Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Selasa, 02 Januari 2024

JALAN MENUJU KETAUHIDAN DALAM DIRI (PART 3 OF 3)

   

D.     SUJUD, PATUH, BERTASBIH KEPADA ALLAH SWT SELURUH ALAM.

 

Sekarang mari kita melihat dan memperhatikan Allah SWT melalui patuh, tunduk, sujud dan bertasbihnya seluruh alam kepada Allah SWT seperti yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 18 berikut ini: “Apakah kamu tiada mengetahui, bahwa kepada Allah bersujud apa yang ada di langit, di bumi, matahari, bulan, bintang, gunung, pohon-pohonan, binatang-binatang yang melata dan sebagian besar daripada manusia? dan banyak di antara manusia yang telah ditetapkan azab atasnya. dan Barangsiapa yang dihinakan Allah Maka tidak seorangpun yang memuliakannya. Sesungguhnya Allah berbuat apa yang Dia kehendaki.”

 

Dan juga berdasarkan surat Al Hadiid (57) ayat 1 berikut ini: “semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Serta berdasarkan surat An Nuur (24) ayat 41 sebagaimana kami kemukakan berikut ini: “Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembang-kan sayapnya. Masing masing  sungguh telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.

 

Berdasarkan ke tiga ayat yang kami kemukakan di atas ini, seluruh apa apa yang ada di langit dan di bumi, seperti bulan, bintang, gunung, hewan, tumbuhan, burung, air, udara, bakteri, kuman, dan virus masing masing telah mengetahui (cara) berdoa, cara tunduk patuh, cara bersujud, serta cara bertasbih kepada Allah SWT. Sedangkan berdasarkan surat Al Israa’ (17) ayat 44 berikut ini: “langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” Ayat ini mengemukakan bahwa cara bertasbihnya, cara tunduk patuh-nya segala apa-apa yang diciptakan oleh Allah SWT tidak dimengerti oleh manusia. Manusia hanya bisa melihat sisi keteraturan dari ciptaan Allah SWT semata. Untuk itu lihatlah keteraturan matahari, bulan, bumi yang beredar sesuai dengan garis edarnya masing masing sebagai bentuk ketertundukkan mereka kepada Allah SWT. Dalam hal ini terhadap apa apa yang telah ditetapkan berlaku kepadanya. Tidak ada satupun yang keluar jalur dari apa apa yang telah  ditetapkan Allah SWT berlaku kepada seluruh apa apa yang telah diciptakannya.

 

Kita juga bisa mendengar langsung kicauan burung, namun pernahkah kita tahu dan mengerti isi dari kicauan burung tersebut. Namun yang jelas adalah burung berkicau bukanlah sembarangan berkicau, tetapi itu juga bermakna sebagai salah satu wujud bertasbihnya burung kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allahlah bertasbih apa yang di langit dan di bumi dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan. (surat An Nuur (24) ayat 41).

 

Dan ingat tasbihnya burung bukanlah tasbih untuk meminta balasan, tetapi tasbihnya sebagai wujud dari patuh dan taatnya burung kepada Allah SWT tanpa pamrih. Dan jika burung dengan kasat mata sudah mampu memperlihatkan secara langsung tasbihnya kepada Allah SWT dihadapan diri kita lalu bagaimana dengan diri kita? Jika kita tidak mampu bertasbih sebagai wujud patuh dan taatnya diri kita kepada Allah SWT berarti tidak berlebihan jika burung lebih baik dari diri kita.

 

Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan merasa jengkel dan rasanya sangat marah jika kita memberikan sesuatu kepada orang lain, katakanlah memberikan sejumlah uang, lalu uang tersebut dipergunakan untuk foya-foya, atau untuk membiayai perbuatan maksiat, atau untuk berjudi. Hal yang sama juga terjadi pada padi, air dan udara yang juga merasa jengkel, marah, tidak suka, kepada manusia yang perilakunya sangat berseberangan dengan perilaku dirinya sedangkan manusia itu sendiri mempergunakan diri mereka untuk kebutuhan hidup sehari-hari.  

 

Untuk itu jangan pernah salahkan tikus ataupun juga wereng jika ia menjadi hama padi atau memakan padi secara sporadis sebab padi lebih suka, padi lebih ikhlas, padi lebih rela di makan oleh tikus dan juga wereng karena mereka semua sama-sama bertasbih dan sujud kepada Allah SWT seperti yang padi lakukan dibandingkan dengan manusia atau petani yang mengolah padi atau jangan pernah salahkan air dan juga udara jika air tiba-tiba menjelma menjadi banjir bandang atau malah menghilang atau jika udara yang bergerak menjelma menjadi angin puting beliung atau bahkan menjadi badai yang menghancurkan dan meluluh lantakkan apa-apa yang ditemuinya.

 

Jika saat ini masih hidup berarti kita hidup di muka bumi. Dimana bumi beserta apa apa yang ada di dalamnya semuanya bertasbih, sujud serta patuh kepada Allah SWT. Lalu apa yang terjadi jika udara yang kita hirup, air yang kita konsumsi, yang kesemuanya diciptakan oleh Allah SWT sehingga kesemuanya tidak bisa melepaskan diri dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT melakukan ketertundukan kepada Allah SWT sedangkan kita yang menghirup udara dan mengkonsumsi air justru bersikap bertolak belakang dengan melakukan keengkaran kepada Allah SWT?

 

Jika sampai ini terjadi pada diri kita berarti terjadilah apa yang dinamakan dengan ketidakridhaan dari bumi, dari udara, dari air kepada diri kita. Air yang seharusnya membawa berkah justru membawa bencana. Udara yang seharusnya nyaman justru menja-di bencana atau bumi yang seharusnya tenang menjadi bergejolak karena ulah kita yang berseberangan dengan apa yang dilakukan yaitu tunduk, patuh, bertasbih kepada Allah SWT. Dan sekali lagi kami kemukakan, jangan pernah salahkan padi yang lebih suka dima-kan wereng dan tikus dikarenakan keduanya bertasbih kepada Allah SWT dibandingkan dengan petaninya yang bersikap sesuai dengan kehendak syaitan. Jangan pernah salahkan air yang menjadi bencana karena ulah manusia yang merusak sunnatullah yang berlaku pada air, yaitu air selalu turun dari atas ke bawah (mencari tempat yang lebih rendah).

 

Dan selanjutnya jika kita menyadari bahwa bukan kita yang menciptakan apa-apa yang ada di langit dan di bumi maka tidak ada jalan lain kitapun harus menyesuaikan diri dengan apa apa yang ada di langit di bumi yaitu tunduk, patuh serta berstasbih kepada Allah SWT seperti tunduk, bertasbihnya makhluk makhluk Allah SWT yang ada di muka bumi saat ini juga. Jangan pernah menunda nunda untuk berbuat hal seperti ini karena kesempatan untuk berbuat hanya ada pada sisa usia yang kita miliki.

 

E.    YANG MENURUNKAN AIR HUJAN DARI LANGIT LALU MENYUBURKAN TANAH.

 

Sekarang mari kita lihat dan memperhatikan sisi lain dari Allah SWT melalui hujan yang diturunkan dari langit yang dikemukakan dalam surat Al Hajj (22) ayat 63 berikut ini: Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.” Lalu perhatikan juga apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Al Zumar (39) ayat 21 berikut ini: “Apakah kamu tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Allah menurunkan air dari langit, Maka diaturnya menjadi sumber-sumber air di bumi kemudian ditumbuhkan-Nya dengan air itu tanam-tanaman yang bermacam-macam warnanya, lalu menjadi kering lalu kamu melihatnya kekuning-kuningan, kemudian dijadikan-Nya hancur berderai-derai. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal.”  

 

Kedua ayat di atas ini, menunjukkan kepada diri kita bahwa secara kasat mata kita tidak bisa melihat Allah SWT. Akan tetapi kita bisa secara kasat mata mampu melihat Allah SWT melalui salah satu ciptaan-Nya yaitu Allah SWT menurunkan air melalui hujan yang turun dari langit.

 

Hujan bisa kita lihat dan kita rasakan secara langsung saat kita hidup di muka bumi ini, namun hujan yang kita lihat  dan rasakan bukanlah semata mata ciptaan Allah SWT. Hujan juga merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Dan dengan adanya hujan yang tidak lain adalah tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT berarti Allah SWT pasti ada dan tidak ghaib keberadaannya, hal ini terbukti dari adanya hujan yang merupakan tanda tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT.Lalu dimanakah Allah SWT itu? Allah SWT pasti ada di balik keberadaan air yang turun melalui hujan (Allah SWT tersembunyi dibalik keberadaan air yang turun melalui hujan) sehingga di setiap air yang turun melalui hujan dapat dipastikan ada Allah SWT yang menyertainya. Sekarang ada apa dibalik turunnya air melalui hujan? Air yang turun melalui hujan bukanlah semata mata turunnya air dari langit untuk menyuburkan tanah.

 

Air yang turun melalui hujan juga merupakan cara dan metode Allah SWT untuk mensirkulasi air dari satu tempat ke tempat lain serta metode Allah SWT untuk menambah jumlah air yang ada dan yang dibutuhkan di muka bumi untuk seluruh makhluknya. Adanya kondisi ini menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT sangat berkuasa kepada air dan juga kepada hujan, termasuk di dalamnya berkuasa terhadap air yang sudah ada di bumi. Jika hal ini sudah ditunjukkan oleh Allah SWT melalui air yang turun melalui hujan dan juga melalui air yang ada di muka bumi, lalu bisakah kita menciptakan hujan dan juga air? Sampai dengan kapanpun juga manusia termasuk diri kita tidak akan mampu menurunkan hujan dan juga menciptakan air dan hal ini juga dibuktikan dengan tidak adanya produk substitusi atau produk pengganti yang bisa menggantikan air.

 

Kita hanya bisa melihat, menyaksikan, mendengar, merasakan turunnya air melalui hujan serta hanya bisa mempergunakan air untuk kepentingan hidup dan kehidupan kita. Lalu apa yang harus kita sikapi dengan kondisi ini? Jadikan ketentuan yang ada di dalam hadits berikut ini sebagai pernyataan keimanan diri kita. Ibn Mas’ud ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: Sesungguhnya barangsiapa berkata: Hujan telah turun kepada kami karena bintang ini atau bintang itu, maka sungguh ia telah kufur kepada-Ku dan beriman kepada bintang itu. Sebaliknya barangsiapa berkata: Allah telah menurunkan hujan kepada kami, maka ia telah beriman kepada-Ku dan kufur kepada bintang itu. (Hadits Qudsi Riwayat Ath Thabrani; 272:33). Hadits ini melarang diri kita untuk mengatakan bahwa hujan turun karena bintang ini dan bintang itu, atau karena sebab sebab yang bersifat klenik. Kita wajib mengatakan bahwa hujan turun karena Allah SWT semata.

 

Selanjutnya yang harus kita sikapi adalah kita harus bersikap dan berbuat serta melakukan seperti air yang air lakukan kepada Allah SWT yaitu sujud, patuh dan tunduk serta bertasbih kepada Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (surat Al Hadiid (57) ayat 1).” Jika sampai kita berseberangan dengan air maka air tidak akan pernah ridha jika kita konsumsi dan pergunakan untuk kepentingan hidup dan kehidupan kita sehingga air lebih suka menjadi banjir ketimbang diambil manfaatnya oleh diri kita. 

 

Di lain sisi, walaupun diri kita sudah berkesesuaian dengan perilaku dan perbuatan air tidak serta merta kita bisa memperlakukan air dengan sekehendak hati kita. Agar air mau memberikan manfaat secara sukarela atau ridha dimanfaatkan oleh diri kita maka kita diwajibkan oleh Allah SWT untuk membaca Basmallah sebelum memanfaatkan air. Dengan diri kita membaca Basmallah berarti kita telah mengatakan kepada air yaitu atas nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Penyayang, engkau ku konsumsi (engkau ku pergunakan) maka ridhalah air kepada diri kita.

 

Sekarang lihatlah tubuh kita yang sebahagian besar terdiri dari unsur air yang berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari air sedangkan kita tidak bisa menciptakan air. Jika sudah seperti ini keadaannya maka kita harus menghargai air, menghormati air sebagai bagian yang tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT selaku penciptanya. Terkecuali jika kita tidak lagi membutuhkan air, berbuatlah semena-mena terhadap air lalu bersiaplah merasa-kan betapa tidak enaknya, betapa susahnya hidup tanpa air.

 

Air sangat kita butuhkan, namun jika sesuatu yang kita butuhkan justru kita berlakukan tidak sesuai dengan apa yang dilakukan oleh air kepada Allah SWT berarti kita juga telah  mengabaikan, atau tidak memperdulikan Allah SWT selaku pencipta yang selalu menyertai air. Kondisi inilah yang paling berbahaya yaitu kita butuh kepada air namun meniadakan atau mengabaikan Allah SWT selaku pencipta air dan yang juga selalu menyertai air dimanapun air berada.

 

Jika ini yang terjadi Allah SWT menjadi murka kepada diri kita dan air yang seharusnya bermanfaat bagi kita tetapi justru menyerang diri kita melalui banjir, kekeringan dan lain sebagainya. Ayo sadari dengan sesadar sadarnya bahwa Allah SWT selalu berada di balik keberadaan air sampai kapanpun juga lalu bijak dan berhematlah saat memper-gunakan air dalam hidup dan kehidupan kita karena air juga sangat dibutuhkan oleh anak dan keturunan diri kita sendiri yang akan ada di kemudian hari. Jangan sampai kita menganiaya mereka karena ulah diri kita yang tidak peduli dengan air. 

 

F.  YANG MENCIPTAKAN, YANG MENGHIDUPKAN DAN YANG MEMATI-KAN UMAT MANUSIA.

 

Sekarang mari kita lihat Allah SWT melalui penciptaan manusia, melalui proses menghidupkan dan melalui proses mematikan manusia yang ada di muka bumi ini. Kita bisa melihat secara kasat mata orang yang sedang mengandung anak, kita bisa juga melihat bayi yang baru dilahirkan dan juga kita bisa melihat secara langsung orang yang meninggal dunia. Lalu siapakah diri kita? Apakah diri kita juga termasuk yang dikemukakan dalam surat Al Mu’min (40) ayat 67, 68, 69 berikut ini:“Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya). Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan, Maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", Maka jadilah ia. Apakah kamu tidak melihat kepada orang-orang yang membantah ayat-ayat Allah? Bagaimanakah mereka dapat dipalingkan?” Jawaban dari pertanyaan ini adalah kita termasuk yang diciptakan oleh Allah SWT yang lalu diangkat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi.

 

Kita juga merupakan tanda tanda dari kebesaran dan kemahaan Allah SWT serta kebera-daan diri kita tidak bisa dilepaskan dari Allah SWT karena Allah SWT selalu menyertai diri kita dimanapun kita berada, sebagaimana hadits berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam, jika engkau ingat kepadaKu pasti Aku juga akan ingat kepadamu, dan bila engkau lupa kepada-Ku Akupun akan ingat kepadamu. Dan jika engkau taat kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan dengan engkau dan engkau berkawan dengan Aku. Engkau berpaling dari-Ku padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan di kala engkau masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai terlaksanalah kehendak-Ku atas dirimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam dunia engkau banyak berbuat maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu”.(Hadits Riwayat Abu Nashr Rabiah bin Ali al Ajli dan Ar Rafi’i; 272:182).

 

Dan ingat, kita juga akan dimatikan oleh Allah SWT dengan cara memisahkan ruh dengan jasmani pada saat yang telah ditentukan-Nya. Ruh akan pulang sementara waktu ke alam barzakh sedangkan jasmani akan dimakamkan di tanah (tempat pemakaman) sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), Sesungguhnya manusia itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat. (surat Al Hajj (22) ayat 66).” Adanya ketentuan ini maka dapat kita pastikan bahwa kematian itu adalah suatu kepastian yang akan terjadi pada diri manusia.

 

Adanya orang yang meninggal dunia menunjukkan kepada diri kita bahwa Allah SWT Maha Berkuasa di muka bumi, yaitu selain mampu menghidupkan juga mampu pula mematikan manusia. Lalu apakah ketentuan ini hanya berlaku untuk orang lain kepada diri kita tidak? Ketentuan mematikan berlaku kepada seluruh umat manusia termasuk di dalamnya diri kita pasti akan dimatikan oleh Allah SWT. Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti saat ini kita sedang menuju ke liang kubur (menuju kematian). Dan yang harus kita yakini adalah kecepatan menuju liang kubur bersifat konstan yaitu berkecapatan 60 (enam puluh) menit per jam serta kita juga telah diingatkan oleh Allah SWT untuk memanfaatkan sisa usia yang ada pada saat ini terkecuali jika kita bermaksud mengingkari nikmat Allah SWT.

 

Jangan sampai terlambat memanfaatkan sisa usia yang tersedia karena kita tidak tahu kapan Malaikat Maut datang kepada diri kita serta yang pasti adalah pesan pesan dari Malaikat Maut sudah sampai kepada diri kita melalui mata yang sudah tidak awas lagi, melalui semangat yang sudah mengendur, melalui kaki dan tangan yang sekarang sudah mulai gemetar dan lemah serta melalui rambut yang sudah tidak hitam lagi. Dan hal yang harus kita ingat adalah mati, atau suatu kematian adalah kepastian yang tidak bisa kita hindari.

Tidak harus kaya dahulu baru mati, tidak harus tua dahulu baru mati, tidak harus memiliki jabatan dahulu baru mati, tidak harus sarjana dahulu baru mati, tidak harus berhaji dahulu baru mati, tidak harus berkeluarga dahulu baru mati. Mati adalah rahasia Allah SWT  lalu sudahkah diri kita mempersiapkan diri untuk menuju kematian? Ayo gunakan waktu yang tersisa dengan manaje-men waktu yang baik dan benar karena waktu tidak bisa diputar ulang dan jangan sampai diri kita menjadi yang merugi di akhirat kelak.

 

Sekarang semuanya sangat terpulang kepada diri kita sendiri, mampukah kita melihat kebesaran dan kemahaan Allah SWT melalui kematian manusia serta yang juga pasti terjadi pada diri kita. Jika saat ini kita masih hidup berarti kita sedang menuju kepada kematian namun nomor urut belum sampai kepada diri kita. Ayo segera persiapkan kematian dengan sebaik baiknya karena kecepatan menuju liang kubur memiliki rumus kecepatan tertentu, yaitu: 60 (enam puluh) menit per jam. Rumus ini berlaku konstan dan akan mengurangi dengan pasti sisa usia yang kita miliki sampai habis jatah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT kepada diri kita.Tidakkah kita menyadarinya!

 

G.    YANG MEMPERGANTIKAN SIANG DAN MALAM.

 

Sekarang mari kita lihat dan perhatikan Allah SWT melalui mata telanjang dari sisi yang lain. Kita bisa melihat terjadinya silih bergantinya malam dan siang seperti yang terdapat di dalam surat Ali Imran (3) ayat 190 berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” dan juga yang terdapat dalam surat Yunus (10) ayat 6 berikut ini:“Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang- orang yang bertakwa.”  Dan masih berdasarkan ayat di atas bahwa terjadinya pertukaran malam dan siang merupakan tanda-tanda dari kemahaan dan kebesaran serta kekuasaan Allah SWT bagi orang yang berakal dan juga bagi orang yang bertaqwa.

 

Adanya syarat yang dikemukakan oleh Allah SWT tentang silih bergantinya siang dan malam di atas, menunjukkan kepada diri kita hanya orang orang yang berakal dan hanya orang orang yang bertaqwa yang mampu menyatakan bahwa adanya siang dan malam merupakan adalah tanda-tanda kebesaran dan kemahaan serta kekuasaan Allah SWT. Sekarang bagaimana dengan orang yang tidak memenuhi kriteria di atas? Adanya perbedaan kriteria akan menghasilkan pernyataan yang berbeda pula. Orang yang tidak memenuhi kriteria di atas akan menyatakan silih bergantinya malam dan siang adalah proses alam.

 

Silih bergantinya siang dengan malam akan melahirkan apa yang dinamakan dengan waktu. Lahirnya waktu akan memudahkan diri kita melaksanakan ibadah ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT berlaku,  yang kesemuanya sangat berhubungan erat dengan waktu. Mendirikan shalat lima waktu terikat dengan waktu, melaksanakan puasa Ramadhan terikat dengan waktu, menunaikan zakat maal terikat dengan waktu (dalam hal ini haulnya), melaksanakan ibadah Haji juga terikat dengan waktu seperti Wukuf di Arafah, mabid di Muzdalifah, melontar Jumroh, serta berkurban.  Sekarang apa jadinya jika Allah SWT tidak mempergan-tikan siang dan malam? Dapat dipastikan kita akan susah untuk melaksanakan ibadah yang telah diperintahkan Allah SWT dan bingung kapan akan istirahat dan kapan akan bekerja. 

 

Dan jika saat ini kita masih hidup di muka bumi ini berarti kita akan berhadapan dengan waktu-waktu untuk beribadah. Dimana waktu waktu ibadah tidak bisa terlepas dari kebesa-ran dan kemahaan Allah SWT serta Allah SWT bersama dengan waktu tersebut. Untuk itu sadarilah sejak saat ini juga bahwa pada saat diri kita melaksanakan atau menunaikan ibadah selalu berada di dalam waktu yang Allah SWT miliki lalu apakah kita akan menyia-nyiakan ibadah dengan berlaku tergesa gesa, terburu buru serta tanpa ada kekhusyuan sama sekali? Alangkah ruginya jika kita tidak mampu beribadah sesuai dengan kehendak Allah SWT pada waktu untuk beridah hanya ada pada sisa usia kita.  

 

Bicara waktu, maka kita akan berhadapan dengan ketentuan tentang waktu yang menyatakan waktu adalah uang (maksudnya waktu sangat berharga laksana uang) dan juga waktu adalah modal dasar kehidupan karena di dalamnya ada kesempatan bagi diri kita untuk berbuat dan melaksanakan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya dan juga sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Dan jika kita termasuk orang yang berakal maka kita harus mengetahui dan menyadari bahwa kehidupan dunia tidak digunakan untuk bersenang senang. Oleh karena itu kita harus berhati hati dalam mempergunakan dan memanfaatkan waktu dalam setiap kesempatan. Ingat, di dalam ketentuan waktu juga berlaku ketentuan “waktu tidak bisa diputar ulang serta menyesal ada-nya di kemudian hari”. Jika kita termasuk orang yang beriman dan beramal shaleh maka kita harus memanfaatkan waktu karena yang singkat adalah waktu serta waktu bukanlah sesuatu yang menunggu diri kita. 

 

Hal yang harus pula kita ketahui dengan kesadaran yang tinggi adalah waktu adalah harta yang paling berharga saat kita hidup di dunia ini. Hal ini dikarenakan hanya di dalam waktu yang tersisalah kita bisa melakukan apa apa yang dikehendaki Allah SWT dan hanya di dalam waktu itupula kita bisa menikmati apa yang dinamakan dengan harta kekayaan, kesenangan dunia serta merasakan nikmatnya bertuhankan kepada Allah SWT dan juga bisa berbuat kebaikan. Jangan sampai kita lalai saat masih berusia muda serta menyesal di hari tua akibat tidak bisa memanfaatkan waktu. Menyesal dan penyesalan tidak ada gunanya jika waktu telah berlalu karena jika waktu habis berarti selesai sudah hidup kita di dunia ini. Ayo segera manfaatkan waktu itu sebelum diri kita ditinggalkan oleh sang waktu. 

 

H. YANG MENJADIKAN MANUSIA BERMACAM MACAM SUKU BANGSA, RAS DAN WARNA KULIT DAN MENJADIKAN TAQWA SEBAGAI PARAMETER PENILAIAN.

 

Kita juga bisa melihat Allah SWT melalui bermacam macam suku bangsa yang ada di muka bumi ini, melalui adanya perbedaan suku, melalui bermacam macam ras, melalui keturunan, melalui warna kulit dan juga melalui berbagai macam bahasa yang diperguna-kan oleh umat manusia serta melalui perbedaan adat dan kebiasaan yang sangat beragam.

 

Hal ini seperti yang termaktub dalam surat Al Hujurat (49) ayat 13 berikut ini: “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” dan juga berdasarkan surat Ar Ruum (30) ayat 22 sebagaimana berikut ini:“dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” Allah SWT menciptakan perbedaan perbedaan (prinsip heterogen) hal ini bukanlah tanpa maksud dan tujuan yang tertentu, terutama untuk saling kenal mengenal diantara satu dengan yang lainnya dan juga untuk menunjukkan begitu luar biasanya kemahaan dan kebesaran Allah SWT dalam menciptakan manusia.

 

Hal yang harus kita jadikan pedoman saat hidup di muka bumi ini adalah adanya perbedaan bangsa, suku, ras, keturunan, warna kulit, bahasa, budaya, adat istiadat bukanlah parameter yang dipergunakan oleh Allah SWT untuk menilai keberhasilan manusia saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi. Allah SWT telah memiliki parameter tersendiri di dalam menilai keberhasilan abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi, dalam hal ini adalah parameter ketaqwaan. Hal ini sebagai-mana dikemukakan dalam 2 (dua) buah hadits berikut ini: “Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak memandang kepada bentuk tubuh dan harta benda kalian, tetapi memandang kepada hati dan amal perbuatan kalian”. (Hadits Riwayat Muslim dan Ibnu Majah).”

 

Nabi Muhammad SAW bersabda: “At Taqwa ha Huna,” (taqwa itu disini,.…sambil menunjuk dadanya). Ia mengisyaratkan bahwa letak dari sebuah ketaqwaan adalah di dalam hati. (Hadits Riwayat Muslim)

 

Adanya parameter ketaqwaan yang diterapkan oleh Allah SWT maka Allah SWT tidak akan pernah memandang bangsa, tidak akan pernah memandang suku, tidak akan pernah memandang ras, tidak akan pernah memandang keturunan, tidak akan penah memandang harta, tidak akan pernah memandang pangkat dan jabatan, tidak akan pernah memandang warna kulit dan juga tidak akan pernah memandang bahasa yang dipergunakan, tidak memandang penampilan manusia dari penampilan kulit luarnya saja, apalagi menilai berdasar-kan budaya dan adat istiadat seseorang. Jika sudah seperti ini maka tidak ada jalan lain bagi diri kita yang saat ini masih diberi kesempatan hidup di muka bumi untuk segera membuang jauh jauh paham dan pengertian hanya bangsa tertentu, suku tertentu, pendidikan tertentu, keturunan tertentu, ras tertentu, warna kulit tertentu, pangkat dan jabatan tertentu, memiliki kekayaan tertentu, budaya dan adat istiadat tertentu, bahasa tertentu, penampilan tertentu, yang lebih baik dibandingkan dengan yang lain.  

 

Disinilah letak adanya prinsip heterogen dalam hidup dan kehidupan manusia dan keten-tuan ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT dan dari sini pulalah kita bisa melihat Allah SWT secara kasat mata Allah SWT melalui prinsip heterogenitas manusia dan prinsip heterogenitas ini menjadi tanda-tanda dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT serta di balik keberadaan prinsip heterogenitas ini ada Allah SWT yang selalu menyertainya. Dan disinilah letaknya betapa kebesaran yang lainnya yaitu meletakkan paremeter tersendiri di dalam menilai manusia yang begitu heterogen melalui kualitas ketaqwaan. Semakin baik (semakin berkualitas) tingkat ketaqwaan seseorang maka semakin baik seseorang dihadapan Allah SWT dan sebaliknya sebaik buruk tingkat ketaqwaan seseorang maka semakin buruk pula seseorang dihadapan Allah SWT.

 

Dan jika sekarang ada kelompok (organisasi) tertentu yang tidak bisa menerima konsep heterogenitas sehingga menyatakan hanya golongannya saja yang terbaik, hanya kelompok-nya saja yang diterima oleh Allah SWT dan yang lain tidak. Bertanyalah kepada hati nurani kita sendiri, siapakah diri kita dan siapakah Allah SWT? Jangan sampai kita yang menumpang di langit dan di bumi Allah SWT lalu berbuat seolah-olah kitalah tuan rumah yang menggantikan kedudukan Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari langit dan bumi, atau menjadi fir’aun-fir’aun generasi baru yang mengaku dirinya Tuhan. Dan semoga kondisi ini tidak menimpa diri kita, dan juga kepada anak keturunan kita nantinya.

 

Sebagai orang yang akan dinilai tingkat ketaqwaannya oleh Allah SWT maka kita tidak bisa menentukan sendiri bahwa kita telah bertaqwa kepada Allah atau menyatakan diri telah bertaqwa kepada Allah dengan mempergunakan parameter yang kita tentukan sendiri. Adanya kondisi ini kita tidak tahu berapa tingkat ketaqwaan kita, hanya Allah SWT sajalah yang tahu berapa sebenarnya tingkat (kualitas) ketaqwaan yang kita miliki. Jangan sampai kita merasa atau mengaku ngaku telah bertaqwa kepada Allah SWT padahal kenyataannya tidak sesuai dengan konsep yang telah Allah SWT tetapkan, yaitu Allah SWT sajalah yang berhak menilai ketaqwaan seseorang. Dan jika ini keadaannya berarti kita harus segera memiliki ilmu tentang ketaqwaan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT saat ini juga karena kita sangat berkepentingan dengan kualitas taqwa tersebut. Sekarang mari kita pelajari apa itu arti taqwa (ketaqwaan) yang akan dijadikan sebagai parameter dasar bagi penilaian manusia oleh Allah SWT. Kata taqwa di dalam AlQuran terulang sebanyak 259 (dua ratus lima puluh sembilan) kali dengan makna yang sangat beragam sehingga taqwa (ketaqwaan) memiliki makna yang sangat luas sehingga tidak bisa bisa didefinisikan dalam satu definisi semata.

 

Luasnya pengertian dari taqwa mengharuskan diri kita untuk belajar dari waktu ke waktu dari satu pengertian ke pengertian lainnya. Dimana masing masing pengertian dari taqwa (ketaqwaan) itu sendiri selalu saling lengkap-melengkapi, yang menunjukkan betapa dalam-nya makna yang terkandung di balik kata taqwa (ketaqwaan) itu.

 

1.    Secara etimologi (bahasa)  taqwa  berasal  dari kata waqa, yaqi, wiqayah yang arti-nya menjaga diri, menghindari dan menjauhi atau mencegah dari sesuatu yang dibenci dan dilarang Allah. Secara terminologi taqwa berarti takut kepada Allah SWT berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya serta takut terjerumus dalam perbuatan dosa.

 

2.    Ibnu Abbas ra, mendefinisikan, taqwa adalah takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan kepada-Nya. Ketika Abu Dzar Al Ghifari meminta nasihat kepada Rasulullah SAW, maka pesan paling pertama dan utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu adalah taqwa. Kata Rasulullah SAW, “Saya wasiatkan kepadamu, bertakwalah engkau kepada Allah karena takwa itu adalah pokok dari segala perkara”.

 

3.     Taqwa kepada Allah adalah rasa takut, takzim dan kagum kepada Allah SWT serta mengakui superioritas Allah SWT. Alhasil dari pernyataan ini adalah kita bukanlah apa-apa dibandingkan dengan Allah SWT. Taqwa juga dapat dikatakan sebagai takut-nya diri kita akan hukum; ketentuan; aturan yang berasal dari Allah SWT termasuk di dalamnya takut akan azab yang akan ditimpakan oleh Allah SWT kepada yang melanggar aturan-Nya. Sebagaimana dikemukakan dalam surat Al Baqarah (2) ayat 40 berikut ini: “Wahai Bani Israil, Ingatlah nikmatKu yang telah Aku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi janjiKu kepadamu, dan takutlah kepadaKu saja. (surat Al Baqarah (2) ayat 40)”

 

4.    Taqwa kepada  Allah  adalah  taat dan  beribadah  yang  sesuai dengan kehendak Allah. Alhasil dari pernyataan ini adalah ibadah yang kita lakukan bukanlah menjadi sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan bagi diri kita. Sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 102 berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar benar takwa kepadaNya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.”  Ayat ini mengemukakan bahwa taqwa kepada Allah adalah taat dan beribadah yang sesuai dengan kehendak Allah. Alhasil dari pernyataan ini adalah ibadah yang kita lakukan bukanlah menjadi sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan bagi diri kita.

 

5.  Taqwa kepada Allah adalah menyucikan hati dari noda dan dosa, sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nur (24) ayat 52 berikut ini: “Dan barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya serta takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, mereka itulah orang orang yang mendapatkan kemenangan.”

 

6.    Taqwa kepada Allah adalah wasiat (perintah) yang ditujukan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Dan milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada Allah. Tetapi jika kamu ingkar (ketahuilah), milik Allah lah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Mahaterpuji. (surat An Nisaa’ (4) ayat 131)

 

7.    Taqwa kepada Allah adalah jalan menggapai keberuntungan dan kemenangan, hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang orang yang mempunyai akal sehat, agar kamu beruntung.” (surat Al Maidah (5) ayat 100)

 

8.    Taqwa kepada Allah adalah bekal menuju hari pembalasan, sebagaimana dikemu-kakan dalam firman-Nya berikut ini: “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepadaKu hai orang orang yang berakal.” (surat Al Baqarah (2) ayat 197)

 

9.    Taqwa adalah memelihara diri dari terputusnya hubungan antara diri kita dengan Allah SWT dengan selalu patuh dan taat kepada apa yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran, penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mengapa  kamu tidak bertaqwa (kepadaNya)? (surat Yunus (10) ayat 31)

 

10. Taqwa kepada Allah adalah melindungi dari dari apa yang merugikan diri dan merusak diri di akhirat. Semakin diri ini dibatasi, semakin baik diri ini.

 

11.  Taqwa adalah taat dan patuhnya diri kita kepada apa apa yang diperintahkan-Nya dan yang telah dilarang oleh Allah SWT sehingga ia mampu menjadi penegak keadilan serta tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya serta selalu menjaga hubungan baik diantara sesama manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (surat Al Maaidah (5) ayat 8).”

 

Selain 11 (sebelas) pemaknaan dari taqwa (ketaqwaan) yang telah kami kemukakan di atas, masih terdapat beberapa pemaknaan lainnya dari taqwa (ketaqwaan), sebagaimana akan kami kemukakan berikut ini:

 

1.     Taqwa kepada Allah adalah melindungi dari dari apa yang merugikan diri dan me-rusak diri di akhirat. Semakin diri ini dibatasi, semakin baik diri ini.

2.    Taqwa  kepada  Allah  adalah  takut  kepada Allah dan menjaga diri dari kedur-janaan, keburukan, kejahatan, kekejiaan, dan dosa.

3.    Taqwa kepada Allah adalah cahaya di dalam hati, sedangkan dampak dan penga-ruhnya akan nampak jelas di dalam perbuatan anggota tubuh dan hati.

4.       Taqwa kepada Allah adalah cahaya yang Allah tempatkan dalam hati orang orang yang beriman. Tak ada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah dan tak ada yang mengetahui siapa yang paling bertakwa, kecuali Allah SWT.

5.   Taqwa kepada Allah adalah sifat teragung yang bersemayam di dalam diri orang beriman, taat, dan memiliki jiwa ikhsan, sehingga taqwa adalah sifat yang melekat sangat kuat dalam hati dan nurani mereka.

6.     Taqwa kepada Allah adalah kalimat yang tidak asing dikalangan manusia, akan te-tapi yang mampu melaksanakannya sangatlah sedikit.

7.    Taqwa kepada Allah adalah faktor kemenangan, sumber kebaikan dan perbaikan. Orang yang memiliki sifat ini akan hidup dalam keberuntungan, tak akan pernah sengsara apalagi menderita.

8.     Taqwa kepada Allah adalah pilar yang menopang orang beriman di dunia, cahaya yang akan menerangi kuburnya, dan petunjuk yang akan menuntunnya di akhirat menuju syurga yang penuh kenikmatan.

9.     Taqwa kepada Allah adalah kalimat agung. Tak ada kebaikan bagi kita jika kita tak pernah mengucapkannya, dan tak ada kebaikan pada diri orang yang mendengarnya tapi tidak melaksanakannya.

10. Taqwa kepada Allah adalah kalimat yang memuliakan Salman Al Farisi, Shuhaib Ar Rumi, dan Bilal al Habsyi. Akibat enggan menerima kalimat ini, maka Abu Lahab tetap terbenam dalam kemusyrikan dan menderita dalam siksaan.

11.  Taqwa kepada Allah adalah benteng yang melindungi dikala susah dan tabungan yang sangat berguna dikala sengsara.

12.  Taqwa kepada Allah senantiasa mendatangkan ketenangan, ketentraman, kekuatan dan keyakinan. Taqwalah yang membuat jiwa mulia naik menuju langit. Taqwa kepada Allah adalah pengokoh di saat kaki akan tergelincir dan menyatukan hati di kala fitnah sedang bertebaran.Taqwa kepada Allah adalah kekayaan terbesar yang dibawa seorang manusia di dalam relung hatinya dalam meniti kehidupan dunia.

13.  Taqwa kepada Allah adalah lentera yang benderang dan pedang yang berkilauan di kala krisis mendera. Betapa seringnya taqwa mengusir kegundahan, menyingkap awan yang gelap, mendatangkan rezeki, dan memudahkan urusan semasa hidup di dunia dan setelah kematian.

 

Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan di atas tentang pengertian dari taqwa (ketaqwaan), pada hakikatnya taqwa itu adalah kandungan Diinul Islam secara keseluru-han, yaitu menjalankan apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan segala larangan serta takut kepada Allah dikala tersembunyi ataupun terang-terangan.

 

TAQWA ADALAH PENGENDALIAN DIRI DAN PENJAGAAN DIRI DARI APA YANG BERTENTANGAN DENGAN ALLAH SWT.

 

Akhirnya taqwa kepada Allah bukan sekedar ucapan dan materi pelajaran yang hanya disampaikan di ruang perkuliahan atau di atas mimbar. Tapi harus diterapkan dalam gerak nyata, dan dalam akhlak pergaulan seorang muslim sehari hari. Yang mana hidup dan kehidupan seseorang yang dihiasi dengan agama, keimanan dan ketaqwaan yang kuat serta amal shaleh adalah gambaran dari taqwa itu sendiri. Karena taqwa bisa melindungi seseorang dari perbuatan yang bermanfaat dan hawa nafsu yang hina. Yang kesemuanya menuntut kepada kita untuk mencermati lebih dalam, sejenak berhenti dihadapan jiwa kita, dan menelisik di mana sebenarnya posisi jiwa kita dari pelajaran agung tentang ketaqwaan seperti yang disampaikai ayat dan hadits di atas. Lalu apakah kita telah melakukan suatu hal yang disukai dan diridhai Allah SWT, atau apakah sudah pula kita menjauhi apa yang menyebabkan Allah SWT murka!

 

Dalam sebuah riwayat pernah dikemukakan bahwa Umar bin Al Khaththab ra, bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang arti taqwa. Ubay menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, pernahkah Anda meniti jalan yang dipenuhi duri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan pada saat itu?” Umar menjawab, “Aku singsingkan lengan bajuku dan berupaya semaksimal mungkin?’ Kemudian Ubay berkata, “Begitulah taqwa. Jika seorang Umar sang Amirul Mukminin, yang telah dijanjikan syurga saja masih bertanya tentang makna taqwa, dan sangat antusias untuk merealisasikannya, maka mengapa kita yang jauh berada di bawahnya, justru malah bermalas malasan, enggan, dan pura-pura lupa, atau bahkan pura-pura sibuk untuk merealisasikan tujuan yang sangat mulia ini. Hal ini dikarenakan Ketaqwaan bukanlah hal yang bisa diklaim begitu saja, atau kita akui begitu saja, bukan pula impian yang tak ada bukti dalam realita. Taqwa adalah hakekat yang harus diterapkan, ditampakkan dampak dan pengaruhnya dalam setiap perbuatan, tentu saja setelah sebelumnya dikokohkan terlebih dahulu di dalam relung hati yang paling dalam.

 

Taqwa itu adalah sifat yang apabila telah bersemayam dalam diri seorang hamba, maka akan dapat memberikan celupan (sibghah) khusus baginya. Untuk kemudian mendorong-nya dalam melakukan ketaatan dan perbuatan baik lainnya, mencegahnya dari keburukan dan maksiat, dan membawanya untuk menggapai pahala dari sisi Allah. Lalu sudahkah saat ini kita semua menerapkan dalam hidup, bahwa taqwa kepada Allah SWT tidaklah hanya saat di bulan Ramadhan saja, atau hanya saat di masjid, atau saat berhaji ataupun berumroh di Baitullah, di tempat pengajian, dan di majelis taklim saja. Dan sangat disayangkan tatkala sesorang kembali ke rumahnya masing- masing, ke sawah, ke kantor dan tempat usahanya masing masing, atau ke komunitasnya masing- masing, dia kembali dalam keterlenaan, yang seharusnya tetap menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT.

 

Untuk itu segera tanamkanlah sikap taqwa pada jiwa kita, pada istri (suami) kita, pada anak dan keturunan kita, pada profesi, pada ucapan dan tindak tanduk kita. Untuk itu simaklah firman Allah SWT berikut ini: “Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya kami telah menye-diakan pakaian untuk menutupi auratmu dan untuk perhiasan bagimu. Tetapi pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda tanda kekuasaan Allah, mudah mudahan mereka selalu ingat. (surat Al A’raf (7) ayat 26).” Ayat ini mengarahkan kepada kita semua untuk selalu memakai pakaian berupa pakaian taqwa.  Dan semoga Allah SWT menjadikan kita termasuk dalam golongan orang orang yang bertaqwa yang senantiasa berbuat kebajikan, dan selalu selalu berbusanakan (berpakaian) taqwa sepanjang hayat masih dikandung badan.

 

Sebagai penutup bab ini, kami ingin mengajak jamaah sekalian untuk memperhatikan 2 (dua) buah hadits yang kami kemukakan berikut ini:

 

1.     Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku selalu mengikuti sangkaan hamba-Ku pada-Ku, maka terserah padanya akan menyangka apa saja kepada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Muslim dan Alhakiem dari Watsilah dan Ibu Abud-Dunia, Alhakiem dari Abu Hurairah ra: 272: 67).”

2.       Watsilah bin Al-asqa' ra. berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta'ala berfirman: Aku selalu menurutkan sangkaan hamba-Ku terhadap diri-Ku, jika ia baik sangka kepada-Ku maka ia dapat dari padaku apa yang ia sangka. Dan bila ia jahat (jelek) sangka kepada-Ku, maka ia dapat apa yang ia sangka dari pada-Ku. (Hadits Qudsi Riwayat Atthabarani dan Ibn Hibban; 272:71).”

 

Berdasarkan ketentuan 2 (dua) buah ketentuan hadits di atas ini, maka dapat dikatakan bahwa 8 (delapan) hal yang telah kami kemukakan di atas yang berhubungan langsung de-ngan Allah SWT kesemuanya sangat tergantung kepada kualitas dari ilmu dan pemahaman yang dimiliki oleh diri kita sendiri yang kesemuanya akan tercermin dalam bentuk sangkaan atau persepsi seorang hamba kepada Tuhan-Nya.

 

Dan yang harus kita jadikan pedoman adalah Allah SWT akan melaksanakan prinsip keadilan kepada diri kita dengan melakukan hal yang sama kepada diri kita. Katakan jika kita berpersepsi atau berprasangka kepada Allah SWT sebatas biasa-biasanya maka Allah SWT pun akan melakukan hal yang sama yaitu biasa-biasa saja. Namun apabila kualitas dari ilmu dan pemahaman serta persang-kaan kita yang luar biasa maka Allah SWT pun akan luar biasa pula memperhatikan diri kita. Semoga apa yang kami kemukakan ini mampu menghantarkan diri kita semua (jamaah sekalian) memiliki ilmu dan pemahaman serta persangkaan yang luar biasa tentang Allah SWT sehingga memudahkan diri kita memiliki kualitas ketauhidan yang luar biasa di sisa usia yang kita miliki. Aamiin. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar