Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 02 Januari 2024

INILAH ILMU TAUHID YANG KITA BUTUHKAN (PART 1 of 2)

 

 

Ilmu tauhid (ketauhidan) sebagai ilmu dasar sebelum diri kita mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, mengharuskan diri memiliki ilmu tentang Allah SWT (ilmu ketauhidan) terlebih dahulu yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini. Hal ini diperkuat dengan kondisi diri kita yang hanyalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT dalam batasan waktu tertentu sehingga lamanya hidup di dunia ditentukan oleh Allah SWT selaku pencipta dan pemilik. Adanya kondisi ini menjelaskan bahwa diri kita hanyalah orang yang menumpang (tamu) yang tidak bisa selamanya menumpang sehingga kita wajib memahami tentang Allah SWT selaku tuan rumah, sehingga hidup yang kita jalani ini harus sesuai dengan konsep yang dikehendaki oleh Allah SWT yaitu: dari Allah kembali kembali kepada Allah SWT yang di dalam pelaksanaannya wajib selaras dengan ketentuan datang fitrah kembali fitrah untuk bertemu dengan yang maha fitrah di tempat yang fitrah.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sudahkah kita memiliki ilmu dan pemahaman tentang konsep datang fitrah kembali fitrah saat hidup di muka bumi ini. Lalu bagaimana caranya kita melaksanakan konsep datang fitrah kembali fitrah jika kita sendiri malas untuk belajar tentang ilmu tauhid (ketauhidan) dan bahkan kita sendiri tidak tahu siapa itu Allah SWT dan apa hubungannya dengan diri kita. Alangkah ngerinya hidup ini jika kita tidak tahu siapa Allah dan siapa diri kita dan semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita dan juga pada anak keturunan kita! Dan sebagai orang yang membutuhkan ilmu tauhid (ketauhidan) maka sudah sepatutnya kita mempelajarinya dengan sungguh-sungguh ilmu tauhid (ketauhidan) dan semoga Allah SWT memudahkan diri kita mempelajarinya dan memudahkan pula kita untuk melaksanakan apa-apa yang telah kita pelajari. Amiin.

 

Kata tauhid secara bahasa Arab merupakan bentuk masdar dari fi’il “wahhadayuwah- hidu” (dengan huruf ha di tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Dimana kata tauhid secara bahasa dapat diartikan sebagai keesaan, mengesakan Tuhan. Mengesakan Tuhan berarti meyakini bahwa Allah itu Tuhan itu Maha Esa. Tuhan Maha Esa itu ialah Allah SWT sehingga kita wajib menjadikannya sebagai satu-satunya sesembahan yang benar dengan segala kekhususannya. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa secara istilah ilmu tauhid (ketauhidan) memiliki 2 (dua) buah pengertian yang sangat mendasar, yaitu :

 

1.       Pengertian secara umum yaitu: “Meng-Esakan Allah dalam hal seluruh yang menjadi
kekhususan Allah menggunakan ilmu, keimanan, ‘perbuatan dari semua yang ada hubungannya dengan asma Allah, Sifat Allah, Perilaku (perbuatan) Allah, dan Peribadatan terhadap Allah. (uluhiyah, rububiyah, asma wa sifat)

2.       Pengertian secara khusus yaitu : “Meng-Esakan Allah dalam hal ibadah kepada-Nya, yaitu hanya beribadah kepada Allah saja dengan tidak mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sehingga akan mengesakan Allah saja satu-satunya dengan ibadah, dengan penghormatan, dengan pengagungan serta meyakini kenabian Nabi Muhammad SAW bahwa beliau adalah penutup para Nabi dan Rasul dan mengikuti beliau dengan apa-apa yang dibawa oleh beliau dari Allah SWT.

 

Adanya pengertian secara khusus tentang ilmu tauhid (ketauhidan) maka Ilmu tauhid dapat pula dikatakan sebagai suatu ilmu yang mempelajari atau membahas tentang segala sesuatu kepercayaan atau keimanan yang diambil dari dalil-dalil keyakinan dan hukum dalam Islam termasuk hukum tentang mempercayakan bahwa Allah itu esa. Dan adapun tujuan dari mempelajari ilmu tauhid ialah untuk mengenal Allah secara lebih dekat dan Rasul-Nya dengan dalil-dalil yang pasti kebenarannya. Seorang muslim pastinya wajib mempercayai keesaan Allah. Dan untuk mempertegas tentang pengertian dasar dari ilmu tauhid (ketauhidan) di atas dan dalam kerangka menambah wawasan tentang ilmu tauhid (ketauhidan), maka kita harus melanjutkan dengan belajar tentang pengertian (pemaknaan) dasar dari ilmu ketauhidan  yang lainnya, yang kesemuanya menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid (ketauhidan) bagi kebahagiaan hidup dan kehidupan manusia baik di dunia dan di akhirat kelak.

 

Dan inilah ilmu tauhid (ketauhidan) yang kita butuhkan dalam hidup dan kehidupan dan semoga Allah SWT membantu diri kita memiliki ilmu ketauhidan ini, yaitu:

 

A.     ILMU TAUHID MERUPAKAN DAKWAH PARA NABI DAN RASUL.

 

Tauhid adalah inti dakwah para Nabi dan Rasul, dari Nabi dan Rasul yang pertama sampai Nabi dan Rasul yang terakhir, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan jauhilah Thagut,” kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesuda-han orang yang mendustakan (rasul-rasul). (surat An Nahl (16) ayat 36).” Ayat ini menyatakan dengan jelas tentang “Sembahlah Allah dan Jauhilah Thagut” yang merupakan kunci utama dari dakwah para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT ke muka bumi termasuk di dalamnya kepada Nabi Muhammad SAW.

 

Lalu apa buktinya Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW melaksanakan konsep ketauhidan sebagai inti dakwah? Untuk itu mari kita perhatikan dakwah-dakwah para Nabi yang pernah diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Allah SWT sendiri dalam firman-Nya berikut ini:

 

1.       Dakwah Nabi Nuh as, sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 25-26 berikut ini: “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), “Sungguh aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kamu akan ditimpa azab yang sangat pedih.

 

2.       Dakwah Nabi Hud as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Hud (11) ayat 50 berikut ini: “Dan kepada kaum ‘Ad (Kami mengutus) saudara mereka, Hud. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah  Allah, tidak ada tuhan bagimu, selain Dia. (Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada.

 

3.       Dakwah Nabi Shaleh as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Hud (11) ayat 61 berikut ini: “Dan kepada kaum Samud (Kami utus)  saudara mereka, Saleh. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).

 

4.       Dakwah Nabi Musa as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Yunus (10) ayat 84 berikut ini: “Dan Musa berkata, “Wahai kaumku! Apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya, jika kamu benar-benar orang muslim (berserah diri).

 

5.       Dakwah Nabi Isa as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Maryam (19) ayat 36 berikut ini: “Isa berkata, “Dan sesungguhnya Allah itu Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.

 

6.       Dakwah Nabi Syu’aib as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Hud (11) ayat 84 berikut ini: “Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami utus) saudara mereka Syu’aib. Dia berkatam “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (makmur). Dan sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan (Kiamat).

 

7.       Dakwah Nabi Yusuf as, sebagaiman firman-Nya yang termaktub dalam surat Yusuf (12) ayat 40 berikut ini: “Apa yang kamu sembah selain Dia, hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat, baik oleh kamu sendiri maupun oleh nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal (nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

 

8.        Nabi Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul juga mendakwahkan sebagaimana yang Allah SWT perintahkan yaitu  mendakwahkan ketauhidan untuk beribadah hanya kepada Allah SWT dan memperingatkan tentang syirik, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad), melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah Aku. (surat Al Anbiyaa (21) ayat 25).

 

Inilah inti dari dakwah seluruh para Nabi dan Rasul,  juga termasuk kepada para Ulul ‘Azmi (dalam hal ini Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as, Nabi Muhammad SAW). Mereka semuanya berjalan di atas konsep dakwah yang satu yaitu tauhid.

 

Inilah kewajiban paling agung yang merupakan materi dakwah yang diusung oleh para nabi kepada Bani Adam. Materi dakwah yang mereka sampaikan hanya satu, yang merupakan kewajiban yang harus ditempuh ketika mengajak manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan ini juga merupakan jalan dakwah yang ditempuh para penerus dakwah rasul. Tidak boleh mengganti dan berpaling dari jalan dakwah ini. Dan dalam hadits banyak terdapat pelajaran tentang tahapan dalam berdakwah, yakni memulai dari yang paling penting kemudian baru yang lainnya.

 

Inilah jalan dakwah para rasul, mereka memulainya dengan dakwah kepada kalimat “Laa ilaaha ilallah”, karena hal ini merupakan pokok dan asas bangunan agama seseorang. Jika telah kokoh syahadatnya “Laa ilaaha ilallah”, maka memungkinkan dibangun di atasanya perkara yang lainnya. Adapun jika syahadatnya belum kokoh, maka tidak bermanfaat amal yang lainnya. Tidak mungkin Engkau memerintahkan manusia shalat sementara mereka masih musyrik, Engkau juga tidak bisa memerintahkan puasa, bersedekah, menyambung silaturahmi sementara mereka masih menyekutukan Allah, karena Engkau tidak meletakkan asas yang pertama.

 

Adanya contoh dakwah dari para Nabi di atas, yang kesemuanya adalah sama yaitu memperkenalkan terlebih dahulu konsep “Laa Ilaaha Illallah” kepada umatnya. Maka sudah seharusnya kita pun harus mampu pula melaksanakan konsep dakwah para Nabi sebagai prioritas utama, sebagaimana firman-Nya yang termaktub di dalam surat An Nahl (16) ayat 36 yang telah kami kemukakan di atas.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sekarang mari kita perhatikan apa yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziah berikut ini: “Barangsiapa yang ingin meninggikan suatu bangunan maka hendaklah ia memantapkan pondasinya, menguatkannya, dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya bangunan itu sesuai dengan kuatnya pondasi dan kemantapannya. Amal perbuatan serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan, sedangkan  pondasinya adalah iman. Semakin kokoh suatu pondasi akan menghasilkan bangunan yang tinggi dan kuat. Jika suatu bangunan roboh mudah untuk memperbaikinya. Namun jika pondasinya tidak kokoh, bangunan itu tidak akan tinggi dan kuat. Jika suatu pondasi telah hancur, maka bangunannya pun akan roboh. Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan pondasi. Sedangkan orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan hancur”. Beliau melanjutkan : “Maka buatlah bangunanmu di atas pondasi iman yang kokoh. Jika rusak bagian dari bangunan yang tinggi  maka memperbaikinya lebih mudah bagimu daripada hancurnya suatu pondasi. Pondasi ini terdiri dari dua macam. Pondasi pertama yaitu benarnya pengenalan terhadap Allah, perintah-perintah-Nya serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Yang kedua adalah ketundukan dan ketaatan hanya kepada Allah dan rasul-Nya dengan sebenar-benarnya. Inilah pondasi terkuat yang bisa digunakan oleh seseorang untuk menegakkan bangunannya dan ia bisa meninggikan bangunannya sesuka dia. Oleh karena itu, perkokohlah pondasi bangunan kalian, jagalah kekuatannya dan senantiasalah memeli-haranya

 

Selanjutnya, jika kita mau  berusaha untuk meneliti sejarah Rasulullah SAW maka kita akan dapat mengambil pelajaran (metode) berdakwah kepada Allah. Bahwasanya yang pertama kali yang diserukan kepada manusia adalah aqidah tentang beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya serta meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana ini merupakan makna dari kalimat Laa ilaaha ilallah.

 

Dan sesungguhnya Rasulullah SAW adalah uswah dalm segala hal termasuk dalam melaksanakan dakwah.  Beliau  tinggal di Makkah selama tiga belas tahun setelah diutus menjadi rasul, menyeru kepada manusia untuk memperbaiki aqidah dengan menyembah Allah semata dan meninggalakan peribadatan kepada berhala. Seruan ini beliau lakukan sebelum memerintahkan mereka untuk shalat, zakat, puasa, haji, dan meninggalkan kemaksiatan seperti riba, zina, meminum khamer, dan perjudian. Jangan sampai kita lebih mengedepankan mengajak manusia untuk meninggalkan riba, bergaul dengan baik sesama manusia, membahas bid’ah, berhukum dengan hukum yang Allah turunkan, dan permasalahan yang lainnya. Sehingga tidak memperhatikan perkara-perkara ketauhidan sehingga ketauhidan seolah-olah ini bukan sesuatu yang wajib yang dipelajari dan yang wajib dilaksanakan.

 

Jika hal ini terjadi maka hal ini menunjukkan dengan jelas kesalahan sebagian jamaah dan juga dakwah pada zaman ini yang tidak memprioritaskan aqidah dan hanya mementingkan dakwah terhadap perbaikan akhlak (dengan mengenyampingkan dakwah tentang ilmu tauhid). Mereka melihat kebanyakan manusia  melakukan perbuatan syirik akbar  di sekitar kuburan di negeri-negeri Islam namun tidak mengingkarinya, tidak melarang darinya, baik dengan perkataan, pada saat ceramah, atau dengan tulisan, kecuali hanya sebagian kecil saja. Bahkan terkadang mereka berada di antara barisan orang-orang yang melakukan syirik, bersatu dengan orang-orang yang menyimpang, tidak melarang dan memperingatkan mereka! Ayo mulai sekarang dahulukan belajar ilmu tauhid (ketauhidan) sebelum diri kita belajar ilmu yang lainnya. Jika ini mampu kita laksanakan maka kita telah mampu menempatkan Allah SWT di atas segala-galanya.

 

B.      ILMU TAUHID MERUPAKAN PERNYATAAN SIKAP RESMI RUH KEPADA ALLAH SWT.

 

Ilmu tauhid (ketauhidan) merupakan salah satu bentuk dari pernyataan sikap resmi dari ruh, yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya kepada Allah SWT selaku Tuhan baginya. Adanya kejadian yang terjadi sesaat setelah ruh mulai dipersatukan dengan jasad (jani) saat janin telah  berusia 120 (seratus dua puluh) hari di dalam rahim seorang ibu maka terjadilah apa yang dinamakan dengan “Perjanjian Pertama Manusia dengan Allah SWT”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang termaktub dalam surat Al A’raaf (7) ayat 172 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.

 

Untuk mempertegas sikap resmi ruh kepada Allah SWT yang tidak lain adalah bagian dari perjanjian pertama manusia dengan Allah SWT. Berikut akan kami kemukakan 3(tiga) buah keadaan yang wajib kita jadikan pedoman saat diri kita telah menyatakan ketauhidan hanya bertuhankan Allah SWT semata sebagaimana ketentuan surat Al A’raaf (7) ayat 172 di atas,  yaitu:   

 

1.       Adanya Pernyataan Allah SWT Bahwa Allah SWT Adalah Tuhan Bagi Diri Kita. Allah SWT telah menyatakan dengan tegas bahwa “Akulah Tuhan” yang berarti Akulah Pencipta, Akulah Pemelihara, Akulah Pengawas, Akulah Penguasa, Akulah Pengayom, Akulah Pembimbing, Akulah Penjaga, Akulah Pemberi dan seterusnya sesuai dengan kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya yang semuanya bersifat Baqa, bersifat Qiyamuhu Binafsih, bersifat Wahdaniah, bersifat Mukhalafatul Lil Hawadish, dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dan jika sekarang Allah SWT sudah memberikan kesaksian dan pernyataan tentang diri-Nya sendiri adalah Tuhan maka:

 

a.       Ilmu Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling kita;

b.       Pendengaran dan penglihatan Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; Demikian juga Qudrat dan Iradat selalu ada di tengah dan di sekeliling kita;

c.       Kalam dan Hayat selalu ada di tengah dan disekeliling kita; serta kasih sayang, pengawasan, pemeliharaan dari Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling diri kita.

 

Akhirnya kita tidak dapat dipisahkan dari ilmu, pendengaran, penglihatan, qudrat, iradat, kalam, hayat, kasih sayang, pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT. Jika itu semua adalah bentuk dari pernyataan dan kesaksian Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya, selanjutnya apakah kita akan menyianyiakannnya atau apakah kita akan mengabaikannya atau apakah kita mau menerima pernyataan dan kesaksian Allah SWT dengan sebenar-benarnya? Sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi kesaksian dan pernyataan Allah SWT itu, maukah kita menerima dan mempercayai atau menolak atau apakah kita akan menggantinya dengan yang lain? Yang pasti kita yang sangat membutuhkan Allah SWT sedangkan Allah SWT tidak butuh sama sekali dengan diri kita.

 

2.       Adanya Pernyataan Ruh kepada Allah SWT. Inilah pengakuan ruh saat masih di dalam rahim seorang ibu yaitu “Betul Engkau adalah Tuhan kami”.’ Ini berarti setiap ruh secara individual atau secara pribadi-pribadi tanpa terkecuali, telah mengakui dan juga  telah menyatakan dengan tegas tanpa ada  paksaan dari siapapun juga bahwa Allah SWT adalah Tuhan baginya dan bagi seluruh umat manusia. Selanjutnya apa yang terjadi setelah ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan? Adanya pengakuan ruh secara individual kepada Allah SWT berarti ruh telah memberikan kesaksian tentang Allah SWT sehingga ruh telah beriman, telah berakidah dan telah menyatakan syahadat ketauhidan kepada Allah SWT dan adanya kondisi ini terlihat dengan jelas bahwa ajaran Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi karena pernyataan ruh bersifat individual.  

 

Adanya pengakuan dan kesaksian ruh kepada Allah SWT bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita dikarenakan ruh telah mengenal siapa Allah SWT; Ruh tahu apa dan bagaimana Allah SWT; Ruh tahu dari mana ia berasal serta Ruh tahu bahwa Allah SWT-lah yang menciptakannya. Lalu apakah hanya itu saja sehingga Ruh mengakui Allah SWT adalah Tuhan? Ruh adalah bagian Nur Allah SWT, jika suatu bagian dipisahkan dari asalnya maka bagian yang dipisahkan pasti akan tahu, pasti akan mencari sesuatu yang sama dengan dirinya, pasti akan menuju kepada asalnya dan selanjutnya pasti akan mengetahui dari siapa asalnya tersebut. Jika ruh tahu bahwa Allah SWT adalah Tuhan dimana pernyataan itu sudah dinyatakan sejak awal kehidupan manusia atau sejak dipersatukannya ruh dengan jasmani maka apakah hal ini tidak cukup bagi kita untuk beriman kepada Allah SWT selama-lamanya.

 

3.       Sampai Kapankah Masa Berlakunya Pernyataan Ruh Kepada Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan masa berlakunya pernyataan ruh kepada Allah SWT, apakah memiliki masa berlaku? Pernyataan ruh kepada Allah SWT juga memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti  umum dan masa berlaku dalam arti khusus. Secara umum masa berlakunya sepanjang manusia ada di muka bumi atau sepanjang di muka bumi ini masih ada manusia atau sepanjang masih ada kehidupan manusia di muka bumi maka pernyataan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT masih berlaku sampai dengan hari kiamat.

 

Sekarang bagaimana dengan masa berlaku pernyataan ruh dalam arti khusus yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi pribadi-pribadi? Bagi individual atau secara pribadi-pribadi masa berlaku pernyataan ruh kepada Allah SWT dapat dibedakan menjadi 2(dua) yaitu:  

 

a.        Dimulai dari saat ditiupkannya ruh ke dalam jasmani sampai dengan sebelum ruh tiba dikerongkongan atau;

b.       Dimulai dari saat ditiupkannya ruh dalam jasmani sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau melaksanakan pernyataan yang telah kita buat atau diri kita sendiri yang memutuskan hubungan dengan Allah SWT dengan tidak mau lagi melaksanakan komitmen bertuhankan kepada Allah SWT.

 

Selanjutnya jika dalam kehidupan sehari-hari ada istilah anak durhaka, yaitu suatu istilah bagi anak yang memutuskan hubungan dengan orang tua, maka istilah anak durhakapun (maksudnya adalah orang yang kafir) akan terjadi jika diri kita tidak mau melaksanakan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT yang berarti kita telah memutus hubungan dengan Allah SWT.

 

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, maka dapat dikatakan bahwa masa berlaku pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT  bagi individual sangat tergantung kepada individu-individu itu sendiri, yaitu:

 

a.        Apakah ia mau menerima, apakah ia mau melaksanakan komitmen ruh untuk tetap bertuhankan kepada Allah SWT ataukah;

b.       Apakah ia tidak mau menerima dan tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT.

 

Jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan pengakuan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT maka masa berlaku pernyataan bertuhankan hanya kepada Allah SWT (syahadat ketauhidan) yang kita lakukan akan panjang, selama pengakuan tersebut terus kita lakukan dari waktu ke waktu selama hayat di kandung badan. Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan untuk tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT maka sampai disitulah masa berlaku syahadat yang kita lakukan atau berakhirlah pernyataan  diri kita kepada Allah SWT. Sekarang pilihan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan komitmen yang telah ruh lakukan untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT tergantung pada diri kita sendiri.Selanjutnya jika diri kita telah menyatakan dan memberikan pernyataan kontrak secara permanen, selanjutnya bagaimanakah kita harus bersikap? Kita wajib mematuhi pernyataan yang telah diucapkan pada waktu ruh kita masih di dalam rahim seorang ibu sampai ruh itu tiba di kerongkongan kelak. Lalu bagaimana dengan pernyataan Allah SWT yang telah siap menjadi Tuhan bagi seluruh ciptaannya? Yang Jelas dan teramat jelas adalah bahwa Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji terhadap penyataan tentang ketuhanan yang melekat dalam dzatnya Allah SWT.

 

Sekarang setelah menjalani hidup di dunia atau setelah menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, bagaimanakah kualitas dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT, apakah masih tetap utuh seperti sediakala ataukah  sudah berubah atau-kah  kita telah melanggar janji dengan berubah sikap sehingga tidak lagi mau mengakui Allah SWT sebagai Tuhan? Mudah-mudahan kualitas dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT tidak berubah sedikitpun sehingga kemudahan menjadi khalifah di muka bumi yang sekaligus makhluk pilihan dapat kita rasakan dan nikmati dan selanjutnya dapat menghantarkan diri kita ke “Kampung Kebahagiaan”. Terkecuali jika kita hendak pulang ke” Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan” maka lakukanlah ingkar janji atau berpalinglah dari pernyataan dan kesaksian kita kepada Allah SWT. Selamat memilih dan menentukan sikap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar