9. Baik dan buruk adalah ujian dari Allah
SWT sehingga setiap
manusia tanpa terkecuali akan diuji dalam hidup dan kehidupannya, sebagaimana
dikemukakan dalam surat Al A’raaf (7) ayat 168 berikut ini: “dan Kami bagi-bagi mereka di dunia ini menjadi
beberapa golongan; di antaranya ada orang-orang yang saleh dan di antaranya ada
yang tidak demikian. dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan
(bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran).” Adanya ujian yang diberikan oleh Allah
SWT kepada diri kita, maka terjadilah apa yang dinamakan dengan seleksi alamiah
secara adil sehingga akan diketahui siapa yang lebih baik amalnya dibandingkan
dengan yang lainnya.
Allah SWT menetapkan adanya ujian atau
akan menguji siapapun juga tanpa terkecuali. Hal yang harus kita jadikan
pedoman tentang adanya ujian berarti akan adanya peningkatan status seseorang.
Semakin tinggi status seseorang maka semakin berat ujiannya. Ingat, syurga ada
tujuh lapis dan neraka juga ada tujuh lapis, sehingga syarat dan ketentuan
untuk masuk syurga dan neraka pasti berbeda beda pula, sebagaiman firman-Nya
berikut ini: “Sesungguhnya
Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami
menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya. (surat Al
Kahfi (18) ayat 7). Adanya
hasil baik dan adanya hasil buruk adalah sunnatullah yang sudah berlaku di muka
bumi ini. Allah SWT telah menetapkan adanya sunnatullah lalu menyerahkan kepada
diri kita untuk memilih apa apa yang baik dan apa apa yang buruk. Allah SWT
sangat demokratis kepada diri kita. Allah SWT memberikan kebebasan memilih lalu
berbuatlah dengan pilihan dimaksud lalu bersiaplah menerima akibatnya jika kita
salah di dalam memilih pilihan karena resiko tanggung sendiri.
10.
Kesabaran
yang diikuti dengan perbuatan” dan juga “ketaqwaan yang diikuti dengan
kesabaran”, sebagaimana ketentuan dalam surat Huud (11) ayat 115“dan bersabarlah,
karena Sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat
kebaikan.” dan juga berdasarkan surat Yusuf (12) ayat 90
yang kami kemukakan di bawah ini, “mereka berkata: "Apakah kamu ini benar-benar
Yusuf?". Yusuf menjawab: "Akulah Yusuf dan ini saudaraku.
Sesungguhnya Allah telah melimpahkan karunia-Nya kepada kami".
Sesungguhnya barang siapa yang bertakwa dan bersabar, Maka Sesungguhnya Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik." Adanya ketentuan ini maka kita
diwajibkan untuk memiliki hujjah tentang kesabaran yaitu kesabaran atau sabar
tidak akan menghasilkan sesuatu jika tanpa diiringi dengan perbuatan, demikian
pula suatu perbuatan ataupun aktivitas tertentu tidak akan berhasil jika tanpa
adanya kesabaran. Jika kita hanya sabar di dalam menghadapi sesuatu persoalan,
maka persoalan yang kita hadapi tidak akan bisa dipecahkan.Kesabaran memang
dibutuhkan untuk menyelesaikan sesuatu namun kesabaran bukanlah cara untuk
menyelesaikan sesuatu persoalan.
Kesabaran adalah proses untuk
menyelesaikan sesuatu persoalan yang diikuti dengan aktivitas untuk berbuat
sesuatu, disinilah pintu masuk setan yang akan berusaha agar manusia
terburu-buru, tergesa-gesa serta sabaran untuk menunggu, sebagaimana firman Allah SWT
berikut ini: “dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah ditindas itu, negeri-negeri
bahagian timur bumi dan bahagian baratnya[560] yang telah Kami beri berkah
padanya. dan telah sempurnalah Perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji)
untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka. dan Kami hancurkan apa yang
telah dibuat Fir'aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun mereka[561].
(surat Al A’raaf (7) ayat 137)
[560] Maksudnya: negeri Syam dan Mesir dan
negeri-negeri sekitar keduanya yang pernah dikuasai Fir'aun dahulu. sesudah
kerjaan Fir'aun runtuh, negeri-negeri ini diwarisi oleh Bani Israil.
[561] Yang dimaksud dengan Bangunan-bangunan
Fir'aun yang dihancurkan oleh Allah ialah Bangunan-bangunan yang didirikan
mereka dengan menindas Bani Israil, seperti kota Ramses; menara yang
diperintahkan Hamaan mendirikannya dan sebagainya.
11.
Tetap
menjaga rasa takut dalam diri. Rasa takut dalam diri tidak
bisa kita biarkan begitu saja tanpa ada pengarahan dan pembelajaran. Agar rasa
takut dalam diri bisa sesuai dengan kehendak Allah SWT maka rasa takut dalam
diri harus dijaga, dirawat, dipelihara dari waktu ke waktu melalui hal hal
sebagai berikut: (a) Mengingat betapa lemahnya kita dan betapa Allah SWT Maha
Perkasa; (b) Memupuk rasa cinta kepada Allah SWT; (c) membayangkan Adzab Allah
SWT yang sangatlah pedih; (d) Jangan pernah merasa aman dengan apa yang kita
raih; (e) Jangan pernah putus asa.
Rasa takut adalah salah satu perasaan yang
paling mendasar pada diri manusia. Ketika disebut rasa takut maka yang pertama
kali terlintas adalah takut kepada gelap, takut kepada kecelakaan, takut mati,
takut darah, takut penyakit yang menyebabkan kepedihan, takut miskin, takut
kelaparan, takut kehilangan kerabat dekat, takut akan bencana alam, dan takut
akan masa depan dan lain sebagainya sebagaimana dikemukakan dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 155 berikut ini: “dan sungguh akan Kami berikan cobaan
kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan
buah-buahan. dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
(surat Al Baqarah (2) ayat 155). Takut atau perasaan takut, berdasarkan
ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 155 di atas merupakan sebuah sunnatullah
yang tidak dapat dipisahkan dengan skenario kekhalifahan yang ada di muka bumi
sehingga dapat diketahui kualitas dari masing masing manusia yang melaksanakan
konsep dwifungsi dan dwidimensi saat hidup du muka bumi ini.
Adanya rasa takut yang berasal dari Allah SWT
melengkapi skenario mempergilirkan semua orang dalam suatu keadaan apa yang
dinamakan dengan susah dengan senang, bahagia dengan celaka, tertawa dengan
menangis, dermawan dengan pelit, beriman dengan kafir dan lain sebagainya.
Seperti termaktub dalam surat Ali Imran (3) ayat 140 berikut ini: “jika
kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, Maka Sesungguhnya kaum (kafir) itupun
(pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. dan masa (kejayaan dan kehancuran)
itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran); dan
supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir)
supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada'[231]. dan Allah
tidak menyukai orang-orang yang dzalim.”
[231] Syuhada' di sini ialah
orang-orang Islam yang gugur di dalam peperangan untuk menegakkan agama Allah.
sebagian ahli tafsir ada yang mengartikannya dengan menjadi saksi atas manusia
sebagai tersebut dalam ayat 143 surat Al Baqarah.
Rasa takut dalam diri tidak datang dengan
sendirinya. Rasa takut diberikan oleh Allah SWT kepada manusia adalah demi
keberlangsungan hidup manusia serta untuk dijadikan alat bantu untuk melihat
(mengukur) kualitas manusia. Manusia diberikan rasa takut untuk menghindari
segala hal yang akan mengancam dan akan mengganggu keberlangsungan hidupnya.
Sehingga manusia bisa menyelamatkan diri dan merasa aman. Katakan, seorang yang
yang takut kepada binatang buas, katakan takut kepada ular, akan dipaksa untuk
melakukan usaha (upaya) pencega-han dan pengamanan sehingga dapat terhindar
dari serangan ular.
12.
Berjihad
ke dalam diri dalam kerangka mempertahankan kefitrahan diri. Untuk merealisasikan diri kita menjadi manusia
besar yang dibanggakan oleh Allah SWT bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan
untuk itulah dibutuhkan jihad atau kesungguh sungguhan untuk merealisasikannya,
sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan
Jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang
tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari
dahulu[993], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi
saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia,
Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali
Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik-
baik penolong. (surat Al Hajj (22) ayat 78).”
[993] Maksudnya: dalam
Kitab-Kitab yang telah diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w.
Hal ini menjadi penting dalam
kehidupan ini karena berpuas diri dengan apa yang
telah diraih adalah wujud kehinaan diri. Jadilah seorang lelaki atau perempuan
yang tapak kakinya berpijak di atas tanah namun obsesi dan cita-citanya
menggantung di atas bintang kejora. Dan dalam waktu yang sebentar (sekejab) itu
setiap manusia dituntut untuk mampu menyelesaikan semua masalah dunia dan
mengenal akhirat, mengenal sang pencipta dalam arti yang sebenarnya. Oleh sebab
itu manusia harus berusaha mengatasi permasalahan dunia dengan ilmunya.
Ketika Nabi Muhammad SAW ditanya oleh
sahabatnya: apakah yang harus kita perbuat sesudah menyelesaikan perang ini
(maksudnya perang Badar) ya Rasulullah? Nabi SAW menjawab, bahwa perang yang
sudah kita lakukan dengan senjata dan fisik ini belum berarti apa apa, sesudah
ini kita akan menghadapi perang yang paling berat, yaitu ke dalam diri. Perang
ke dalam diri ialah memerangi ahwa (hawa nafsu) yang sesuai dengan kehendak
syaitan. Untuk itu Allah SWT melalui surat Ar Ra’d (13) ayat 11 berikut
ini: “bagi
manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan
di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767]. Sesungguhnya Allah
tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan[768] yang
ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap
sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada
pelindung bagi mereka selain Dia.”
[767] Bagi tiap-tiap manusia
ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula
beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam
ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat
Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan
merobah Keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran
mereka.
Allah SWT mengemukakan bahwa perubahan untuk
menjadi lebih baik tidak akan pernah terjadi jika kita sendiri tidak mau
merubah apa-apa yang ada pada diri kita sendiri. Katakan dari sifat malas
menjadi rajin, dari sifat pelit menjadi dermawan, dari sifat tergesa-gesa
menjadi sabar. Untuk merubah kondisi ini dibutuhkan jihad atau kesungguhan
untuk melakukan suatu terobosan dalam diri untuk menuju suatu keadaan yang
lebih baik
Ingat, berjihad untuk kepentingan apapun,
apalagi untuk kepentingan diri sendiri bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan.
Ia laksana mengubah pasir terapung untuk menjadi batu karang yang kuat
membutuhkan zat kimia tertentu dan jumlah yang tertentu pula. Hal yang samapun
berlaku saat diri kita ingin merubah kebiasaan pribadi yang kadung tersandera
oleh ahwa (hawa nafsu), serta cinta dunia pun tidak mudah. Solusi yang bisa
kita lakukan adalah melalui apa yang dinamakan dengan “etos ala Zainudin MZ” dengan penuh humoris “Allahummapaksa” artinya Ya Allah paksa hamba untuk mengubah
kebiasaan hamba. Setelah diri kita memiliki senjata ampuh berupa
‘Alllahummapaksa” maka pergunakanlah senjata ini untuk berjihad bagi
kepentingan jasmani dan juga jihad untuk kepentingan ruhani.
13.
Mengembalikan segala urusan kepada
Allah SWT apabila kita berlainan pendapat tentang sesuatu hal akibat tidak
tercapainya suatu musyawarah untuk mufakat. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat An Nisaa’
(4) ayat 59 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah
(AlQuran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
Adapun yang dimaksud dengan kembalikan kepada
Allah SWT adalah mengembalikan persoalan yang terjadi kepada ketentuan AlQuran
dan juga hadits yang berlaku.
Selain daripada itu, masih melalui
surat An Nisaa’ (4) ayat 59 adalah suatu
kebaikan jika kita mampu mentaati Allah SWT, mentaati Rasul serta mentaati Ulil
Amri (pemimpin yang telah disepakati untuk memimpin) diantara kita. Hal ini
ditegaskan oleh Allah SWT agar diri kita memiliki pemimpin di masyarakata
sehingga umat ada yang mengarahkan, umat ada yang bertanggung jawab, umat ada
yang mengatur sehingga terciptalah kesejahteraan dan ketentraman di dalam
masyarakat oleh sebab adanya pemimpin yang kita pilih. Adapun yang dimaksud
dengan ulil amri bukanlah dalam arti imam dalam shalat, melainkan pemimpin yang
berlaku di dalam masyarakat seperti ketua Rt, Ketua Rw, Lurah, Camat, Walikota,
Bupati, Gubernur, Menteri, dan juga Presiden.
Itulah
13 (tiga belas) hal yang dikatakan sebagai kebaikan, namun ketahuilah seluruh
kebaikan yang kami kemukakan di atas tidak serta merta bebas intervensi dari
setan sang laknatullah. Untuk itu berhati-hatilah saat diri kita melakasanakan
kebaikan karena disana setan siap beraksi kepada diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar