B. SIFAT DAN PERBUATAN SWT ITU AKTIF.
Hal
berikutnya yang harus kita ketahui dan pahami tentang aturan dasar yang berlaku
di muka bumi ini adalah
dzat, sifat dan perbuatan Allah SWT kesemuanya bersifat aktif. Allah SWT
bukanlah Tuhan yang bersifat pasif (seperti lupa dan mengantuk) di dalam
mengatur segala urusan makhluk-Nya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
firman-Nya berikut ini: “Allah, tidak ada tuhan selain Dia, Yang Maha
Hidup, yang terus menerus mengurus (makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak
tidur. Milik-Nya yang ada di langit dan yang ada di bumi. Tidak ada yang dapat
memberi syafaat di sisi-Nya tanpa izin-Nya. Dia mengetahui apa yang dihadapan
mereka dan apa di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui sesuatu apa pun
tentang ilmu-Nya melainkan apa yang Dia kehendaki. Kursi-Nya meliputi langit
dan bumi. Dan Dia tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Dia Mahatinggi,
Mahabesar. (surat Al Baqarah (2) ayat 255).”
Dan untuk dapat menunjukkan bahwa
Allah SWT itu ada dan Allah SWT aktif sebagai Tuhan bagi seluruh alam, kita
juga bisa memperhatikan firman-Nya sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya
Tuhan kamu Dialah Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian
Dia bersemayam di atas Arsy (singgasana) untuk mengatur segala urusan. Tidak
ada yang dapat memberi syafaat kecuali setelah ada izin-Nya. Itulah Allah,
Tuhanmu, maka sembahlah Dia. Apakah kamu tidak mengambil pelajaran. (surat
Yunus (10) ayat 3).”
Kedua ayat di atas ini telah
menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT tetap dan terus aktif untuk
mengatur segala urusan yang terdapat di alam semesta ini, yang dibuktikan
dengan hadir dan tetap berlakunya hukum (aturan) yang mengatur tentang berbagai
hal yang ada di dunia ini seperti arah gerak makhluk-Nya.
Berbagai makhluk yang ada di alam
semesta memiliki fungsi dan peranannya masing-masing untuk kestabilan alam.
Misalnya serangga, burung, binatang, atau ikan memiliki peran dan fungsinya
masing-masing. Bila salah satu makhluk hidup punah, maka akan berpengaruh
terhadap kestabilan mata rantai kehidupan makhluk yang lainnya.
Sekarang kami ingin mengajak jamaah
sekalian untuk merenungi hal-hal berikut ini yang menunjukkan bahwa Allah SWT
itu ada dan aktif adanya sampai dengan kapanpun juga, yaitu:
1.
Tidak
ada satupun makhluk hidup ada dengan sendirinya sehingga setiap makhluk hidup
yang ada, tidak ada sebelumnya. Oleh sebab itu, setiap kehadiran (keberadaan)
makhluk hidup menunjukkan akan adanya pencipta. Adanya Allah SWT dibuktikan
dengan adanya keindahan ciptaann-Nya serta keseimbangan komposisi-nya. Misalnya
organ tubuh mulai dari kepala, tulang, kulit, dan daging. Bayi yang baru
dilahirkan mempunyai tulang kepala yang lunak, tapi akan keras seiring dengan
bertambahnya usia.
2.
Alam
semesta ini bukti adanya Allah SWT yang juga ditemukan dalam sesuatu yang baru
ada di dunia. Di alam semesta ini banyak sekali hal-hal yang sangat kompleks
yang sulit untuk dipahami oleh manusia. Untuk dapat memahaminya, seorang
manusia membutuhkan usaha yang keras. Mulai dari mengamati adanya atom air,
perkem-bangan embrio, pemenuhan makanan manusia lewat pusar dan payudara,
struktur kerangka, kerajaan semut, sarang lebah, dan lain sebagainya.
3.
Adanya
pancaindra manusia, mulai dari indra pendengaran, penglihatan, perasa,
penciuman, dan peraba yang sejatinya tidak ada bila tidak dikaitkan dengan
sesuatu yang benar-benar ada wujudnya. Kemudian penciuman, rasa, suara,
pemandangan tidak akan ada bila tanpa penciptaan indra, apalagi merasakan
enaknya makanan.
4.
Adanya
pergantian siang dan malam serta pergantian musim. Siang untuk beraktivitas dan
malam untuk beristirahat. Siang dan musim panas merupakan suatu kondisi untuk
memperoleh kehangatan supaya tidak membeku, sementara malam dan musim dingin
supaya makhluk tidak terbakar. Musim gugur menyuburkan tanaman dan hutan
membuat tanah, buah, dan rumput tumbuh subur.
5.
Adanya
hujan juga mejadi salah satu bukti aktifnya Allah SWT. Sebab, dengan menurunkan
hujan, bumi akan menjadi hidup. Angin yang menggiring awan dan membawa hujan,
sehingga setiap sisi bumi mendapatkan air untuk berlangsungnya kehidupan dan
terjadinya sirkulasi air dari satu tempat yang lainnya serta dalam kerang-ka
menambah jumlah air bagi kepentingan makhluk-Nya dan juga bagi kepentingan
manusia melaksanakan ibadah.
6.
Bukti
keberadaan Allah SWT lainnya adalah mampu memelihara kehidupan dengan
menyediakan makanan dan minuman yang dibutuhkan makhluk-Nya, adanya mata
pencaharian, serta mengatur urusan manusia di darat dan di laut.
Itulah 6 (enam) bukti nyata bahwa Allah SWT ada dan aktif di alam
semesta ini dan yang kesemuanya mampu kita rasakan secara langsung lalu apakah
hal ini tidak menjadikan diri kita bertauhid kepada-Nya!
Agar diri kita mampu membuktikan sendiri-sendiri secara langsung bahwa
dzat, sifat dan perbuatan Allah SWT itu aktif bersama diri kita. Maka kita bisa
merasakannya melalui apa yang terjadi di muka bumi ini, yaitu melalui adanya ujian dan cobaan; melalui adanya
musibah seperti banjir dan kebakaran; adanya bencana; adanya kesusahan serta
adanya wabah penyakit yang sedang melanda seperti pandemi covid-19. Adanya
kondisi yang tidak menyenangkan lagi mengkhawatirkan yang dihadapi oleh
manusia, maka dari sinilah kita akan bisa merasakan bahwa Allah SWT itu ada dan
aktif dengan segala kebesaran dan kemahaan yang dimiliki-Nya. Lalu dimanakah
letak aktifnya kebesaran dan kemahaan Allah SWT itu?
Allah SWT akan terasa
ada dan aktif kepada diri kita sewaktu diri kita melakukan suatu proses meminta
pertolongan dan meminta bantuan kepada Allah SWT atas apa-apa yang terjadi pada
diri kita. Kondisi ini dipertegas oleh Allah SWT sendiri melalui surat Al Baqarah
(2) ayat 168 berikut ini “dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu
tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan
permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah
mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”
Ayat ini
menegaskan bahwa Allah SWT sendirilah yang memperkenankan diri kita untuk
berdoa kepada-Nya untuk meminta pertolongan dan bantuan dan yang menunjuk-kan
bahwa Allah SWT siap memberikan pertolongan dan bantuan hanya kepada orang yang
memohon sesuatu kepada-Nya serta yang mampu memenuhi syarat dan ketentuan yang
telah ditetapkan-Nya.
Lalu apa yang terjadi pada diri kita setelah
diri kita mampu berdoa kepada Allah SWT? Adanya doa yang kita panjatkan dan
mohonkan kepada Allah SWT maka akan terasa ada sesuatu yang lepas dari dalam
dada kita, dalam hal ini kesempitan. Kita merasa nyaman setelah berdoa dan
kemudian merasa siap dan tenang dalam menghadapi apa-apa yang terjadi. Jika ini
terjadi pada diri kita berarti Allah SWT itu memang aktif adanya yang
dibuktikan dengan adanya sesuatu yang masuk ke dalam diri kita yang berasal
dari Allah SWT. Apakah hal ini tidak kita sadari sewaktu pancaran ilahi masuk
ke dalam relung hati sanubari kita! Lalu apakah kondisi ini tidak mampu
menghantarkan diri kita mampu beriman dan bertaqwa hanya kepada Allah SWT!
C. HIDUP ADALAH PERMAINAN.
Hidup adalah
saat dipersatukannya ruh (ruhani) dengan jasad (jasmani). Hidup adalah saat
terjadinya tarik-menarik antara sifat-sifat alamiah ruh yang berkesesuaian
dengan kehendak Allah dengan sifat-sifat alamiah jasad (jasmani) yang
berkesesuaian dengan kehendak setan. Sehingga
saat hidup atau saat ruh dan jasmani masih dipersatukan oleh Allah SWT maka pada
saat itu terjadilah tarik menarik antara sifat sifat alamiah jasmani (insan) yang
mencerminkan nilai-nilai keburukan yang sesuai dengan kehendak setan dengan
sifat-sifat alamiah ruh (nass) yang mencerminkan nilai bilai kebaikan yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Jika
sifat-sifat alamiah jasmani mampu mengalahkan sifat-sifat alamiah ruh maka jiwa
kita dikelompokkan menjadi jiwa fujur (jiwa hewani; jiwa amarah; jiwa
musawwilah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri kita adalah nilai-nilai
keburukan yang dikehendaki oleh setan. Sedangkan jika sifat-sifat ruh mampu
mengalahkan sifat sifat jasmani maka jiwa kita dikelompokkan menjadi jiwa taqwa
(jiwa lawwamah; jiwa muthamainah) sehingga yang tampil sebagai cerminan diri
kita adalah nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Hidup adalah
pilihan untuk menempuh jalan ketaqwaan (untuk
menjadi pemenang) ataukah jalan keburukan (untuk menjadi pecundang), sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Maka Dia mengilhamkan kepadanya (jalan)
kejahatan dan ketaqwaannya, sungguh beruntung orang yang menyucikannya (jalan)
itu dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (surat Asy Syams (91) ayat
7,8,9).” Selain
itu, hidup juga bisa diumpamakan seperti halnya waktu-waktu shalat. Subuh
adalah kelahiran, sedangkan Isya adalah kematian dan semua orang bergerak
menuju Isya dengan kecepatan yang konstan yaitu 60 (enam puluh) menit per jam.
Yang menjadi persoalan adalah diposisi manakah diri kita saat ini, apakah
menjelang Ashar, apakah menjelang Maghrib, ataukah menjelang Isya. Tidak ada
seorang pun yang tahu, kecuali Allah SWT dan yang pasti adalah saat ini kita
berada di sisa usia yang kita miliki.
Hidup adalah
saat diri kita melaksanakan perjuangan untuk memperoleh tiket masuk ke syurga
ataukah tiket masuk ke neraka serta akhirnya hidup adalah sebuah permainan, hal
ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah
permainan dan senda gurau. Jika kamu beriman serta bertaqwa, Allah akan
memberikan pahala kepadamu dan Dia tidak akan meminta hartamu. (surat Muhammad
ayat 36).” Dan juga berdasarkan
surat Al An’am (6) ayat 32 berikut ini: “Dan kehidupan dunia tak lain adalah
permainan dan senda gurau.”
Adanya perumpamaan hidup adalah sebuah permainan maka hidup yang kita
jalani haruslah memenuhi konsep dasar sebuah permainan sehingga di dalam hidup
akan ada hal-hal sebagai berikut:
1.
Di dalam setiap
permainan harus ada awalnya dan harus pula ada akhirnya yang akan melahirkan
berapa lama kita akan bermain (berapa lama kita hidup di muka bumi). Adapun
jangka waktu pelaksanaan permainan dapat dibedakan menjadi 2(dua) yaitu: (1) untuk individual (pribadi-pribadi) dimulai
dari saat ditiupkannya ruh ke dalam jasmani sampai dengan dipisahkannya kembali
ruh dengan jasmani melalui proses sakratul maut. Sedangkan yang ke (2) dimulai dari diturunkannya Nabi Adam as, ke
muka bumi sampai dengan hari kiamat kelak. Hal ini sebagaimana firman-Nya
berikut ini: “Iblis
berkata. ‘Tangguhkanlah aku hingga waktu mereka dibangkitkan.’ Allah berfirman,
‘Sesungguhnya engkau termasuk makhluk yang ditangguhkan. Iblis menjawab:
“Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka
dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan,
dari belakang, dari kanan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati
kebanyakan mereka bersyukur.” (surat Al-‘Araf (7) ayat : 14-17).
Hal yang harus kita pahami adalah lamanya permainan bukan kita yang
menentukan dan juga dimana dan kapan permainan akan berakhir (dimana kita mati)
juga tidak kita ketahui serta seperti apa kita akan mengalami kematian seperti
apa juga tidak pernah kita ketahui (apakah suul khatimah ataukah husnul
khatimah).
2.
Di dalam setiap
permaian maka harus ada tempat bertanding, atau ada arenanya. Lalu
dimanakah letak dari arena permainan yang kita laksanakan? Arena permainan
dalam skala kecil ada di dalam diri kita sendiri, sedangkan arena permainan
yang besar adalah di muka bumi ini.
3.
Di dalam setiap
permainan harus ada kawan dan harus pula ada lawan, atau musuh sehingga dengan
adanya lawan, atau musuh maka akan menghasilkan apa yang dinamakan suatu
kemenangan, atau suatu kekalahan atau melahirkan pemenang, atau pecundang. Untuk
mempertegas tentang siapa musuh diri kita, Allah SWT telah berfirman
sebagaimana berikut ini: “Sesungguhnya
setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena
sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi
penghuni neraka yang menyala-nyala". (surat Fathir (35) ayat 6).
4.
Di dalam setiap
permainan harus ada aturan-aturan, atau ketentuan-ketentuan yang baku untuk
membedakan peserta permainan atau juga untuk menentukan siapakah pemenang dari
suatu permainan. Untuk itu Allah SWT telah menurunkan dan menetapkan Diinul
Islam sebagai satu-satunya aturan main, atau satu-satunya alat bantu untuk
membedakan pemenang ataupun pecundang di dalam permainan hidup di muka bumi.
Hal ini sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.” (surat Ali Imran (3)
ayat 19).
5.
Di dalam setiap
permainan harus ada wasit atau pengawas pertandingan dalam rangka menegakkan
prinsip “fairplay” dalam permainan. Untuk
itu Allah SWT bertindak sebagai wasit, pengawas, pengarah, serta penilai hasil
akhir dari permainan yang dilakukan oleh manusia di muka bumi sehingga prinsip
“fairplay” dapat terjaga dan terpelihara.
Sebagai makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berarti saat ini kita
dapat diibaratkan sebagai sebuah mainan yang diciptakan Allah SWT yang berarti mainan
tidak akan mungkin menentukan sendiri aturan main dalam suatu permainan. Akan
tetapi pemain hanyalah boneka-boneka (obyek-obyek) yang harus melaksanakan dan
menjalankan aturan permainan yang telah ditentukan oleh Allah SWT dan kita
harus menjalankan dan melaksanakan aturan permainan yang telah ditetapkan oleh
Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari pencip-taan manusia di muka bumi.
Adanya kondisi ini mengharuskan diri kita untuk mempelajari dan memahami aturan
main yang diberlakukan oleh Allah SWT sehingga mampu meng-hantarkan diri kita
menjadi pemenang yang berarti syaitan menjadi pecundang.
Dan setelah diri
kita paham dan mengerti tentang konsep dasar dari suatu permainan maka kita
harus bisa menjadi pemenang di dalam permainan, jika tidak bersiaplah untuk menjadi
pecundang. Kondisi ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh “Sun Tzu” dalam bukunya “The Art of War” yaitu “Kemenangan adalah tujuan utama dalam perang”. Selain
daripada itu masih ada hal lainnya yang harus kita ketahui dengan pasti di
dalam permainan yang terdapat di dalam rencana besar penciptaan manusia di muka
bumi ini adalah Allah SWT selaku pencipta permainan sudah menentukan hal-hal
sebagai berikut:
1.
Jika manusia mampu menjadikan dirinya pemenang (jiwa
taqwa) sedangkan setan menjadi pecundang maka manusia tersebut berhak
memperoleh syurga sebagai kampung kebahagiaan.
2.
Jika manusia menjadi pecundang (jiwa fujur) sedangkan
setan menjadi pemenang berlaku ketentuan bahwa manusia tersebut memperoleh
neraka sebagai kampung kesengsaraan dan kebinasaan.
3.
Jika setan menjadi pemenang ataupun setan menjadi
pecundang, setan tidak akan pernah memperoleh syurga. Setan beserta anak dan
keturunannya tetap pulang kampung ke neraka untuk hidup bersama dengan manusia
yang masuk ke neraka.
Adanya
ketetapan Allah SWT tentang syurga dan neraka di atas, menunjukkan kepada diri
kita bahwa setan yang asalnya dari api, akan dikembalikan oleh Allah SWT ke api
dan ini berarti api (atau neraka) merupakan kampung halaman setan. Untuk itu
jangan sampai diri kita mau dibodohi, atau mau diajak oleh setan untuk pulang
kampung ke kampung halaman setan padahal kampung halaman asli dari diri kita
adalah syurga.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di muka bumi yang saat ini masih hidup
berarti diri kita dan anak keturunan kita adalah pemain yang sedang bermusuhan
dengan iblis/setan. Adanya kondisi ini mengharuskan diri untuk dan harus
memiliki ilmu tentang diri sendiri dan juga ilmu tentang musuh terlebih dahulu
jika ingin merasakan apa yang dinamakan dengan kemenangan.
Hal ini
sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh “Sun Tzu” dalam bukunya “The
Arf of War” berikut ini: “Ia
yang mengenal musuh dan mengenal dirinya, tidak akan dikalahkan dalam seratus
pertempuran. Ia yang tidak mengenal musuh tetapi mengenal dirinya sendiri,
memiliki peluang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal musuh
dan dirinya sendiri, cenderung kalah dalam setiap pertempuran”.
Adanya prasyarat
untuk menjadi pemenang, dalam hal ini wajib memiliki ilmu tentang diri sendiri
dan juga memiliki ilmu tentang musuh maka kita harus tahu, paham dan mengerti
tentang keduanya saat diri kita hidup di muka bumi ini.
Untuk itu
sudahkah kita memiliki ilmu tentang diri sendiri dan juga tentang ilmu tentang musuh
sebelum diri kita berperang melawan iblis/setan sehingga kita mampu meme-nangkan
permainan kehidupan di muka bumi ini? Jika kita belum mengetahui (atau belum
memiliki) ilmu tentang diri sendiri dan juga ilmu tentang musuh, tentu kita
tidak tahu bagaimana cara mengalahkan musuh secara bermartabat dihadapan Allah
SWT. Akhirnya jika kita mampu memiliki ilmu tentang diri dan ilmu tentang musuh
maka ungkapan di bawah ini dapat kita laksanakan: “Menghindari
Kekuatan Musuh dan Serang Kelemahannya. Sebuah pasukan itu seperti air, yang
menghindari ketinggian dan meluncur cepat ke dataran yang rendah, jadi sebuah
pasukan harus menghindari kekuatan terbaik musuh dan menyerang kelemahannya. (Sun
Tzu: The Art of War)
Lalu kepada
siapakah kita harus mempelajari ilmu tentang diri kita sendiri? Untuk
mempelajari tentang diri sendiri kita harus belajar kepada Allah SWT selaku
pencipta dan pemilik dari diri kita melalui proses pembelajaran melalui guru.
Selanjutnya kepada siapakah kita belajar tentang musuh abadi manusia? Untuk
mempelajari tentang musuh yang tidak kelihatan (iblis/setan) maka kita harus
belajar tentang musuh kita hanya kepada Allah SWT semata.
Hal ini
dikarenakan Allah SWT adalah pencipta dari musuh yang kita hadapi sehingga hanya
Allah SWT sajalah yang paling tahu dan yang paling mengerti serta yang paling
ahli tentang musuh abadi diri kita serta dengan mengajak Allah SWT maka akan
memudahkan diri kita mengalahkan musuh tersebut.
Selain
daripada itu, ketahuilah wahai para pemain yang berkehendak untuk meme-nangkan
pertandingan melawan iblis/setan bahwa:
1.
Permusuhan antara diri kita dengan iblis/setan sudah
menjadi ketetapan Allah SWT yang harus kita laksanakan serta kita yang sudah
ditetapkan untuk bermusuhan tidak akan dapat membatalkan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Allah SWT karena melalui musuh inilah akan diketahui siapakah
manusia yang berhak menempati syurga dan siapakah manusia yang berhak menempati
neraka secara adil dan bermartabat.
2.
Di dalam ilmu permusuhan, musuh akan terus
mempergunakan kelemahan dan juga kelengahan musuhnya untuk mengalahkan musuhnya
dari waktu ke waktu, kapanpun dan dalam kondisi apapun.
3.
Seorang musuh di dalam konteks permusuhan selamanya
akan tetap menjadikan musuh bebuyutannya sebagai pecundang, karena tidak ada
kamusnya dalam konsep dasar permusuhan dan
peperangan menjadikan musuh menjadi seorang pemenang.
Sebagai
pemain, kita tidak bisa hanya bermodalkan nekat untuk mengalahkan musuh yang
tidak kelihatan namun dapat dirasakan rasa permusuhan itu ada di dalam diri kita. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
firman-Nya berikut ini:“Wahai
anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia
(setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian
keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya
dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka.
Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang
yang tidak beriman." (surat Al-A'raf (7) ayat 27)
Kita juga tidak
bisa mengalahkan setan yang jumlahnya sudah melebihi jumlah manusia seorang
diri dengan cara-cara dan metode diri kita sendiri. Iblis/setan selaku musuh harus kita kalahkan dengan cara-cara yang bermartabat, sehingga harus dengan
cara-cara yang sesuai dengan penciptanya, dalam hal ini Allah SWT. Hal
ini dikarenakan keberadaan iblis/setan di muka bumi ini bukan kita yang
ciptakan dan apa yang dilakukan oleh iblis/setan sudah dikehendaki oleh Allah sSWT
melalui pemberian izin khusus untuk mengganggu dan menggoda seluruh umat
manusia. Untuk itu hanya dengan
cara-cara yang dibenarkan oleh pencipta iblis/setanlah (dalam hal ini Allah
SWT) barulah kita bisa mengalahkan iblis/setan dengan cara yang terhormat
sesuai dengan kehormatan yang kita miliki. Dan semoga hal ini menjadi
kenyataan pada diri kita, diri keluarga dan anak keturunan kita.
Sebagai
pemain di dalam hidup ini, ada pertanyaan yang mendasar bagi diri kita, yaitu
mau menjadi pecundangkah atau mau menjadi pemenangkah diri kita? Rasanya tidak akan ada manusia yang ingin menjadi pecundang di dalam konsep
hidup adalah permainan sebab hadiah dan penghargaan yang akan diterimanya
adalah neraka jahannam. Dan semua manusia, termasuk diri kita, pasti ingin
menjadi pemenang sebab akan memperoleh apa yang dinamakan dengan syurga
sehingga kita dapat bertemu langsung dengan Allah SWT kelak.
Ingat, untuk menjadi pemenang bukanlah perkara mudah seperti membalik
telapak tangan, sebab musuh (lawan) yang akan kita hadapi adalah: (1) musuh
atau lawan yang sangat profesional kerjanya tanpa mengenal lelah; (2)
musuh (lawan) yang tidak nampak oleh mata namun pengaruhnya sangat hebat;
(3) musuh atau lawan yang tidak pernah kenal lelah dalam rangka mengalahkan
lawannya; (4) musuh atau lawan yang dapat bergerak mengikuti diri kita
dari depan, dari belakang, dari kiri dan dari kanan serta melalui aliran darah;
(5) musuh atau lawan yang sangat licin, licik, yang akan mempergunakan
segala cara tanpa ada batasan, apakah halal ataupun haram yang penting lawannya
kalah menjadi pecundang.
Lalu mampukah diri kita mengalahkan musuh (lawan) yang mempunyai
kualifikasi seperti di atas, atau mampukah kita mengalahkan setan seorang diri
yang jumlahnya lebih banyak dari jumlah manusia karena adanya tambahan manusia
yang telah berubah wujud menjadi setan? Rasanya jika kita hanya seorang diri
tanpa bantuan Allah SWT, atau jika kita hanya mengandalkan kemampuan yang ada
pada diri sendiri untuk menghadapi setan, akan sangat sulit mengalahkan setan.
Apalagi di saat kita berperang melawan setan di dalam diri kita sendiri pun
masih ada musuh yang tersembunyi, apakah itu?
Musuh dalam selimut yang terdapat di dalam diri setiap manusia adalah
ahwa (hawa nafsu). Untuk itu di saat kita berperang melawan setan, kita tidak
boleh menganggap enteng dan remeh tentang ahwa
(hawa nafsu) yang ada di dalam diri kita, atau kita tidak boleh
mengatakan ahwa (hawa nafsu) adalah lawan (musuh) yang mudah dikalahkan. Hal
ini dikarenakan ahwa (hawa nafsu) merupakan kendaraan bagi setan, atau alat
bantu bagi setan untuk mengalahkan manusia.
Dan apabila kita ingin memenangkan pertandingan (pertarungan) melawan
setan dan juga menang melawan ahwa (hawa nafsu) atau apabila kita ingin
selalu menjadikan diri kita sendiri sebagai
makhluk yang terhormat di antara makhluk
ciptaan Allah SWT lainnya maka tidak ada jalan lain bagi diri kita untuk
menerima dan melaksanakan dengan sepenuh hati Diinul Islam sebagai satu-satunya
konsep ilahiah bagi diri kita, tanpa dikurangi, tanpa ditambah, apalagi
disesuaikan dengan kondisi apapun juga, atau kita harus bersama dengan Allah
SWT maka barulah kita bisa mengalahkan ahwa (hawa nafsu) dan setan secara
terhormat.
Selain daripada itu, masih ada hal lainnya yang harus pula kita jadikan pedoman tentang
Diinul Islam sebagai sebuah konsep yang berasal dari Allah SWT, yaitu kita
harus bisa menempatkan dan meletakkan Diinul Islam sesuai dengan kebesaran dan
kemahaan Allah SWT selaku pemilik konsep untuk kepentingan manusia saat hidup di
muka bumi.
Untuk itu jangan pernah salahkan Allah
SWT jika kita hanya memperoleh, jika kita hanya bisa merasakan dan mendapatkan
atas apa-apa yang telah kita persepsikan dan sangkakan kepada Allah SWT melalui
Diinul Islam, sebagaimana dikemukakan dalam dua buah hadits berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta'ala berfirman: “Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka
terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits
Qudsi Riwayat Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem
dari Abu Hurairah ra: 272: 67).”
Dan juga
berdasarkan hadits berikut ini: Watsilah
bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: “Aku
selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka
kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat
(jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits
Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71).
Berdasarkan ketentuan dua hadits di
atas, kiranya dapat kita jadikan pedoman bagi diri kita untuk tidak memandang
sempit Diinul Islam hanya sebatas ritual belaka seperti kita menganggap Diinul
Islam hanya sebatas pahala dan dosa, atau sebatas syurga dan neraka, atau
sebatas halal dan haram semata. Akan tetapi kita harus keluar dari pengertian
itu semua, sebab jika kita terus berprinsip seperti itu maka yang akan kita
peroleh dari Diinul Islampun hanya sebatas itu pula. Sedangkan telah kita
ketahui bersama bahwa Allah SWT lebih
dari sekadar itu semua sebab Allah SWT adalah segala-galanya.
Ingat, Allah SWT memberikan kebebasan
kepada diri kita untuk berprasangka kepada-Nya, apakah itu prasangka baik,
ataupun prasangka buruk, atau apakah itu prasangka sempit ataupun prasangka
yang mendalam. Adanya prasangka dan juga penilaian yang kita berikan kepada
Diinul Islam, maka dari sinilah Allah SWT memulai penilaian kepada diri kita.
Semakin baik dan semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Allah SWT, atau
semakin tinggi diri kita berprasangka kepada Diinul Islam yang diturunkan oleh
Allah SWT, maka akan semakin tinggi dan semakin baik pula yang akan diberikan
Allah SWT kepada diri kita.
Dan untuk menambah pengertian dan
pemahaman yang telah kami kemukakan di atas, berikut ini akan kami kemukakan
sebuah hadits sebagaimana berikut ini: “Anas ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Wahai Anak
Adam! Jika ingat kepada-Ku dalam dirimu, Akupun ingat kepadamu dalam diri-Ku
dan bila engkau ingat kepada-Ku di dalam himpunan orang, akan Aku ingat kepadamu
dalam himpunan yang lebih baik dari himpunanmu. Jika engkau mendekati-Ku
sejengkal, Aku mendekatimu sedepa, bila engkau mendekati-Ku sedepa Aku dekati
engkau sehasta. Dan bila engkau datang kepada-Ku berjalan , Aku akan datang
kepadamu berlari.(Hadits Qudsi Riwayat Ahmad dan Abd. Bin Hamid;
272:185).”
Hadits ini
memperlihatkan kepada
diri kita bagaimana Allah SWT bersikap kepada hamba-Nya yang selalu ingat
kepada-Nya. Dimana Allah SWT akan bersikap melebihi apa yang diperbuat oleh
hamba-Nya jika hamba-Nya melakukan penilaian, ataupun berprasangka, atau
mempunyai perbuatan yang bersifat positif
point kepada Allah SWT. Akan tetapi Allah SWT tidak melakukan sesuatu yang
melebihi jika hamba-Nya berbuat negatif, atau berse-berangan dengan Allah SWT.
Allah SWT hanya membalas sebatas penilaian, atau sebatas prasangka yang
dikemukakan oleh hamba-Nya tersebut.
Disinilah Allah SWT menunjukkan sikap
demokratis-Nya serta kasih sayang-Nya kepada diri kita. Sekarang jika yang
terjadi Allah SWT hanya bersikap apa adanya kepada diri kita, atau bahkan Allah
SWT tidak bersikap sama sekali kepada kita, atau bahkan Allah SWT justru
mengacuhkan dan mendiamkan diri kita, apa yang sebenarnya terjadi? Jika kita
mengacu kepada ketentuan hadits di atas, maka dapat dipastikan karena sikap
kita sendiri kepada Allah SWT. Allah SWT berbuat dan bersikap sesuai dengan apa
yang kita perbuat dan yang kita sikapi dan ini pulalah yang disebut dengan
konsep keadilan.
Untuk itu jika kita ingin memperoleh
sesuatu yang melebihi dari yang kita perbuat maka bersikaplah sesuai dengan apa
yang dikehendaki oleh Allah SWT selaku pemilik, pencipta dari langit dan bumi
termasuk di dalamnya Diinul Islam. Dan jika saat ini Allah SWT telah menurunkan
Diinul Islam kepada diri kita maka terimalah, letakkan, tempatkan Diinul Islam
itu sesuai dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta laksanakan Diinul
Islam secara kaffah (menyeluruh) dan jangan pernah memberikan penilaian,
persepsi, anggapan, seperti katak dalam tempurung untuk Diinul Islam sebab baik
dan buruknya penilaian Allah SWT kepada diri kita dimulai dari apa yang kita
lakukan kepada apa-apa yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar