Masa berlaku
dari perintah melaksanakan puasa kepada seluruh umat manusia, dapat dibedakan
menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu masa berlaku dalam arti umum dan masa berlaku
dalam arti khusus. Secara umum masa berlaku perintah melaksanakan
puasa, sepanjang manusia ada di muka bumi, atau sepanjang bumi ini masih ada
maka perintah melaksanakan puasa masih berlaku, atau sepanjang Diinul Islam
adalah Agama yang haq di muka bumi ini maka sepanjang itu pula perintah
melaksanakan puasa berlaku, atau perintah melaksanakan puasa mulai berlaku
sejak turunnya surat Al Baqarah (2) ayat 183, 184, 185 sampai dengan hari
Kiamat kelak.
Sekarang
bagaimana dengan masa berlakunya perintah melaksanakan puasa dalam arti khusus
yaitu masa berlaku bagi individual atau bagi pribadi-pribadi? Bagi individual
atau secara pribadi-pribadi, masa berlaku perintah melaksanakan puasa dapat
dibedakan menjadi 2(dua) yaitu :
1.
Dimulai dari saat terpenuhinya syarat wajib berpuasa
(seperti Islam, baligh, berakal, mampu secara phisik (sehat), dan suci dari haid/nifas)
sampai dengan sebelum ruh tiba dikerong-kongan atau saat tibanya ruhani dipisahkan
oleh malaikat maut, sebagaimana dua buah hadits berikut ini: Rasulullah SAW bersabda: “Suruhlah
anak-anakmu shalat bila berumur tujuh tahun dan gunakan pukulan jika mereka
sudah berumur sepuluh tahun dan pisahlah tempat tidur mereka (putera-puteri). (Hadits Riwayat. Abu Dawud)
Rasulullah SAW bersabda: “Hukum tidak berlaku bagi tiga golongan, orang
yang tidur sampai bangun, anak kecil sampai mimpi basah, dan orang gila
sampai sembuh. (Hadits Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan
Annasa’i)
2.
Dimulai dari saat terpenuhinya syarat wajib berpuasa
(seperti Islam, baligh, berakal, mampu secara phisik (sehat), dan suci dari
haid/nifas) sampai dengan diri kita sendiri yang memutuskan untuk tidak mau
lagi melaksanakan puasa, atau sampai diri kita merasa sudah tidak membutuhkan
lagi puasa dikarenakan kita merasa telah hebat daripada Allah SWT.
Adanya dua
buah kondisi yang kami kemukakan di atas ini, dapat dikatakan bahwa masa
berlaku perintah melaksanakan puasa bagi individual sangat tergantung kepada
individu itu sendiri, yaitu: Apakah
individu itu mau melaksanakan atau mau berkomitmen untuk melaksanakan perintah
melaksanakan puasa, ataukah individu itu tidak mau menerima atau tidak mau
berkomitmen untuk melaksanakan perintah melaksanakan puasa.
Disinilah letak salah satu
demokratisnya Allah SWT kepada manusia serta hidup itu adalah pilihan. Lalu berdasarkan 2(dua) buah kondisi yang kami
kemukakan di atas ini, berarti jika kita mau berkomitmen untuk melaksanakan
perintah melaksanakan puasa yang telah diperintahkan Allah SWT maka masa
berlaku perintah melaksanakan puasa yang kita lakukan akan panjang yaitu selama
hayat di kandung badan, atau sampai ruh kita tiba di kerongkongan. Demikian pula sebaliknya, jika kita
memutuskan untuk tidak mau berkomitmen untuk melaksanakan puasa (melaksanakan
diinul islam secara kaffah) yang telah diperintahkan Allah SWT, maka sampai
disitulah masa berlaku perintah melaksanakan puasa yang kita laksanakan, atau
berakhirlah kebutuhan diri kita dengan puasa. Sekarang pilihan untuk melaksanakan perintah melaksanakan puasa
(melaksanakan diinul islam secara kaffah) ada pada diri kita sendiri.
Untuk itu
jangan pernah salahkan pemberi perintah melaksanakan puasa jika kita tidak bisa
memperoleh manfaat di balik perintah itu, akibat diri kita yang tidak mau
melaksanakan perintah melaksanakan puasa (melaksanakan diinul islam secara
kaffah). Sebagaimana dua buah firman Allah SWT berikut ini: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke
dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (surat Al Baqarah (2) ayat
208).”
Allah SWT berfirman: “Dan Dia
menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia
memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan) zakat selama aku
hidup; (surat Maryam (19) ayat 31)
Lalu setelah
diri kita mengetahui dengan pasti bahwa perintah melaksanakan ibadah puasa (melaksanakan
diinul islam secara kaffah) sangat tergantung kepada diri kita sendiri, apakah
mau melaksanakan atau tidak. Selanjutnya jika sampai diri kita tidak mau
melaksanakan puasa (atau tidak mau melaksanakan diinul islam secara kaffah)
saat hidup di dunia ini berarti diri kita telah merasa hebat saat di muka bumi
sehingga tidak membutuhkan apapun dari Allah SWT sehingga mampu menghadapi ahwa
(hawa nafsu) dan syaitan seorang diri tanpa bantuan Allah SWT.
Untuk itu
mari kita perhatikanlah dengan seksama Hadits Qudsi yang kami kemukakan berikut
ini: Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi
SAW bersabda, Allah ta'ala berfirman: Tidaklah Aku akan memperhatikan hak
hamba-Ku sebelum ia memperhatikan hak-Ku terhadap dia. (Hadits Qudsi
Riwayat Ath Thabrani; 272:125)”. Dimana Allah SWT telah dengan tegas menyatakan bahwa
Allah SWT tidak akan pernah memperhatikan hak hak diri kita sebelum diri kita
memperhatikan hak hak Allah SWT yang ada pada diri kita. Allah SWT tidak akan
pernah memperhatikan diri kita sebelum diri kita melaksanakan apa-apa yang
telah diperintahkan oleh Allah SWT. Allah SWT juga tidak akan pernah
memperhatikan diri kita sebelum diri kita mematuhi apa yang telah dilarang oleh
Allah SWT. Jadi bertanyalah kepada diri kita masing-masing siapa yang membutuhkan
siapa? Apakah Allah SWT yang membutuhkan kita ataukah kita yang membutuhkan
Allah SWT.
Sekarang bolehkah diri kita tidak
berpuasa walaupun kewajiban berpuasa sudah berlaku kepada diri kita? Jawaban
dari pertanyaan ini sangat tergantung kepada diri kita sendiri. Allah SWT
memberikan kebebasan kepada diri kita apakah mau melaksanakan puasa ataupun
tidak melaksanakan puasa. Jika kita mau melaksanakan puasa maka laksanakanlah
puasa yang sesuai dengan kehendak Allah SWT dan jika tidak mau melaksanakan puasa
ketahuilah bahwa Allah SWT tidak butuh dengan puasa yang kita laksanakan.
Sebagai abd’
(hamba)-Nya yang sekalgus khalifah-Nya di muka bumi yang telah diperintahkan
untuk berpuasa, mari kita perhatikan surat Al Baqarah (2) ayat 184 dan juga dua
buah hadits yang kami kemukakan berikut ini: “(yaitu) dalam beberapa hari yang
tertentu. Maka Barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan
(lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang
ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu):
memberi Makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan[114], Maka Itulah yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik
bagimu jika kamu mengetahui.(surat Al Baqarah (2) ayat 184)
[114]
Maksudnya memberi Makan lebih dari seorang miskin untuk satu hari.
Rasulullah
SAW bersabda: “Wajib kamu mengambil kelapangan (rukshah) yang telah diberikan Allah,
terimalah kelapangan itu. (Hadits Riwayat Ath Thabarani)
Rasulullah
SAW bersabda: “Barangsiapa berbuka puasa sehari tanpa rukshah atau alasan yang
dibenarkan atau sakit, maka tidak dapat ditebus dengan berpuasa seumur hidup
meskipun dia melakukannya. (Hadits Riwayat Bukhari, Muslim). Berdasarkan
ketentuan di atas ini, kita tidak bisa
sembarangan membatalkan puasa yang telah kita laksanakan atau kita tidak bisa
begitu saja tidak melaksanakan puasa setelah diwajibkan berlaku kepada diri
kita. Adanya ketentuan di atas, ketahuilah ada syarat dan ketentuan yang
berlaku yang harus kita penuhi terlebih dahulu barulah kita bisa membatalkan
puasa yang sedang kita lakukan atau kita tidak bisa seenaknya tidak melakukan
puasa setelah kewajiban berpuasa berlaku kepada diri kita.
Jika sampai kita tidak berpuasa tanpa
rukshah, atau jika sampai diri kita membatalkan puasa tanpa rukshah, atau
alasan yang dibenarkan oleh syariat, resiko yang kita akan hadapi sangatlah
luar biasa. Ingat, puasa yang tidak kita laksanakan setelah menjadi kewajiban
diri kita tanpa rukshah, atau puasa yang kita batalkan tanpa rukshah tidak bisa
ditebus sampai kapanpun walaupun kita berpuasa seumur hidup. Untuk itu
renungkanlah sebelum kita melanggar perintah Allah SWT.
Sekali lagi kami tegaskan, pada
dasarnya, Allah SWT mewajibkan berpuasa selama bulan Ramadhan kepada semua orang
yang beriman, sepanjang tidak ada udzur seperti sakit dan safar ataupun dengan
qadha’ bagi yang tidak sanggup menjalankannya. Bagi mereka yang memiliki udzur
dan ada kemungkinan udzurnya hilang sesudah Ramadhan, maka puasa dikerjakan
dengan cara qadha’. Akan tetapi, bagi kaum muslimin yang sudah tidak mampu lagi
berpuasa seperti orang tua renta dan orang sakit yang tak ada harapan sembuh,
Allah SWT memberikan keringanan kepada mereka dengan memberi makan orang miskin
sebagai ganti puasanya, yang disebut fidyah.
Namun ada permasalahan yang dirasakan
kaum muslim yang berhalangan puasa pada bulan Ramadhan, yaitu bagaimana takaran
dalam membayar fidyah. Ada yang mengatakan boleh dibayar sesuai harga
nominal makan kita untuk satu porsi dikalikan jumlah puasa yang harus diganti,
ada pula yang menyarankan dengan memberi makan orang miskin sebanyak 1 (satu) mud
(1,25 kilogram cerealia, seperti gandum, beras dan lainnya). Membayar fidyah
ditetapkan berdasarkan jumlah hari yang ditinggalkan untuk berpuasa. Setiap 1 (satu)
hari seseorang meninggalkan puasa, maka dia wajib
membayar fidyah kepada 1 (satu) orang fakir miskin.
Sedangkan teknis pelaksanaannya,
apakah mau perhari atau mau sekaligus sebulan, kembali kepada keluasan
masing-masing orang. Bila seseorang nyaman memberikan fidyah setiap hari,
silahkan dilakukan. Sebaliknya, bila lebih nyaman untuk diberikan sekaligus
untuk puasa 1(satu) bulan, silakan saja. Yang penting jumlah takarannya tidak
kurang dari yang telah ditetapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa fidyah
hanya diberikan kepada fakir miskin seperti zakat fitrah.
Menurut Nabi Muhammad saw, bentuk
fidyah berupa makanan, biasanya adalah makanan pokok yang di setiap negeri
berbeda satu dengan yang lainnya. Makanan pokok dapat dalam bentuk siap santap
atau hanya berupa bahan mentah, keduanya boleh, karena memang tidak ada aturan
khusus yang mengikat.Sedangkan untuk ukuran fidyah, seberapa banyak jumlahnya
yang harus dikeluarkan, para ulama memiliki beberapada
perbedaan pandangan. Berikut ini penjelasannya:
1.
Satu Mud
Sebagian ulama seperti
Imam As-Syafi’I, Imam Malik dan Imam An-Nawawi menetapkan bahwa
ukuran fidyahyang harus dibayarkan kepada setiap 1 (satu) orang fakir miskin adalah 1 (satu) mud gandum
sesuai dengan ukuran mud Nabi shalallahu‘alaihi wasallam. Maksudnya mud
adalah telapak tangan yang ditengadahkan ke atas untuk menampung makanan (mirip
orang berdoa). Mud adalah istilah yang menunjuk ukuran volume, bukan ukuran
berat. Dalam kitab Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu disebutkan bila diukur dengan
ukuran zaman sekarang, 1 (satu) mud setara dengan 675 gram atau 0,688 liter.
2.
Dua Mud atau Setengah Sha’
Sebagian ulama yang lain
seperti Abu Hanifah berpendapat ½ sha’ atau 2 (dua) mud gandum dengan
ukuran mud Rasulullah shalallahu‘alaihi wasallam atau setara dengan
setengah sha‘ kurma atau tepung. Setara dengan memberi makan siang dan makan
malam hingga kenyang 1 (satu) orang miskin. Sebagian ulama yang kira-kira ½
sha’ beratnya 1,5 kg dari makanan pokok. Telah disebutkan dalam fatwa Lajnah
Daimah: “Kapan saja dokter memutuskan bahwa penyakit yang diderita seseorang
yang karenanya tidak berpuasa tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia
boleh tidak berpuasa dan wajib memberi makan untuk setiap harinya 1 (satu)
orang miskin sejumlah setengah sha’ dari makanan pokok suatu negeri seperti
kurma atau yang lainnya, jika telah memberi makan seorang miskin sejumlah
hari-hari yang ditinggalkan maka itu telah mencukupi”.
3.
Satu Sha’
Ini adalah pendapat dari
kalangan Hanafiyah, seperti Imam Al-Kasani dalam Bada’i’ wa As-Shana’i’. Satu
sha’ itu setara dengan 4 (empat) mud, sama dengan jumlah zakat fitrah yang
dibayarkan. Bila ditimbang, 1 (satu) sha‘ itu beratnya 2.176 gram. Bila diukur
volumenya, 1 (satu) sha‘ setara dengan
2,75 liter.
Dari perbedaan ulama di atas
kadar fidyah paling sedikit adalah satu mud, tetapi yang paling utama kita
mengeluarkan setengah sha’ atau memberi satu porsi makanan masak kepada setiap
miskin. Lalu siapa sajakah yang punya kewajiban membayar fidyah tersebut?
a.
Orang
yang sakit dan secara umum ditetapkan sulit untuk sembuh lagi,
b.
Orang
tua atau lemah yang sudah tidak kuat lagi berpuasa,
c.
Wanita
yang hamil dan menyusui apabila ketika puasa mengkhawatirkan anak yang
dikandung atau disusuinya. Mereka wajib membayar fidyah saja menurut
sebagian ulama, namun menurut Imam Syafi’i selain wajib
membayar fidyah juga wajib mengqadha’ puasanya. Sedangkan menurut
pendapat lain, tidak membayar fidyah tetapi cukup mengqadha’.
d. Orang yang menunda kewajiban
mengqadha’ puasa Ramadhan tanpa uzur syar’I hingga Ramadhan tahun berikutnya
telah menjelang. Mereka wajib mengqadha’nya sekaligus
membayar fidyah, menurut sebagian ulama.
Inti pembayaran fidyah
adalah mengganti 1 (satu) hari puasa yang ditinggalkan dengan memberi makan 1 (satu)
orang miskin. Namun, model pembayarannya dapat diterapkan dengan 2 (dua) cara:
a.
Memasak
atau membuat makanan, kemudian mengundang orang miskin sejumlah hari yang
ditinggalkan selama bulan Ramadhan, sebagaimana yang dilakukan oleh sahabat
Anas bin Malik ra, ketika beliau sudah menginjak usia senja dan tidak sanggup
lagi berpuasa seperti dijelaskan dalam hadits berikut ini: “Bahwa beliau tidak mampu
berpuasa selama setahun lalu beliau membuat satu nampan besar bubur dan
mengundang tiga puluh orang miskin dan mengenyangkan mereka. (Hadits Riwayat
Ad-Daruquthni dan dishahihkan sanadnya oleh Syeikh Al-Albani dalam kitab
Irwa’.”
b.
Memberi
orang miskin berupa makanan yang belum dimasak. Namun, sebaiknya juga diberikan
sesuatu untuk dijadikan lauk.
Seseorang dapat membayar
fidyah, pada hari itu juga ketika dia tidak melaksanakan puasa. Atau diakhirkan
sampai hari terakhir bulan Ramadhan, sebagaimana dilakukan oleh sahabat Anas
bin Malik ketika beliau telah tua.Yang tidak boleh dilaksanakan adalah
pembayaran fidyah yang dilakukan sebelum Ramadhan. Misalnya: Ada orang yang
sakit yang tidak dapat diharapkan lagi kesembuhannya, kemudian ketika bulan
Sya’ban telah datang, dia sudah lebih dahulu membayar fidyah. Maka, yang
seperti ini tidak diperbolehkan. Ia harus menunggu sampai bulan Ramadhan
benar-benar telah masuk, barulah ia boleh membayar-kan fidyah ketika hari itu
juga atau bisa ditumpuk di akhir Ramadhan.
Fidyah adalah pengganti
dari suatu ibadah yang telah ditinggalkan, berupa sejumlah makanan yang
diberikan kepada fakir miskin. Dengan mengamati definisi dan tujuan fidyah yang
merupakan santunan kepada orang miskin, maka boleh memberikan fidyah dalam
bentuk uang. Karena jika orang miskin tersebut, sudah cukup memiliki bahan
makanan, maka lebih baik memberikan fidyah dalam bentuk uang, agar dapat
dipergunakan untuk keperluan lain.
Jumhur ulama mewajibkan
untuk dikeluarkan makanan berdasarkan Al-Qur’an, namun madzhab Hanafiyah
membolehkan membayarkan nilainya. Lebih baik mengambil pendapat jumhur ulama,
kecuali jika mengeluarkan fidyah sejumlah nilainya lebih mendatangkan maslahat
maka diperbolehkan.Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa kewajiban fidyah
boleh dilaksanakan dengan mengganti uang, jika lebih bermanfaat. Namun jika
uang tersebut akan digunakan untuk foya-foya, maka wajib memberikannya dalam
bentuk bahan makanan pokok
Fidyah diberikan
kepada fakir miskin sesuai jumlah hari yang ditinggalkan, yakni satu
fidyah untuk satu hari untuk satu miskin dan pemberiannya dapat dilakukan
sekaligus. Misalnya kita meninggalkan puasa 30 hari maka kita cukup membayar 30
porsi makanan kepada 30 orang miskin saja.Dapat pula diberikan hanya kepada 1
(satu) orang miskin saja sebanyak 30 hari. Adapun ketentuan memberikan seluruh
fidyah kepada 1 (satu) orang miskin saja, sebagian ulama melarangnya, namun
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu’ membolehkannya. Begitu juga Al
Mawardi yang mengatakan, “Boleh saja mengeluarkan fidyah pada satu orang miskin
sekaligus. Hal ini tidak ada perselisihan diantara para ulama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar