D.
SUJUD, PATUH,
BERTASBIH KEPADA ALLAH SWT SELURUH ALAM.
Sekarang mari kita
melihat dan memperhatikan Allah SWT melalui patuh, tunduk, sujud dan
bertasbihnya seluruh alam kepada Allah SWT seperti yang dikemukakan dalam surat
Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah kamu tiada
mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi,
matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata
dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah
ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak
seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia
kehendaki.”
Dan juga berdasarkan
surat Al Hadiid (57) ayat 1 berikut ini: “semua yang
berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan
kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Serta berdasarkan
surat An Nuur (24) ayat 41 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Tidakkah
engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan
di bumi, dan juga burung yang mengembang-kan sayapnya. Masing masing sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan
bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.”
Berdasarkan ke tiga
ayat yang kami kemukakan di atas ini, seluruh apa apa yang ada di langit dan di
bumi, seperti bulan, bintang, gunung, hewan, tumbuhan, burung, air, udara,
bakteri, kuman, dan virus masing masing telah mengetahui (cara) berdoa, cara
tunduk patuh, cara bersujud, serta cara bertasbih kepada Allah SWT. Sedangkan
berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 44 berikut ini: “langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih
kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya,
tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha
Penyantun lagi Maha Pengampun.” Ayat ini mengemukakan bahwa cara
bertasbihnya, cara tunduk patuh-nya segala apa-apa yang diciptakan oleh Allah SWT
tidak dimengerti oleh manusia. Manusia hanya bisa melihat sisi keteraturan dari
ciptaan Allah SWT semata. Untuk itu lihatlah keteraturan matahari, bulan, bumi
yang beredar sesuai dengan garis edarnya masing masing sebagai bentuk
ketertundukkan mereka kepada Allah SWT. Dalam hal ini terhadap apa apa yang
telah ditetapkan berlaku kepadanya. Tidak ada satupun yang keluar jalur dari
apa apa yang telah ditetapkan Allah SWT
berlaku kepada seluruh apa apa yang telah diciptakannya.
Kita juga bisa
mendengar langsung kicauan burung, namun pernahkah kita tahu dan mengerti isi
dari kicauan burung tersebut. Namun yang jelas adalah burung berkicau bukanlah
sembarangan berkicau, tetapi itu juga bermakna sebagai salah satu wujud
bertasbihnya burung kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Tidakkah
engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan
di bumi dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh
mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka
kerjakan. (surat An Nuur (24) ayat 41).”
Dan ingat tasbihnya burung bukanlah tasbih untuk meminta
balasan, tetapi tasbihnya sebagai wujud dari patuh dan taatnya burung kepada
Allah SWT tanpa pamrih. Dan jika burung dengan kasat mata sudah mampu
memperlihatkan secara langsung tasbihnya kepada Allah SWT dihadapan diri kita
lalu bagaimana dengan diri kita? Jika kita tidak mampu bertasbih sebagai wujud
patuh dan taatnya diri kita kepada Allah SWT berarti tidak berlebihan jika
burung lebih baik dari diri kita.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan
merasa jengkel dan rasanya sangat marah jika kita memberikan sesuatu kepada
orang lain, katakanlah memberikan sejumlah uang, lalu uang tersebut
dipergunakan untuk foya-foya, atau untuk membiayai perbuatan maksiat, atau
untuk berjudi. Hal yang sama juga terjadi
pada padi, air dan udara yang juga merasa jengkel, marah, tidak suka, kepada
manusia yang perilakunya sangat berseberangan dengan perilaku dirinya sedangkan
manusia itu sendiri mempergunakan diri mereka untuk kebutuhan hidup
sehari-hari.
Untuk itu jangan pernah salahkan tikus
ataupun juga wereng jika ia menjadi hama padi atau memakan padi secara sporadis
sebab padi lebih suka, padi lebih ikhlas, padi lebih rela di makan oleh tikus
dan juga wereng karena mereka semua sama-sama bertasbih dan sujud kepada Allah SWT
seperti yang padi lakukan dibandingkan dengan manusia atau petani yang mengolah
padi atau jangan pernah salahkan air dan juga udara jika air tiba-tiba menjelma
menjadi banjir bandang atau malah menghilang atau jika udara yang bergerak menjelma
menjadi angin puting beliung atau bahkan menjadi badai yang menghancurkan dan
meluluh lantakkan apa-apa yang ditemuinya.
Jika saat ini masih
hidup berarti kita hidup di muka bumi. Dimana bumi beserta apa apa yang ada di
dalamnya semuanya bertasbih, sujud serta patuh kepada Allah SWT. Lalu apa yang terjadi jika udara yang kita
hirup, air yang kita konsumsi, yang kesemuanya diciptakan oleh Allah SWT
sehingga kesemuanya tidak bisa melepaskan diri dari kebesaran dan kemahaan
Allah SWT melakukan ketertundukan kepada Allah SWT sedangkan kita yang
menghirup udara dan mengkonsumsi air justru bersikap bertolak belakang dengan
melakukan keengkaran kepada Allah SWT?
Jika sampai ini
terjadi pada diri kita berarti terjadilah apa yang dinamakan dengan
ketidakridhaan dari bumi, dari udara, dari air kepada diri kita. Air yang
seharusnya membawa berkah justru membawa bencana. Udara yang seharusnya nyaman
justru menja-di bencana atau bumi yang seharusnya tenang menjadi bergejolak
karena ulah kita yang berseberangan dengan apa yang dilakukan yaitu tunduk,
patuh, bertasbih kepada Allah SWT. Dan sekali lagi kami kemukakan, jangan
pernah salahkan padi yang lebih suka dima-kan wereng dan tikus dikarenakan
keduanya bertasbih kepada Allah SWT dibandingkan dengan petaninya yang bersikap
sesuai dengan kehendak syaitan. Jangan
pernah salahkan air yang menjadi bencana karena ulah manusia yang merusak sunnatullah
yang berlaku pada air, yaitu air selalu turun dari atas ke bawah (mencari
tempat yang lebih rendah).
Dan selanjutnya jika
kita menyadari bahwa bukan kita yang menciptakan apa-apa yang ada di langit dan
di bumi maka tidak ada jalan lain kitapun harus menyesuaikan diri dengan apa
apa yang ada di langit di bumi yaitu tunduk, patuh serta berstasbih kepada
Allah SWT seperti tunduk, bertasbihnya makhluk makhluk Allah SWT yang ada di
muka bumi saat ini juga. Jangan pernah menunda nunda untuk berbuat hal seperti
ini karena kesempatan untuk berbuat hanya ada pada sisa usia yang kita miliki.
E. YANG MENURUNKAN AIR
HUJAN DARI LANGIT LALU MENYUBURKAN TANAH.
Sekarang mari kita
lihat dan memperhatikan sisi lain dari Allah SWT melalui hujan yang diturunkan dari
langit yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 63 berikut ini: “Apakah kamu tiada
melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu
hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.” Lalu perhatikan juga
apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Zumar (39) ayat 21 berikut
ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa
Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi
sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman
yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya
kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang
mempunyai akal.”
Kedua ayat di atas
ini, menunjukkan kepada diri kita bahwa secara kasat mata kita tidak bisa
melihat Allah SWT. Akan tetapi kita bisa secara kasat mata mampu melihat Allah
SWT melalui salah satu ciptaan-Nya yaitu Allah SWT menurunkan air melalui hujan
yang turun dari langit.
Hujan bisa kita lihat
dan kita rasakan secara langsung saat kita hidup di muka bumi ini, namun hujan
yang kita lihat dan rasakan bukanlah
semata mata ciptaan Allah SWT. Hujan juga
merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Dan dengan adanya
hujan yang tidak lain adalah tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT
berarti Allah SWT pasti ada dan tidak ghaib keberadaannya, hal ini terbukti
dari adanya hujan yang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah
SWT.Lalu dimanakah Allah SWT itu? Allah SWT pasti ada di balik keberadaan
air yang turun melalui hujan (Allah SWT tersembunyi dibalik keberadaan air yang
turun melalui hujan) sehingga di setiap air yang turun melalui hujan dapat
dipastikan ada Allah SWT yang menyertainya. Sekarang ada apa dibalik turunnya
air melalui hujan? Air yang turun melalui hujan bukanlah semata mata turunnya
air dari langit untuk menyuburkan tanah.
Air yang turun melalui hujan juga merupakan cara dan metode
Allah SWT untuk mensirkulasi air dari satu tempat ke tempat lain serta metode
Allah SWT untuk menambah jumlah air yang ada dan yang dibutuhkan di muka bumi
untuk seluruh makhluknya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa
Allah SWT sangat berkuasa kepada air dan juga kepada hujan, termasuk di
dalamnya berkuasa terhadap air yang sudah ada di bumi. Jika hal ini sudah ditunjukkan oleh Allah SWT melalui air yang turun
melalui hujan dan juga melalui air yang ada di muka bumi, lalu bisakah kita
menciptakan hujan dan juga air? Sampai dengan kapanpun juga manusia termasuk
diri kita tidak akan mampu menurunkan hujan dan juga menciptakan air dan hal
ini juga dibuktikan dengan tidak adanya produk substitusi atau produk pengganti
yang bisa menggantikan air.
Kita hanya bisa melihat, menyaksikan,
mendengar, merasakan turunnya air melalui hujan serta hanya bisa mempergunakan
air untuk kepentingan hidup dan kehidupan kita. Lalu apa yang harus kita sikapi
dengan kondisi ini? Jadikan ketentuan yang ada di dalam hadits berikut ini
sebagai pernyataan keimanan diri kita. Ibn Mas’ud ra,
berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya barangsiapa
berkata: Hujan telah turun kepada kami karena bintang ini atau bintang itu,
maka sungguh ia telah kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang itu.
Sebaliknya barangsiapa berkata: Allah telah menurunkan hujan kepada kami, maka
ia telah beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang itu. (Hadits Qudsi Riwayat
Ath Thabrani; 272:33). Hadits ini melarang diri kita
untuk mengatakan bahwa hujan turun karena bintang ini dan bintang itu, atau
karena sebab sebab yang bersifat klenik. Kita wajib mengatakan bahwa hujan
turun karena Allah SWT semata.
Selanjutnya yang harus kita sikapi adalah kita
harus bersikap dan berbuat serta melakukan seperti air yang air lakukan kepada
Allah SWT yaitu sujud, patuh dan tunduk serta bertasbih kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “semua yang berada di langit dan
yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan
Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (surat Al Hadiid (57) ayat 1).” Jika sampai kita berseberangan dengan air maka air tidak akan pernah
ridha jika kita konsumsi dan pergunakan untuk kepentingan hidup dan kehidupan
kita sehingga air lebih suka menjadi banjir ketimbang diambil manfaatnya oleh
diri kita.
Di lain sisi,
walaupun diri kita sudah berkesesuaian dengan perilaku dan perbuatan air tidak
serta merta kita bisa memperlakukan air dengan sekehendak hati kita. Agar air mau
memberikan manfaat secara sukarela atau ridha dimanfaatkan oleh diri kita maka
kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk membaca Basmallah sebelum memanfaatkan
air. Dengan diri kita membaca Basmallah berarti kita telah mengatakan kepada
air yaitu atas nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, engkau ku
konsumsi (engkau ku pergunakan) maka ridhalah air kepada diri kita.
Sekarang lihatlah tubuh kita yang sebahagian besar
terdiri dari unsur air yang berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari air sedangkan
kita tidak bisa menciptakan air. Jika sudah seperti ini keadaannya maka kita
harus menghargai air, menghormati air sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan
dari Allah SWT selaku penciptanya. Terkecuali jika kita tidak lagi membutuhkan
air, berbuatlah semena-mena terhadap air lalu bersiaplah merasa-kan betapa
tidak enaknya, betapa susahnya hidup tanpa air.
Air sangat kita
butuhkan, namun jika sesuatu yang kita butuhkan justru kita berlakukan tidak
sesuai dengan apa yang dilakukan oleh air kepada Allah SWT berarti kita juga
telah mengabaikan, atau tidak
memperdulikan Allah SWT selaku pencipta yang selalu menyertai air. Kondisi inilah yang paling berbahaya yaitu
kita butuh kepada air namun meniadakan atau mengabaikan Allah SWT selaku
pencipta air dan yang juga selalu menyertai air dimanapun air berada.
Jika ini yang terjadi
Allah SWT menjadi murka kepada diri kita dan air yang seharusnya bermanfaat
bagi kita tetapi justru menyerang diri kita melalui banjir, kekeringan dan lain
sebagainya. Ayo sadari dengan sesadar sadarnya bahwa Allah SWT selalu berada di
balik keberadaan air sampai kapanpun juga lalu bijak dan berhematlah saat
memper-gunakan air dalam hidup dan kehidupan kita karena air juga sangat
dibutuhkan oleh anak dan keturunan diri kita sendiri yang akan ada di kemudian
hari. Jangan sampai kita menganiaya mereka karena ulah diri kita yang tidak
peduli dengan air.
F. YANG MENCIPTAKAN,
YANG MENGHIDUPKAN DAN YANG MEMATI-KAN UMAT MANUSIA.
Sekarang mari kita
lihat Allah SWT melalui penciptaan
manusia, melalui proses menghidupkan dan melalui proses mematikan manusia yang
ada di muka bumi ini. Kita bisa melihat secara kasat mata orang yang sedang
mengandung anak, kita bisa juga melihat bayi yang baru dilahirkan dan juga kita
bisa melihat secara langsung orang yang meninggal dunia. Lalu siapakah diri kita? Apakah diri kita juga termasuk yang
dikemukakan dalam surat Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69 berikut ini:“Dia-lah
yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari
segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian
(kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian
(dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan
sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang
ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). Dia-lah yang menghidupkan dan
mematikan, Maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata
kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah ia. Apakah kamu tidak melihat
kepada orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah? Bagaimanakah mereka dapat
dipalingkan?” Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita termasuk yang
diciptakan oleh Allah SWT yang lalu diangkat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga
adalah khalifah-Nya di muka bumi.
Kita juga merupakan tanda tanda dari kebesaran dan
kemahaan Allah SWT serta kebera-daan diri kita tidak bisa dilepaskan dari Allah
SWT karena Allah SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada,
sebagaimana hadits berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku
juga akan ingat kepadamu, dan bila engkau lupa kepada-Ku Akupun akan ingat
kepadamu. Dan jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada
tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau
berpaling dari-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan
di kala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan
memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku atas dirimu, maka setelah Aku
keluarkan engkau ke alam dunia engkau banyak berbuat maksiat. Apakah demikian
seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu”.(Hadits
Riwayat Abu Nashr Rabiah bin Ali al Ajli dan Ar Rafi’i; 272:182).
Dan ingat, kita juga akan dimatikan oleh Allah SWT
dengan cara memisahkan ruh dengan jasmani pada saat yang telah ditentukan-Nya.
Ruh akan pulang sementara waktu ke alam barzakh sedangkan jasmani akan
dimakamkan di tanah (tempat pemakaman) sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan
Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian
menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat
mengingkari nikmat. (surat Al Hajj (22) ayat 66).” Adanya ketentuan ini
maka dapat kita pastikan bahwa kematian itu adalah suatu kepastian yang akan
terjadi pada diri manusia.
Adanya orang yang
meninggal dunia menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT Maha Berkuasa di
muka bumi, yaitu selain mampu menghidupkan juga mampu pula mematikan manusia.
Lalu apakah ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain kepada diri kita
tidak? Ketentuan mematikan berlaku kepada seluruh umat manusia termasuk di
dalamnya diri kita pasti akan dimatikan oleh Allah SWT. Dan jika saat ini kita
masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menuju ke liang kubur
(menuju kematian). Dan yang harus kita yakini adalah kecepatan
menuju liang kubur bersifat konstan yaitu berkecapatan 60 (enam puluh) menit
per jam serta kita juga telah diingatkan oleh Allah SWT untuk memanfaatkan sisa
usia yang ada pada saat ini terkecuali jika kita bermaksud mengingkari nikmat
Allah SWT.
Jangan sampai
terlambat memanfaatkan sisa usia yang tersedia karena kita tidak tahu kapan
Malaikat Maut datang kepada diri kita serta yang pasti adalah pesan pesan dari
Malaikat Maut sudah sampai kepada diri kita melalui mata yang sudah tidak awas
lagi, melalui semangat yang sudah mengendur, melalui kaki dan tangan yang
sekarang sudah mulai gemetar dan lemah serta melalui rambut yang sudah tidak
hitam lagi. Dan hal yang harus kita ingat adalah mati, atau suatu kematian
adalah kepastian yang tidak bisa kita hindari.
Tidak harus kaya dahulu baru mati, tidak harus tua dahulu
baru mati, tidak harus memiliki jabatan dahulu baru mati, tidak harus sarjana
dahulu baru mati, tidak harus berhaji dahulu baru mati, tidak harus berkeluarga
dahulu baru mati. Mati adalah rahasia Allah SWT
lalu sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menuju kematian? Ayo gunakan waktu
yang tersisa dengan manaje-men waktu yang baik dan benar karena waktu tidak
bisa diputar ulang dan jangan sampai diri kita menjadi yang merugi di akhirat
kelak.
Sekarang semuanya
sangat terpulang kepada diri kita sendiri, mampukah kita melihat kebesaran dan
kemahaan Allah SWT melalui kematian manusia serta yang juga pasti terjadi pada
diri kita. Jika saat ini kita masih hidup berarti kita sedang menuju kepada kematian
namun nomor urut belum sampai kepada diri kita. Ayo segera persiapkan kematian dengan sebaik baiknya karena kecepatan
menuju liang kubur memiliki rumus kecepatan tertentu, yaitu: 60 (enam puluh)
menit per jam. Rumus ini berlaku konstan dan akan mengurangi dengan pasti
sisa usia yang kita miliki sampai habis jatah yang telah ditetapkan oleh Allah
SWT kepada diri kita.Tidakkah kita menyadarinya!
G.
YANG MEMPERGANTIKAN
SIANG DAN MALAM.
Sekarang
mari kita lihat dan perhatikan Allah SWT melalui mata telanjang dari sisi yang
lain. Kita bisa melihat terjadinya silih bergantinya malam dan siang seperti
yang terdapat di dalam surat Ali Imran (3) ayat 190 berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” dan juga yang
terdapat dalam surat Yunus (10) ayat 6 berikut ini:“Sesungguhnya
pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di
langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi
orang- orang yang bertakwa.” Dan masih berdasarkan
ayat di atas bahwa terjadinya pertukaran malam dan siang merupakan tanda-tanda
dari kemahaan dan kebesaran serta kekuasaan Allah SWT bagi orang yang berakal
dan juga bagi orang yang bertaqwa.
Adanya syarat yang dikemukakan oleh Allah SWT tentang silih bergantinya
siang dan malam di atas, menunjukkan kepada diri kita hanya orang orang yang
berakal dan hanya orang orang yang bertaqwa yang mampu menyatakan bahwa adanya
siang dan malam merupakan adalah tanda-tanda kebesaran dan kemahaan serta
kekuasaan Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan orang yang tidak
memenuhi kriteria di atas? Adanya perbedaan kriteria akan menghasilkan
pernyataan yang berbeda pula. Orang yang tidak memenuhi kriteria di atas akan
menyatakan silih bergantinya malam dan siang adalah proses alam.
Silih bergantinya siang dengan malam akan melahirkan apa yang dinamakan
dengan waktu. Lahirnya waktu akan
memudahkan diri kita melaksanakan ibadah ibadah yang telah diperintahkan Allah
SWT berlaku, yang kesemuanya sangat
berhubungan erat dengan waktu. Mendirikan shalat lima waktu terikat dengan
waktu, melaksanakan puasa Ramadhan terikat dengan waktu, menunaikan zakat maal terikat
dengan waktu (dalam hal ini haulnya), melaksanakan ibadah Haji juga terikat
dengan waktu seperti Wukuf di Arafah, mabid di Muzdalifah, melontar Jumroh,
serta berkurban. Sekarang apa jadinya
jika Allah SWT tidak mempergan-tikan siang dan malam? Dapat dipastikan kita
akan susah untuk melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT dan
bingung kapan akan istirahat dan kapan akan bekerja.
Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita akan
berhadapan dengan waktu-waktu untuk beribadah. Dimana waktu waktu ibadah tidak
bisa terlepas dari kebesa-ran dan kemahaan Allah SWT serta Allah SWT bersama
dengan waktu tersebut. Untuk itu sadarilah sejak saat ini juga bahwa pada saat
diri kita melaksanakan atau menunaikan ibadah selalu berada di dalam waktu yang
Allah SWT miliki lalu apakah kita akan menyia-nyiakan ibadah dengan berlaku
tergesa gesa, terburu buru serta tanpa ada kekhusyuan sama sekali? Alangkah
ruginya jika kita tidak mampu beribadah sesuai dengan kehendak Allah SWT pada
waktu untuk beridah hanya ada pada sisa usia kita.
Bicara waktu, maka kita akan berhadapan dengan ketentuan
tentang waktu yang menyatakan waktu adalah uang (maksudnya waktu sangat
berharga laksana uang) dan juga waktu adalah modal dasar kehidupan karena di
dalamnya ada kesempatan bagi diri kita untuk berbuat dan melaksanakan tugas
sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dan jika kita
termasuk orang yang berakal maka kita harus mengetahui dan menyadari bahwa
kehidupan dunia tidak digunakan untuk bersenang senang. Oleh karena itu kita
harus berhati hati dalam mempergunakan dan memanfaatkan waktu dalam setiap
kesempatan. Ingat, di dalam ketentuan waktu juga berlaku ketentuan “waktu
tidak bisa diputar ulang serta menyesal ada-nya di kemudian hari”. Jika
kita termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh maka kita harus
memanfaatkan waktu karena yang singkat adalah waktu serta waktu bukanlah
sesuatu yang menunggu diri kita.
Hal yang harus pula
kita ketahui dengan kesadaran yang tinggi adalah waktu adalah harta yang paling
berharga saat kita hidup di dunia ini. Hal
ini dikarenakan hanya di dalam waktu yang tersisalah kita bisa melakukan apa
apa yang dikehendaki Allah SWT dan hanya di dalam waktu itupula kita bisa
menikmati apa yang dinamakan dengan harta kekayaan, kesenangan dunia serta
merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT dan juga bisa berbuat
kebaikan. Jangan sampai kita lalai saat masih berusia muda serta menyesal
di hari tua akibat tidak bisa memanfaatkan waktu. Menyesal dan penyesalan tidak
ada gunanya jika waktu telah berlalu karena jika waktu habis berarti selesai
sudah hidup kita di dunia ini. Ayo segera manfaatkan waktu itu sebelum diri
kita ditinggalkan oleh sang waktu.
H. YANG MENJADIKAN
MANUSIA BERMACAM MACAM SUKU BANGSA, RAS DAN WARNA KULIT DAN MENJADIKAN TAQWA
SEBAGAI PARAMETER PENILAIAN.
Kita juga bisa
melihat Allah SWT melalui bermacam macam suku bangsa yang ada di muka bumi ini,
melalui adanya perbedaan suku, melalui bermacam macam ras, melalui keturunan,
melalui warna kulit dan juga melalui berbagai macam bahasa yang diperguna-kan
oleh umat manusia serta melalui perbedaan adat dan kebiasaan yang sangat
beragam.
Hal ini seperti yang
termaktub dalam surat Al Hujurat (49) ayat 13 berikut ini: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” dan juga berdasarkan
surat Ar Ruum (30) ayat 22 sebagaimana berikut ini:“dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan
bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Allah SWT menciptakan
perbedaan perbedaan (prinsip heterogen) hal ini bukanlah tanpa maksud dan
tujuan yang tertentu, terutama untuk saling kenal mengenal diantara satu dengan
yang lainnya dan juga untuk menunjukkan begitu luar biasanya kemahaan dan
kebesaran Allah SWT dalam menciptakan manusia.
Hal yang harus kita
jadikan pedoman saat hidup di muka bumi ini adalah adanya perbedaan bangsa,
suku, ras, keturunan, warna kulit, bahasa, budaya, adat istiadat bukanlah
parameter yang dipergunakan oleh Allah SWT untuk menilai keberhasilan manusia
saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Allah
SWT telah memiliki parameter tersendiri di dalam menilai keberhasilan abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi, dalam hal ini adalah
parameter ketaqwaan. Hal ini sebagai-mana dikemukakan dalam 2 (dua) buah hadits
berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah
tidak memandang kepada bentuk tubuh dan harta benda kalian, tetapi memandang
kepada hati dan amal perbuatan kalian”. (Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah).”
Nabi Muhammad SAW
bersabda: “At Taqwa ha Huna,” (taqwa itu disini,.…sambil menunjuk dadanya). Ia
mengisyaratkan bahwa letak dari sebuah ketaqwaan adalah di dalam hati. (Hadits
Riwayat Muslim)
Adanya parameter
ketaqwaan yang diterapkan oleh Allah SWT maka Allah SWT tidak akan pernah
memandang bangsa, tidak akan pernah memandang suku, tidak akan pernah memandang
ras, tidak akan pernah memandang keturunan, tidak akan penah memandang harta,
tidak akan pernah memandang pangkat dan jabatan, tidak akan pernah memandang
warna kulit dan juga tidak akan pernah memandang bahasa yang dipergunakan,
tidak memandang penampilan manusia dari penampilan kulit luarnya saja, apalagi
menilai berdasar-kan budaya dan adat istiadat seseorang. Jika sudah seperti ini maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang
saat ini masih diberi kesempatan hidup di muka bumi untuk segera membuang jauh
jauh paham dan pengertian hanya bangsa tertentu, suku tertentu, pendidikan
tertentu, keturunan tertentu, ras tertentu, warna kulit tertentu, pangkat dan
jabatan tertentu, memiliki kekayaan tertentu, budaya dan adat istiadat
tertentu, bahasa tertentu, penampilan tertentu, yang lebih baik dibandingkan
dengan yang lain.
Disinilah letak
adanya prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia dan keten-tuan ini
sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan dari sini pulalah kita bisa melihat Allah
SWT secara kasat mata Allah SWT melalui prinsip heterogenitas manusia dan
prinsip heterogenitas ini menjadi tanda-tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah
SWT serta di balik keberadaan prinsip heterogenitas ini ada Allah SWT yang
selalu menyertainya. Dan disinilah
letaknya betapa kebesaran yang lainnya yaitu meletakkan paremeter tersendiri di
dalam menilai manusia yang begitu heterogen melalui kualitas ketaqwaan. Semakin
baik (semakin berkualitas) tingkat ketaqwaan seseorang maka semakin baik
seseorang dihadapan Allah SWT dan sebaliknya sebaik buruk tingkat ketaqwaan
seseorang maka semakin buruk pula seseorang dihadapan Allah SWT.
Dan
jika sekarang ada kelompok (organisasi) tertentu yang tidak bisa menerima
konsep heterogenitas sehingga menyatakan hanya golongannya saja yang terbaik,
hanya kelompok-nya saja yang diterima oleh Allah SWT dan yang lain tidak.
Bertanyalah kepada hati nurani kita sendiri, siapakah diri kita dan siapakah
Allah SWT? Jangan sampai kita yang
menumpang di langit dan di bumi Allah SWT lalu berbuat seolah-olah kitalah tuan
rumah yang menggantikan kedudukan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari
langit dan bumi, atau menjadi fir’aun-fir’aun generasi baru yang mengaku
dirinya Tuhan. Dan semoga kondisi ini tidak menimpa diri kita, dan juga kepada anak
keturunan kita nantinya.
Sebagai orang yang
akan dinilai tingkat ketaqwaannya oleh Allah SWT maka kita tidak bisa
menentukan sendiri bahwa kita telah bertaqwa kepada Allah atau menyatakan diri
telah bertaqwa kepada Allah dengan mempergunakan parameter yang kita tentukan
sendiri. Adanya kondisi ini kita tidak tahu berapa tingkat ketaqwaan kita,
hanya Allah SWT sajalah yang tahu berapa sebenarnya tingkat (kualitas) ketaqwaan
yang kita miliki. Jangan sampai kita merasa atau mengaku ngaku telah bertaqwa
kepada Allah SWT padahal kenyataannya tidak sesuai dengan konsep yang telah
Allah SWT tetapkan, yaitu Allah SWT sajalah yang berhak menilai ketaqwaan
seseorang. Dan jika ini keadaannya berarti kita harus segera memiliki ilmu
tentang ketaqwaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT saat ini juga karena
kita sangat berkepentingan dengan kualitas taqwa tersebut. Sekarang mari kita
pelajari apa itu arti taqwa (ketaqwaan) yang akan dijadikan sebagai parameter
dasar bagi penilaian manusia oleh Allah SWT. Kata taqwa di dalam AlQuran
terulang sebanyak 259 (dua ratus lima puluh sembilan) kali dengan makna yang
sangat beragam sehingga taqwa (ketaqwaan) memiliki makna yang sangat luas
sehingga tidak bisa bisa didefinisikan dalam satu definisi semata.
Luasnya pengertian
dari taqwa mengharuskan diri kita untuk belajar dari waktu ke waktu dari satu
pengertian ke pengertian lainnya. Dimana masing masing pengertian dari taqwa (ketaqwaan)
itu sendiri selalu saling lengkap-melengkapi, yang menunjukkan betapa dalam-nya
makna yang terkandung di balik kata taqwa (ketaqwaan) itu.
1. Secara etimologi (bahasa) taqwa berasal dari kata waqa,
yaqi, wiqayah yang arti-nya menjaga diri, menghindari dan menjauhi atau mencegah
dari sesuatu yang dibenci dan dilarang Allah. Secara terminologi taqwa berarti
takut kepada Allah SWT berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya
dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa.
2. Ibnu Abbas ra, mendefinisikan, taqwa adalah takut berbuat
syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya. Ketika Abu Dzar
Al Ghifari meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, maka pesan paling pertama dan
utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu adalah taqwa. Kata Rasulullah
SAW, “Saya wasiatkan kepadamu, bertakwalah engkau kepada Allah karena takwa
itu adalah pokok dari segala perkara”.
3. Taqwa kepada Allah adalah rasa takut, takzim dan kagum
kepada Allah SWT serta mengakui superioritas Allah SWT. Alhasil dari pernyataan
ini adalah kita bukanlah apa-apa dibandingkan dengan Allah SWT. Taqwa juga
dapat dikatakan sebagai takut-nya diri kita akan hukum; ketentuan; aturan yang
berasal dari Allah SWT termasuk di dalamnya takut akan azab yang akan
ditimpakan oleh Allah SWT kepada yang melanggar aturan-Nya. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Al Baqarah (2) ayat 40 berikut ini: “Wahai Bani Israil, Ingatlah
nikmatKu yang telah Aku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepadaKu,
niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu, dan takutlah kepadaKu saja. (surat Al
Baqarah (2) ayat 40)”
4. Taqwa kepada Allah adalah taat dan beribadah yang sesuai
dengan kehendak Allah. Alhasil dari pernyataan ini adalah ibadah yang kita
lakukan bukanlah menjadi sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan bagi diri
kita. Sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 102
berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar benar
takwa kepadaNya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” Ayat ini mengemukakan bahwa taqwa
kepada Allah adalah taat dan beribadah yang sesuai dengan kehendak Allah.
Alhasil dari pernyataan ini adalah ibadah yang kita lakukan bukanlah menjadi
sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan bagi diri kita.
5. Taqwa kepada Allah adalah menyucikan hati dari noda dan
dosa, sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nur (24) ayat 52 berikut ini: “Dan
barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan
bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang orang yang mendapatkan kemenangan.”
6. Taqwa kepada Allah adalah wasiat (perintah) yang
ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan milik Allah lah apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang
yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada
Allah. Tetapi jika kamu ingkar (ketahuilah), milik Allah lah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Mahaterpuji. (surat An
Nisaa’ (4) ayat 131)
7. Taqwa kepada Allah
adalah jalan menggapai keberuntungan dan kemenangan, hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang
orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.” (surat Al Maidah (5)
ayat 100)
8. Taqwa kepada Allah adalah bekal menuju hari pembalasan,
sebagaimana dikemu-kakan dalam firman-Nya berikut ini: “Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepadaKu hai orang orang yang
berakal.” (surat Al Baqarah (2) ayat 197)
9. Taqwa adalah memelihara diri dari terputusnya hubungan
antara diri kita dengan Allah SWT dengan selalu patuh dan taat kepada apa yang
telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
firman-Nya berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang
memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa
(menciptakan) pendengaran, penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang
hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah
yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka
katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertaqwa
(kepadaNya)? (surat Yunus (10) ayat 31)
10. Taqwa kepada Allah
adalah melindungi dari dari apa yang merugikan diri dan merusak diri di
akhirat. Semakin diri ini dibatasi, semakin baik diri ini.
11.
Taqwa adalah taat dan patuhnya diri kita kepada apa apa
yang diperintahkan-Nya dan yang telah dilarang oleh Allah SWT sehingga ia mampu
menjadi penegak keadilan serta tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya
serta selalu menjaga hubungan baik diantara sesama manusia. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jadilah
kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan. (surat Al Maaidah (5) ayat 8).”
Selain
11 (sebelas) pemaknaan dari taqwa (ketaqwaan) yang telah kami kemukakan di
atas, masih terdapat beberapa pemaknaan lainnya dari taqwa (ketaqwaan),
sebagaimana akan kami kemukakan berikut ini:
1. Taqwa kepada Allah
adalah melindungi dari dari apa yang merugikan diri dan me-rusak diri di
akhirat. Semakin diri ini dibatasi, semakin baik diri ini.
2. Taqwa kepada Allah adalah takut kepada Allah dan menjaga diri dari kedur-janaan, keburukan,
kejahatan, kekejiaan, dan dosa.
3. Taqwa kepada Allah
adalah cahaya di dalam hati, sedangkan dampak dan penga-ruhnya akan nampak jelas
di dalam perbuatan anggota tubuh dan hati.
4. Taqwa kepada Allah
adalah cahaya yang Allah tempatkan dalam hati orang orang yang beriman. Tak ada
yang mengetahui kadarnya kecuali Allah dan tak ada yang mengetahui siapa yang
paling bertakwa, kecuali Allah SWT.
5. Taqwa kepada Allah
adalah sifat teragung yang bersemayam di dalam diri orang beriman, taat, dan
memiliki jiwa ikhsan, sehingga taqwa adalah sifat yang melekat sangat kuat
dalam hati dan nurani mereka.
6. Taqwa kepada Allah
adalah kalimat yang tidak asing dikalangan manusia, akan te-tapi yang mampu
melaksanakannya sangatlah sedikit.
7. Taqwa kepada Allah
adalah faktor kemenangan, sumber kebaikan dan perbaikan. Orang yang memiliki
sifat ini akan hidup dalam keberuntungan, tak akan pernah sengsara apalagi
menderita.
8. Taqwa kepada Allah
adalah pilar yang menopang orang beriman di dunia, cahaya yang akan menerangi
kuburnya, dan petunjuk yang akan menuntunnya di akhirat menuju syurga yang
penuh kenikmatan.
9. Taqwa kepada Allah
adalah kalimat agung. Tak ada kebaikan bagi kita jika kita tak pernah
mengucapkannya, dan tak ada kebaikan pada diri orang yang mendengarnya tapi
tidak melaksanakannya.
10. Taqwa kepada Allah
adalah kalimat yang memuliakan Salman Al Farisi, Shuhaib Ar Rumi, dan Bilal al
Habsyi. Akibat enggan menerima kalimat ini, maka Abu Lahab tetap terbenam dalam
kemusyrikan dan menderita dalam siksaan.
11. Taqwa kepada Allah
adalah benteng yang melindungi dikala susah dan tabungan yang sangat berguna
dikala sengsara.
12. Taqwa kepada Allah
senantiasa mendatangkan ketenangan, ketentraman, kekuatan dan keyakinan. Taqwalah
yang membuat jiwa mulia naik menuju langit. Taqwa kepada Allah adalah pengokoh
di saat kaki akan tergelincir dan menyatukan hati di kala fitnah sedang
bertebaran.Taqwa kepada Allah adalah kekayaan terbesar yang dibawa seorang
manusia di dalam relung hatinya dalam meniti kehidupan dunia.
13. Taqwa kepada Allah
adalah lentera yang benderang dan pedang yang berkilauan di kala krisis
mendera. Betapa seringnya taqwa mengusir kegundahan, menyingkap awan yang gelap,
mendatangkan rezeki, dan memudahkan urusan semasa hidup di dunia dan setelah
kematian.
Berdasarkan uraian
yang telah kami kemukakan di atas tentang pengertian dari taqwa (ketaqwaan),
pada hakikatnya taqwa itu adalah kandungan Diinul Islam secara keseluru-han,
yaitu menjalankan apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan segala larangan
serta takut kepada Allah dikala tersembunyi ataupun terang-terangan.
TAQWA
ADALAH PENGENDALIAN DIRI DAN PENJAGAAN DIRI DARI APA YANG BERTENTANGAN DENGAN
ALLAH SWT.
Akhirnya taqwa kepada
Allah bukan sekedar ucapan dan materi pelajaran yang hanya disampaikan di ruang
perkuliahan atau di atas mimbar. Tapi harus diterapkan dalam gerak nyata, dan
dalam akhlak pergaulan seorang muslim sehari hari. Yang mana hidup dan kehidupan
seseorang yang dihiasi dengan agama, keimanan dan ketaqwaan yang kuat serta
amal shaleh adalah gambaran dari taqwa itu sendiri. Karena taqwa bisa
melindungi seseorang dari perbuatan yang bermanfaat dan hawa nafsu yang hina. Yang kesemuanya menuntut
kepada kita untuk mencermati lebih dalam, sejenak berhenti dihadapan jiwa kita,
dan menelisik di mana sebenarnya posisi jiwa kita dari pelajaran agung tentang
ketaqwaan seperti yang disampaikai ayat dan hadits di atas. Lalu apakah kita
telah melakukan suatu hal yang disukai dan diridhai Allah SWT, atau apakah
sudah pula kita menjauhi apa yang menyebabkan Allah SWT murka!
Dalam sebuah
riwayat pernah dikemukakan bahwa Umar bin Al Khaththab ra, bertanya kepada Ubay
bin Ka’ab tentang arti taqwa. Ubay menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, pernahkah
Anda meniti jalan yang dipenuhi duri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay bertanya
lagi, “Apa yang Anda lakukan pada saat itu?” Umar menjawab, “Aku singsingkan
lengan bajuku dan berupaya semaksimal mungkin?’ Kemudian Ubay berkata,
“Begitulah taqwa. Jika seorang Umar sang Amirul Mukminin, yang telah dijanjikan
syurga saja masih bertanya tentang makna taqwa, dan sangat antusias untuk
merealisasikannya, maka mengapa kita yang jauh berada di bawahnya, justru malah
bermalas malasan, enggan, dan pura-pura lupa, atau bahkan pura-pura sibuk untuk
merealisasikan tujuan yang sangat mulia ini. Hal ini dikarenakan Ketaqwaan
bukanlah hal yang bisa diklaim begitu saja, atau kita akui begitu saja, bukan
pula impian yang tak ada bukti dalam realita. Taqwa adalah hakekat yang harus
diterapkan, ditampakkan dampak dan pengaruhnya dalam setiap perbuatan, tentu
saja setelah sebelumnya dikokohkan terlebih dahulu di dalam relung hati yang
paling dalam.
Taqwa
itu adalah sifat yang apabila telah bersemayam dalam diri seorang hamba, maka
akan dapat memberikan celupan (sibghah) khusus baginya. Untuk kemudian
mendorong-nya dalam melakukan ketaatan dan perbuatan baik lainnya, mencegahnya
dari keburukan dan maksiat, dan membawanya untuk menggapai pahala dari sisi
Allah. Lalu sudahkah saat ini kita semua menerapkan dalam hidup, bahwa taqwa
kepada Allah SWT tidaklah hanya saat di bulan Ramadhan saja, atau hanya saat di
masjid, atau saat berhaji ataupun berumroh di Baitullah, di tempat pengajian,
dan di majelis taklim saja. Dan sangat disayangkan tatkala sesorang
kembali ke rumahnya masing- masing, ke sawah, ke kantor dan tempat usahanya
masing masing, atau ke komunitasnya masing- masing, dia kembali dalam
keterlenaan, yang seharusnya tetap menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah
SWT.
Untuk
itu segera tanamkanlah sikap taqwa pada jiwa kita, pada istri (suami) kita,
pada anak dan keturunan kita, pada profesi, pada ucapan dan tindak tanduk kita.
Untuk itu simaklah firman Allah SWT berikut ini: “Wahai anak cucu Adam!
Sesungguhnya kami telah menye-diakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk
perhiasan bagimu. Tetapi pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian
itu adalah sebagian dari tanda tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka
selalu ingat. (surat Al A’raf (7) ayat 26).” Ayat ini mengarahkan
kepada kita semua untuk selalu memakai pakaian berupa pakaian taqwa. Dan semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk
dalam golongan orang orang yang bertaqwa yang senantiasa berbuat kebajikan, dan
selalu selalu berbusanakan (berpakaian) taqwa sepanjang hayat masih dikandung
badan.
Sebagai penutup bab ini, kami ingin mengajak
jamaah sekalian untuk memperhatikan 2 (dua) buah hadits yang kami kemukakan
berikut ini:
1. Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta'ala berfirman: Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah
padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Muslim dan
Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu Hurairah ra: 272:
67).”
2.
Watsilah
bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku selalu
menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku
maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka
kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits
Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71).”
Berdasarkan ketentuan
2 (dua) buah ketentuan hadits di atas ini, maka dapat dikatakan bahwa 8 (delapan)
hal yang telah kami kemukakan di atas yang berhubungan langsung de-ngan Allah
SWT kesemuanya sangat tergantung kepada kualitas dari ilmu dan pemahaman yang
dimiliki oleh diri kita sendiri yang kesemuanya akan tercermin dalam bentuk
sangkaan atau persepsi seorang hamba kepada Tuhan-Nya.
Dan yang harus kita jadikan pedoman adalah Allah SWT akan
melaksanakan prinsip keadilan kepada diri kita dengan melakukan hal yang sama
kepada diri kita. Katakan jika kita berpersepsi atau berprasangka kepada Allah
SWT sebatas biasa-biasanya maka Allah SWT pun akan melakukan hal yang sama
yaitu biasa-biasa saja. Namun apabila kualitas dari ilmu dan pemahaman serta
persang-kaan kita yang luar biasa maka Allah SWT pun akan luar biasa pula
memperhatikan diri kita. Semoga apa yang kami kemukakan ini mampu menghantarkan diri
kita semua (jamaah sekalian) memiliki ilmu dan pemahaman serta persangkaan yang
luar biasa tentang Allah SWT sehingga memudahkan diri kita memiliki kualitas
ketauhidan yang luar biasa di sisa usia yang kita miliki. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar