Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Jumat, 05 Januari 2024

KEWAJIBAN MANUSIA YANG TELAH MEMILIKI KETAUHIDAN DALAM DIRI (PART 1 OF 2)

  

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah memiliki ilmu tauhid (ketauhidan. Tentu hasil dari pelaksananaan ketauhidan yang telah kita miliki harus tercermin di dalam diri sehingga kita tidak bisa hanya berdiam diri saja setelah bertauhid dengan baik dan benar. Untuk itu ketahuilah setelah diri kita mampu bertauhid (syahadat ketauhidan dan syahadat kerasulan dalam satu kesatuan) kita memiliki kewajiban sebagai manusia-manusia yang bertauhid untuk kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan keluarga dan juga untuk kepentingan sesama umat manusia.

 

Hal ini menjadi penting karena melalui kewajiban ini akan terjadilah proses belajar yang diikuti dengan mengajarkan apa-apa yang telah kita pelajari dan melalui diri kita tampillah pepatah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” di tengah masyarakat dalam bentuk kebaikan-kebaikan serta teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat yang majemuk melalui diri kita.

 

Selanjutnya hal yang pertama-tama yang harus kita lakukan sebelum diri kita melaksanakan kewajiban sebagai manusia yang bertauhid adalah kita harus dapat melepaskan diri terlebih dahulu dari hal-hal yang akan merusak perjalanan dan cita-cita menuju keridhaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh “Syekh M Nafis Bin Idris Al Banjarie” dalam bukunya “Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah (Ad Durrunnafis)” berikut ini:

 

1.        Kasal (malas), malas untuk mengerjakan ibadah kepada Allah SWT padahal sebenarnya ia dapat dan sanggup melakukan ibadah tersebut.

2.        Futur (bimbang/lemah pendirian), tidak memiliki tekad yang kuat karena terpengaruh oleh kehidupan duniawi.

3.        Malal (pembosan), cepat merasa jemu dan bosan untuk melaksanakan ibadah karena merasa terlalu sering dilakukan, padahal tujuan belum tercapai.

 

Timbulnya 3 (tiga) hal yang kami kemukakan di atas adalah disebabkan kurang kuatnya rasa keimanan dan ketaqwaan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh hawa nafsu dirinya sendiri. Dan apabila diri kita telah mampu mengatasi 3 (tiga) persoalan yang telah kami kemukakan di atas, akan memudahkan diri kita melaksanakan kewajiban-kewajiban yang melekat di dalam diri setelah diri kita mampu melaksanakan syahadat ketauhidan dan juga syahadat kerasulan dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan.

 

Sekarang apakah sajakah kewajiban dari diri kita selaku orang-orang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri yang baik dan benar itu? Berikut ini akan kami kemukakan beberapa kewajiban diri kita selaku orang-orang yang telah bertauhid, yakni:

A.     BELAJAR DAN MENGAJARKAN ILMU TAUHID.

 

Kewajiban orang yang bertauhid yang pertama adalah wajib bagi seorang muslim memiliki ilmu yang memadai tentang tauhid (ketauhidan); wajib memahami bagaimanakah cara mentauhidkan Allah dengan baik dan benar. Kondisi ini hanya bisa kita dapatkan jika kita konsisten untuk belajar sehingga kita bisa memiliki ilmu. Hal ini menjadi penting karena ilmu adalah pokok yang sangat penting dalam tauhid (ketauhidan) karena benar atau tidaknya tauhid (ketauhidan) yang kita miliki sangat bergantung kepada pemahaman kita terhadap makna tauhid (ketauhidan) itu sendiri. Dan tidak diragukan lagi bahwa tauhid (ketauhidan) merupakan permasalahan yang paling penting dalam agama ini.

 

Maka mendakwahkannya (mengajarkan kembali ilmu tauhid) juga merupakan perkara yang penting yang tidak boleh disepelekan, apalagi dinomorduakan. Namun sangat disayangkan, pada saat ini masih banyak di antara para dai (ulama) yang meremehkan dakwah tauhid, mereka justru disibukkan dengan permasalahan lainnya tanpa mempedulikan dakwah yang satu ini. Sementara orang yang berkonsentrasi mendak-wahkan tauhid dianggap keting-galan zaman dan memecah belah umat. Padahal tauhid (ketauhidan) inilah inti dakwah para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT yang tidak lain bagian dari pelaksanaan rukun iman yang enam.

 

Sebagai seseorang yang telah bertauhid dengan baik dan benar maka ia akan terus berusaha untuk menyempurnakan ketauhidannya, yang salah satunya adalah dengan berusaha untuk mendakwahkan tauhid kepada diri, kepada keluarga dan kepada khalayak. Karena keimanan seseorang tidak akan sempurna kecuali jika disertai ajakan berdakwah kepada ketauhidan. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Demi masa. Sesungguhnya manu-sia benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (surat Al Ashri (102) ayat 1, 2, 3).”

 

Disamping menyempurnakan tauhid (ketauhidan) dalam diri, ajakan kepada ketauhidan harus ada dalam diri. Jika tidak, maka ada yang kurang dalam tauhid tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang meniti jalan tauhid disebabkan dia mengetahui bahwa jalan tauhid adalah jalan yang terbaik. Kalau memang dia benar dalam keyakinannya, maka dia juga harus mendakwahkan tauhid. Mengajak kepada seruan tauhid “Laa ilaaha ilallah” adalah termasuk kesempurnaan tauhid seseorang, dan tidak akan sempurna tauhid sese-orang kecuali dia berusaha untuk mendakwahkan tauhid tersebut dengan mengajarkan kembali ilmu tauhid yang kita miliki.

 

Berdasarkan uraian di atas maka tidak berlebihan jika kewajiban yang pertama bagi diri kita sekarang adalah kita wajib belajar tentang ketauhidan yang dilanjutkan dengan melaksanakan apa-apa yang telah kita pelajari sehingga kita mampu menjadi suri tauladan bagi keluarga lalu mengajarkan kembali ilmu tauhid yang telah kita pelajari kepada keluarga, kerabat dekat dan juga masyarakat luas sehingga kita mampu menjadi motivator (suri tauladan) bagi kebaikan sesama di tengah-tengah masyarakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Apakah kamu menjadi saksi saat maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail, Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya. (surat Al Baqarah (2) ayat 133).

 

Setelah diri kita giat belajar lalu memiliki ilmu ketauhidan ataupun ilmu apapun ketahuilah ilmu yang kita miliki belum dikatakan menjadi ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya atau hanya sampai diri kita saja. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain. Semakin banyak yang kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan oleh orang banyak serta semakin baiklah diri kita dihadapan Allah SWT. Kondisi sejalan dengan firman-Nya yang termaktub dlam surat At Taubah (9) ayat 122 berikut ini: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”

 

Untuk itu berhati-hatilah jika kita telah memiliki ilmu dan pengetahuan, lalu jangan sampai ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi kebaikan bagi diri kita justru menjadi bumerang bagi diri kita karena kita tidak mau mengajarkan kepada sesama. Dan ingat ilmu dan pengetahuan yang kita miliki akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh  Allah SWT dan jika sampai kita kita tidak mau mengajarkan bagaimana mungkin kita akan memper-tanggungjawabkannya kepada Allah SWT?

 

Apalagi Nabi Muhammad SAW telah mempe-ringatkan kepada diri kita melalui hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi bersabda: “Orang yang ditanya tentang pengetahuan dan menyembunyikannya, akan dikekang dengan kekangan api pada hari kiamat”. (Hadits Riwayat Abu Daud, Athtirmidzi,Ibnu Madjah)

 

Sekarang apa yang akan kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT kelak jika saat ini kita hanya pasif dengan hanya belajar tanpa pernah mengajarkan sesuatu kepada orang lain. Apalagi Nabi Muhammad SAW melalui 2 (dua) hadits berikut ini telah memberikan ketentuan sebagaimana berikut ini: “Abu Dharda ra, berkata: Nabi bersabda: Sesungguhnya seburuk buruknya manusia pada hari kiamat ialah orang pintar yang ilmu pengetahuannya tidak menguntungkan”. (Hadits Riwayat Ad Darimi).”

 

“Dari Abdullah ibnu Mas’ud berkata Nabi bersabda: “Janganlah ingin seperti orang lain kecuali seperti dua orang ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan yang berlimpah dan ia membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah SWT Alhikmah (pemahaman) dan ia berperilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang lain”. (Hadits Riwayat Bukhari)

 

Apabila kita mampu mengajar dalam kerangka berbagi ilmu pengetahuan ketahuilah semakin kita berbuat (mengajarkan) maka semakin halus dan tajam serta mendalam pula ilmu dan pengetahuan yang kita miliki. Yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita kepada kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT melalui ilmu dan pengajaran yang kita lakukan, sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda: “Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad)

 

Bukanlah sesuatu yang sangat berlebihan jika Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan “carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk liang lahat”. Adanya perintah untuk menuntut ilmu berarti kita wajib untuk belajar dan belajar serta belajar tiada henti. Yang menjadi persoalan adalah setelah kita belajar, belajar dan belajar maka pelajaran yang telah kita terima akan menjadi sebuah kesiasiaan jika apa apa yang telah kita pelajari hanya sampai pada diri kita sendiri dan jadilah diri kita orang yang egois yang hanya mementingkan diri sendiri. Sedangkan ketentuan hadits  di atas ini mengajarkan kepada kita untuk selalu berbagi atau kita wajib meninggalkan jejak-jejak kebaikan untuk sesama umat manusia. 

 

Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita menjalani sisa usia yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Berapa lama sisa usia kita saat ini? Kita tidak pernah tahu dan tidak akan pernah tahu karena Allah SWT sajalah yang tahu. Lalu apakah disisa usia yang tidak kita ketahui ini kita hanya sibuk belajar, belajar dan belajar tanpa pernah merasakan hasil dari pelajaran yang kita terima yang dilanjutkan dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada sesama? Lalu kapan lagi kita mau berbuat kebaikan dengan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki jika tidak sekarang? Jangan sampai terlambat karena kita memiliki keterbatasan usia dan juga keterbatasan kemampuan untuk berbagi serta keterbatasan kesempatan yang hanya datang satu kali.

 

Untuk itu perhatikan dengan seksama hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata; Nabi bersabda: “Orang yang mengerti (agama) lebih sukar dipengaruhi syaitan daripada seribu orang yang shalat”. (Hadits Riwayat Aththirmidzi, Ibnu Majah).” Dimana syaitan mengalami kesukaran di dalam mempengaruhi orang yang mengerti atau paham dengan Diinul Islam dibanding dengan seribu orang yang shalat. Jika seperti ini kondisinya berarti orang yang berilmu sangat diperhitungkan oleh syaitan sang laknatullah. Agar diri kita mampu menjadi orang yang diperhitungkan oleh syaitan maka kita tidak bisa hanya belajar tanpa mengajar atau tidak cukup hanya membaca saja tanpa pernah merenungi apa yang telah kita pelajari.

 

Sekarang mari kita perhatikan hadist berikut ini: “Ibnu Umar ra, berkata kepada Aisyah ra, “Kabarkanlah kepada kami sesuatu yang sangat  mengagumkan yang engkau lihat dari Rasulullah SAW.! Aisyah ra, terdiam sejenak kemudian berkata: “Pada suatu malam Rasulullah SAW bersabda, Wahai Aisyah tinggalkanlah aku, malam ini aku hendak beribadah kepada Tuhanku. Aku (Aisyah ra,) berkata, Demi Allah sesungguhnya aku senang berada di dekatmu, dan akupun senang terhadap sesuatu yang membuatmu gembira. Selanjutnya Aisyah ra, berkata: “Lalu Rasulullah SAW bangun lantas berwudhu dan beliau shalat. Tidak henti hentinya beliau menangis hingga membasahi pangkuannya, beliau terus menangis hingga membasahi janggutnya, dan beliau terus menangis hingga membasahi tanah. Kemudian Bilal datang hendak azan untuk shalat. Ketika dia melihat beliau menangis, dia bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah telah mengampuni dosamu yang lalu dan akan datang?. Beliau SAW bersabda:”Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Tadi malam telah turun ayat kepadaku, celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkannya, yaitu AlQur’an surat Ali Imron (3) ayat 190”. (Hadits Riwayat Ibnu Hibban).”

Hadits ini ini mengingatkan kita untuk tidak berhenti hanya membaca ayat-ayat dengan tajwid serta tartil yang baik dan benar yang telah diturunkan Allah SWT. Akan tetapi harus pula kita merenungkan apa yang telah kita baca, melaksanakan serta dilanjutkan dengan mengajarkan apa-apa yang telah kita pelajari walaupun hanya satu ayat. Jika kita hanya sibuk membaca ayat-ayat AlQuran, atau sibuk belajar semata tanpa pernah mengajarkan maka berarti kita hanya mampu memposisikan AlQuran itu adalah bacaan semata serta menunjukkan diri kita orang yang egois hanya mementingkan diri sendiri. Dan semoga itu bukanlah diri kita!

 

B.      SELALU MEWASIATKAN AKIDAH ISLAM KEPADA ANAK DAN KETURUNAN.

 

Seorang yang telah bertauhid maka ia memiliki kewajiban untuk selalu mewasiatkan akidah Islam kepada anak dan keturunan kita sendiri sebelum mewasiatkan kepada orang lain. Hal ini sebagaimana dengan diingatkan oleh Allah SWT berikut ini: ““Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (surat Al Baqarah (2) ayat 133). Berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 133 di atas ini, sebagai seorang orang tua bagi anak-anak kita yang telah bertauhid dengan baik dan benar maka kita harus selalu mewasiatkan Akidah Islam kepada anak dan keturunan kita yang juga merupakan bagian dari regenerasi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang kita lakukan. Kenapa hal ini harus kita lakukan?

 

Untuk dapat menjadikan anak dan keturunan diri kita sendiri menjadi generasi yang mampu bertauhid  yang seperti kita lakukan bukanlah seperti membalik telapak tangan. Akan tetapi harus melalui kerja keras, dengan memberikan pendidikan, dengan memberikan bimbingan, dengan memberikan contoh dan teladan. Tanpa itu semua anak dan keturunan kita akan sangat sulit menjadi generasi yang berhasil memiliki ilmu tauhid dalam diri yang sesuai kehendak Allah SWT.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, apakah kita hanya bertanggung jawab kepada anak dan keturunan kita semata dengan mengabaikan orang lain? Sebagai orang yang telah bertauhid dengan baik dan benar maka maka diri kita harus pula bermanfaat kepada orang lain; diri kita harus pula saling tolong menolong dengan sesama dalam hal kebaikan. Adanya kondisi ini berarti kita harus pula mengingatkan, mendorong, mengajarkan sesama manusia tentang arti dan pentingnya Akidah Islam. Lalu sudahkah kita berperan aktif di dalam masyarakat, bangsa, dan negara untuk menanamkan akidah Islam sebagai modal awal untuk menuju masyarakat madani atau sebagai wujud tanggung jawab sosial diri kita di dalam pelaksanaan hubungan antar sesama manusia? 

 

C.      MENAFKAHI KELUARGA DENGAN YANG HALAL DAN BAIK.

 

Kewajiban orang yang bertauhid yang berikutnya adalah mampu menafkahi keluarga, istri/suami, anak keturuan dari yang halal lagi baik (thayyib). Hal ini menjadi pentking karena berrdasarkan ketentuan ilmu kedokteran yang berlaku saat ini, didapat keterangan bahwa asal muasal janin atau jasmani yang ada di dalam rahim ibu berasal dari hasil pembuahan sel telur yang berasal dari seorang ibu dengan sperma terbaik yang berasal dari seorang bapak. Dimana sel telur dan sperma asalnya dari saripati tanah yang berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh seorang ibu dan seorang bapak. Adanya informasi ini, dapat dikatakan bahwa asal muasal janin atau jasmani manusia berasal dari makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh seorang ibu dan seorang bapak.

 

Sekarang timbul pertanyaan, perlukah janin atau kondisi awal dari jasmani seorang manusia, dengan bahan baku yang bermutu atau makanan dan minuman yang berkualitas serta yang memenuhi takaran atau ukuran tertentu? Untuk mendapatkan janin atau jasmani yang baik dan berkualitas maka kita wajib mempunyai atau mempergunakan bahan-bahan berkualitas pula serta harus memenuhi ukuran dan takaran yang sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ilmu gizi.

 

R            

Allah SWT selaku pencipta dan pemilik rencana besar penciptaan manusia yang akan dijadikan abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, sudah memberikan ketentuan yang baku kepada umat manusia, termasuk kepada diri kita yang kesemuanya termaktub di dalam surat Abasa (80) ayat 24 berikut ini: Maka hendaklah manusia memperhatikan makanannya.” Dan juga termaktub dalam firman Allah SWT sebagaimana berikut ini: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.(surat Al Baqarah (2) ayat 168). Dan juga Allah SWT berfirman dalam surat An Nahl (16) ayat 114 berikut ini: “Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya kepadaNya saja menyembah.” 

 

Berdasarkan 3 (tiga) buah firman Allah SWT yang kami kemukakan di atas, Allah SWT telah memberikan panduan kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita, jika akan mengkonsumsi makanan ataupun minuman, haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:

 

1.      Setiap makanan dan minuman yang kita konsumsi wajib memenuhi kriteria halal lagi  baik (thayyib). Dimana konsep thayyib itu harus sesuai dengan kriteria ilmu kesehatan dan ilmu gizi, sedangkan konsep halal mencangkup sisi  jenis makanan dan minuman yang akan dikonsumsi wajib memenuhi kriteria halal (sesuai syariat) baik dari sisi jenis-nya, cara pengolahannya dan juga cara memperolehnya.

 

2.      Adanya konsep halal lagi baik (thayyib) bagi makanan dan minuman yang dikonsumsi maka diharapkan dari makanan dan minuman yang dikonsumsi mampu menghasilkan pula ovum dan sperma yang akan dipertemukan juga memenuhi konsep halal lagi baik;

 

Adanya ketentuan di atas, merupakan salah satu bukti kasih sayang Allah SWT kepada diri kita, sehingga dengan begitu kita akan selalu berada di dalam lindungan dan ridha-Nya serta selalu mendapatkan hal-hal yang berkualitas tinggi.

 

Di lain sisi, melalui sesuatu halal lagi baik (thayyib) baik diri sisi jenis makanan yang akan kita konsumsi dan juga penghasilan yang kita dapatkan akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT karena Allah SWT selaku Dzat Yang Maha Suci tidak akan mungkin dapat kita temui (terhalang) karena makanan dan minuman serta pengha-silan yang kita peroleh dari yang haram lagi buruk (khabits).

 

Selain daripada itu,  ada hal lain yang harus kita perhatikan yaitu halal lagi baik (thayyib) di dalam makanan dan minuman yang kita konsumsi merupakan sebuah kondisi yang kait mengkait serta keduanya tidak dapat berdiri sendiri. Sehingga kita tidak dapat hanya berpedoman kepada ketentuan halal semata dengan mengabaikan ketentuan baik, atau demikian pula sebaliknya. Halal lagi baik (thayyib) harus seiring sejalan. Halal  mengindi-kasikan kualitas dan mutu dari bahan sedangkan baik (thayyib) adalah ukuran, takaran yang harus dikonsumsi atau tingkat kebutuhan gizi yang harus kita penuhi.

 

Lalu apakah setelah diri kita mampu memenuhi konsep halal lagi baik (thayyib) sudah pasti hal itu yang terbaik bagi diri kita? Allah SWT menunjukkan kasih sayang-Nya kepada setiap manusia bahwa ketentuan halal lagi baik (thayyib) belum cukup. Untuk itu Allah SWT memerintahkan kepada setiap manusia untuk selalu membaca Basmallah sebelum meng-konsumsi sesuatu yang dilanjutkan dengan membaca doa jika kita ingin makan ataupun minum.

 

Untuk apa “Basmallah” dan “Doa” itu dan adakah hubungannya dengan makanan dan minuman yang kita konsumsi? Berdasarkan hadits berikut ini: Ibnu Abbas  r.a. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Berkata Iblis: Ya Tuhan; Semua makhluk-Mu telah engkau tentukan rezekinya, maka manakah rezekiku. Allah berfirman: Rezekimu adalah makanan yang tidak disebut nama-Ku padanya. (Hadits Riwayat Abussyekh; 272-259).” Jika kita makan dan minum, tetapi tidak dibacakan Basmallah maka yang diberi makan dan minum oleh diri kita bukanlah untuk diri kita sendiri, melainkan untuk syaitan. Ini berarti kita yang makan dan minum tetapi yang diberi rezeki adalah musuh utama dan terutama umat manusia.

 

Adapun melalui doa yang kita panjatkan sebelum makan dan minum, mudah-mudahan Allah SWT memberikan atau dapat meningkatkan atau dapat menambah manfaat (barokah) kepada kebutuhan jasmani kita atau dapat mengurangi dampak negatif dari makanan dan minuman yang kita konsumsi karena melebihi ketentuan baik (thayyib). Hal ini dikarenakan belum tentu seluruh makanan dan minuman yang kita konsumsi 100% telah memenuhi ketentuan halal lagi baik (thayyib) maka dengan doa itulah kita berharap kepada Allah SWT untuk memberikan lindungan dan ridhanya terhadap makanan dan minuman yang kita konsumsi jika belum sepenuhnya memenuhi ketentuan yang telah Allah SWT tetapkan.

 

Ingat, ketentuan halal lagi baik (thayyib) dan haram lagi buruk (khabits) bukan hanya mengatur tentang jenis makanan dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari saja. Akan tetapi ketentuan halal dan haram juga menyangkut bagaimana cara mendapatkan makanan dan minuman yang akan kita konsumsi. Apa maksudnya? Sebagai contoh, makanan dan minuman yang akan kita konsumsi sudah memenuhi seluruh konsep yang ditetapkan oleh Allah SWT, akan tetapi jika cara memperolehnya tidak halal atau bertentangan dengan hukum yang berlaku seperti mencuri dan juga korupsi, maka ketentuan yang telah kita penuhi menjadi batal atau tidak berlaku lagi.

 

Dan jika makanan dan minuman yang memenuhi konsep halal lagi baik saja dapat batal karena diperoleh dengan cara yang haram. Sekarang bagaimana dengan yang haram lagi buruk (khabit) yaitu lawan dari halal lagi baik (thayyib), jika diperoleh dengan cara yang haram pula? Jawabannya dari pertanyaan ini adalah inilah kondisi yang paling dikehendaki oleh syaitan sang laknatullah dikarenakan kesempatan syaitan untuk memiliki istana di dalam tubuh kita dapat terlaksana akibat ulah diri kita sendiri. 

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah bertauhid maka sudah sepatutnya diri kita menganut pola hidup halal lagi baik (thayyib) sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 di atas, yang tidak hanya halal lagi baik (thayyib) diri sisi jenis makanan yang akan dikonsumsi, namun juga termasuk diri sisi penghasilan yang kita dapatkan. Hal ini menjadi penting bagi diri, bagi keluarga, baik anak keturunan kita karena dibalik pola hidup yang halal lagi baik (thayyib) ada banyak manfaat yang dapat kita raih, seperti:

 

1.        Wujud keimanan kepada Allah SWT;

2.        Agar doa yang kita panjatkan tidak terhalang;

3.        Mencegah api neraka;

4.        Mencegah timbulnya penyakit;

5.        Tidak mengikuti langkah-langkah syaitan yang menyesatkan.

 

Ingat, sesuatu yang haram akan mendorong pemiliknya untuk berbuat, untuk bertindak, untuk berperilaku yang haram pula yang kesemuanya sangat dikehendaki oleh syaitan sanglaknatullah, namun sangat dikutuk oleh Allah SWT. Dan yang pasti sesuatu haram tidak akan menghasilkan sebuah output yang bernama kebaikan, keberkahan, anak yang shaleh dan shalehah, kembali fitrah. Haram akan membawa kepada bencana, malapetaka dan kerusakan. Akhirnya halal dan haramnya rezeki (penghasilan) yang kita peroleh dan yang kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT terutama dalam ibadah dan usaha yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.

 

Selain mampu memberikan nafkah kepada keluarga dari yang halal lagi baik, kewajiban orang yang bertauhid yang berikutnya adalah mampu melindungi dirinya sendiri, keluarganya, kerabatnya dari api neraka sebagaimana firmanNya berikut ini: Wahai orang orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, dank eras, yang tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (surat At Tahrim (66) ayat 6).” Inilah kondisi yang paling dikehendaki dan dicita-citakan oleh seluruh umat manusia, yaitu bisa berkumpul dengan keluarga besar di syurga. Namun kondisi ini tidak akan bisa terlak-sana jika kita yang telah menjadi orang tua, apakah menjadi seorang suami ataukah menjadi seorang istri, tidak mampu memelihara diri, keluarga, anak keturunan dari api neraka, atau hanya mementing-kan diri sendiri tanpa memperdulikan keluarga. 

 

D.     MAMPU ISTIQAMAH SELAMA HAYAT MASIH DI KANDUNG BADAN.

 

Kewajiban yang terakhir ini juga sangat penting adalah mampu istiqamah (konsisten dalam komitmen) dalam menjaga tauhid (ketauhidan) yang sudah ada dalam diri sehingga dapat kita pertahankan selama hayat masih di kandung badan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya kondisi yang sangat menentukan bagi kita di dunia ini dalam meraih kebahagian di akhirat adalah saat terakhir dari kehidupan kita. Dan peluang untuk mendapatkan akhir yang baik (husnul khatimah) itu hanya dimiliki oleh orang yang istiqamah.

 

Istilah istiqamah sendiri sering dikaitkan dengan suatu aktivitas, khususnya dalam hal ibadah. Secara terminologi, istiqamah adalah sikap yang berpendirian kuat atau teguh pendirian dan selalu konsisten dalam mengerjakan sesuatu. Pengertian istiqamah adalah berasal dari Bahasa Arab yang artinya lurus. Istiqamah adalah suatu usaha untuk menjaga perbuatan baiknya, seperti ibadah, secara konsisten dan tidak berubah. Rasulullah SAW juga menyinggung tentang istiqamah ini dalam salah satu hadistnya: "Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan bertanya kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku beriman’, lalu istiqomahlah”. (Hadits Riwayat Muslim, Ahmad, Ath Thirmidzi, Ibnu Majah).” Hadtis ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa beriman kepada Allah SWT serta menjalani semua perintah-Nya. Dan orang yang tidak memiliki sifat istiqamah sangatlah merugi karena akan sia-sia semua usaha dan perjuangannya.

 

Selanjutnya, dalam kerangka mempertegas apa yang telah kami kemukakan di atas, ada baiknya kita mempelajari apa yang dikemukakan oleh “Abdul Aziz” dalam tulisannya “Istiqamah, Kunci Sukses Dunia dan Akhirat” dalam laman “alfalahsby.com” berikut ini: Dimana istiqamah adalah sebuah komitmen dalam menjalankan satu program untuk menuju satu tujuan tertentu. Istiqamah itu mengandung 2 (dua) unsur utama yang terdiri dari:  

 

1.        Konsisten dalam komitmen sehingga seseorang mampu secara terus-menerus mela-kukan sesuatu dalam hal apa yang dianggap baik itu untuk dijalankan.

2.        Tahan uji atas godaan-godaan yang mungkin menjadi penghambat, menjadi halangan kita sampai pada tujuan yang telah dicita-citakan.

 

Di lain sisi, hidup yang kita jalani saat ini dianjurkan oleh agama kita, Islam, untuk memiliki tujuan. Allah SWT berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Ayat ini mengemukakan tentang tujuan hidup diri kita yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja.

 

Itu tujuan hidup kita. Kemudian Allah SWT telah mengingatkan bahwa kita diturunkan ke bumi sebagai umat yang terbaik dan juga dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya: “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkarm dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik. (surat Ali Imran (3) ayat 110).

 

Allah SWT berfirman: “Sunguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (surat At Tin (95) ayat 4)”.

 

Lalu adakah syaratnya untuk menjadi umat yang terbaik itu? Syaratnya adalah fokus kepada sesuatu yang menjadi cita-cita hidup kita karena hal itu yang akan menggerakkan seluruh hidup kita ke arah cita-cita tersebut. Kalau kalau kita tidak tahu apa yang akan dituju, pasti akan goyah. Dapat ujian sedikit sudah limbung dan kelimpungan. Disinilah letak dari istiqamah itu.

 

Istiqamah itu menyertai keimanan. Iman naik dan turun, ujian datang dan pergi. Lalu bisa juga disebut bahwa istiqamah itu salah satu ciri keimanan kita teruji atau tidak. Ketika kita tidak istiqamah, bisa dikatakan memang bahwa keimanan kita tidak teruji dengan baik. Memang istiqamah menjadi suatu kondisi, suatu benteng untuk menunjukkan ketundukan kita kepada Allah SWT. Indikator keberagaman kita atau ketakwaan itu memang ada pada sikap istiqamah. Menjalankan sesuatu, sendirian atau ramai-ramai, diberi “reward” dan  “tidak diberi reward” sikapnya sama saja. Itulah sikap orang yang istiqamah, yang dibalut dengan perilaku ikhlas sebagai seorang hamba. Dan agar diri kita mampu menjadi pribadi-pribadi yang istiqamah saat menjalankan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi.

 

Berikut ini akan kami kemukakan kiat-kiat agar mencapai pribadi istiqamah dimaksud.

 

1.        Kiat-Kiat Mewujudkan Sikap Istiqamah Dalam Diri. Sikap istiqamah dalam diri tidak datang begitu saja. Ia baru akan datang kepada diri kita melalui proses yang tidak sebentar dan butuh perjuangan untuk memperolehnya. Dan inilah yang harus kita lakukan agar tujuan hidup ini tercapai melalui konsep istiqamah, yakni:

 

a.        Mengikhlaskan niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah SWT. Ketika kita beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah SWT dan hanya Allah SWT. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa ikhlas.

 

b.        Bertahap dalam beramal. Ketika kita menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujudlah  sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit. Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan dalam diri terjadi. Seperti dalam bertilawah AlQuran, dalam qiyamul lail dan lain sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan menjadi lebih baik lagi.

 

c.        Diperlukan adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersi-fat kontinyu dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.

 

d.   Istiqamah tidak dapat direalisasikan melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah SWT. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir, padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya (Muhammad) pun berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (surat Ali Imran (3) ayat 101)”.

 

e.       Istiqamah juga sangat terkait erat dengan syahdat ketauhidan. Oleh karenanya dalam beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah SWT dari segala sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah mampu direalisasikan, bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.

 

f.    Istiqamah juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan ‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.

 

g.        Istiqamah juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i (berjamaah). Karena dengan kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika kita lalai, tentu yang lain ada yang mengingatkan. Berbeda dengan ketika kita seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal seorang diri.

 

h.  Memperbanyak membaca dan mengupas mengenai keistiqamahan dari para Nabi, sahabat dan orang-orang shaleh dalam meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan yang penuh dengan cobaan tersebut.

 

i.   Memperbanyak berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal tersebut tidak bisa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar