Sekarang kita sudah mengetahui adanya 8 (delapan)
buah jalan menuju ketauhidan dalam diri yang dilanjutkan dengan terikatnya
setiap manusia dengan kehendak Allah SWT yang tidak lain adalah hukum (ketentuan
dasar) yang mengikat bagi umat manusia sepanjang manusia itu mau sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Agar apa yang telah
kita pelajari di atas menjadi sesuatu yang melekat pada diri kita dan menjadi
ketauhidan maka langkah berikutnya adalah memberikan pernyataan sikap melalui
apa yang dinamakan dengan syahadat.
Lalu seperti apakah syahadat yang dikehendaki oleh Allah SWT itu? Syahadat
berasal dari kata bahasa Arab yaitu syahida yang artinya “ia telah menyaksikan”. Kalimat itu dalam
syariat Islam dapat diartikan sebagai sebuah pernyataan atas kepercayaan yang sekaligus
pengakuan akan keesaan Allah dan Muhammad SAW sebagai rasul-Nya.
Dan sebagai seorang muslim, maka kita wajib hanya
mempercayai Allah sebagai satu-satunya Tuhan dan tiada tuhan yang lain selain
Allah. Allah adalah Tuhan dalam arti sesuatu yang menjadi motivasi
atau menjadi tujuan seseorang. Dengan mengikrarkan kalimat pertama, seorang
muslim memantapkan diri untuk menjadikan hanya Allah sebagai tujuan, motivasi,
dan jalan hidup dan konsep inilah yang disebut dengan “syahadat ketauhidan.” Sedangkan pengakuan kerasulan bermakna Dengan
mengikrarkan kalimat ini seorang muslim memantapkan diri untuk meyakini ajaran
Allah yang disampaikan melalui seorang ‘Rasul Allah,’ Muhammad, dan konsep
inilah yang disebut dengan “syahadat
kerasulan.”
Selain dari pada itu, sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa syahadat
bukan semata-mata bermakna bahwa diri kita telah memberikan 2 (dua) buah
pengakuan (kesaksian) sebagaimana telah kami kemukakan di atas. Syahadat juga
memiliki 4 (empat) buah makna yang lainnya sebagaimana dikemukakan oleh “Wikipedia.Org”,
berikut ini:
1. Syahadat juga
bermakna Ikrar.
Dimana ikrar adalah suatu pernyataan sikap seorang muslim mengenai
keyakinannya. Ketika seseorang mengucapkan kalimat syahadat, maka ia memiliki
kewajiban untuk menegakkan dan memperjuangkan apa yang ia ikrarkan, sehingga
syahadat juga berarti pengakuan yang tulus dan ikhlas kepada Allah SWT dan juga
kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Syahadat juga
bermakna Sumpah.
Dimana seseorang yang telah bersumpah, berarti dia telah bersedia untuk menerima
akibat dan risiko apapun dalam mengamalkan sumpahnya tersebut. Seorang muslim
harus siap dan bertanggungjawab dalam tegaknya Islam dan penegakan ajaran
Islam.
3. Syahadat juga
bermakna janji.
Dimana setiap muslim adalah orang-orang yang telah berserah kepada Allah dan telah
berjanji selalu setia untuk mendengar dan taat dalam segala keadaan terhadap
semua perintah dan larangan Allah SWT beserta segala pesan yang disampaikan
oleh Allah SWT melalui pengutusan Muhammad SWT sebagai rasul-Nya.
4. Syahadat juga
bermakna penyaksian. Dimana
setiap muslim secara pribadi-pribadi menjadi saksi atas pernyataan ikrar,
sumpah dan janji yang dinyatakannya secara sungguh-sungguh dan jujur. Dalam hal
ini adalah kesaksiannya terhadap keesaan Allah SWT dan terhadap kerasulan Nabi
Muhammad SAW.
Selanjutnya berdasarkan uraian di atas, maka
dapat dikatakan bahwa makna dari syahadat bukan sekedar pengakuan (memberikan
kesaksian) semata, melainkan juga bermakna ikrar, bermakna sumpah, bermakna janji
dan juga bermakna penyaksian. Lalu apa yang harus kita lakukan? Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka kita tidak boleh
memisahkan atau memilah-milah ke lima makna di atas menjadi makna yang berdiri
sendiri-sendiri. Ke lima makna syahadat di
atas harus kita jadikan bagian yang tidak terpisahkan antara pemaknaan yang
satu dengan pemaknaan yang lainnya dan semakin menyatu pemaknaannya maka
semakin berkualitas syahadat yang kita laksanakan dan semakin bernilai tinggi ketauhidan
yang kita miliki.
Dan dengan adanya pemaknaan syahadat
sebagaimana telah kami uraikan di atas maka syahadat dapat dikatakan azas
dan dasar dari konsep Diinul Islam sehingga syahadat merupakan ruh, inti, dan
landasan dari seluruh ajaran Diinul Islam. Akhirnya
syahadat yang kita laksanakan haruslah dapat mengandung nilai penetapan misi
yang merupakan bagian dari prinsip ketangguhan pribadi baik sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Sehingga pengucapan 2 (dua) kalimat syahadat
menjadi syarat pertama bagi seseorang untuk menjadi seorang muslim. Sekarang mari kita
pelajari tentang syahadat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Agar syahadat yang kita laksanakan sesuai
dengan kehendak Allah SWT, maka kita wajib mengetahui dan memperhatikan syarat-syarat
dari melaksanakan syahadat, yang mana sesuatu yang tanpa keberadaannya maka
yang disyaratkannya itu menjadi batal dengan sendirinya. Dan apabila seseorang
mengucapkan dua kalimat syahadat tanpa memenuhi syarat-syaratnya, maka dapat dikatakan
syahadatnya tidak sah, atau bisa juga berkualitas sangat rendah.
Adapun syarat-syarat dari syahadat dapat kami
kemukakan ada 9 (sembilan) buah, sebagai-mana dikemukakan oleh “Syaikh
Abu Basheer” dalam bukunya “Bukan Syahadat Tanpa Makna” berikut
ini:
1. Mengucapkan dan
Mengikrarkan. Tatkala
seseorang ingin masuk Islam dan diber-lakukan atas dirinya hukum serta
sifat-sifat seorang muslim kepadanya, maka yang pertama kali mesti dilakukan
adalah mengikrarkan 2 (dua) kalimat syahadat dengan penuh kesadaran. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam hadits berikut ini: “Diriwayatkan dari Abu Hurairah
ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada pamannya: “Katakanlah ‘Laa ilaaha
illallah’! Dengan kalimat itu aku akan bersaksi dihadapan Allah kelak di hari
kiamat. Abu Thalib menjawab, ‘Kalaulah bukan karena orang-orang Quraisy
mencelaku dengan mengatakan, ‘Yang membuatnya berkata seperti itu adalah
kebingungan’ pastilah aku akan menjadikan hatimu gembira (yakni dengan
mengucapkan ‘Laa ilaha illallah’) Maka Allah menurunkan firman-Nya,
‘Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu
kasihi, akan tetapi Allah memberikan petunjuk kepada orang-orang yang
dikehendaki-Nya dan Allah lebih mengetahui orang orang yang mau menerima
petunjuk.’ (surat Al Qashash (28) ayat 56). (Hadits Riwayat Muslim)
Selain daripada itu,
perlu kita ketahui bahwa orang yang mengikrarkan syahadat tidak boleh diwakilkan
kepada orang lain, pengikraran syahadat juga tidak boleh untuk kepentingan
orang lain serta tidak boleh pula dilapazkan dengan bentuk, atau bacaan di luar
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Bacaan syahadat tidak boleh ditambah, tidak
boleh dikurangi ataupun disesuaikan dengan adat istiadat dan budaya tertentu. Syahadat harus dilaksanakan oleh orang yang
bersangkutan secara langsung dan bagi seorang mualaf (orang yang baru masuk
Islam) sebaiknya diikrarkan dihadapan saksi-saksi dan akan lebih baik jika
dilakukan dihadapan orang banyak. Syahadat yang kita laksanakan tidak bisa
diwariskan, tidak bisa dipindahtangankan, serta tidak bisa pula diperjualbelikan kepada siapapun juga
termasuk kepada anak keturunan kita sendiri sehingga syahadat hanya berlaku
bagi orang yang telah mengikrarkannya saja.
2. Mengingkari Thagut. Termasuk syarat
sahnya syahadat adalah mengingkari adanya thagut karena seseorang tidak
dianggap sebagai seorang mukmin kecuali setelah dia mengingkari adanya thagut,
baik secara zhahir ataupun secara bathin, sebagaimana dikemukakan Allah SWT
dalam firman-Nya berikut ini: “Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama
Islam, sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan
jalan yang sesat. Barangsiapa ingkar kepada Thagut dan beriman kepada Allah,
maka sungguh, dia telah berpegang (teguh) pada tali yang kuat yang tidak akan
putus. Allah Maha Mendengar Maha Mengetahui. (surat Al Baqarah (2) ayat 256).”
Lalu apakah itu Thagut?
Thagut dapat bermakna
siapa saja yang diibadahi manusia sebagai tandingan selain Allah dengan bentuk
peribadatan seperti: sujud dan ruku’, doa dan permohonan, ketaatan dan
berhukum, cinta (mahabbah), loyalitas dan permusuhan karenanya, atau dalam
bentuk peribadatan berupa rasa takut (khauf) dan harapan (raja’) serta
persembahan korban, sedangkan dia ridha dengan peribadatan dirinya tersebut.
“Ibnul Qayyim Al
Jauziyah” berkata, “Thagut adalah sesuatu yang diperlakukan sese-orang hamba
dengan melampaui batas, berupa sesuatu yang diibadahi, diikuti, dan ditaati.
Maka termasuk thagut adalah seseorang yang dijadikan pemutus perkara (berhukum)
oleh suatu kaum dengan meninggalkan Allah dan Rasul-Nya, atau yang diibadahi
selain Allah, diikuti tanpa petunjuk dari Allah dan ditaati sedangkan
orang-orang yang mengikutinya tahu bahwa itu bukan merupakan ketaatan kepada
Allah. Sedangkan “Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab” mengemukakan bahwa Thagut
secara umum adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah dan dia ridha
dengan peribadatan itu, baik itu berupa ibadah ataupun ketaatan yang tidak
termasuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, maka itu semua adalah thagut. Untuk
itu berhati-hatilah dengan kondisi dan keadaan ini dan semoga hal ini tidak
terjadi pada diri kita.
3. Ilmu dan Pemahaman. Seorang yang bersyahadat
harus memiliki ilmu dan pemaha-man tentang makna dan maksud serta tujuan dari bersyahadat
yang dilakukannya. Sehingga orang yang bersangkutan wajib memahami isi dan
kandungan dari 2 (dua) kalimat yang dinyatakan serta bersedia menerima
konsekuensi dari apa-apa yang diikrarkannya. Allah SWT berfirman: “Maka ketahuilah,
bahwa sesungguhnya tidak ada sesembahan yang benar selain Allah.” (surat
Muhammad (47) ayat 19). Adanya kondisi ini maka setiap orang yang telah
bersyahadat ia akan menafikan peribadahan (pengham-baan) kepada selain Allah
dan menetapkan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya yang patut diibadahi dengan
benar serta menghilangkan sifat kejahilan (bodoh) terhadap makna ini serta mampu
menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya.
Hal lain yang perlu
kita ketahui dan pahami dengan seksama tentang adanya syarat memiliki ilmu dan
pemahaman sewaktu kita bersyahadat, menunjukkan betapa pentingnya syarat ini
dimana kedudukan ilmu harus didahulukan daripada amal shaleh. Keadaan ini harus
didudukkan terlebih dahulu karena tidak mungkin seseorang beramal shaleh dengan
ketauhidan kecuali harus didahului dengan ilmu dan pemahaman yang baik. Ilmu
dan pemahaman harus diletakkan terlebih dahulu dari-pada amal shaleh, dan tidak
sebaliknya. Seseorang akan terhalang dari ilmu tauhid, pastilah ia akan
terhalangi dari amal. Oleh sebab itu, para sahabat Nabi menilai bahwa belajar
tauhid merupakan perkara yang paling penting sebelum mempelajari ilmu yang
lainnya.
Sekarang mari kita
perhatikan sebuah hadits berikut ini: Apabila Nabi SAW mengutus seorang sahabat
ke suatu negeri, maka beliau memerintahkannya untuk mengajak pendududk negeri
itu bertauhid terlebih dahulu, sebelum akhirnya mengajak mereka kepada
perkara-perkara yang lain. Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah SAW mengutus
Mu’adz ke Negeri Yaman, beliau bersabda: “Sesungguhnya engkau akan mendatangi kaum
Ahlul Kitab, maka hendaklah pertama kali engkau mengajak mereka untuk beribadah
kepada Allah –dala satu riwayat, ‘Laa ilaaha illallaah’. Apabila mereka telah
mengenal Allah, maka sampaikanlah sesungguhnya Allah telah mewajibkan mereka
shalat lima waktu dalam sehari semalam. (Muttafaqun alaihi).” Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi maka sudah sepatutnya
dan seharus kita mendahulukan mempelajari tentang Allah SWT sebelum mempelajari
yang lainnya.
4. Yakin (Meyakini). Seseorang yang
bersyahadat harus meyakini kandungan syahadat, yang terdiri dari syahadat
ketauhidan yaitu tentang Allah dan juga syahadat kerasulan yaitu tentang Nabi
Muhammad SAW selaku utusan-Nya. Manakala seseorang
yang telah bersyahadat meragukan salah satu, atau keduanya maka akan sia-sia
belaka kesaksian dan ikrarnya itu. Seseorang yang bersyahadat harus meyakini dua
kalimat syahadat dengan seyakin-yakinnya tanpa boleh ada keraguan sama sekali. Hal
ini menjadi penting karena yakin adalah ilmu yang sempurna. Allah SWT juga
telah memberikan syarat tentang keima-nan
seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, berupa sifat tidak ada keragu-raguan.
Sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar. (surat Al Hujurat (49) ayat 15).” Selain ayat di atas, hadits berikut
ini juga bisa kita jadikan pedoman saat melakukan syahadat, yaitu: “Dari
Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Aku bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba
yang bertemu Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu, Allah tidak
akan menghalanginya untuk masuk syurga.” (Hadits Riwayat Muslim no. 148)
5. Menerima. Seseorang yang
bersyahadat adalah orang yang mampu menerima isi dan kandungan dua kalimat
syahadat serta mampu pula menerima dan melaksanakan konsekuensi dari syahadat,
dalam hal ini menyembah Allah SWT semata dan meninggalkan ibadah kepada
selain-Nya serta mampu menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya sehingga
mampu pula menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai suri tauladan bagi dirinya. Jika
tidak, maka segala resiko atas pengabaian dari pernyataan 2 (dua) kalimat
syahadat harus siap pula kita terima. Apa maksudnya? Maksudnya adalah apabila seseorang
telah menerima pernyataan 2 (dua) kalimat syahadat berarti dirinya harus menerimanya
dengan hati dan lisan, tanpa ada penolakan (bantahan) sedikitpun.
6. Tunduk dan Patuh Terhadap
Kandungan Makna Syahadat. Orang yang bersyahadat adalah orang yang tunduk dan
menyerahkan diri kepada Allah SWT selaku pencipta dan pemilik serta patuh pula
kepada syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan juga tunduk pula kepada
Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul-Nya. Adanya kepatuhan dan ketundukan atas apa
yang terkandung dari 2 (dua) kalimat syahadat maka tidak ada lagi apa yang
disebut menyelisihinya (berbuat berseberangan) dengan apa-apa yang telah
dinyatakan saat bersyahadat.
7. Jujur. Orang yang
bersyahadat adalah orang yang jujur dalam mempersaksikan 2 (dua) kalimat
syahdat sehingga terjadilah kesesuaian antara ucapan dengan keyakinan, antara
lisan dengan hati yang dilanjutkan dengan tampilnya pernyataan syahadat di
dalam siakp dan perbuatan. Adanya sikap jujur akan menghilangkan dusta dalam
bentuk lain di lisan lain pula yang di hati dan jika ini yang terjadi maka
terjadilah apa yang dinama-kan dengan munafik. Oleh karena itu, Allah SWT
sangat mencela orang-orang munafik sebagaimana firman-Nya, “Di
antara manusia ada yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah dan Hari kemudian
, pada hal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka
hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu
dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit ,
lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan
mereka berdusta.” (surat Al Baqarah (2) ayat 8-10).
Selain daripada itu,
untuk bisa mendapatkan keselamatan dari siksa yang pedih (api neraka) kita tidak
cukup hanya dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, tetapi juga harus disertai
dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati. Sebagaimana hadits berikut ini: “Dari
Mu’adz bin Jabal ra, Rasulullah SAW berkata, “Tidaklah seseorang bersaksi bahwa
tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah
utusan-Nya dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan
neraka baginya.” (Hadits Riwayat Bukhari no. 128).
8. Ikhlas. Orang yang
bersyahadat adalah orang yang ikhlas, dalam hal ini bersihnya hati dari segala
sesuatu yang bertentangan dengan makna dan tujuan dari syahadat, sehingga bersih
pula amalnya dari segala debu-debu kesyirikan. Hal ini sebagaimana hadits
berikut ini: “Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Orang
yang berbahagia karena mendapat syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang
yang mengucapkan laa ilaha illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.”
(Hadits Riwayat Bukhari no. 99)
9. Kecintaan. Orang yang
bersyahadat adalah orang yang mencintai dua kalimat sya-hadat dan isinya, serta cinta
pula kepada orang-orang yang mengamalkan konsekuensinya. Maksudnya adalah
seseorang yang mengucapkan dua kalimat syahadat ini mencintai (tidak benci
pada) Allah, Rasul dan agama Islam serta mencintai pula kaum muslimin yang
menegakkan kalimat ini dan menahan diri dari larangan-Nya. Dia juga membenci
orang yang menyelisihi kalimat laa ilaha illallah, dengan melakukan kesyirikan
dan kekufuran yang merupakan pembatal kalimat ini. Yang menunjukkan adanya
syarat ini pada keimanan seorang muslim sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan
di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun
orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (surat Al Baqarah (2)
ayat 165)
Dalam ayat ini, Allah
mengabarkan bahwa orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini
dikarenakan mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta
ibadah. Sedangkan orang-orang musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka
sebagaimana mereka mencintai Allah. Tanda
kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan kepada-Nya
walaupun menyelisihi hawa nafsu-nya dan juga membenci apa yang dibenci Allah
walaupun dia condong padanya.
Sebagai bentuk cinta
pada Allah adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya,
juga mengikuti Rasul SAW, mencocoki jalan hidupnya dan menerima petunjuknya,
sebagaimana hadits berikut ini: “Dan Rasu-lullah SAW bersabda, “Tiga
perkara yang barangsiapa perkara itu ada pada dirinya maka dia akan merasakan
manisnya keimanan, Allah dan Rasul-Nya lebih dia cinta daripada selain
keduanya, seseorang yang saling mencintai karena Allah, dan membenci untuk
kembali kepada kekufuran setelah Allah selamatkan dia darinya sebagaimana dia
membenci untuk dihempaskan ke dalam neraka.” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).
Jamaah sekalian, itulah 9 (sembilan) syarat yang harus kita ketahui dan yang juga harus
kita laksanakan saat diri kita melaksanakan syahadat yang tidak lain adalah
bukti nyata bagi diri kita telah memiliki ilmu dan pemahaman tentang ketauhidan
dalam diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar