Ibadah
puasa di bulan Ramadhan adalah ibadah Ruhiyah. Adanya ibadah puasa sebagai
ibadah Ruhiyah berarti pada saat kita berpuasa maka pada saat itu kita sedang
memberikan kesempatan bagi ruhani untuk ditingkatkan derajatnya oleh Allah SWT
menjadi derajat taqwa yang sesuai dengan kehendak Allah SWT yang tertuang di
dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum
kamu agar kamu bertakwa.” Adanya pernyataan Allah SWT di dalam
ketentuan ini menunjukkan bahwa seseorang baru dikatakan berhasil melaksanakan
puasa wajib di bulan Ramadhan jika ia mampu menjadikan
dirinya/jiwanya/ruhaninya mencapai derajat taqwa. Jika tidak berarti kitalah
yang masih memiliki persoalan dan masih bermasalah karena belum mampu
melaksanakan perintah Allah SWT yang sesuai dengan kehendakNya.
Sekarang
mari kita perhatikan sekali lagi dengan seksama tentang perintah puasa yang
terdapat di dalam surat Al Baqarah (2) ayat 183 yang menegaskan bahwa tujuan
utama puasa yang hakiki bukanlah menahan makan dan minum serta menahan syahwat
semata, bukan pula untuk merasakan penderitaan orang yang miskin dan kaum
dhuafa serta bukan pula menjadikan jasmani kita sehat. Tujuan puasa yang hakiki
puasa yang pertama adalah untuk menjadikan diri kita menjadi orang yang
bertaqwa, kembali fitrah dan selalu menjadi orang yang bersyukur sehingga
berguna bagi diri, keluarga, anak keturunan, masyarakat, bangsa dan negara
serta dapat bonus dari Allah SWT berupa sehatnya jasmani dan kondisi ini hanya
bisa kita peroleh dan rasakan jika kita mengetahuinya. (lihat kembali ujung
dari surat Al Baqarah (2) ayat 184).
Adanya
peningkatan derajat ketaqwaan dalam diri seseorang sangatlah memungkinkan
terjadi di akhir bulan Ramadhan sepanjang diri kita mampu menempatkan bulan
Ramadhan sebagai bulan pertandingan. Ingat, bulan Ramadhan harus kita tempatkan
sebagai bulan pertandingan, bukan bulan pelatihan. Untuk itu kita harus segera
mempersiapkan segalanya dan mengatur strategi disebelas bulan yang sedang
berjalan ini dengan berlatih sungguh sungguh dalam posisi keimanan yang mantap,
terkendali tanpa naik turun lagi. Sehingga pada waktu pertandingan kita siap
menghadapi segala sesuatunya serta siap pula menerima segala anugerah yang ada
di dalam bulan Ramadhan terutama karena adanya perbedaan aturan main yang khusus
berlaku hanya di bulan Ramadhan.
“Sekali
kali Allah tidak menilai bentuk rupamu atau banyaknya hartamu, dan tidak pula
menilai keadaanmu, tetapi yang Dia nilai adalah amal perbuatan dan niat
hatimu.” (Al Hadits) Ketahuilah dengan pasti bahwa Allah SWT
menilai seseorang bukan karena penampilan phisiknya, bukan pula karena
kedudukan, pangkat, kekayaan dan
jabatannya, bukan pula melihat dari panjang jenggotnya, baju dan celananya,
melainkan dari ketaqwaannya. Dan inilah parameter yang dipergunakan oleh Allah
SWT. Dan jika sekarang tujuan utama dari melaksanakan puasa untuk meningkatkan
derajat ketaqwaan, kembali fitrah, selalu bersyukur serta memperoleh jasmani
yang sehat maka sudah sepatutnya kita melaksanakan puasa di bulan Ramadhan ini
dengan baik dan benar.
Sekali
lagi kami kemukakan bahwa Allah SWT selaku pencipta dan sekaligus pemilik dari
rencana besar kekhalifahan di muka bumi ini, tentu sangat adil di dalam menilai
kekhalifahan yang diciptakan dan yang dimilikiNya. Allah SWT tidak akan menilai
kekhalifahanNya berdasarkan penampilan phisik seseorang seperti tinggi badan
seseorang, warna kulit, keturunan, bahasa, serta budayanya. Allah SWT juga
tidak akan menilai kekhalifahanNya berdasarkan pangkat dan jabatan seseorang,
harta kekayaan serta kedudukan seseorang. Allah SWT selaku pencipta dan pemilik
kekhalifahan yang ada di muka bumi ini tidak akan melakukan hal itu,
dikarenakan Allah SWT telah memiliki konsep penilaian tersendiri kepada setiap
khalifahNya yaitu berdasarkan tingkat ketaqwaan seseorang. Semakin baik ketaqwaan seseorang
maka semakin baik dan berkualitas diri seseorang, sebaliknya jika semakin buruk
ketaqwaan seseorang maka semakin buruk seseorang dihadapan Allah SWT.
Sebagai
orang yang akan dinilai tingkat ketaqwaannya oleh Allah SWT maka kita tidak
bisa menentukan sendiri bahwa kita telah bertaqwa kepada Allah SWT, atau
menyatakan diri telah bertaqwa kepada Allah SWT dengan mempergunakan parameter
yang kita tentukan sendiri. Adanya kondisi ini kita tidak tahu berapa tingkat
ketaqwaan kita, hanya Allah SWT sajalah yang tahu berapa sebenarnya tingkat
(kualitas) dari ketaqwaan yang kita miliki. Nabi Muhammad SAW bersabda: “At
Taqwa ha Huna,” (takwa itu disini,.…sambil menunjuk dadanya). Ia mengisyaratkan
bahwa letak dari sebuah ketakwaan adalah di dalam hati. (Hadits Riwayat Muslim).
Jangan
sampai kita merasa atau mengaku ngaku telah bertaqwa kepada Allah SWT padahal
kenyataannya tidak sesuai dengan konsep yang telah Allah SWT tetapkan, yaitu
Allah SWT sajalah yang berhak menilai ketaqwaan seseorang. Jika ini keadaannya
berarti kita harus segera memiliki ilmu tentang ketaqwaan yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT saat ini juga karena kita sangat berkepentingan dengan kualitas
taqwa tersebut. Ayo kita pelajari dengan sebaik mungkin tentang taqwa itu.
Kata
taqwa di dalam AlQuran terulang sebanyak 259 kali dengan makna yang sangat
beragam sehingga taqwa memiliki makna yang sangat luas sehingga tidak bisa
didefinisikan dalam satu definisi semata. Luasnya pengertian dari taqwa
mengharuskan diri kita untuk belajar dari waktu ke waktu dari satu pengertian
ke pengertian lainnya. Dimana masing masing pengertian dari taqwa itu sendiri akan
selalu saling lengkap melengkapi, yang menunjukkan betapa dalamnya makna yang
terkandung di balik kata dan pengertian taqwa itu. Sekarang mari kita bahas
tentang apa itu taqwa, yaitu:
1. Secara etimologi taqwa berasal dari kata
waqa, yaqi, wiqayah yang artinya menjaga diri, menghindari dan menjauhi atau
mencegah dari sesuatu yang dibenci dan dilarang Allah. Secara terminologi taqwa
berarti: “takut kepada Allah berdasarkan kesadaran dengan mengerjakan segala
perintahNya dan menjauhi segala laranganNya serta takut terjerumus dalam
perbuatan dosa.”
2. Ibnu Abbas ra, mendefinisikan bahwa taqwa
adalah takut berbuat syirik kepada Allah dan selalu mengerjakan ketaatan
kepadaNya. Ketika Abu Dzar Al Ghifari meminta nasihat kepada Rasulullah SAW,
maka pesan paling pertama dan utama yang beliau sampaikan kepada sahabatnya itu
adalah taqwa. Kata Rasulullah SAW, “Saya wasiatkan kepadamu, bertaqwalah engkau
kepada Allah karena taqwa itu adalah pokok dari segala perkara”.
3. Berdasarkan ketentuan surat Al Baqarah (2)
ayat 40 berikut ini: “Wahai Bani Israil, Ingatlah nikmatKu yang
telah Aku berikan kepadamu. Dan penuhilah janjimu kepadaKu, niscaya Aku penuhi
janjiKu kepadamu, dan takutlah kepadaKu saja.” taqwa kepada Allah
adalah rasa takut, takzim dan kagum kepada Allah SWT serta mengakui
superioritas Allah SWT. Alhasil dari pernyataan ini adalah kita bukanlah apa
apa dibandingkan dengan Allah SWT. Taqwa juga dapat dikatakan sebagai takutnya
diri kita akan hukum/ketentuan/aturan yang berasal dari Allah SWT termasuk di
dalamnya takut akan azab yang akan ditimpakan oleh Allah SWT kepada yang
melanggar aturanNya.
4. Berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3)
ayat 102 berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Bertakwalah
kepada Allah sebenar benar takwa kepadaNya dan janganlah kamu mati kecuali
dalam keadaan muslim.” taqwa kepada Allah adalah taat dan beribadah
yang sesuai dengan kehendak Allah. Alhasil dari pernyataan ini adalah ibadah
yang kita lakukan bukanlah menjadi sebuah kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan
yang hakiki bagi diri kita sendiri.
5. Berdasarkan ketentuan surat An Nur (24) ayat
52 berikut ini: “Dan barangsiapa taat kepada Allah dan RasulNya serta takut kepada
Allah dan bertakwa kepadaNya, mereka itulah orang orang yang mendapatkan
kemenangan.” taqwa kepada Allah adalah menyucikan hati dari noda dan
dosa.
6. Berdasarkan ketentuan surat An Nisaa’ (4)
ayat 131 berikut ini: “Dan milik Allah lah apa yang ada di langit
dan apa yang ada di bumi, dan sungguh, Kami telah memerintahkan kepada orang
yang diberi kitab suci sebelum kamu dan (juga) kepadamu agar bertakwa kepada
Allah. Tetapi jika kamu ingkar (ketahuilah), milik Allah lah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Mahakaya, Mahaterpuji.” taqwa
kepada Allah adalah wasiat (perintah) yang ditujukan kepada seluruh umat
manusia tanpa terkecuali.
7. Berdasarkan
ketentuan surat Al Maidah (5) ayat 100
berikut ini: “Maka bertakwalah kepada Allah, hai orang orang yang mempunyai akal
sehat, agar kamu beruntung.” taqwa kepada Allah adalah jalan menggapai
keberuntungan/kemenangan..
8. Berdasarkan
ketentuan surat Al Baqarah (2) ayat 197 berikut ini: “Berbekallah, dan sesungguhnya
sebaik baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepadaKu hai orang orang yang
berakal.” taqwa kepada Allah adalah bekal menuju hari pembalasan karena
sebaik baik bekal adalah taqwa.
9. Berdasarkan ketentuan surat Al Maaidah (5)
ayat 8 yang kami kemukakan berikut ini: “Wahai orang orang yang beriman! Jadilah
kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku
tidak adil. Berlaku adillah. Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu
kerjakan.” serta berdasarkan
surat Al Anfal (8) ayat 1 yang kami kemukakan berikut ini: “Mereka menanyakan kepadamu
(Muhammad) tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah, “Harta
rampasan perang itu milik Allah dan Rasul (menurut ketentuan Allah dan
RasulNya),maka bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara
sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan RasulNya jika kamu orang orang yang
beriman.” taqwa adalah taat dan patuhnya diri kita kepada apa apa yang
diperintahkanNya dan yang telah dilarang oleh Allah SWT sehingga ia mampu
menjadi penegak keadilan serta tidak mau mengambil sesuatu yang bukan haknya
serta selalu menjaga hubungan baik diantara sesama manusia.
10. Berdasarkan ketentuan surat Yunus (10) ayat
31 sebagaimana kami kemukakan berikut ini:
“Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari
langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran,
penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan
mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala
urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah”. Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak bertakwa (kepadaNya)?.”
11. Dan berdasarkan surat An Nisaa (4) ayat 14
berikut ini: “Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan RasulNya dan melanggar batas
batas hukumNya, niscaya Allah memasukkannya
ke dalam api neraka, dia kekal di dalamnya dan dia akan mendapat azab
yang menghinakan. (surat An Nisaa’ (4) ayat 14) taqwa adalah memelihara
diri dari terputusnya hubungan antara diri kita dengan Allah SWT dengan selalu
patuh dan taat kepada apa yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SW
Selain
dari sebelas hal yang telah kami kemukakan di atas tentang taqwa serta untuk
menambah wawasan dan pemahaman tentang taqwa/ketaqwaan yang telah kita miliki.
Masih ada lagi pengertian mendasar dari taqwa/ketaqwaan yang harus kita
pelajari, yang harus kita pahami dan selanjutnya yang harus kita laksanakan dan
amalkan dalam hidup dan kehidupan ini, yaitu:
a. Taqwa kepada Allah adalah alat bantu untuk melindungi
diri dari apa yang merugikan diri di kehidupan dunia dan merusak diri di
kehidupan akhirat. Semakin diri ini dibatasi, semakin baik diri ini.
b. Taqwa
kepada Allah adalah takut kepada Allah dan menjaga diri dari kedurjanaan,
keburukan, kejahatan, kekejiaan, dan dosa.
c. Taqwa kepada Allah adalah cahaya di dalam
hati, sedangkan dampak dan pengaruhnya akan nampak jelas di dalam perbuatan
anggota tubuh dan hati.
d. Taqwa
kepada Allah adalah cahaya yang Allah tempatkan dalam hati orang orang yang
beriman. Tak ada yang mengetahui kadarnya kecuali Allah dan tak ada yang
mengetahui siapa yang paling bertakwa, kecuali Allah SWT.
e. Taqwa kepada Allah adalah sifat teragung yang
bersemayam di dalam diri orang beriman, taat, dan memiliki jiwa ikhsan. Takwa
adalah sifat yang melekat sangat kuat dalam hati dan nurani mereka.
f. Taqwa kepada Allah adalah faktor kemenangan,
sumber kebaikan dan perbaikan. Orang yang memiliki sifat ini akan hidup dalam
keberuntungan, tak akan pernah sengsara apalagi menderita.
g. Taqwa kepada Allah adalah pilar yang menopang
orang beriman di dunia, cahaya yang akan menerangi kuburnya, dan petunjuk yang
akan menuntunnya di akhirat menuju syurga yang penuh kenikmatan.
h. Taqwa
kepada Allah adalah kalimat agung. Tak ada kebaikan bagi kita jika kita tak
pernah mengucapkannya, dan tak ada kebaikan pada diri orang yang mendengarnya
tapi tidak melaksanakannya.
i. Taqwa kepada Allah adalah kalimat yang tidak
asing dikalangan manusia, akan tetapi yang mampu melaksanakannya sangatlah
sedikit.
j. Taqwa kepada Allah adalah kalimat yang
memuliakan Salman Al Farisi, Shuhaib Ar Rumi, dan Bilal al Habsyi. Akibat enggan
menerima kalimat ini, maka Abu Lahab tetap terbenam dalam kemusyrikan dan
menderita dalam siksaan.
k. Taqwa
kepada Allah adalah benteng yang melindungi dikala susah dan tabungan yang
sangat berguna dikala sengsara.
l. Taqwa kepada Allah bukan sekedar ucapan dan
materi pelajaran yang hanya disampaikan di ruang perkuliahan atau di atas
mimbar. Tapi harus diterapkan dalam gerak nyata, dan dalam akhlak pergaulan
seorang muslim sehari hari.
m. Taqwa
kepada Allah adalah lentera yang benderang dan pedang yang berkilauan di kala
krisis mendera. Betapa seringnya taqwa mengusir kegundahan, menyingkap awan
gelap, mendatangkan rezeki, dan memudahkan urusan semasa hidup di dunia dan
setelah kematian.
n. Taqwa
kepada Allah senantiasa mendatangkan ketenangan, ketentraman, kekuatan dan
keyakinan. Taqwalah yang membuat jiwa mulia naik menuju langit. Taqwa kepada
Allah adalah pengokoh di saat kaki akan tergelincir dan menyatukan hati di kala
fitnah sedang bertebaran.Taqwa kepada Allah adalah kekayaan terbesar yang
dibawa seorang manusia di dalam relung hatinya dalam meniti kehidupan dunia.
o. Taqwa adalah pengendalian diri dan penjagaan
diri dari apa apa yang bertentangan dengan Allah SWT sehingga diri kita selalu
berada di dalam kehendak Allah SWT.
Berdasarkan
uraian yang telah kami kemukakan di atas tentang taqwa/ketaqwaan, pada
hakikatnya taqwa itu adalah kandungan Diinul Islam secara keseluruhan, yaitu
menjalankan apa yang telah diperintahkan dan meninggalkan segala larangan,serta
takut kepada Allah di kala tersembunyi atau terang terangan.
Ini
berarti kehidupan seseorang yang dihiasi dengan agama, keimanan yang kuat, amal
shaleh adalah gambaran dari taqwa itu sendiri. Karena taqwa bisa melindungi
seseorang dari perbuatan yang bermanfaat dan hawa nafsu yang hina, sebagaimana
firman Allah SWT berikut ini: “Siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik
laki laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami
berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan
kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka
kerjakan. (surat An Nahl (16) ayat 97)
Diinul
Islam sebagai konsep ilahiah untuk kepentingan penghambaan dan kekhalifahan di
muka bumi adalah agama yang haq yang mampu mengerem laju ahwa (hawa nafsu) dan
juga syahwat yang terus merongrong manusia sepanjang hari. Agama ini juga yang
mampu mengendalikan gairah seksual dalam diri manusia, agar berjalan lurus
sesuai dengan yang digariskan Tuhan, penuh keridhaan, ketaatan, dan kesucian yang
pada akhirnya mampu menghadirkan ketaqwaan dalam diri kita.
Allah
SWT berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu. Dan
sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat Asy Syams (91) ayat 9
dan 10) dan juga berdasarkan hadits sebagaimana berikut ini: Nabi SAW
bersabda: “Setiap manusia beraktivitas, karena itu bisa jadi dengan aktivitas
tersebut ia membebaskan dirinya dari api neraka, atau justru akan membahayakan
dirinya. (Hadits Riwayat Muslim).” Semua
ini menuntut kepada kita untuk mencermati lebih dalam, sejenak berhenti
dihadapan jiwa kita, dan menelisik dimana sebenarnya posisi jiwa kita dari
pelajaran agung tentang ketaqwaan seperti yang disampaikai ayat dan hadits di
atas. Lalu apakah kita telah melakukan suatu hal yang disukai dan diridhai
Allah, dan apakah sudah pula kita menjauhi apa yang menyebabkan Allah murka?
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa: Umar bin Al Khaththab ra, bertanya kepada Ubay bin Ka’ab tentang taqwa. Ubay menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, pernahkah Anda meniti jalan yang dipenuhi duri?” Umar menjawab, “Pernah.” Ubay bertanya lagi, “Apa yang Anda lakukan pada saat itu?” Umar menjawab, “Aku singsingkan lengan bajuku dan berupaya semaksimal mungkin?’ Kemudian Ubay berkata, “Begitulah taqwa. Jika seorang Umar sang Amirul Mukminin, yang telah dijanjikan syurga saja masih bertanya tentang makna taqwa, dan sangat antusias untuk merealisasikannya, maka mengapa kita yang jauh berada di bawahnya, justru malah bermalas malasan, enggan, dan pura lupa, atau pura pura sibuk untuk merealisasikan tujuan yang sangat mulia ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar