H. PENEGAK KEBENARAN DAN KEADILAN.
Salah satu bukti
dan yang harus menjadi penampilan orang yang telah memiliki ketauhidan dalam
diri yaitu : ia akan menjadikan dirinya sebagai penegak kebenaran dan juga
penegak keadilan yang tidak sebatas sekedar ucapan belaka. Namun dibuktikan
dalam perbuatan dan tingkah laku. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat
Al Maidah (5) ayat 8 berikut ini: “Hai
orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan
(kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil.
Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah
kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (surat Al
Maa-idah (5) ayat 8)
Di lain sisi, Allah
SWT juga mengancam kepada diri kita jika sampai melihat orang yang teraniaya
tetapi kita tidak berbuat apapun kepadanya. Hal ini telah dikemukakan oleh
Allah SWT melalui hadits qudsi yang kami kemukakan berikut ini: “Ibn Abbas ra
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Demi kemulian dan
kebesaran-Ku, Aku akan adakan pembalasan terhadap orang yang dzalim lambat
ataupun cepat, juga terhadap orang yang melihat orang teraniaya yang ia dapat
menolongnya tetapi tidak berbuat. (Hadits
Qudsi Riwayat At Thabarani, 272:163).
Adanya kondisi
yang kami kemukakan di atas ini, berarti antara perbuatan dan tingkah laku diri
kita tidak boleh berseberangan sehingga perbuatan dan tingkah laku diri kita
harus sejalan dengan apa yang kita akui dan nyatakan di dalam syahadat
ketauhidan. Maksudnya adalah jika Allah SWT adalah Dzat Yang Maha Benar maka
diri kita harus pula mengakui dan menyatakannya serta melakukan perbuatan yang
sesuai dengan perbuatan Allah SWT yaitu Maha Benar. Demikian pula jika kita
mengakui dan menyatakan bahwa Allah SWT satu-satunya Tuhan di alam raya ini
sebagai Dzat Yang Maha Adil maka
perbuatan-perbuatan yang kita laksanakan saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya harus memiliki dan berlandaskan perbuatan Allah SWT
yaitu Yang Maha Adil.
Sekarang apa
jadinya jika kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri sedangkan diri kita
adalah pelaku ketidakbenaran; pelaku ketidakadilan, pelaku dan penyebar berita
bohong (hoaks), pelaku dan pelaksana kesaksian palsu untuk kepentingan dan
keuntungan diri sendiri maupun kelompok tertentu? Jika ini yang terjadi maka antara diri
kita dengan Allah SWT berada di dalam ketidaksesusaian perbuatan dan dapat
dipastikan ada yang salah di dalam ketauhidan yang kita laksanakan serta apa
yang kita lakukan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh syaitan.
Allah SWT telah memperlihatkan kepada diri kita dan juga kepada semua
umat manusia tentang tanda-tanda kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya
sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami
di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka
bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu
menjadi saksi atas segala sesuatu? (surat Fushshilat (41) ayat 53).” Salah satu yang telah diperlihatkan oleh
Allah SWT adalah af’al (perbuatan) Ar Rachman dan Ar Rahhim, lalu apakah diri
kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri hanya berdiam diri saja setelah
Allah SWT memperlihatkan tanda-tanda kebesaran dan kemahaan-Nya? Sebagai orang
yang telah memiliki ketauhidan dalam diri maka perilaku dan perbuatan diri kita
seharusnya mampu menampilkan konsep Ar Rachman dan Ar Rahhim dalam kehidupan
kita sehari-hari yang ditujukan kepada sesame umat manusia.
Jika ini yang terjadi maka lahirlah apa yang dinamakan dengan moralitas
Allah SWT di tengah masyarakat melalui penampilan diri kita yang telah memiliki
ketauhidan dalam diri. Dan jika ini yang dilakukan oleh setiap orang yang telah
memiliki ketauhidan maka apa yang dinamakan dengan dekadensi moral atau
rusaknya moralitas tidak akan pernah terjadi. Adanya kondisi ini dapat dikatakan bahwa setiap manusia yang telah bertauhida dengan
baik dan benar maka ia tidak akan pernah menjadi koruptor, pelaku kolusi dan nepotisme,
pengguna narkoba dan bandar narkoba, penjudi dan Bandar judi, pelaku pencucian
uang haram, teroris, penyebar fitnah dan juga pelaku kejahatan kerah putih dan
lain sebagainya.
Selain daripada itu, di dalam diri
orang yang sudah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar, maka
tidak terdapat lagi sifat dan perbuatan sombong dengan harta, sombong dengan
kedudukan, sombong dengan ilmu, riya, ujub, kikir, pelit, suka menggosip, suka
tergesa-gesa, keluh kesah, pendusta, tidak mau bersyukur dan lain sebagai-nya.
Sekarang sudahkah diri kita menampilkan apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT yang tertuang di dalam surat
Fushshilat (41) ayat ayat 53 sebagai bukti telah memiliki ketauhidan dalam
diri!
Selain dari pada itu, berdasarkan surat
An Nuur (24) ayat 13 yang kami kemukakan berikut ini: “mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi
atas berita bohong itu? Olah karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi Maka
mereka Itulah pada sisi Allah orang- orang yang dusta.” Ayat ini
mengemukakan bahwa seseorang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan
baik dan benar maka ia tidak akan pernah memberikan kesaksian palsu kepada
siapapun juga atau tidak akan mau menjadi saksi palsu baik langsung maupun
tidak langsung apalagi demi untuk mengambil keuntungan sesaat atau untuk
memperoleh jabatan tertentu dengan menghalalkan segala cara.
I.
TIDAK MAU MENGHALANGI ORANG LAIN BERIBADAH.
Salah satu bukti
bahwa diri kita telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar
yaitu maka ia
tidak akan pernah sekalipun menghalangi orang lain untuk melaksanakan ibadah
atau untuk menuju jalan yang lurus atau kita harus pula berusaha untuk berbagi
kepada sesama dengan mengajak mereka untuk merasakan nikmatnya bertuhankan
kepada Allah SWT sebagai bentuk tanggung jawab moral serta menjaga keharmonisan
hubungan antar sesama umat manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat Ali Imran (3) ayat 99 yang
kami kemukakan berikut ini: “Katakanlah:
"Hai ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah
orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi bengkok, Padahal
kamu menyaksikan?". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu
kerjakan. (surat Ali Imran (3) ayat 99).
Sekarang apa
jadinya jika kita yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan
benar, justru kita merasa bahwa diri kitalah yang paling benar sehingga orang
lain selalu salah atau hanya kelompok kita saja yang benar yang lain salah atau
hanya diri dan kelompok kita sajalah yang berhak merasakan nikmat-nya bertuhankan
kepada Allah SWT sehingga kita tidak mau berbagi kepada sesama sedangkan Allah
SWT adalah Dzat Yang Maha Terpuji dan Maha Pemberi? Jika apa yang kita perbuat
tidak sesuai dengan af’al (perbuatan) yang dimiliki oleh Allah SWT maka dapat
dipastikan ketauhidan yang ada dalam diri belum sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Sebagai orang yang telah bertauhid dan yang juga telah merasakan rasa
bertuhankan kepada Allah SWT maka kita tidak diperkenankan untuk menghalang-halangi, untuk
menghambat, untuk mengganggu, untuk menggagalkan, untuk menakut-nakuti orang
yang akan menu-naikan ibadah baik yang wajib ataupun yang sunnah. Adanya
larangan Allah SWT seperti yang kami kemukakan di atas, mengharuskan diri kita
yang telah memperoleh dan merasakan langsung rasa bertuhankan kepada Allah SWT
untuk selalu memotivasi, mendorong dan berbagi kiat-kiat yang terbaik kepada
sesama umat bagaimana menggapai ibadah yang dikehendaki oleh Allah SWT. Dan
juga selalu mendorong serta selalu membantu sesama umat belajar tentang Diinul
Islam yang tidak hanya sebatas syariat namun juga sampai dengan yang hakekat
yang kesemuanya harus sesuai dengan kehendak Allah SWT. Dan jangan lupa untuk
selalu mengingatkan kepada sesama bahwa pema-haman dan penghayatan serta
pengamalan dari ibadah tidak bisa didapatkan secara cepat (instant), keduanya
baru didapatkan secara berangsung-angsur sesuai dengan pengamalan yang kita
laksanakan.
J.
TIDAK TAKUT BERJIHAD DI JALAN ALLAH SWT.
Seorang yang telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar
maka ia tidak akan pernah gentar ataupun takut ataupun ragu-ragu untuk
melakukan jihad sehingga ia akan selalu bersungguh-sungguh untuk menegakkan Agama Allah SWT baik melalui harta dan juga melalui
jiwanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum
(kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa
(kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka
mendapat pelajaran); dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman
(dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai)
syuhada'[231]. dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim, (surat Ali
Imran (3) ayat 140)
[231] Syuhada' di sini ialah orang-orang
Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah. sebagian
ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia sebagai
tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.
Berdasarkan surat
Al Hadiid (57) ayat 18 yang kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul- Nya) baik
laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik,
niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka
pahala yang banyak. (surat Al Hadiid (57) ayat 18).” Dikemukakan bahwa orang yang telah memiliki
ketauhidan dalam diri dengan baik dan
benar maka ia akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk selalu menafkahkan
sebahagian hartanya di jalan Allah SWT atau menginvestasikan sebahagian
rezekinya ke Bank Ilahiah melalui jalan Zakat, jalan Infaq, jalan Shadaqah, jalan
Hadiah, jalan Waqaf, Qurban ataupun Nazar. Dapat pula menafkahkan sebahagiaan rezekinya dengan
meminjamkan kepada Allah SWT sesuatu pinjaman yang baik, tanpa ada paksaaan
dari siapapun juga dalam rangka mencari keridhaan Allah SWT yang kesemuanya di
dalam rangka membantu sesama umat manusia sehingga tampillah keshalehan diri di
dalam keshalehan sosial.
K.
MAMPU MELAKUKAN PERUBAHAN (PERBAIKAN)
DIRI.
Hidup yang kita lakukan saat ini ini
bak roda pedati, kadang di atas kadang di bawah, kadang senang kadang susah,
kadang bahagai kadang sengsara, semuanya silih berganti dan semua orang pasti
akan mengalami kondisi ini sehingga tidak akan ada jalan yang mulus dari waktu
ke waktu. Namun sebagai orang yang bertauhid tentu kita harus mengetahui dengan
baik dan benar tentang ketentuan yang terdapat di dalam surat Al Baqarah (2)
ayat 186 berikut ini: “Allah tidak membebani seseorang melainkan
sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang
diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.
(Mereka berdoa): “ Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa
atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban
yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya
Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami
memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong
kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir." (surat Al Baqarah (2)
ayat 286)
Ayat di atas ini, menunjukkan kepada
diri kita bahwa segala yang kita alami saat hidup di muka bumi ini bukanlah
sesuatu yang melebihi kesanggupan kita. Akan tetapi apa yang kita alami atau
jalani adalah sesuatu yang pasti dapat kita lalui dan jalani. Lalu apakah yang
dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Baqarah (2) ayat 286 di atas tidak
kita percayai? Adanya jaminan dari Allah SWT bahwa kita pasti bisa menghadapi
segala ujian, cobaan, rintangan, tantangan berarti kita pasti bisa menjadi
pemenang, ingat bukan pecundang.
Setelah diri kita meyakini bahwa kita
pasti bisa sanggup menghadapi segala rintangan, tantangan, ujian dan cobaan
hidup, kondisi ini tidak terlepas dari mampunya diri kita melaksanakan
ketentuan yang termaktub dalam surat Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut ini: “Baginya
(manusia) ada malaikat malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan
dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah
tidak mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka
sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka taka
da pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra’d (13) ayat 11).”
Ayat ini menegaskan bahwa jika kita
mau mengadakan perubahan (merubah) apa apa yang ada di dalam diri kita, seperti
malas kita rubah menjadi rajin, pelit kita rubah menjadi dermawan, berpikiran
(berwawasan) jangka pendek kita rubah menjadi berwawasan luas dan jangka
panjang, bangun siang menjadi bangun pagi, sikap ego menjadi bersyukur, dompet
(saku) selalu dikunci menjadi sering berderma, berat tangan dirubah menjadi
ringan tangan maka Allah SWT akan merubah kondisi dan keadaan diri menjadi
lebih baik.
Jika kita tetap tidak mau merubah atas
apa apa yang ada di dalam diri kita sendiri, maka bersiap siaplah untuk dirubah
oleh perubahan baik yang berasal dari internal diri (hawa nafsu dan setan)
ataupun yang berasal dari eksternal diri.
Selain daripada ketahuilah, saat diri
kita melakukan perubahan menuju kebaikan, maka pada saat itu pula syaitan
melaksanakan aksinya kepada diri kita agar jangan sampai terjadi perubahan.
Namun pada saat yang bersamaan Allah SWT telah menempatkan malaikat di depan
dan di belakang diri kita untuk menjaga diri kita secara bergiliran agar upaya
diri kita untuk merubah keadaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT menjadi
lebih mudah. Adanya kondisi ini menunjukkan bahwa Allah SWT sangat mendukung
usaha manusia untuk menjadi orang orang yang sesuai dengan kehendak-Nya. Ayo
segera manfaatkan peluang dan kesempatan ini sebelum semuanya terlambat.
Selain point A sampai K yang telah kami kemukakan di
atas, masih terdapat 4 (empat) bentuk akhlak dan penampilan dari orang-orang
yang telah memiliki ilmu ketauhidan dalam diri secara baik dan benar. Hal ini
sebagaimana telah dikemukakan oleh “Muhammad
Said Al-Qahthani; Muhammad bin Abdul Wahab; Muhammad Qutb, dalam bukunya yang berjudul “Memurnikan
Laa Ilaaha Illallah” dan ke
empat tambahan akhlak ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan apa-apa
yang telah kemukakan di atas. Dan inilah akhlak yang dimaksud:
A. IKHLAS DALAM BERTINDAK DAN BERBUAT.
Sebagai
seorang hamba yang telah berkomitmen dengan ketauhidan, tentunya sikap ikhlas
merupakan bentuk penampilan yang utama dalam diri sebagai sebuah tanda atau
bukti kebenaran dan kejujuran dari seorang hamba yang telah bertauhid. Selain itu ikhlas harus terlihat pula dalam
sikap “cinta dan benci”. Cinta kepada kehendak Allah dan Rasul-Nya dan benci
kepada larangan Allah dan Rasul-Nya. Ikhlas juga harus nyata dalam
perjuangan menegakkan kebenaran, walaupun hal itu banyak merugikan diri dan
keluarganya sendiri. Rela berkor-ban demi kepentingan Islam dan umat pada umumnya
dengan tidak mendahulukan kepen-tingan diri sendiri, keluarga serta kelompok
tertentu. Semoga hal ini mampu kita laksanakan dengan sebaik-baiknya.
Albert
Einstein pernah mengemukakan sebuah pernyataan bahwa: “Dari bahan yang sama dan dengan cara yang sama,
kita bisa menghasilkan sesuatu yang berbeda”. Pernyataan ini bukanlah
sebuah isapan jempol belaka, akan tetapi sebuah kenyataan yang tidak bisa kita
bisa sembunyikan. Adanya rumus yang seperti akan menghasilkan adanya perbedaan-perbedaan
yang paling mendasar antar satu orang dengan orang lainnya sehingga terlihatlah
kualitas masing-masing orang yang bertingkat-tingkat.
Untuk itu kita bisa memperhatikan hasil akhir
(output) dari sesuatu pekerjaan, atau suatu perbuatan atau suatu ibadah dalam
bentuk pelaksanaan perintah dan larangan Allah SWT bukan semata mata karena “bahan yang sama dan dengan cara yang sama”
melainkan ada faktor lain yang tidak kentara yang mengakibatkan hasil akhirnya
berbeda. Adapun faktor-faktor yang memegang peranan sangat penting terhadap
suatu pekerjaan ataupun suatu ibadah adalah:
1. Kualitas dari keikhlasan yang
ada di dalam diri seseorang saat ia melaksanakan peker-jaan dan ibadah tertentu.
Ikhlas tidak akan
terealisasi dalam amal shaleh, kecuali dengan dua unsur pokok: (a) Pertama, menghadirkan niat di dalam
beramal, karena setiap amal itu tergantung kepada niatnya. Dan apabila
seseorang mengerjakan suatu amal tanpa disertai niat, ia tidak akan masuk
golongan orang yang ikhlas; (b) Kedua,
memurnikan niat dari semua motif yang bersifat pribadi atau duniawi, sehingga
menjadi benar-benar ikhlas karena Allah SWT.
2. Menghadirkan
niat juga harus dibarengi dengan mengosongkannya dari berbagai ambisi dan
keinginan yang bersifat pribadi dan duniawi. Kita harus mengikhlaskan niat
semata mata untuk Allah SWT dalam semua amal akhirat sehingga memperoleh
penerimaan di sisi Allah. Niat itu murni amalan hati, bukan termasuk amalan
amalan lisan, karenanya tidak diketahui dari Nabi SAW dan para sahabat,
melafalkan niat dalam ibadah, seperti dalam shalat, puasa, mandi, wudhu dan
sebagainya. Al Zarkasyi menukil perkataan Imam Al Ghazali di dalam fatwanya: “Perintah niat dalam ibadah itu sebenarnya
mudah, namun ia menjadi sulit karena ketidaktahuan seseorang akan hakikat niat
atau karena was was”.
3. Ilmu yang dimiliki seseorang
akan mempengaruhi kemampuan pemahaman seseorang terhadap sesuatu hal sehingga
setiap orang akan melakukan sesuatu sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya.
4. Pengamalan seseorang terhadap
pemahaman yang dimilikinya menjadikan seseorang me-miliki pengalaman dan juga
peningkatan penghayatan seseorang
terhadap apa yang mereka kerjakan atau ibadah yang mereka laksanakan.
5. Daya juang seseorang untuk
melakukan sesuatu pekerjaan atau suatu ibadah. Atau ke-sungguhan di dalam
melaksanakan suatu pekerjaan atau suatu ibadah akan menjadi pembeda kualitas
antar satu orang dengan orang lainnya yang pada akhirnya akan menghasilkan
hasil akhir yang berbeda.
6. Seni (art) di dalam melakukan
suatu pekerjaan atau suatu ibadah juga akan sangat mem-pengaruhi hasil akhir
dari suatu pekerjaan dikarenakan masing masing orang memiliki latar belakang
kemampuan yang berbeda beda.
Enam hal yang kami kemukakan
di atas, merupakan persoalan yang paling hakiki yang dihadapi oleh setiap orang
karena dari sinilah asal muasal kenapa hasil dari suatu pekerjaan, atau suatu
ibadah tidak menghasilkan sesuatu yang sama, sehingga tidak sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Apalagi kita tahu bahwa disetiap perintah yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT pasti untuk kemaslahatan diri kita. Namun berapa banyak orang
yang telah melaksanakan perintah namun hasilnya di luar kehendak Allah SWT.
Padahal kita tahu bahwa perintah dan larangan Allah SWT tidak akan pernah salah
namun kitalah yang salah di dalam melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT.
Dan semoga kita semua mampu menjadi pribadi-pribadi yang ikhlas berbuat dalam
kerangka mencari ridha-Nya yang menjadi bukti bahwa diri kita telah bersyahadat
ketauhidan dan syahadat kerasulan. Amiin.
Sebagai pengingat bagi jamaah
sekalian, ketahuilah setiap manusia tentu memiliki kelebi-han ataupun
kekurangan akibat pengaruh enam hal yang kami kemukakan di atas walaupun mereka
sudah melaksanakan perintah dan larangan Allah SWT. Dan yang harus kita lakukan
adalah mau menerima orang lain apa adanya melalui kelebihan maupun keku-rangannya
masing-masing. Apabila kita menemukan orang yang memiliki kekurangan maka temukanlah
sisi positif dari kekurangan orang lain. Lalu nikmatilah hidup dengan cara isi
mengisi di antara sesama. Mudahkan!.
B. MENJADIKAN DIRI SEBAGAI UMAT YANG
TERBAIK (KHAIRA UMMAH).
Bentuk
penampilan (akhlak) dari orang-orang yang bertauhid secara baik dan benar
adalah mampu menjadikan diri sebagai umat-umat yang terbaik (khaira ummah)
sebagaimana umat yang dibangun oleh Rasulullah SAW. Dimana umat yang dibangun
adalah umat yang baru, yang lahir secara utuh ketika mencapai tingkat kekuatan
yang prima dalam menghadapi masyarakat jahiliyah. Mereka juga terbentuk dari
kekuatan itikad (tekad, kemauan yang teguh), satu fikrah (satu pemikiran),
kekuatan peringai, kekuatan jiwa, dan kekuatan lainnya sehingga mampu mendesak
mundur dan bahkan menumpas kekuatan jahiliyah.
Lantas
siapakah yang disebut masyarakat jahiliyah sekarang ini, Sayid Qutb dalam
bukunya yang berjudul “Tahta Rayatil Islam” mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan “umat jahiliyah ialah setiap umat
yang tidak memurnikan pengabdiannya kepada Allah, baik yang menyangkut
itikadnya, amalan-amalannya, maupun syariat-syariatnya”. Oleh karena itu
umat yang berada dalam khaira ummah, mereka bersih dari noda-noda syirik dan
moral jahiliyah, baik moral sosial, politik, maupun moral-moral lainnya. Mereka
gigih menyeru ke jalan Islam yang murni. Mereka menentang komunisme (tidak
beragama), yahudi, zionis dan isme-isme lain sekalipun semua itu banyak yang
berkedok Islam. Aliran-aliran itu diken-dalikan oleh antek-antek jahiliyah.
Mereka sengaja menghalang-halangi kebangkitan Islam dengan berbagai tipu daya
yang licik.
Untuk bisa
menggambarkan seperti apakah umat yang terbaik itu? Berikut ini akan kami
kemukakan apa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW di dalam menjadikan umat yang
terbaik itu? Salah satu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW adalah
mempersaudarakan suku Aus dan Kharaj, yang mana kedua suku itu semasa jahiliyah
saling bermusuhan dan berbunuh-bunuhan. Kini mereka mendapatkan kenikmatan yang
luar biasa, karena telah bersaudara dengan ikatan iman. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan
janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu
dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga
dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada
di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah,
Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk. (surat
Ali Imran (3) ayat 103).”
Tidak hanya
itu, Rasulullah SAW juga mempersaudarakan kaum Muhajirin dan kaum Anshar,
sehingga mereka telah terhimpun menjadi “khaira ummah” di sekeliling Rasulullah
SAW yang lalu melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Persaudaraan
iman tercipta bukan karena persamaan suku, pangkat, maupun keturunan.
Persaudaraan iman adalah persaudaraan antar sesama muslim tanpa melihat
hubungan darah atau status sosial. Persaudaraan iman mampu menghilangkan
sebutan sayyid dan hamba sahaya. Itulah pengertian umat yang hakiki yang belum
pernah terjadi dalam sejarah umat manusia manapun juga. Umat pada jaman itu
adalah umat akidah yang mempunyai ikatan yang hakiki. Di dalamnya terdapat
persaudaraan akidah yang saling mengikatkan diri dengan ikatan iman sehingga
mambentuk sebuah bangunan yang kokoh. Satu sama lain saling mengokohkan, senang
dan susah selalu dipikul bersama. Mereka senasib seperjua-ngan. Hal itu
dilakukan karena semata-mata mencari ridha-Nya.
C. ILTIZAM
KEPADA AMAL JAMA’I (MELANGKAH BERSAMA MENUJU KEBAIK-AN UMAT).
Bagi seorang Muslim yang telah
bersyahadat maka beramal berarti berbuat, mengerjakan dan menghasilkan sesuatu
yang bermanfaat bagi dirinya, bagi umat manusia dan bagi agama Islam. Jama’i
berasal dari kata jamaah. Jama’ah adalah suatu perkumpulan orang-orang untuk
mencapai hal-hal tertentu. Paling sedikit terdiri dari dua orang. Amal jama’i
adalah kegiatan yang dilakukan yang merupakan produk suatu keputusan jamaah
yang selaras dengan sistem (manhaj) yang telah ditentukan bersama, untuk
mencapai tujuan tertentu. Dan umat Islam yang pertama kali dibangun oleh
Rasulullah SAW di Madinah terdiri dari berbagai potensi insani.
Potensi-potensi pribadi yang ada dan
yang patut dibanggakan itu kemudian dipersatukan oleh Rasulullah SAW menjadi
suatu kekuatan yang sangat dahsyat dan tiada tandingnya. Kekuatan utama mereka terletak pada ikatan persatuannya, yakni ikatan
iman dan taqwa. Dan sering kita menyaksikan suatu perkumpulan umat manusia
baik sesame muslim maupun sesame non muslim, atau gabungan dari keduanya.
Secara individual mereka masing-masing memang memiliki potensi, tetapi ketika
dipersatukan dalam bentuk jamaah, kadang-kadang justru saling melemahkan dan
menjatuhkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini dapat terjadi karena tali
pengikatnya “semu” bukan karena berlandaskan ikatan iman yang murni. Persatuan
yang seperti ini tidak berbeda dengan persatuan “baha-im” (sekawanan
bina-tang). Mereka bersatu ketika mempunyai kehendak yang sama, misalnya jika
hendak makan. Tetapi setelah usai makan, mereka bercerai-berai kembali dan
kembali pula memen-tingkan dirinya sendiri.
Lalu
mengapa Rasulullah SAW pada awal langkah dakwahnya dimulai dengan membangun
jamaah (kebersamaa)? Hal
ini beliau lakukan karena keberadaan jamaah (kebersamaan) memang sudah
merupakan keharusan. Tapi samakah jamaah yang dimaksudkan Rasulullah SAW dengan
organisasi seperti yang ada sekarang ini? Jawabannya tentu tidak sama dan
berbeda sama sekali. Hal ini bisa terlihat dari sasaran (ahdaf) dan prosedur
pencapaian sasaran (wasilah) dan dari segi watak mereka. Dengan berjamaah
(kebersamaan) setiap individu mendapat kesempatan yang banyak dalam
mengembangkan potensi. Hal ini juga untuk menguji keikhlasan dan kebersamaan
sesama anggota, program dan aturan main dari jamaah tersebut.
Lalu timbul pertanyaan, kenapa harus
beramal secara jamaah? Beramal mengusung konsep berjamaah (kebersamaan)
merupakan perintah dari Allah SWT dan juga teladan dari Nabi Muhammad SAW
sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan permusuhan.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (surat
Al-Maidah (5) ayat 2).” Dan dengan adanya konsep berjamaah dalam
mengerjakan kebajikan dan ketaqwaan maka secara tidak langsung kita telah
melaksanakan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Anfaal (8) ayat
73 yaitu guna menghadapi orang kafir yang juga berjamaah untuk melawan
orang-orang Islam.
Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan
orang-orang yang kafir, sebagian mereka melindungi sebagian yang lain. Jika
kamu tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah (saling melindungi),
niscaya akan terjadi kekacauan di bumi dan kerusakan yang besar.”
Akhirnya terjadilah keseimbangan di dalam menghadapi orang-orang kafir yang
juga secara berjamaah memerangi umat Islam.
Selain daripada itu, adanya konsep
berjamaah (kebersamaan) sangat bermanfaat kepada anggota dari jamaah itu
sendiri, terutama:
1. Untuk
lebih mengenal diri dan untuk merubah kekurangan yang ada pada diri menjadi
pribadi-pribadi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT serta untuk meningkatkan
kualitas ibadah melalui pembelajaran bersama yang dilakukan dari waktu ke waktu
secara konsisten;
2. Untuk
mengoptimalkan potensi anggota, sebagaimana kue yang nikmat. Kue yang nik-mat
dan lezat terdiri atas berbagai macam bahan untuk membuatnya. Kue tidak akan
bisa dibuat jika hanya terdiri atas telur atau tepung saja. Bahkan walau semua
bahan telah lengkap tanpa adanya bubuk baking soda, kue tidak akan mengembang.
Begitu-pun diri kita, tanpa berjamaah potensi kita akan kurang termanfaatkan
secara optimal. Dalam konsep berjamaah, beberapa orang yang memiliki berbagai
macam kemam-puan, keahlian, dan juga pengalaman jika dimanfaatkan dengan baik
bisa dikolabo-rasikan untuk mengembalikan kejayaan umat Islam;
3. Untuk
menjaga kewibawaan umat Muslim, yang mana ketika tingkat kebersamaan umat Islam
begitu kuat, musuh-musuh Islam akan berpikir seribu kali untuk menggang-gu
kita. Kaum Muslim ibarat satu tubuh, jika satu bagian diganggu maka bagian
lainnya akan memberikan bantuan.
4. Untuk
mendapatkan rahmat dan pertolongan dari Allah sebagaimana hadits berikut ini: “Tangan
Allah bersama jamaah.” (Hadits Riwayat Ath Thirmidzi) Maknanya
ketenangan dan rahmat Allah bersama orang yang bersepakat, sehingga mereka jauh
dari ketaku-tan, gangguan dan keguncangan. Apabila mereka berpecah belah,
ketenangan hilang, lalu kekacauan akan datang.
Sebagai orang yang telah bertauhid,
tentu kita harus bisa melaksanakan konsep berjamaah (kebersamaan) sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh semut yang selalu berjamaah dan semoga pelajaran
dari semut bisa kita ambil hikmahnya, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Hingga
ketika mereka sampai di lembah semut, berkatalah seekor semut, “Wahai
semut-semut! Masuklah ke dalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh
Sulaiman dan bala tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari.” (surat An Naml
(27) ayat 18).” Akhirnya bersatu kita teguh bercerai kita runtuh.
D. MUSYAWARAH DALAM TUBUH JAMAAH
(MASYARAKAT).
Musyawarah
adalah sebuah upaya mengeluarkan pikiran untuk suatu urusan yang menuntut aspek
pengetahuan agar menghasilkan ketepatan dan menghindari kekeliruan. Musyawarah
juga merupakan tabiat manusiawi. Tidak ada seorangpun manusia yang mam-pu
meninggalkan musyawarah. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak sanggup hidup
sendiri.
Pada
kebersamaan itulah, tabiat musyawarah akan muncul. Mengenai musyawarah ini,
banyak contoh yang dapat kita petik dari generasi umat terdahulu, misalnya
peristiwa musyawarah yang dilakukan oleh ratu Balqis dan para pembesarnya
berikut ini: “Dia (Balqis),“Wahai para
pembesar! Berilah aku pertimbangan dalam perkaraku (ini). Aku tidak pernah
memutuskan suatu perkara sebelum kamu hadir dalam majelis(ku). Mereka menjawab,
“Kita memiliki kekuatan dam keberanian yang luar biasa (untuk berperang),
tetapi keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang engkau
perintahkan.” (surat An Naml (27) ayat 32-33).”
Di dalam AlQuran perintah
bermusyawarah disejajarkan dengan perintah-perintah lainnya, seperti iman,
tawakkal, menjauhi dosa besar, menjauhi perbuatan keji, memberi maaf,
mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Apapun
(kenikmatan) yang diberikan kepadamu, maka itu adalah kesenangan hidup di
dunia. Sedangkan apa (kenikmatan) yang ada di sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakkal.
Dan juga bagi orang-orang yang menjauhi dosa-dosa yang besar dan
perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah segera memberi maaf. Dan
(bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan dan melaksanan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian
dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. (surat Asy Syura (42) ayat
36-37-38).”
Oleh karena itu meninggalkan
musyawarah pada hakekatnya sama dengan meninggalkan shalat dan juga zakat. Dan
setiap orang yang terlibat dalam musyawarah wajib melaksa-nakan keputusan
musyawarah itu, meskipun secara pribadi hal itu tidak disukainya. Bila musyawarah bertekad untuk memutuskan
sesuatu, maka laksanakan keputusan-keputusan tersebut dengan tawakkal
kepada-Nya.
Orang yang telah terikat dengan
perjanjian musyawarah pada hakikatnya ia telah mengikat janji dengan Allah. Dan
perjanjian yang lebih khusus juga disebutkan dalam firman-Nya berikut ini: “Bahwa
orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), sesungguhnya mereka hanya
berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka, maka
barangsiapa melanggar janji, maka sesungguhnya dia melanggar atas (janji)
sendiri; dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah , maka Dia akan memberi-nya
pahala yang besar. (surat Al Fath (48) ayat 10).” Oleh karena itu orang
yang mengkhianati musyawarah pada hakekatnya telah merusak perjanjian dengan
Allah, sekaligus juga me-mutuskan silaturahmi dengan sesama anggota musyawarah
itu. Perbuatan ini jelas-jelas dilarang oleh Allah SWT sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Dan orang-orang yang melanggar janji Allah setelah diikrarkannya, dan
memutuskan apa yang diperintahkan Allah agar disampaikan dan berbuat kerusakan
di bumi, mereka itu memperoleh kutukan dan tempat kediaman yang buruk
(Jahannam). (surat Ar Rad (13) ayat 25).” Dan sebagai orang yang telah
bertauhid mewujudkan fungsi musyawarah merupakan suatu kewajiban yang mutlak.
Hal ini disebabkan karena jamaah akan terbentuk bila ada musyawarah diantara
sesama anggota.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi yang sudah
melaksanakan syahadat ketauhidan dan juga syahadat kerasulan, sudahkah ciri dan
akhlak akhlaq dari orang yang bertauhid menjadi akhlak bagi diri kita lalu
tercermin menjadi perilaku diri kita sehingga kita mampu menjadi bentuk
penampilan Allah SWT di muka bumi ini? Jika belum berarti ada sesuatu yang
salah di dalam diri. Instrospeksilah kondisi ini sebelum semuanya terlambat.
Akhirnya akhlak dan penampilan dari orang-orang yang
telah memiliki ketauhidan dalam diri dengan baik dan benar, dapat kami
tambahkan sebagai berikut:
1. Orang yang bertauhid adalah orang yang mampu
meninggalkan dunia sebelum ia meninggal dunia; orang yang bersedekah sampai
kaya bukan kaya baru bersedekah; orang yang berdakwah sampai alim bukan alim
baru berdakwah; orang yang datang ke masjid sampai tua bukan tua baru ke
masjid; orang yang beramal sampai ikhlas bukan ikhlas baru beramal;
2. Orang yang bertauhid bukanlah orang-orang yang
berjalan dengan sombong; bukanlah orang yang memandang orang lain dengan
pandangan yang merendahkan; bukanlah orang yang berharap akan syurga tetapi
perbuatannya maksiat terus menerus.
3. Dan orang yang bertauhid adalah orang-orang yang cerdik
yaitu orang yang terbanyak mengingat
kematian, serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian serta
orang lain merasa aman dan nyaman terhadap kehadirannya.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang telah mampu melaksanakan syahadat
ketauhidan dan juga syahadat kerasulan dalam satu kesatuan, semoga kewajiban
dan juga akhlak orang yang bertauhid yang telah kami kemukakan di atas merupakan
cerminan dari diri kita sendiri. Dan
semoga setiap orang yang telah memilki ketauhidan dalam diri dengan baik dan
benar akan menjadi seorang pemenang yang sejati, sebagaimana dikemukakan
dalam surat Al Mu’minuun (23) ayat 9,
10, 11 berikut ini ini: “dan orang-orang yang memelihara
sembahyangnya. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan
mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.”
Lalu berlakulah ketentuan berikut ini kepada diri
kita, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas
lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke
dalam syurga-Ku” (surat Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27). Kondisi inilah yang disebut dengan hakekat
kemenangan yaitu jika kita termasuk orang orang yang mewarisi apa yang
dinamakan dengan syurga Firdaus dan kita kekal berada di dalamnya. Dimana syurga
Firdaus adalah salah satu syurga yang terbaik dari tingkatan-tingkatan syurga
yang ada. Semoga syurga ini yang kita peroleh kelak dan di syurga ini pulalah
kita bisa melihat wajah Allah SWT dan bisa bertemu langsung dengan Nabi
Muhammad SAW. Dan semoga
kita semua mampu menjadi makhluk yang terhormat yang dapat pulang kampung ke
tempat yang terhormat untuk bertemu dengan Dzat Yang Maha Terhormat di tempat
yang sangat terhormat, dalam suasana yang saling hormat menghor-mati.
Sebagai penutup, terlampir kami kemukakan
“Surat
Cinta Al Ghazali: Nasehat-Nasehat Pencerah Hati” yang berbunyi: Anakku tercinta. Ada 4 (empat) perkara yang
patut kamu lakukan dengan sungguh-sungguh, yaitu:
1. Hendaklah
kamu bergaul dengan Allah SWT dengan etika yang baik. Misalnya, jika sese-orang
berbuat sesuatu yang mengesankan hatimu, contohlah perbuatannya itu untuk orang
lain. Tapi, jika ada orang berbuat sesuatu yang tidak berkenan di hatimu,
janganlah kamu contoh perbuatan itu. Sebab, apa yang diridhai semua manusia,
berarti hal itu juga diridhai Allah, dan perbuatan yang tidak disukai manusia,
biasanya juga tidak disukai Allah SWT.
2. Setiap
kali kamu melakukan perbuatan yang berkait dengan orang lain, lakukanlah dengan
penuh rasa cinta dan kasih sayang, seperti kamu menyayangi dirimu sendiri. Iman
sese-orang dikatakan belum sempurna, sebelum dirinya mampu mencintai orang lain
sebagai-mana layaknya ia mencintai dirinya sendiri.
3. Jika
kamu mendalami dan mempelajari satu disiplin ilmu, hendaklah ilmu itu berguna
untuk meluruskan hati dan membersihkan dirimu. Manfaatkanlah ilmu itu dengan sebaik baiknya. Jangan sampai ilmu yang
kamu pelajari itu tidak mendatangkan manfaat apapun. Gunakanlah ilmu itu untuk
menjaga hatimu dan untuk mengetahui sifat sifat hawa nafsu dan untuk melepaskan
hatimu dari belenggu dunia. Ilmu itu harus berguna untuk membersihkan dirimu
dari moral yang rendah, serta untuk mendekatkan dirimu kepada-Nya. Dengarlah
sepatah kata lagi nasihatku ini dan renungkanlah sampai kamu memperoleh jalan
keluar dari kesempitan. Untuk itu renungkanlah sabda Rasulullah, “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat bentuk
fisik dan perbuatanmu, tetapi Allah melihat pada hati dan niatmu.”
4. Anakku,
janganlah kamu mengumpulkan harta kekayaan melebihi kebutuhan satu tahun.
Rasulullah SAW tidak pernah meminta kepada Allah harta yang berlebih, seperti
dalam doanya, “Ya Allah, jadikanlah makan
dan minumku beserta keluargaku secukupnya saja.”
Dan semoga melalui bahan perenungan
diri yang kami kemukakan di atas ini mampu mening-katkan dan mendorong diri
kita untuk belajar secara sungguh-sungguh tentang ilmu ketauhidan ini sehingga
kita mampu menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi
yang dibanggakan-Nya baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Dan tidak ada kata-kata penutup yang paling indah
selain kata, “Alhamdulillahi Rabbil
Alamin” Inilah kata yang berisi ungkapan syukur yang sangat luar biasa
kepada Allah SWT. Rasa bersyukurlah merupakan cara pamungkas agar segala nikmat
yang kita peroleh dan selalu ditambah oleh Allah SWT dari waktu ke waktu sampai
kita bertemu dengan Allah SWT kelak di syurga-Nya. Amiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar