Wahai saudaraku, jangan sekali-kali menyangka
bahwa merealisasikan ikhlas yang dilandasi niat yang suci itu merupakan perkara
yang gampang. Ia tidak semudah membalik telapak tangan bagi orang yang mau, dan
untuk memperolehnya itu tidak akan bisa dengan sedikit usaha, tanpa perlu susah
payah dan kerja keras. Yang benar adalah mewujudkan ikhlas yang dilandasi niat
suci itu bukan perkara mudah, sebagaimana sangkaan sebagian orang. Pengetahuan
tentang hakikat ikhlas dan beramal dengannya merupakan lautan yang dalam, yang
kebanyakan orang tenggelam di dalamnya, kecuali orang orang tertentu yang
istimewa, yaitu hamba hambaMu yang ikhlas diantara mereka.
Agar diri kita mampu mempertahankan
keikhlasan yang sudah ada di dalam diri serta mampu bertambah kualitasnya dari
waktu ke waktu. Mari
kita pelajari lagi tentang keikhlasan sebagai salah satu faktor yang sangat
mempengaruhi hasil akhir dari suatu ibadah, yaitu:
1. Ketahuilah
bahwa ikhlas merupakan salah satu amalan hati, yang mana malaikat pencatat
yaitu Raqib dan Atid, hanya mampu mencatat segala apa yang kita perbuat tanpa
pernah tahu keikhlasan seseorang dikarenakan malaikat tidak memiliki kemampuan
untuk melongok ke dalam hati manusia tempat diletakkannya ikhlas.
2. Ikhlas
adalah keinginan untuk mendapatkan ridha Allah dengan melakukan suatu amal dan
membersihkannya dari segala kepentingan, baik yang bersifat pribadi maupun
duniawi. Untuk itu, seseorang tidak boleh melakukan suatu amal kecuali hanya
karena Allah dan mengharapkan kehidupan akhirat, sehingga ia tidak boleh
mencapuri amalnya dengan sesuatu yang akan mengotorinya berupa keinginan
keinginan dunia, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.
Prinsip mengikhlaskan amal adalah mengkhususkan
niat semata mata karena Allah ta’ala. Adapun makna niat adalah motif yang
muncul pada diri seseorang untuk merealisasikan tujuan yang dicarinya sehingga
motif inilah yang menggerakan keinginan seseorang untuk bergerak melakukan
suatu pekerjaan. Motif ini sangat banyak dan bermacam macam, diantaranya adalah
berkaitan dengan kebendaan atau kejiwaan, individu atau masyarakat, dunia atau
akhirat, yang rendah dan hina atau yang agung dan mulia.
3.
Seorang
yang berjiwa muthmainnah adalah seorang mukmin sejati yang tidak lain
adalah orang yang motif agama dalam
hatinya dapat mengalahkan motif ahwanya, dorongan akhiratnya mampu memenangkan
atas dorongan dunia, dan ia lebih memilih apa yang ada di sisi Allah SWT
daripada yang ada pada manusia. Ia pun menjadikan niat, perkataan, dan
perbuatannya hanya untuk Allah, dan menjadikan shalat, ibadah, hidup dan
matinya untuk Allah, Tuhan semesta alam. Inilah yang disebut ikhlas. Dan dengan
keikhlasan, seorang mukmin akan menjadi hamba Allah yang sebenar benarnya,
bukan hamba nafsunya atau nafsu orang lain, dan bukan pula hamba dunia atau
dunia orang lain.
4. Ikhlas
yang murni akan menjadikan seseorang lepas dari semua perbudakan dan terbebas
dari penghambaan kepada selain Allah. Penghambaan kepada uang, wanita, minuman
keras, perhiasan dan penampilan, pangkat dan kedudukan, pengaruh watak dan
kebiasaan, serta segala bentuk penghambaan kepada dunia yang manusia tunduk
kepadanya. Dan Ia pun menjadi seperti yang diperintahkan oleh Allah dan
RasulNya. Allah SWT berfirman: dan Barangsiapa yang menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang Dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan. (surat Luqman (31) ayat 22)
5. Imam
Al Ghazali: Dengan penerangan iman dan cahaya Al Qur’an telah tersingkap bagi
para ahli manajemen hati bahwa tidak ada jalan lain untuk sampai kepada
kebahagiaan, kecuali hanya dengan ilmu dan ibadah. Semua orang binasa, kecuali
orang orang yang berilmu. Semua orang berilmu binasa, kecuali orang orang yang
mengamalkan ilmunya. Dan orang orang yang mengamalkan ilmunya binasa, kecuali
mereka yang ikhlas. Sedangkan orang orang yang tidak ikhlas dalam bahaya besar.
Amal tanpa niat adalah kepayahan, dan niat
tanpa ikhlas adalah riya. Riya’ itu setara dengan kemunafikan dan sama dengan
durhaka.Ikhlas tanpa shidq (kejujuran) dan tahqig (pelaksanaan) adalah sia sia
belaka.
Allah SWT berfirman: “dan Kami hadapi segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.
(surat Al Furqaan (25) ayat 23) tentang setiap amal yang dilakukan
untuk selain Allah sebagai sesuatu yang terkontaminasi dan tidak dikenal (tidak
diterima).
6. Amal
yang tidak disertai keikhlasan ibarat suatu bentuk tanpa kehidupan atau bangkai
tanpa nyawa. Allah SWT hanya menghendaki amal amal berdasarkan hakikatnya,
bukan menurut rupa dan bentuknya. Karena itu, Allah SWT akan mengembalikan
setiap amal yang tidak murni kepada pelakunya sebagaimana cashier/teller bank
yang teliti tidak menerima uang yang palsu.
7. Kehidupan
tidak akan menjadi lurus dan berkembang, kecuali dengan orang orang yang
ikhlas. Kebanyakan malapetaka dan bencana yang menimpa bangsa bangsa dan masyarakat
dunia ditimbulkan oleh orang orang yang tidak mengharapkan Allah dan negeri
akhirat. Orang yang menjadi budak budak dunia dan pencinta harta benda, yang
tidak segan segan, demi dunia dan nafsu mereka, menghancurkan dunia dan agama
orang lain secara bersamaan, dan mengubah bangunan menjadi rerentuhan, tempat
tempat tinggal menjadi kuburan, dan kehidupan menjadi kematian.
8. Islam
tidak rela apabila seorang muslim hidup dengan dua wajah: satu wajah untuk
Allah, dan satu lagi untuk sekutu sekutuNya. Islam juga tidak rela apabila
hidup seseorang terbagi dua: sebagian untuk Allah dan sebagian untuk berhala.
Islam menolak dualisme yang banyak kita saksikan dalam kehidupan kaum muslim
sekarang. Sering kita jumpai seorang laki laki di dalam masjid atau pada bulan
Ramadhan ia tampak sebagai seorang muslim, kemudian di dalam kehidupannya, atau
interaksi sosialnya menjadi orang lain. Sesungguhnya hanya ikhlas yang
menyatukan kehidupan seorang muslim menjadikan seluruh kehidupannya untuk
Allah, sebagaimana menjadi dirinya hanya untuk Allah. Shalat, ibadah, hidup dan
matinya hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam.
9. Untuk memudahkan diri kita
melaksanakan keikhlasan, berikut ini akan kami kemukakan tanda tanda ikhlas,
yaitu : (a) Takut terhadap ketenaran; (b) Curiga terhadap diri sendiri; (c)
Beramal di tempat sunyi, jauh dari keramaian; (d) Tidak mencari pujian dan
tidak tertipu dengannya; (e) Tidak kikir memuji orang yang pantas dipuji; (f)
Amal tetap sama sebagai Komandan maupun Prajurit; (g) Mengadakan perayaan dengan
Ridha Allah, bukan Ridha manusia; (h) Suka dan Benci karena Allah, bukan karena
nafsu; (i) Sabar atas jauhnya perjalanan; (j) Gembira dengan rekan sepropesi;
(k) Menginginkan Amal yang lebih berguna; (l) Terhindar dari bahaya ujub; (m)
Bersikap waspada dari menganggap diri suci.
Untuk itu ketahuilah setiap
manusia tentu memiliki kelebihan atau kekurangan akibat pengaruh ahwa (hawa
nafsu) yang dibelakangnya ada syaitan. Dan yang harus kita lakukan adalah mau
menerima orang lain apa adanya melalui kelebihan maupun kekurangannya masing
masing.
Apabila kita menemukan orang
yang memiliki kekurangan maka temukanlah sisi positif dari kekurangan orang
lain. Lalu nikmatilah hidup dengan cara isi mengisi di antara sesama ini
sebagai sebuah anugerah dari Allah SWT kepada diri kita. Betapa hebatnya jiwa
muthmainnah itu.
N. MAMPU
MENGHADAP KEPADA ALLAH DENGAN BEKAL YANG PANTAS LAGI PATUT.
Orang yang memiliki jiwa muthamainnah adalah
orang yang mampu menghadap ke penciptanya kelak dengan rasa tenang, dengan rasa
senang lagi bahagia karena ia telah membawa bekal yang pantas lagi patut
kehadapan Allah SWT di hari akhirat kelak. Adapun sejumlah bekal yang telah
dipersiapkannya berupa:
1. Bekal Taqwa. Allah
SWT berfirman: “Bawalah bekal, karena sesungguhnya sebaik baik bekal adalah taqwa. Dan
bertaqwalah kepadaKu wahai orang orang yang mempunyai akal sehat. (surat Al
Baqarah (2) ayat 197)’. Taqwa merupakan bekal yang sangat diperlukan
oleh siapapun manusia. Tanpa ada taqwa, Allah tidak rela memberikan pertolongan
kepada hamba-Nya. Tanpa ada taqwa, Allah tidak akan menerima amalan hamba-Nya.
Taqwa merupakan syarat keberhasilan usaha di dunia dan keselamatan di akhirat
kelak.
2. Bekal Ilmu. Allah
SWT berfirman: “Diantara hamba hamba Allah yang takut kepadaNya, hanyalah para ulama
(orang yang mengetahui ilmu kebesaran dan kekuasaan Allah). Sungguh, Allah Maha
perkasa, Maha Pengampun. (surat Fathiir (35) ayat 28)”. Kalau kita
enggan belajar akan membuat kerusakan, tidak membuat perbaikan, tidak
bermanfaat, tapi justru merugikan, tidak menang, tapi pasti kalah dan tersesat.
Apalagi, orang yang rajin beramal sekalipun tanpa disertai ilmu, seperti orang
berjalan bukan pada jalannya. Jangan sampai, amalan yang kita lakukan berbuah
sia-sia tanpa dasar ilmu.
3. Bekal Tawakkal. Allah
SWT berfirman: “Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan
mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusanNya, Sungguh,
Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu. (surat At Thalaq (65)
ayat 3)”. Tawakkal akan menanamkan kepada hati kesungguhan dalam
menggantungkan diri kepada Allah. Manusia hanya bisa berusaha dan berdoa,
segala sesuatunya Allah yang menentukan. Maka, biarkan Allah yang mencukupi
kita selama kita hidup di dunia ini.
4. Bekal Syukur. Allah
SWT berfirman: “Allah tidak akan menyiksamu, jika kamu bersyukur dan beriman. Dan
Allah Maha Mensyukuri Maha Mengetahui” (surat An-Nisaa’ (4) ayat 147). Bentuk
rasa syukur itu meliputi syukur dengan lisan, hati, dan dengan tindakan kita.
Ingat, sesungguhnya nikmat-nikmat itu akan lestari karena syukur dan akan
hilang dengan kufur.
5. Bekal Sabar. Allah
SWT berfirman: “Wahai orang orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah)
dengan sabar dan shalat. Sungguh, Allah beserta orang orang yang sabar. (surat
Al Baqarah (2) ayat 153)”. Apa
pun profesi manusia sangat membutuhkan kesabaran. Seorang guru tentu memerlukan
kesabaran dalam mengajar anak didiknya. Begitu juga dengan profesi yang lain.
Bahkan, orang yang tertimpa musibah juga harus senantiasa bersabar. Jadikanlah
sabar sebagai penolong kita karena yakinlah Allah bersama dengan orang-orang
yang sabar terhadap ujian hidup di dunia.
6. Bekal Zuhud (tidak mencintai dunia). Rasulullah
SAW bersabda: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya Allah mencintaimu dan janganlah
mencintai apa yang dimiliki manusia, niscaya manusia mencintaimu!” (HR Ibnu
Majah).” Dan bekal yang terakhir yang harus kita persiapkan adalah
Bekal Itsarul Akhirah yaitu mengutamakan bekal akhirat dibandingkan dengan
bekal dunia. Sebagaimana Allah SWT
berfirman: “Barangsiapa menghendaki kehidupan akhirat dan berusaha ke arah itu
dengan sungguh sungguh, sedangkan dia beriman, maka mereka itulah orang orang
yang usahanya di balas dengan baik. (surat Al-Israa’ (17) ayat 19)
Inilah
6 (enam) bekal yang telah dipersiapkan oleh orang yang berjiwa muthmainnah sebelum
Allah SWT memanggil untuk menghadap kepadaNya kelak. Yakinlah, inilah bekal
yang menolong kita dalam memikul beban kewajiban syariat dalam kehidupan dunia
ini. Semoga dengan adanya tujuh bekal yang kami kemukakan di atas ini, akan
mampu menghantarkan diri kita datang fitrah kembali fitrah, mampu mengerjakan
ibadah yang khusyu, akhlak yang baik, berperilaku santun, hati yang ikhlas,
memiliki anak dan keturunan yang shaleh dan shalehah, memiliki karya karya
nyata yang dapat dinikmati bagi generasi yang datang di kemudian hari yang
tersebar di mana mana.
Selain daripada itu, masih terdapat
bentuk-bentuk penampilan dari orang orang yang berjiwa muthmainnah dan semoga
penampilan dari jiwa muthmainnah ini ada di dalam diri kita masing-masing,
yaitu:
1. Orang yang memiliki jiwa Muthmainnah adalah
orang yang memiliki rasa malu dalam diri sehingga ia mampu menamkan dalam
dirinya bahwa rasa malu terhadap Allah SWT dengan takut melakukan dosa adalah
sebagai bukti dari keimanannya.
2. Orang yang memiliki jiwa Muthmainnah adalah
orang yang tidak merasa bahwa dirinya berada di atas orang lain sehingga ia
mampu membuang sifat pendendam, atau senang di atas kesedihan orang lain. Jika
kemarahan terus membayangi dirimu maka ia akan menggerogoti pikiranmu yang pada
akhirnya kita selalu berpikiran negatif, tidak berjiwa pemaaf dan selalu
dihantui oleh dendam. Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari
manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang sombong lahi
membanggakan diri. (surat Luqman (31) ayat 18)”.
Salah satu bentuk hidup bersahaja adalah
mampu memaafkan kesalahan orang lain tak perlu akal yang cerdas, akan tetapi
cukup hati yang luas, tak harus berhitung seberapa banyak kesalahan orang lain,
namun menghitung seberapa banyak kita telah berbuat kebaikan.
3. Orang
yang memiliki jiwa Muthmainnah adalah orang yang mampu dilihat dari perilakunya
dan bagaimana ia memperlakukan sesama. Hal ini dikarenakan, sifat baikmu adalah
cerminan dari shalat yang kamu dirikan. Kesopanan adalah buah dari mengajimu.
Perilakumu adalah bukti dari keimananmu. Untuk itu bentuklah agamamu dengan
perilakumu, tidak hanya dengan shalat dan puasamu dan lakukan ini saat ini juga,
karena saat inilah waktu yang terbaik bagi kita untuk berbuat kebaikan.
4. Orang yang memiliki jiwa muthmainnah adalah
orang orang yang mampu melaksanakan falsafah dalam bahasa Jawa berikut ini: Urip
Kuwe Yen: Ngibadah jenak; Kubur ra sesek; Suwargo mbukak; Rezekine jembar;
Uripe berkah, Mangan enak; Turu kepenak; Tonggo semanak; Keluargo cedhak; Sedulur grapyak; Bondo cemepak; Ono panganan ora cluthak; ketemu konco ngguyu
Ngakak. Dan juga mampu
melaksanakan konsep kehidupan yang berbunyi: ing ngarso sung tulodo, ing madya mangun
karso dan tut wuri handayani.
5. Orang yang memiliki jiwa muthmainnah adalah
orang orang yang aura positifnya keluar dari dalam diri yang terpancar lewat
muka yang cerah bersahaja, serta dari ilmu yang diajarkan semakin mendalam, dan
dari perbuatan baik yang semakin meningkat serta semakin ikhlas dalam berbuat.
6. Orang yang memiliki jiwa muthmainnah adalah
orang yang tidak suka menghakimi orang lain apalagi dengan mempergunakan kaca
mata kita sendiri. Setiap orang memiliki cara pandang yang berbeda dalam
menyikapi suatu masalah. Jangan pernah samakan cara pandang kita dengan cara
pandang orang lain, karena setiap kepala pasti berbeda cara berpikirnya. Jangan
sampai jiwa Muthmainnah tercoreng karena kita menuduh atau menghakimi seseorang
karean hal menunjukkan secara tidak langsung bahwa kita adalah orang yang
paling benar.
7. Orang yang memiliki jiwa muthmainnah adalah
orang yang mampu membawa mati harta yang dimilikinya dengan menyedekahkannya,
mampu membawa mati ilmunya dengan mengajarkannya kepada sesama dan mampu
membawa mati anak dan keturunannya dengan menyalehkannya.
8. Orang yang memiliki jiwa muthmainnah adalah
orang yang mampu selalu terpusat perhatiannya pada kebaikan kebaikan Allah dan
selalu merasa dekat denganNya. Ia mampu melihat dengan pandangan yakin,
sehingga mamberikan dampak yang positif pada gerak dan langkahnya. Dan jika ia
ditimpa suatu cobaan, ia tidak pernah mengarahkan perhatiannya kepada sebab
cobaan itu datang.Ia justru merenungi apa yang dikehendaki oleh Sang Pemberi
Cobaan, Allah. Jadilah hidupnya dipenuhi dengan ketenangan bathin.
Jika diam, ia berpikir tentang bagaimana
cara menunaikan hak hak Allah. Jika bicara, selalu diniatkan untuk menggapai
ridhaNya. Hatinya tidak selalu bertumpu pada istri ataupun anak. Cintanya tak
pernah terbelah dengan selain Sang Khaliq. Dia bergaul dengan manusia lahir
bathin. Orang yang demikian menganggap dunia begitu kecil dan tak pernah merasa
susah untuk menghadapi perjalanan abadinya. Dia tidak pernah merasa takut dalam
kuburnya yang sempit, tidak pula gentar saat di padang Mahsyar kelak.
Itulah
bentuk bentuk penampilan dari orang orang yang memiliki jiwa taqwa yang
seutuhnya yang tidak lain adalah jiwa muthmainnah. Semoga diri kita, keluarga
kita, suami/istri serta anak keturunan kita mampu melaksanakan dan
menampilkannya saat mereka hidup di dunia ini dan karya karya nyatanya dapat
dikenang terus sampai hari kiamat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar