D.
PENGARUH BURUK PENGHASILAN/PEKERJAAN
HARAM.
Adanya pengaruh buruk dari penghasilan
dan juga pekerjaan yang haram akan membuat pemilik dari penghasilan (harta)
yang haram itu akan berperilaku yang haram pula yang berkesesuaian dengan yang
dikehendaki oleh setan sang laknatullah. Lalu seperti apakah perilaku haram
itu? Perilaku-perilaku haram adalah perilaku yang tidak sesuai dengan
kaidah-kaidah agama seperti judi, seks bebas, narkoba, mengkonsumi minuman
keras (mabuk), memperturutkan ahwa (hawa nafsu). Kondisi ini sangat dikehendaki oleh setan sang laknatullah,
namun sangat dikutuk oleh Allah SWT. Jika ini terjadi maka apa yang dikemukakan
oleh “William Ewart Gladstone” (1809-1898) memang benar
adanya. Sudahkah kita menyadarinya!
Di lain sisi, Allah SWT telah
memberikan panduan kepada umat manusia, agar selalu berpedoman kepada yang
halal lagi baik sebagaimana firman-Nya berikut ini: "Wahai manusia, makanlah sebagian
(makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah
setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata." (surat Al
Baqarah (2) ayat 168).” Ayat ini mengemukakan bahwa konsep halal lagi
baik bukanlah konsep yang berdiri sendiri, namun konsep yang tidak bisa
dipisahkan. Halal dan baik (thayyib) tidak saja mengatur jenis makanan dan
minuman yang kita konsumsi, namun juga termasuk di dalamnya mengatur
penghasilan dan pekerjaan yang kita lakukan. Alangkah ruginya diri kita mampu
membeli, mampu membelanjakan hasil dari penghasilan (pekerjaan) yang kita
lakukan untuk menafkahi keluarga, untuk mendidik anak, jika penghasilan
(pekerjaan) dari sesuatu yang haram. Sesuatu yang haram tidak akan menjadikan
menjadi halal.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi kita harus
memahami bahwa setiap pekerjaan, setiap penghasilan, setiap makanan dan minuman
yang kita konsumsi (apakah halal lagi baik, atau haram lagi buruk) pasti akan mempengaruhi
kualitas sperma dan kualitas sel telur (ovum) yang akan menjadi anak keturunan kita.
Akhirnya ruh yang suci akan menempati bangunan jasmani manusia yang
terkontaminasi dengan yang haram lagi buruk, jika kita tidak mampu
memperhatikan apa-apa yang kita konsumsi. Hal ini sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. (surat Abasa (80)
ayat 24).”
Jika makanan dan minuman yang kita
konsumsi terkontaminasi dengan yang haram lagi buruk berarti maka kita
sendirilah yang telah memberikan tempat bercokol bagi setan di dalam tubuh
(jasmani) diri kita dan juga anak kita. Lalu bisakah kita membayangkan jika di dalam otak anak kita
terkontaminasi dengan yang haram lagi buruk lalu setan bercokol disana maka
bukan tidak mungkin pola berpikir anak tersebut menjadi susah untuk diajak
kepada kebaikan, susah untuk belajar mengaji; susah untuk menerima
masukan-masukan yang bersifat kebaikan, susah untuk berbagi serta sangat suka
berbuat kerusakan dan lain sebagainya.
Sebagai orang tua, tentu kita sangat mendambakan anak shaleh dan
shalehah, namun apa jadinya jika makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh diri
kita, oleh anak kita berasal dari penghasilan dan pekerjaan yang haram ditambah
saat mengkonsuminya tanpa membaca basmallah dan doa. Hal ini menjadi lebih
berbahaya jika sampai biaya untuk membesarkan anak dan keluarga kita sendiri
berasal dari penghasilan dan pekerjaan yang haram. Akhirnya cita-cita memiliki
anak shaleh dan shalehah serta merasakan keluarga sakinah mawaddah wa rahmah
menjadi mimpi di siang hari.
Hal
berikutnya yang sedang melanda sebahagian masyarakat adalah makin banyak umat
manusia yang malas untuk belajar terutama tentang agamanya sendiri, seperti
mempelajari AlQuran dan ilmu ketauhidan (lihat kembali pernyataan yang
dikemukakan oleh “Mosye Dayan” di
atas). Selain itu, ada lagi yang sedang terjadi di tengah-tengah umat yaitu
jika umat sudah memperoleh dan merasakan zona nyaman dalam dirinya maka umat
menjadi taklik buta dengan sesuatu baru, sehingga umat enggan tidak mau menambah ilmu dan
pengetahuan yang baru. Lalu apatis, apriori dengan sesuatu yang baru yang
diiringi dengan memperturutkan apa kata ulama tanpa pernah mau memilah dan
memilih, serta mempertahankan tradisi dengan mengabaikan syariat yang berlaku
serta sering mendahulu-kan ibadah sunnah dibandingkan dengan melaksanakan
ibadah wajib, yang kesemuanya menunjukkan ciri-ciri orang yang telah
memperturutkan ahwa (hawa nafsu).
Akhirnya umat
manusia yang merasa sudah berada di zona nyaman akan sulit untuk diajak untuk
meningkatkan kualitas hidupnya, meningkatkan kualitas keimanan dan
ketauhidan-nya melalui peningkatan ilmu dan pemahaman yang sebenarnya masih
bisa ditingkatkan. Jika hal ini sampai terjadi pada diri kita maka kondisi
inilah yang sangat dikehendaki oleh setan sang laknatullah. Sadarkah kita
dengan kondisi ini!
E.
MELANGGAR JANJI DENGAN ALLAH SWT.
Saat
masih di dalam rahim seorang ibu, setiap ruh, yang tidak lain adalah jatidiri
manusia yang sesungguhnya, sudah menyatakan diri bahwa Allah SWT adalah
tuhannya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami
(bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. Ayat ini menjadi penting bagi diri
kita, untuk itu mari kita perhatikan 3 (tiga) hal yang akan kami kemukakan
berikut ini:
1.
Adanya
Pernyataan Allah SWT Bahwa Allah SWT Adalah Tuhan Bagi Diri Kita. Allah SWT melalui surat Al A'raaf (7)
ayat 172 di atas, dengan tegas telah menyatakan bahwa Allah SWT adalah Tuhan
bagi diri kita. Jika ini adalah pernyataan Allah SWT berarti Allah SWT telah langsung
menunjukkan kebesaran-Nya yang meliputi kehendak, kemampuan, ilmu serta
kehebatan, keperkasaan yang dimiliki oleh Allah SWT. Melalui
pernyataan ini maka Allah SWT dengan tegas
menyatakan bahwa Akulah Tuhan,
Akulah Pencipta, Aku Pemelihara, Aku Pengawas, Akulah Penguasa, Akulah
Pengayom, Akulah Pembimbing, Akulah Penjaga, Akulah Pemberi dan seterusnya
sesuai dengan Asmaul Husna di mana itu semuanya bersifat Baqa, bersifat
Qiyamuhu Binafsih, bersifat Wahdaniah, bersifat Mukhalafatul Lil Hawadish,
dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Dan jika sekarang Allah SWT
sudah memberikan kesaksian dan pernyataan tentang diri-Nya sendiri seperti ini,
selanjutnya maka : (1) Ilmu Allah SWT
selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (2) Pendengaran dan penglihatan Allah SWT selalu ada di tengah dan di
sekeliling kita; (3) Qudrat dan
Iradat selalu ada di tengah dan di sekeliling kita; (4) Kalam dan Hayat selalu ada di tengah dan disekeliling kita; (5) Kasih sayang, pengawasan, pemeliharaan dari
Allah SWT selalu ada di tengah dan di sekeliling diri kita.
Akhirnya diri kita tidak dapat
dipisahkan dari ilmu, pendengaran, penglihatan, qudrat, iradat, kalam, hayat,
kasih sayang, pengawasan dan pemeliharaan Allah SWT. Jika itu semua adalah posisi dan juga keadaan
dari pernyataan dan kesaksian Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya, selanjutnya
apakah kita akan menyianyiakannnya atau apakah kita akan mengabaikannya atau
apakah kita mau menerima pernyataan dan kesaksian Allah SWT dengan
sebenar-benarnya? Sekarang tinggal bagaimana kita
menyikapi kesaksian dan pernyataan Allah SWT itu, maukah kita menerima dan
mempercayai atau menolak atau apakah kita akan menggantinya dengan yang lain?
Yang pasti kita yang sangat membutuhkan Allah SWT sedangkan Allah SWT tidak
butuh sama sekali dengan diri kita.
2.
Adanya Pernyataan Ruh kepada Allah
SWT. Inilah pengakuan
ruh di dalam rahim ibu kita pada waktu berumur 120 (seratus dua puluh) hari
atau setelah ruh ditiupkan ke dalam jasmani yaitu ruh memberikan kesaksian
bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita. Adanya kondisi seperti ini dapat
dikatakan bahwa setiap ruh secara individual atau secara pribadi-pribadi tanpa
terkecuali, telah mengakui, telah menyatakan dengan tegas tanpa ada paksaan
dari siapapun juga bahwa Allah SWT adalah Tuhan bagi seluruh ruh dari umat
manusia. Selanjutnya apa yang terjadi setelah ruh mengakui bahwa Allah SWT
adalah Tuhan? Adanya pengakuan ruh secara individual kepada Allah SWT berarti
ruh telah memberikan kesaksian tentang Allah SWT sehingga ruh telah beriman
kepada Allah SWT dan adanya kondisi ini
terlihat dengan jelas bahwa ajaran Islam tidak mengenal konsep reinkarnasi.
Sekarang timbul pertanyaan, atas dasar
apakah ruh mengakui bahwa Allah SWT adalah Tuhan sehingga ruh telah beriman
kepada Allah SWT? Pengakuan dan kesaksian ruh kepada Allah SWT bahwa Allah SWT
adalah Tuhan dikarenakan ruh mengenal siapa Allah SWT; Ruh tahu apa dan bagaimana
Allah SWT; Ruh tahu dari mana ia berasal serta Ruh tahu bahwa Allah SWT-lah
yang menciptakannya. Lalu apakah hanya itu saja sehingga Ruh mengakui Allah SWT
adalah Tuhan? Ruh
adalah bagian dari Allah SWT, jika suatu bagian dipisahkan dari asalnya maka
bagian yang dipisahkan pasti akan tahu, pasti akan mencari sesuatu yang sama
dengan dirinya, pasti akan menuju kepada asalnya dan selanjutnya pasti akan
mengetahui siapa asalnya tersebut. Jika ruh tahu bahwa Allah SWT adalah
Tuhan dimana pernyataan itu sudah dinyatakan sejak awal kehidupan manusia atau
sejak dipersatukannya ruh dengan jasmani maka apakah hal ini tidak cukup bagi
kita untuk beriman kepada Allah SWT selama-lamanya. Ataukah kita mau ingkar
janji dengan pernyataan ini?
3.
Masa Berlakunya Pernyataan Ruh Kepada
Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan masa berlakunya pernyataan ruh kepada Allah
SWT, apakah memiliki masa berlaku? Pernyataan ruh kepada Allah SWT juga
memiliki masa berlaku, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku dalam arti khusus.
Secara umum masa berlakunya sepanjang manusia ada di muka bumi atau sepanjang
di muka bumi ini masih ada manusia atau sepanjang masih ada kehidupan manusia
di muka bumi maka pernyataan ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT masih
berlaku sampai dengan hari kiamat. Sekarang bagaimana dengan masa berlaku
pernyataan ruh dalam arti khusus yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi
pribadi-pribadi? Bagi individual atau
secara pribadi-pribadi masa berlaku pernyataan ruh kepada Allah SWT dapat
dibedakan menjadi 2(dua) yaitu dimulai
dari saat ditiupkannya ruh ke dalam jasmani sampai dengan sebelum ruh tiba
dikerongkongan atau dimulai dari saat ditiupkannya ruh dalam jasmani sampai
dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau melaksanakan pernyataan
yang telah kita buat atau diri kita sendiri yang memutuskan hubungan dengan
Allah SWT dengan tidak mau lagi melaksanakan komitmen bertuhankan kepada Allah
SWT.
Selanjutnya jika dalam kehidupan sehari-hari ada istilah anak durhaka,
yaitu suatu istilah bagi anak yang memutuskan hubungan dengan orang tua, maka
istilah anak durhakapun (maksudnya
adalah orang yang kafir) akan terjadi jika diri kita tidak mau
melaksanakan pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT yang berarti kita telah memutus
hubungan dengan Allah SWT. Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, maka
dapat dikatakan bahwa masa berlaku pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT bagi individual sangat tergantung kepada
individu-individu itu sendiri, yaitu: (1) Apakah ia mau menerima, apakah
ia mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan kepada Allah SWT ataukah; (2) Apakah ia
tidak mau menerima dan tidak mau melaksanakan komitmen ruh untuk bertuhankan
kepada Allah SWT.
Berdasarkan 2(dua) buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini, berarti
jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan pengakuan ruh untuk bertuhankan
kepada Allah SWT maka masa berlaku pernyataan bertuhankan hanya kepada Allah
SWT (syahadat) yang kita lakukan akan panjang, selama pengakuan tersebut terus
kita lakukan dari waktu ke waktu selama hayat di kandung badan. Demikian pula
sebaliknya, jika kita memutuskan untuk tidak mau melaksanakan komitmen ruh
untuk bertuhankan hanya kepada Allah SWT maka sampai disitulah masa berlaku syahadat
yang kita lakukan atau berakhirlah pernyataan
diri kita kepada Allah SWT. Sekarang pilihan untuk melaksanakan atau
tidak melaksanakan komitmen yang telah ruh lakukan untuk bertuhankan hanya
kepada Allah SWT tergantung pada diri kita sendiri. Selanjutnya jika diri kita telah
menyatakan dan memberikan pernyataan kontrak secara permanen, selanjutnya
bagaimanakah kita harus bersikap? Kita wajib mematuhi pernyataan yang telah diucapkan
pada waktu kita masih di dalam rahim ibu sampai ruh tiba dikerongkongan.
Hal yang harus
kita perhatikan tentang pernyataan ruh kepada Allah SWT adalah apakah kualitas
pernyataan yang telah kita lakukan kepada Allah SWT masih tetap sama kondisinya
seperti saat pertama kali menyatakan Allah SWT adalah Tuhan bagi diri kita? Sebagai makhluk yang terhormat sudah sepatutnya
dan sepantasnya jika pernyataan ruh kita kepada Allah SWT tetap terpelihara, tetap
terjaga kualitasnya dari waktu ke waktu dan jangan sampai kita ingkar janji
dengan Allah SWT.Akhirnya setiap manusia, siapapun orangnya dapat dipastkan
semuanya terikat dengan perjanjian bertuhankan kepada Allah SWT dan yang
berarti setiap manusia wajib tunduk patuh dengan segala perintah dan larangan
Allah SWT saat hidup di muka bumi ini.
Pembaca
dan jamaah sekalian, ketahuilah bahwa 5 (lima) hal yang telah kami kemukakan di
atas sudah dan sedang terjadi di masyarakat, yang mana dengan adanya kondisi
ini maka berlakulah dua ketentuan ini, yaitu: (1) setan menjadi mudah melaksanakan
aksinya kepada umat manusia; (2) setan
memperoleh kekuatan dan motivasi untuk
mengalahkan manusia sehingga manusia menjadi pecundang. Dan jika apa yang
kami kemukakan di atas terjadi pada diri kita berarti diri kita sendirilah yang
telah membuka kesempatan kepada setan untuk mengalahkan diri kita yang
mengakibatkan kita pulang kampung ke neraka. Sudahkah kita menyadarinya!
Di lain
sisi, dengan adanya kondisi yang kami kemukakan di atas juga bisa bermakna
tantangan dan juga ancaman bagi diri kita untuk memenangkan pertandingan
melawan syaitan. Dan yang harus kita perhatikan adalah apa yang kita alami saat
ini mungkin saja lebih mudah kita hadapi, namun bagaimana dengan anak dan
keturunan kita kelak. Apakah lebih mudah ataukah semakin sulit? Apakah hal ini
tidak kita sadari! Lalu apa yang sudah kita persiapkan untuk anak keturunan
dari diri kita sendiri untuk menghadapi syaitan sang laknatullah sang musuh
abadi manusia setelah diri kita tiada?
Allah
SWT selaku inisiator, pencipta dan juga pemilik dari keberadaan manusia di muka
bumi ini, tidak memperkenankan diri kita untuk meninggalkan anak keturunan
sebagai generasi penerus yang lemah dalam berbagai segi. Hal ini sebagaimana
telah diingatkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya sebagaimana berikut ini: “Dan
hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan
keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah, dan
hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar. (surat An Nisaa’ (4)
ayat 9).”
Adanya
peringatan dari Allah SWT yang tertuang di dalam surat An Nisaa’ (4) ayat 9 di
atas menunjukkan bahwa anak kita atau generasi penerus dari diri kita
seharusnya menjadi anak dan juga generasi
penerus yang kuat, sehat, bertauhid, berilmu, berpendidikan dan juga memiliki
tingkat ekonomi yang mapan. Dan jangan sampai kita hanya mampu menjadikan anak
keturunan kita semata-mata anak biologis tanpa mampu menjadikan anak kita
menjadi anak didik untuk menjadi generasi penerus keluarga, bangsa dan juga negara.
Untuk
menjadikan generasi penerus yang kuat, sehat, bertauhid, berilmu, berpendidikan
dan mampu secara ekonomi, bukanlah perkara mudah. Kondisi ini harus kita mulai
dari diri kita sendiri yang berakidah (beriman dan bertaqwa yang berkualitas)
serta memiliki penghasilan (kekayaan) yang halal lagi baik (thayyib). Kemudian
kita harus mendahulukan pendidikan ketauhidan (akidah) kepada diri sendiri lalu
kepada anak dan keturunan kita sendiri
sehingga kita tidak meninggalkan anak (generasi) yang lemah akidah (iman)nya
serta akhlaknya buruk. Jadi jangan pernah salahkan anak dan keturunan kita
berperilaku menyimpang dari kebenaran sehingga sesuai dengan kehendak
setan jika kita sendiri juga berperilaku
menyimpang dari kebenaran yang jauh dari kehendak Allah SWT.
Hal
ini dikarenakan akidah (keimanan dan ketaqwaan) merupakan sumber kekuatan,
sumber kenyamanan, pangkal kebahagiaan dalam hidup. Orang yang lemah akidah
(iman) nya akan mudah terpengaruh perbuatan syirik, musyrik dan juga munafik
sehingga hidupnya tanpa memiliki pegangan (pendirian) yang teguh dan bahkan
mudah menjual imannya dengan cara digadaikan untuk kepentingan sesaat. Hal ini
sebagaimana dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Luqman (31) ayat 13 berikut
ini: “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi
pelajaran kepadanya, “Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah,
sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kedzaliman yang besar.”
Dan
hal berikutnya yang harus kita lakukan selaku orang-orang yang bertauhid kepada
anak keturunan kita adalah kita harus bisa menjadikan anak keturunan kita
menjadi generasi yang istiqamah dalam beribadah sehingga ia mampu memiliki
pegangan hidup dan tidak mudah untuk diintervensi (dipengaruhi) oleh orang
lain. Sebaliknya orang yang lemah (malas-malasan) dalam ibadahnya, maka
hidupnya tidak akan bahagia, terombang-ambing tanpa ada kejelasan serta sangat
mudah untuk dijadikan syaitan sebagai pecundang.
Selanjutnya
setelah anak memiliki akidah (keimanan) yang dilanjutkan dengan mampunya anak
istiqamah dalam beribadah maka langkah berikut adalah jangan sampai kita
meninggalkan anak yang lemah ilmunya (rendah pendidikannya). Adanya kemampuan
ilmu yang mumpuni dari anak maka kesempatan anak untuk berbagi ilmu melalui
program belajar tanpa melupakan mengajar menjadi terlaksana. Sehingga
ketersinambungan antar generasi shaleh dan shalehah dapat terlaksana di tengah
masyarakat melalui ilmu yang dimiliki anak keturunan kita.
Dan
yang terakhir adalah jangan sampai kita meninggalkan anak (generasi) yang lemah
tingkat ekonominya (sehingga menjadi mustahik), dan hidupnya menjadi beban bagi
orang lain. Dan sebagai orang tua, ada baiknya memperhatikan hadits yang kami
kemukakan berikut ini: “Dari Sa’d bin Abi Waqqash ra, ia berkata,
“Ketika di Makkah Nabi SAW datang menjenggukku sementara beliau enggan wafat di
tanah yang beliau hijrah darinya, beliau SAW bersabda: ‘Semoga Allah merahmati
Ibnu ‘Afra (Sa’d).’ Aku katakan, ‘Wahai Rasulullah, aku berwasiat dengan semua
hartaku ?’ Beliau bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Separuhnya?’ Beliau
bersabda, ‘Tidak boleh.’ Aku katakan, ‘Sepertiganya?’ Beliau bersabda, ‘Ya,
sepertiga, dan sepertiga itu banyak, sebab jika engkau meninggalkan ahli
warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin, mereka meminta-minta pada orang lain. (Selain itu, jika engkau
hidup) walaupun engkau memberikan hartamu pada keluargamu, akan tetap dihitung
sebagai sedekah, sampai makanan yang engkau suapkan pada mulut isterimu. Semoga
Allah mengangkat derajatmu, memberikan manfaat kepada sebagian manusia, dan
membahayakan sebagian yang lain.’ Pada saat itu Sa’d tidak mempunyai pewaris
kecuali seorang anak perempuan.” (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim).
Hadits
ini, mendukung upaya diri kita untuk tidak memberikan semua harta melalui
wasiat dan jika ini terjadi ada kemungkinan orang yang menerima harta dari
wasiat tidak mampu mengelola hartanya karena faktor lemahnya ilmu yang dimiliki
yang pada akhirnya menjadikan ia tidak bisa mandiri setelah hartanya habis.
Adanya ketentuan sepertiga harta yang diwasiatkan maka terbuka kesempatan untuk
memberikan pendidikan yang tinggi kepada anak keturunan tersebut sehingga ia
memiliki ilmu dan pengetahuan yang mampu mengelola harta peninggalan orang tua
dan bahkan bisa menambah apa-apa yang telah diwariskan oleh orang tua serta
mampu pula menjadi muzakki-muzakki generasi baru yang bermanfaat bagi khalayak
ramai, yang pada akhirnya diri kita dan juga anak keturunan kita adalah
pemenang.
Dan
semoga dengan adanya buku ini mampu menjadikan diri kita dan anak keturunan
kita semangat untuk memiliki ilmu tentang diri sendiri dan memiliki ilmu
tentang musuh sehingga mampu memotivasi diri untuk memenangkan pertandingan
melawan syaitan sang laknatullah saat hidup di muka bumi ini. Yang pada
akhirnya mampu menghantarkan diri kita pulang kampung ke syurga untuk bertemu
dengan Allah SWT kelak. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar