Saat
ini, kita telah mengetahui tentang syarat-syarat bersyahadat dan kita juga telah
pula mengetahui dan juga telah mampu melaksanakan syahadat ketauhidan dan juga syahadat
kerasulan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Sekarang ada baiknya kita
juga harus mengetahui pula perkara-perkara yang membatalkan syahadat yang telah
kita laksanakan (yang menjadikan diri
kita keluar dari agama Islam). Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh “Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab” dalam bukunya “Nawaqidhul Islam” dalam laman “almanhaj.or.id” berikut ini dan
semoga kita tetap istiqamah dalam ketauhidan :
1. Pembatal syahadat yang pertama adalah menyekutukan Allah
(berbuat syirik) se- bagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 48
berikut ini: “Sesungguh-nya Allah tidak akan mengampuni dosa karena
mempersekutukan-Nya (syirik) , dan Dia mengampuni dosa selain syirik itu bagi
siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia
telah berbuat dosa yang besar. (surat An Nisaa’ (4) ayat 48).”
Dan juga berdasarkan
ketentuan surat Al Maaidah (5) ayat 72 sebagaimana berikut ini: “Sungguh,
telah kafir orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah itu dialah Al Masih
putra Maryam.” Padahal Al Masih (sendiri berkata), “Wahai Bani Israil sembahlah
Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya barangsiapa mempersekutukan (sesuatu
dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan syurga baginya, dan tempatnya
ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang yang dzalim itu.
(surat Al Maaidah (5) ayat 72).”
Adapun tindakan
menyekutukan Allah SWT dengan menjadikan sekutu sebagai perantara antara
dirinya dengan Allah. Apa contohnya? Contohnya adalah berdoa, memohon syafa'at,
bertawakkal, beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang dituju-kan kepada
selain Allah, dengan keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat
menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat bagi dirinya. Hasil akhir dar
perbuatan mempersekutukan Allah SWT adalah pulang kampung ke neraka jahannam
karena syurga telah diharamkan bagi orang-orang yang berbuat syirik.
2. Pembatal syahadat berikutnya adalah beragama selain agama Islam (sehingga menjadi orang yang kafir) saat mereka hidup di muka bumi yang
diciptakan dan yang dimiliki oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya berikut ini:
“Dan
barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat
dia termasuk orang yang rugi. (surat Ali Imran (3) ayat 85).” Hasil
akhir dari perbuatan ini adalah menjadi orang yang merugi di akhirat yang
tempat kembalinya adalah neraka jahannam, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sungguh,
orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan
masuk) ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu
adalah sejahat-jahat makhluk. (surat Al Bayyinah (98) ayat 6).”
3. Pembatal syahadat yang lainnya adalah menjadikan
(mengadakan) adanya petun-juk lain (seperti hukum jahiliyah) yang kedudukannya
diletakkan lebih sempurna diban-dingkan dengan petunjuk Allah SWT (dalam hal
ini adalah AlQuran) sebagai-mana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapakah yang lebih baik daripada
(hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)? (surat Al Maaidah (5)
ayat 50).”
Adanya kondisi ini
maka orang-orang yang tidak memutuskan perkara menurut hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu
a. Karena
benci dan ingkarnya kepada hukum Allah maka orang yang semacam ini masuk dalam
kategori kafir, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “……, Barangsiapa tidak memutuskan
dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir. (surat
Al Maaidah (5) ayat 44).”
b. Karena memperturutkan
ahwa (hawa nafsu) dan merugikan orang lain dina-makan dengan orang yang dzalim,
“…..,
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka
mereka itulah orang-orang dzalim. (surat Al Maaidah (5) ayat 45).”
c. Karena
fasik. sebagaimana yang termaktub di dalam AlQuran surat Al Maa-idah (5) ayat 47
berikut ini: “….., Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah
orang-orang fasik. (surat Al Maaidah (5) ayat 47).”
4.
Pembatal syahadat yang lainnya adalah membenci apa yang diturunkan
oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW, dalam hal ini adalah AlQuran,
sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan orang-orang yang kafir maka celakalah
mereka, dan Allah menghapus segala amalnya. Yang demikian itu karena membenci
apa (AlQuran) yang diturunkan Allah, maka Allah akan menghapus segala amal
mereka. (surat Muhammad (47) ayat 8-9).”
5. Pembatal syahadat berikutnya adalah menghina Diinul Islam;
orang yang meng-olok-olok (mempermainkan) Allah SWT dan Rasul-Nya, AlQuran,
Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah
satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji,
thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah atau menghina masjid, adzan, dan
syi’ar-syi’ar agama Allah pada tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan
Islam serta terdapat keberkahan padanya, maka telah batal keislaman seseorang. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan jika kamu tanyakan kepada
mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda-gurau
dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya
serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak perlu kamu meminta maaf,
karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu
(karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena
sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa. (surat At
Taubah (9) ayat 65-66).”
6. Pembatal syahadat yang berikutnya adalah melakukan tindakan
(perbuatan) sihir yang merugikan diri sendiri ataupun merugikan orang lain.
Sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “……., Maka mereka mempelajari dari
keduanya (malaikat itu) apa yang (dapat) memisahkan antara seorang suami dengan
istrinya. Mereka tidak dapat mencelakakan seseorang dengan sihirnya kecuali dengan izin Allah.
Mereka mempelajari sesuatu yang mencelakakan, dan tidak memberi manfaat kepada
mereka. Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan) sihir
itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah
buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka
tahu. (surat Al Baqarah (2) ayat 102).”
7. Pembatal syahadat berikutnya adalah memberikan
pertolongan dan bantuan kepa-da orang-orang kafir dalam rangka memerangi kaum
Muslim secara sadar sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Maaidah (5) ayat 57
berikut ini: “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan pemimpinmu
orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di
antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orang-orang kafir
(orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu orang-orang beriman.
(surat Al Maaidah (5) ayat 57).”
8. Pembatal syahadat berikutnya adalah meyakini bahwa
manusia bisa bebas keluar masuk dari
syari’at Islam sehingga mengabaikan Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa berita
gembira dan sebagai pemberi peringatan, sebagaimana dikemukakan dalam
firman-Nya berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), Wahai manusia!
Sesungguh-nya aku ini utusan Allah bagi kamu semua, Yang memiliki kerajaan
langit dan bumi; tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Yang
menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya,
(yaitu) Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya). Ikutikah dia, agar kamu mendapat petunjuk. (surat Al A’raaf
(7) ayat 158).”
Dan juga berdasarkan ketentuan
surat Saba’ (34) ayat 28 yang kami kemukakan berikut ini: “Dan Kami tidak mengutus engkau
(Muhammad), melainkan kepada semua umat manusia sebagai pembawa berita gembir a
dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
(surat Saba’ (34) ayat 28).”
9. Pembatal syahadat yang lainnya adalah berpaling dari
agama Islam sehingga ia ti-dak mau mempelajarinya atau bahkan tidak mau beramal
dengannya. Selain itu berpaling dari apa yang telah diperingatkan oleh Allah
SWT juga adalah pembatal syahadat sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan
siapakah yang lebih dzalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan
ayat-ayat Tuhannya, kemudian dia berpaling darinya? Sungguh, Kami akan
memberikan balasan kepada orang-orang yang berdosa. (surat As Sajadah (32) ayat
22).” Dan juga berdasarkan
ketentuan surat Thaahaa (20) ayat 124 berikut ini: “Dan barangsiapa berpaling dari
peringatan-Ku, maka sungguh dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami
akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (surat Thaahaa (20)
ayat 124).”
10. Pembatal syahadat yang terakhir adalah menjadikan diri
kita menjadi perantara hubungan orang lain dengan Allah SWT sehingga orang lain
harus berdoa, harus memohon syafaat (pertolongan) serta harus bertawakkal
melalui diri kita sehingga diri kita menjadi berhala-berhala baru, sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), “Panggillah mereka
yang kamu anggap (Tuhan) selain Allah, mereka tidak kuasa untuk menghilangkan
bahaya darimu dan tidak pula mampu mengubahnya. (surat Al Israa’ (17) ayat 56).”
Inilah 10 (sepuluh) pembatal-pembatal
syahadat, atau yang disebut juga sebagai pembatal-pembatal keislaman dan untuk
itu ketahuilah apa yang yang disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum,
sehingga kita tidak diperbolehkan bagi seseorang secara tergesa-gesa dalam
menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari agama Islam, sebagaimana
pernah dikemukakan oleh “Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah”: “Sesungguhnya
pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk
berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu
bahwa ia kafir atau dia masuk neraka, maka harus diketahui bukti dan keterangan
yang jelas atas orang tersebut, karena dalam menghukumi seseorang harus
terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang (kekafiran).”
Selanjutnya agar diri
kita memiliki pandangan dan pemahaman tentang pembatal-pembatal syahadat dengan
baik dan benar, ada baiknya kita mempelajari sebuah artikel yang berjudul “Apakah kriteria Orang yang dapat Disebut
dengan Kafir sebagaimana dikemukakan oleh Majelis Ulama Indonesia”
dalam laman “mui.or.id” berikut ini: Umat Islam secara individu dilarang
mengkafirkan orang Islam lainnya. Dan sekiranya sangat diperlukan pemberian
fatwa “kafir” terhadap seseorang atau sekelompok orang yang telah jelas
penyimpangannya terhadap aqidah Islam dan demi melindungi aqidah kaum muslim
lainnya. Maka hal ini harus melalui kajian mendalam dan komprehensif yang
dilakukan oleh “Majelis Ulama Indonesia”. Karena Dalam fatwa MUI,
dinyatakan untuk memutuskan suatu keyakinan, ucapan, dan perbuatan adalah
kufur, adalah kewenangan MUI Pusat dengan persyaratan dan prosedur yang ketat.
Penjelasan: Ijtima
Ulama ke-5 Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang diselenggarakan di Tegal, Jawa
Tengah, pada tahun 2015 mengeluarkan fatwa tentang hukum kriteria pengka-firan.
Berikut kriteria pengkafiran (dhawabit at-takfir) menurut fatwa MUI:
1. Pada prinsipnya,
orang yang telah bersyahadat (beragama Islam) berlaku atasnya semua hukum-hukum
Islam, dan orang yang keluar dari Islam (kafir) batal atasnya hukum-hukum
Islam, termasuk pernikahannya secara otomatis batal, tidak ada hak asuh baginya
terhadap anaknya, tidak ada hak untuk mewariskan dan mewarisi, dan jika
meninggal dalam keadaan kufur tidak dikubur di pemakaman Islam serta mendapat
laknat dan akan jauh dari rahmat Allah. Kafir adalah orang yang menentang dan menolak
kebenaran dari Allah SWT yang disampaikan Rasul-Nya. Kafir ada empat macam,
yakni: Pertama, kafir inkar, yaitu mengingkari
tauhid dengan hati dan lisannya; Kedua,
kafir penolakan (Juhud), yaitu mengingkari dengan lisannya dan mengakui
dalam hatinya; Ketiga, kafir Mu’anid, yaitu mengetahui
kebenaran Islam dalam hatinya dan dinyatakan oleh lisannya, namun ia menolak
beriman; Keempat, kafir nifaq, yaitu menyatakan
beriman dengan lisannya, namun hatinya mengingkari.
2. Memvonis kafir
(takfir) adalah mengeluarkan seorang muslim dari keislamannya sehingga ia
dinilai kafir (keluar dari agama Islam). Takfir merupakan hukum syariat yang
tidak boleh dilakukan oleh orang-perorang atau lembaga yang tidak mempunyai
kredibilitas dan kompetensi untuk itu. Vonis kafir harus diputuskan oleh
lembaga keulamaan yang diotorisasi oleh umat dan negara.
3. Muncul di tengah masyarakat dua sikap ekstrim, pertama, menganggap enteng bahkan
meniadakan vonis kafir (tafrith fi at-takfir). Kedua, mudah memvonis
kafir (ifrath fi at-takfir). Umat Islam agar menghindarkan diri tidak terjebak
ke dalam salah satu dari dua ekstrim tersebut, yaitu mengambil pendapat yang
moderat (wasath).
4. Vonis kafir sedapat
mungkin dilakukan sebagai upaya terakhir dengan syarat dan prosedur yang sangat
ketat, kecuali telah nyata dan meyakinkan melakukan satu dari tiga penyebab
kekafiran sebagaimana berikut ini:
a. Kekafiran
I’tiqad (mukaffirat i’tiqadiyyah), segala macam akidah dan keyaki-nan yang
bertentangan dengan salah satu rukun iman yang enam atau mengingkari ajaran
Islam yang qath’i (al-ma’lum min ad-din bi ad-dharurah).
b. Kekafiran Ucapan
(mukaffirat qawliyyah), yaitu setiap ucapan yang mengandung pengakuan atas
akidah kufur atau penolakan terhadap salah satu akidah Islam atau unsur
pelecehan/penistaan agama baik aqidah maupun syariah.
c. Kekafiran
Perbuatan (mukaffirat ‘amaliyyah), setiap perbuatan yang dipastikan mengandung
indikator nyata akidah yang kufur.
5. Vonis kafir
ditetapkan setelah benar-benar memenuhi semua syarat-syarat peng-kafiran sebagai
berikut:
a. Ucapan
atau perbuatan yang menyebabkan kekafiran itu benar dilakukan oleh orang
mukallaf, yaitu orang yang sudah akil baligh, dan berakal;
b. Ucapan atau perbuatan
yang menyebabkan kekafiran itu benar dilakukan tidak dalam keadaan terpaksa.
Jika ia dipaksa untuk mengingkari Islam, sementara hatinya masih tetap iman,
maka tidak bisa ditetapkan atasnya vonis kafir.
c. Ucapan
yang menyebabkan kekafiran itu bukan akibat dari ketidakstabilan emosi atau
fikiran, misalnya karena terlampau senang atau sedih.
d. Sudah sampai
padanya hujjah dan dalil-dalil yang jelas. Sehingga apabila mun-cul
penyebab kekafiran karena kebodohannya, misalnya karena ia tumbuh di tempat
yang jauh dari jangkauan Islam, atau baru saja masuk Islam, maka tidak boleh
baginya divonis kafir.
e. Tidak karena syubhat atau takwil tertentu. Seseorang yang melakukan takwil atas nash
dengan niat untuk mencapai kebenaran, bukan karena hawa nafsunya, seandainya ia
salah dalam hal itu maka tidak bisa ditetapkan atasnya vonis kafir.
f. Vonis kafir harus ditetapkan berdasarkan syara’ dan bukan oleh opini, hawa nafsu,
atau keinginan pihak-pihak tertentu. Kalau tidak demikian maka tidak boleh
dihukumi kafir.
6. Sebelum menetapkan
vonis kafir harus dilakukan terlebih dahulu semua ketentuan sebagaimana berikut
ini:
a. Harus dilakukan verifikasi dan validasi secara jelas semua hal-hal terkait de-ngan
i’tiqad, perkataan, dan perbuatan yang menyebabkan kekufuran.
b. Vonis kafir
ditetapkan secara hati-hati sebagai langkah terakhir setelah upaya-upaya
lainnya dilakukan, dengan maksud menjaga jangan sampai umat Islam lainnya
terjatuh pada kekufuran serupa.
c. Menghindari pengkafiran individual-personal kecuali setelah tegaknya hujjah yang
mu’tabarah.
d. Vonis pengkafiran
hanya boleh dilakukan secara kolektif oleh ulama yang ber-kompeten yang memahami
syarat-syarat dan penghalang takfir.
7. Setiap kesesatan yang
ditetapkan setelah melalui prosedur penelitian dan fatwa yang ketat, sudah
pasti adalah sesat. Namun tidak setiap kesesatan yang telah difatwakan otomatis
adalah kekafiran dengan segala konsekuensi syar’inya.
8. Dosa besar yang
dilakukan oleh seorang muslim tidak otomatis menjadikannya ka-fir. Dalam paham
aqidah ahlussunnah wal jamaah, dosa-dosa yang dilakukan oleh seseorang meskipun
dilakukan berulang-ulang tidak membatalkan syahadatnya sehingga tidak
membuatnya menjadi kafir, selama dia tidak menghalalkan perbuatannya itu.
9. Untuk memutuskan
suatu keyakinan, ucapan, dan perbuatan adalah kufur, adalah kewenangan Majelis Ulama
Indonesia Pusat dengan persyaratan dan prosedur yang ketat.
Adanya fatwa (tuntunan)
yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia, maka berhati-hatilah dalam
menyatakan atau memvonis seseorang menjadi kafir karena ranah itu bukanlah
ranah milik perseorangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar