Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Rabu, 24 Januari 2024

KETENTUAN DASAR HIDUP DI MUKA BUMI (PART 2 OF 3)


B.      SIFAT DAN PERBUATAN SWT ITU AKTIF.

 

Hal berikutnya yang harus kita ketahui dan pahami tentang aturan dasar yang berlaku di muka bumi ini adalah dzat, sifat dan perbuatan Allah SWT kesemuanya bersifat aktif. Allah SWT bukanlah Tuhan yang bersifat pasif (seperti lupa dan mengantuk) di dalam mengatur segala urusan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Milik-Nya yang ada di langit dan yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang dihadapan mereka dan apa di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi, Mahabesar. (surat Al Baqarah (2) ayat 255).

 

Dan untuk dapat menunjukkan bahwa Allah SWT itu ada dan Allah SWT aktif sebagai Tuhan bagi seluruh alam, kita juga bisa memperhatikan firman-Nya sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah, Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran. (surat Yunus (10) ayat 3).

 

Kedua ayat di atas ini telah menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT tetap dan terus aktif untuk mengatur segala urusan yang terdapat di alam semesta ini, yang dibuktikan dengan hadir dan tetap berlakunya hukum (aturan) yang mengatur tentang berbagai hal yang ada di dunia ini seperti arah gerak makhluk-Nya.

 

Berbagai makhluk yang ada di alam semesta memiliki fungsi dan peranannya masing-masing untuk kestabilan alam. Misalnya serangga, burung, binatang, atau ikan memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Bila salah satu makhluk hidup punah, maka akan berpengaruh terhadap kestabilan mata rantai kehidupan makhluk yang lainnya.  

 

Sekarang kami ingin mengajak jamaah sekalian untuk merenungi hal-hal berikut ini yang menunjukkan bahwa Allah SWT itu ada dan aktif adanya sampai dengan kapanpun juga, yaitu:

 

1.        Tidak ada satupun makhluk hidup ada dengan sendirinya sehingga setiap makhluk hidup yang ada, tidak ada sebelumnya. Oleh sebab itu, setiap kehadiran (keberadaan) makhluk hidup menunjukkan akan adanya pencipta. Adanya Allah SWT dibuktikan dengan adanya keindahan ciptaann-Nya serta keseimbangan komposisi-nya. Misalnya organ tubuh mulai dari kepala, tulang, kulit, dan daging. Bayi yang baru dilahirkan mempunyai tulang kepala yang lunak, tapi akan keras seiring dengan bertambahnya usia.

 

2.        Alam semesta ini bukti adanya Allah SWT yang juga ditemukan dalam sesuatu yang baru ada di dunia. Di alam semesta ini banyak sekali hal-hal yang sangat kompleks yang sulit untuk dipahami oleh manusia. Untuk dapat memahaminya, seorang manusia membutuhkan usaha yang keras. Mulai dari mengamati adanya atom air, perkem-bangan embrio, pemenuhan makanan manusia lewat pusar dan payudara, struktur kerangka, kerajaan semut, sarang lebah, dan lain sebagainya.

 

3.        Adanya pancaindra manusia, mulai dari indra pendengaran, penglihatan, perasa, penciuman, dan peraba yang sejatinya tidak ada bila tidak dikaitkan dengan sesuatu yang benar-benar ada wujudnya. Kemudian penciuman, rasa, suara, pemandangan tidak akan ada bila tanpa penciptaan indra, apalagi merasakan enaknya makanan.

 

4.        Adanya pergantian siang dan malam serta pergantian musim. Siang untuk beraktivitas dan malam untuk beristirahat. Siang dan musim panas merupakan suatu kondisi untuk memperoleh kehangatan supaya tidak membeku, sementara malam dan musim dingin supaya makhluk tidak terbakar. Musim gugur menyuburkan tanaman dan hutan membuat tanah, buah, dan rumput tumbuh subur.

 

5.        Adanya hujan juga mejadi salah satu bukti aktifnya Allah SWT. Sebab, dengan menurunkan hujan, bumi akan menjadi hidup. Angin yang menggiring awan dan membawa hujan, sehingga setiap sisi bumi mendapatkan air untuk berlangsungnya kehidupan dan terjadinya sirkulasi air dari satu tempat yang lainnya serta dalam kerang-ka menambah jumlah air bagi kepentingan makhluk-Nya dan juga bagi kepentingan manusia melaksanakan ibadah.

 

6.        Bukti keberadaan Allah SWT lainnya adalah mampu memelihara kehidupan dengan menyediakan makanan dan minuman yang dibutuhkan makhluk-Nya, adanya mata pencaharian, serta mengatur urusan manusia di darat dan di laut.

 

Itulah 6 (enam) bukti nyata bahwa Allah SWT ada dan aktif di alam semesta ini dan yang kesemuanya mampu kita rasakan secara langsung lalu apakah hal ini tidak menjadikan diri kita bertauhid kepada-Nya!

 

Agar diri kita mampu membuktikan sendiri-sendiri secara langsung bahwa dzat, sifat dan perbuatan Allah SWT itu aktif bersama diri kita. Maka kita bisa merasakannya melalui apa yang terjadi di muka bumi ini, yaitu melalui adanya ujian dan cobaan; melalui adanya musibah seperti banjir dan kebakaran; adanya bencana; adanya kesusahan serta adanya wabah penyakit yang sedang melanda seperti pandemi covid-19. Adanya kondisi yang tidak menyenangkan lagi mengkhawatirkan yang dihadapi oleh manusia, maka dari sinilah kita akan bisa merasakan bahwa Allah SWT itu ada dan aktif dengan segala kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya. Lalu dimanakah letak aktifnya kebesaran dan kemahaan Allah SWT itu?

 

Allah SWT akan terasa ada dan aktif kepada diri kita sewaktu diri kita melakukan suatu proses meminta pertolongan dan meminta bantuan kepada Allah SWT atas apa-apa yang terjadi pada diri kita. Kondisi ini dipertegas oleh Allah SWT sendiri melalui surat Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”

 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT sendirilah yang memperkenankan diri kita untuk berdoa kepada-Nya untuk meminta pertolongan dan bantuan dan yang menunjuk-kan bahwa Allah SWT siap memberikan pertolongan dan bantuan hanya kepada orang yang memohon sesuatu kepada-Nya serta yang mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang telah ditetapkan-Nya.

 

Lalu apa yang terjadi pada diri kita setelah diri kita mampu berdoa kepada Allah SWT? Adanya doa yang kita panjatkan dan mohonkan kepada Allah SWT maka akan terasa ada sesuatu yang lepas dari dalam dada kita, dalam hal ini kesempitan. Kita merasa nyaman setelah berdoa dan kemudian merasa siap dan tenang dalam menghadapi apa-apa yang terjadi. Jika ini terjadi pada diri kita berarti Allah SWT itu memang aktif adanya yang dibuktikan dengan adanya sesuatu yang masuk ke dalam diri kita yang berasal dari Allah SWT. Apakah hal ini tidak kita sadari sewaktu pancaran ilahi masuk ke dalam relung hati sanubari kita! Lalu apakah kondisi ini tidak mampu menghantarkan diri kita mampu beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah SWT!

 

C.      HIDUP ADALAH PERMAINAN.

 

Hidup adalah saat dipersatukannya ruh (ruhani) dengan jasad (jasmani). Hidup adalah saat terjadinya tarik-menarik antara sifat-sifat alamiah ruh yang berkesesuaian dengan kehendak Allah dengan sifat-sifat alamiah jasad (jasmani) yang berkesesuaian dengan kehendak setan. Sehingga saat hidup atau saat ruh dan jasmani masih dipersatukan oleh Allah SWT maka pada saat itu terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani (insan) yang mencerminkan nilai-nilai keburukan yang sesuai dengan kehendak setan dengan sifat-sifat alamiah ruh (nass) yang mencerminkan nilai bilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Jika sifat-sifat alamiah jasmani mampu mengalahkan sifat-sifat alamiah ruh maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa musawwilah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai keburukan yang dikehendaki oleh setan. Sedangkan jika sifat-sifat ruh mampu mengalahkan sifat sifat jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa (jiwa lawwamah; jiwa muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT.

 

Hidup adalah pilihan untuk menempuh jalan ketaqwaan (untuk menjadi pemenang) ataukah jalan keburukan (untuk menjadi pecundang), sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ketaqwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jalan) itu dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (surat Asy Syams (91) ayat 7,8,9).Selain itu, hidup juga bisa diumpamakan seperti halnya waktu-waktu shalat. Subuh adalah kelahiran, sedangkan Isya adalah kematian dan semua orang bergerak menuju Isya dengan kecepatan yang konstan yaitu 60 (enam puluh) menit per jam. Yang menjadi persoalan adalah diposisi manakah diri kita saat ini, apakah menjelang Ashar, apakah menjelang Maghrib, ataukah menjelang Isya. Tidak ada seorang pun yang tahu, kecuali Allah SWT dan yang pasti adalah saat ini kita berada di sisa usia yang kita miliki.

 

Hidup adalah saat diri kita melaksanakan perjuangan untuk memperoleh tiket masuk ke syurga ataukah tiket masuk ke neraka serta akhirnya hidup adalah sebuah permainan, hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertaqwa, Allah akan memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu. (surat Muhammad ayat 36).Dan juga berdasarkan surat Al An’am (6) ayat 32 berikut ini: Dan kehidupan dunia tak lain adalah permainan dan senda gurau.

 

Adanya perumpamaan hidup adalah sebuah permainan maka hidup yang kita jalani haruslah memenuhi konsep dasar sebuah permainan sehingga di dalam hidup akan ada hal-hal sebagai berikut:  

 

1.        Di dalam setiap permainan harus ada awalnya dan harus pula ada akhirnya yang akan melahirkan berapa lama kita akan bermain (berapa lama kita hidup di muka bumi). Adapun jangka waktu pelaksanaan permainan dapat dibedakan menjadi 2(dua) yaitu: (1) untuk individual (pribadi-pribadi) dimulai dari saat ditiupkannya ruh ke dalam jasmani sampai dengan dipisahkannya kembali ruh dengan jasmani melalui proses sakratul maut. Sedangkan yang ke (2) dimulai dari diturunkannya Nabi Adam as, ke muka bumi sampai dengan hari kiamat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Iblis berkata. ‘Tangguhkanlah aku hingga waktu mereka dibangkitkan.’ Allah berfirman, ‘Sesungguhnya engkau termasuk makhluk yang ditangguhkan. Iblis menjawab: “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (surat Al-‘Araf (7) ayat : 14-17).

 

Hal yang harus kita pahami adalah lamanya permainan bukan kita yang menentukan dan juga dimana dan kapan permainan akan berakhir (dimana kita mati) juga tidak kita ketahui serta seperti apa kita akan mengalami kematian seperti apa juga tidak pernah kita ketahui (apakah suul khatimah ataukah husnul khatimah).

 

2.        Di dalam setiap permaian maka harus ada tempat bertanding, atau ada arenanya. Lalu dimanakah letak dari arena permainan yang kita laksanakan? Arena permainan dalam skala kecil ada di dalam diri kita sendiri, sedangkan arena permainan yang besar adalah di muka bumi ini.

 

3.        Di dalam setiap permainan harus ada kawan dan harus pula ada lawan, atau musuh sehingga dengan adanya lawan, atau musuh maka akan menghasilkan apa yang dinamakan suatu kemenangan, atau suatu kekalahan atau melahirkan pemenang, atau pecundang. Untuk mempertegas tentang siapa musuh diri kita, Allah SWT telah berfirman sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala". (surat Fathir (35) ayat 6).

 

4.        Di dalam setiap permainan harus ada aturan-aturan, atau ketentuan-ketentuan yang baku untuk membedakan peserta permainan atau juga untuk menentukan siapakah pemenang dari suatu permainan. Untuk itu Allah SWT telah menurunkan dan menetapkan Diinul Islam sebagai satu-satunya aturan main, atau satu-satunya alat bantu untuk membedakan pemenang ataupun pecundang di dalam permainan hidup di muka bumi. Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (surat Ali Imran (3) ayat 19).   

 

5.        Di dalam setiap permainan harus ada wasit atau pengawas pertandingan dalam rangka menegakkan prinsip “fairplay” dalam permainan. Untuk itu Allah SWT bertindak sebagai wasit, pengawas, pengarah, serta penilai hasil akhir dari permainan yang dilakukan oleh manusia di muka bumi sehingga prinsip “fairplay” dapat terjaga dan terpelihara.

 

Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berarti saat ini kita dapat diibaratkan sebagai sebuah mainan yang diciptakan Allah SWT yang berarti mainan tidak akan mungkin menentukan sendiri aturan main dalam suatu permainan. Akan tetapi pemain hanyalah boneka-boneka (obyek-obyek) yang harus melaksanakan dan menjalankan aturan permainan yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan kita harus menjalankan dan melaksanakan aturan permainan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari pencip-taan manusia di muka bumi. Adanya kondisi ini mengharuskan diri kita untuk mempelajari dan memahami aturan main yang diberlakukan oleh Allah SWT sehingga mampu meng-hantarkan diri kita menjadi pemenang yang berarti syaitan menjadi pecundang.

 

Dan setelah diri kita paham dan mengerti tentang konsep dasar dari suatu permainan maka kita harus bisa menjadi pemenang di dalam permainan, jika tidak bersiaplah untuk menjadi pecundang. Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Sun Tzudalam bukunya “The Art of War” yaitu Kemenangan adalah tujuan utama dalam perang”. Selain daripada itu masih ada hal lainnya yang harus kita ketahui dengan pasti di dalam permainan yang terdapat di dalam rencana besar penciptaan manusia di muka bumi ini adalah Allah SWT selaku pencipta permainan sudah menentukan hal-hal sebagai berikut:

 

1.        Jika manusia mampu menjadikan dirinya pemenang (jiwa taqwa) sedangkan setan menjadi pecundang maka manusia tersebut berhak memperoleh syurga sebagai kampung kebahagiaan.

 

2.        Jika manusia menjadi pecundang (jiwa fujur) sedangkan setan menjadi pemenang berlaku ketentuan bahwa manusia tersebut memperoleh neraka sebagai kampung kesengsaraan dan kebinasaan.

 

3.        Jika setan menjadi pemenang ataupun setan menjadi pecundang, setan tidak akan pernah memperoleh syurga. Setan beserta anak dan keturunannya tetap pulang kampung ke neraka untuk hidup bersama dengan manusia yang masuk ke neraka.

 

Adanya ketetapan Allah SWT tentang syurga dan neraka di atas, menunjukkan kepada diri kita bahwa setan yang asalnya dari api, akan dikembalikan oleh Allah SWT ke api dan ini berarti api (atau neraka) merupakan kampung halaman setan. Untuk itu jangan sampai diri kita mau dibodohi, atau mau diajak oleh setan untuk pulang kampung ke kampung halaman setan padahal kampung halaman asli dari diri kita adalah syurga.

 

Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang saat ini masih hidup berarti diri kita dan anak keturunan kita adalah pemain yang sedang bermusuhan dengan iblis/setan. Adanya kondisi ini mengharuskan diri untuk dan harus memiliki ilmu tentang diri sendiri dan juga ilmu tentang musuh terlebih dahulu jika ingin merasakan apa yang dinamakan dengan kemenangan.

 

Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh “Sun Tzu” dalam bukunya “The Arf of War” berikut ini: “Ia yang mengenal musuh dan mengenal dirinya, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri, memiliki peluang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal musuh dan dirinya sendiri, cenderung kalah dalam setiap pertempuran”. Adanya prasyarat untuk menjadi pemenang, dalam hal ini wajib memiliki ilmu tentang diri sendiri dan juga memiliki ilmu tentang musuh maka kita harus tahu, paham dan mengerti tentang keduanya saat diri kita hidup di muka bumi ini.

 

Untuk itu sudahkah kita memiliki ilmu tentang diri sendiri dan juga tentang ilmu tentang musuh sebelum diri kita berperang melawan iblis/setan sehingga kita mampu meme-nangkan permainan kehidupan di muka bumi ini? Jika kita belum mengetahui (atau belum memiliki) ilmu tentang diri sendiri dan juga ilmu tentang musuh, tentu kita tidak tahu bagaimana cara mengalahkan musuh secara bermartabat dihadapan Allah SWT. Akhirnya jika kita mampu memiliki ilmu tentang diri dan ilmu tentang musuh maka ungkapan di bawah ini dapat kita laksanakan: “Menghindari Kekuatan Musuh dan Serang Kelemahannya. Sebuah pasukan itu seperti air, yang menghindari ketinggian dan meluncur cepat ke dataran yang rendah, jadi sebuah pasukan harus menghindari kekuatan terbaik musuh dan menyerang kelemahannya. (Sun Tzu: The Art of War)

 

Lalu kepada siapakah kita harus mempelajari ilmu tentang diri kita sendiri? Untuk mempelajari tentang diri sendiri kita harus belajar kepada Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari diri kita melalui proses pembelajaran melalui guru. Selanjutnya kepada siapakah kita belajar tentang musuh abadi manusia? Untuk mempelajari tentang musuh yang tidak kelihatan (iblis/setan) maka kita harus belajar tentang musuh kita hanya kepada Allah SWT semata.

 

Hal ini dikarenakan Allah SWT adalah pencipta dari musuh yang kita hadapi sehingga hanya Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling mengerti serta yang paling ahli tentang musuh abadi diri kita serta dengan mengajak Allah SWT maka akan memudahkan diri kita mengalahkan musuh tersebut.

 

Selain daripada itu, ketahuilah wahai para pemain yang berkehendak untuk meme-nangkan pertandingan melawan iblis/setan bahwa:

 

1.        Permusuhan antara diri kita dengan iblis/setan sudah menjadi ketetapan Allah SWT yang harus kita laksanakan serta kita yang sudah ditetapkan untuk bermusuhan tidak akan dapat membatalkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT karena melalui musuh inilah akan diketahui siapakah manusia yang berhak menempati syurga dan siapakah manusia yang berhak menempati neraka secara adil dan bermartabat.

 

2.        Di dalam ilmu permusuhan, musuh akan terus mempergunakan kelemahan dan juga kelengahan musuhnya untuk mengalahkan musuhnya dari waktu ke waktu, kapanpun dan dalam kondisi apapun.

 

3.        Seorang musuh di dalam konteks permusuhan selamanya akan tetap menjadikan musuh bebuyutannya sebagai pecundang, karena tidak ada kamusnya dalam konsep dasar  permusuhan dan peperangan menjadikan musuh menjadi seorang pemenang.

 

Sebagai pemain, kita tidak bisa hanya bermodalkan nekat untuk mengalahkan musuh yang tidak kelihatan namun dapat dirasakan rasa permusuhan itu ada di dalam dirintuk itu ini juga sedang  terasa akan rasa pedang bermusuhan dengan Iblis/Syaitan, kita tidak bisa hanya bermodalkan nekat unt kita.  Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini:“Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (surat Al-A'raf (7) ayat  27)

 

Kita juga tidak bisa mengalahkan setan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia seorang diri dengan cara-cara dan metode diri kita sendiri. Iblis/setan selaku musuh harus kita kalahkan dengan cara-cara  yang bermartabat, sehingga harus dengan cara-cara yang sesuai dengan penciptanya, dalam hal ini Allah SWT. Hal ini dikarenakan keberadaan iblis/setan di muka bumi ini bukan kita yang ciptakan dan apa yang dilakukan oleh iblis/setan sudah dikehendaki oleh Allah sSWT melalui pemberian izin khusus untuk mengganggu dan menggoda seluruh umat manusia. Untuk itu hanya dengan cara-cara yang dibenarkan oleh pencipta iblis/setanlah (dalam hal ini Allah SWT) barulah kita bisa mengalahkan iblis/setan dengan cara yang terhormat sesuai dengan kehormatan yang kita miliki. Dan semoga hal ini menjadi kenyataan pada diri kita, diri keluarga dan anak keturunan kita.

 

Sebagai pemain di dalam hidup ini, ada pertanyaan yang mendasar bagi diri kita, yaitu mau menjadi pecundangkah atau mau menjadi pemenangkah diri kita? Rasanya tidak akan ada manusia yang ingin menjadi pecundang di dalam konsep hidup adalah permainan sebab hadiah dan penghargaan yang akan diterimanya adalah neraka jahannam. Dan semua manusia, termasuk diri kita, pasti ingin menjadi pemenang sebab akan memperoleh apa yang dinamakan dengan syurga sehingga kita dapat bertemu langsung dengan Allah SWT kelak.

 

Ingat, untuk menjadi pemenang bukanlah perkara mudah seperti membalik telapak tangan, sebab musuh (lawan) yang akan kita hadapi adalah: (1) musuh atau lawan yang sangat profesional kerjanya tanpa mengenal lelah; (2) musuh (lawan) yang tidak nampak oleh mata namun pengaruhnya sangat hebat; (3) musuh atau lawan yang tidak pernah kenal lelah dalam rangka mengalahkan lawannya; (4) musuh atau lawan yang dapat bergerak mengikuti diri kita dari depan, dari belakang, dari kiri dan dari kanan serta melalui aliran darah; (5) musuh atau lawan yang sangat licin, licik, yang akan mempergunakan segala cara tanpa ada batasan, apakah halal ataupun haram yang penting lawannya kalah menjadi pecundang.

 

Lalu mampukah diri kita mengalahkan musuh (lawan) yang mempunyai kualifikasi seperti di atas, atau mampukah kita mengalahkan setan seorang diri yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah manusia karena adanya tambahan manusia yang telah berubah wujud menjadi setan? Rasanya jika kita hanya seorang diri tanpa bantuan Allah SWT, atau jika kita hanya mengandalkan kemampuan yang ada pada diri sendiri untuk menghadapi setan, akan sangat sulit mengalahkan setan. Apalagi di saat kita berperang melawan setan di dalam diri kita sendiri pun masih ada musuh yang tersembunyi, apakah itu?

 

Musuh dalam selimut yang terdapat di dalam diri setiap manusia adalah ahwa (hawa nafsu). Untuk itu di saat kita berperang melawan setan, kita tidak boleh menganggap enteng dan remeh tentang ahwa  (hawa nafsu) yang ada di dalam diri kita, atau kita tidak boleh mengatakan ahwa (hawa nafsu) adalah lawan (musuh) yang mudah dikalahkan. Hal ini dikarenakan ahwa (hawa nafsu) merupakan kendaraan bagi setan, atau alat bantu bagi setan untuk mengalahkan manusia.

 

Dan apabila kita ingin memenangkan pertandingan (pertarungan) melawan setan dan juga menang melawan ahwa (hawa nafsu) atau apabila kita ingin selalu  menjadikan diri kita sendiri sebagai makhluk yang terhormat di antara makhluk ciptaan Allah SWT lainnya maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk menerima dan melaksanakan dengan sepenuh hati Diinul Islam sebagai satu-satunya konsep ilahiah bagi diri kita, tanpa dikurangi, tanpa ditambah, apalagi disesuaikan dengan kondisi apapun juga, atau kita harus bersama dengan Allah SWT maka barulah kita bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan setan secara terhormat.

 

Selain daripada itu,  masih ada hal lainnya yang harus pula kita jadikan pedoman tentang Diinul Islam sebagai sebuah konsep yang berasal dari Allah SWT, yaitu kita harus bisa menempatkan dan meletakkan Diinul Islam sesuai dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT selaku pemilik konsep untuk kepentingan manusia saat hidup di muka bumi.

 

Untuk itu jangan pernah salahkan Allah SWT jika kita hanya memperoleh, jika kita hanya bisa merasakan dan mendapatkan atas apa-apa yang telah kita persepsikan dan sangkakan kepada Allah SWT melalui Diinul Islam, sebagaimana dikemukakan dalam dua buah hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu Hurairah ra: 272: 67).”

 

Dan juga berdasarkan hadits berikut ini: Watsilah bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku.  (Hadits Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71).

 

Berdasarkan ketentuan dua hadits di atas, kiranya dapat kita jadikan pedoman bagi diri kita untuk tidak memandang sempit Diinul Islam hanya sebatas ritual belaka seperti kita menganggap Diinul Islam hanya sebatas pahala dan dosa, atau sebatas syurga dan neraka, atau sebatas halal dan haram semata. Akan tetapi kita harus keluar dari pengertian itu semua, sebab jika kita terus berprinsip seperti itu maka yang akan kita peroleh dari Diinul Islampun hanya sebatas itu pula. Sedangkan telah kita ketahui bersama  bahwa Allah SWT lebih dari sekadar itu semua sebab Allah SWT adalah segala-galanya.

 

Ingat, Allah SWT memberikan kebebasan kepada diri kita untuk berprasangka kepada-Nya, apakah itu prasangka baik, ataupun prasangka buruk, atau apakah itu prasangka sempit ataupun prasangka yang mendalam. Adanya prasangka dan juga penilaian yang kita berikan kepada Diinul Islam, maka dari sinilah Allah SWT memulai penilaian kepada diri kita. Semakin baik dan semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Allah SWT, atau semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Diinul Islam yang diturunkan oleh Allah SWT, maka akan semakin tinggi dan semakin baik pula yang akan diberikan Allah SWT kepada diri kita.

 

Dan untuk menambah pengertian dan pemahaman yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan sebuah hadits sebagaimana berikut ini: Anas ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak Adam! Jika ingat kepada-Ku dalam dirimu, Akupun ingat kepadamu dalam diri-Ku dan bila engkau ingat kepada-Ku di dalam himpunan orang, akan Aku ingat kepadamu dalam himpunan yang lebih baik dari himpunanmu. Jika engkau mendekati-Ku sejengkal, Aku mendekatimu sedepa, bila engkau mendekati-Ku sedepa Aku dekati engkau sehasta. Dan bila engkau datang kepada-Ku berjalan , Aku akan datang kepadamu berlari.(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dan Abd. Bin Hamid; 272:185).”

 

Hadits ini memperlihatkan kepada diri kita bagaimana Allah SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu ingat kepada-Nya. Dimana Allah SWT akan bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh hamba-Nya jika hamba-Nya melakukan penilaian, ataupun berprasangka, atau mempunyai perbuatan yang  bersifat positif point kepada Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan sesuatu yang melebihi jika hamba-Nya berbuat negatif, atau berse-berangan dengan Allah SWT. Allah SWT hanya membalas sebatas penilaian, atau sebatas prasangka yang dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut.

 

Disinilah Allah SWT menunjukkan sikap demokratis-Nya serta kasih sayang-Nya kepada diri kita. Sekarang jika yang terjadi Allah SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita, atau bahkan Allah SWT tidak bersikap sama sekali kepada kita, atau bahkan Allah SWT justru mengacuhkan dan mendiamkan diri kita, apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita mengacu kepada ketentuan hadits di atas, maka dapat dipastikan karena sikap kita sendiri kepada Allah SWT. Allah SWT berbuat dan bersikap sesuai dengan apa yang kita perbuat dan yang kita sikapi dan ini pulalah yang disebut dengan konsep keadilan.

 

Untuk itu jika kita ingin memperoleh sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemilik, pencipta dari langit dan bumi termasuk di dalamnya Diinul Islam. Dan jika saat ini Allah SWT telah menurunkan Diinul Islam kepada diri kita maka terimalah, letakkan, tempatkan Diinul Islam itu sesuai dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta laksanakan Diinul Islam secara kaffah (menyeluruh) dan jangan pernah memberikan penilaian, persepsi, anggapan, seperti katak dalam tempurung untuk Diinul Islam sebab baik dan buruknya penilaian Allah SWT kepada diri kita dimulai dari apa yang kita lakukan kepada apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar