A. JIWA LAWWAMAH.
Timbul pertanyaan kenapa kita harus keluar dari Jiwa
Lawwamah untuk menuju Jiwa Muthmainnah? Hal
ini dikarenakan Diinul Islam adalah Agama yang Haq yang tidak mengenal istilah
abu-abu, atau karena seluruh ketentuan Allah SWT semuanya tidak ada yang
bersifat Abu-Abu, semuanya jelas apakah itu Putih dan apakah itu Hitam.
Selain daripada itu adanya dua tempat kembali manusia, bernama syurga dan neraka
yang memiliki konsekuensi yang tegas pula yaitu adanya ketentuan siapa yang
berhak menempati syurga dan siapa yang berhak menempati neraka. Adanya kondisi
ini berarti tidak akan pernah ada tempat kembali bagi yang abu-abu. Jika saat ini, jiwa kita masuk dalam
kategori Jiwa Lawwamah, atau masuk wilayah abu-abu dikarenakan kadang menang
kadang kalah yang mengakibatkan diri kita tidak tahu akan pulang ke mana, maka
kita harus dapat meningkatkan jiwa kita menjadi Jiwa Muthmainnah sehingga diri
kita dimasukkan ke dalam calon penghuni syurga.
B.
JIWA MUTHMAINNAH.
Untuk dapat menggambarkan jiwa muthmainnah yang ada
pada diri manusia, dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Pada saat diri kita
mengalami suatu cobaan atau suatu keadaan yang mengakibatkan keadaan yang
membuat diri kita dalam kekurangan, maka yang dilakukan oleh manusia yang
berjiwa Muthmainnah adalah ia tidak langsung mempergunakan Hubbul Hurriyah atau
Hubbul yang lainnya dan juga Amanah yang 7. Melainkan terlebih dahulu
mengadukan permasalahan yang dialaminya kepada Allah SWT, atau memohon terlebih
dahulu kepada Allah SWT untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik atas
permasalahan yang dialaminya, yang tentunya dibarengi dengan hati nurani
sebagai pengendali diri, sehingga apa yang kita lakukan selalu berada di dalam
kehendak Allah SWT.
Setelah dilaporkan, atau dikomunikasikan melalui doa
dan permohonan kepada Allah SWT barulah orang tersebut menggerakkan Hubbul
Hurriyah atau Hubbul lainnya serta Amanah yang 7 yang ada di dalam diri untuk
berbuat sesuatu, guna keluar dari permasalahan yang dihadapinya melalui bantuan
Allah SWT, atau dengan melibatkan Allah SWT yang dibarengi dengan rasa dan perasaan
yang timbul dari dalam hati nurani.
Adanya keterlibatan hati nurani di dalam
menyelesaikan segala persoalan akan menimbulkan rasa tenang dalam diri sehingga
hilang rasa gelisah, resah, tidak percaya diri serta berdasarkan kondisi inilah
jiwa muthmainnah dikatakan sebagai jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram.
Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam firman-Nya: “Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam
syurga-Ku” (surat
Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27).
Hal yang harus kita perhatikan adalah jika kita ingin
memperoleh dan merasakan rasa dari jiwa muthmainnah maka kita harus selalu mendahulukan
atau menomorsatukan Allah SWT terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, atau
sebelum mempergunakan Hubbul yang 7 dan Amanah yang 7 serta yakin bahwa Allah
SWT pasti akan menolong diri kita sepanjang diri kita berada di dalam
kehendak-Nya.
Jiwa muthmainnah merupakan bentuk kejiwaan yang
paling sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang merupakan sifat dasar dari ruh
yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sehingga kita selalu berbuat dalam
ketenangan, yakin, percaya diri, berilmu, menghargai orang lain, toleransi,
dermawan dikarenakan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang ada di dalam diri
selalu dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dikehendaki
Allah SWT.
Jiwa muthmainnah juga merupakan kondisi kejiwaan
yang paling sempurna sebab manusia telah mampu menempatkan ruh sebagai jati
diri manusia yang sesungguhnya, atau dapat
dikatakan bahwa manusia telah mampu menjadikan jati diri manusia yang
sesungguhnya adalah ruh sehingga nilai-nilai
kebaikan yang dikehendaki Allah SWT menjadi pedoman di dalam mengarungi
kehidupan, atau tercermin menjadi perilaku hidupnya. Yang pada akhirnya akan menjadikan manusia mudah dan dimudahkan menjadi
khalifah di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Kondisi
yang seperti inilah fitrah manusia yang sesungguhnya sehingga diri kita mampu
menjadi cerminan dari penampilan Allah SWT di muka bumi melalui perilaku dan perbuatan
kita. Adanya kondisi fitrah manusia yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah
maka yang seharusnya menjadi abd’ (hamba)-Nya yang menjadi khalifah-Nya, yang
seharusnya menjadi pemimpin, yang seharusnya menjadi atasan, yang seharusnya
menjadi bawahan, yang seharusnya menjadi pengusaha dan penguasa, yang seharusnya
menjadi rakyat adalah jiwa-jiwa muthmainnah. Apa maksudnya?
Jika
pemimpin yang menjadi atasan dan yang juga menjadi penguasa adalah jiwa-jiwa muthmainnah
berarti setiap pemimpin yang ada di muka bumi ini adalah pemimpin yang telah
mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh buruk hawa nafsu (ahwa) kepada
dirinya sendiri, sehingga pemimpin itu sudah tidak memiliki masalah lagi dengan
dirinya sendiri. Sehingga pemimpin itu
akan mampu menjadi pemimpin bagi bawahannya, bagi rakyatnya, bagi nusa dan
bangsanya. Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin saja, akan tetapi
berlalu bagi seluruh manusia yang ada di muka bumi ini.
Sekarang
apa jadinya jika seorang pemimpin, atau seorang pengusaha, atau seorang
legislatif, atau seorang yudikatif dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan
baik dan benar jika ia sendiri belum mampu memimpin dirinya sendiri, dalam hal
ini mengalahkan ahwa (hawa nafsu) nya? Orang yang telah mampu menjadikan
jiwanya jiwa muthmainnah berarti orang tersebut telah mampu membebaskan dirinya
sendiri dari pengaruh sifat-sifat alamiah jasmani, atau orang yang telah mampu membebaskan diri dari
pengaruh ahwa (hawa nafsu) nya sehingga segala perbuatannya selalu sesuai
dengan nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT selaku pencipta manusia.
Pemimpin
yang masih terbelenggu dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu), atau pemimpin
yang belum bisa keluar dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) berarti pemimpin
itu tidak akan bisa memimpin sesuai dengan konsep kepemimpinan yang dikehendaki
Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tidak
bisa, lalu bagaimana ia akan memimpin orang lain; bagaimana ia memimpin rakyatnya.
Dan jika sampai orang tersebut memimpin maka kepemimpinan yang dilakukannya
akan penuh dengan nilai-nilai keburukan, akan penuh dengan intrik-intrik, akan
penuh dengan hujatan, akan penuh dengan ketidaknyamanan dan lain sebagainya
yang mengakibatkan pemimpin itu menjadi pimpinan yang tidak amanah dengan
kepemimpinannya.
Lalu
bagaimana dengan profesi yang lainnya, seperti menteri, gubernur, bupati,
walikota, kepolisian, jaksa, pengacara,
pengusaha, suami, istri, ataupun rakyat? Hal yang samapun berlaku kepada
seluruh profesi yang ada di muka bumi, dimana seluruh profesi wajib yang ada di
muka bumi harus mampu menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh yang
memiliki jiwa muthmainnah sehingga apa-apa yang diperbuatnya sudah tidak lagi
memiliki masalah dengan dirinya sendiri (maksudnya setiap orang sudah tidak
memiliki masalah lagi dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh syaitan)
sehingga yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT.
Akhir dari ini adalah sukseklah manusia menjadi abd’ (hamba)-Nya yang sekaligus
khalifah-Nya yang memenuhi kriteria makhluk
yang terhormat di muka bumi ini dan
semoga itu adalah kita sendiri, itu adalah anak dan keturunan kita sendiri.
Di
sinilah letak perjuangan manusia yang sebenarnya yaitu dengan menjadikan
jiwanya menjadi jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram, jiwa yang tahu akan
kebesaran Allah SWT, atau jiwa yang dapat memuluskan jalan untuk pulang ke kampung
kebahagiaan. Dan jika jiwa muthmainnah yang menjadi jiwa bagi diri kita berarti
pengakuan ruh kepada Allah SWT di waktu masih di dalam rahim ibu tetap teguh
dan tidak tergoyangkan sehingga kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dapat
kita rasakan dalam hidup dan kehidupan kita di dunia. Di dunia kita akan
memperoleh kemudahan, akan mendapatkan pemeliharaan, akan memperoleh
pengawasan, akan mendapatkan jaminan serta perlindungan dari Allah SWT
sedangkan di akhirat kelak akan pulang ke kampung kebahagiaan untuk bertemu
dengan Allah SWT. Sungguh bahagia jika ini terjadi pada diri kita.
Sekarang,
senangkah syaitan jika setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki jiwa muthmainnah?
Syaitan sebagai musuh abadi dari umat manusia,
tidak akan pernah senang jika sampai manusia yang menjadi musuhnya mampu
menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah. Syaitan akan berusaha dari waktu ke waktu tanpa
mengenal lelah untuk menjadikan jiwa manusia masuk dalam kategori jiwa fujur
yang sefujur-fujurnya.
Sebagai
musuh dari syaitan maka kita harus mengetahui bahwa syaitan tidak akan suka
dengan jiwa muthmainnah, akan tetapi jiwa muthmainnah itu sendiri yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita,
apakah mau menjadikan jiwa kita sendiri menjadi jiwa muthmainnah ataukah jiwa fujur,
karena hasil akhir dari ini semua kita sendirilah yang akan merasakannya, baik
dalam kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar