Di lain sisi, ketenangan,
kelapangan dan ketenteraman adalah sebuah kebutuhan setiap orang. Kaya, miskin,
tua, muda, siapapun dia, semuanya sangat mendambakan itu semua dalam dirinya.
Tidak jarang seseorang rela untuk mengeluarkan banyak uang (berani membayar
mahal) demi memperoleh ketenangan, ketenteraman, kedamaian dan juga keberuntungan
dalam hidupnya. Seseorang juga akan rela menempuh perjalanan jauh hanya untuk
membuat diri dan hatinya tenang dan bahagia lagi tenteram. Lalu apa itu
ketenangan dan bagaimana serta dimanakah sebenarnya ketenangan itu? Bagaimana
menjadikan diri kita seorang yang memiliki jiwa yang tenang nan lapang lagi
tenteram? Allah SWT berfirman: Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya.Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke
dalam syurga-Ku. (surat Al Fajr (89) ayat 27, 28,29,30)”.
Hai jiwa yang tenang!
Sebuah pernyataan yang sering kita dengar, namun apa yang kita dengar ini
sudahkah kita tahu makna dan pengertiannya yang sesungguhnya. Masih banyak
diantara kita yang belum tahu, apalagi memahami tentang makna jiwa muthmainnah,
atau jiwa yang tenang itu. Jika ini kejadiannya bagaimana kita bisa merasakan
rasa tenang kemudian menampilkan nya dalam perbuatan kita sehari hari. Agar
diri kita mampu mengetahui dengan pasti tentang jiwa muthmainnah atau jiwa yang
tenang itu. Mari kita pelajari dan
hayati lebih dalam lagi apa yang dikemukakan dalam surat Al Fajr (89) ayat 27
sampai 30 di atas dan inilah hasilnya,yaitu:
1.
Air
dan minyak walaupun sama sama zat cair, keduanya tidak bisa saling bercampur
karena adanya perbedaan berat jenis. Hal yang samapun terjadi dengan ruhani
diri kita, yang terikat dengan hukum datang fitrah kembali fitrah, maka ia
tidak akan bisa melaksanakan ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 28 di atas, “Kembalilah
kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya”. Dikarenakan kefitrahan yang kita miliki masih
belum sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, atau masih terjadinya
perbedaan kualitas kefitrahan antara diri kita dengan kefitrahan Allah SWT.
Berdasarkan kondisi ini maka jiwa muthmainnah, atau jiwa
yang tenang dapat dikatakan sebagai suatu keadaan ruhani yang saat kembali
kepada Allah SWT kondisinya masih sesuai dengan konsep awal kejadiannya, atau masih
sesuai dengan konsep aslinya, yaitu masih dalam kondisi fitrah sehingga Allah
SWT ridha kepadanya. Allah SWT berfirman: “Sibghah Allah. Siapa yang lebih baik
sibghahnya daripada Allah? Dan kepadaNya kami menyembah. (surat Al Baqarah (2)
ayat 138)”. Apabila jiwa seseorang termasuk dalam kategori jiwa
muthmainah atau jiwa yang tenang maka manusia telah mampu menjadikan dirinya
sebagai bentuk penampilan Allah SWT di muka bumi, dalam hal ini mampunya diri
kita menampilkan akhlak Allah yang tidak lain adalah asmaul husna menjadi
perilaku diri kita dalam hidup dan kehidupan ini. Akhirnya, bukan hanya dirinya
saja yang menjadi orang yang terhormat namun perilakunya pun terhormat dan
bermanfaat bagi orang banyak.
2.
Hasil
akhir dari mampunya diri kita mempertahankan kefitrahan ruhani yang menjadi
jati diri kita yang sesungguhnya atau mampunya diri kita memenuhi kriteria jiwa
yang muthmainnah maka berlakulah ketentuan surat Al Fajr (89) ayat 29 dan 30
kepada diri kita, yaitu “Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku,masuklah
ke dalam syurga-Ku”. Hal ini dikarenakan ruhani diri kita mampu
mempertahankan konsep datang fitrah kembali fitrah sehingga jiwa kita masuk
dalam kriteria jiwa yang takwa yang muthmainnah yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT melalui pelaksanaan Diinul Islam yang kaffah.
3.
Lalu
bagaimana jika saat kita kembali kepadaNya, kondisi kita tidak sesuai dengan
konsep datang fitrah kembali fitrah? Jika kita mengacu kepada ketentuan surat
Al Fajr (89) ayat 27, 28, 29 dan 30 di atas maka sepanjang diri kita tidak
mampu melaksanakan ketentuan dasar dari ruh/ruhani maka kita tidak akan bisa
kembali dengan selamat kepadaNya.Untuk itu ketahuilah bahwa sepanjang diri kita
tidak melakukan tindakan syirik/musyrik kepada Allah maka kita masih diberi
kesempatan untuk pulang kampung untuk bertemu dengan Allah SWT maka kita
diharuskan melalui proses pemfitrahan ruh/ruhani yaitu dengan dicuci, dibilas
dan dibersihkan serta disterilkan terlebih dahulu lewat panasnya api neraka.
Yang menjadi persoalan adalah sanggupkah kita menahan panasnya api neraka yang
panasnya 70 kali dari api dunia!
Sekarang mari kita sejenak
meluangkan waktu untuk menyimak nasihat Ibnu Mas’ud ra, beliau adalah salah
seorang sahabat Nabi SAW. Suatu ketika beliau pernah didatangi seseorang yang
ingin meminta nasihatnya untuk dapat dijadikan obat bagi jiwanya yang tidak
tenang. Kemudian Ibnu Mas’ud menasihatinya,“Kalau penyakit itu yang menimpamu,
maka bawalah hatimu mengunjungi 3 (tiga) tempat, yakni:
a.
Engkau
datangi tempat orang membaca AlQuran, engkau membaca AlQuran, engkau dengarkan
baik-baik orang yang membaca AlQuran;
b.
Engkau
datangi majelis taklim yang mengingatkan hati kepada Allah;
c.
Engkau
mencari waktu dan tempat yang sunyi, disitu engkau menyendiri menyembah Allah
seperti pada waktu lewat tengah malam disaat orang sedang tidur nyenyak engkau
bangun mengerjakan shalat malam meminta kepada Allah ketenangan jiwa,
ketentraman pikiran, dan keikhlasan hati.”
Setibanya di rumah,orang
tersebut melaksanakan apa telah yang
dinasihatkan oleh Ibnu Mas’ud itu. Ia berwudhu kemudian membaca AlQuran dengan
khusyu, penuh konsentrasi. Seusai membaca AlQuran ia merasakan ada ada sesuatu
yang berubah. Jiwanya terasa tenang, hatinya tentram, pikirannya kembali
jernih, ketenangan benar-benar menyelimuti hatinya.
Adanya ketenangan akhirnya
menjadi jalan keluar bagi permasalahan hidup yang dihadapi seseorang karena
kepanikan tidak akan bisa membuat tenang. Dan ketenangan itu hanya diturunkan
kepada mereka yang senantiasa bersandar kepada pemilik ketenangan. Hanya
seseorang yang pernah panik yang bisa merasakan kenikmatan sebuah tenang
setelah dia menyadari kekacauannya. Hanya seseorang yang pernah gundah yang
bisa menikmati ketenangan setelah mengetahui kesakitannya. Maka beruntunglah
pribadi yang mengambil pelajaran dari kesalahan. Sama sekali tidak ada
alasan untuk mereka merasa menyesal tentang sesuatu yang sudah lewat yang
mungkin timbul atas kekurang tenangan sikap dalam pemilihan desain masa depan.
Dan karena ketenangan itu pula akan terhapusnya segala kekhawatiran mereka
tentang sakit atau pahitnya kehidupan, karena mereka yakin sumber dari segala
sumber ketenangan yaitu Allah SWT akan selalu siap menemani dan menyambut
hamba-hambaNya yang senantiasa memohon kepada-Nya. Ketenangan akan selalu hadir
karena mereka juga menghadirkan Allah dalam setiap aktivitasnya.
Berdasarkan surat Al A’raaf
(7) ayat 172 berikut ini: “dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian
terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka
menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi”. (kami lakukan yang
demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)”. setiap ruh tanpa terkecuali sudah
menyatakan dan mengambil sumpah dengan memberikan pernyataan bertuhankan kepada
Allah SWT semata. Ini berarti setiap ruh telah terikat dengan pernyataan
bertuhankan kepada Allah SWT sejak masih dalam kandungan sampai dengan kapanpun
juga. Lalu dimanakah letaknya kembali fitrah itu jika dihubungkan dengan
pernyataan bertuhankan kepada Allah SWT?
Kembali fitrah berarti
kualitas dari pernyataan ruh yang tidak lain adalah diri kita yang sesungguhnya
akan terus menyatakan bertuhankan kepada Allah SWT sejak pertama kali
dinyatakan, yaitu sejak dalam kandungan seorang ibu sampai dengan saat ini
kapanpun kondisinya tetap berkualiatas. Berkualitasnya pernyataan bertuhankan
kepada Allah SWT yang telah kita nyatakan berarti jiwa kita yang sesungguhnya
adalah jiwa muthmainnah, yaitu suatu keadaan dimana ruh mampu mengalahkan ahwa
(hawa nafsu) yang tidak lain perbuatan dari nilai nilai keburukan yang sesuai
dengan kehendak syaitan yang ada dalam jasmani.
Hidup merupakan saat
bersatunya ruhani dengan jasmani sehingga di saat hidup itulah akan terjadi apa yang dinamakan pertarungan
antara jasmani dengan ruhani untuk memperebutkan Amanah yang 7 (tujuh) dan
Hubbul yang 7 (tujuh). Apabila jasmani menang atas ruhani (maksudnya jasmani
mampu mengendalikan ruhani) maka sifat-sifat alamiah Jasmani yang mencerminkan nilai-nilai
keburukan (ahwa) akan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa
manusia dikatakan sebagai jiwa fujur. Sedangkan jika ruhani mampu mengendalikan
jasmani maka nilai-nilai kebaikan (nass) yang bersumber dari Nilai-Nilai
Ilahiah akan tumbuh dan berkembang di dalam diri manusia sehingga jiwa manusia
dikatakan sebagai jiwa taqwa.
Selain
daripada itu adalah orang yang telah mampu menjadikan diri yang sesungguhnya
adalah ruhani serta orang yang telah fitrah dapat dipastikan memiliki jiwa muthmainnah
dan yang tidak mungkin terjadi adalah orang yang kembali ke fitrah tetapi
jiwanya jiwa fujur. Ciri dari orang yang telah kembali fitrah akan lebih
mendahulukan kepentingan kehidupan akhirat dibandingkan dengan kepentingan
untuk kehidupan dunia. (maksudnya kehidupan dunia yang saat ini dilaksanakannya
mampu dijadikan alat bantu untuk menggapai kebahagiaan hidup di akhirat kelak
atau kehidupan dunia yang dijalani saat ini dapat dijadikan alat bantu untuk
membeli tiket masuk ke syurga).
Ciri
lain dari orang yang fitrah atau memiliki jiwa muthmainnah adalah mampu
menjauhi dosa besar seperti syirik dan musyrik, mampu tidak melakukan perbuatan
keji dan mungkar serta mau memberikan pintu maaf kepada sesama manusia serta
hidupnya selalu di dalam ketenangan, tidak pernah resah dan gelisah apalagi
takut saat menghadapi persoalan. Allah SWT berfirman: Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa
besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi
maaf. (surat Asy Syuura (42) ayat 37)
Jika
saat ini kita menjadi pemimpin, berarti yang menjadi pemimpin itu adalah ruhani.
Jika saat ini kita menjadi pengusaha dan penguasa maka yang menjadi pengusaha
dan penguasa itu adalah ruhani. Dan jika ini yang terjadi pada setiap profesi,
pada setiap jabatan, pada setiap kedudukan yang ada di dalam masyarakat
ditambah semuanya telah kembali fitrah (maksudnya semuanya berjiwa muthmainnah)
maka nilai-nilai kebaikan yang berasal dari nilai nilai Ilahiah akan memenuhi
alam semesta ini.
Selain
daripada itu semua, orang yang telah menjadikan dirinya yang sesungguhnya
adalah ruhani yang jiwanya jiwa muthmainnah berarti hal-hal sebagai berikut
mampu dilaksanakan, seperti:
a.
Selalu menyadari dari waktu ke waktu bahwa kita
sangat membutuhkan Allah SWT sehingga disetiap langkah kita selalu sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
b.
Tidak pernah merasa resah dan gelisah apalagi takut
di dalam menghadapi sesuatu, sebab orang yang telah fitrah akan selalu tenang
di dalam menghadapi sesuatu.
c.
Selalu memberi makan ruhani melalui ibadah wajib dan
sunnah serta selalu berbuat amal kebaikan dari waktu ke waktu sehingga ruhani
tidak pernah sekalipun dipuasakan (maksudnya ruhani selalu dihubungkan dengan
Allah SWT sehingga yang dipuasakan adalah jasmani).
d.
Nilai-Nilai Kebaikan yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT merupakan perbuatan yang selalu dikerjakan sehingga dirinya bukanlah
menjadi beban bagi masyarakat melainkan selalu berguna bagi kemaslahatan umat.
e.
Merasa dirinya kecil dihadapan Allah SWT, merasa
dirinya bodoh dihadapan Allah SWT, sehingga merasa sangat membutuhkan Allah SWT
dimanapun, kapanpun dan dalam kondisi apapun.
f.
Tidak pernah mengkafirkan orang lain, tidak pernah
merasa diri sendiri paling benar sedangkan orang lain salah, sehingga kita yang
telah kembali fitrah tidak pernah merasa hebat atau merasa benar sendiri saja
sedangkan orang lain salah.
g.
Selalu menempatkan diri sebagai Muzakki dibandingkan
menjadi Mustahik di setiap kesempatan serta mampu menjadikan diri sendiri yang
membutuhkan orang tidak berpunya (mustahik) sehingga kita sendirilah yang
mendatangi orang tidak berpunya (mustahik) pada saat menunaikan zakat.
Sebagai
abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi, kami berharap apa
yang telah kami kemukakan di atas ini, merupakan cerminan dari diri kita
sendiri setelah mampu melaksanakan puasa di bulan Ramadhan (melaksanakan Diinul
Islam secara kaffah) dan semoga hal ini dapat kita ajarkan terus kepada anak
keturunan kita sendiri, kepada masyarakat luas sehingga terciptalah negeri madani
di Indonesia yang kita cintai.
E.
MANUSIA MEMILIKI MARTABAT/MORAL YANG
TINGGI.
Menetapkan martabat manusia
bukanlah bidang kekuasaan atau bidang keilmuan manusia. Hal ini dikarenakan
penetapan martabat sesuatu haruslah berdasarkan pengetahuan yang mendalam
tentang sesuatu tersebut. Yang memiliki dan mempunyai ilmu dan pengetahuan yang
mendalam tentang sesuatu tersebut tentulah penciptanya, karena itu yang berhak
menetapkan standart baku martabat sesuatu adalah penciptanya. Sekarang
bagaimana dengan manusia? Seperti telah kita ketahui bersama, pencipta dan
pemilik dari manusia adalah Allah sehingga yang berhak menetapkan standart
martabat bagi manusia adalah Allah semata. Apalagi, di dalam diri manusia ada
urusan Allah. Manusia bukanlah pencipta manusia, karena itu manusia tidak
berhak sama sekali untuk menetapkan standard martabat bagi dirinya dan juga bagi
manusia lainnya.Penetapam stardard martabat dari sesuatu, haruslah bersumber
kepada hakekat sesuatu tersebut, dalam hal ini adalah Allah SWT.
Berdaskan surat At Tin (95)
ayat 4 berikut ini: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya.”
Dan berdsarkan surat Al Israa’ (17) ayat 70 berikut ini: “Dan
sungguh, Kami telah memuliakan anak cucu Adam, dan Kami angkut mereka di darat
dan di laut, dan Kami beri mereka rezeki dari yang baik baik dan Kami lebihkan
mereka di atas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”
Allah SWT selaku pencipta dan pemilik manusia, sudah menyatakan bahwa
martabat atau kedudukan manusia di muka bumi ini adalah yang terbaik dalam
bentuknya dan mulia dari sisi akhlaknya. Ditambah dijadikan wakil Allah di muka
bumi (diangkat menjadi khalifah di muka bumi) sehingga menjadi makhluk yang
paling utama di tengah tengah makhluk yang ada di muka bumi ini.
Dan masih menurut surat At
Tin (95) ayat 4 dan surat Al Isra’ (17) ayat 70 di atas, manusia adalah juga
makhluk yang bermoral. Hal ini disebabkan baik dan mulia itu adalah urusan
moral atau urusan ruhani/urusan jiwa. Bahkan Nabi Muhammad SAW menyatakan
bahwa: “Aku diutus untuk menyempurnakan akhlak (moral) yang baik”. (Hadits
Riwayat Bukhari, Hakim, Al Baihaqi).” Dan berdasarkan surat At Tin (95)
ayat 5 berikut ini: Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah rendahnya,” dikemukakan
bahwa martabat dan kedudukan yang tinggi yang dimiliki oleh manusia bukanlah
sesuatu yang bersifat permanen. Akan tetapi dapat merosot ke tingkat yang
paling rendah jika kita melanggar apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.
Lalu apa sajakah yang menyebabkan kita tidak fitrah lagi? Ada dua hal yang
menyebabkan kita keluar dari fitrah itu, seperti :
1.
Adanya faktor keingkaran. Adanya faktor keingkaran manusia
kepada ketentuan, hukum, aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT,
sebagaimana firmanNya: “Sungguh, orang orang yang kafir dari
golongan Ahli Kitab dan orang orang musyrik (akan masuk) ke neraka Jahannam;
mereka kekal di dalamnya selama lamanya. Mereka itulah sejahat jahatnya
makhluk.” Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa
yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah orang orang kafir, karena mereka
tidak beriman. (surat Al Anfal (8) ayat 55)
2.
Adanya faktor kebodohan. Adanya faktor kebodohan dari manusia
itu sendiri yang tidak mampu mendayagunakan apa apa yang telah diberikan Allah
SWT kepada manusia, seperti memiliki mata tapi tidak mampu melihat, memiliki
hati tapi tidak bisa merasakan, memiliki telinga tapi tidak bisa mendengar.
Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya makhluk bergerak yang bernyawa
yang paling buruk dalam pandangan Allah ialah mereka yang tuli dan bisu (tidak
bisa mendengar dan memahami kebenaran) yaitu orang orang yang tidak mengerti.
(surat Al Anfal (8) ayat 22)
Allah SWT juga berfirman
melalui surat Al A’raf (7) ayat 179 berikut ini: “Dan sungguh, akan Kami isi
neraka Jahannam banyak dari kalangan jin dan manusia. Mereka memiliki hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat ayat Allah) dan mereka
memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengarkan (ayat ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih
sesat lagi. Mereka itulah orang orang yang lengah.”
Untuk itu, ketahuilah bahwa
yang dapat mempertahankan, menjaga, kemulian diri manusia adalah keimanan dan
amal shaleh, seperti yang termaktub dalam surat At Tin (95) ayat 6 berikut ini:
“kecuali
orang orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka mereka akan mendapat
pahala yang tidak ada putus putusnya.” Dengan demikian, jka manusia
ingin mempertahankan martabat/moralnya/kefitrahan ruhnya dari waktu ke waktu
sehingga tetap terpelihara dan terjaga sesuai dengan kehendak Allah, maka ia
harus mampu mengikatkan diri kepada hukum, ketetapan, aturan yang telah Allah
SWT tentukan. Dan disinilah letak bahwa manusia memiliki keterikatan yang tidak
bisa dipisahkan dengan Allah SWT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar