Sebagaimana telah kita ketahui dan imani bersama bahwa Allah SWT adalah pencipta dan juga pemilik dari langit dan bumi beserta isinya termasuk di dalamnya pemilik dan pencipta seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Ini berarti segala ketentuan, segala hukum, segala undang-undang, segala peraturan yang ada di langit dan di bumi ini termasuk ketentuan kekhalifahan yang berada di muka bumi adalah ketentuan, hukum, undang-undang, peraturan dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari itu semuanya.
Jika
diri kita bukanlah pencipta dan juga bukan pula pemilik dari langit dan bumi
berarti kita adalah orang yang sedang menumpang, atau tamu yang ada di langit
dan di bumi ini sehingga harus tunduk patuh untuk melaksanakan segala
ketentuan, segala hukum, segala undang-undang, segala peraturan Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik, yang kesemunya termaktub di dalam kitab suci
AlQuran, terkecuali jika kita mau dianggap sebagai orang yang menumpang dan
tamu yang tidak tahu diri, yaitu sudahlah menumpang aturan main tuan rumah kita
langgar.
Sekarang
Allah SWT selaku pencipta dan pemilik langit dan bumi telah menetapkan adanya
ketentuan tentang Puasa di bulan Ramadhan seperti tertuang di dalam surat Al
Baqarah (2) ayat 183-184-185 yang kami kemukakan berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu
bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka Barangsiapa
diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka
(wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi Makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan[114], Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di
dalamnya diturunkan (permulaan) AlQuran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan
bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang
diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
[114] Maksudnya
memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.
Adanya
ketentuan yang tertuang dalam AlQuran surat Al Baqarah (2) ayat 183, 184, 185 yang
bermakna: (1) Perintah dapat diartikan sebagai hukum, undang undang, ketentuan yang
berlaku di muka bumi ini sehingga seluruh orang yang berada di muka bumi ini,
terutama yang beriman harus melaksanakan ibadah puasa yang bersifat wajib di
bulan Ramadhan sesuai dengan kehendak Allah SWT, terkecuali jika memiliki
alasan yang sesuai dengan syariat yang berlaku; (2) Perintah bukanlah tujuan akhir melalui sarana atau alat bantu bagi
diperintah melaksanakan puasa agar bisa memperoleh dan merasakan rasa
meningkatnya ketaqwaan, kembali fitrah, sehat dan selalu bersyukur.
Selanjutnya,
jika kita berbicara tentang suatu perintah maka perintah baru dapat dikatakan
sebagai sebuah perintah yang baku (maksudnya perintah yang dapat
dipertanggungjawabkan dan yang bermakna hakiki) maka perintah dimaksud harus
memenuhi 5(lima) buah ketentuan, yaitu: (a)
ada
yang memberi perintah; (b) ada yang
diperintah untuk melaksanakan suatu perintah; (c) ada isi perintah; (d) ada
syarat dan ketentuan perintah serta (e)
ada maksud dan tujuan dari perintah yang akan dilaksanakan oleh yang diperintah
yang tentunya harus sesuai dengan kehendak dari pemberi perintah.
Adanya kondisi ini kita tidak bisa melaksanakan perintah melaksanakan puasa
yang telah diperintahkan oleh Allah SWT dengan mempergunakan parameter dari
diri kita selaku yang diperintahkan untuk melaksanakan puasa. Sekarang
bagaimana dengan perintah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang
tercantum di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183-184-185 yang kami kemukakan di
atas? Perintah melaksanakan ibadah puasa wajib di bulan Ramadhan juga telah
memenuhi 5(lima) buah kriteria dasar yang
hakiki dari sebuah perintah,
yaitu:
Pertama, ada
yang memerintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dalam hal
ini Allah SWT selaku pemilik dan pencipta alam semesta ini termasuk di dalamnya
pemilik dan pencipta kekhalifahan yang ada di muka bumi ini. Allah SWT selaku
pemberi perintah melaksanakan ibadah puasa tidak mempunyai kepentingan apapun
dengan perintah yang diperintahkan-Nya. Allah SWT memberikan perintah melaksanakan
puasa dikarenakan Allah SWT sayang kepada umatNya, Allah SWT sangat peduli
kepada umatNya, Allah SWT berkehendak agar umatNya termasuk diri kita bisa pulang
kampung ke syurga, terutama bagi orang yang beriman.
Sekarang
mari kita perhatikan tentang Allah SWT selaku pencipta. Allah SWT sebagai
pencipta dari apa apa yang ada di alam semesta, tentu Allah SWT lah yang paling
ahli, yang paling memahami, apa apa yang telah diciptakannya, termasuk yang paling
ahli dan yang paling memahami tentang diri manusia yang terdiri dari jasmani
dan ruhani. Dan dalam Ilmu Allah SWT yang begitu luar biasa, dapat dipastikan
Allah SWT pasti memiliki sebuah methode yang canggih pula untuk menjaga dan
merawat jasmani dan ruhani diri kita yaitu melalui perintah melaksanakan puasa.
Perintah melaksanakan puasa adalah sebuah methode Islami yang paling canggih
bagi kepentingan jasmani manusia, karena dengan methode ini tidak ada satupun
komponen jasmani yang rusak akibat berpuasa. Justru dengan berpuasa jasmani
menjadi sehat, dan akan menjadi lebih tinggi kualitas kesehatannya apabila
ruhani diri kita beriman yang diikat dengan niat yang ikhlas saat melaksanakan
puasa. Akhirnya kekhalifahan di muka bumi dapat terjaga dan terpelihara sesuai
dengan kehendakNya.
Kedua, ada
yang diperintahkan untuk melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan, dalam hal
ini hanya bagi orang yang beriman. Ingat, perintah kepada orang yang beriman
tanpa memandang pangkat, jabatan, kaya,
miskin, tua, muda, laki laki, perempuan, sepanjang orang tersebut beriman atau
mengaku telah beriman maka wajib bagi yang bersangkutan untuk melaksakanan apa
yang terlah diperintahkan Allah SWT kepadanya. Sebagai orang yang telah
diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpuasa di bulan Ramadhan, tunjuk diri sendiri
sudahkah saya menjadi orang yang beriman! Jika belum berarti ada yang salah
dalam diri kita. Adanya kekhususan orang yang diperintah untuk melaksanakan
puasa yaitu hanya bagi orang yang
beriman semata, menunjukkan hanya orang yang berimanlah wajib melaksanakan
puasa dan hanya orang berimanlah yang akan mampu melaksanakan perintah dimaksud
dengan baik dan benar. Apalagi telah kita ketahui bersama bahwa orang yang
beragama Islam belum tentu ia beriman. Lalu sudahkah kita menjadi orang yang
beriman seperti yang dikehendaki Allah SWT?
Ketiga, ada
perintah yang harus dilaksanakan, dalam hal ini perintah untuk melaksanakan
puasa wajib di bulan Ramadhan. Perintah ini bermakna bahwa ibadah puasa
merupakan ibadah yang bersifat wajib berlaku kepada diri orang yang beriman
dan harus dilaksanakan hanya saat di
bulan Ramadhan. Ini berarti ada sesuatu yang istimewa yang sudah dipersiapkan
oleh Allah SWT di bulan Ramadhan untuk kepentingan ruhani diri kita dan juga
bagi jasmani diri kita dan juga untuk keberlangsungan kekhalifahan di muka bumi
melalui hidup yang selalu bersyukur dalam ketaqwaan, dengan catatan kita harus
menjadi orang yang beriman terlebih dahulu.
Hal
yang harus kita ketahui tentang isi perintah adalah isi dari perintah yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT terdiri dari dua hal yang berbeda, yaitu ada
aktivitas yang harus kita laksanakan, yaitu puasa dan adanya waktu atau saat
aktivitas puasa yang harus dilaksanakan, yaitu di bulan Ramadhan. Dari sisi
waktu pelaksanaan puasa wajib di bulan Ramadhan dapat kita maknai bahwa bulan
Ramadhan adalah saat yang tepat atau waktu yang pas bagi ruhani dan juga bagi
jasmani dirawat, dijaga, disempurnakan, dikembalikan ke posisi semula (sesuai
dengan fitrahnya). Ruhani menjadi fitrah kembali atau meningkat derajatnya
menjadi orang yang bertaqwa serta jasmani menjadi sehat dan bugar sehingga kita
mampu beraktifitas secara normal.
Untuk
itu, bersiaplah untuk merasakan sesuatu yang luar biasa yang terdapat di balik
perintah puasa wajib di bulan Ramadhan, berupa kebaikan bagi ruhani melalui
ibadah sunnah menjadi wajib, ibadah wajib dilipatgandakan serta adanya syaitan
yang dibelenggu sehingga tingkat keimanan ruh bertambah menjadi derajat taqwa.
Jika sudah seperti ini maka nilai nilai ilahiah yang menjadi sifat ruhani
menjadi perbuatan diri kita serta ruhani juga mampu mengendalikan pancaindera
sesuai dengan nilai nilai kebaikan. Ditambah dengan sehatnya jasmani. Alangkah
hebatnya Allah SWT, alangkah sayangNya Allah kepada diri kita. Lalu sudahkah
kita paham dengan hal ini!
Keempat, ada
syarat dan ketentuan yang harus dilaksanakan oleh yang diperintahkan
melaksanakan puasa (maksudnya orang yang beriman), yang berasal dari Allah SWT
selaku pemberi perintah. Adanya kondisi ini menunjukkan bahwa perintah yang
berasal dari Allah SWT harus dilaksanakan sesuai dengan kehendak pemberi
perintah. Jika tidak, berarti ada yang salah dalam pelaksanaaan ibadah puasa
yang kita laksanakan. Untuk itu sudahkah kita mempelajari dan lalu memahami prasyarat
berpuasa yang dikehendaki oleh Allah SWT sebelum diri kita berpuasa di bulan
Ramadhan, seperti (1) mampu memahami syarat wajib melaksanakan puasa; (2) mampu memahami
arti perintah melaksanakan puasa; (3) mampu memahami apa yang dimaksudkan
dengan puasa; (4) mampu memahami rahasia/hikmat dari ibadah puasa; (5) mampu
memahami bahaya jika tidak mau melaksanakan puasa; (6) mampu memahami siapa
diri kita dan siapa itu Allah SWT dan (7) mampu memahami pekerjaan atau
perbuatan saat berpuasa.
Kelima, ada
maksud dan tujuan dari perintah melaksanakan ibadah puasa dan jika sampai suatu
perintah tidak memiliki maksud dan tujuan tertentu berarti perintah ini bisa
dikatakan bukanlah perintah yang sempurna. Allah SWT sangat luar biasa
kemahaanNya, sangat luar biasa ilmuNya tentu kemahaan yang dimilikiNya wajib
tampil dalam ciptaanNya, dalam hal ini dalam jasmani dan ruhani diri kita.
Adanya kondisi ini maka tujuan dari perintah melaksanakan puasa juga untuk
kepentingan jasmani dan ruhani diri kita karena setiap manusia adalah makhluk
dwidimensi.
Sekarang
mari kita perhatikan jasmani diri kita yang begitu sangat luar biasa kehebatannya,
lalu apakah dengan kehebatan yang dimiliki oleh jasmani bisa kita pergunakan
tanpa henti, tanpa istirahat? Allah SWT memerintahkan berpuasa di bulan
Ramadhan merupakan salah satu cara atau methode untuk merawat, menjaga,
mengembalikan fungsi fungsi jasmani agar kesehatannya terjaga dari waktu ke
waktu. Jika sekarang bulan Ramadhan sudah ditetapkan oleh Allah SWT untuk
berpuasa berarti Allah SWT selaku pencipta jasmani telah menentukan jadwal
tetap untuk merawat, menjaga, mengembalikan kualitas kesehatan jasmani sesuai dengan konsep awal
diciptakan oleh Allah SWT.
Hal
yang samapun berlaku kepada ruhani diri kita, karena puasa itu adalah ibadah
ruhiyah dalam kerangka meningkatkan keimanan atau menjadikan diri kita naik
tingkat menjadi derajat taqwa yang pada akhirnya mampu menjadikan penampilan
diri kita menjadi penampilan Allah SWT di muka bumi yang sesuai dengan konsep
asmaul husna. Di lain sisi, saat bulan Ramadhan, Allah SWT juga memberikan
kesempatan kepada diri kita untuk dapat meraih dan merasakan apa yang dinamakan
dengan malam seribu bulan. Melihat begitu luar biasanya manfaat yang ada di
balik perintah puasa di bulan Ramadhan maka tidak berlebihan jika sampai kita
tidak mau melaksanakannya berarti kita telah mendzalimi diri sendiri, padahal
Allah SWT sangat sayang kepada diri kita.
Adanya
5 (lima) ketentuan yang kami kemukakan di atas, menunjukkan kepada diri kita
bahwa perintah melaksanakan ibadah puasa yang telah diperintahkan oleh Allah
SWT tidak bisa dipandang sebagai perintah yang bersifat asal-asalan. Asal sudah
dikerjakan maka selesai sudah kewajiban kita laksanakan serta tidak dapat pula
kita laksanakan dengan mempergunakan parameter yang berasal dari diri kita
sendiri selaku yang diperintahkan untuk berpuasa. Perintah melaksanakan ibadah
puasa harus tercermin hasilnya setelah puasa dilaksanakan, maka barulah puasa
yang kita laksanakan dapat dikatakan telah kita laksanakan dengan baik dan
benar sesuai dengan kehendak Allah SWT selaku pemberi perintah. Sekarang
bagaimana jika kita yang sedang menumpang, atau kita yang sedang menjadi tamu
di langit dan di bumi Allah SWT tidak mau melaksanakan ketentuan Allah
SWT?
Jawaban
dari pertanyaan ini ada pada hadits yang kami kemukakan berikut ini: “Anas ra,
berkata: Nabi Saw bersabda: Allah ta’ala berfirman: Barangsiapa tidak rela
dengan hukum-Ku dan takdir-Ku maka hendaklah ia mencari Tuhan selain Aku. (Hadits
Qudsi Riwayat Al Baihaqi dari Ibnu Umar serta Atthabarani dan Ibnu Hibban dari
Abi Hind, Al Baihaqi dan Ibnu Najjar, 272:153).” Kita
dipersilahkan untuk mencari Tuhan selain Allah SWT yang berarti kita harus
keluar dari langit dan bumi Allah SWT. Masih ada resiko yang harus kita
tanggung jika kita tidak mau melaksanakan ibadah puasa adalah segala kebaikan
bagi ruhani dan segala kebaikan bagi jasmani tidak dapat kita rasakan dari
ibadah puasa serta kita dimasukkan ke dalam orang orang yang tidak mau
bersyukur. Hal yang tidak kalah penting adalah dengan kita tidak mau
melaksanakan ibadah puasa akan menghantarkan diri kita menjadi sahabat/teman
yang didambakan syaitan sang Laknatullah sehingga bertambah banyaklah penghuni
neraka.
Sekarang
Allah SWT sudah memerintahkan diri kita untuk melaksanakan ibadah puasa wajib di
bulan Ramadhan karena adanya hubungan antara Allah SWT dengan diri kita.
Selanjutnya untuk mempertunjukkan, untuk memperlihatkan serta untuk membuktikan
adanya hubungan dimaksud, ada baiknya kita mempelajari beberapa sikap Allah SWT
kepada diri kita sebagai bentuk adanya hubungan antara Allah SWT dengan diri
kita selaku khalifahNya. Selanjutnya, berdasarkan surat Yunus (10) ayat 44 yang
kami kemukakan berikut ini: “Sesungguhnya
Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia Itulah
yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri.” Dan
juga berdasarkan surat An Nisaa’ (4) ayat 79 yang kami kemukakan berikut ini: “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari
Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu
sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah
Allah menjadi saksi. dan juga dua buah hadits qudsi yang kami
kemukakan di bawah ini, terlihat sangat jelas betapa Allah SWT sangat sayang
kepada khalifahNya termasuk kepada diri kita.
Rasulullah SAW meriwayatkan bahwa Allah SWT
berfirman: “Wahai hamba-Ku, Aku mengharamkan diri-Ku untuk berbuat Zalim. Aku
juga mengharamkan hal itu kepada kalian, maka kalian tidak boleh berbuat zalim.
Wahai hamba-Ku, kalian akan tersesat, kecuali orang yang mendapatkan
petunjuk-Ku. Karena itu mintalah petunjuk kepada-Ku, niscaya Aku akan memberi
kalian petunjuk. Wahai hamba-Ku, kalian akan kelaparan, kecuali orang yang Aku
berikan makanan. Karena itu, mintalah makanan kepada-Ku niscaya Aku memberi
kalian makanan. Wahai hamba-Ku, kalian akan telanjang kecuali orang yang Aku
berikan pakaian. Karena itu mintalah pakaian kepada-Ku niscaya AKu akan memberi
kalian pakaian. Wahai hamba-Ku, kalian pasti melakukan dosa pada siang dan
malam hari, tapi Aku yang mengampuni seluruh dosa, maka mohonlah ampunan
kepada-Ku, niscaya Aku akan mengampuni dosa kalian. Wahai hamba-Ku, kalian
tidak akan dapat memberikan kerugian atau keuntungan bagi-Ku. Wahai hamba-Ku,
sekiranya manusia dan jin, sejak dulu hingga akhir jaman, menyembah-Ku dengan
dengan tingkatan taqwa yang paling tinggi, niscaya hal itu tidak akan
memberikan kontribusi apapun pada kekuasaan-Ku. Wahai hamba-Ku, sekiranya
seluruh manusia dan jin sejak dulu hingga akhir zama melakukan perbuatan keji,
hal itu tidak akan membuat kekuasaan-Ku menjadi lemah. Wahai hamba-Ku, sekiranya
seluruh manusia dan jin sejak dulu hingga akhir zama berdiri di atas suatu
tempat di bumi ini, lalu mereka memohon kepada-Ku, kemudian Aku mengabulkan
permintaan tiap-tiap mereka, niscaya hal itu tidak akan mengurangi apa yang ada
pada-Ku, bak jarum ketika dimasukkan ke lautan. Wahai hamba-Ku, laksanakanlah
amal ibadah yang telah Aku tetapkan, dan Aku akan mencatatnya kebaikan, maka
bersyukurlah kepada Allah, dan apabila mendapatkan yang sebaliknya, maka
salahkanlah dirimu sendiri.” (Hadits Riwayat Muslim)
Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah
ta’ala berfirman: “Wahai anak Adam! Jika engkau ingat kepada-Ku, Aku ingat kepadamu dan
bila engkau lupa kepada-Ku, Akupun ingat kepadamu. Dan jika engkau ta’at
kepada-Ku pergilah kemana saja engkau suka, pada tempat dimana Aku berkawan
dengan engkau dan engkau berkawan dengan da-Ku, Engkau berpaling dari pada-Ku
padahal Aku menghadap kepadamu. Siapakah yang memberimu makan dikala engkau
masih janin di dalam perut ibumu. Aku selalu mengurusmu dan memeliharamu sampai
terlaksanalah kehendak-Ku bagimu, maka setelah Aku keluarkan engkau ke alam
dunia engkau berbuat banyak maksiat. Apakah demikian seharusnya pembalasan
kepada yang telah berbuat kebaikan kepadamu. (Hadits Qudsi Riwayat Abu Nasher
Rabi’ah bin Ali Al-Ajli dan Arrafi’ie; 272:182). Untuk
itu perhatikanlah pernyataan Allah SWT yang tidak akan berbuat dzalim kepada
diri kita dengan selalu memberikan nikmat yang tiada henti kepada diri kita.
Apapun yang kita minta, Allah SWT akan memberikannya. Allah SWT tetap menghadap
kepada diri kita walaupun kita berpaling dari pada-Nya.
Sekarang,
kita sudah tahu sikap Allah SWT kepada diri kita, lalu bagaimana sikap kita
kepada Allah SWT? Sikap Allah SWT yang kami kemukakan di atas menjadi tidak
berlaku jika kita yang disikapi oleh Allah SWT tidak mau bersikap untuk
menyikapi sikap Allah SWT tersebut di atas. Lalu akan menjadi sia-sialah segala
apa-apa yang telah dijanjikan oleh Allah SWT kepada diri kita, jika kita
sendiri tidak mau menerima, tidak mau berbuat untuk menyikapi sikap Allah SWT tersebut
di atas. Hal yang harus kita pahami adalah apa yang dipersiapkan oleh Allah SWT
untuk diri kita tidak akan mungkin diberikan oleh Allah SWT kepada diri kita
jika kita sendiri pasif atau hanya menunggu untuk diberikan sesuatu oleh Allah
SWT. Ingat, adanya aksi baru ada reaksi sehingga tidak akan mungkin ada reaksi
dari Allah SWT jika kita tidak pernah beraksi terlebih dahulu. Disinilah letak
perjuangan kita dengan selalu berusaha secara aktif jika ingin memperoleh apa
yang telah dijanjikan Allah SWT.
Saat
ini dan juga sampai hari kiamat kelak, Allah SWT telah memerintahkan kepada
diri kita untuk melaksanakan puasa wajib di bulan Ramadhan. Adanya kondisi ini
dapat dipastikan dibalik perintah ibadah puasa yang telah diperintahkan pasti
ada sesuatu makna yang tersembunyi yang siap diberikan oleh Allah SWT kepada
diri kita sepanjang diri kita mau menyikapi apa yang diperintahkan oleh Allah
SWT serta mau melaksanakan ibadah dimaksud sesuai dengan kehendak pemberi
perintah dengan memenuhi segala syarat dan ketentuan yang telah ditentukan oleh
Allah SWT. Sepanjang hal ini dilaksanakan dengan ikhlas maka Allah SWT pasti
akan memberikan segala hikmah dan manfaat kepada diri kita.
Perintah
dalam kehidupan sehari-hari harus dapat kita maknai bukanlah tujuan akhir dari
perintah itu sendiri. Perintah adalah sarana bagi yang diperintahkan untuk
melaksanakan perintah agar mampu memperoleh manfaat yang hakiki yang terdapat
di balik perintah. Dan juga sebagai bukti bahwa yang memerintah sangat sayang
kepada yang diperintah.
Sebagai
bahan perbandingan, mari kita pelajari tentang mandi. Mandi merupakan sarana
bagi manusia yang tidak akan mungkin bisa menghindarkan diri dari adanya
keringat, bau badan, daki ataupun kotoran akibat adanya gerakan tubuh dan
pengaruh lingkungan. Dan untuk mengatasi hal tersebut kita sangat membutuhkan
mandi. Sekarang mari kita bercerminkan dengan perintah mandi yang diperintahkan
oleh orang tua kita saat diri kita masih kecil. Mandikah yang diharapkan orang
tua ataukah sehat dan segar serta hilangnya bau badan, daki serta keringat yang
diharapkan oleh orang tua sehingga kita menjadi segar dan bugar serta segar
kembali?
Sebagai
orang tua yang memerintahkan anak untuk mandi, maka orang tua berharap anak
dapat memperoleh sehat dan segar serta hilangnya daki, bau badan serta keringat
melalui aktifitas mandi. Lalu bagaimana jadinya jika anak yang telah kita
perintahkan untuk mandi tetapi setelah mandi masih juga menggaruk-garuk
kegatalan? Jika ini yang terjadi pada anak kita berarti anak tersebut belum
mampu melaksanakan perintah sesuai dengan kehendak pemberi perintah. Adanya
kegagalan anak melaksanakan perintah, dimungkinkan terjadi karena anak tidak
bisa melaksanakan perintah yang sesuai dengan kehendak orang tua; yang kedua,
karena anak tidak percaya dengan perintah mandi yang telah diperintahkan
kepadanya; dan yang ketiga karena anak memang tidak mau melaksanakan mandi yang
sesuai dengan kehendak orang tua.
Sekarang
bagaimana dengan perintah mandi itu sendiri? Perintah mandi sampai dengan
kapanpun tidak salah atau perintah mandinya tidak salah, akan tetapi yang
diperintahkan untuk mandilah yang memiliki masalah. Jika ini kondisinya berarti
yang membutuhkan mandi adalah anak yang diperintahkan untuk mandi, sedangkan
yang memerintahkan untuk mandi hanya berkehendak agar anak memperoleh sehat dan
segar, hilang bau keringat serta gatal-gatal serta bersemangat kembali.
Lalu
bagaimana dengan perintah Puasa yang berasal dari pemilik dan pencipta langit
dan bumi kepada diri kita dan juga kepada orang yang beriman? Hal yang samapun
berlaku kepada perintah melaksanakan puasa, dimana Allah SWT selaku pemberi perintah juga berkehendak
agar yang diperintahkan untuk berpuasa dapat memperoleh dan merasakan langsung
manfaat dan hikmah yang hakiki yang ada dibalik perintah puasa. Dan jika
setelah berpuasa atau setelah hari raya idhul fitri, kita tidak bisa memperoleh
dan merasakan langsung manfaat dan hikmah yang hakiki yang terdapat dibalik
perintah puasa berarti perintah puasa yang diperintah oleh Allah SWT tidak
pernah salah (perintah puasanya tidak akan pernah salah), akan tetapi yang
diperintahkan puasalah yang memiliki masalah.
Untuk
itu mari kita bercermin dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
dimana suatu manfaat dan hikmah yang
hakiki tidak datang dengan tiba-tiba, atau tidak turun dari langit begitu saja
kepada diri kita. Hal ini dikarenakan manfaat dan hikmah merupakan hasil dari
suatu proses, atau disebut juga dengan output yang dihasilkan dari suatu input
yang di proses secara konsisten dari waktu ke waktu.
Jika kita ingin memperoleh dan merasakan langsung manfaat dan hikmah dari puasa yang telah diperintahkan oleh Allah SWT, maka kita harus terlebih dahulu memiliki ilmu tentang puasa, kita harus pula mengerti tentang syarat dan ketentuan yang dikehendaki oleh pemberi perintah melaksanakan puasa, kita juga harus mengerti tentang bagaimana puasa harus dilaksanakan (kita harus memiliki ilmu tentang syariat puasa) dan juga kita harus paham betul apa maksud dan tujuan, apa makna yang hakiki yang ada di balik perintah puasa. Jika kita mampu melakukan hal-hal di atas, kesempatan diri kita menjadi orang yang bertaqwa dan kembali fitrah serta mendapat bonus jasmani sehat telah kita miliki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar