Setiap manusia pasti terdiri
dari jasmani dan juga ruhani, yang menunjukkan bahwa konsep dwidimensi berlaku
kepada manusia. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini: “kemudian
Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia
menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit
sekali bersyukur (surat As Sajdah (32) ayat 9)”. Jasmani asalnya dari
sari pati tanah sedangkan ruh asalnya dari Allah SWT. Adanya perbedaan asal
usul dari keduanya maka dapat dipastikan antara jasmani dan ruh pasti memiliki
sifat, perbuatan dan kemampuan yang berbeda serta cara perawatannya juga dapat
dipastikan berbeda pula dan juga ketentuan yang mengikat keduanyapun berbeda
pula.
Ini menunjukkan bahwa di
dalam diri manusia termasuk di dalam diri kita, pasti terdapat dua buah sifat,
yaitu adanya nilai nilai keburukan yang berasal dari jasmani dan juga adanya
nilai nilai kebaikan yang berasal dari ruh. Jasmani memiliki sifat yang di
dalam AlQuran diistilahkan sebagai insan. Sedangkan perbuatan dari sifat
jasmani (insan) disebut juga dengan ahwa (hawa nafsu). Adapun kemampuan jasmani
untuk melakukan perbuatannya disebut juga dengan basyar. Sifat-sifat alamiah
jasmani mencerminkan nilai nilai keburukan yang berasal dari alam yang
kesemuanya sangat dikehendaki oleh syaitan.
Lalu bagaimana dengan ruh? Ruh
juga memiliki sifat yang di dalam AlQuran dikemukakan sebagai Nass. Lalu
perbuatan dari Nass itu disebut juga dengan Nafs (Anfuss) sedangkan kemampuan
dari ruhani disebut juga dengan Ruh. Adapun sifat sifat alamiah ruh mencerminkan
nilai nilai kebaikan yang berasal dari Allah SWT yaitu cerminan dari asmaul
husna.
Lalu dengan adanya dua buah
sifat yang berlainan ini maka akan memiliki dampak yang sangat berbeda dalam
kehidupan manusia jika manusia terpengaruh oleh keduanya. Lalu bisakah kita
menghindarkan diri dari ketentuan dalam surat As Sajdah (32) ayat 9 di atas?
Sepanjang diri kita masih disebut manusia maka sepanjang itu pula kita tidak
bisa melepaskan diri dari ketentuan yang berlaku yaitu konsep dwidimensi yang
terdiri dari jasmani dan ruh. Maka diri kita akan tetap dan terus berhadapan
dengan nilai-nilai kebaikan yang berasal dari sifat alamiah ruh dan juga nilai-nilai
keburukan (ahwa/hawa nafsu) yang berasal dari sifat alamiah jasmani. Dan khusus
untuk sifat alamiah jasmani yang ada di dalam diri manusia. Inilah yang kami
istilahkan dengan musuh dalam selimut dan ingat musuh dalam selimut ini sangat
dikehendaki oleh syaitan dan sudah pula diskenariokan oleh Allah SWT.
Adanya musuh di dalam selimut
yang berasal dari sifat alamiah jasmani, disinilah salah satu letak dari
permainan yang sesungguhnya dimana diri kita yang sesungguhnya adalah ruh. Yang
mana ruh harus mampu memanfaatkan dan mendayagunakan jasmani yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Dengan ketentuan, gunakan dan manfaatkan jasmani untuk
kepentingan ruh tetapi sifat-sifat alamiahnya harus dihilangkan (dikalahkan). Lalu
diganti dengan sifat-sifat alamiah ruh sehingga yang tampil menjadi perilaku
kehidupan kita adalah nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah
SWT.
Hidup adalah saat
dipersatukannya ruh dengan jasmani, sehingga pada saat hidup itulah terjadi apa
yang dinamakan dengan tarik menarik antar 2 (dua) buah sifat yang saling
bertentangan dikarenakan berasal dari asal usul yang berbeda. Lalu dengan
adanya tarik menarik di antara keduanya (jasmani dengan ruh) maka manusia dapat
dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1. Golongan yang dikalahkan,
diperbudak, dibinasakan dan senantiasa berada di bawah perintah nafsunya (suatu
keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu mengalahkan sifat sifat ruh) sehingga
nilai nilai kebaikan mampu dikalahkan oleh nilai nilai keburukan, yang pada
akhirnya nilai nilai keburukan yang
menjadi perilaku manusia (jiwa fujur). Sebagaimana firman-Nya berikut ini: “dan
jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa
itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (surat
Asy Syams (91) ayat 7 sampai 10)”. Golongan jiwa fujur akan dibedakan
menjadi tiga, yaitu jiwa hewani, jiwa amarah dan jiwa mushawwilah.
2. Golongan yang dapat
mengalahkan dan menundukkan nafsunya sehingga nafsunya taat dan menjalankan
perintahnya (suatu keadaan dimana sifat sifat jasmani mampu dikalahkan oleh
sifat sifat ruhani) sehingga nilai nilai kebaikan mampu mengalahkan nilai nilai
keburukan sehingga nilai nilai kebaikan
yang menjadi perilaku manusia (jiwa taqwa). Adanya kondisi ini, dimanakah
posisi diri kita saat ini, apakah yang termasuk di dalam jiwa fujur, ataukah
yang termasuk di dalam jiwa taqwa? Semoga jiwa kita termasuk di dalam jiwa
taqwa.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa ahwa (hawa nafsu) dapat
dipastikan akan menjerumuskan manusia kepada kebinasaan, menolong musuh, rakus
terhadap sesuatu yang buruk, dan mengikuti kejahatan dan keburukan. Ahwa (hawa
nafsu), sesuai dengan tabiatnya menyukai pelanggaran. Karena itu, nikmat yang
tidak ada bandingnya adalah dapat lari darinya dan membebaskan diri dari
perbudakan ahwa (hawa nafsu). Ahwa (hawa nafsu) juga adalah hijab atau
penghalang terbesar antara hamba dengan Allah SWT. Dan manusia yang
paling mengetahui nafsunya adalah manusia yang paling keras menegur dan
membencinya. Disinilah letak dari pentingnya kita berjihad melawan hawa nafsu
yang sesuai dengan ketentuan hadits
berikut ini: “Jihad yang paling utama adalah seseorang berjihad (berjuang) melawan
dirinya dan hawa nafsunya” (Hadits
shahih diriwayatkan oleh Ibnu Najjar dari Abu Dzarr).
Selain daripada itu,
berdasarkan surat An Nazi’at (79) ayat 37 sampai 41 berikut ini: Adapun
orang yang melampaui batas, dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, Maka
Sesungguhnya nerakalah tempat tinggal(nya).dan Adapun orang-orang yang takut
kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, Maka
Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya)”. Ahwa (hawa nafsu) pada
hakekatnya menyeru manusia untuk berbuat melampaui batas dan mengutamakan
kehidupan dunia dengan mengesampingkan kehidupan akhirat. Sedangkan Allah
menyeru untuk bertaqwa dan tidak menuruti keinginan hawa nafsu. Adanya kondisi
ini menunjukkan di dalam diri manusia ada sesuatu yang saling kontroversial,
namun dibalik kontroversial ini terdapat sebuah permainan yang harus kita
laksanakan, yaitu mampukah diri kita berada sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Di dalam ahwa (hawa nafsu)
juga terdapat perilaku binatang, seperti keserakahan burung gagak, ketamakan
anjing, kebodohan burung merak, kedurhakaan biawak, kedengkian unta, keganasan
singa, kefasikan tikus, kekejian ular, kesiasiaan kera, penghimpunan lebah,
makarnya srigala, kepandiran kupu kupu, dan tidurnya anjing hutan. Adanya
perilaku binatang yang kami kemukakan di atas ini, bukanlah isapan jempol
melainkan sesuatu yang nyata. Lihatlah orang yang mempertuhankan ahwa/hawa
nafsunya perilakunya telah berubah tidak ubahnya seperti perilaku
binatang.
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang
sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, ketahuilah bahwa dalam jiwa setiap
manusia, ada tiga penyeru yang saling tarik menarik, yaitu:
1. Penyeru
yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku syaitan, misalnya
congkak, dengki, tinggi hati, melampaui batas, suka berbuat jahat, suka
mencela, merusak dan suka menipu;
2. Penyeru
yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku binatang, yaitu
penyeru yang menuntutnya untuk memenuhi tuntutan syahwat;
3. Penyeru
yang mendorong seseorang untuk berperilaku seperti perilaku malaikat, misalnya
suka berbuat kebajikan, gemar memberi dan menerima nasehat, berbakti, cinta
ilmu, dan selalu bersikap taat.
Untuk itu ketahuilah bahwa melatih
nafsu (mengendalikan hawa nafsu) lebih sulit daripada melatih singa. Singa,
jika sudah dimasukkan ke dalam kerangkeng oleh pemiliknya, amanlah kita dari
bahayanya. Adapun hawa nafsu, walaupun sudah dipenjarakan, belum tentu kita
aman dari bahayanya. Jihad melawan hawa nafsu wajib hukumnya bagi setiap
manusia tanpa terkecuali. Jihad melawan hawa nafsu terdiri dari empat tahapan,
yaitu:
1. Melawannya dengan mempelajari
petunjuk dan Agama yang benar. Agama yang keberuntungan dan kebahagiaan dalam
hidup dan mati hanya dapat diraih dengan agama ini, Jika tidak mengetahui
ajaran agama ini, maka seseorang akan merana di dunia dan akhirat.
2. Melawannya dengan mengamalkan
ajaran Islam setelah mengetahuinya. Jika tidak diamalkan, agama hanya menjadi
pengetahuan yang tidak bermanfaat atau bahkan menjadi pengetahuan yang
berbahaya.
3. Melawannya dengan mengajak
manusia kepada agama yang benar dan mengajarkannya kepada yang belum
mengetahui. Jika tidak melakukan hal ini, seseorang dapat dituduh telah
menyembunyikan petunjuk dan keterangan yang diturunkan oleh Allah SWT. Ilmunya
tidak bermanfaat, dan karenanya tidak dapat menyelamatkannya dari siksa api
neraka.
4. Melawannya dengan kesabaran
dalam menghadapi kesulitan dan celaan ketika mengajak manusia ke jalan Allah
dan semuanya harus dilakukan karena Allah semata.
Agar diri kita mampu sukses
melawan dan mengalahkan ahwa (hawa nafsu), maka Allah SWT berfirman dalam surat
Al Ankabuut (29) ayat 69 berikut ini: “dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan
kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”. Ayat ini mengemukakan
bahwa kesuksesan melawan hawa nafsu sangat tergantung kepada jihadnya
(kesungguhannya) di dalam memerangi hawa nafsu. Oleh karena itu, orang yang
paling sempurna pencapaiannya adalah orang yang paling keras jihadnya.
Adapun jihad yang diwajibkan,
secara berurutan dapat kami kemukakan sebagai berikut: (a) Jihad melawan hawa nafsu; (b) Jihad melawan ego; (c) Jihad melawan
syaitan dan; (d) Jihad melawan dunia. Dan barangsiapa berjihad melawan hal
ini, Allah SWT akan membentangkan baginya jalan untuk meraih ridha-Nya dan yang
akan menghantarkannya ke syurga. Sementara orang yang meninggalkan jihad secara
sengaja, akan kehilangan petunjuk sebesar jihad yang ditinggalkannya.
Rasulullah SAW bersabda: “Jihad yang paling utama adalah orang yang berjihad
melawan nafsunya karena Allah SWT”. Oleh karena itu, selama seseorang belum
mampu untuk menundukkan dan memaksa nafsunya untuk melaksanakan perintah dan
meninggalkan larangan Allah, seseorang tidak mungkin dapat memerangi musuh yang
berada di luar dirinya.
Nabi SAW bersabda: Orang
yang berjihad adalah orang yang menerangi nafsunya dalam taat kepada Allah,
sedangkan orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.
(Hadits Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah)”. Tidak mungkin ia dapat memerangi
dan berada di tengah- tengah musuh jika musuh yang berada di depannya masih
menguasai dirinya. Sekedar keluar untuk menghadapinya, ia pun tidak akan mampu,
kecuali jika ia menundukkan, atau mengalahkan nafsunya terlebih dahulu.
Sedangkan menurut hadits yang
diriwayatkan oleh Ahmad dan Ath Thirmidzi berikut ini: “Orang yang cerdas adalah orang
yang dapat menundukkan nafsunya kemudian bekerja untuk kehidupan setelah mati.
Sementara orang yang lemah akalnya adalah orang yang menuruti hawa nafsunya
kemudian berharap kepada Allah”. Hadits ini menerangkan bahwa manusia
terbagi dua kelompok, yaitu : orang yang cerdas dan orang yang lemah akalnya.
1. Orang yang cerdas adalah
orang yang cerdik yang berpendirian teguh dan selalu memperhatikan akibat segala
sesuatu. Ia dapat menundukkan dan
menggunakan nafsunya untuk berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan di
akhirat.
2. Orang yang lemah akalnya
adalah orang yang dungu yang tidak berpengetahuan, yang tidak pernah memikirkan
buah dari perbuatannya. Orang tersebut lebih suka
mengikuti nafsunya yang cenderung kepada sesuatu yang membawa kenikmatan
duniawi, meskipun sebenarnya kenikmatan itu membawa malapetaka bagi
kehidupannya di akhirat, bahkan juga bagi kehidupannya di dunia.
Orang yang mengikuti
keinginan ahwa (hawa nafsu)nya, dan ini yang biasanya terjadi, akan segera
mendapatkan aib di dunia, akan segara jatuh martabatnya di mata Allah dan
manusia, dan akan segera mendapatkan kehinaan. Dia tidak akan mendapatkan
kebaikan dunia dan akhirat yang berupa ilmu yang bermanfaat dan rezeki yang
luas lagi berkah. Sedangkan orang yang melawan nafsunya serta tidak menuruti
keinginannya, akan segera mendapatkan balasan di dunia serta berkahnya yang
berupa ilmu, iman dan rezeki. Atau dengan kata lain, siapa saja yang mampu
menguasai, mengalahkan dan menundukkan hawa nafsunya, maka ia akan menjadi
orang yang mulia karena ia telah mengalahkan dan menawan musuhnya yang paling
kuat serta mencegah kejahatannya.
Agar diri kita mampu
mengalahkan musuh dalam selimut dengan cara yang bermartabat. Prinsip perang
ala “Sun Tzu” berikut ini bisa kita
jadikan pedoman, yaitu: “Ia yang mengenal pihak lain (musuh) dan
mengenal dirinya sendiri, tidak akan dikalahkan dalam seratus pertempuran. Ia
yang tidak mengenal pihak lain (musuh) tetapi mengenal dirinya sendiri memiliki
suatu peluang yang seimbang untuk menang atau kalah. Ia yang tidak mengenal pihak
lain (musuh) dan dirinya sendiri cenderung kalah dalam setiap pertempuran.Jika
Anda mengenal diri dan musuh Anda, Anda tidak akan kalah dalam seratus
pertempuran. (Sun Tzu dalam The
Art of War)”.
Sekarang sudahkah kita
mengenal diri dan mengenal musuh yang akan kita hadapi? Adalah sebuah yang
tidak dapat dimengerti oleh akal sehat jika kita ingin mengalahkan musuh tanpa
pernah memiliki ilmu tentang musuh (dalam hal ini ahwa (hawa nafsu) dan juga
syaitan).
Adanya prinsip perang ala “Sun Tzu” mengharuskan kita untuk mengetahui
hakekat dan sifat sifat jasmani terlebih dahulu sehingga dengan kita mengetahui
hal yang paling mendasar ini maka langkah untuk melawan dalam kerangka
mengalahkan ahwa (hawa nafsu) menjadi lebih mudah (kenali terlebih dahulu apa
yang dinamakan dengan musuh dalam selimut itu) yang dibarengi dengan diri kita
tahu tentang diri sendiri yang ditunjang dengan tahu dan mengerti tentang Allah
SWT.
Dan untuk lebih memudahkan
diri kita belajar tentang ahwa/hawa nafsu. Ada baiknya kita terlebih dahulu
mempelajari sebuah pernyataan yang berasal dari “Dorothy Law Nolte, Phd’ tentang anak-anak yang belajar dari
lingkungannya, yaitu:
a. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang sering mengkritik, ia belajar untuk menyalahkan.
b. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan, ia belajar untuk berkelahi.
c. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang sering
menakutnakuti, ia belajar untuk mudah untuk khawatir.
d. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang penuh kesedihan, ia belajar untuk mengasihi
diri.
e. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang sering mempermalukan, ia belajar menjadi pemalu.
f. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang penuh kecemburuan, ia belajar untuk mendendam.
g. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang sering menyalahkan, ia dihantui rasa bersalah.
h. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang memberi semangat, ia belajar untuk percaya diri.
i. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang penuh toleransi, ia belajar untuk bersabar.
j. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang memberi pujian, ia belajar untuk menghargai.
k. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang menerima apa adanya, ia belajar untuk mencintai.
l. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang memberikan dukungan,ia belajar untuk menyenangi
dirinya.
m. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang memberikan penghargaan, ia belajar memiliki
tujuan dan cita cita.
n. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang menjunjung tinggi kejujuran, ia belajar untuk
mencintai kebenaran.
o. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang menghargai keadilan, ia belajar untuk bersikap
adil.
p. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang baik hati dan penuh tanggung jawab, ia belajar
untuk menghormati.
q. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang penuh rasa aman, ia belajar untuk memiliki
keyakinan dan berbaik sangka.
r. Jika
anak tumbuh di lingkungan yang bersahabat, ia belajar untuk merasa bahwa dunia
ini indah dan hidup ini begitu berharga.
Jika
anak-anak saja bisa berubah perilakunya dikarenakan adanya pengaruh lingkungan.
Hal yang samapun berlaku pada diri kita. Jika kita selalu berada di dalam
lingkungan yang sama dengan anak tersebut (maksudnya jika kita selalu berada di
dalam lingkungan nilai-nilai keburukan yang berasal dari jasmani dan nilai-nilai
kebaikan yang berasal dari ruh), maka kitapun akan terpengaruh dengan kedua lingkungan
itu. Tidakkah kita menyadarinya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar