Ilmu tauhid (ketauhidan) sebagai ilmu dasar sebelum diri kita
mempelajari ilmu-ilmu yang lainnya, mengharuskan diri memiliki ilmu tentang
Allah SWT (ilmu ketauhidan) terlebih dahulu yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini. Hal ini diperkuat dengan
kondisi diri kita yang hanyalah sesuatu yang diciptakan oleh Allah SWT dalam
batasan waktu tertentu sehingga lamanya hidup di dunia ditentukan oleh Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik. Adanya kondisi ini menjelaskan bahwa diri kita
hanyalah orang yang menumpang (tamu) yang tidak bisa selamanya menumpang
sehingga kita wajib memahami tentang Allah SWT selaku tuan rumah, sehingga
hidup yang kita jalani ini harus sesuai dengan konsep yang dikehendaki oleh
Allah SWT yaitu: dari Allah kembali kembali kepada Allah SWT yang di dalam
pelaksanaannya wajib selaras dengan ketentuan datang fitrah kembali fitrah
untuk bertemu dengan yang maha fitrah di tempat yang fitrah.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sudahkah
kita memiliki ilmu dan pemahaman tentang konsep datang fitrah kembali fitrah saat
hidup di muka bumi ini. Lalu bagaimana caranya kita melaksanakan konsep datang
fitrah kembali fitrah jika kita sendiri malas untuk belajar tentang ilmu tauhid
(ketauhidan) dan bahkan kita sendiri tidak tahu siapa itu Allah SWT dan apa
hubungannya dengan diri kita. Alangkah ngerinya hidup ini jika kita tidak tahu
siapa Allah dan siapa diri kita dan semoga hal ini tidak terjadi pada diri kita
dan juga pada anak keturunan kita! Dan sebagai orang yang membutuhkan ilmu
tauhid (ketauhidan) maka sudah sepatutnya kita mempelajarinya dengan
sungguh-sungguh ilmu tauhid (ketauhidan) dan semoga Allah SWT memudahkan diri
kita mempelajarinya dan memudahkan pula kita untuk melaksanakan apa-apa yang
telah kita pelajari. Amiin.
Kata tauhid secara bahasa Arab merupakan
bentuk masdar dari fi’il “wahhadayuwah- hidu” (dengan huruf ha di
tasydid), yang artinya menjadikan sesuatu satu saja. Dimana kata tauhid secara
bahasa dapat diartikan sebagai keesaan, mengesakan Tuhan. Mengesakan Tuhan
berarti meyakini bahwa Allah itu Tuhan itu Maha Esa. Tuhan Maha Esa itu ialah
Allah SWT sehingga kita wajib menjadikannya sebagai satu-satunya sesembahan
yang benar dengan segala kekhususannya. Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa secara istilah ilmu tauhid (ketauhidan)
memiliki 2 (dua) buah pengertian yang sangat mendasar, yaitu :
1.
Pengertian secara umum yaitu: “Meng-Esakan Allah dalam hal
seluruh yang menjadi
kekhususan Allah menggunakan ilmu, keimanan, ‘perbuatan dari semua yang ada
hubungannya dengan asma Allah, Sifat Allah, Perilaku (perbuatan) Allah, dan
Peribadatan terhadap Allah. (uluhiyah, rububiyah, asma wa sifat)”
2.
Pengertian secara khusus yaitu : “Meng-Esakan Allah dalam hal
ibadah kepada-Nya, yaitu hanya beribadah kepada Allah saja dengan tidak
mensekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, sehingga akan mengesakan Allah saja
satu-satunya dengan ibadah, dengan penghormatan, dengan pengagungan serta
meyakini kenabian Nabi Muhammad SAW bahwa beliau adalah penutup para Nabi dan
Rasul dan mengikuti beliau dengan apa-apa yang dibawa oleh beliau dari Allah
SWT.
Adanya pengertian secara khusus tentang ilmu
tauhid (ketauhidan) maka Ilmu tauhid dapat pula dikatakan sebagai suatu ilmu
yang mempelajari atau membahas tentang segala sesuatu kepercayaan atau keimanan
yang diambil dari dalil-dalil keyakinan dan hukum dalam Islam termasuk hukum
tentang mempercayakan bahwa Allah itu esa. Dan adapun tujuan dari mempelajari
ilmu tauhid ialah untuk mengenal Allah secara lebih dekat dan Rasul-Nya dengan
dalil-dalil yang pasti kebenarannya. Seorang muslim pastinya wajib
mempercayai keesaan Allah. Dan untuk mempertegas tentang pengertian dasar dari ilmu
tauhid (ketauhidan) di atas dan dalam kerangka menambah wawasan tentang ilmu
tauhid (ketauhidan), maka kita harus melanjutkan dengan belajar tentang pengertian
(pemaknaan) dasar dari ilmu ketauhidan yang
lainnya, yang kesemuanya menunjukkan betapa pentingnya ilmu tauhid (ketauhidan)
bagi kebahagiaan hidup dan kehidupan manusia baik di dunia dan di akhirat kelak.
Dan inilah ilmu tauhid (ketauhidan) yang kita
butuhkan dalam hidup dan kehidupan dan semoga Allah SWT membantu diri kita
memiliki ilmu ketauhidan ini, yaitu:
A.
ILMU TAUHID MERUPAKAN
DAKWAH PARA NABI DAN RASUL.
Tauhid adalah inti
dakwah para Nabi dan Rasul, dari Nabi dan Rasul yang pertama sampai Nabi dan
Rasul yang terakhir, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan sungguh, Kami telah mengutus
seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah dan
jauhilah Thagut,” kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah
dan ada yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan
perhatikanlah bagaimana kesuda-han orang yang mendustakan (rasul-rasul). (surat
An Nahl (16) ayat 36).” Ayat ini menyatakan dengan jelas tentang “Sembahlah Allah dan Jauhilah Thagut” yang
merupakan kunci utama dari dakwah para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT ke
muka bumi termasuk di dalamnya kepada Nabi Muhammad SAW.
Lalu apa buktinya
Nabi dan Rasul sebelum Nabi Muhammad SAW melaksanakan konsep ketauhidan sebagai
inti dakwah? Untuk itu mari kita perhatikan dakwah-dakwah para Nabi yang pernah
diutus oleh Allah SWT ke muka bumi ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Allah
SWT sendiri dalam firman-Nya berikut ini:
1. Dakwah Nabi Nuh as,
sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 25-26 berikut ini: “Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, (dia berkata), “Sungguh aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata
bagi kamu, agar kamu tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir
kamu akan ditimpa azab yang sangat pedih.”
2. Dakwah Nabi Hud as,
sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Hud (11) ayat 50 berikut ini:
“Dan kepada kaum ‘Ad (Kami mengutus)
saudara mereka, Hud. Dia berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu, selain Dia.
(Selama ini) kamu hanyalah mengada-ada.”
3. Dakwah Nabi Shaleh
as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Hud (11) ayat 61 berikut
ini: “Dan kepada kaum Samud (Kami
utus) saudara mereka, Saleh. Dia
berkata, “Wahai kaumku! Sembahlah Allah, tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dia
telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya, karena itu
mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya
Tuhanku sangat dekat (rahmat-Nya) dan memperkenankan (doa hamba-Nya).”
4. Dakwah Nabi Musa as,
sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Yunus (10) ayat 84 berikut
ini: “Dan Musa berkata, “Wahai kaumku!
Apabila kamu beriman kepada Allah, maka bertawakkallah kepada-Nya, jika kamu
benar-benar orang muslim (berserah diri).”
5. Dakwah Nabi Isa as,
sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Maryam (19) ayat 36 berikut
ini: “Isa berkata, “Dan sesungguhnya
Allah itu Tuhanku dan Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Ini adalah jalan yang lurus.”
6. Dakwah Nabi Syu’aib
as, sebagaimana firman-Nya yang termaktub dalam surat Hud (11) ayat 84 berikut
ini: “Dan kepada (penduduk) Madyan (Kami
utus) saudara mereka Syu’aib. Dia berkatam “Wahai kaumku! Sembahlah Allah,
tidak ada tuhan bagimu selain Dia. Dan janganlah kamu kurangi takaran dan
timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan baik (makmur). Dan
sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa azab pada hari yang membinasakan
(Kiamat).”
7. Dakwah Nabi Yusuf as,
sebagaiman firman-Nya yang termaktub dalam surat Yusuf (12) ayat 40 berikut
ini: “Apa yang kamu sembah selain Dia,
hanyalah nama-nama yang kamu buat-buat, baik oleh kamu sendiri maupun oleh
nenek moyangmu. Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun tentang hal
(nama-nama) itu. Keputusan itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan
agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
8.
Nabi
Muhammad SAW sebagai penutup para nabi dan rasul juga mendakwahkan sebagaimana
yang Allah SWT perintahkan yaitu mendakwahkan
ketauhidan untuk beribadah hanya kepada Allah SWT dan memperingatkan tentang
syirik, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun sebelum engkau (Muhammad),
melainkan Kami wahyukan kepadanya, bahwa tidak ada tuhan (yang berhak disembah)
selain Aku, maka sembahlah Aku. (surat Al Anbiyaa (21) ayat 25).”
Inilah inti dari dakwah
seluruh para Nabi dan Rasul, juga
termasuk kepada para Ulul ‘Azmi (dalam hal ini Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim as, Nabi Musa as, Nabi Isa as, Nabi Muhammad
SAW). Mereka semuanya berjalan di atas konsep dakwah yang satu yaitu
tauhid.
Inilah kewajiban
paling agung yang merupakan materi dakwah yang diusung oleh para nabi kepada Bani
Adam. Materi dakwah yang mereka sampaikan hanya satu, yang merupakan kewajiban
yang harus ditempuh ketika mengajak manusia kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan
ini juga merupakan jalan dakwah yang ditempuh para penerus dakwah rasul. Tidak boleh
mengganti dan berpaling dari jalan dakwah ini. Dan dalam hadits banyak terdapat
pelajaran tentang tahapan dalam berdakwah, yakni memulai dari yang paling
penting kemudian baru yang lainnya.
Inilah jalan dakwah
para rasul, mereka memulainya dengan dakwah kepada kalimat “Laa ilaaha ilallah”, karena hal ini
merupakan pokok dan asas bangunan agama seseorang. Jika telah kokoh syahadatnya
“Laa ilaaha ilallah”, maka
memungkinkan dibangun di atasanya perkara yang lainnya. Adapun jika syahadatnya belum kokoh, maka tidak bermanfaat amal yang
lainnya. Tidak mungkin Engkau memerintahkan manusia shalat sementara mereka
masih musyrik, Engkau juga tidak bisa memerintahkan puasa, bersedekah,
menyambung silaturahmi sementara mereka masih menyekutukan Allah, karena Engkau
tidak meletakkan asas yang pertama.
Adanya contoh dakwah dari
para Nabi di atas, yang kesemuanya adalah sama yaitu memperkenalkan terlebih
dahulu konsep “Laa Ilaaha Illallah” kepada
umatnya. Maka sudah seharusnya kita pun harus mampu pula melaksanakan konsep dakwah
para Nabi sebagai prioritas utama, sebagaimana firman-Nya yang termaktub di
dalam surat An Nahl (16) ayat 36 yang telah kami kemukakan di atas.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sekarang mari kita
perhatikan apa yang dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al Jauziah berikut ini: “Barangsiapa
yang ingin meninggikan suatu bangunan maka hendaklah ia memantapkan pondasinya,
menguatkannya, dan harus lebih memperhatikannya. Karena sesungguhnya tingginya
bangunan itu sesuai dengan kuatnya pondasi dan kemantapannya. Amal perbuatan
serta derajat kemuliaan manusia adalah sebuah bangunan, sedangkan
pondasinya adalah iman. Semakin kokoh suatu pondasi akan menghasilkan
bangunan yang tinggi dan kuat. Jika suatu bangunan roboh mudah untuk
memperbaikinya. Namun jika pondasinya tidak kokoh, bangunan itu tidak akan tinggi
dan kuat. Jika suatu pondasi telah hancur, maka bangunannya pun akan roboh.
Orang yang bijaksana akan lebih memperhatikan perbaikan pondasi. Sedangkan
orang yang bodoh akan meninggikan bangunan tanpa memperhatikan kondisi
pondasinya, sehingga tidak berapa lama lagi bangunan itu akan hancur”. Beliau
melanjutkan : “Maka buatlah bangunanmu di atas pondasi iman yang kokoh. Jika
rusak bagian dari bangunan yang tinggi maka memperbaikinya lebih mudah
bagimu daripada hancurnya suatu pondasi. Pondasi ini terdiri dari dua macam.
Pondasi pertama yaitu benarnya pengenalan terhadap Allah, perintah-perintah-Nya
serta nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Yang kedua adalah ketundukan dan ketaatan
hanya kepada Allah dan rasul-Nya dengan sebenar-benarnya. Inilah pondasi terkuat
yang bisa digunakan oleh seseorang untuk menegakkan bangunannya dan ia bisa
meninggikan bangunannya sesuka dia. Oleh karena itu, perkokohlah pondasi
bangunan kalian, jagalah kekuatannya dan senantiasalah memeli-haranya”
Selanjutnya, jika
kita mau berusaha untuk meneliti sejarah
Rasulullah SAW maka kita akan dapat mengambil pelajaran (metode) berdakwah
kepada Allah. Bahwasanya yang pertama kali yang diserukan kepada manusia adalah
aqidah tentang beribadah hanya kepada Allah semata dan tidak menyekutukannya
serta meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya, sebagaimana ini merupakan
makna dari kalimat Laa ilaaha ilallah.
Dan sesungguhnya
Rasulullah SAW adalah uswah dalm segala hal termasuk dalam melaksanakan
dakwah. Beliau tinggal di Makkah selama tiga belas tahun setelah
diutus menjadi rasul, menyeru kepada manusia untuk memperbaiki aqidah dengan
menyembah Allah semata dan meninggalakan peribadatan kepada berhala. Seruan ini
beliau lakukan sebelum memerintahkan mereka untuk shalat, zakat, puasa, haji, dan
meninggalkan kemaksiatan seperti riba, zina, meminum khamer, dan perjudian. Jangan sampai
kita lebih mengedepankan mengajak manusia untuk meninggalkan riba, bergaul
dengan baik sesama manusia, membahas bid’ah, berhukum dengan hukum yang Allah
turunkan, dan permasalahan yang lainnya. Sehingga tidak memperhatikan
perkara-perkara ketauhidan sehingga ketauhidan seolah-olah ini bukan sesuatu
yang wajib yang dipelajari dan yang wajib dilaksanakan.
Jika hal ini terjadi
maka hal ini menunjukkan dengan jelas kesalahan sebagian jamaah dan juga dakwah
pada zaman ini yang tidak memprioritaskan aqidah dan hanya mementingkan dakwah
terhadap perbaikan akhlak (dengan mengenyampingkan dakwah tentang ilmu tauhid).
Mereka melihat kebanyakan manusia
melakukan perbuatan syirik akbar di sekitar kuburan di negeri-negeri
Islam namun tidak mengingkarinya, tidak melarang darinya, baik dengan
perkataan, pada saat ceramah, atau dengan tulisan, kecuali hanya sebagian kecil
saja. Bahkan terkadang mereka berada di antara barisan orang-orang yang
melakukan syirik, bersatu dengan orang-orang yang menyimpang, tidak melarang
dan memperingatkan mereka! Ayo mulai sekarang dahulukan belajar ilmu tauhid (ketauhidan)
sebelum diri kita belajar ilmu yang lainnya. Jika ini mampu kita laksanakan
maka kita telah mampu menempatkan Allah SWT di atas segala-galanya.
B.
ILMU TAUHID MERUPAKAN
PERNYATAAN SIKAP RESMI RUH KEPADA ALLAH SWT.
Ilmu tauhid
(ketauhidan) merupakan salah satu bentuk dari pernyataan sikap resmi dari ruh,
yang tidak lain adalah jati diri manusia yang sesungguhnya kepada Allah SWT
selaku Tuhan baginya. Adanya kejadian yang terjadi sesaat setelah ruh mulai
dipersatukan dengan jasad (jani) saat janin telah berusia 120 (seratus dua puluh) hari di dalam
rahim seorang ibu maka terjadilah apa yang dinamakan dengan “Perjanjian Pertama Manusia dengan Allah SWT”.
Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya yang termaktub
dalam surat Al A’raaf (7) ayat 172 berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”.
Untuk mempertegas
sikap resmi ruh kepada Allah SWT yang tidak lain adalah bagian dari perjanjian
pertama manusia dengan Allah SWT. Berikut akan kami kemukakan 3(tiga) buah keadaan
yang wajib kita jadikan pedoman saat diri kita telah menyatakan ketauhidan
hanya bertuhankan Allah SWT semata sebagaimana ketentuan surat Al A’raaf (7)
ayat 172 di atas, yaitu:
1.
Adanya Pernyataan Allah SWT Bahwa Allah SWT Adalah Tuhan
Bagi Diri Kita. Allah
SWT telah menyatakan dengan tegas bahwa “Akulah Tuhan” yang berarti Akulah Pencipta,
Akulah Pemelihara, Akulah Pengawas, Akulah Penguasa, Akulah Pengayom, Akulah
Pembimbing, Akulah Penjaga, Akulah Pemberi dan seterusnya sesuai dengan kebesaran
dan kemahaan yang dimiliki-Nya yang semuanya bersifat Baqa, bersifat
Qiyamuhu Binafsih, bersifat Wahdaniah, bersifat Mukhalafatul Lil Hawadish,
dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dan jika sekarang Allah SWT sudah
memberikan kesaksian dan pernyataan tentang diri-Nya sendiri adalah Tuhan maka:
a.
Ilmu Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling
kita;
b.
Pendengaran dan penglihatan Allah SWT selalu ada di
tengah dan di sekeliling kita; Demikian juga Qudrat dan Iradat selalu ada di
tengah dan di sekeliling kita;
c.
Kalam dan Hayat selalu ada di tengah dan disekeliling
kita; serta kasih sayang, pengawasan, pemeliharaan dari Allah SWT selalu ada di
tengah dan di sekeliling diri kita.
Akhirnya kita tidak
dapat dipisahkan dari ilmu, pendengaran, penglihatan, qudrat, iradat, kalam,
hayat, kasih sayang, pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT. Jika itu semua
adalah bentuk dari pernyataan dan kesaksian Allah SWT kepada seluruh
makhluk-Nya, selanjutnya apakah kita akan menyianyiakannnya atau apakah kita
akan mengabaikannya atau apakah kita mau menerima pernyataan dan kesaksian
Allah SWT dengan sebenar-benarnya? Sekarang tinggal
bagaimana kita menyikapi kesaksian dan pernyataan Allah SWT itu, maukah kita
menerima dan mempercayai atau menolak atau apakah kita akan menggantinya dengan
yang lain? Yang pasti kita yang sangat membutuhkan Allah SWT sedangkan Allah
SWT tidak butuh sama sekali dengan diri kita.
2.
Adanya Pernyataan Ruh
kepada Allah SWT. Inilah
pengakuan ruh saat masih di dalam rahim seorang ibu yaitu “Betul Engkau adalah Tuhan kami”.’ Ini berarti setiap ruh secara
individual atau secara pribadi-pribadi tanpa terkecuali, telah mengakui dan
juga telah menyatakan dengan tegas tanpa
ada paksaan dari siapapun juga bahwa
Allah SWT adalah Tuhan baginya dan bagi seluruh umat manusia. Selanjutnya apa
yang terjadi setelah ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan? Adanya pengakuan
ruh secara individual kepada Allah SWT berarti ruh telah memberikan kesaksian
tentang Allah SWT sehingga ruh telah beriman, telah berakidah dan telah
menyatakan syahadat ketauhidan kepada Allah SWT dan adanya kondisi ini terlihat
dengan jelas bahwa ajaran Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi karena
pernyataan ruh bersifat individual.
Adanya pengakuan dan
kesaksian ruh kepada Allah SWT bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita
dikarenakan ruh telah mengenal siapa Allah SWT; Ruh tahu apa dan bagaimana
Allah SWT; Ruh tahu dari mana ia berasal serta Ruh tahu bahwa Allah SWT-lah
yang menciptakannya. Lalu apakah hanya itu saja sehingga Ruh mengakui Allah SWT
adalah Tuhan? Ruh
adalah bagian Nur Allah SWT, jika suatu bagian dipisahkan dari asalnya maka
bagian yang dipisahkan pasti akan tahu, pasti akan mencari sesuatu yang sama
dengan dirinya, pasti akan menuju kepada asalnya dan selanjutnya pasti akan
mengetahui dari siapa asalnya tersebut. Jika ruh tahu bahwa Allah SWT
adalah Tuhan dimana pernyataan itu sudah dinyatakan sejak awal kehidupan
manusia atau sejak dipersatukannya ruh dengan jasmani maka apakah hal ini tidak
cukup bagi kita untuk beriman kepada Allah SWT selama-lamanya.
3. Sampai Kapankah Masa Berlakunya Pernyataan Ruh Kepada
Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan masa berlakunya pernyataan
ruh kepada Allah SWT, apakah memiliki masa berlaku? Pernyataan ruh kepada Allah
SWT juga memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku dalam arti khusus.
Secara umum masa berlakunya sepanjang manusia ada di muka bumi atau sepanjang
di muka bumi ini masih ada manusia atau sepanjang masih ada kehidupan manusia
di muka bumi maka pernyataan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT masih
berlaku sampai dengan hari kiamat.
Sekarang bagaimana dengan masa berlaku pernyataan
ruh dalam arti khusus yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi
pribadi-pribadi? Bagi individual atau secara pribadi-pribadi masa berlaku
pernyataan ruh kepada Allah SWT dapat dibedakan menjadi 2(dua) yaitu:
a.
Dimulai dari saat ditiupkannya
ruh ke dalam jasmani sampai dengan sebelum ruh tiba dikerongkongan atau;
b.
Dimulai dari saat ditiupkannya ruh dalam jasmani
sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau melaksanakan
pernyataan yang telah kita buat atau diri kita sendiri yang memutuskan hubungan
dengan Allah SWT dengan tidak mau lagi melaksanakan komitmen bertuhankan kepada
Allah SWT.
Selanjutnya jika dalam kehidupan sehari-hari ada
istilah anak durhaka, yaitu suatu istilah bagi anak yang memutuskan hubungan
dengan orang tua, maka istilah anak durhakapun (maksudnya adalah orang yang kafir) akan terjadi jika diri kita
tidak mau melaksanakan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT yang berarti kita
telah memutus hubungan dengan Allah SWT.
Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, maka
dapat dikatakan bahwa masa berlaku pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT bagi individual sangat tergantung kepada
individu-individu itu sendiri, yaitu:
a.
Apakah
ia mau menerima, apakah ia mau melaksanakan komitmen ruh untuk tetap bertuhankan
kepada Allah SWT ataukah;
b. Apakah ia tidak mau
menerima dan tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah
SWT.
Jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan
pengakuan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT maka masa berlaku pernyataan
bertuhankan hanya kepada Allah SWT (syahadat ketauhidan) yang kita lakukan akan
panjang, selama pengakuan tersebut terus kita lakukan dari waktu ke waktu
selama hayat di kandung badan. Demikian pula sebaliknya, jika kita memutuskan
untuk tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan hanya kepada Allah
SWT maka sampai disitulah masa berlaku syahadat yang kita lakukan atau
berakhirlah pernyataan diri kita kepada
Allah SWT. Sekarang pilihan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan komitmen
yang telah ruh lakukan untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT tergantung pada
diri kita sendiri.Selanjutnya
jika diri kita telah menyatakan dan memberikan pernyataan kontrak secara
permanen, selanjutnya bagaimanakah kita harus bersikap? Kita wajib mematuhi pernyataan yang telah
diucapkan pada waktu ruh kita masih di dalam rahim seorang ibu sampai ruh itu tiba
di kerongkongan kelak. Lalu bagaimana dengan pernyataan Allah SWT yang
telah siap menjadi Tuhan bagi seluruh ciptaannya? Yang Jelas dan teramat jelas
adalah bahwa Allah SWT tidak akan pernah ingkar janji terhadap penyataan
tentang ketuhanan yang melekat dalam dzatnya Allah SWT.
Sekarang setelah
menjalani hidup di dunia atau setelah menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah
khalifah-Nya di muka bumi, bagaimanakah kualitas dari pernyataan diri kita
kepada Allah SWT, apakah masih tetap utuh seperti sediakala ataukah sudah berubah atau-kah kita telah melanggar janji dengan berubah sikap
sehingga tidak lagi mau mengakui Allah SWT sebagai Tuhan? Mudah-mudahan kualitas dari pernyataan diri kita kepada Allah SWT tidak
berubah sedikitpun sehingga kemudahan menjadi khalifah di muka bumi yang
sekaligus makhluk pilihan dapat kita rasakan dan nikmati dan selanjutnya dapat
menghantarkan diri kita ke “Kampung Kebahagiaan”. Terkecuali jika kita hendak pulang ke”
Kampung Kesengsaraan dan Kebinasaan” maka lakukanlah ingkar janji atau
berpalinglah dari pernyataan dan kesaksian kita kepada Allah SWT.
Selamat memilih dan menentukan sikap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar