C.
SELALU
INGAT KEPADA ALLAH SWT MELALUI DZIKRULLAH.
Orang yang telah menjadikan jiwanya fitrah, atau
telah mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah yang sesuai dengan kehendak
Allah SWT adalah selalu ingat kepada Allah SWT dimanapun ia berada, dalam
kondisi apapun sehingga ia merasa selalu diawasi oleh Allah SWT, atau ia merasa
bahwa Allah SWT selalu menyertai dirinya di manapun dan kapanpun. Di lain sisi,
saat diri kita hidup di dunia maka kita diwajibkan untuk bekerja, untuk
berkarya dalam rangka untuk menghidupi keluarga. Dan pada saat yang sama atau saat
diri kita bekerja dan berkarya maka pada saat itu pula kita tidak bisa
menghindar dari adanya ahwa (hawa nafsu) dan gangguan syaitan.
Adanya pengaruh ahwa (hawa nafsu) dan syaitan akan
menjadikan apa yang kita kerjakan terpengaruh sehingga berada di dalam koridor nilai-nilai
keburukan. Allah
SWT berfirman: “ Maka apabila kamu
telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk
dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, Maka
dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (surat An Nisaa’ (4) ayat 103)
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya
di muka bumi ada satu hal lainnya yang harus kita perhatikan yaitu ingat kepada
Allah SWT bukanlah sekedar ingat. Akan tetapi ingat kepada Allah SWT haruslah
ingat yang harus disertai dengan perbuatan yang sesuai dengan yang kita ingat.
Katakan jika kita ingat Allah SWT adalah Maha Kaya, maka jika kita memiliki
kekayaan yang berasal dari Allah SWT sudahkah kekayaan yang kita miliki kita
pergunakan di dalam kehendak Allah SWT, atau sudahkah sebahagian kekayaan yang
kita miliki kita keluarkan hak Allah SWT kepada orang yang memerlukan, atau
sudahkah kekayaan yang kita miliki kita pergunakan untuk membeli tiket masuk syurga
atau jangan sampai kekayaan yang kita miliki justru membawa diri kita ke Neraka
Jahannam.
Selain daripada itu, jangan pernah menjadikan diri
kita hanya sebatas penonton belaka, hanya sebagai pengagum belaka, hanya mampu
menjadi komentator dan juga pengamat dari kemahaan dan kebesaran Allah SWT. Akan tetapi kita harus aktif memperoleh, aktif untuk
mendapatkan, aktif merasakan langsung kemahaan dan kebesaran Allah SWT, atau
aktif merasakan nikmatnya bertuhankan Allah SWT yang kesemuanya memang
dikhususkan untuk seluruh manusia yang ada di muka bumi ini, termasuk untuk
diri kita sepanjang diri kita mau meminta kepada Allah SWT.
Kata
"dzikir" menurut bahasa artinya ingat. Sedangkan dzikir menurut
pengertian syariat adalah mengingat Allah SWT dengan maksud untuk mendekatkan
diri kepadaNya sebanyak banyaknya dengan tanpa menghitung hitung berapa jumlah
yang akan dan telah kita dzikirkan dikarenakan dalam dzikir tidak mengenal
istilah “jarak, ruang dan waktu”. Sebagaimana dikemukakan di dalam surat Al
Ahzab (33) ayat berikut ini: "Hai orang-orang yang beriman,
berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya."
(surat Al-Ahzab (33) ayat 41).” Sedangkan berdasarkan ketentuan di
dalam surat Ali Imran (3) ayat 191 berikut ini: "(yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka." kita dapat melakukan dzikir sambil berdiri,
sambil duduk, sambil berbaring, atau dalam segala keadaan seperti di tengah
kemacetan, di tengah menghadapi antrian, di tengah tengah keramaian, dimanapunn
kita berada dan lain sebagainya. Atau dengan kata lain, berdzikir dapat
dilakukan dengan berbagai cara dan dalam keadaan bagaimanapun, kecuali di tempat
yang tidak sesuai dengan kesucian Allah SWT, seperti bertasbih dan bertahmid di
dalam kamar mandi.
Dan
masih berdasarkan ketentuan surat Ali Imran (3) ayat 191 di atas, dzikir bukan
hanya aktivitas mengingat Allah SWT semata. Akan tetapi kegiatan memikirkan,
merenungkan serta mempelajari tentang penciptaan langit dan bumi juga termasuk
dalam kategori berdzikir kepada Allah SWT.
Kita diperintahkan untuk berdzikir kepada Allah SWT agar kita selalu mengingat akan kekuasaan dan
kebesaranNya sehingga kita bisa terhindar dari penyakit sombong, angkuh dan
takabbur.
Ingat,
Allah SWT tidak butuh dengan dzikir yang kita lakukan, melainkan kitalah yang
sangat membutuhkan dzikir kepada Allah SWT. Jika kita mampu berdzikir yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT, akan mampu menghantarkan diri kita mengenal
siapa diri kita dan siapa Allah SWT yang sesungguhnya lalu mampu menghantarkan
diri kita hanyalah sebagai hamba semata (Abdullah) sedangkan Allah SWT adalah
Tuhan bagi seluruh alam semesta (Rabb). Agar diri kita mampu berdzikir yang
sesuai dengan kehendak Allah SWT, berikut ini akan kami kemukakan beberapa
pengertian, atau pemaknaan dari berdzikir yang paling mendasar berdasarkan
ketentuan yang berlaku, yaitu:
1. Dzikir itu adalah Warisan Rasulullah
SAW. Seorang sufi bernama Sulaiman Ad Darani berkata, “Di
syurga ada lembah lembah tempat para malaikat menanam pohon pohon ketika
seseorang mulai berdzikir kepada Allah SWT. Terkadang salah satu malaikat itu
berhenti bekerja dan teman temannya bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau
berhenti? Malaikat itu menjawab, “sahabatku telah malas/kendur dzikirnya.”
Sebagai orang yang beriman tentu tidak akan menjadikan kata kata di atas ini
sebagai hiasan dalam buku harian atau menjadikannya kata kata mutiara untuk
disampaikan atau dihadiahkan kepada teman. Akan tetapi kita harus bisa
menjadikan kisah di atas untuk meyakini bahwa dengan berdzikir, diri kita akan
mendapatkan manisnya keimanan yang akan membawa kita pada kebahagiaan dunia dan
akhirat.
Dzikir
merupakan warisan yang dibagi bagikan oleh Rasulullah SAW kepada umatnya, dalam
sebuah riwayat, Abu Hurairah ra, berkata bahwa ketika masuk pasar, dia berkata, “Aku
melihat kalian disini sementara warisan Rasulullah di bagian dalam masjid.”
Orang orang lalu pergi ke masjid dan meninggalkan pasar. Setibanya di masjid
mereka tak melihat warisan itu, lalu mereka berkata, “Wahai Abu Hurairah, kami
tidak melihat warisan dibagikan di dalam masjid. Abu Hurairah balik bertanya,
“Apa yang kalian lihat? “ Mereka menjawab, “Kami melihat sekelompok orang
sedang berdzikir kepada Allah SWT dan membaca Al Qur’an!” Abu Hurairah berkata,
“ Itulah warisan Rasulullah SAW!”.
Sebagai
umat yang telah diberikan warisan oleh Nabi Muhammad SAW tentunya kita harus
bisa memanfaatkan warisan ini dengan sebaik baiknya, apalagi warisan ini adalah
warisan yang tidak akan habis habisnya dimakan oleh waktu. Sepanjang kita mau
menerima warisan ini maka sepanjang itu pula warisan akan diberikan. Untuk itu
jadikan warisan ini sebagai modal dasar bagi kita untuk merasakan nikmatnya
bertuhankan Allah SWT atau meraih kesuksesan hidup di dunia dan di akhirat
kelak. Amiin.
2. Dzikir itu adalah makanan bagi orang
orang yang mencari Tuhan. Dzikir dapat dikatakan sebagai makanan
bagi orang yang mencari Tuhan, hal ini dikarenakan pedzikir itu sadar bahwa
penyesalan akan tiba jika mereka lalai sedetikpun jika tidak berdzikir. Air
mata tumpah di kesendirian tatkala tahajud merupakan saksi akan munajatnya
pedzikir kepada Sang Khaliq. Muadz bin Jabal ra, pernah berkata: “Tidak ada yang disesali penghuni syurga
selain ketika sesaat saja mereka tidak berdzikir kepada Allah SWT”.
Menyesal adalah sebuah perasaan kecewa yang timbul dari hubungan sebab akibat.
Rasa sesal pasti dimiliki oleh setiap anak manusia karena rasa sesal termasuk
salah satu sifat dari jasmani manusia. Hal yang berbeda adalah bagaimana setiap
manusia mengekspresikan bentuk penyesalannya. Adanya kondisi ini maka dapat
dipastikan antara orang mukmin dibandingkan dengan orang kafir tentu akan berbeda
cara melampiaskan penyesalannya.
Bagi
orang kafir atau yang tidak beriman selalu mengkaitkan penyesalannya dengan
sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan dan kepentingan duniawi. Misalnya,
dia menyesal karena telah salah dalam membuat perhitungan sehingga dia
mengalami kerugian. Penyesalan itu biasanya dibarengi dengan berbagai tindakan
yang menyesatkan seperti, pergi ke bar untuk menghilangkan pikiran dengan
meminum alkohol atau mengkonsumsi narkoba, bahkan ada yang terjun bebas dari
bangunan tinggi untuk menghabisi dirinya.
Menyesali
diri atas setiap perbuatan dosa yang telah dilakukan di dunia merupakan
anugerah dari Allah SWT karena kita sesungguhnya masih diberi kesempatan
olehNya untuk memperbaiki diri. Untuk itu, kehidupan dunia
harus lah dipandang sebagai ladang akhirat, makin banyak kita menanam amal di
dunia, insya Allah kita akan menuai hasilnya di akhirat kelak. Dan
penyesalan yang amat dahsyat sesungguhnya terjadi ketika kita belum sempurna
bertaubat saat malaikat maut datang menjemput. Tidak ada penyesalan
yang melebihi dari semua penyesalan yang ada di dunia ini ketika kita wafat
dalam keadaan suul khatimah.
3. Dzikir itu adalah sarana bagi kita untuk
mendapatkan syurga. Agar dzikir yang dilakukan oleh pedzikir
mampu menjadi sarana untuk mendapatkan syurga, renungkanlah dengan hati yang
bersih lagi fitrah, hal yang kami kemukakan ini. Ketahuilah bahwa sementara
kita berdzikir di muka bumi, pada saat yang bersamaan dengan itu para malaikat
menanam pohon untuk para pedzikir pedzikir di syurga untuk kepentingan para
pedzikir. Para pedzikir pedzikir
sesungguhnya juga tengah menikmati indahnya taman taman syurga melalui majelis
majelis dzikir saat mereka di dunia minimal ia memperoleh ketenangan dan
ketenteraman bathin (sesuatu yang sangat mahal hari ini) sehingga ia mampu
hidup sesuai dengan kehendak Allah . Di samping itu, dzikir akan menjaga diri
kita dari setiap ancaman dan menjadi pedang untuk membantai setiap musuh yang
akan menggoda diri kita di dunia.
Imam
Al Qusyairy berkata: “Apabila dzikir
kepadaNya telah menguasai hati manusia, maka ketika syaitan datang mendekat, ia
akan menggeliat geliat di tanah seperti halnya manusia menggeliat geliat
manakala syaitan syaitan datang mendekatinya. Apabila ini terjadi, maka
semua setan akan berkumpul dan mendatanginya seraya bertanya, ‘Apa yang terjadi
padanya? Setan yang lain berkata, ‘Seorang
manusia telah menghantam (dengan dzikir)nya!”. Dan ketika Rasulullah SAW
dimikrajkan oleh Allah SWT, Nabi Ibrahim as, berpesan kepadanya, “Sampaikan salam untuk umatmu,
beritahukanlah kepada mereka bahwa syurga tanahnya subur dan airnya sangat
jernih, tetapi tanahnya kosong. Tanamannya ialah dengan membaca ‘Subhanallah walhamdulillah wala ilaha
illallah wallahu akbar’ karena dengan demikian dia telah menanam pohon di
syurga.”
Pada
kesempatan yang lain, ketika Rasulullah SAW sedang berjalan, beliau melihat Abu
Hurairah ra, sedang menanam pohon. Ketika ditanya, dia menjawab: “Saya sedang
menanam pohon.” Kemudian Rasulullah SAW bersabda, “Aku beritahukan kepadamu sebaik
baik pohon, yaitu bacaan ‘La haula wala Quwwata illa billah’ karena akan
menyebabkan tumbuhnya pohon di syurga. Jika ini kondisinya, ayo
sekarang kita berlomba lomba menanam sebanyak banyaknya pohon di syurga mulai
saat ini juga. Jangan biarkan pohon itu layu dan tidak berkembang karena ulah
perbuatan dosa dan maksiat yang kita lakukan. Lalu sudah berapa banyak pohon
yang telah kita investasikan di syurga kelak?
4. Dzikir itu adalah salah satu terapi bagi
kalbu karena dzikir akan menyehatkan ruhani. Orang yang dzikirnya
sedikit pertanda bahwa hatinya sedang sakit, dan orang yang tidak pernah
berdzikir hatinya telah mati. Zikir adalah milik jiwa, yang menjai sulit diraih
apabila kita berpaling kepada ego. Mengingat Allah bukanlah milik ego atau
pikiran. Ego tidak memiliki keabadian. Sedangkan pikiran tidak dapat meraih
dimensi cahaya di atas cahaya. Jadi, dzikir itu sesungguhnya adalah obat ruhani
yang sekaligus inti jalan ruhani. Dzikir sebagai jalan ruhani atau jalan
spiritual sebenarnya adalah jalan yang sangat sederhana. Intinya adalah, “Kalbu
mencari Allah dan Allah mencari kalbu yang diperkuat dengan menjadikan diri
kita sebagai hamba Allah SWT semata dan Allah SWT adalah satu satunya Rabb bagi
diri kita. Ironisnya, mengapa masih banyak orang yang berdzikir, menangis,
bertaubat dalam dzikir dan doanya, tetapi perilaku maksiatnya tak kunjung reda?
Air mata dzikir dan air mata taubat pun menjadi sia sia. Air mata itu akhirnya
menjadi bahan gunjingan bagi orang orang yang melihatnya.
Hal yang harus kita jadikan
pedoman saat berdzikir adalah : Air mata bukanlah ukuran pertobatan dan lisan
bukanlah jaminan pengakuan. Banyak orang yang berdzikir dengan lisannya, tetapi
belum dengan hatinya. Untaian tasbih di tangan bukanlah jaminan bahwa hatinya
juga bertasbih. Surban dan jubah putih
ataupun gamis panjang yang membungkus tubuh tidak menunjukkan bening dan
putihnya hati si pemakai. Dzikir yang belum disertai dengan
kehadiran hati telah membuka peluang pada pikiran, ego, dan hawa nafsu untuk
melalaikan hati kita. Kita melupakan misi dari dzikir kita, tugas dan kewajiban
personal kita. Kita tidak menghargai apa yang telah dikaruniakan kepada kita
dan kita tidak mengenal nilai sejatinya.
Dzikir
kita kepada Allah SWT seharusnya tidak bergantung kepada kondisi internal atau
eksternal diri kita. Dunia ini akan selalu berupaya mencampakkan diri kita ke
dalam jurang kealpaan. Dalam jurang ini kita diuji. Mereka yang ingat akan
diingatkanNya, dan mereka yang lalai akan dilalaikanNya. Saat ini masih banyak manusia
yang menjalani kehidupannya dalam kealpaan dan kelalaian. Mereka berdzikir
tetapi tidak mampu mengenali sifat sifat ilahiah mereka secara sadar.
Tak heran jika kalbunya sudah terjaga dan dalam dirinya telah tertanam benih
dzikir, mereka sering berpaling dari jalan ruhani dan melupakanNya. Karenanya,
tidak setiap pejalan ruhani dapat menemukan jalan pulang, begitu banyak
pedzikir yang berpaling dari untaian dzikirnya.
Untuk
itu jangan pernah belenggu hati kita dengan kealpaan dan kelalaian yang
berkepanjangan. Berdzikirlah dengan lisan dan hati sehingga akal kita akan
menterjemahkan nya ke dalam perilaku yang berdzikir atau pribadi yang
berdzikir. Berdzikir yang demikian akan membentuk ketaqwaan kita kepadaNya
sehingga tidak ada lagi celah bagi syaitan untuk menghembushembuskan bisikannya
di hati kita. Mengingat Allah adalah satu satunya senjata kita untuk
melawan kekuatan syaitan. Kita tahu bahwa syaitan tidak pernah tidur, mereka
kuat, tetapi Allah SWT jauh lebih kuat.
Dan dengan diri kita terus menerus mengingat Allah, hati kita akan terus terjaga
sepanjang waktu. Dengan demikian tak ada ruang bagi syaitan untuk mencelakakan
kita. Untuk itu jangan biarkan lidah dan hati ini lelah apalagi berhenti
berdzikir. Jangan biarkan tangan ini malas bersedekah setiap pagi karena
sedekah merupakan penolak bala. Jangan biarkan mata ini malas bangun malam
untuk shalat tahajjud, jangan biarkan anak istri kita memakan makanan yang
syubhat dan haram. Jangan biarkan syaitan menerobos pintu pintu hati yang telah
bercahaya dengan dzikir.
5. Dzikir adalah pembentuk akhlak yang
mulia. Bukankah kehidupan Nabi Muhammad SAW adalah dzikir?
Bukankah kehidupan para sahabat, tabiin, tabiutabiin juga adalah dzikir? Tidak
ada waktu yang tersisa dalam kehidupan mereka tanpa mengingat Allah SWT. Mulai
dari bangun malam, berdiri mendirikan shalat, bermunajat di keheningan malam,
mencari nafkah, hidup bermasyarakat, berkeluarga, mendidik anak, belajar,
sampai dengan hal hal yang berhubungan dengan tata cara atau adab keseharian,
semuanya penuh dan dimulai dengan kalimat kalimat dzikir. Ingat, tak ada
satupun ajaran agama di dunia ini yang mengatur secara paripurna kehidupan
manusia mulai dari lahirnya jabang bayi sampai wafat dengan dzikir dan doa,
kecuali Islam. Tak ada satupun agama di dunia ini yang mengajarkan akhlak yang
begitu sempurna, kecuali hanya agama Islam. Bukankah Rasulullah SAW diutus
untuk menyempurnakan akhlak.
Sungguh
banyak orang yang keliru. Mereka mengira bahwa hal terpenting dalam agama
adalah mempelajari fiqih, menghafal AlQuran, wirid tiada henti, dan seterusnya.
Mereka lupa bahwa tujuan utama dari semua ibadah (shalat, puasa, doa, dzikir,
zakat, haji dan seterusnya) adalah untuk membenahi akhlak manusia. Kalau tidak,
ibadah yang dilakukannya akan menjadi semacam latihan olah raga atau kebisaan
semata atau penghapus kewajiban.
Saat
ini, sangat ramai orang yang berdzikir secara berjemaah, tetapi sangat
disayangkan masih belum diikuti dengan peningkatan kualitas akhlak mereka.
Masih banyak di antara jamaah yang terjebak ke dalam jargon jargon bahwa
majelis dzikir merupakan ajang pembersihan dosa. Akibatnya, banyak jamaah
majelis dzikir merasa dirinya bebas dari segala dosa usai berdzikir. Benar
mereka menangis saat berdzikir, tetapi keberagaman tak mutlak diisi dengan
tangisan. Karena kalau ukurannya menangis, bukankah orang Yahudi lebih hebat
tangisannya daripada kita, apalagi di hadapan Tembok Ratapan di Jerusalem.
Rasulullah
SAW bersabda: “Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan manusia pada hari Kiamat
daripada akhlak yang baik.” (hadits riwayat Abu Dawud dan Ath Thirmidzi)
Rasulullah
SAW bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik
akhlaknya,” (hadits riwayat Abu Dawud dan Imam Ahmad).
Benar
Rasulullah SAW berkata bahwa air mata adalah wujud kasih sayang yang Allah
tanamkan di hati para hambaNya. Tetapi tangisan dari Rasulullah tidak diikuti
dengan perilaku buruk! Beliau adalah seorang yang lembut hatinya, baik saat
beribadah maupun di luar beribadah karena hidupnya adalah ibadah. Sedangkan
tangisan kita baru sampai tahap menyadari dosa dosa yang kita lakukan, atau
baru sampai tahap mensyukuri nikmat yang Allah berikan, atau ada yang menangis
karena jamaah kanan dan kirinya menangis, akhirnya ia ikut menangis. Agar
ibadah dzikir mampu sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah SWT, maka ibadah dzikir yang kita lakukan setiap saat,
haruslah dipahami sebagai salah satu sarana untuk mencapai akhlak yang mulia
atau mampu menjadikan diri kita menampilkan penampilan Allah SWT saat hidup di
muka bumi ini (dalam hal ini Asmaul Husna).
6. Dzikir itu adalah kunci pembuka pintu
hati. Dzikir adalah kunci pembuka pintu hati. Apabila pintu hati terbuka maka muncullah di
dalamnya pemikiran yang brilian dan juga kata kata hikmah untuk membuka mata
hati. Bila mana mata hati telah terbuka maka tampaklah sifat sifat Allah serta
kemahaan dan kebesaran Allah SWT di hadapan mata hati kita. Dzikir yang
seperti ini sesungguhnya adalah dzikir kepada Allah berarti mengingat dan
mengikatkan diri kepada sifat sifat Allah dan juga dengan kemahaan dan kebesaran
Allah WT sebagai Tuhan yang berhak disembah dengan sebaik baiknya.
Sekarang
katakanlah, Allah SWT adalah Dzat Pemberi Rezeki dan jika Allah SWT kita ingat
sebagai Dzat Yang Memberi Rezeki berarti kita juga harus mengikatkan diri
kepada sifat pemberi ini. Sehingga kita wajib meminta rezeki hanya kepadaNya
dan setelah memperoleh rezeki maka kita wajib pula membantu sesama melalui
infaq dan sedekah. Jika kita mampu melakukan berarti kita telah mampu membuka
hati kita melalui dzikir, terutama melalui nilai kebaikan dari memiliki rezeki
bukanlah pada saat saldo keuangan bertambah banyak melainkan saat mau berbagi
rezeki kepada orang orang yang membutuhkan dari rezeki yang telah kita terima
dari Allah SWT.
Adanya
kondisi yang kami kemukakan di atas, dzikir juga dapat kita katakan sebagai
cara yang paling efektif untuk berdialog langsung dengan Allah sehingga membuat
pedzikir atau hamba hambaNya mampu secara aktif berpartisipasi dalam komunikasi
langsung dengan Allah SWT. Apalagi pedzikir yang sudah mampu menampilkan
penampilan Allah SWT setelah mereka berdzikir berarti ia mampu membuat Allah
SWT tersenyum kepadanya. Adanya kondisi dzikir yang seperti ini tentu saja
tidak bisa serta merta terlaksan karena kondisi spiritual dari pikiran atau
hati dari setiap orang yang berbeda beda dalam menerimanya. Kesemuanya sangat
tergantung dari ketinggian atau kefitrahan spiritual yang dialami pedzikir pada
saat berdzikir.
7. Bentuk dan Cara Berdzikir. Berdasarkan
surat Al Baqarah (2) ayat 152 berikut ini: “Maka ingatlah kepadaKu, Aku pun akan ingat
kepadamu. Bersyukurlah kepadaKu, dan janganlah kamu ingkar kepadaKu. (surat Al
Baqarah (2) ayat 152).” serta
berdasarkan hadits qudsi riwayat Ath Thabrani berikut ini: “Ibnu Abbas ra, berkata: Nabi SAW
bersabda: Allah ta’ala berfirman: Apabila hambaKu berdzikir (ingat) kepadaKu
sendiri, maka Aku dzikir padanya sendirian. Dan apabila ia ingat (berdzikir)
padaKu di tengah khalayak ramai, niscaya Aku dzikir padanya di tengah kumpulan
yang jauh lebih baik dari kumpulan yang ia berdzikir kepadaKu itu. (hadits qudsi riwayat Ath
Thabrani).” Allah SWT telah menyatakan apabila seorang hamba mengingat
(berdzikir kepada) Allah SWT dengan segala tingkatannya maka Allah SWT pun akan
mengingat diri kita lebih baik dari tingkatan dzikir yang dilakukannya.
Dzikir
kepada Allah SWT atau mengingat Allah SWT dapat pula dikatakan sebuah kehendak
dari diri kita untuk menemui Allah SWT sebagaimana dikemukakan di dalam hadits
berikut ini: “Abu Hurairah ra, berkata: Nabi SAW bersabda: Allah ta’ala berfirman:
Apabila hambaku ingin menemuiKu, Aku pun ingin menemuinya. Tetapi bila ia
enggan menemuiKu, Aku pun enggan menemuinya. (hadits qudsi riwayat Bukhari,
Malik dan An Nasa’i).” Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk terus
menerus berdzikir, mulai dari hendak tidur, bangun tidur, masuk dan keluar
kamar mandi, memakai baju, naik kendaraan, di perjalanan, melihat petir ataupun
kejadian di jalan, mau makan dan minum, selesai makan dan minum, dan di segala
aktifitas lainnya.
Kenapa
hampir tidak ada sedikitpun kegiatan kita yang luput dari berdzikir kepadaNya?
Hal itu tak lain karena sesungguhnya rumah rumah, rawa rawa, gunung gunung, dan
bumi ini akan menjadi saksi bagi orang orang yang berdzikir, pada hari kiamat
kelak, sebagaimana firmanNya berikut ini: “Pada hari itu bumi menyampaikan beritanya,
karena sesungguhnya Tuhanmu telah memerintahkan (yang sedemikian itu) padanya.
(surat Az Zalzalah (99) ayat 4,5). Dan kegiatan mengingat Allah SWT
(berdzikir) itu dapat dilakukan dengan tiga cara, dengan catatan ketiganya
tidak bisa dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya, namun harus dalam
satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, yang terdiri dari:
a. Dzikir
dengan Lisan atau Ucapan. Dzikir
dengan lisan (ucapan), yaitu dengan cara mengucapkan lafazh-lafazh dzikir
tertentu, baik dengan suara keras maupun dengan suara yang hanya dapat didengar
oleh orang yang berdzikir itu sendiri. Lafaz dzikir yang baku itu harus dari Al
Qur’an dan Al Hadits di antaranya adalah tasbih, tahlil, tahmid, membaca Al
Qur’an, istighfar, doa, dan membaca shalawat kepada Nabi Muhammad SAW. Allah
SWT berfirman: “(Zakaria) berkata,, “Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda.” Allah
berfirman, “Tanda bagimu adalah bahwa engkau tidak berbicara dengan manusia
selama tiga hari, kecuali dengan isyarat. Dan sebutlah (nama) Tuhanmu banyak
banyak, dan bertasbihlah (memujiNya) pada waktu petang dan pagi hari.” (surat
Ali Imran (3) ayat 41)
Dzikir
lisan adalah salah satu upaya untuk melindungi mulut dari berkata kata yang
tidak baik dan tidak bermanfaat. Dengan berdzikir diharapkan lisan dan hati
kita selalu terjaga, bukanlah Rasulullah SAW telah mengingatkan kita, “Yang
paling banyak memasukkan manusia ke dalam neraka adalah dua lubang, yaitu mulut
dan farji (kemaluan).” (hadits riwayat Ath Thirmidzi).” Dzikir melalui
lisan bisa kita laksanakan di manapun dan dalam kondisi apapun.
Dzikir dengan lisan dapat kita gunakan untuk mengisi
waktu luang di tengah kemacetan atau di tengah antrian panjang sehingga dengan
dzikir lisan ini mampu menghilangkan kesempatan untuk mengucapkan sumpah
serapah. Akhirnya di tengah kemacetan dan antrian panjang kita bisa menikmati
apa yang dinamakan dengan ketenangan bathin. Dzikir dengan lisan ini juga dapat
menjadi alat bantu bagi kita untuk menghindarkan diri dari membicarakan aib
orang lain (ghibah), untuk tidak menyebarkan berita bohong dan lain
sebagainya.
Ingat,
setiap lisan yang keluar dari mulut merupakan parameter akhlak bagi si pengguna
lisan itu. Misalnya, lisan yang keluar dari mulut orang yang banyak omong dan
sedikit berdzikir, maka dzikirnya pun dapat berubah menjadi omongan. Sedangkan
lisan yang keluar dari pribadi yang berdzikir dan sedikit bicara maka bicaranya
adalah dzikir. Seorang
pedzikir tentu tidak pernah menganggap remeh rendah peran mulut sebagai sarana
dzikirnya. Itu sebabnya ketika akan berdzikir, dia membersihkan mulutnya
melalui proses wudhu. Dia sucikan mulutnya secara lahiriah, sebelum menyucikan
secara bathiniah. Penyakit masuk melalui mulut, malapetaka keluar dari mulut. (the best
of Chinese Sayings)
Disamping
menjaga lisannya, dia pun akan menjaga mulutnya dari mengkonsumsi makanan yang
haram, jika ditinjau dari sisi dzatnya dan juga berhati hati dalam mengkonsumsi
barang barang yang termasuk dalam kondisi syubhat. Dia juga menjaga agar
makanan yang dikonsumsinya diperoleh dengan cara cara yang halal.Sebagai
pezikir jangan sampai kita terjebak ke dalam kancah perhitungan pahala.
Sehingga kita selalu menghitung hitung
pahala dzikinya, shalatnya, puasanya, sedekah dan zakatnya, umroh dan hajinya.
Pezikir yang seperti ini masih terjebak ke dalam parameter fikih. Dzikir yang
dilakukannya untuk mengejar pahala, bukan untuk menjadi sebuah kebutuhan bagi
dirinya dalam kerangka mencari rahmat dan ridhaNya.
b.
Dzikir dengan Hati atau Kalbu.Dzikir
dengan hati adalah dzikir yang memiliki keutamaan yang paling tinggi karena si
pelaku dzikir terus menerus berpikir tentang keangungan Allah, kegagahanNya,
keindahan ciptaanNya, dan ayat ayatNya di langit dan di bumi. Praktik dzikir
ini tanpa suara dan tanpa kata kata. Allah SWT berfirman: “Dan ingatlah Tuhanmu dalam
hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,
pada waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang orang yang
lengah. (surat Al A’raf (7) ayat 205).” Melalui dzikir hati atau kalbu
ini mereka ingin memenuhi kalbu mereka dengan kesadaran yang sangat dekat
dengan Allah SWT, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya
napas. Mereka meyakini bahwa keluar masuknya napas yang dibarengi dengan
kesadaran akan kehadiran Allah merupakan pertanda bahwa kalbu ini hidup dan
berkomunikasi langsung dengan Allah SWT.
3. Dzikir
Perilaku (perbuatan) atau Amal Shaleh. Dzikir perilaku
adalah patuh dan taat kepada Allah SWT dalam segala tindakan dan ucapan. Inilah
yang disebut dengan taqwa. Dzikir yang seperti ini merupakan dzikir yang paling
agung. Hal ini disebabkan seorang Muslim harus sudah berada dalam posisi
melaksanakan apa apa yang diperintahkan oleh Allah serta menjauhi segala yang
haram dan syubhat. Pedzikir ini telah mencapai puncaknya dzikir yakni
ketaqawaan, yang dibuktikan dengan amal shalehnya, sebagaimana firmanNya
berikut ini: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah yang paling bertwaqwa di antara kamu. (surat Al Hujuraat (49) ayat 13)
Untuk
menambah wawasan tentang dzikir perilaku dapat kami ilustrasikan sebagai
berikut: Katakan kita ingat bahwa Allah SWT adalah Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Jika ini yang kita ingat tentang Allah maka perilaku kita harus
sesuai dengan apa apa yang kita ingat dari Allah SWT sehingga kitapun
berperilaku kasih dan sayang kepada sesama manusia. Demikian pula jika kita
mengingat Allah SWT adalah Yang Maha Pemberi Rezeki maka perilaku kitapun
setelah memperoleh rezeki harus siap membahagiakan orang lain melalui rezeki
yang kita terima dengan menunaikan infaq ataupun sedekah yang tidak lain adalah
perbuatan amal shaleh. Demikian seterusnya.
Sekarang
mari kita bandingkan antara pedzikir sejati dengan pedzikir munafik. Dzikirnya
pedzikir sejati akan sangat berbeda dengan perilaku pedzikir orang orang
munafik. Orang munafik berdzikir mengingat Allah dengan lisannya hanya karena
ingin memamerkan aktivitas dzikirnya pada orang lain. Padahal, di hati mereka
tidak ada aktivitas dzikir itu, sebagaimana firman Allah SWT berikut
ini: “Sesungguhnya
orang orang munafik itu menipu Allah dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan
apabila berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ria
(dengan shalatnya itu) di hadapan orang lain dan tidaklah mereka menyebut Allah
kecuali sedikit sekali. (surat An Nisa’ (4) ayat 142).”
Usai
berdzikir, mereka gunakan anggota tubuh mereka untuk melakukan hal hal yang
tidak diridha Allah. Dengan mulut yang sama, usai berdzikir mereka gunakan pula
untuk berbohong, menipu, membicarakan aib orang lain, mengeluarkan kata kata
yang tidak bermanfaat. Bahkan mereka tidak sungkan sungkan menerima sesuatu
yang bukan haknya, pikiran mereka berkata itu perbuatan dosa, tetapi hati
mereka tak sanggup menolaknya. Nabi
SAW bersabda: “Celaka, celaka, celaka, orang yang banyak berdzikir dengan lidahnya,
tetapi bermaksiat terhadap Allah dengan perbuatannya. (hadits riwayat Adh
Dailami)
Orang
orang yang beriman berdzikir dengan hatinya. Lisannya hanya menjadi jalan untuk
dzikirnya. Lisannya ikhlas berdzikir karena Allah, tak ada maksud tersembunyi,
sehingga hasil dari dzikirnya akan sampai pada hatinya. Saat itulah
sesungguhnya, aktifitas dzikirnya menjadi sangat banyak, karena hatinya mampu
menterjemahkan dzikir lisannya menjadi dzikir perilaku dalam bentuk amal
shaleh. Akhirnya mereka
menjadi orang orang yang ringan tangan dalam membantu saudara saudaranya atau
tetangga tetangganya yang susah. Air matanya mudah menetes melihat penderitaan
dan kedzaliman yang berlangsung di sekitarnya. Hidupnya didedikasikan untuk
umat, dia ingin berbuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak melalui
aktifitas wakaf waktu atau mewakafkan sebahagian waktunya untuk kemaslahatan
umat. Selalu merasa berdosa atas sikap dan perkataan yang dikeluarkannya, dia
selalu melakukan kebaikan dan perbaikan dalam hidupnya.
Secara
umum jika kita mampu berdzikir (baik lisan, hati dan perilaku) yang sesuai
dengan kehendak Allah SWT akan melahirkan sifat
Al Muraqabah (perasaan selalu diawasi oleh Allah) sehingga akan memasukkan
pelakunya ke pintu Al Ikhsan. Orang orang yang lalai tentu tidak akan sampai ke
derajat Al Ikhsan. Dzikir juga akan
melahirkan sifat Al Inabah (dorongan
jiwa ingin selalu kembali kepada Allah) sehingga Allahlah yang ditakuti dan
tempat kembali serta tempat untuk berlindung. Seorang pedzikir sejati tak
pernah mengaku cinta kepadaNya jika tak pernah merasa rindu denganNya. Dia tak
akan pernah mengaku rindu kalau tak pernah mengingatNya. Dan dia tak pernah
merasa berdzikir apabila belum meneteskan air matanya. Air mata rahmat, air
mata yang menjaga dan melindungi dirinya pada Hari Kiamat kelak. Insya Allah!.
Matinya
hati adalah sebuah tragedi bagi seorang manusia. Benar secara lahiriah dia
hidup, fisiknya sehat dan bugar, serta fikirannya cerdas. Tetapi di sisi lain,
syahwatnya menggebu gebu, nafsu berkuasanya tinggi, takabur dan ria dalam
beramal, dan sepak terjang bisnisnya menghalalkan segala cara. Inilah manusia
yang hatinya telah mati. Karena itu, pepatah Barat yang mengatakan, “Di dalam
tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat”, tidak cocok diberlakukan bagi orang
yang beriman. Paradigma yang begitu merasuk selama beberapa dekade di negeri
ini memang sangat tidak cocok bagi orang orang mukmin. Untuk apa kita memiliki tubuh
yang sehat jika hatinya sakit atau hatinya telah mati. Hidup yang kita jalani
ternyata dapat membuat kita menjadi mati. Maka sebelum mati itu datang
menjemput. Jangan sia siakan manis dan lezatnya kehidupan ini.
Ayo
berdzikir dan berpikir akan kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Tak ada yang
lebih indah di dunia ini melainkan menjadi orang yang cerdas menurut kriteria
sang Pencipta berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda tanda (kebesaran Allah)
bagi orang yang berakal. (yaitu) orang orang yang mengingat Allah sambil
berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau
menciptakan semua ini sia sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab
neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 190, 191).” Celakalah orang yang
hidup tetapi hatinya sakit sebab di hidup di arena kemaksiatan. Dan sia sialah
orang yang hidup tetapi memiliki hati yang mati sebag orang yang demikian hidup
dalam kekufuran. Hatinya dikunci mati oleh Allah, sama saja bagi mereka diberi
petunjuk atau tidak. Inilah hati orang kafir. Dan jangan biarkan hidup ini
diwarnai dengan semerbak wangi bunga kematian dan jangan biarkan hati kita
menjadi taman bagi sekuntum bunga kematian.
8. Dzikir Wajib dan Dzikir Sunnah. Dzikir
kepada Allah ada dua macam, yaitu dzikir wajib dan dzikir sunnah. Kita wajib
berdzikir/mengingat Allah dalam tiga situasi. Yang pertama, kita
melihat adanya makhluk maka kita harus mengingat khalikNya. Yang
kedua, apabila kita melihat
ciptaan, maka kita harus bisa menyadari kekuatan dan kebijaksanaan Tuhan yang
tidak terbatas karena telah memperlihatkan karya nyata berupa alam semesta ini.
Yang
ketiga, kita harus memandang Allah sebagai sumber anugerah dan
seharusnyalah kita tidak menyianyiakan cintaNya yang ditanamkan ke dalam hati
kita.
Sebagai
tingkatan pertama mengenal Allah, dzikir seperti ini adalah sebuah kewajiban
bagi setiap manusia. Apabila manusia telah mengenal Allah pada tingkat wajib
dan mulai mencintaiNya dan mengabdi kepadaNya maka dzikir yang terus
dilakukannya menjadi sunnah baginya. Artinya, disunahkan kepadanya agar setiap
kali melihat makhluk, ia selayaknya mengingat penciptanya. Setiap kali ia
melihat suatu karunia, haruslah ia menganggapnya sebagai hadiah dari Allah. Dan
dengan begitu, ia tak akan melupakan Allah selama hayat masih di kandung badan.
Dzikir semacam ini tergolong ibadah yang paling baik.
Selain
dzikir wajib dan dzikir sunnah yang kami kemukakan di atas, masih ada pilihan
berdzikir kepada Allah SWT dalam bentuk yang lainnya, yaitu: (a) Dzikir yang
dikaitkan dengan Ingat kepada hasil ciptaanNya, kebesaranNya, kemahaanNya. Jika
dzikir ini yang kita lakukan terdapat pemisah antara diri kita selaku hamba (abd’)
dengan Allah SWT selaku Rabb; (b) Dzikir yang dikaitkan dengan ingat langsung
kepada Allah SWT. Jika ini yang kita lakukan tidak ada lagi tirai, perantaraan,
hijab atau penghalang antara diri kita selalu hamba (abd’) dengan Allah selaku
Rabb.
Selanjutnya
agar kita mampu berdzikir seperti yang kami kemukakan diatas ini, berikut ini
akan kami berikan sebuah ilustrasinya, yaitu: Sewaktu kita mengingat presiden
pertama dan kedua Indonesia, yaitu Ir Soekarno dan Jenderal Soeharto, secara
utuh. Tentu kita tidak bisa hanya mengingat sosok dan penampilan dari
penampilan phisik mereka belaka. Jika ini yang kita lakukan kepada mereka
berdua, tidak cukup bagi kita untuk mengingat secara baik dan benar. Kita juga
wajib mengetahui sejarah perjuangan keduanya, kita juga wajib mengetahui dan
memahami hasil dan karya nyata yang telah ditorehkannya baik yang tampil ke
permukaan (told story) maupun yang tidak tampil ke permukaan (untold story).
Barulah kita bisa mengenang mereka sebagai seorang yang berjiwa besar dan
pahlawan bagi bangsa Indonesia.
Kita
tidak akan bisa mengucapkan rasa kagum dan menaruh hormat kepada Ir Soekarno
dan Jenderal Soeharto selaku presiden Republik Indonesia, jika hanya
mengandalkan lisan semata. Kita harus mempergunakan segala elemen yang ada di
dalam diri seperti mempergunakan mata untuk melihat, telinga untuk mendengar,
ilmu untuk berpikir, hati untuk merasakan karya nyata mereka berdua, yang
dipergunakan secara utuh satu kesatuan, maka barulah kita bisa mengingat kedua
presiden Indonesia ini dengan baik dan benar. Jika kepada manusia saja kita
harus seperti itu, lalu bagaimana kita bisa mengingat Allah sesuai dengan
kehendak Allah jika hanya melalui lisan semata? Agar kita mampu melakukan
dzikir wajib kepada Allah SWT seperi yang kami kemukakan di atas, maka kita
tidak bisa melakukannya hanya sebatas lisan semata. Namun kita harus
mempergunakan ilmu dan pengetahuan yang diiringi dengan mata, telinga, hati
kita untuk merasakan langsung tentang Allah SWT.
Akhirnya dzikir harus kita
maknai bukanlah sebagai titik, melainkan sebagai koma. Sehingga tidak boleh
berhenti di situ. Jika dzikir dipahami sebagai titik, kita
akan terjebak ke dalam ritual ibadah. Tak ubahnya seperti orang orang Nasrani,
Yahudi atau Majusi dalam melakukan ritual. Mereka mengingat dan menangis saat
beribadah, mereka pun merasa berada di titik nol, mereka pun merasa berdosa dan
memohon kepada tuhan mereka. Kalau kita dapat memahami hal itu, maka
orang orang yang berdzikir sejatinya adalah orang orang yang dapat melahirkan
kesalehan individu yang tercermin dalam kesalehan sosial dalam dirinya.
Inilah salah satu tujuan paling mulia yang dimaksud dari pelaksanaan ibadah
dzikir kepada Allah. AllahSWT berfirman: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah
hajimu, Maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut
nyebut (membangga banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih
banyak dari itu. Maka diantara manusia ada yang berdoa: “Ya Tuhan Kami, berilah
Kami (kebaikan) di dunia”, dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat. (surat Al Baqarah (2) ayat 200).”
Seseorang
yang senantiasa berdzikir (meningat Allah) pasti tidak akan menyianyiakan atas
apa apa yang telah diberikan Allah SWT sehingga hidupnya tidak akan digunakan
untuk mendatangkan dosa dan bencana bagi dirinya, bagi keluarga, bagi
masyarakat, bagi bangsa dan negaranya. Pribadi yang berdzikir tentu memiliki
mata, telinga, hidung, perasaan, mulut, tangan, kaki yang juga berdzikir. Hal
ini karena semuanya selalu terjaga dan dijaga oleh Allah SWT.
“Abu
Darda ra, berkata: “Setiap sesuatu itu mempunyai kilapan dan kilapan hati itu adalah
dengan berdzikir kepada Allah SWT.”
“Ibnu
Taimiyah pernah berkata, “Sesungguhnya kelezatan, kebahagiaan, dan
keindahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata kata, hanya terdapat pada saat
mengenal Allah SWT, mengesakanNya, dan beriman kepadaNya, serta saat mengambil
manfaat lewat hakikat keimanan dan pengeytahuan Al Qur’an.”
“Ibnu
Al Qayyim juga berkata, “Sesungguhnya hati itu bisa berkarat
seperti halnya tembaga dan perak. Maka untuk membersihkan karat tersebut adalah
dengan berdzikir, sebab ia akan membuantnya mengkilap seperti cermin putih.
Apabila hari dibiarkan, maka ia akan berkarat dan apabila dibawa berdzikir,
maka ia akan cemerlang. Hati berkarat itu disebabkan oleh dua hal, kelaiaan dan
dosa. Sedangkan cara membuatnya mengkilap adalah dengan istighfar dan dzikir.”
Tetesan
air matanya mudah jatuh dan hatinya mudah tergetar ketika telinga, mata,
perasaannya menangkap lantunan ayat suci AlQuran atau ketika melihat ada orang
yang didekatnya mengalami kesusahan atau mudah mendoakan orang lain tanpa
diketahui oleh orang yang bersangkutan. Hatinya selalu berbisik kepada matanya,
kepada telinganya, kepada tangan dan kakinya agar ia selalu mampu menampilkan
penampilan Allah SWT dalam hidupnya selama hayat masih di kandung badan.
Sungguh Allah Maha Besar, lalu nikmat mana lagi yang kita dustakan!
Sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka bumi yang sangat membu-tuhkan ibadah puasa Ramadhan tentu ketiga hal yang kami kemukakan di atas mampu kita laksanakan. Agar diri kita mampu mempertahankan hasil yang telah kita raih selama menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar