C. JIWA MUSHAWWILAH.
Untuk dapat menggambarkan jiwa mushawwilah di dalam
diri manusia, contohnya ada pada
surat Thaahaa (20) ayat 96 berikut ini: “Samiri menjawab: “Aku mengetahui sesuatu yang
mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku
melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku”.Diceritakan bahwa Samiri dengan kelicikan dan tipu
daya yang dilakukannya bermaksud untuk mempengaruhi umat Nabi Musa as, dalam
hal ini adalah Bani Israil agar kembali
menyembah berhala, dalam bentuk menyembah patung emas anak sapi yang dibuat
oleh Samiri sendiri. Dan untuk mencapai tujuan yang diharapkan oleh Samiri,
maka ia melakukan tindakan provokasi kepada umat Nabi Musa as. atau kepada Bani
Israil dengan mengatakan bahwa Nabi Musa as, telah meninggalkan mereka semua,
untuk itu sebaiknya kita semua kembali
lagi menyembah berhala setelah sebelumnya menyembah Allah SWT.
Upaya Samiri memprovokasi akhirnya berhasil mengajak
umat Nabi Musa as, atau Bani Israil kembali menyembah berhala. Keberhasilan
Samiri mempengaruhi umat Nabi Musa as, atau Bani Israil dikarenakan Samiri
mampu mempergunakan kemampuan Amanah yang 7 yang dimilikinya namun penggunaan
Amanah yang 7 tersebut tidak dilandasi dengan niat yang baik. Akan tetapi
dengan maksud dan tujuan yang busuk serta penuh kelicikan yaitu melalui
tindakan provokasi mengajak manusia kembali ke jalan yang sesat setelah
mendapatkan atau menyatakan beriman kepada Allah SWT.
Jiwa Mushawwilah adalah bentuk atau kondisi kejiwaan
seseorang dimana manusia yang melakukan hal ini selalu berbuat dalam keadaan
tenang dan tidak emosional namun dilandasi dengan niat busuk, penuh tipu daya, iri,
dengki serta penuh kelicikan sehingga segala apa yang dikerjakan akan terlihat
halus namun akibat yang ditimbulkan sangat luar biasa. Hal ini sebagaimana
firman Allah SWT berikut ini: “Sesungguhnya
orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu
jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan
memanjangkan angan-angan mereka”. (surat Muhammad (47) ayat 25)”.
Adapun ciri utama dari orang yang mempunyai jiwa mushawwilah
(jiwa yang licik) adalah di dalam bertindak, atau berbuat, atau berkehendak,
atau berfikir selalu di dalam ketenangan, penuh perhitungan dan berhat-hati di
dalam berbuat, atau bersifat munafik dikarenakan niat atau maksud dan tujuan
dari itu semua untuk menjatuhkan orang lain, untuk menipu orang lain, untuk
berbuat kejahatan, untuk bermufakat di dalam kejahatan, untuk melakukan kolusi
dan lain sebagainya sehingga mendatangkan keuntungan bagi pelaku itu sendiri
dan merugikan orang lain, merugikan masyarakat bahkan bangsa dan negara.
Timbul pertanyaan, bagaimanakah prosesnya sampai jiwa
mushawwilah terjadi di dalam diri manusia? Jiwa
Mushawwilah terjadi akibat dari manusia yang hanya mementingkan Jasmani atau
mendahulukan kepentingan jasmani dibandingkan kepentingan ruh/ruhani dengan
memperalat dan mendayagunakan Amanah yang 7 melalui cara-cara yang baik tetapi
dilandasi dengan niat atau maksud dan tujuan yang jelek, cara-cara yang buruk,
penuh kelicikan atau berada di dalam koridor nilai-nilai keburukan melalui
cara-cara fitnah, menyebarkan berita bohong, memperalat manusia untuk
mencapai maksud dan tujuan yang di
inginkannya, yang tentunya mengabaikan af’idah atau perasaan yang ada di dalam hati
nurani.
Contoh jiwa mushawwilah (jiwa yang licik) dalam
kehidupan sehari-hari adalah kejahatan kerah putih (white collar crime).
Seseorang yang ingin melaksanakan dan mensukseskan kejahatan kerah putihnya,
biasanya ia akan mempergunakan kelebihan-kelebihan yang dimilikinya terutama
yang berasal dari Amanah yang 7 tetapi dengan niat untuk menipu atau untuk
mengakali orang lain demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri ataupun
kelompoknya saja, tanpa pernah memperdulikan orang lain. Selain itu, manusia yang memiliki jiwa mushawwilah biasanya akan
terlihat sopan lagi santun, pendiam, mempunyai pengetahuan luas, akan tetapi
kesemuanya dibalut di dalam kemunafikan, kepura-puraan, kelicikan dalam rangka
menutupi atau mengelabui niat jahat yang akan dilakukannya, dan juga karena
Af’idah (perasaannya) sudah hilang ditelan oleh niat jahat. Selanjutnya
jika saat ini kita mengalami hal tersebut atau jika saat ini kita menjadi
pelaku kejahatan kerah putih, tolong renungkan apa yang akan kami kemukakan di bawah ini, yaitu:
1. Barangsiapa mengintrospeksi diri sendiri dia pasti
akan beruntung;
2. Barangsiapa lupa diri dia akan merugi;
3. Barangsiapa mengantisipasi akibat dari segala
perbuatannya dia akan selamat;
4. Barangsiapa yang memperturutkan ahwanya (hawa
nafsunya) dia akan sesat dan disesatkan.
Untuk itu jika kita ingin berbuat sesuatu pikirkanlah
masak-masak baik dan buruk dari tindakan yang akan kita ambil, tetapi tidak
terbatas hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk orang banyak. Hal ini
dikarenakan waktu tidak bisa diputar ulang serta menyesal tidak bisa dilakukan di
muka.
Jiwa fujur, yang terdiri dari jiwa hewani, jiwa amarah
dan jiwa mushawwilah merupakan bentuk kejiwaan manusia yang paling sesuai, yang
paling pas, yang paling diminati, dan yang paling disukai serta yang paling
mirip dengan perilaku syaitan, yang paling dikehendaki oleh syaitan serta yang
paling mulia di hadapan syaitan. Dan ketahuilah
bahwa manusia-manusia yang sukses melaksanakan, melakukan, menjalankan,
mengamalkan jiwa fujur di dalam kehidupan sehari-harinya, akan diberikan hadiah
dan penghargaan oleh Allah SWT berupa tempat kembali yaitu kampung kebinasaan
dan kesengsaraan. Jika sampai
manusia di tempatkan dan di pulangkan ke kampung kesengsaraan dan kebinasaan,
yang pasti adalah syaitan sangat senang, syaitan sangat gembira, syaitan sangat
bersuka cita sebab ia mendapatkan teman dan sahabat yang baik di dalam
mengarungi kehidupan di neraka jahannam.
Untuk itu jadikan kewaspadaan bahwa syaitan asalnya dari api dan jika syaitan kembali ke api, maka hal tersebut bukanlah menjadi sebuah persoalan bagi syaitan dikarenakan syaitan pulang kampung. Neraka adalah kampung halaman syaitan yang asli. Sekarang beranikah kita yang telah mengaku sebagai khalifah di muka bumi untuk pulang kampung bersama syaitan ke neraka Jahannam kelak dan jika kita tidak berani dan tidak mau pulang kampung ke neraka Jahannam maka taubatlah dengan taubatan nasuha saat ini juga sebelum ruh tiba dikerongkongan, karena sampai disitulah kesempatan untuk bertaubat berlaku kepada setiap manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar