Allah SWT telah mengutuk, telah menghina, telah mengkafirkan
iblis/setan serta mengusirnya dari syurga serta telah pula mengizinkan kepada
Iblis besera anak dan keturunannya untuk mengganggu, menggoda keimanan manusia lalu
menjadikan manusia menjadi pengikutnya serta dipersilahkan membawa manusia
pulang kampung ke neraka. Di lain sisi, Allah SWT tidak berkehendak manusia
menjadi celaka, tersesat, terjerumus, menjadi pengikut iblis/setan, menjadi
teman iblis/setan di Neraka dikarenakan manusia telah diangkat sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya (perpanjangan tangan Allah SWT) di muka
bumi.
Adanya kondisi seperti ini, maka Allah SWT
memberikan batasan-batasan, atau koridor-koridor yang harus diketahui baik oleh
iblis/setan maupun oleh manusia sehingga iblis/setan dapat melaksanakan apa-apa
yang dikehendakinya berdasarkan izin Allah SWT sedangkan manusia diharapkan
dapat menyikapi hal-hal tersebut dengan hati-hati dan bijaksana sehingga kita
mampu mengalahkan musuh abadi tersebut.
Agar diri kita tidak menjadi hamba iblis/setan, atau
memiliki perilaku seperti iblis/setan, atau menjadikan diri ini seperti halnya iblis/setan,
berikut ini akan kami kemukakan cara dan methode untuk mengalahkan iblis/setan
dimaksud yang sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pencipta dan pemilik
konsep hidup adalah sebuah permaian. Untuk itu mari kita perhatikan dengan
seksama pernyataan yang
berasal dari “Sun Tzu” dalam bukunya “The Art of War” yang mengemukakan hal-hal
sebagai berikut: “Ia yang Mengenal Musuh dan Mengenal dirinya, tidak akan dikalahkan
dalam seratus pertempuran. Ia yang tidak
Mengenal Musuh Tetapi Mengenal dirinya sendiri, memiliki peluang yang seimbang
untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal musuh dan dirinya sendiri
cenderung kalah dalam setiap pertempuran.”
Berdasarkan
apa yang dikemukakan oleh “Sun Tzu”
di atas, kita diwajibkan untuk mengetahui dan memiliki ilmu tentang tahu diri
sebelum diri kita tahu akan musuh yang akan kita hadapi. Hal ini seperti
layaknya kita mempersiapkan perbekalan dan juga strategi untuk menghadapi musuh
sebelum kita berperang. Sekarang sudahkah kita mempelajarinya dan juga memiliki
ilmunya?
Selanjutnya
apa yang dikemukakan oleh “Sun Tzu”
di atas sejalan dengan konsep memenangkan permainan saat diri kita berhadapan
dengan setan saat hidup di muka bumi ini. Maka dari itu sudah seharusnya diri
kita memiliki ilmu dan pemahaman yang baik dan benar tentang “Tahu
Diri; Tahu Aturan Main dan Tahu Tujuan Akhir” dalam satu kesatuan. Dan jangan sampai kita
hanya tahu diri tetapi tidak tahu aturan main dan juga tidak tahu tujuan akhir,
atau kita hanya tahu aturan main akan tetapi tidak tahu diri dan tidak tahu
tujuan akhir, atau kita tidak tahu diri dan juga tidak tahu aturan main serta
tidak tahu tujuan akhir saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya di muka bumi ini. Untuk itu jadikan konsep “Tahu Diri; Tahu Aturan Main dan
Tahu Tujuan Akhir” ini menjadi modal dasar bagi diri kita, bagi anak
keturunan kita untuk menghadapi setan sang laknatullah sehingga diri kita mampu
menjadi manusia-manusia yang tidak terkalahkan kelak yang mampu pulang kampung
ke syurga kelak.
Jika
saat ini, di sisa usia yang kita miliki, diri kita masih tetap tidak tahu diri
dan juga tidak tahu aturan main serta tidak tahu pula tujuan akhir ketahuilah
bahwa Allah SWT masih memberikan kesempatan merasakan kemenangan mengalahkan
setan yaitu melalui aktifitas “memasukkan
onta ke dalam lubang jarum”. Sebagaimana firman-Nya berikut ini:“Sesungguhnya
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya,
sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak
(pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami
memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan. (surat Al A’raaf
(7) ayat 40).” Jika kita tidak mampu memasukkan onta ke dalam lubang
jarum berarti tahu diri dan tahu aturan main serta tahu tujuan akhir adalah
kuncinya dan kita harus belajar tentang hal itu saat ini juga.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang berkepentingan
dengan kemenangan, maka sudah sepatutnya kita mempelajari dan juga memahami
dengan seksama apa yang kami istilahkan dengan modal dasar di dalam menghadapi
setan sang musuh abadi diri kita sebagaimana yang telah dikemukakan oleh “Sun Tzu” di atas. Ayo persiapkan diri
dengan seksama dan semoga Allah SWT memudahkan diri kita mempelajarinya.
Tahu diri sebagai bagian dari
modal dasar untuk menghadapi dan mengalahkan setan menjadi penting kita miliki
karena dengan diri kita tahu diri maka kita akan tahu potensi dan juga
kemampuan serta kekurangan diri kita di dalam menghadapi setan serta mengetahui
posisi diri ini dihadapan Allah SWT yang sesuai dengan konsep hidup di dunia
ini adalah sebuah permainan.
Tahu diri akan menghantarkan
diri mengetahui dan juga memahami bahwa langit dan bumi tempat kita hidup
bukanlah kita yang menciptakan dan buka pula kita yang miliki. Adanya kondisi
dasar ini berarti:
1.
Kita hanyalah orang yang
sedang menumpang yang tidak selamanya menumpang karena kita harus keluar dari
muka bumi karena hidup ada batasannya;
2.
Kita adalah obyek yang
diciptakan oleh Allah SWT sehingga kedudukan obyek tidak sama dengan kedudukan
subyek;
3.
Kita adalah tamu yang tidak
selamanya menjadi tamu sehingga tamu tidak bisa mensejajarkan diri dengan tuan
rumah dan tidak bisa berperilaku seperti layaknya tuan rumah di langit dan di
bumi ini dan jangan sampai diri kita menjadi tamu yang tidak tahu diri karena
mengatur tuan rumah di rumah tuan rumah.
4.
Kita adalah perantau yang
pada akhirnya harus kembali untuk pulang kampung halaman sehingga kita
membutuhkan bekal untuk kembali.
Sebagai orang yang menumpang,
atau sebagai tamu di muka bumi ini, atau sebagai perantau, maka kita tidak bisa
menentukan sendiri hukum, ketentuan, peraturan, aturan yang berlaku di muka
bumi ini. Kita hanyalah orang yang harus melaksanakan ketentuan dan juga orang
yang akan dinilai atas pelaksanaan dari ketentuan yang telah ditetapkan berlaku
dan pada akhirnya mengharuskan diri kita harus tahu diri. Adanya hal ini maka
diri kita tidak memiliki pilihan selain melaksanakan ketetapan yang telah
ditetapkan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Dan Tuhanmu menciptakan dan
memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan.
Mahasuci Allah dan Mahatinggi Dia dari apa yang mereka persekutukan. (surat Al
Qasas (28) ayat 68).”
Di lain sisi, Ali
bin Abi Thalib ra, salah seorang sahabat Nabi SAW pernah mengemukakan
tentang betapa pentingnya diri kita mengenal diri (tahu diri), sebagaimana kami
kemukakan berikut ini:
1.
Mengenal diri adalah ilmu
yang paling berguna;
2.
Aku heran dengan orang yang
mencari barangnya yang hilang padahal (di saat yang sama) ia kehilangan dirinya
namun ia tidak (berupaya) mencarinya;
3.
Aku heran dengan orang yang
tidak mengenali dirinya bagaimana ia akan dapat mengenal Tuhannya?;
4.
Puncak makrifat adalah
pengenalan seseorang atas dirinya;
5.
Prestasi terbesar (bagi
seseorang) adalah manakala ia berjaya dalam mengenal dirinya;
6.
Setiap kali bertambah
pengetahuan seseorang, maka akan bertambah pula perhatiannya kepada dirinya dan
ia akan mengerahkan segenap upayanya untuk mengasah dan memperbaikinya.
Berdasarkan uraian di atas,
maka dapat dikatakan bahwa mengenal
diri, atau tahu diri merupakan pintu masuk mengenal dan berkenalan dengan Allah
SWT dan menempatkan diri yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sehingga hanya orang yang tahu dirilah yang
akan mampu menempatkan posisinya dihadapan Allah SWT selaku tuan rumah serta
selaku pencipta dan pemilik alam semesta ini dengan baik dan benar. Sehingga
apabila ini terjadi pada diri kita maka keharmonisan hidup di muka bumi ini
dapat terlaksana dengan baik.
Sekarang mari kita
perhatikan apa yang dikemukakan oleh Allah SWT dalam surat Adz Dzariyat (51)
ayat 21 berikut: “Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu
tiada memperhatikan.” Melalui ayat ini, Allah SWT berkehendak kepada setiap manusia, termasuk kepada diri kita,
untuk selalu berpikir lalu memperhatikan dengan seksama tentang keberadaan diri
ini melalui pernyataan-Nya yang berbunyi “apakah kamu tiada memperhatikan
akan dirimu sendiri!. Lalu apa yang bisa kita perhatikan dari kita
sendiri jika kita tidak mau belajar tentang diri (tidak tahu diri).
Selanjutnya akan kami kemukakan
hasil pengamatan atas keberadaan diri kita di muka bumi ini dimana setiap
manusia siapapun orangnya adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai
makhluk dwifungsi dan juga makhluk dwidimensi.
1.
Setiap manusia adalah makhluk
dwifungsi. Untuk dapat
menggambarkan peran dan maksud dan tujuan dari diciptakannya manusia sebagai
makhluk makhluk dwifungsi. Untuk itu mari kita pelajari 2 (dua) buah firman
Allah SWT berikut ini:
Pertama, sebagai Abd’ (hamba)-Nya. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Allah SWT dalam firman-Nya: “dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. Aku tidak
menghendaki rezeki sedikitpun dari mereka dan aku tidak menghendaki supaya
mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha pemberi rezeki yang
mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh. (surat Adz-Dzaariyaat (51) ayat 56-57-58). Berdasarkan ketentuan ayat ini setiap manusia
siapapun orangnya adalah seorang abd’ (hamba) yang harus mengabdi kepada Allah
SWT selaku Rabb bagi setiap umat manusia. Adanya peran sebagai seorang abd’
(hamba) menunjukkan bahwa seorang abd’ (hamba) terikat dengan ketentuan
penghambaan seorang hamba kepada Allah SWT selaku Tuhan bagi dirinya.
Kedua, sebagai khalifah-Nya. Dimana setiap manusia
selain terikat sebagai seorang abd’ (hamba), ia juga terikat dengan ketentuan
sebagai seorang khalifah-Nya di muka bumi, yang bermakna perpanjangan tangan
Allah SWT di muka bumi, sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya: “ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:”
Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka
berkata:” Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (surat Al Baqarah
(2) ayat 30).”
Adanya kekhalifahan di muka bumi maka diharapkan terciptalah apa yang dinamakan
dengan ketenteraman, ketertiban, serta
terpeliharanya apa- apa yang diciptakan oleh Allah SWT di muka bumi sehingga
terciptalah kehidupan “toto tenterem, gemah ripah loh jinawi”
(masyarakat madani) oleh sebab keberadaan diri kita.
Adanya konsep abd’ (hamba)-Nya dan juga adanya konsep khalifah-Nya di
muka bumi yang melekat pada diri setiap manusia, termasuk diri kita,
menunjukkan bahwa diri kita adalah makhluk yang memiliki peran “dwifungsi.” Lalu sudahkah kita tahu dan
memahami konsep dasar ini saat hidup di muka bumi ini, yaitu sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
harus menghambakan diri kepada Allah SWT dan juga sebagai khalifah-Nya di muka
bumi selaku perpanjangan tangan Allah SWT, atau menjadi agen-agen Allah SWT,
atau duta besar-duta besar Allah SWT di muka bumi. Sehingga terjadilah
ketentraman, keteraturan, kebersamaan serta terpeliharanya apa apa yang
diciptakan oleh Allah SWT serta tampilnya penampilan Allah SWT di muka bumi ini
melalui keberadaan diri kita sehingga dapat terlihat dengan nyata dan bisa pula
dirasakan oleh sesama manusia.
2.
Setiap manusia adalah makhluk
dwidimensi. Setiap
manusia dapat dikatakan sebagai makhluk dwidimensi dikarenakan setiap manusia,
siapapun orangnya pasti terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruh. Jasmani
berasal dari saripati tanah sedangkan ruh berasal dan diciptakan oleh Allah SWT dan mulai dipersatukan ke duanya saat masih di dalam rahim seorang
ibu. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat As Sajdah (32) ayat 7-8-9
berikut ini: Yang memperindah segala sesuatu yang Dia ciptakan dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari
saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan
ruh (ciptaan)Nya ke dalam (tubuh)nya dan Dia menjadikan pendengaran,
penglihatan, dan hati bagimu, (tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.”
Adanya konsep dwidimensi ini maka kita
harus bisa merawat dan menjaga kesehatan jasmani dan juga kefitrahan ruh dengan
sebaik-baiknya dengan tidak mengorbankan salah satunya. Katakan kita tidak
diperkenankan mendahulukan merawat jasmani dengan mengorbankan ruh, atau kita
juga tidak diperkenankan mendahulukan merawat ruh dengan mengorbankan jasmani.
Jasmani harus dirawat dan dijaga melalui konsep ilmu kesehatan dan ilmu gizi
dan juga olah raga serta ruh juga harus dijaga dan dirawat melalui konsep Diinul Islam yang kaffah yang berasal
dari Allah SWT. Sekarang mari kita bahas konsep dwi dimensi dimaksud.
Pertama,
Dimensi jasmani.
Jasmani asalnya dari sari pati tanah yang berasal makanan dan minuman yang
dikonsumsi dari seorang bapak dan seorang ibu. Yang mana setiap makanan dan minuman yang akan dikonsumsi terikat
dengan ketentuan halal lagi baik (tayyib) sebagaimana dikemukakan dalam surat
Al Baqarah (2) ayat 168 berikut ini: ‘Wahai orang orang yang beriman! Makanlah
dari (makanan) yang halal lagi baik terdapat di bumi, dan janganlah kamu
mengikuti langkah langkah syaitan. Sungguh, syaitan itu musuh yang nyata
bagimu.” Selain daripada itu, masih ada ketentuan lain yang mengatur
tentang tata cara makan dan minum yang lainnya, yaitu: (a) kita diwajibkan oleh Allah
SWT agar membaca Basmallah dan doa sebelum makan dan minum; (b) makan dikala
lapar dan berhenti sebelum kenyang. Dan juga wajib menikah terlebih dahulu
serta membaca doa sebelum diri kita mempertemukan sel telur (ovum) dengan
sperma.
Untuk menjaga kesehatan jasmani ada
dua hal yang harus kita perhatikan, yang pertama adalah apa-apa yang akan kita
konsumsi (masukkan) ke dalam tubuh dan yang kedua, adalah apa-apa yang kita
keluarkan dari dalam tubuh. Khusus untuk apa-apa yang akan dikonsumsi (dimasukkan)
ke dalam tubuh, Allah SWT sudah memberikan pedomannya, yaitu makanlah makanan
yang halal lagi baik (tayyib). Halal sudah jelas dan khusus untuk tayyib
ini berlaku ketentuan yang berbeda beda di antara setiap manusia. Sesuatu yang
baik (tayyib) bagi diri kita belum tentu baik (tayyib) bagi orang lain, karena
kondisi tubuh seseorang berbeda-beda. Disinilah letaknya kita harus memiliki
pengetahuan tentang kebutuhan makanan dan minuman yang sesuai dengan azas baik
(tayyib) bagi kebaikan tubuh kita sendiri, yang kesemuanya berlandaskan ilmu
kesehatan dan ilmu gizi.
Sekali lagi kami ingatkan, makanan dan
minuman yang halal lagi baik (thayyib) tidak akan memberikan dampak yang
positif kepada tubuh kita jika penghasilan kita dari penghasilan haram atau
cara memperoleh makanan dan minuman yang kita konsumsi dari mencuri, atau dari
mengambil hak-hak orang lain seperti mencuri, korupsi, kolusi, suap,
gratifikasi dan lain sebagainya.
Kedua,
Dimensi ruh, dimana
ruh asalnya dari Allah, sebagaimana firman-Nya, “Dan mereka bertanya kepadamu
(Muhammad) tentang roh. Katakanlah, “roh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan
kamu diberi pengetahuan hanya sedikit’ (surat Al Isra’ (17) ayat 85). Ruh
dipersatukan dengan jasmani melalui proses peniupan saat masih di dalam kandungan
seorang ibu setelah janin berusia 120 hari. Dimana ruh juga memiliki sifat dan
perbuatan, yang mana sifat ruh mencerminkan nilai-nilai kebaikan (nass) yang
berasal dari nama-nama Allah yang indah lagi baik (asmaul husna) melalui proses
sibghah, sedangkan perilaku ruh yang berasal dari nama nama Allah yang indah
lagi baik disebut juga dengan nafs/anfush.
Selain daripada itu, ruh terikat
dengan ketentuan “datang fitrah, kembali
harus fitrah untuk dapat bertemu dengan Allah SWT di tempat yang fitrah (syurga)”
sehingga kemampuan (kefitrahan) ruh tidak berhubungan
langsung dengan tua atau mudanya seseorang, melainkan sejauh mana diri kita
mampu melaksanakan Diinul Islam secara kaffah. Semakin kaffah (khusyu’) kita melaksanakan Diinul Islam maka
semakin berkualitas dan semakin fitrah ruh yang kita miliki yang pada akhirnya
kita akan mampu melaksanakan konsep hidup tenang mati senang berumur panjang.
Untuk itu jangan pernah menjadikan kualitas
(kefitrahan) ruh mengikuti sunnatullah yang berlaku bagi jasmani, yaitu semakin
tua jasmani semakin berkurang kefitrahan ruh. Sehingga cukup jasmani saja yang menjadi tua atau berkurang kemampuannya, namun
ruh haruslah tetap muda (maksudnya tetap berkualitas, harus tetap fitrah sesuai
dengan kehendak Allah SWT). Ruh yang tetap dalam kondisi fitrah akan sangat
membantu kondisi dan keadaan jasmani yang sedang mengalami penurunan kemampuan,
sehingga kita tetap mampu hidup berkualitas dari waktu ke waktu serta mampu
bermanfaat bagi orang banyak walaupun usia sudah tidak muda lagi bahkan sudah
berada di persimpangan jalan, yaitu dari waktu maghrib menjelang waktu isya.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus juga khalifah-Nya di muka bumi ketahuilah bahwa ruh adalah jati diri
manusia yang sesungguhnya. Sehingga yang menjadi abd’ (hamba)-Nya dan yang
menjadi khalifah-Nya di muka bumi yang sesungguhnya adalah ruh. Selanjutnya dalam konteks dwidimensi ketahuilah
pula bahwa ruh adalah subyek sedangkan jasmani adalah obyek
yang harus dikhalifahi (dimanage) oleh ruh, termasuk di dalamnya yang harus
dikhalifahi oleh ruh adalah industri 4.0 dan society 5.0 dan juga reformasi,
teknologi serta bumi tempat melaksanakan tugas. Dan ingat, ruh ini pulalah yang akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan
diri kita saat menjadi abd’ (hamba) dan juga saat menjadi khalifah muka bumi
ini di hari berhisab kelak.
Selain daripada itu, keberadaan ruh
tidak pernah sekalipun diketahui oleh iblis/setan sehingga iblis/setan tidak
memiliki pengetahuan sedikitpun tentang ruh. Hal ini sebagaimana dikemukakan
dalam firman-Nya berikut ini: “Maka ketika kami telah menetapkan kematian
atasnya (Sulaiman), tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu
kecuali rayap yang memakan tongkatnya. Maka ketika dia telah tersungkur, tahulah
jin itu bahwa sekiranya mereka mengetahuiyang ghaib tentu mereka tidak tetap
dalam siksa yang menghinakan. (surat Saba (34)
ayat 14)”.
Adanya ketentuan di atas ini tentang
ruh yang tidak diketahui oleh iblis/setan maka jati diri manusia yang sesungguhnya
adalah ruh dapat dipastikan tidak pernah diketahui pula oleh iblis/setan. Untuk
itu kita harus selalu menjaga kesehatan ruh (maksudnya kefitrahan ruh) selama
hayat masih dikandung badan. Untuk menjaga kesehatan ruh tentu sangat berbeda
dengan menjaga kesehatan jasmani karena asal usul dari keduanya berbeda.
Jasmani bukanlah Allah SWT yang membuat, namun Allah SWT yang menentukan aturan
mainnya, seperti makan dan minum yang sesuai dengan konsep halal lagi baik
(tayyib), sebelum makan dan minum diwajibkan membaca basmallah dan berdoa,
sebelum mempertemukan sperma dan ovum diwajibkan membaca doa agar syaitan tidak
ikut andil di dalamnya. Sedangkan untuk menjaga kesehatan ruh sangat berbeda
dengan ketentuan untuk menjaga kesehatan Jasmani.
Ingat, membersihkan permukaan tubuh
itu mudah sekali, kita tinggal mandi memakai sabun dan shampoo. Sebaliknya
membersihkan ruh atau bathin dan pikiran tidaklah semudah membersihkan tubuh.
Kita harus terus menerus melakukan instrospeksi diri, membersihkan pikiran negatif
dan keakuan yang melekat dalam diri kita, barulah pikiran kita bisa bersih dan
cemerlang. Tidak ada orang yang yang bisa menghadiahkan atau meminjamkan
kesehatan diri (ruh atau jiwa) kita kecuali usaha dari kita sendiri. Adanya
kondisi seperti ini maka kesehatan yang hakiki (maksudnya kesehatan jasmani dan
ruh) adalah akumulasi dari memelihara kesehatan jasmani dan juga kesehatan ruh
secara istiqamah selama hayat masih di kandung badan. Dengan ketentuan, jaga
kesehatan ruh terlebih dahulu barulah kita menjaga kesehatan jasmani sehingga
ruh sehat yang dibarengi dengan jasmani sehat. Jika ini yang terjadi sangat
terasa indah bertuhankan kepada Allah SWT dan nikmatnya beribadah terutama saat
usia di persimpangan jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar