Jauhkah
iblis/setan dengan diri kita saat ini? Lalu berjarakkah setan kepada diri kita? Jika kita memperhatikan apa yang
dikemukakan Allah SWT dalam surat Az Zukhruf (43) ayat 36 berikut ini: “Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan
Yang Maha Pemurah (AlQur’an), Kami
adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman
yang selalu menyertainya. (surat Az Zukhruf (43) ayat 36). Berdasarkan ayat ini, Setan sudah
menyertai diri kita dimanapun kita berada. Akan tetapi walaupun setan sudah
menyertai diri kita tidak otomatis setan itu memiliki jarak kepada diri kita.
Jauh dekatnya setan kepada diri kita sangat
tergantung kepada diri kita sendiri, yaitu sejauh mana kita mau diganggu, atau mau
digoda, atau mau dipengaruhi oleh setan. Jika kita mau diganggu, mau digoda,
atau mau dipengaruhi oleh setan maka setan sudah tidak berjarak lagi dengan
diri kita. Lain halnya jika kita berusaha untuk menghindar dari gangguan dan
godaan serta pengaruh setan maka jarak antara antara diri kita dengan setan
memiliki jarak, walaupun setan itu sendiri ada pada aliran darah dan daging
kita.
Sekarang mari kita perhatikan firman Allah SWT
berikut ini: “Maukah Aku beritakan
kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka (setan) turun kepada
setiap pendusta yang banyak berdosa, mereka menyampaikan hasil pendengaran
mereka, sedangkan kebanyakan mereka orang-orang pendusta. (surat Asy Syu’ara
(26) ayat 221-222-223)”. Ayat ini mengemukakan bahwa setan siap turun,
siap melaksanakan aksinya sangat tergantung kepada kondisi manusia itu sendiri,
dalam hal ini contohnya adalah pendusta. Adanya sikap dusta yang ada di dalam
diri manusia maka itulah jalan yang dibuat oleh manusia untuk kepentingan setan
melaksanakan aksinya. Dan ini menunjukkan bahwa jauh dekatnya setan tergantung
sikap diri kita apakah membuka diri di dalam memenuhi kehendak setan ataukah
membuka kesempatan bagi setan untuk melaksanakan aksinya melalui pengaruh ahwa
(hawa nafsu) kepada diri kita. Apa contohnya?
Contohnya jika kita mempeturutkan rasa malas untuk
belajar maka setan akan melancarkan aksinya kepada diri kira. Saat diri kita
belajar yang seharusnya konsentrasi ke depan lalu kita membuka hp maka setan
datang kepada diri kita untuk membuyarkan konsetrasi belajar. Jika ini kondisi
dasar setan kepada diri kita dan juga kondisi dasar kita kepada setan, lalu apa
yang bisa kita perbuat dengan keadaan ini? Keberadaan setan adalah sunnatullah
yang harus kita hadapi sebagai musuh tidak dapat kita hindari. Akan tetapi kita
harus bisa menghadapi setan dengan cara-cara yang terhormat sesuai dengan
kehormatan yang kita miliki yang tentunya harus sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Lalu dimanakah posisi Allah SWT saat setan mengepung
diri kita? Posisi Allah SWT sudah pula bersama diri kita. Hal ini
dikarenakan jarak antara kemahaan dan
kebesaran Allah SWT kepada diri kita lebih dekat, atau bahkan diri kita sudah
tidak bisa dipisahkan dengan kebesaran dan kemahaan Allah SWT dibandingkan
posisi diri kita kepada setan. Adanya kondisi ini berarti antara diri kita
dengan setan masih memiliki jarak sedangkan kepada Allah SWT sudah tidak
berjarak sepanjang diri kita tidak melepaskan diri dari Allah SWT.
Selanjutnya jika posisi Allah SWT lebih dekat kepada
diri kita, kenapa harus kepada setan kita melapor, kenapa harus kepada setan
kita berlindung, kenapa kepada setan kita mengadu, kenapa harus setan yang kita
jadikan konsultan, padahal Allah SWT sudah bersama diri kita? Allah SWT melalui
surat An Nahl (16) ayat 99-100 berikut ini: Sesungguhnya
syaitan itu tidak ada kekuasaanNya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal
kepada Tuhannya. Sesungguhnya kekuasaannya (syaitan) hanyalah atas orang-orang
yang mengambilnya jadi pemimpin dan atas orang-orang yang mempersekutukannya
dengan Allah.” menerangkan bahwa setan tidak memiliki kemampuan,
apapun, atau setan tidak akan bisa mengganggu dan menggoda orang yang beriman
kepada Allah SWT dan juga kepada orang yang bertawakkal kepada Allah SWT.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang juga khalifah-Nya di
muka bumi, kami berharap jangan sampai diri kita termasuk orang-orang yang ingin
terhindar dari gangguan setan namun
mempergunakan jalan yang paling disukai oleh setan, atau jangan sampai
diri kita bermaksud terhindar dari gangguan setan namun jalannya justru yang paling dibenci oleh Allah SWT. Mudah-mudahan
diri kita mampu mengatasi setan baik dalam wujud aslinya maupun yang sudah
berubah wujud menjadi manusia, atau manusia itu sendiri yang telah berubah
wujud menjadi setan, melalui bantuan dan pertolongan Allah SWT yang pada
akhirnya dapat menghantarkan diri kita menjadi pemenang dan setan menjadi
pecundang.
Sekarang mari kita perhatikan 2 (dua) buah sikap setan
kepada diri kita, yang keduanya pasti dilaksanakan oleh setan tanpa memandang
latar belakang siapa diri kita, sebagaimana berikut ini: Allah SWT berikut: “iblis
menjawab: “Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya,kecuali
hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka[1304]. (surat Shaad (38) ayat
82-83)
[1304] Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi
taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.
Allah SWT berfirman: “iblis menjawab: “Karena Engkau
telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi)
mereka dari jalan Engkau yang lurus,
kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka,
dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan
mereka bersyukur (taat). (surat Al
A’raaf (7) ayat 16-17). Ayat di atas ini mengemukakan bahwa setan akan
mengganggu kita. Setan akan menggoda siapapun juga tanpa terkecuali, termasuk
di dalamnya diri kita, untuk dihalangi
dari jalan yang lurus dari muka, dari belakang, dari kiri, dari kanan,
semuanya akan disesatkan. Dan jika ini sikap setan kepada diri kita lalu
bagaimana sikap Allah SWT kepada diri kita? Sikap Allah SWT kepada diri sangat
berbeda dengan sikap setan kepada diri kita. Apa buktinya?
1.
Allah SWT
Tidak Lepas Tangan. Allah SWT tidak akan lepas tangan kepada diri kita
dengan selalu memberikan penjagaan kepada diri kita sepanjang diri kita mau
menjadi hamba Allah SWT yang mukhlis. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam
surat Al Hijr (15) ayat 40-41-42 yang kami kemukakan berikut ini: kecuali
hamba-hamba Engkau yang mukhlis[799] di antara mereka”. Allah berfirman: “Ini
adalah jalan yang lurus, kewajiban Aku-lah (menjaganya)[800]. Sesungguhnya
hamba-hamba-Ku tidak ada kekuasaan bagimu terhadap mereka, kecuali orang-orang
yang mengikut kamu, Yaitu orang-orang yang sesat.
[799] Yang dimaksud dengan mukhlis ialah
orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan
perintah Allah s.w.t.
[800] Maksudnya pemberian taufiq dari Allah s.w.t.
untuk mentaati-Nya, sehingga seseorang terlepas dari tipu daya syaitan
mengikuti jalan yang Lurus yang dijaga Allah s.w.t. Jadi sesat atau tidaknya
seseorang adalah Allah yang menentukan.
2.
Allah
SWT Tidak Berpaling. Allah SWT tidak akan pernah berpaling dari diri kita
sepanjang diri kita selalu berada di dalam pengajaran Allah SWT, selalu berada
bersama Allah SWT, selalu di dalam kehendak Allah SWT. Sebagaimana dikemukakan
dalam surat Az Zukhruf (43) ayat 36 yang kami kemukakan di bawah ini, “Barangsiapa
yang berpaling dari pengajaran Tuhan yang Maha Pemurah (Al Quran), Kami adakan
baginya syaitan (yang menyesatkan) Maka syaitan Itulah yang menjadi teman yang
selalu menyertainya.”
3.
Allah SWT Memberikan Ampunan. Allah SWT akan tetap memberikan
ampunan kepada diri kita walaupun dosa dan kesalahan kita sepenuh wadah di muka
bumi, sepanjang diri kita tidak pernah melalukan perbuatan syirik/musyrik
kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam hadits yang kami
kemukakan berikut ini: “Abu Dardaa ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Andaikan hamba-Ku menghadap Aku dengan dosa-dosa sepenuh
wadah-wadah yang ada di bumi, namun ia tidak bersyirik menyekutukan sesuatu
kepada-Ku, akan kuhadapinya dengan pengampunan sepenuh wadah-wadah itu. (Hadits
Riwayat Ath Thabrani, 272:127)”
Selain itu,
Allah SWT akan tetap memberikan ampunan kepada diri kita, sepanjang diri kita
minta ampun kepada Allah SWT. Hal ini berdasarkan
hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Abu Said ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: Berkata Iblis kepada Tuhannya: Demi keagungan dan
kebesaran-Mu, akan aku sesatkan selalu anak-anak Adam selama ruh dikandung
badan mereka. Lalu Allah berfirman kepadanya: Demi keagungan dan kebesaran-Ku
akan Aku ampuni mereka selama mereka beristighfar minta ampun pada-Ku. (Hadits
Riwayat Abu Nua’im, 272:261). Lalu
adakah perbedaan yang mencolok antara
sikap setan kepada diri kita dibandingkan dengan sikap Allah SWT kepada diri
kita?
Selanjutnya untuk mempertegas
3 (tiga) sikap Allah SWT kepada umat manusia yang telah kami kemukakan di atas,
mari kita perhatikan dengan seksama beberapa kehendak Allah SWT yang berhubungan
erat dengan keberadaan manusia yang tidak lain adalah abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, yang kesemuanya sudah berlaku sampai
dengan hari kiamat kelak, yaitu:
1. Allah SWT berkehendak untuk memberikan
kasih sayang-Nya kepada setiap manusia, sepanjang manusia itu mau memenuhi
apa-apa yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam surat
Maryam (19) ayat 96 berikut ini: “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah[911]
akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang”.
[911] Dalam surat Maryam ini nama Allah Ar Rahmaan banyak disebut, untuk
memberi pengertian bahwa, Allah memberi ampun tanpa perantara.
2. Allah SWT berkehendak untuk
memberikan nikmat dan rahmat kepada setiap orang yang taqwa atau sepanjang
manusia itu mau memenuhi apa-apa yang dikehendaki Allah SWT akan memberi nikmat
dan rahmat-Nya. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: negeri akhirat[1140] itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak
ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan
(yang baik)[1141] itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa. Barangsiapa yang
datang dengan (membawa) kebaikan, Maka baginya (pahala) yang lebih baik daripada
kebaikannya itu; dan Barangsiapa yang datang dengan (membawa) kejahatan, Maka
tidaklah diberi pembalasan kepada orang-orang yang telah mengerjakan kejahatan
itu, melainkan (seimbang) dengan apa yang dahulu mereka kerjakan. (surat Al
Qashash (28) ayat 83-84)
[1140] Yang dimaksud kampung akhirat di sini
ialah kebahagiaan dan kenikmatan di akhirat.
[1141] Maksudnya: syurga.
Selanjutnya bagaimana
dengan manusia yang sombong, yang selalu berbuat kerusakan, yang tidak mau
bertaqwa atau pada saat menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di
muka bumi justru melakukan kejahatan dan kerusakan? Allah SWT akan
memberikan balasan tetapi tidak sama dengan balasan kepada abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya yang taqwa sebab balasan untuk mereka sesuai dengan
apa yang mereka perbuat. Jika ia jahat maka kejahatanlah hasilnya dan jika
kerusakan maka kerusakanlah hasilnya.
Akhir dari itu semua terpulang kepada diri kita sendiri karena pilihan ada di
tangan kita, apakah mau ke syurga atau mau ke neraka? Selamat Memilih.
3. Allah SWT berkehendak untuk mengazab setiap manusia yang sombong
atau yang tidak sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini sebagaimana
dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “Maka
keluarlah Karun kepada kaumnya dalam kemegahannya[1139]. berkatalah orang-orang
yang menghendaki kehidupan dunia: "Moga-moga kiranya kita mempunyai
seperti apa yang telah diberikan kepada Karun; Sesungguhnya ia benar-benar
mempunyai keberuntungan yang besar".
berkatalah orang-orang yang dianugerahi ilmu: "Kecelakaan yang besarlah
bagimu, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan
beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang
sabar". (surat Al Qashash (28) ayat 79-80)
[1139] Menurut mufassir: Karun ke luar dalam satu iring-iringan yang
lengkap dengan pengawal, hamba sahaya dan inang pengasuh untuk memperlihatkan
kemegahannya kepada kaumnya.
Untuk itu Allah SWT
berkehendak kepada abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya untuk selalu
rendah hati kepada siapapun juga apalagi kepada Allah SWT sebab congkak dan
sombong hanya Milik Allah SWT semata selaku pencipta dan pemilik alam semesta
ini.
4. Allah SWT berkehendak untuk mengajarkan AlQuran sepanjang manusia
mau menerima, mau mengimani, mau mempelajari dan mau melaksanakan isi dan kandu-ngan AlQur’an yang tidak lain adalah wahyu dari
Allah SWT itu sendiri, yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal ini
sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) AlQuran karena hendak
cepat-cepat (menguasai)nya[1532]. Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
mengumpul-kannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami
telah selesai membacakannya Maka ikutilah
bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas tanggungan kamilah
penjelasannya. (surat Al Qiyaamah (75) ayat 16-17-18-19)
[1532] Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w.
dilarang oleh Allah menirukan bacaan Jibril a.s. kalimat demi kalimat, sebelum
Jibril a.s. selesai membacakannya, agar dapat Nabi Muhammad s.a.w. menghafal
dan memahami betul-betul ayat yang diturunkan itu.
Adalah
sangat zhalim bagi Allah SWT jika Allah SWT berkehendak kepada abd’ (hamba)-Nya
yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi tanpa memberikan pedoman dan petunjuk
yang baku. Selanjutnya Allah
SWT juga bertanggung jawab untuk mengajarkan kepada semua abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya yang mau mempelajarinya. Cara dan Methode Allah SWT di
dalam memberikan pemahaman dan pembelajaran kepada manusia atas kitab yang diturunkan-Nya,
sangat berbeda dengan cara yang berlaku diantara manusia. Allah SWT mempunyai
cara tersendiri di dalam memberikan pengajaran dan pemahaman bagi umatnya
sepanjang umatnya mau mempelajari kitab Allah SWT.
Salah satu cara yang
ditempuh Allah SWT adalah melalui pemahaman lewat hati nurani atau dapat juga
melalui tanda-tanda atas ciptaannya atau kekuasaanya di alam. Untuk itu jika kita
ingin mendapatkan pemahaman dan pengajaran dari Allah SWT yaitu samakan
terlebih dahulu gelombang atau frekuensi hati nurani diri dengan gelombang atau
frekuensi Allah SWT, yaitu
jika Allah SWT
memiliki dan mempunyai frekuensi An Nuur maka hati nurani kitapun harus pula
memenuhi konsep An Nuur pula dan jika gelombang dan siaran Allah SWT adalah
Al-Quddus maka hati nurani kitapun harus memenuhi konsep Al-Quddus, demikian
seterusnya.
Kondisi ini makin
bertambah sulit dengan adanya standard ganda yang kita buat sendiri atau diri
kita sendiri malah membuat dan melaksanakan standard ganda kepada Allah SWT,
yaitu mau dengan sadar memenuhi syarat dan ketentuan operator selular akan
tetapi kepada Allah SWT pilih-pilih atau disesuaikan dengan kebutuhan atau
malah kita hanya mau melakukan aktivitas
“Misscall kepada Allah SWT” kemudian berharap Allah SWT menjawab seluruh
permintaan diri kita.
Hal ini tidak akan mungkin pernah terjadi dan tidak akan mungkin dikabulkan
oleh Allah SWT.
Hal yang harus kita
ingat adalah yang membutuhkan itu semua bukanlah Allah SWT, akan tetapi diri
kitalah yang membutuhkan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya berikut ini: “Wahai manusia! Kamulah yang memerlukan
Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (yang tidak memerlukan sesuatu). Yang
Maha Terpuji. (surat Fathir (35) ayat 15). Untuk
itu segeralah penuhi apa-apa yang dikehendaki Allah SWT maka Allah SWT akan
memberikan apa-apa yang telah dijanjikannya.
5. Allah
SWT berkehendak untuk mengubah nasib seseorang sepanjang orang tersebut ingin
berubah. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran,
di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah[767].
Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah
keadaan[768] yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki
keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan
sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (surat Ar Ra'd
(13) ayat 11).
[767] Bagi tiap-tiap manusia ada beberapa
Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat
yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah
Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah.
[768] Tuhan tidak akan merobah Keadaan mereka,
selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.
Allah SWT memberikan kesempatan ini
karena Allah SWT adalah Maha Pemaaf sehingga dengan Maaf-Nya tersebut diri kita
mempunyai kesempatan kedua untuk memperbaiki diri sehingga dapat pulang kampung
ke syurga atau sesuai dengan kehendak Allah SWT. Hal yang harus kita perhatikan
adalah bahwa kesempatan kedua yang diberikan oleh Allah SWT hanya berlaku
sebelum ruh diri kita dipisahkan oleh Malaikat Izrail dengan jasmani kita.
Untuk itu manfaatkanlah kesemapatan yang telah diberikan oleh Allah SWT ini
dengan sebaik mungkin sebab jika Malaikat Izrail sudah datang maka ia tidak
akan pernah gagal melaksanakan tugasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar