Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
juga sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah memiliki ilmu tauhid
(ketauhidan. Tentu hasil dari pelaksananaan ketauhidan yang telah kita miliki
harus tercermin di dalam diri sehingga kita tidak bisa hanya berdiam diri saja
setelah bertauhid dengan baik dan benar. Untuk itu ketahuilah setelah diri kita
mampu bertauhid (syahadat ketauhidan dan syahadat kerasulan dalam satu
kesatuan) kita memiliki kewajiban sebagai manusia-manusia yang bertauhid untuk
kepentingan diri sendiri, untuk kepentingan keluarga dan juga untuk kepentingan
sesama umat manusia.
Hal ini menjadi penting
karena melalui kewajiban ini akan terjadilah proses belajar yang diikuti dengan
mengajarkan apa-apa yang telah kita pelajari dan melalui diri kita tampillah
pepatah “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing
Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani” di tengah masyarakat dalam bentuk
kebaikan-kebaikan serta teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat yang
majemuk melalui diri kita.
Selanjutnya
hal yang pertama-tama yang harus kita lakukan sebelum diri kita melaksanakan
kewajiban sebagai manusia yang bertauhid adalah kita harus dapat melepaskan
diri terlebih dahulu dari hal-hal yang akan merusak perjalanan dan cita-cita
menuju keridhaan Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh “Syekh
M Nafis Bin Idris Al Banjarie” dalam bukunya “Ilmu Ketuhanan Permata Yang Indah
(Ad Durrunnafis)” berikut ini:
1.
Kasal (malas), malas untuk mengerjakan ibadah
kepada Allah SWT padahal sebenarnya ia dapat dan sanggup melakukan ibadah tersebut.
2.
Futur (bimbang/lemah pendirian), tidak memiliki tekad yang kuat
karena terpengaruh oleh kehidupan duniawi.
3.
Malal (pembosan), cepat merasa jemu dan bosan untuk
melaksanakan ibadah karena merasa terlalu sering dilakukan, padahal tujuan
belum tercapai.
Timbulnya
3 (tiga) hal yang kami kemukakan di atas adalah disebabkan kurang kuatnya rasa
keimanan dan ketaqwaan, kurang mantapnya keyakinan, dan banyak terpengaruh oleh
hawa nafsu dirinya sendiri. Dan apabila diri kita telah mampu mengatasi 3 (tiga)
persoalan yang telah kami kemukakan di atas, akan memudahkan diri kita
melaksanakan kewajiban-kewajiban yang melekat di dalam diri setelah diri kita
mampu melaksanakan syahadat ketauhidan dan juga syahadat kerasulan dalam satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.
Sekarang
apakah sajakah kewajiban dari diri kita selaku orang-orang yang telah memiliki
ketauhidan dalam diri yang baik dan benar itu? Berikut ini akan kami kemukakan
beberapa kewajiban diri kita selaku orang-orang yang telah bertauhid, yakni:
A.
BELAJAR DAN MENGAJARKAN ILMU TAUHID.
Kewajiban orang yang bertauhid yang
pertama adalah wajib bagi seorang muslim memiliki ilmu yang memadai tentang
tauhid (ketauhidan); wajib memahami bagaimanakah cara mentauhidkan Allah dengan
baik dan benar. Kondisi ini hanya bisa kita dapatkan jika kita konsisten untuk
belajar sehingga kita bisa memiliki ilmu. Hal ini menjadi penting karena ilmu
adalah pokok yang sangat penting dalam tauhid (ketauhidan) karena benar atau
tidaknya tauhid (ketauhidan) yang kita miliki sangat bergantung kepada
pemahaman kita terhadap makna tauhid (ketauhidan) itu sendiri. Dan tidak
diragukan lagi bahwa tauhid (ketauhidan) merupakan permasalahan yang paling
penting dalam agama ini.
Maka mendakwahkannya (mengajarkan
kembali ilmu tauhid) juga merupakan perkara yang penting yang tidak boleh
disepelekan, apalagi dinomorduakan. Namun sangat disayangkan, pada saat ini
masih banyak di antara para dai (ulama) yang meremehkan dakwah tauhid, mereka
justru disibukkan dengan permasalahan lainnya tanpa mempedulikan dakwah yang
satu ini. Sementara orang yang berkonsentrasi mendak-wahkan tauhid dianggap
keting-galan zaman dan memecah belah umat. Padahal tauhid (ketauhidan) inilah
inti dakwah para Nabi dan Rasul yang diutus Allah SWT yang tidak lain bagian
dari pelaksanaan rukun iman yang enam.
Sebagai seseorang yang telah bertauhid
dengan baik dan benar maka ia akan terus berusaha untuk menyempurnakan ketauhidannya,
yang salah satunya adalah dengan berusaha untuk mendakwahkan tauhid kepada
diri, kepada keluarga dan kepada khalayak. Karena keimanan seseorang tidak akan
sempurna kecuali jika disertai ajakan berdakwah kepada ketauhidan. Hal ini
sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Demi masa. Sesungguhnya manu-sia benar-benar
berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran. (surat Al Ashri (102) ayat 1, 2, 3).”
Disamping menyempurnakan tauhid (ketauhidan)
dalam diri, ajakan kepada ketauhidan harus ada dalam diri. Jika tidak, maka ada
yang kurang dalam tauhid tersebut. Tidak diragukan lagi bahwa orang yang meniti
jalan tauhid disebabkan dia mengetahui bahwa jalan tauhid adalah jalan yang
terbaik. Kalau memang dia benar dalam keyakinannya, maka dia juga harus mendakwahkan
tauhid. Mengajak kepada seruan tauhid “Laa ilaaha ilallah” adalah termasuk
kesempurnaan tauhid seseorang, dan tidak akan sempurna tauhid sese-orang
kecuali dia berusaha untuk mendakwahkan tauhid tersebut dengan mengajarkan
kembali ilmu tauhid yang kita miliki.
Berdasarkan uraian di atas maka tidak
berlebihan jika kewajiban yang pertama bagi diri kita sekarang adalah kita
wajib belajar tentang ketauhidan yang dilanjutkan dengan melaksanakan apa-apa
yang telah kita pelajari sehingga kita mampu menjadi suri tauladan bagi
keluarga lalu mengajarkan kembali ilmu tauhid yang telah kita pelajari kepada
keluarga, kerabat dekat dan juga masyarakat luas sehingga kita mampu menjadi
motivator (suri tauladan) bagi kebaikan sesama di tengah-tengah masyarakat. Hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Apakah kamu menjadi saksi saat
maut akan menjemput Yakub, ketika dia berkata kepada anak-anaknya, “Apa yang
kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab, “Kami akan menyembah Tuhanmu dan
Tuhan nenek moyangmu yaitu Ibrahim, Ismail, Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa
dan kami (hanya) berserah diri kepada-Nya. (surat Al Baqarah (2) ayat 133).”
Setelah diri kita giat belajar lalu
memiliki ilmu ketauhidan ataupun ilmu apapun ketahuilah ilmu yang kita miliki
belum dikatakan menjadi ilmu yang bermanfaat jika hanya kita yang memilikinya
atau hanya sampai diri kita saja. Ilmu yang kita miliki baru bisa dikatakan
bermanfaat jika ilmu yang kita miliki itu kita ajarkan kepada orang lain.
Semakin banyak yang kita ajarkan akan semakin banyak manfaat yang dirasakan
oleh orang banyak serta semakin baiklah diri kita dihadapan Allah SWT. Kondisi
sejalan dengan firman-Nya yang termaktub dlam surat At Taubah (9) ayat 122
berikut ini: “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya
(ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka
beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya,
supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”
Untuk itu berhati-hatilah jika kita
telah memiliki ilmu dan pengetahuan, lalu jangan sampai ilmu pengetahuan yang
seharusnya menjadi kebaikan bagi diri kita justru menjadi bumerang bagi diri
kita karena kita tidak mau mengajarkan kepada sesama. Dan ingat ilmu dan
pengetahuan yang kita miliki akan dimintakan pertanggung jawabannya oleh Allah SWT dan jika sampai kita kita tidak mau
mengajarkan bagaimana mungkin kita akan memper-tanggungjawabkannya kepada Allah
SWT?
Apalagi Nabi Muhammad SAW telah
mempe-ringatkan kepada diri kita melalui hadits berikut ini: “Abu
Hurairah ra, berkata: Nabi bersabda: “Orang yang ditanya tentang pengetahuan
dan menyembunyikannya, akan dikekang dengan kekangan api pada hari kiamat”. (Hadits
Riwayat Abu Daud, Athtirmidzi,Ibnu Madjah)
Sekarang apa yang akan kita
pertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT kelak jika saat ini kita hanya pasif
dengan hanya belajar tanpa pernah mengajarkan sesuatu kepada orang lain.
Apalagi Nabi Muhammad SAW melalui 2 (dua) hadits berikut ini telah memberikan
ketentuan sebagaimana berikut ini: “Abu Dharda ra, berkata: Nabi bersabda:
Sesungguhnya seburuk buruknya manusia pada hari kiamat ialah orang pintar yang
ilmu pengetahuannya tidak menguntungkan”. (Hadits Riwayat Ad Darimi).”
“Dari Abdullah ibnu Mas’ud berkata
Nabi bersabda: “Janganlah ingin seperti orang lain kecuali seperti dua orang
ini. Pertama orang yang diberi Allah kekayaan yang berlimpah dan ia
membelanjakannya secara benar, kedua orang yang diberi Allah SWT Alhikmah
(pemahaman) dan ia berperilaku sesuai dengannya dan mengajarkannya kepada orang
lain”. (Hadits Riwayat Bukhari)
Apabila kita mampu mengajar dalam
kerangka berbagi ilmu pengetahuan ketahuilah semakin kita berbuat (mengajarkan)
maka semakin halus dan tajam serta mendalam pula ilmu dan pengetahuan yang kita
miliki. Yang pada akhirnya mampu menghantarkan diri kita kepada kenikmatan
bertuhankan kepada Allah SWT melalui ilmu dan pengajaran yang kita lakukan,
sebagaimana hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata, Nabi bersabda:
“Sesungguhnya yang dicapai oleh orang mukmin dari amal dan perbuatan sesudah
matinya ialah: ilmu pengetahuan yang di dapatnya dan disebarkan dan budi baik
yang dia tinggalkan, atau buku yang ia berikan untuk diwarisi, atau tempat
sembahyang yang ia bangun, atau sebuah terusan yang ia gali, atau derma ia
lakukan dari kekayaannya selama ia sehat dan sakit”. (Hadits Riwayat Ahmad)
Bukanlah sesuatu yang sangat
berlebihan jika Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan “carilah ilmu sejak dari buaian hingga masuk
liang lahat”. Adanya perintah untuk menuntut ilmu berarti kita wajib untuk
belajar dan belajar serta belajar tiada henti. Yang menjadi persoalan adalah
setelah kita belajar, belajar dan belajar maka pelajaran yang telah kita terima
akan menjadi sebuah kesiasiaan jika apa apa yang telah kita pelajari hanya
sampai pada diri kita sendiri dan jadilah diri kita orang yang egois yang hanya
mementingkan diri sendiri. Sedangkan ketentuan hadits di atas ini mengajarkan kepada kita untuk
selalu berbagi atau kita wajib meninggalkan jejak-jejak kebaikan untuk sesama
umat manusia.
Dan jika saat ini kita masih hidup di
muka bumi ini berarti saat ini kita menjalani sisa usia yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT. Berapa lama sisa usia kita saat ini? Kita tidak pernah tahu dan
tidak akan pernah tahu karena Allah SWT sajalah yang tahu. Lalu apakah disisa
usia yang tidak kita ketahui ini kita hanya sibuk belajar, belajar dan belajar
tanpa pernah merasakan hasil dari pelajaran yang kita terima yang dilanjutkan
dengan mengajarkan ilmu pengetahuan yang kita miliki kepada sesama? Lalu kapan
lagi kita mau berbuat kebaikan dengan ilmu dan pengetahuan yang kita miliki
jika tidak sekarang? Jangan sampai terlambat karena kita memiliki keterbatasan
usia dan juga keterbatasan kemampuan untuk berbagi serta keterbatasan
kesempatan yang hanya datang satu kali.
Untuk itu perhatikan dengan seksama
hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata; Nabi bersabda:
“Orang yang mengerti (agama) lebih sukar dipengaruhi syaitan daripada seribu
orang yang shalat”. (Hadits Riwayat Aththirmidzi, Ibnu Majah).” Dimana
syaitan mengalami kesukaran di dalam mempengaruhi orang yang mengerti atau
paham dengan Diinul Islam dibanding dengan seribu orang yang shalat. Jika
seperti ini kondisinya berarti orang yang berilmu sangat diperhitungkan oleh
syaitan sang laknatullah. Agar diri kita mampu menjadi orang yang
diperhitungkan oleh syaitan maka kita tidak bisa hanya belajar tanpa mengajar
atau tidak cukup hanya membaca saja tanpa pernah merenungi apa yang telah kita
pelajari.
Sekarang mari kita perhatikan hadist
berikut ini: “Ibnu Umar ra, berkata kepada Aisyah ra, “Kabarkanlah kepada kami
sesuatu yang sangat mengagumkan yang
engkau lihat dari Rasulullah SAW.! Aisyah ra, terdiam sejenak kemudian berkata:
“Pada suatu malam Rasulullah SAW bersabda, Wahai Aisyah tinggalkanlah aku, malam
ini aku hendak beribadah kepada Tuhanku. Aku (Aisyah ra,) berkata, Demi Allah
sesungguhnya aku senang berada di dekatmu, dan akupun senang terhadap sesuatu
yang membuatmu gembira. Selanjutnya Aisyah ra, berkata: “Lalu Rasulullah SAW
bangun lantas berwudhu dan beliau shalat. Tidak henti hentinya beliau menangis
hingga membasahi pangkuannya, beliau terus menangis hingga membasahi
janggutnya, dan beliau terus menangis hingga membasahi tanah. Kemudian Bilal
datang hendak azan untuk shalat. Ketika dia melihat beliau menangis, dia
bertanya. “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menangis, padahal Allah telah
mengampuni dosamu yang lalu dan akan datang?. Beliau SAW bersabda:”Tidak
bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Tadi malam telah turun ayat
kepadaku, celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkannya, yaitu
AlQur’an surat Ali Imron (3) ayat 190”. (Hadits Riwayat Ibnu Hibban).”
Hadits ini ini mengingatkan kita untuk
tidak berhenti hanya membaca ayat-ayat dengan tajwid serta tartil yang baik dan
benar yang telah diturunkan Allah SWT. Akan tetapi harus pula kita merenungkan
apa yang telah kita baca, melaksanakan serta dilanjutkan dengan mengajarkan
apa-apa yang telah kita pelajari walaupun hanya satu ayat. Jika kita hanya
sibuk membaca ayat-ayat AlQuran, atau sibuk belajar semata tanpa pernah
mengajarkan maka berarti kita hanya mampu memposisikan AlQuran itu adalah bacaan
semata serta menunjukkan diri kita orang yang egois hanya mementingkan diri
sendiri. Dan semoga itu bukanlah diri kita!
B.
SELALU MEWASIATKAN AKIDAH ISLAM KEPADA ANAK DAN
KETURUNAN.
Seorang yang
telah bertauhid maka ia memiliki kewajiban untuk selalu mewasiatkan akidah
Islam kepada anak dan keturunan kita sendiri sebelum mewasiatkan kepada orang
lain. Hal ini sebagaimana dengan diingatkan oleh Allah SWT berikut ini: ““Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika
ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?"
mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu,
Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk
patuh kepada-Nya". (surat Al Baqarah (2) ayat 133). Berdasarkan
ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 133 di atas ini, sebagai seorang orang tua
bagi anak-anak kita yang telah bertauhid dengan baik dan benar maka kita harus selalu mewasiatkan Akidah
Islam kepada anak dan keturunan kita yang juga merupakan bagian dari regenerasi
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang kita lakukan. Kenapa hal ini
harus kita lakukan?
Untuk dapat menjadikan anak dan keturunan diri kita sendiri menjadi
generasi yang mampu bertauhid yang
seperti kita lakukan bukanlah seperti membalik telapak tangan. Akan tetapi harus melalui kerja keras, dengan
memberikan pendidikan, dengan memberikan bimbingan, dengan memberikan contoh
dan teladan. Tanpa itu semua anak dan keturunan kita akan sangat sulit menjadi
generasi yang berhasil memiliki ilmu tauhid dalam diri yang sesuai kehendak
Allah SWT.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, apakah kita hanya
bertanggung jawab kepada anak dan keturunan kita semata dengan mengabaikan
orang lain? Sebagai
orang yang telah bertauhid dengan baik dan benar maka maka diri kita harus pula
bermanfaat kepada orang lain; diri kita harus pula saling tolong menolong
dengan sesama dalam hal kebaikan. Adanya kondisi ini berarti kita harus pula mengingatkan, mendorong,
mengajarkan sesama manusia tentang arti dan pentingnya Akidah Islam. Lalu
sudahkah kita berperan aktif di dalam masyarakat, bangsa, dan negara untuk
menanamkan akidah Islam sebagai modal awal untuk menuju masyarakat madani atau
sebagai wujud tanggung jawab sosial diri kita di dalam pelaksanaan hubungan
antar sesama manusia?
C.
MENAFKAHI KELUARGA DENGAN YANG HALAL
DAN BAIK.
Kewajiban orang yang bertauhid yang
berikutnya adalah mampu menafkahi keluarga, istri/suami, anak keturuan dari
yang halal lagi baik (thayyib). Hal ini menjadi pentking karena berrdasarkan
ketentuan ilmu kedokteran yang berlaku saat ini, didapat keterangan bahwa asal
muasal janin atau jasmani yang ada di dalam rahim ibu berasal dari hasil
pembuahan sel telur yang berasal dari seorang ibu dengan sperma terbaik yang
berasal dari seorang bapak. Dimana sel
telur dan sperma asalnya dari saripati tanah yang berasal dari makanan dan
minuman yang dikonsumsi oleh seorang ibu dan seorang bapak. Adanya informasi
ini, dapat dikatakan bahwa asal muasal janin atau jasmani manusia berasal dari
makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh seorang ibu dan seorang bapak.
Sekarang timbul pertanyaan, perlukah janin atau kondisi awal dari jasmani
seorang manusia, dengan bahan baku yang bermutu atau makanan dan minuman yang berkualitas
serta yang memenuhi takaran atau ukuran tertentu? Untuk mendapatkan janin atau jasmani yang baik dan berkualitas maka kita
wajib mempunyai atau mempergunakan bahan-bahan berkualitas pula serta harus
memenuhi ukuran dan takaran yang sesuai dengan kebutuhan berdasarkan ilmu gizi.
Adapun melalui doa yang kita panjatkan sebelum makan dan minum,
mudah-mudahan Allah SWT memberikan atau dapat meningkatkan atau dapat menambah
manfaat (barokah) kepada kebutuhan jasmani kita atau dapat mengurangi dampak
negatif dari makanan dan minuman yang kita konsumsi karena melebihi ketentuan
baik (thayyib). Hal ini dikarenakan belum tentu seluruh makanan dan minuman
yang kita konsumsi 100% telah memenuhi ketentuan halal lagi baik (thayyib) maka
dengan doa itulah kita berharap kepada Allah SWT untuk memberikan lindungan dan
ridhanya terhadap makanan dan minuman yang kita konsumsi jika belum sepenuhnya
memenuhi ketentuan yang telah Allah SWT tetapkan.
Ingat, ketentuan halal lagi baik
(thayyib) dan haram lagi buruk (khabits) bukan hanya mengatur tentang jenis makanan
dan minuman yang kita konsumsi sehari-hari saja. Akan tetapi ketentuan halal
dan haram juga menyangkut bagaimana cara mendapatkan makanan dan minuman yang
akan kita konsumsi. Apa maksudnya? Sebagai
contoh, makanan dan minuman yang akan kita konsumsi sudah memenuhi seluruh
konsep yang ditetapkan oleh Allah SWT, akan tetapi jika cara memperolehnya
tidak halal atau bertentangan dengan hukum yang berlaku seperti mencuri dan
juga korupsi, maka ketentuan yang telah kita penuhi menjadi batal atau tidak
berlaku lagi.
Dan jika makanan dan minuman yang memenuhi konsep halal
lagi baik saja dapat batal karena diperoleh dengan cara yang haram. Sekarang
bagaimana dengan yang haram lagi buruk (khabit) yaitu lawan dari halal lagi
baik (thayyib), jika diperoleh dengan cara yang haram pula? Jawabannya
dari pertanyaan ini adalah inilah kondisi yang paling dikehendaki oleh syaitan
sang laknatullah dikarenakan kesempatan syaitan untuk memiliki istana di dalam
tubuh kita dapat terlaksana akibat ulah diri kita sendiri.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah bertauhid maka sudah sepatutnya
diri kita menganut pola hidup halal lagi baik (thayyib) sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 168 di atas, yang
tidak hanya halal lagi baik (thayyib) diri sisi jenis makanan yang akan
dikonsumsi, namun juga termasuk diri sisi penghasilan yang kita dapatkan. Hal
ini menjadi penting bagi diri, bagi keluarga, baik anak keturunan kita karena
dibalik pola hidup yang halal lagi baik (thayyib) ada banyak manfaat yang dapat
kita raih, seperti:
1.
Wujud
keimanan kepada Allah SWT;
2.
Agar
doa yang kita panjatkan tidak terhalang;
3.
Mencegah
api neraka;
4.
Mencegah
timbulnya penyakit;
5.
Tidak
mengikuti langkah-langkah syaitan yang menyesatkan.
Ingat, sesuatu
yang haram akan mendorong pemiliknya untuk berbuat, untuk bertindak, untuk berperilaku
yang haram pula yang kesemuanya sangat dikehendaki oleh syaitan
sanglaknatullah, namun sangat dikutuk oleh Allah SWT. Dan yang pasti sesuatu
haram tidak akan menghasilkan sebuah output yang bernama kebaikan, keberkahan,
anak yang shaleh dan shalehah, kembali fitrah. Haram akan membawa kepada
bencana, malapetaka dan kerusakan. Akhirnya halal dan haramnya rezeki (penghasilan) yang kita peroleh
dan yang kita konsumsi akan mempengaruhi kualitas hubungan kita dengan Allah SWT
terutama dalam ibadah dan usaha yang mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain mampu memberikan nafkah kepada
keluarga dari yang halal lagi baik, kewajiban orang yang bertauhid yang berikutnya
adalah mampu melindungi dirinya sendiri, keluarganya, kerabatnya dari api
neraka sebagaimana firmanNya berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Peliharalah
dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu; penjaganya malaikat malaikat yang kasar, dank eras, yang tidak durhaka
kepada Allah terhadap apa yang diperintahkan kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan. (surat At Tahrim (66) ayat 6).”
Inilah kondisi yang paling dikehendaki dan dicita-citakan oleh seluruh umat
manusia, yaitu bisa berkumpul dengan keluarga besar di syurga. Namun kondisi
ini tidak akan bisa terlak-sana jika kita yang telah menjadi orang tua, apakah
menjadi seorang suami ataukah menjadi seorang istri, tidak mampu memelihara
diri, keluarga, anak keturunan dari api neraka, atau hanya mementing-kan diri
sendiri tanpa memperdulikan keluarga.
D.
MAMPU ISTIQAMAH SELAMA HAYAT MASIH DI
KANDUNG BADAN.
Kewajiban yang terakhir ini juga
sangat penting adalah mampu istiqamah (konsisten dalam komitmen) dalam menjaga
tauhid (ketauhidan) yang sudah ada dalam diri sehingga dapat kita pertahankan selama
hayat masih di kandung badan. Hal ini dikarenakan sesungguhnya kondisi yang
sangat menentukan bagi kita di dunia ini dalam meraih kebahagian di akhirat
adalah saat terakhir dari kehidupan kita. Dan peluang untuk mendapatkan akhir
yang baik (husnul khatimah) itu hanya dimiliki oleh orang yang istiqamah.
Istilah istiqamah sendiri
sering dikaitkan dengan suatu aktivitas, khususnya dalam hal ibadah. Secara
terminologi, istiqamah adalah sikap yang berpendirian kuat atau teguh pendirian
dan selalu konsisten dalam mengerjakan sesuatu. Pengertian istiqamah adalah
berasal dari Bahasa Arab yang artinya lurus. Istiqamah adalah suatu usaha
untuk menjaga perbuatan baiknya, seperti ibadah, secara konsisten dan tidak
berubah. Rasulullah SAW juga menyinggung tentang istiqamah ini dalam salah satu
hadistnya: "Dari Sufyan bin Abdullâh ats-Tsaqafi, ia berkata: Aku berkata, “Wahai
Rasûlullâh, katakan kepadaku di dalam Islam satu perkataan yang aku tidak akan
bertanya kepada seorangpun setelah Anda!” Beliau menjawab: “Katakanlah, ‘aku
beriman’, lalu istiqomahlah”. (Hadits Riwayat Muslim, Ahmad, Ath Thirmidzi,
Ibnu Majah).” Hadtis ini mengajarkan kepada kita untuk senantiasa
beriman kepada Allah SWT serta menjalani semua perintah-Nya. Dan orang yang
tidak memiliki sifat istiqamah sangatlah merugi karena akan sia-sia semua usaha
dan perjuangannya.
Selanjutnya, dalam kerangka
mempertegas apa yang telah kami kemukakan di atas, ada baiknya kita mempelajari
apa yang dikemukakan oleh “Abdul Aziz” dalam tulisannya “Istiqamah, Kunci Sukses Dunia dan Akhirat”
dalam laman “alfalahsby.com” berikut
ini: Dimana istiqamah adalah sebuah komitmen dalam menjalankan satu program
untuk menuju satu tujuan tertentu. Istiqamah itu mengandung 2 (dua) unsur utama
yang terdiri dari:
1.
Konsisten
dalam komitmen sehingga seseorang mampu secara terus-menerus mela-kukan sesuatu
dalam hal apa yang dianggap baik itu untuk dijalankan.
2.
Tahan
uji atas godaan-godaan yang mungkin menjadi penghambat, menjadi halangan kita
sampai pada tujuan yang telah dicita-citakan.
Di lain sisi, hidup yang kita jalani
saat ini dianjurkan oleh agama kita, Islam, untuk memiliki tujuan. Allah SWT
berfirman: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki
sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya mereka memberi-Ku
makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang mempunyai kekuatan
lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Ayat ini mengemukakan tentang tujuan hidup diri
kita yaitu untuk beribadah kepada-Nya saja.
Itu tujuan hidup kita. Kemudian Allah
SWT telah mengingatkan bahwa kita diturunkan ke bumi sebagai umat yang terbaik
dan juga dalam bentuk yang sebaik-baiknya, sebagaimana firman-Nya: “Kamu
(umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu)
menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang mungkarm dan beriman kepada
Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka.
Diantara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang
fasik. (surat Ali Imran (3) ayat 110).
Allah SWT berfirman: “Sunguh
kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (surat At Tin
(95) ayat 4)”.
Lalu adakah syaratnya untuk menjadi
umat yang terbaik itu? Syaratnya adalah fokus kepada sesuatu yang menjadi
cita-cita hidup kita karena hal itu yang akan menggerakkan seluruh hidup kita
ke arah cita-cita tersebut. Kalau kalau kita tidak tahu apa yang akan dituju,
pasti akan goyah. Dapat ujian sedikit sudah limbung dan kelimpungan. Disinilah
letak dari istiqamah itu.
Istiqamah itu menyertai keimanan. Iman
naik dan turun, ujian datang dan pergi. Lalu bisa juga disebut bahwa istiqamah
itu salah satu ciri keimanan kita teruji atau tidak. Ketika kita tidak istiqamah,
bisa dikatakan memang bahwa keimanan kita tidak teruji dengan baik. Memang
istiqamah menjadi suatu kondisi, suatu benteng untuk menunjukkan ketundukan
kita kepada Allah SWT. Indikator keberagaman kita atau ketakwaan itu memang ada
pada sikap istiqamah. Menjalankan sesuatu, sendirian atau ramai-ramai, diberi “reward”
dan “tidak diberi reward” sikapnya sama
saja. Itulah sikap orang yang istiqamah, yang dibalut dengan perilaku ikhlas
sebagai seorang hamba. Dan agar diri kita mampu menjadi pribadi-pribadi yang
istiqamah saat menjalankan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi.
Berikut ini akan kami kemukakan
kiat-kiat agar mencapai pribadi istiqamah dimaksud.
1.
Kiat-Kiat Mewujudkan Sikap Istiqamah Dalam
Diri. Sikap istiqamah dalam diri tidak datang begitu saja. Ia baru akan
datang kepada diri kita melalui proses yang tidak sebentar dan butuh perjuangan
untuk memperolehnya. Dan inilah yang harus kita lakukan agar tujuan hidup ini
tercapai melalui konsep istiqamah, yakni:
a.
Mengikhlaskan
niat semata-mata hanya mengharap Allah dan karena Allah SWT. Ketika kita
beramal, tiada yang hadir dalam jiwa dan pikiran kita selain hanya Allah SWT
dan hanya Allah SWT. Karena keikhlasan merupakan pijakan dasar dalam bertawakal
kepada Allah. Tidak mungkin seseorang akan bertawakal, tanpa diiringi rasa
ikhlas.
b.
Bertahap
dalam beramal. Ketika kita menjalankan suatu ibadah, kita hendaknya memulai
dari sesuatu yang kecil namun rutin. Bahkan sifat kerutinan ini jika dipandang
perlu, harus bersifat sedikit dipaksakan. Sehingga akan terwujudlah sebuah amalan yang rutin meskipun sedikit.
Kerutinan inilah yang insya Allah menjadi cikal bakalnya keistiqamahan dalam
diri terjadi. Seperti dalam bertilawah AlQuran, dalam qiyamul lail dan lain
sebagainya; hendaknya dimulai dari sedikit demi sedikit, kemudian ditingkatkan
menjadi lebih baik lagi.
c.
Diperlukan
adanya kesabaran. Karena untuk melakukan suatu amalan yang bersi-fat kontinyu
dan rutin, memang merupakan amalan yang berat. Karena kadangkala sebagai
seorang insan, kita terkadang dihinggapi rasa giat dan kadang rasa malas. Oleh
karenanya diperlukan kesabaran dalam menghilangkan rasa malas ini, guna
menjalankan ibadah atau amalan yang akan diistiqamahi.
d. Istiqamah tidak dapat direalisasikan
melainkan dengan berpegang teguh terhadap ajaran Allah SWT. Hal ini sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Dan bagaimana kamu (sampai) menjadi kafir,
padahal ayat-ayat Allah dibacakan kepada kamu, dan Rasul-Nya (Muhammad) pun
berada di tengah-tengah kamu? Barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama)
Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.
(surat Ali Imran (3) ayat 101)”.
e. Istiqamah
juga sangat terkait erat dengan syahdat ketauhidan. Oleh karenanya dalam
beristiqamah seseorang benar-benar harus mentauhidkan Allah SWT dari segala
sesuatu apapun yang di muka bumi ini. Karena mustahil istiqamah mampu direalisasikan,
bila dibarengi dengan fenomena kemusyrikan, meskipun hanya fenomena yang sangat
kecil dari kemusyrikan tersebut, seperti riya. Menghilangkan sifat riya’ dalam
diri kita merupakan bentuk istiqamah dalam keikhlasan.
f. Istiqamah
juga akan dapat terealisasikan, jika kita memahami hikmah atau hakekat dari
ibadah ataupun amalan yang kita lakukan tersebut. Sehingga ibadah tersebut
terasa nikmat kita lakukan. Demikian juga sebaliknya, jika kita merasakan
‘kehampaan’ atau ‘kegersangan’ dari amalan yang kita lakukan, tentu hal ini
menjadikan kita mudah jenuh dan meninggalkan ibadah tersebut.
g.
Istiqamah
juga akan sangat terbantu dengan adanya amal jama’i (berjamaah). Karena dengan
kebersamaan dalam beramal islami, akan lebih membantu dan mempermudah hal
apapun yang akan kita lakukan. Jika kita salah, tentu ada yang menegur. Jika
kita lalai, tentu yang lain ada yang mengingatkan. Berbeda dengan ketika kita
seorang diri. Ditambah lagi, nuansa atau suasana beraktivitas secara bersama
memberikan ‘sesuatu yang berbeda’ yang tidak akan kita rasakan ketika beramal
seorang diri.
h. Memperbanyak membaca dan mengupas
mengenai keistiqamahan dari para Nabi, sahabat dan orang-orang shaleh dalam
meniti jalan hidupnya, kendatipun berbagai cobaan dan ujian yang sangat berat
menimpa mereka. Jusrtru mereka merasakan kenikmatan dalam menjalani kehidupan
yang penuh dengan cobaan tersebut.
i. Memperbanyak
berdoa kepada Allah, agar kita semua dianugerahi sifat istiqamah. Karena
kendatipun usaha kita, namun jika Allah tidak mengizinkannya, tentulah hal
tersebut tidak bisa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar