Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Minggu, 07 Januari 2024

AKHLAK DAN PENAMPILAN ORANG YANG TELAH BERTAUHID (PART 2 OF 2)


H.     PENEGAK KEBENARAN DAN KEADILAN.

 

Salah satu bukti dan yang harus menjadi penampilan orang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri yaitu : ia akan menjadikan dirinya sebagai penegak kebenaran dan juga penegak keadilan yang tidak sebatas sekedar ucapan belaka. Namun dibuktikan dalam perbuatan dan tingkah laku. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Maidah (5) ayat 8 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Al Maa-idah (5) ayat 8)

 

Di lain sisi, Allah SWT juga mengancam kepada diri kita jika sampai melihat orang yang teraniaya tetapi kita tidak berbuat apapun kepadanya. Hal ini telah dikemukakan oleh Allah SWT melalui hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: Ibn Abbas ra berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Demi kemulian dan kebesaran-Ku, Aku akan adakan pembalasan terhadap orang yang dzalim lambat ataupun cepat, juga terhadap orang yang melihat orang teraniaya yang ia dapat menolongnya tetapi tidak berbuat. (Hadits Qudsi Riwayat At Thabarani, 272:163).

 

Adanya kondisi yang kami kemukakan di atas ini, berarti antara perbuatan dan tingkah laku diri kita tidak boleh berseberangan sehingga perbuatan dan tingkah laku diri kita harus sejalan dengan apa yang kita akui dan nyatakan di dalam syahadat ketauhidan. Maksudnya adalah jika Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Benar maka diri kita harus pula mengakui dan menyatakannya serta melakukan perbuatan yang sesuai dengan perbuatan Allah SWT yaitu Maha Benar. Demikian pula jika kita mengakui dan menyatakan bahwa Allah SWT satu-satunya Tuhan di alam raya ini sebagai Dzat Yang Maha Adil  maka perbuatan-perbuatan yang kita laksanakan saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya harus memiliki dan berlandaskan perbuatan Allah SWT yaitu Yang Maha Adil.

 

Sekarang apa jadinya jika kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri sedangkan diri kita adalah pelaku ketidakbenaran; pelaku ketidakadilan, pelaku dan penyebar berita bohong (hoaks), pelaku dan pelaksana kesaksian palsu untuk kepentingan dan keuntungan diri sendiri maupun kelompok tertentu? Jika ini yang terjadi maka antara diri kita dengan Allah SWT berada di dalam ketidaksesusaian perbuatan dan dapat dipastikan ada yang salah di dalam ketauhidan yang kita laksanakan serta apa yang kita lakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syaitan.


Allah SWT telah memperlihatkan kepada diri kita dan juga kepada semua umat manusia tentang tanda-tanda kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu? (surat Fushshilat (41) ayat 53).” Salah satu yang telah diperlihatkan oleh Allah SWT adalah af’al (perbuatan) Ar Rachman dan Ar Rahhim, lalu apakah diri kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri hanya berdiam diri saja setelah Allah SWT memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kemahaan-Nya? Sebagai orang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri maka perilaku dan perbuatan diri kita seharusnya mampu menampilkan konsep Ar Rachman dan Ar Rahhim dalam kehidupan kita sehari-hari yang ditujukan kepada sesame umat manusia.

 

Jika ini yang terjadi maka lahirlah apa yang dinamakan dengan moralitas Allah SWT di tengah masyarakat melalui penampilan diri kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri. Dan jika ini yang dilakukan oleh setiap orang yang telah memiliki ketauhidan maka apa yang dinamakan dengan dekadensi moral atau rusaknya moralitas tidak akan pernah terjadi. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa setiap manusia yang telah bertauhida dengan baik dan benar maka ia tidak akan pernah menjadi koruptor, pelaku kolusi dan nepotisme, pengguna narkoba dan bandar narkoba, penjudi dan Bandar judi, pelaku pencucian uang haram, teroris, penyebar fitnah dan juga pelaku kejahatan kerah putih dan lain sebagainya.

 

Selain daripada itu, di dalam diri orang yang sudah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar, maka tidak terdapat lagi sifat dan perbuatan sombong dengan harta, sombong dengan kedudukan, sombong dengan ilmu, riya, ujub, kikir, pelit, suka menggosip, suka tergesa-gesa, keluh kesah, pendusta, tidak mau bersyukur dan lain sebagai-nya. Sekarang sudahkah diri kita menampilkan apa-apa yang dikehendaki oleh  Allah SWT yang tertuang di dalam surat Fushshilat (41) ayat ayat 53 sebagai bukti telah memiliki ketauhidan dalam diri! 

 

Selain dari pada itu, berdasarkan surat An Nuur (24) ayat 13 yang kami kemukakan berikut ini: “mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” Ayat ini mengemukakan bahwa seseorang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar maka ia tidak akan pernah memberikan kesaksian palsu kepada siapapun juga atau tidak akan mau menjadi saksi palsu baik langsung maupun tidak langsung apalagi demi untuk mengambil keuntungan sesaat atau untuk memperoleh jabatan tertentu dengan menghalalkan segala cara.

 

I.         TIDAK MAU MENGHALANGI ORANG LAIN BERIBADAH.

 

Salah satu bukti bahwa diri kita telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar yaitu maka ia tidak akan pernah sekalipun menghalangi orang lain untuk melaksanakan ibadah atau untuk menuju jalan yang lurus atau kita harus pula berusaha untuk berbagi kepada sesama dengan mengajak mereka untuk merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT sebagai bentuk tanggung jawab moral serta menjaga keharmonisan hubungan antar sesama umat manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 99 yang kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah: "Hai ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, Padahal kamu menyaksikan?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (surat Ali Imran (3) ayat 99).

 

Sekarang apa jadinya jika kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar, justru kita merasa bahwa diri kitalah yang paling benar sehingga orang lain selalu salah atau hanya kelompok kita saja yang benar yang lain salah atau hanya diri dan kelompok kita sajalah yang berhak merasakan nikmat-nya bertuhankan kepada Allah SWT sehingga kita tidak mau berbagi kepada sesama sedangkan Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Terpuji dan Maha Pemberi? Jika apa yang kita perbuat tidak sesuai dengan af’al (perbuatan) yang dimiliki oleh Allah SWT maka dapat dipastikan ketauhidan yang ada dalam diri belum sesuai dengan kehendak  Allah SWT.

 

Sebagai orang yang telah bertauhid dan yang juga telah merasakan rasa bertuhankan kepada Allah SWT maka kita tidak diperkenankan untuk menghalang-halangi, untuk menghambat, untuk mengganggu, untuk menggagalkan, untuk menakut-nakuti orang yang akan menu-naikan ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah. Adanya larangan Allah SWT seperti yang kami kemukakan di atas, mengharuskan diri kita yang telah memperoleh dan merasakan langsung rasa bertuhankan kepada Allah SWT untuk selalu memotivasi, mendorong dan berbagi kiat-kiat yang terbaik kepada sesama umat bagaimana menggapai ibadah yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan juga selalu mendorong serta selalu membantu sesama umat belajar tentang Diinul Islam yang tidak hanya sebatas syariat namun juga sampai dengan yang hakekat yang kesemuanya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dan jangan lupa untuk selalu mengingatkan kepada sesama bahwa pema-haman dan penghayatan serta pengamalan dari ibadah tidak bisa didapatkan secara cepat (instant), keduanya baru didapatkan secara berangsung-angsur sesuai dengan pengamalan yang kita laksanakan.

 

J.        TIDAK TAKUT BERJIHAD DI JALAN ALLAH SWT.

 

Seorang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar maka ia tidak akan pernah gentar ataupun takut ataupun ragu-ragu untuk melakukan jihad sehingga ia akan selalu bersungguh-sungguh untuk  menegakkan Agama Allah  SWT baik melalui harta dan juga melalui jiwanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[231]. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, (surat Ali Imran (3) ayat 140)

 

[231] Syuhada' di sini ialah orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.

 

Berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 18 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak. (surat Al Hadiid (57) ayat 18).” Dikemukakan bahwa orang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri  dengan baik dan benar maka ia akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk selalu menafkahkan sebahagian hartanya di jalan Allah SWT atau menginvestasikan sebahagian rezekinya ke Bank Ilahiah melalui jalan Zakat, jalan Infaq, jalan Shadaqah, jalan Hadiah, jalan Waqaf, Qurban ataupun Nazar. Dapat pula  menafkahkan sebahagiaan rezekinya dengan meminjamkan kepada Allah SWT sesuatu pinjaman yang baik, tanpa ada paksaaan dari siapapun juga dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT yang kesemuanya di dalam rangka membantu sesama umat manusia sehingga tampillah keshalehan diri di dalam keshalehan sosial.

 

K.      MAMPU MELAKUKAN PERUBAHAN (PERBAIKAN) DIRI.

 

Hidup yang kita lakukan saat ini ini bak roda pedati, kadang di atas kadang di bawah, kadang senang kadang susah, kadang bahagai kadang sengsara, semuanya silih berganti dan semua orang pasti akan mengalami kondisi ini sehingga tidak akan ada jalan yang mulus dari waktu ke waktu. Namun sebagai orang yang bertauhid tentu kita harus mengetahui dengan baik dan benar tentang ketentuan yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 186 berikut ini: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (surat Al Baqarah (2) ayat 286)

 

Ayat di atas ini, menunjukkan kepada diri kita bahwa segala yang kita alami saat hidup di muka bumi ini bukanlah sesuatu yang melebihi kesanggupan kita. Akan tetapi apa yang kita alami atau jalani adalah sesuatu yang pasti dapat kita lalui dan jalani. Lalu apakah yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 286 di atas tidak kita percayai? Adanya jaminan dari Allah SWT bahwa kita pasti bisa menghadapi segala ujian, cobaan, rintangan, tantangan berarti kita pasti bisa menjadi pemenang, ingat bukan pecundang.

 

Setelah diri kita meyakini bahwa kita pasti bisa sanggup menghadapi segala rintangan, tantangan, ujian dan cobaan hidup, kondisi ini tidak terlepas dari mampunya diri kita melaksanakan ketentuan yang termaktub dalam surat Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut ini: “Baginya (manusia) ada malaikat malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka taka da pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra’d (13) ayat 11).”

 

Ayat ini menegaskan bahwa jika kita mau mengadakan perubahan (merubah) apa apa yang ada di dalam diri kita, seperti malas kita rubah menjadi rajin, pelit kita rubah menjadi dermawan, berpikiran (berwawasan) jangka pendek kita rubah menjadi berwawasan luas dan jangka panjang, bangun siang menjadi bangun pagi, sikap ego menjadi bersyukur, dompet (saku) selalu dikunci menjadi sering berderma, berat tangan dirubah menjadi ringan tangan maka Allah SWT akan merubah kondisi dan keadaan diri menjadi lebih baik.

 

Jika kita tetap tidak mau merubah atas apa apa yang ada di dalam diri kita sendiri, maka bersiap siaplah untuk dirubah oleh perubahan baik yang berasal dari internal diri (hawa nafsu dan setan) ataupun yang berasal dari eksternal diri.

 

Selain daripada ketahuilah, saat diri kita melakukan perubahan menuju kebaikan, maka pada saat itu pula syaitan melaksanakan aksinya kepada diri kita agar jangan sampai terjadi perubahan. Namun pada saat yang bersamaan Allah SWT telah menempatkan malaikat di depan dan di belakang diri kita untuk menjaga diri kita secara bergiliran agar upaya diri kita untuk merubah keadaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi lebih mudah. Adanya kondisi ini menunjukkan bahwa Allah SWT sangat mendukung usaha manusia untuk menjadi orang orang yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ayo segera manfaatkan peluang dan kesempatan ini sebelum semuanya terlambat.

 

Selain point A sampai K yang telah kami kemukakan di atas, masih terdapat 4 (empat) bentuk akhlak dan penampilan dari orang-orang yang telah memiliki ilmu ketauhidan dalam diri secara baik dan benar. Hal ini sebagaimana telah dikemukakan oleh “Muhammad Said Al-Qahthani; Muhammad bin Abdul Wahab; Muhammad Qutb, dalam bukunya yang berjudul “Memurnikan Laa Ilaaha Illallahdan ke empat tambahan akhlak ini merupakan  bagian yang tidak terpisahkan dengan apa-apa yang telah kemukakan di atas. Dan inilah akhlak yang dimaksud:

 

A.     IKHLAS DALAM BERTINDAK DAN BERBUAT.

 

Sebagai seorang hamba yang telah berkomitmen dengan ketauhidan, tentunya sikap ikhlas merupakan bentuk penampilan yang utama dalam diri sebagai sebuah tanda atau bukti kebenaran dan kejujuran dari seorang hamba yang telah bertauhid. Selain itu ikhlas harus terlihat pula dalam sikap “cinta dan benci”. Cinta kepada kehendak Allah dan Rasul-Nya dan benci kepada larangan Allah dan Rasul-Nya. Ikhlas juga harus nyata dalam perjuangan menegakkan kebenaran, walaupun hal itu banyak merugikan diri dan keluarganya sendiri. Rela berkor-ban demi kepentingan Islam dan umat pada umumnya dengan tidak mendahulukan kepen-tingan diri sendiri, keluarga serta kelompok tertentu. Semoga hal ini mampu kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.

 

Albert Einstein pernah mengemukakan sebuah pernyataan bahwa: Dari bahan yang sama dan dengan cara yang sama, kita bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda”.  Pernyataan ini bukanlah sebuah isapan jempol belaka, akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita bisa sembunyikan. Adanya rumus yang seperti akan menghasilkan adanya perbedaan-perbedaan yang paling mendasar antar satu orang dengan orang lainnya sehingga terlihatlah kualitas masing-masing orang yang bertingkat-tingkat.

 

Untuk itu kita bisa memperhatikan hasil akhir (output) dari sesuatu pekerjaan, atau suatu perbuatan atau suatu ibadah dalam bentuk pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara yang sama” melainkan ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan hasil akhirnya berbeda. Adapun faktor-faktor yang memegang peranan sangat penting terhadap suatu pekerjaan ataupun suatu ibadah adalah:

 

1.     Kualitas dari keikhlasan yang ada di dalam diri seseorang saat ia melaksanakan peker-jaan dan ibadah tertentu. Ikhlas tidak akan terealisasi dalam amal shaleh, kecuali dengan dua unsur pokok: (a) Pertama, menghadirkan niat di dalam beramal, karena setiap amal itu tergantung kepada niatnya. Dan apabila seseorang mengerjakan suatu amal tanpa disertai niat, ia tidak akan masuk golongan orang yang ikhlas; (b) Kedua, memurnikan niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga menjadi benar-benar ikhlas karena Allah SWT.

 

2.   Menghadirkan niat juga harus dibarengi dengan mengosongkannya dari berbagai ambisi dan keinginan yang bersifat pribadi dan duniawi. Kita harus mengikhlaskan niat semata mata untuk Allah SWT dalam semua amal akhirat sehingga memperoleh penerimaan di sisi Allah. Niat itu murni amalan hati, bukan termasuk amalan amalan lisan, karenanya tidak diketahui dari Nabi SAW dan para sahabat, melafalkan niat dalam ibadah, seperti dalam shalat, puasa, mandi, wudhu dan sebagainya. Al Zarkasyi menukil perkataan Imam Al Ghazali di dalam fatwanya: “Perintah niat dalam ibadah itu sebenarnya mudah, namun ia menjadi sulit karena ketidaktahuan seseorang akan hakikat niat atau karena was was”.

 

3.  Ilmu yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kemampuan pemahaman seseorang terhadap sesuatu hal sehingga setiap orang akan melakukan sesuatu sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya.

 

4.    Pengamalan seseorang terhadap pemahaman yang dimilikinya menjadikan seseorang me-miliki pengalaman dan juga peningkatan penghayatan  seseorang terhadap apa yang mereka kerjakan atau ibadah yang mereka laksanakan.

 

5.   Daya juang seseorang untuk melakukan sesuatu pekerjaan atau suatu ibadah. Atau ke-sungguhan di dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu ibadah akan menjadi pembeda kualitas antar satu orang dengan orang lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan hasil akhir yang berbeda.

 

6.    Seni (art) di dalam melakukan suatu pekerjaan atau suatu ibadah juga akan sangat mem-pengaruhi hasil akhir dari suatu pekerjaan dikarenakan masing masing orang memiliki latar belakang kemampuan yang berbeda beda.

 

Enam hal yang kami kemukakan di atas, merupakan persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap orang karena dari sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau suatu ibadah tidak menghasilkan sesuatu yang sama, sehingga tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Apalagi kita tahu bahwa disetiap perintah yang telah diperintahkan oleh Allah SWT pasti untuk kemaslahatan diri kita. Namun berapa banyak orang yang telah melaksanakan perintah namun hasilnya di luar kehendak Allah SWT. Padahal kita tahu bahwa perintah dan larangan Allah SWT tidak akan pernah salah namun kitalah yang salah di dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT. Dan semoga kita semua mampu menjadi pribadi-pribadi yang ikhlas berbuat dalam kerangka mencari ridha-Nya yang menjadi bukti bahwa diri kita telah bersyahadat ketauhidan dan syahadat kerasulan. Amiin.

 

Sebagai pengingat bagi jamaah sekalian, ketahuilah setiap manusia tentu memiliki kelebi-han ataupun kekurangan akibat pengaruh enam hal yang kami kemukakan di atas walaupun mereka sudah melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT. Dan yang harus kita lakukan adalah mau menerima orang lain apa adanya melalui kelebihan maupun keku-rangannya masing-masing. Apabila kita menemukan orang yang memiliki kekurangan maka temukanlah sisi positif dari kekurangan orang lain. Lalu nikmatilah hidup dengan cara isi mengisi di antara sesama. Mudahkan!.  

 

B.      MENJADIKAN DIRI SEBAGAI UMAT YANG TERBAIK (KHAIRA UMMAH).

 

Bentuk penampilan (akhlak) dari orang-orang yang bertauhid secara baik dan benar adalah mampu menjadikan diri sebagai umat-umat yang terbaik (khaira ummah) sebagaimana umat yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Dimana umat yang dibangun adalah umat yang baru, yang lahir secara utuh ketika mencapai tingkat kekuatan yang prima dalam menghadapi masyarakat jahiliyah. Mereka juga terbentuk dari kekuatan itikad (tekad, kemauan yang teguh), satu fikrah (satu pemikiran), kekuatan peringai, kekuatan jiwa, dan kekuatan lainnya sehingga mampu mendesak mundur dan bahkan menumpas kekuatan jahiliyah.

 

Lantas siapakah yang disebut masyarakat jahiliyah sekarang ini, Sayid Qutb dalam bukunya yang berjudul “Tahta Rayatil Islam” mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “umat jahiliyah ialah setiap umat yang tidak memurnikan pengabdiannya kepada Allah, baik yang menyangkut itikadnya, amalan-amalannya, maupun syariat-syariatnya”. Oleh karena itu umat yang berada dalam khaira ummah, mereka bersih dari noda-noda syirik dan moral jahiliyah, baik moral sosial, politik, maupun moral-moral lainnya. Mereka gigih menyeru ke jalan Islam yang murni. Mereka menentang komunisme (tidak beragama), yahudi, zionis dan isme-isme lain sekalipun semua itu banyak yang berkedok Islam. Aliran-aliran itu diken-dalikan oleh antek-antek jahiliyah. Mereka sengaja menghalang-halangi kebangkitan Islam dengan berbagai tipu daya yang licik.

 

Untuk bisa menggambarkan seperti apakah umat yang terbaik itu? Berikut ini akan kami kemukakan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di dalam menjadikan umat yang terbaik itu? Salah satu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah mempersaudarakan suku Aus dan Kharaj, yang mana kedua suku itu semasa jahiliyah saling bermusuhan dan berbunuh-bunuhan. Kini mereka mendapatkan kenikmatan yang luar biasa, karena telah bersaudara dengan ikatan iman. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (surat Ali Imran (3) ayat 103).”

 

Tidak hanya itu, Rasulullah SAW juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar, sehingga mereka telah terhimpun menjadi “khaira ummah” di sekeliling Rasulullah SAW yang lalu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.

 

Persaudaraan iman tercipta bukan karena persamaan suku, pangkat, maupun keturunan. Persaudaraan iman adalah persaudaraan antar sesama muslim tanpa melihat hubungan darah atau status sosial. Persaudaraan iman mampu menghilangkan sebutan sayyid dan hamba sahaya. Itulah pengertian umat yang hakiki yang belum pernah terjadi dalam sejarah umat manusia manapun juga. Umat pada jaman itu adalah umat akidah yang mempunyai ikatan yang hakiki. Di dalamnya terdapat persaudaraan akidah yang saling mengikatkan diri dengan ikatan iman sehingga mambentuk sebuah bangunan yang kokoh. Satu sama lain saling mengokohkan, senang dan susah selalu dipikul bersama. Mereka senasib seperjua-ngan. Hal itu dilakukan karena semata-mata mencari ridha-Nya.

 

C.   ILTIZAM KEPADA AMAL JAMA’I (MELANGKAH BERSAMA MENUJU KEBAIK-AN UMAT).

 

Bagi seorang Muslim yang telah bersyahadat maka beramal berarti berbuat, mengerjakan dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya, bagi umat manusia dan bagi agama Islam. Jama’i berasal dari kata jamaah. Jama’ah adalah suatu perkumpulan orang-orang untuk mencapai hal-hal tertentu. Paling sedikit terdiri dari dua orang. Amal jama’i adalah kegiatan yang dilakukan yang merupakan produk suatu keputusan jamaah yang selaras dengan sistem (manhaj) yang telah ditentukan bersama, untuk mencapai tujuan tertentu. Dan umat Islam yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah SAW di Madinah terdiri dari berbagai potensi insani.

 

Potensi-potensi pribadi yang ada dan yang patut dibanggakan itu kemudian dipersatukan oleh Rasulullah SAW menjadi suatu kekuatan yang sangat dahsyat dan tiada tandingnya. Kekuatan utama mereka terletak pada ikatan persatuannya, yakni ikatan iman dan taqwa. Dan sering kita menyaksikan suatu perkumpulan umat manusia baik sesame muslim maupun sesame non muslim, atau gabungan dari keduanya. Secara individual mereka masing-masing memang memiliki potensi, tetapi ketika dipersatukan dalam bentuk jamaah, kadang-kadang justru saling melemahkan dan menjatuhkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini dapat terjadi karena tali pengikatnya “semu” bukan karena berlandaskan ikatan iman yang murni. Persatuan yang seperti ini tidak berbeda dengan persatuan “baha-im” (sekawanan bina-tang). Mereka bersatu ketika mempunyai kehendak yang sama, misalnya jika hendak makan. Tetapi setelah usai makan, mereka bercerai-berai kembali dan kembali pula memen-tingkan dirinya sendiri.

 

Lalu mengapa Rasulullah SAW pada awal langkah dakwahnya dimulai dengan membangun jamaah (kebersamaa)? Hal ini beliau lakukan karena keberadaan jamaah (kebersamaan) memang sudah merupakan keharusan. Tapi samakah jamaah yang dimaksudkan Rasulullah SAW dengan organisasi seperti yang ada sekarang ini? Jawabannya tentu tidak sama dan berbeda sama sekali. Hal ini bisa terlihat dari sasaran (ahdaf) dan prosedur pencapaian sasaran (wasilah) dan dari segi watak mereka. Dengan berjamaah (kebersamaan) setiap individu mendapat kesempatan yang banyak dalam mengembangkan potensi. Hal ini juga untuk menguji keikhlasan dan kebersamaan sesama anggota, program dan aturan main dari jamaah tersebut.

 

Lalu timbul pertanyaan, kenapa harus beramal secara jamaah? Beramal mengusung konsep berjamaah (kebersamaan) merupakan perintah dari Allah SWT dan juga teladan dari Nabi Muhammad SAW sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (surat Al-Maidah (5) ayat 2).” Dan dengan adanya konsep berjamaah dalam mengerjakan kebajikan dan ketaqwaan maka secara tidak langsung kita telah melaksanakan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Anfaal (8) ayat 73 yaitu guna menghadapi orang kafir yang juga berjamaah untuk melawan orang-orang Islam.

 

Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi), niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.” Akhirnya terjadilah keseimbangan di dalam menghadapi orang-orang kafir yang juga secara berjamaah memerangi umat Islam.

 

Selain daripada itu, adanya konsep berjamaah (kebersamaan) sangat bermanfaat kepada anggota dari jamaah itu sendiri, terutama:

 

1.   Untuk lebih mengenal diri dan untuk merubah kekurangan yang ada pada diri menjadi pribadi-pribadi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT serta untuk meningkatkan kualitas ibadah melalui pembelajaran bersama yang dilakukan dari waktu ke waktu secara konsisten;

 

2.    Untuk mengoptimalkan potensi anggota, sebagaimana kue yang nikmat. Kue yang nik-mat dan lezat terdiri atas berbagai macam bahan untuk membuatnya. Kue tidak akan bisa dibuat jika hanya terdiri atas telur atau tepung saja. Bahkan walau semua bahan telah lengkap tanpa adanya bubuk baking soda, kue tidak akan mengembang. Begitu-pun diri kita, tanpa berjamaah potensi kita akan kurang termanfaatkan secara optimal. Dalam konsep berjamaah, beberapa orang yang memiliki berbagai macam kemam-puan, keahlian, dan juga pengalaman jika dimanfaatkan dengan baik bisa dikolabo-rasikan untuk mengembalikan kejayaan umat Islam;

 

3.    Untuk menjaga kewibawaan umat Muslim, yang mana ketika tingkat kebersamaan umat Islam begitu kuat, musuh-musuh Islam akan berpikir seribu kali untuk menggang-gu kita. Kaum Muslim ibarat satu tubuh, jika satu bagian diganggu maka bagian lainnya akan memberikan bantuan.

 

4.   Untuk mendapatkan rahmat dan pertolongan dari Allah sebagaimana hadits berikut ini: “Tangan Allah bersama jamaah.” (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi) Maknanya ketenangan dan rahmat Allah bersama orang yang bersepakat, sehingga mereka jauh dari ketaku-tan, gangguan dan keguncangan. Apabila mereka berpecah belah, ketenangan hilang, lalu kekacauan akan datang.

 

Sebagai orang yang telah bertauhid, tentu kita harus bisa melaksanakan konsep berjamaah (kebersamaan) sebagaimana yang telah dicontohkan oleh semut yang selalu berjamaah dan semoga pelajaran dari semut bisa kita ambil hikmahnya, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Hingga ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (surat An Naml (27) ayat 18).” Akhirnya bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.

 

D.     MUSYAWARAH DALAM TUBUH JAMAAH (MASYARAKAT).

 

Musyawarah adalah sebuah upaya mengeluarkan pikiran untuk suatu urusan yang menuntut aspek pengetahuan agar menghasilkan ketepatan dan menghindari kekeliruan. Musyawarah juga merupakan tabiat manusiawi. Tidak ada seorangpun manusia yang mam-pu meninggalkan musyawarah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak sanggup hidup sendiri.

 

Pada kebersamaan itulah, tabiat musyawarah akan muncul. Mengenai musyawarah ini, banyak contoh yang dapat kita petik dari generasi umat terdahulu, misalnya peristiwa musyawarah yang dilakukan oleh ratu Balqis dan para pembesarnya berikut ini: “Dia (Balqis),“Wahai para pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini). Aku tidak pernah memutuskan suatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelis(ku). Mereka menjawab, “Kita memiliki kekuatan dam keberanian yang luar biasa (untuk berperang), tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang engkau perintahkan.” (surat An Naml (27) ayat 32-33).

 

Di dalam AlQuran perintah bermusyawarah disejajarkan dengan perintah-perintah lainnya, seperti iman, tawakkal, menjauhi dosa besar, menjauhi perbuatan keji, memberi maaf, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Apapun (kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di dunia. Sedangkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal. Dan juga bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa yang besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan  dan melaksanan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (surat Asy Syura (42) ayat 36-37-38).

 

Oleh karena itu meninggalkan musyawarah pada hakekatnya sama dengan meninggalkan shalat dan juga zakat. Dan setiap orang yang terlibat dalam musyawarah wajib melaksa-nakan keputusan musyawarah itu, meskipun secara pribadi hal itu tidak disukainya. Bila musyawarah bertekad untuk memutuskan sesuatu, maka laksanakan keputusan-keputusan tersebut dengan tawakkal kepada-Nya.

 

Orang yang telah terikat dengan perjanjian musyawarah pada hakikatnya ia telah mengikat janji dengan Allah. Dan perjanjian yang lebih khusus juga disebutkan dalam firman-Nya berikut ini: “Bahwa orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji) sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah , maka Dia akan memberi-nya pahala yang besar. (surat Al Fath (48) ayat 10).” Oleh karena itu orang yang mengkhianati musyawarah pada hakekatnya telah merusak perjanjian dengan Allah, sekaligus juga me-mutuskan silaturahmi dengan sesama anggota musyawarah itu. Perbuatan ini jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disampaikan dan berbuat kerusakan di bumi, mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk (Jahannam). (surat Ar Rad (13) ayat 25).” Dan sebagai orang yang telah bertauhid mewujudkan fungsi musyawarah merupakan suatu kewajiban yang mutlak. Hal ini disebabkan karena jamaah akan terbentuk bila ada musyawarah diantara sesama anggota.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi yang sudah melaksanakan syahadat ketauhidan dan juga syahadat kerasulan, sudahkah ciri dan akhlak akhlaq dari orang yang bertauhid menjadi akhlak bagi diri kita lalu tercermin menjadi perilaku diri kita sehingga kita mampu menjadi bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi ini? Jika belum berarti ada sesuatu yang salah di dalam diri. Instrospeksilah kondisi ini sebelum semuanya terlambat.

 

Akhirnya akhlak dan penampilan dari orang-orang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar, dapat kami tambahkan sebagai berikut: 

 

1.    Orang yang bertauhid adalah orang yang mampu meninggalkan dunia sebelum ia meninggal dunia; orang yang bersedekah sampai kaya bukan kaya baru bersedekah; orang yang berdakwah sampai alim bukan alim baru berdakwah; orang yang datang ke masjid sampai tua bukan tua baru ke masjid; orang yang beramal sampai ikhlas bukan ikhlas baru beramal;

 

2.     Orang yang bertauhid bukanlah orang-orang yang berjalan dengan sombong; bukanlah orang yang memandang orang lain dengan pandangan yang merendahkan; bukanlah orang yang berharap akan syurga tetapi perbuatannya maksiat terus menerus.

 

3.  Dan orang yang bertauhid adalah orang-orang yang cerdik yaitu orang yang  terbanyak mengingat kematian, serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian serta orang lain merasa aman dan nyaman terhadap kehadirannya.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah mampu melaksanakan syahadat ketauhidan dan juga syahadat kerasulan dalam satu kesatuan, semoga kewajiban dan juga akhlak orang yang bertauhid yang telah kami kemukakan di atas merupakan cerminan dari diri kita sendiri. Dan semoga setiap orang yang telah memilki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar akan menjadi seorang pemenang yang sejati, sebagaimana dikemukakan dalam  surat Al Mu’minuun (23) ayat 9, 10, 11 berikut ini ini: “dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.”

 

Lalu berlakulah ketentuan berikut ini kepada diri kita, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku” (surat Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27). Kondisi inilah yang disebut dengan hakekat kemenangan yaitu jika kita termasuk orang orang yang mewarisi apa yang dinamakan dengan syurga Firdaus dan kita kekal berada di dalamnya. Dimana syurga Firdaus adalah salah satu syurga yang terbaik dari tingkatan-tingkatan syurga yang ada. Semoga syurga ini yang kita peroleh kelak dan di syurga ini pulalah kita bisa melihat wajah Allah SWT dan bisa bertemu langsung dengan Nabi Muhammad SAW. Dan semoga kita semua mampu menjadi makhluk yang terhormat yang dapat pulang kampung ke tempat yang terhormat untuk bertemu dengan Dzat Yang Maha Terhormat di tempat yang sangat terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghor-mati.

 

Sebagai penutup, terlampir kami kemukakan “Surat Cinta Al Ghazali: Nasehat-Nasehat Pencerah Hati” yang berbunyi:  Anakku tercinta. Ada 4 (empat) perkara yang patut kamu lakukan dengan sungguh-sungguh, yaitu:  

 

1.    Hendaklah kamu bergaul dengan Allah SWT dengan etika yang baik. Misalnya, jika sese-orang berbuat sesuatu yang mengesankan hatimu, contohlah perbuatannya itu untuk orang lain. Tapi, jika ada orang berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hatimu, janganlah kamu contoh perbuatan itu. Sebab, apa yang diridhai semua manusia, berarti hal itu juga diridhai Allah, dan perbuatan yang tidak disukai manusia, biasanya juga tidak disukai Allah SWT.

 

2.   Setiap kali kamu melakukan perbuatan yang berkait dengan orang lain, lakukanlah dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, seperti kamu menyayangi dirimu sendiri. Iman sese-orang dikatakan belum sempurna, sebelum dirinya mampu mencintai orang lain sebagai-mana layaknya ia mencintai dirinya sendiri.

 

3.    Jika kamu mendalami dan mempelajari satu disiplin ilmu, hendaklah ilmu itu berguna untuk meluruskan hati dan membersihkan dirimu. Manfaatkanlah ilmu itu dengan sebaik baiknya. Jangan sampai ilmu yang kamu pelajari itu tidak mendatangkan manfaat apapun. Gunakanlah ilmu itu untuk menjaga hatimu dan untuk mengetahui sifat sifat hawa nafsu dan untuk melepaskan hatimu dari belenggu dunia. Ilmu itu harus berguna untuk membersihkan dirimu dari moral yang rendah, serta untuk mendekatkan dirimu kepada-Nya. Dengarlah sepatah kata lagi nasihatku ini dan renungkanlah sampai kamu memperoleh jalan keluar dari kesempitan. Untuk itu renungkanlah sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk fisik dan perbuatanmu, tetapi Allah melihat pada hati dan niatmu.

 

4.  Anakku, janganlah kamu mengumpulkan harta kekayaan melebihi kebutuhan satu tahun. Rasulullah SAW tidak pernah meminta kepada Allah harta yang berlebih, seperti dalam doanya, “Ya Allah, jadikanlah makan dan minumku beserta keluargaku secukupnya saja.”

 

Dan semoga melalui bahan perenungan diri yang kami kemukakan di atas ini mampu mening-katkan dan mendorong diri kita untuk belajar secara sungguh-sungguh tentang ilmu ketauhidan ini sehingga kita mampu menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang dibanggakan-Nya baik di dunia maupun di akhirat kelak.  

 

Dan tidak ada kata-kata penutup yang paling indah selain kata, “Alhamdulillahi Rabbil Alamin” Inilah kata yang berisi ungkapan syukur yang sangat luar biasa kepada Allah SWT. Rasa bersyukurlah merupakan cara pamungkas agar segala nikmat yang kita peroleh dan selalu ditambah oleh Allah SWT dari waktu ke waktu sampai kita bertemu dengan Allah SWT kelak di syurga-Nya. Amiin.

 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar