Kebaikan dan
Keburukan sebagai sebuah pilihan yang harus dipilih keduanya memiliki
karakteristik yang berbeda. Jika kebaikan yang kita pilih lalu kebaikan itu pula yang kita lakukan maka kebaikan pula yang akan kita
raih dan rasakan saat hidup di dunia ini. Jika keburukan yang kita pilih lalu
keburukan itu pula yang kita lakukan maka keburukan pula yang akan kita raih
dan rasakan saat hidup di dunia ini. Dan hal yang tidak akan terjadi adalah
jika kita berbuat keburukan hasil akhirnya adalah adalah kebaikan. Demikian
pula sebaliknya, jika kita berbuat kebaikan hasil akhirnya adalah keburukan.
Berdasarkan uraian tentang
berpasang-pasangan dalam konsep keseimbangan di atas ini, sekarang mari kita
bahas seperti apakah konsep pola hidup konsep ummatan washatan itu. Adapun bentuk atau pola dari hidup ummatan
washatan yang berkeseimbangan dapat kami kemukakan sebagai berikut, yaitu :
1. Adanya Keseimbangan antara Habblumminallah
dengan Habblumminannas. Hal ini berdasarkan ketentuan surat Ali Imran
(3) ayat 112 berikut ini: “mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka
berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali
(perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari
Allah dan mereka diliputi kerendahan. yang demikian itu karena mereka kafir
kepada ayat-ayat Allah dan membunuh Para Nabi tanpa alasan yang benar. yang
demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas. (surat Ali Imran
(3) ayat 112).”Keseimbangan antara habblumminallah (hubungan kepada
Allah) dengan habblumminannass (hubungan kepada sesama manusia) merupakan salah
satu bentuk dari hidup yang berkeseimbangan. Yang mana kondisi ini hanya mampu
dilakukan oleh orang yang berjiwa muthamainnah.
Konsep keseimbangan yang kita
lakukan tidak bisa hanya dengan mampunya diri kita menunjukkan hubungan kepada
Allah SWT secara baik dan benar melalui ibadah yang kita lakukan secara khusyuk
melalui mampunya diri kita berpegang kepada tali agama Allah semata. Namun
meninggalkan hubungan kepada sesama umat manusia (maksudnya hasil berpegang teguh kepada tali agama Allah tidak tampil
saat berinteraksi dengan manusia).
Hubungan kepada Allah SWT
(habblumminallah) harus tercermin di dalam hubungan kepada sesama umat manusia
(habbumminannas). Sehingga dengan adanya keseimbangan ini akan terciptalah
hasil dari kesalehan pribadi tercermin di dalam kesalehan sosial, jika hal ini
tidak terjadi berarti kita masih menjadi orang yang egois seperti halnya lampu
yang menyala tetapi hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.
2. Adanya Keseimbangan antara Harapan Sukses Dalam
Kehidupan Dunia dengan Sukses Dalam Kehidupan Akhirat. Hal ini berdasarkan ketentuan berikut ini:
“apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek
moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara
manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami (kebaikan) di
dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. dan
di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa
neraka".(surat Al Baqarah (2) 200 & 201)’. Yang dimaksud
dengan pola hidup dalam keseimbangan itu adalah harapan sukses dalam kehidupan
dunia dan sukses dalam kehidupan akhirat. Kemudian Allah SWT menegaskan kepada
kita, bahwa dalam menjaga keseimbangan ini kita tidak boleh hanya mementingkan
kehidupan akhirat semata, kita juga diwajibkan pula untuk memperhatikan
kehidupan dunia dengan tidak melupakan bahagian diri kita untuk kepentingan
duniawi.
Allah SWT berfirman: “dan
carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik,
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(surat Al Qashash (28)
ayat 77)”.
Selanjutnya Nabi SAW juga
menegaskan kepada umatnya dengan sabdanya: “Sungguh umatku yang terbaik bukanlah mereka
yang memperhatikan dunianya dengan mengabaikan akhiratnya, bukan pula yang
memperhatikan akhiratnya dengan mengabaikan dunianya, akan tetapi mereka adalah yang memperhatikan dunianya dan
memperhatikan akhiratnya’.(Hadits Riwayat Ibnu Asakir)”. Jika saat ini
kita masih hidup sudahkah hal ini kita lakukan!
3. Adanya Keseimbangan antara Berfikir dengan
Berdzikir. Berdasarkan
ketentuan berikut ini: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil
berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah
Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami
dari siksa neraka. (surat Ali Imran (3) ayat 190 dan 191)”.
Pola hidup berkeseimbangan
juga ada pada keseimbangan berfikir dan berdzikir yang mana dengan kita
berfikir berarti kita sedang mendayagunakan apa apa yang telah kita miliki lalu
dengan berdzikir kita berusaha agar Allah SWT menambah kemampuan yang kita
miliki menjadi lebih baik lagi yang akhir dapat membantu diri kita saat
melakukan tugas sebagai abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus khalifah-Nya di muka
bumi.
4. Adanya Keseimbangan antara Ilmu dengan Amal. Berdasarkan ketentuan surat
Al Jumuah (62) ayat 5 berikut ini : “perumpamaan orang-orang yang dipikulkan
kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa
Kitab-Kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan
ayat-ayat Allah itu. dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”. Yang
dikatakan sebagai pola hidup berkeseimbangan adalah keseimbangan antara ilmu
dan amal, atau keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran, keseimbangan
belajar dengan mengajar, keseimbangan menerima sesuatu dengan memberi sesuatu.
Hal ini sejalan dengan hadits berikut ini: Nabi Muhammad SAW menegaskan di
dalam sabdanya berikut ini: ““Sebaik baik orang yang berilmu adalah yang
mengamalkannya”(Al Hadits)”.
Berdasarkan hadits ini, Nabi SAW menegaskan
berilmu, memiliki ilmu, harus diamalkan karena dengan mengamalkan ilmu dengan
cara diajarkan kepada umat maka ilmu yang miliki tidak akan berkurang melainkan
akan ditambahkan lagi oleh Allah SWT.
Jika kita hanya belajar semata ini bukan berarti ilmu bertambah banyak,
bertambahnya ilmu baru didapat dari mengajarkan kembali ilmu yang kita miliki.
Inilah yang dimaksud dengan keseimbangan hidup. Hal yang samapun berlaku kepada
harta kekayaan yang kita miliki.
Selain empat keseimbangan
hidup yang sesuai dengan konsep ummatan washatan yang telah kami kemukakan di
atas, masih terdapat beberapa bentuk keseimbangan yang lainnya, yaitu:
1.
Keseimbangan
usaha dengan tawakkal;
2.
Keseimbangan
peduli kepada keluarga dengan peduli kepada masyarakat;
3. Keseimbangan
menjaga hak-hak Allah SWT dengan menjaga hak-hak diri dan keluarga;
4.
Keseimbangan
pola makan bagi ruh dengan jasmani;
5. Keseimbangan
membelanjakan harta atau keseimbangan menerima rezeki dengan memberi
(membelanjakan) rezeki lewat infaq, sedekah dan jariah.
Semoga kita mampu selalu
menjaga keseimbangan-keseimbangan yang telah ditetapkan berlaku oleh Allah SWT.
Laksanakan keseimbangan ini lalu nikmatilah rasa bertuhankan kepada Allah SWT.
Maha besar Allah SWT sesuai dengan apa yang kita persangkakan kepada-Nya.
C. SESUAI KATA DENGAN PERBUATAN.
Orang yang mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah
memiliki penampilan sesuai kata dengan perbuatan, sehingga ia tidak bisa
sembarangan untuk menyatakan sesuatu hal jika tidak bisa membuktikan apa yang
dinyatakannya. Sebagai contoh, jika kita hanya mengaku-ngaku jujur tanpa pernah
dibuktikan, tentu hal ini tidak dapat dijadikan patokan bahwa diri kita adalah
seorang yang jujur. Untuk itu kejujuran yang ada pada diri kita harus
dibuktikan terlebih dahulu di tengah masyarakat barulah timbul kepercayaan
orang terhadap kejujuran yang kita miliki.
Orang
yang memiliki jiwa Muthamainnah adalah orang yang selalu menjaga setiap
perkataan dan perbuatannya. Ali bin Abi Thalib ra, berkata : Jika kau
dapat menahan sabar pada saat dirimu marah, hal itu dapat menghindari ribuan
penyesalan di masa datang. Jangan sampai emosi sesaat dapat merusak
seluruh hidupmu. Perkataan yang dikeluarkan pada saat marah, dapat membekas
begitu lama pada orang yang disakiti. Ucapan dan perilakumu saat marah dapat
membuatmu menyesal di kemudian hari nanti. Nabi SAW bersabda: “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya dia berkata yang baik atau diam.
(hadits riwayat Bukhari, Muslim)”.
Berkatalah
baik setiap hari, baik melalui lisan maupun melalui ujung jari, karena kita
tidak akan pernah tahu kapan kita akan pergi. Kata kata yang baik akan dikenang
oleh orang orang yang engkau kasihi selama hidupnya.
Adanya kondisi seperti ini menunjukkan bahwa apa
yang kita katakan baru dapat dipercayai oleh orang lain sepanjang apa yang kita
katakan tersebut sesuai dengan apa yang kita perbuat. Tanpa ada kesesuaian kata
dengan perbuatan maka apa-apa yang telah kita katakan tidak akan dapat
memberikan dampak positif di masyarakat tentang apa yang kita katakan tersebut.
Untuk itulah penilaian kejujuran harus diperoleh dan didapat dari orang lain,
atau harus berasal dari pihak ke tiga.
Jangan sampai kata yang kita ucapkan adalah beriman kepada
Allah SWT namun perbuatan yang kita lakukan tidak mencerminkan apa-apa yang
telah kita katakan tersebut. Untuk itu kita harus dapat membuktikan keimanan
dan keyakinan kepada Allah SWT yang telah kita ikrarkan dengan melakukan
perbuatan-perbuatan yang mendukung apa-apa yang telah kita katakan. Ingat, Allah
SWT Maha Tahu dengan apa yang kita ucapkan dan Allah SWT juga Maha Tahu dengan
apa yang kita perbuat. Adanya kemampuan Allah SWT yang mengetahui itu semua
maka Allah SWT tidak akan pernah mampu dibohongi, atau Allah SWT tidak akan
pernah mampu ditipu jika kita hanya berpura-pura iman dan yakin.
Di dalam melaksanakan iman kepada Allah SWT yang
telah kita nyatakan dalam kata, hanya ada 2(dua) kondisi di hadapan Allah SWT
yaitu iman dan yakin kepada Allah SWT ataukah ingkar kepada Allah SWT sebab
tidak ada Istilah Abu-Abu di dalam iman kepada Allah SWT, atau yang pasti Allah
SWT tidak mengenal istilah standard ganda di dalam pelaksanaan Diinul Islam
secara kaffah.
Hal yang sering terjadi di tengah masyarakat adalah
kita mau menyatakan iman kepada Allah SWT,
akan tetapi konsekuensi untuk menunjukkan keimanan dan keyakinan kepada
Allah SWT tidak mau kita lakukan. Sedangkan hasil akhir dari keimanan dan
keyakinan kepada Allah SWT tetap ingin kita peroleh.
Dan hal yang pasti jika kita menerapkan prinsip ini
kepada Allah SWT, jangan pernah berharap kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dapat kita rasakan, atau jangan
pernah berharap kita berada di dalam Kehendak Allah SWT, atau jangan pernah
berharap dapat pulang kampung ke Syurga.
Selain daripada
itu, jika kita telah mampu menjadikan jiwa kita sendiri jiwa Muthmainnah maka
kita harus dapat meletakkan dan menempatkan Nabi Muhammad SAW sesuai dengan
kedudukannya dihadapan Allah SWT. Hal ini penting kami kemukakan karena Nabi
Muhammad SAW tidak bisa menggantikan posisi Allah SWT, karena Nabi Muhammad SAW
tidak bisa disejajarkan dengan Allah SWT, karena Nabi Muhammad SAW ada karena
dikehendaki oleh Allah SWT.
Nabi Muhammad SAW
sebagai utusan Allah SWT tetaplah utusan, Allah SWT sebagai pengutus lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan dengan utusan itu sendiri. Sebagai khalifah di
muka bumi kita tidak boleh mendewakan Nabi Muhammad SAW seolah-olah lebih
tinggi kedudukannya dibandingkan dengan Allah SWT sehingga Allah SWT kita nomor
duakan.
Nabi Muhammad SAW diutus oleh Allah SWT untuk
menjadi suri teladan bagi diri kita saat menjalankan tugas sebagai khalifah di
muka bumi serta Allah SWT tidak pernah memerintahkan kepada umatnya untuk
meniru penampilan phisik dari Nabi Muhammad SAW saat menjadi khalifah di muka
bumi. Dan jika di dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah rah,
dikemukakan bahwa “Akhlak Nabi
Muhammad SAW adalah Al-Qur’an” maka akhlak kitapun harus seperti Akhlak
Nabi Muhammad SAW, yaitu Al-Qur’an pula dan juga mampu menampilkan perbuatan Allah
SWT yang termaktub dalam sifat ma’ani dan asmaul husna saat hidup di muka bumi,
seperti halnya cap dengan stempel, karena kita kita adalah perpanjangan tangan
Allah SWT di muka bumi.
Di lain sisi, Anas ra, berkata: Nabi SAW bersabda:
Allah ta’ala berfirman: Barangsiapa
tidak rela dengan ketentuan dan taqdir-Ku, maka hendaklah ia mencari Tuhan
selain Aku. (Hadits Qudsi Riwayat Al Baihaqi dari Ibnu Umar; Ath Thabrani dan
Ibnu Hibban dari Abi Hin, dan Ibnu Najjar; 272:153). Sekarang ketentuan
ini sudah berlaku di langit dan di bumi, lalu apakah kita sanggup melawan dan
melanggar ketentuan Allah SWT ini, ataukah kita sanggup mencari tuhan selain
Allah SWT!
Hal lain yang harus kita perhatikan adalah Allah SWT
bukan hanya bertindak sebatas pembuat ketentuan, pembuat undang-undang, pembuat
hukum, pembuat peraturan, yang berlaku di langit dan di bumi ini. Akan tetapi Allah
SWT juga bertindak sebagai penilai dari semua pelaksanaan ketentuan, penilai
dari pelaksanaan undang-undang, penilai dari pelaksanaan hukum dan penilai dari
pelaksanaan peraturan, yang dilaksanakan oleh seluruh manusia yang pernah ada
di muka bumi ini dan yang terakhir Allah SWT adalah penentu akhir (hakim agung)
siapa yang berhak menempati syurga dan siapa yang berhak menempati neraka.
D. HIDUPNYA BERMANFAAT.
Orang yang telah menjadikan jiwanya jiwa Muthmainnah
akan selalu menjadi pemimpin yang berguna bagi masyarakat luas, menjadi tokoh
yang terpandang di masyarakat karena mampu berbuat kebaikan yang dapat
dirasakan langsung manfaatnya oleh masyarakat, masyarakat merasa terbantu
karena hasil karya kita, masyarakat merasa aman dan nyaman karena keberadaannya
serta bukan menjadi beban masyarakat.
Hal ini dikarenakan orang yang telah fitrah atau
jiwanya jiwa muthmainnah pasti telah mampu merasakan nikmatnya bertuhankan
kepada Allah SWT dari waktu ke waktu melalui ibadah ibadah yang khusyu’ atau mampu melaksanakan Diinul
Islam secara kaffah, seperti yang tertuang dalam surat Al A’raaf (7) ayat 170
berikut ini: dan orang-orang yang berpegang teguh dengan Al
kitab (Taurat) serta mendirikan shalat, (akan diberi pahala) karena
Sesungguhnya Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang Mengadakan
perbaikan”.
Hal yang tidak akan mungkin terjadi jika jiwa kita
jiwa muthmainnah adalah menjadikan diri kita sebagai pelaku kejahatan,
menjadikan kita sebagai biang keributan, menjadikan kita sebagai biang
keonaran, menjadikan kita sebagai otak dibalik kejahatan, atau masyarakat
menjadi teraniaya oleh sebab perbuatan diri kita, oleh sebab omongan kita. Hal
ini dikarenakan orang yang telah fitrah atau jiwanya jiwa muthmainnah sudah
berada dan selalu berbuat di dalam koridor nilai-nilai kebaikan dan jika sampai
terjadi perbuatan keji dan mungkar berarti kita belum fitrah dan masih berada
di dalam jiwa fujur.
Orang yang berjiwa muthmainnah dapat dipastikan akan selalu memiliki
keinginan untuk menolong sesama manusia, selalu ingin berbagi kepada sesama,
tidak pelit di dalam berbagi ilmu maupun kesenangan, selalu ingin berbuat
kebaikan lebih baik dan lebih baik lagi dari waktu ke waktu. Hal ini sebagaimana
firman-Nya berikut ini: “Kami telah
menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan
perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan,
mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada kamilah mereka selalu
menyembah, (surat Al
Anbiyaa' (21) ayat 73)”.
Seorang
yang berjiwa muthmainnah adalah seorang yang matang jiwanya bagaikan padi berisi yang sudah
menua, ia akan selalu tertunduk dalam baratnya bulir padi, sedangkan orang yang
masih mentah jiwanya akan tegak dengan keangkuhan.
Terlebih
para hamba kekasih Allah, pada mereka tidak terdapat kesombongan barang
sebercak pun. Sungguh semain orang tidak memandang dirinya lebih tinggi,
semakin ia rendah hati semakin pula ia mencapai ketinggian dan kebesaran yang
sejati.
Orang yang memiliki jiwa Muthmainnah, ia
akan mampu memanfaatkan hidup yang dilaluinya adalah kesempatan. Kesempatan
untuk berbuat baik, kesempatan untuk menyebarkan kasih sayang kepada sesama,
kesempatan untuk meninggalkan kenangan yang indah di dunia, kesempatan untuk
mewariskann ilmu dan karya nyata yang akan dikenang oleh banyak orang lain yang
datang dikemudian hari, kesempatan untuk mempersiapkan bekal menuju akhirat
nanti.
Hidup ini cuma sekali dan waktunya hanya
sebentar. Lalu apakah hidup yang sebentar ini akan kita isi dengan marah marah,
dengan saling membenci, dengan menyakiti orang atau bahkan dengan hura hura
saja. Orang yang jiwanya muthmainnah tidak akan menyianyiakan waktu mereka.
Mereka akan selalu berpikir, apa yang
bisa saya amalkan untuk kehidupan ini? Karya nyata apa yang bisa saya hasilkan?
Kebaikan apa yang bisa saya berikan? Apa yang bisa saya sedekahkan? Jangan
sampai hasil akhir dari semua ini adalah penyesalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar