1. Buah dari Sikap Istiqamah Dalam Diri. Istiqamah memiliki beberapa
keutamaan yang ti-dak dimiliki oleh sifat-sifat lain dalam ajaran Islam.
Diantara keutamaan dari sikap istiqamah adalah :
a. Istiqamah
merupakan jalan menuju ke surga. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: Sesungguhnya orang-orang yang berkata,
“Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka
malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan berkata) . “Janganlah kamu
merasa takut dan janganlah kamu bersedih hati dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh)
syurga yang telah dijanjikan kepadamu. (surat Fushsilat (41) ayat 30).”
Ayat ini dengan jelas mengemu-kakan bahwa istiqamah merupakan salah satu bentuk
perbuatan yang dapat mendatangkan motivasi dan pertolongan Allah SWT kepada
diri kita.
b. Istiqamah
juga merupakan amalan (perbuatan) yang paling dicintai oleh Allah SWT. Sebagaimana
dikemukakan di dalam sebuah hadits berikut ini: Dari Aisyah r.a., bahwa
Rasulullah saw. bersabda, ‘Berbuat sesuatu yang tepat dan benarlah kalian
(maksudnya; istiqamahlah dalam amal dan berkatalah yang benar/jujur) dan
mendekatlah kalian (mendekati amalan istiqamah dalam amal dan jujur dalam
berkata). Dan ketahuilah, bahwa siapapun diantara kalian tidak akan bisa masuk
surga dengan amalnya. Dan amalan yang paling dicintai Allah adalah amalan yang
langgeng (terus menerus) meskipun sedikit. (Hadits Riwayat Bukhari)”. Hadits
ini mengemu-kakan tentang diperintahkannya diri kita untuk senantiasa
beristiqamah sehingga perbuatan istiqamah dapat dikatakan merupakan salah satu
bentuk dari pengama-lan sunnah Nabi SAW.
c. Istiqamah
juga merupakan ciri mendasar dari orang-orang mukmin. Dalam sebuah riwayat
digambarkan: Dari Tsauban ra, Rasulullah saw. bersabda, ‘istiqamahlah kalian, dan
janganlah kalian menghitung-hitung. Dan ketahuilah bahwa sebaik-baik amal
kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang dapat menjaga wudhu’ (baca; istiqamah
dalam whudu’, kecuali orang mukmin.) (Hadits Riwayat Ibnu Majah)”.
Semoga 3 (tiga) buah dari pelaksanaan
sikap istiqamah dalam diri mampu kita raih dan rasakan terutama di sisa usia
yang kita miliki. Selain daripada itu, berikut ini akan kami kemukakan beberapa
ciri-ciri (penampilan) dari orang yang telah memiliki sifat istiqamah dalam
diri, yaitu:
a.
Mampu
konsisten dalam komitmen untuk memegang teguh aqidah tauhid
b. Mampu konsisten dalam komitmen untuk menjalankan ibadah baik yang mahdoh atau ghoiru
mahdoh.
c. Mampu
konsisten dalam komitmen untuk menjalankan syariat agama, baik berupa perintah
maupun larangan
d. Mampu konsisten dalam komitmen untuk
bekerja dan berkarya nyata dengan tulus dan ikhlas karena Allah SWT.
e. Mampu
konsisten dalam komitmen untuk selalu memperjuangkan kebenaran dan keadilan
selama hayat masih di kandung badan.
Dan yang terakhir yang harus kita
ketahui adalah bahwa Allah SWT menjanjikan balasan yang besar kepada
orang-orang yang istiqamah. Hal ini sebagaimana dikemu-kakan dalam firman-Nya
berikut ini: “Sesunguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”,
kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan
mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka
kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. (surat
Al-Ahqaf (46) ayat 13-14)”. Dan kami berharap agar kita semua bisa
istiqamah dalam segala hal yang dikehendaki oleh Allah SWT. Amiin.
E. BERHATI-HATI TERHADAP HAL-HAL YANG
BERTENTANGAN DENGAN KE-TAUHIDAN.
Seseorang yang telah bertauhid maka ia
berkewajiban untuk mengenal (mengetahui) apa saja perkara yang bertentangan
dengan tauhid dan berhati-hati terhadapnya. Agar ia tidak terjerumus ke
dalamnya. Ilmu tentang hakikat tauhid tidak akan menjadi sempurna jika tidak
disertai dengan ilmu tentang perkara-perkara yang bertolak belakang dengan
tauhid. Dan tauhid tidak akan tegak jika padanya masih terdapat perkara-perkara
yang berten-tangan dengannya, dalam hal ini perbuatan musrik dan syirik, yang
mana keduanya adalah sangat bertentangan dengan ketauhidan. Untuk lebih mempertegas kedudukan diri kita
dihadapan Allah SWT.
Berikut ini akan kami kemukakan hal-hal
yang mengakibatkan diri kita bertentangan dengan ketauhidan (dan juga dengan
Allah SWT) sehingga berada di dalam kehendak syaitan, yaitu:
1. Akibat dari manusia tidak mau mematuhi
perintah dan larangan Allah SWT.
Hal ini sebagaimana dikemukakan surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” dan juga berdasarkan surat An Nahl
(16) ayat 114 berikut ini: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki
yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah, jika kamu
hanya kepadaNya saja menyembah.”
Di dalam
kehidupan sehari-hari, rambu lalu lintas dibuat oleh kepolisian bukan untuk
mencelakakan penggunan jalan. Berlaku atau tidaknya rambu lalu lintas sangat
tergantung kepada penggunan jalan. Jika sekarang terjadi kecelakaan akibat
pelanggaran rambu lalu linta, apakah pihak kepolisian dapat dipersalahkan?
Kesela-matan di dalam berkendara adalah tanggung jawab diri kita sendiri apakah
mau mematuhi atau apakah mau melanggar aturan lalu lintas. Resiko atas
pelanggaran akan menjadi tanggung jawab diri kita masing-masing. ditilang atau
terjadi kecelakaan adalah buah dari apa yang kita perbuat atas pelanggaran
rambu lalu lintas.
Jika sekarang di
dalam kehidupan sehari-hari saja berlaku ketentuan lalu lintas, selanjutnya
bagaimana dengan larangan dan perintah Allah SWT? Hal yang samapun berlaku pada
larangan dan perintah Allah SWT. Untuk
itu ketahuilah bahwa larangan Allah SWT maupun perintah Allah SWT bukanlah
untuk kepentingan Allah SWT karena Allah SWT tidak butuh dengan larangan
ataupun perintah. Akan tetapi yang membutuhkan larangan maupun yang membutuhkan
perintah adalah yang dilarang ataupun yang diperintah, dalam hal ini adalah
diri kita. Adanya hal ini maka segala sesuatu yang terdapat di balik
larangan ataupun sesuatu yang ada dibalik perintah kesemuanya untuk kebaikan diri
kita yang mampu mematuhinya. Dan jika sekarang manusia, ataupun diri kita tidak
sesuai lagi dengan kehendak Allah SWT maka sampai dengan kapanpun juga larangan
dan perintah Allah SWT tidak pernah salah, yang salah adalah yang dilarang dan
yang diperintahlah yang tidak mampu melaksanakan larangan dan perintah yang
sesuai dengan pemberi larangan dan perintah.
2. Manusia malas belajar, taklik buta dengan sesuatu yang
baru, tidak mau menambah ilmu dan pengetahuan yang baru, apatis, apriori dengan
sesuatu yang baru, memper-turutkan apa kata ulama tanpa mau memilah dan
memilih, serta mempertahankan tradisi dengan mengabaikan syariat yang berlaku.
3. Akibat manusia ditipu atau tertipu
ajakan setan.
Setan sebagai musuh utama manusia akan selalu menggoda dengan cara membisiki
dan membujuk manusia untuk selalu melanggar apa yang telah menjadi larangan dan
perintah Allah SWT. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Al Israa’ (17) ayat 64
berikut ini: “Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan
ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang
berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri
janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh syaitan kepada mereka
melainkan tipun belaka.”
Untuk
apakah setan melakukan itu semua? Setan
yang telah mendapat restu dari Allah SWT untuk menggoda seluruh anak dan
keturunan Nabi Adam as, tentunya wajib melaksanakan apa yang telah dimintanya
kepada Allah SWT. Selanjutnya setan dengan segala tipu dayanya akan
melakukan apapun untuk mengajak manusia ke luar jalan Allah SWT yang lurus.
Lalu untuk apakan setan melakukan itu? Setan
berkeinginan mempunyai teman di dalam mengarungsi bahtera kehidupan di Neraka
Jahannam dan sekarang tinggal bagaimana kita menyikapi keinginan setan
tersebut, apakah mau menuruti ataukah tidak? Pilihan ada pada diri kita
sendiri.
Sekarang
diri kita sudah ada di muka bumi Allah SWT, berarti saat ini kita sedang
melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya yang sedang
menumpang di muka bumi. Untuk itu jadilah abd’ (hamba)-Nya yang juga
khalifah-Nya yang tahu diri, yang tahu aturan main dan yang tahu tujuan akhir,
terkecuali jika kita ingin dinilai tidak tahu diri oleh Allah SWT.
F.
TIDAK MEMBIKIN-BIKIN TUHAN SENDIRI.
Kewajiban orang yang bertauhid
berikutnya adalah kita tidak diperkenankan sama sekali oleh Allah SWT untuk
membuat-buat atau membikin-bikin adanya tuhan-tuhan baru selain Allah SWT
sebagaimana yang terjadi pada waktu yang lalu dan jika ini sampai terjadi
setelah diri kita melaksanakan syahadat ketauhidan berarti ada sesuatu yang
salah di dalam syahadat yang kita laksanakan, dalam hal ini tidak mampu
menjadikan Allah SWT adalah Tuhan yang Esa. Untuk itu kita wajib memperhatikan
dengan seksama firman-Nya berikut ini: “Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan
yang satu saja? Sungguh, ini benar-benar sesuatu yang sangat mengherankan. Lalu
pergilah pemimpin-pemimpin mereka
(seraya berkata), “Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu,
sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah
mendengar hal ini dalam agama yang terakhir, ini (mengesakan Allah), tidak lain
hanyalah (dusta) yang diada-adakan. (surat Sad (38) ayat 5-6-7).”
Lalu seperti apakah tuhan-tuhan baru yang di
buat oleh manusia itu? Untuk itu mari kita perhatikan apa yang dikemukakan
dalam firman-Nya berikut ini: “Mereka
menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai tuhan
selain Allah, dan juga Al Masih putra Maryam; padahal mereka hanya disuruh
menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada tuhan selain Dia. Mahasuci Dia dari
apa yang mereka persekutukan. (surat AT Taubah (9) ayat 31).” Ayat ini mengemukakan bahwa diri kita dilarang
oleh Allah SWT untuk tidak menjadikan atau tidak mempertuhan guru, ulama, pemimpin, ustadz, kyai, ajengan,
tuan guru atau siapapun juga sebagai tuhan-tuhan pengganti selain Allah SWT
ataupun menjadikan mereka orang-orang yang wajib dinomorsatukan dibandingkan
dengan Allah dan Nabi-Nya. Serta kita juga tidak diperkenankan pula taklid buta
terhadap mereka sehingga apa yang dimukakan oleh mereka semuanya mutlak
kebenarannya. Padahal telah kita ketahui bahwa keberadaan guru, ulama, ustadz, kyai,
ajengan, tuan guru maupun pemimpin dalam umat ini adalah sebuah keberkahan yang
akan membawa kebaikan bagi umat.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan
dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan
tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits Riwayat Ath-Tirmidzi;
Ahmad; Ad-Darimi; Abu Dawud; Ibnu Majah;
Al-Hakim dan Ibnu Hibban). Hadits ini mengemukakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Merekalah
yang meneruskan estafet dakwah para nabi dalam rangka meninggikan kalimat
tauhid di muka bumi. Dan bukan berarti ulama ini adalah penerus dari kenabian. Akan
tetapi, dengan berbagai keutamaan yang terdapat dalam diri seorang ulama,
mereka tetaplah berbeda dengan nabi. Jika nabi itu ma’shum, maka ulama tidaklah
ma’shum. Dan seorang ulama bisa saja tergelincir dalam suatu permasa-lahan.
Maka yang wajib bagi kita adalah mengikuti apa yang sesuai dengan AlQuran dan
hadits Nabi SAW, meskipun kita harus menyelisihi ulama yang tergelincir
tersebut, meskipun mengaku keturunan Nabi SAW betapa pun kita
mencintai dan menyanjungnya.
Selain daripada itu, berdasarkan surat
Al An'am (6) ayat 144 yang kami kemukakan berikut ini: “dan sepasang dari unta dan sepasang dari lembu. Katakanlah:
"Apakah dua yang jantan yang diharamkan ataukah dua yang betina, ataukah
yang ada dalam kandungan dua betinanya? Apakah kamu menyaksikan di waktu Allah
menetapkan ini bagimu? Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang
membuat-buat Dusta terhadap Allah untuk menyesatkan manusia tanpa pengetahuan
?" Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
(surat
Al An'am (6) ayat 144).
Orang yang
telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar maka ia tidak dibenarkan
untuk membikin-bikin hukum, atau membuat aturan-aturan yang bukan menjadi
kewenangannya. Apalagi melakukan tindakan untuk menambah atau mengurangi atau
menyesuaikan hukum-hukum atau ketentuan-ketentuan yang telah Allah SWT tetap-kan
berlaku, dirubah untuk kepentingan diri sendiri atau untuk keuntungan kelompok
tertentu saja serta tidak mau menghukum diri sendiri dengan hukum atau dengan
ketentuan Allah SWT tanpa sebab yang dibenarkan oleh syariat.
G.
HATI-HATI TIDAK BERTAUHID MAKA
KAFIRLAH DIRI KITA.
Kewajiban orang yang bertauhid
selanjutnya adalah kita harus menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa setelah
diri kita telah menyatakan syahadat ketauhidan dan syahadat kerasulan berarti
diri kita telah menyatakan bahwa kita telah siap untuk bertuhankan hanya kepada
Allah SWT Tuhan Yang Satu, Tuhan Yang Esa. Namun apabila kita tidak mampu
menyatakannya dalam ucapan dan perbuatan maka kafirlah diri kita saat itu. Hal
ini sebagaimana firman-Nya dalam surat Al Maaidah (5) ayat 73 berikut ini: “Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang
tiga”. Padahal sekal-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakana itu, pasti orang-orang
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.” Ayat ini menyatakan bahwa konsep trinitas
tidak berlaku di dalam konsep ketauhidan karena Allah SWT adalah Tuhan yang
Esa. Dan jika sampai kita umat Islam melaksanakan konsep trinitas ini berarti
kita telah melakukan perbuatan syirik dengan menduakan Allah SWT.
Untuk menggambarkan kondisi dan
keadaan tentang orang kafir, berikut ini akan kami kemukakan beberapa
perumpamaan tentang orang kafir sebagaimana dikemukakan oleh “Al Hakim Al Tirmidzi” dalam bukunya, “Menyibak
Tabir: Hal-Hal Tak Terungkap dalam Tradisi Islam”, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2005 berikut ini:
1. Lebih Keras daripada Batu. Hati orang kafir digambarkan oleh
Allah SWT sebagai seke-ras atau bahkan lebih keras daripada batu. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 74 berikut ini: “Kemudian
setelah itu hatimu menjadi keras, sehingga (hatimu) seperti batu, bahkan lebih keras. Padahal
dari batu-batu itu pasti ada sungai-sungai
yang (airnya) memancar dari padanya. Adapula yang terbelah lalu
keluarlah mata air daripadanya. Dan
adapula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah. Dan Allah tidaklah
lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” Selanjutnya Allah SWT
menggambarkan bahwa ada batu yang
mengeluarkan air, terbelah atau jatuh karena takut kepada Allah. Dengan kata
lain, batu saja tunduk dan tersungkur bersujud, sementara itu, hati yang keras
tidak akan basah, tidak mau membuka diri serta tidak mau tunduk dan bersujud
kepada Allah.
2. Bagai Tuli, Bisu dan Buta. Orang kafir tidak memahami makna kata-kata nasihat yang
disampaikan kepadanya. Ia tidak mengerti makna ayat AlQuran dan ucapan bijak
selain sebagai seruan kosong belaka. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
firman-Nya berikut ini: “Dan perumpamaan bagi (penyeru) orang yang
kafir adalah seperti (pengembala) yang meneriaki (binatang) yang tidak
mendengar selain panggilan dan teriakan. (Mereka) tuli, bisu dan buta, maka
mereka tidak mengerti. (surat Al Baqarah (2) ayat 171). Allah SWT selanjutnya
mengatakan bahwa orang kafir itu “tuli”
dari kebenaran sehingga tidak dapat mendengar petunjuk, “bisu” untuk mengucapkan kebenaran sehingga tidak dapat berbicara
menurut petunjuk, serta “buta” dari
kebena-ran sehingga tidak bisa melihat petunjuk. “Mereka tidak mengerti” ucapan Nabi Muhammad SAW dan tidak
menghendaki kebenaran. Itu karena Nabi SAW mengajak mereka untuk bertauhid dan
mengikuti nasihat-nasihat AlQuran.
3. Bagai Pengembala dan Binatang
Gembalaan. Inilah
salah satu bentuk perumpamaan dari Nabi Muhammad SAW kepada orang kafir. Sang
pengembala memanggil binatang gembalaan, namun binatang gembalaan hanya
mendengar panggilan dan teriakan saja. Binatang gembalaan tersebut mendengar
suara tanpa memahami maknanya. Begitulah orang kafir. Ia hanya mendengar
nasihat-nasihat AlQuran tanpa memahaminya. Yang didengarnya hanyalah suara
belaka.
4. Keledai Si Pembawa Kitab. Allah SWT menyerupakan bangsa Yahudi
dengan keledai, karena mereka tidak mempelajari dan mengetahui isi Taurat
tetapi tidak mengamalkannya. Dengan begitu, mereka sebenarnya hanya melelahkan
diri sendiri tanpa mendapat manfaat. Sebagaimana firmanNya berikut ini: “Perumpamaan
orang orang yang diberi tugas disuruh membawa Taurat, kemudian mereka tidak
membawanya (tidak mengamalkannya) adalah seperti keledai yang membawa kitab
kitab tebal. Sangat buruk perumpamaan kaum yang mendustakan ayat ayat Allah.
Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang orang yang zhalim (surat Al
Jumu’ah (62) ayat 5).” Di lain
sisi, Allah SWT juga telah memberikan perumpamaan lain kepada keledai
sebagaimana firmanNya berikut ini: “Dan sederhanakanlah dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk buruk suara adalah suara keledai.
(surat Luqman (31) ayat 19)
5. Bagai Kalian dan Budak Kalian. Allah SWT membuat perumpamaan tentang
syirik, se-bagaimana termaktub dalam surat Ar Ruum (30) ayat 28 berikut ini: “Dia
membuat perumpamaan untuk kalian dari diri kalian sendiri. Apakah di antara
hamba sahaya yang kalian miliki ada sekutu dalam rezeki yang Kami berikan
kepada kalian? Kalian sama dengan mereka dalam hal (penggunaan) rezeki. Kalian
takut kepada mereka sebagaimana kalian takut terhadap diri kalian sendiri.
Demikianlah Kami menjelaskan ayat ayat bagi kaum yang berakal.” Apakah
kalian menjadikan para hamba sahaya sebagai sekutu dalam apa yang Kami berikan
kapada kalian? Kalian sama dalam hal itu. Kalian takut terhadap kecaman hamba
sahaya kalian jika tidak mengikutsertakan mereka dalam penggunaan harta kalian
sebagaimana kalian takut terhadap diri sendiri, yakni anak-anak dan kerabat
yang menjadi ahli waris jika mereka tidak diberi warisan. Pengertian-nya,
manusia tidak takut terhadap kesertaan budak dalam hartanya baik saat hidup
maupun sesudah mati sebagaimana ia takut terhadap keluarga, anak-anak, dan kerabatnya.
Demikianlah seluruh makhluk yang merupakan hamba Allah SWT. Dia tidak takut
terhadap kesertaan hamba dalam kekuasaan-Nya.
6. Budak yang Mengabdi kepada Banyak
Tuan. Seorang yang
beriman (seorang ahli tauhid) menyerahkan diri semata mata kepada Allah SWT,
sedangkan orang musyrik menyerahkan diri kepada banyak tuhan. Bagaimanakan
kondisinya di dunia selama ia melakukan ibadah yang sia-sia kepada mereka?
Bagaimanakah kondisinya di akhirat? Ia dan para tuhannya berada di dalam
neraka. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Allah membuat perumpamaan
(yaitu) seorang laki laki (hamba sahaya) yang dimiliki oleh beberapa orang yang
berserikat yang dalam perselisihan, dan seorang hamba sahaya yang menjadi milik
penuh dari seorang (saja). Adalah kedua hamba sahaya itu sama keadaannya?
Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui. (surat Az
Zumar (39) ayat 29).
7. Sarang laba-laba. Allah SWT membuat perumpamaan lain
untuk orang kafir sebagai-mana firmanNya berikut ini: “Perumpamaan orang orang yang
mengambil pelindung selain Allah adalah seperti laba laba yang membuat rumah.
Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba laba, sekiranya
mereka mengetahui. (surat Al Ankabut (29) ayat 41).” Mereka menyembah
para pelindung yang tidak bisa memberikan manfaat kepada mereka di akhirat
sebagaimana rumah laba laba tidak bisa melindungi laba laba dari panas dan
dingin. Demikianlah ketidakmampuan berhala. Pantaslah Allah SWT berfirman,
“rumah yang paling lemah adalah rumah laba laba.” Begitulah kondisi semua
sesembahan selainNya. Jadi orang yang kafir terlepas dari hijab Allah. Ia
keluar menuju Allah dalam keadaan telanjang tanpa busana. Semua aib dan
keburukannya tersingkap di hadapan seluruh mata.
8. Bagai Anjing. Inilah perumpamaan yang tertuang di
dalam surat Al A’raf (7) ayat 175-176 dimana disebutkan bahwa perumpamaan orang
yang telah diberi ayat-ayat Allah SWT lalu meninggalkannya. Ia seperti anjing.
Jika dihalau atau dibiarkan, ia tetap menjulurkan lidah. Isa disamakan dengan
anjing karena sama-sama mati hatinya. Dan orang yang disamakan dengan anjing
karena jika melihat ayat-ayat Kami, tidak mau mengambil pelajaran apalagi mau
mempelajarinya.
9. Tanaman Musnah bagai Tak Pernah Tumbuh. Allah SWT berfirman, “Perumpamaan
ke-hidupan dunia seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu dengan
air itu tanaman-tanaman bumi tumbuh subur. Diantaranya ada yang dimakan manusia
dan binatang ternak. Hingga, apabila bumi telah sempurna keindahannya dan memakai
perhiasan serta para pemiliknya mengira bahwa mereka menguasainya, tiba-tiba
datanglah azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan
tanaman-tanaman itu laksana telah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh
kemarin (sebelumnya). Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (kekuasaan Kami)
kepada orang-orang yang berpikir. (surat Yunus (10) ayat 24). Allah SWT
memperlihatkan kepada mereka kesudahan dan kefanaan dunia lewat berlalunya
musim semi ketika mereka melihat bagaimana perhiasan dan keindahannya lenyap
begitu saja. Begitulah dunia.
Inilah 9 (sembilan) buah perumpamaan
tentang orang yang kafir dan kami berharap jangan sampai kita tergelincir oleh
ahwa (hawa nafsu) dan juga oleh syaitan sehingga kita termasuk dalam kategori
orang-orang kafir.
Jamaah
sekalain, selain adanya 7 (tujuh) kewajiban yang melekat pada diri kita setelah
melak-sanakan syahadat ketauhidan dan syahadat kerasulan dalam satu kesatuan,
kita juga harus mengetahui bahwa ajaran Islam sejak dini sangat menolak
pembagian manusia (menilai manu-sia) berdasarkan kasta, ras, suku bangsa,
keturunan, warna kulit, pangkat, kekayaan, jabatan yang mana hal ini sangat
bertentangan dengan puluhan ayat dan juga hadits Nabi SAW yang semuanya
mengarah ke makna kemanusiaan universal. Dan salah satu ayat yang dapat
dikatakan paling gamblang berbicara tentang hal ini adalah firman-Nya yang
termaktub dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 213 yang menyatakan: “Manusia
adalah umat yang satu, lalu Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar
gembira dan pemberi peringatan, dan menurunkan bersama mereka Kitab dengan
benar, memberi keputusan diantara manusia tentang perkara yang mereka
perselisihkan. Dan yang berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi
(kitab) setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena kedengkian
di antara mereka sendiri.Maka dengan kehendak-Nya, Allah memberi petunjuk
kepada mereka yang beriman tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah
akan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus.”
Ayat
di atas ini dapat kita tafsirkan paling tidak kepada dua hakikat yang tidak
dapat dipisahkan, yaitu:
1. Semua
manusia sama dari sisi kemanusiaannya, karena mereka adalah umat yang satu
seba-gaimana ditegaskan oleh Nabi Muhammad SAW: “Semua kamu bersumber dari Adam dan Adam tercipta dari tanah.”
2. Manusia
memiliki banyak sekali kebutuhan, maka harus ada keragaman dalam jenis lelaki
dan perempuan, profesi, kecenderungan, tingkat pendidikan, dan kesejahteraan
agar mereka dapat saling membantu, dan tolong menolong sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti. (surat Al Hujuraat (49) ayat 13).”
Adanya kebutuhan seorang manusia tidak dapat
dipenuhi, kecuali dengan kerja sama semua pihak. Manusia adalah makhluk sosial,
mereka harus bekerja sama dan topang-menopang demi mencapai kebahagiaan dan
kesejahteraannya.
Sekarang
mari kita perhatikan surat Al Anbiyaa (21) ayat 21 berikut ini: “Sungguh,
(agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka
sembahlah Aku.” Lalu hubungkan dengan
ketentuan yang terdapat dalam surat Al Baqarah (2) ayat 213 di atas maka
umat manusia menjadi terpecah tidak menjadi satu umat saja di dalam
melaksanakan agama. Adanya perpecahan umat, apakah hal ini menjadi masalah bagi
Allah SWT yang telah menyediakan 2 (dua)
buah tempat kembali bagi manusia, yaitu syurga dan neraka. Adanya perbedaan
ini juga untuk menseleksi siapa yang berhak menempati syurga dan juga neraka
secara adil dan beradab. Selain daripada itu dengan adanya perbedaan ini maka
janji Allah SWT kepada syaitan untuk menggoda dan mengganggu anak dan keturunan
dari Nabi Adam as, dapat terpenuhi melalui proses hidup adalah sebuah
permainan.
Dilain sisi, dengan adanya perbedaan
kualitas antar umat manusia, ketahuilah bahwa Allah SWT berkehendak untuk
menguji umat manusia berdasarkan karunia yang diberikan-Nya dan diperintahkan
untuk saling berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan yang pada akhirnya akan
diketahuilah kualitas masing-masing manusia. Hal ini sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan Kami telah menurunkan Kitab (AlQuran) kepadamu (Muhammad) dengan
membawa kebenaran, yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya dan
menjaganya, maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan Allah
dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka dengan meninggalkan kebenaran
yang telah datang kepadamu. Untuk setiap umat diantara kamu, Kami berikan
aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu
dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah kamu semua kembali, lalu diberitahukan-Nya
kepadamu terhadap apa yang dahulu kamu perselisihkan. (surat Al Maidah (5) ayat
48).”
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi kita harus bisa berlapang
dada di dalam perbedaan-perbedaan yang memang dikehendaki oleh Allah SWT karena
dibalik adanya perbedaan ada sesuatu yang dikehendaki Allah SWT dan jadikan
perbedaan ini sebagai sebuah hikmah yang bisa menghantarkan diri kita ke syurga
untuk bertemu dengan Allah SWT kelak.
Sebagai orang yang telah bertauhid dengan baik dan benar maka salah satu
kewajiban yang harus ada di dalam diri adalah kita harus siap menerima segala
perrbedaan-perbedaan yang terjadi pada diri manusia karena perbedaan adalah
sunnatullah. Lalu nikmatilah perbedaan ini dengan rasa keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah SWT dan semoga kita bisa selalu sesuai dengan kehendak Allah SWT
melaui perbedaan-perbedaan yang terjadi pada diri manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar