepada diri kita. Demikian pula sebaliknya, semakin
rendah tingkat keyakinan diri kita maka akan semakin rendah pula perhatian Allah
SWT kepada diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar