Saat ini kita telah
mengetahui perbuatan dari sifat-sifat jasmani yang di dalam AlQuran dikatakan
dengan istilah ahwa (hawa nafsu) dan juga kita telah pula mengetahui perbuatan
sifat dari perbuatan ruh yang di dalam AlQuran dikatakan dengan istilah
Nafs/Anfuss. Lalu bisakah kita menghindarkan diri dari adanya ketentuan tentang
ahwa (hawa nafsu) yang sesuai dengan kehendak setan dan juga ketentuan tentang
perbuatan sifat ruh (nafs/anfus) yang sesuai dengan kehendak Allah SWT?
Sepanjang diri kita masih
disebut manusia maka sepanjang itu pula kita tidak bisa melepaskan diri dari 2
(dua) ketentuan ini. Kita harus tetap berhadapan dengan nilai-nilai keburukan
(ahwa/hawa nafsu) yang ada di dalam jasmani manusia sehingga nilai-nilai
keburukan menjadi lingkungan terdekat bagi diri kita.Hal yang samapun berlaku
dengan nilai-nilai kebaikan (nafs/anfuss) yang ada di dalam ruh manusia
sehingga nilai-nilai menjadi lingkungan terdekat dengan diri kita. Lalu bisakah kita membedakannya? Jika kita termasuk orang yang telah
tahu diri, maka kita akan mudah mengetahui perbedaan yang mencolok antara ahwa
(nilai-nilai keburukan) dibandingan dengan nafs/anfuss (nilai-nilai kebaikan).
Hal ini dikarenakan perbuatan keduanya sangat bertolak belakang. Ahwa (hawa
nafsu) sangat berkesesuaian dengan nilai-nilai keburukan yang sangat
dikehendaki setan, sedangkan Nafs/Anfus sangat berkesesuaian dengan nilai-nilai
kebaikan yang sangat dikehendaki Allah SWT.
Adanya kondisi ini
seharusnya dapat menyadarkan diri kita untuk mawas diri, berhati-hati di dalam
bertindak, dalam berbuat karena hasil akhir dari apa yang kita lakukan, kita
jugalah yang akan menikmatinya. Ingat, hidup adalah saat terjadinya tarik menarik, saling pengaruh mempengaruhi
antara sifat dan perbuatan jasmani dengan sifat dan perbuatan ruh, dimana
keadaan akan terus berlangsung selama hayat masih di kandung badan. Lalu dengan adanya tarik menarik di antara
keduanya (jasmani dengan ruh) maka manusia dapat dibagi menjadi 2 (dua) golongan,
yaitu:
1.
Golongan yang dikalahkan,
diperbudak, dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu
keadaan dimana sifat-sifat alamiah jasmani mampu mengalahkan alamiah sifat
sifat ruh) sehingga nilai-nilai kebaikan mampu dikalahkan oleh nilai nilai
keburukan, yang pada akhirnya nilai-nilai keburukan yang menjadi perilaku
manusia (jiwa fujur). Allah SWT berfirman: “dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan
Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat Asy Syams (91) ayat 7
sampai 10)”. Golongan jiwa fujur akan dibedakan menjadi tiga, yaitu
jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa mushawwilah.
2.
Golongan yang dapat
mengalahkan dan menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan
perintahnya (suatu keadaan dimana sifat-sifat jasmani mampu dikalahkan oleh
sifat- sifat ruh) sehingga nilai- nilai kebaikan mampu mengalahkan nilai- nilai
keburukan sehingga nilai-nilai kebaikan yang menjadi perilaku manusia (jiwa
taqwa).
Adanya kondisi ini, dimanakah posisi diri kita
saat ini, apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur, ataukah yang termasuk di
dalam jiwa taqwa? Semoga jiwa kita termasuk di dalam jiwa taqwa selama hayat
masih di kandung badan.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
juga khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa ahwa (hawa nafsu) dapat
dipastikan akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong musuh, rakus
terhadap sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan dan keburukan. Ahwa (hawa
nafsu), sesuai dengan tabiatnya menyukai pelanggaran. Karena itu, nikmat yang
tidak ada bandingnya adalah dapat lari darinya dan membebaskan diri dari
perbudakan ahwa (hawa nafsu). Ahwa (hawa nafsu) juga adalah hijab atau
penghalang terbesar antara hamba dengan Allah SWT. Dan manusia yang
paling mengetahui nafsunya adalah manusia yang paling keras menegur dan
membencinya. Disinilah letak dari pentingnya kita berjihad melawan hawa nafsu
yang sesuai dengan ketentuan hadits
berikut ini: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan
dirinya dan hawa nafsunya” (Hadits
shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).
Di dalam ahwa (hawa nafsu)
juga terdapat perilaku binatang, seperti keserakahan burung gagak, ketamakan
anjing, kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak, kedengkian unta, keganasan
singa, kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan kera, penghimpunan lebah,
makarnya srigala, kepandiran kupu kupu, dan tidurnya anjing hutan. Adanya
perilaku binatang yang kami kemukakan di atas ini, bukanlah isapan jempol
melainkan sesuatu yang nyata. Lihatlah orang yang mempertuhankan ahwa (hawa
nafsu)nya sehingga perilakunya telah berubah tidak ubahnya seperti perilaku
binatang.
Selain daripada itu, ahwa (hawa
nafsu) pada hakekatnya menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan
mengutamakan kehidupan dunia dengan mengesampingkan kehidupan akhirat.
Sedangkan Allah menyeru untuk bertaqwa dan tidak menuruti keinginan ahwa (hawa
nafsu). Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nazi’at (79) ayat 37
sampai 41 berikut ini: “Adapun orang yang melampaui batas, dan lebih
mengutamakan kehidupan dunia, Maka Sesungguhnya nerakalah tempat
tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka Sesungguhnya syurgalah tempat
tinggal(nya)”.
Hal ini menunjukkan di dalam
diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial, namun dibalik kontroversial
ini terdapat sebuah permainan yang harus kita laksanakan, yaitu mampukah diri
kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT ataukah berada sesuai dengan
kehendak setan.
Dan sebagai abd’ (hamba)-Nya
yang juga adalah khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa dalam jiwa manusia,
ada 3 (tiga) penyeru yang saling tarik menarik, yaitu:
1.
Penyeru yang mendorong
seseorang untuk berperilaku seperti perilaku setan, misalnya congkak, dengki,
tinggi hati, melampaui batas, suka berbuat jahat, suka mencela, merusak dan
suka menipu;
2.
Penyeru yang mendorong
seseorang untuk berperilaku seperti perilaku binatang, yaitu penyeru yang
menuntutnya untuk memenuhi tuntutan syahwat;
3.
Penyeru yang mendorong
seseorang untuk berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya suka berbuat
kebajikan, gemar memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta ilmu, dan selalu
bersikap taat.
Untuk itu ketahuilah bahwa
melatih nafsu (mengendalikan ahwa atau hawa nafsu) lebih sulit daripada melatih
singa. Singa, jika sudah dimasukkan ke dalam kerangkeng oleh pemiliknya,
amanlah kita dari bahayanya. Adapun ahwa (hawa nafsu), walaupun sudah
dipenjarakan, belum tentu kita aman dari bahayanya. Dan jihad melawan ahwa (hawa
nafsu) wajib hukumnya bagi setiap manusia tanpa terkecuali. Jihad melawan ahwa
(hawa nafsu) terdiri dari empat tahapan, yaitu:
1.
Melawannya dengan mempelajari
petunjuk dan agama yang benar. Agama yang mengan-tarkan kita kepada keberuntungan
dan kebahagiaan hidup dan mati yang hanya dapat diraih dengan agama ini, Jika
tidak mengetahui tentang ajaran agama ini, Diinul Islam, maka seseorang akan
merana di dunia dan akhirat.
2.
Melawannya dengan mengamalkan
ajaran Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan, agama hanya menjadi
pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi pengetahuan yang
berbahaya.
3.
Melawannya dengan mengajak
manusia kepada agama Islam yang benar dan mengajarkannya kepada yang belum
mengetahui. Jika tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah
menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya
tidak bermanfaat, dan karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api
neraka.
4.
Melawannya dengan kesabaran
dalam menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia ke jalan Allah
dan semuanya harus dilakukan karena Allah semata.
Agar diri kita mampu sukses
melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu), maka Allah SWT berfirman dalam surat
Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”. Untuk itu ketahuilah
bahwa kesuksesan melawan ahwa (hawa nafsu) sangat tergantung kepada jihadnya
(kesunggu-hannya) di dalam memerangi ahwa (hawa nafsu). Oleh karena itu, orang
yang paling sempurna pencapaiannya adalah orang yang paling keras jihadnya
melawan ahwa. Adapun jihad yang diwajibkan, secara berurutan dapat kami
kemukakan adalah: (a) jihad
melawan ahwa (hawa nafsu); (b) jihad melawan ego; (c) jihad melawan setan dan; (d) jihad melawan dunia.
Barangsiapa berjihad melawan
hal ini, Allah SWT akan membentangkan baginya jalan untuk meraih ridha-Nya yang
akan menghantar-kannya ke syurga. Sementara orang yang meninggalkan jihad
secara sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar jihad yang ditinggalkannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah orang yang
berjihad melawan nafsunya karena Allah SWT”. Oleh karena itu, selama diri
kita belum mampu menundukkan dan memaksa nafsunya untuk melaksanakan perintah
dan meninggalkan larangan, seseorang tidak mungkin dapat memerangi musuh yang
berada di luar dirinya. Nabi SAW bersabda: Orang yang berjihad adalah orang yang
menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah, sedangkan orang yang berhijrah
adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. (Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu
Majah)”. Tidak mungkin ia dapat memerangi dan berada di tengah-tengah
musuh jika musuh yang berada di depannya masih menguasai dirinya. Sekedar
keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan mampu, kecuali jika ia
menundukkan, atau mengalah-kan nafsunya terlebih dahulu.
Sedangkan menurut hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thirmidzi sebagaimana berikut ini: “Orang
yang cerdas adalah orang yang dapat menundukkan nafsunya kemudian bekerja untuk
kehidupan setelah mati. Sementara orang yang lemah akalnya adalah orang yang
menuruti hawa nafsunya kemudian berharap kepada Allah”. Berdasarkan
hadits ini, manusia terbagi dua kelompok, yaitu : orang yang cerdas dan orang
yang lemah akalnya. Orang yang cerdas adalah orang yang cerdik yang berpendirian teguh dan
selalu memperhatikan akibat segala sesuatu. Ia dapat menundukkan dan
menggunakan nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di
akhirat. Orang yang lemah akalnya adalah orang yang dungu yang tidak
berpengetahuan, yang tidak pernah memikirkan buah dari perbuatannya.
Orang tersebut lebih suka mengikuti nafsunya yang cenderung kepada sesuatu yang
membawa kenikmatan duniawi, meskipun sebenarnya kenikmatan itu membawa
malapetaka bagi kehidupannya di akhirat, bahkan juga bagi kehidupannya di
dunia.
Orang yang mengikuti
keinginan ahwa (hawa nafsu)nya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera
mendapatkan aib di dunia, akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan
manusia, dan akan segera mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang
luas lagi berkah.Sedangkan orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti
keinginannya, akan segera mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang
berupa ilmu, iman dan rezeki. Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu
menguasai, mengalahkan dan menundukkan hawa nafsunya, maka ia akan menjadi
orang yang mulia karena ia telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling
kuat serta mencegah kejahatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar