Label

MEMANUSIAKAN MANUSIA: INILAH JATIDIRI MANUSIA YANG SESUNGGUHNYA (79) SETAN HARUS JADI PECUNDANG: DIRI PEMENANG (68) SEBUAH PENGALAMAN PRIBADI MENGAJAR KETAUHIDAN DI LAPAS CIPINANG (65) INILAH ALQURAN YANG SESUNGGUHNYA (60) ROUTE TO 1.6.799 JALAN MENUJU MAKRIFATULLAH (59) MUTIARA-MUTIARA KEHIDUPAN: JALAN MENUJU KERIDHAAN ALLAH SWT (54) PUASA SEBAGAI KEBUTUHAN ORANG BERIMAN (50) ENERGI UNTUK MEMOTIVASI DIRI & MENJAGA KEFITRAHAN JIWA (44) RUMUS KEHIDUPAN: TAHU DIRI TAHU ATURAN MAIN DAN TAHU TUJUAN AKHIR (38) TAUHID ILMU YANG WAJIB KITA MILIKI (36) THE ART OF DYING: DATANG FITRAH KEMBALI FITRAH (33) JIWA YANG TENANG LAGI BAHAGIA (27) BUKU PANDUAN UMROH (26) SHALAT ADALAH KEBUTUHAN DIRI (25) HAJI DAN UMROH : JADIKAN DIRI TAMU YANG SUDAH DINANTIKAN KEDATANGANNYA OLEH TUAN RUMAH (24) IKHSAN: INILAH CERMINAN DIRI KITA (24) RUKUN IMAN ADALAH PONDASI DASAR DIINUL ISLAM (23) ZAKAT ADALAH HAK ALLAH SWT YANG HARUS DITUNAIKAN (20) KUMPULAN NASEHAT UNTUK KEHIDUPAN YANG LEBIH BAIK (19) MUTIARA HIKMAH DARI GENERASI TABI'IN DAN TABI'UT TABIIN (18) INSPRIRASI KESEHATAN DIRI (15) SYAHADAT SEBAGAI SEBUAH PERNYATAAN SIKAP (14) DIINUL ISLAM ADALAH AGAMA FITRAH (13) KUMPULAN DOA-DOA (10) BEBERAPA MUKJIZAT RASULULLAH SAW (5) DOSA DAN JUGA KEJAHATAN (5) DZIKIR UNTUK KEBAIKAN DIRI (4) INSPIRASI DARI PARA SAHABAT NABI (4) INILAH IBADAH YANG DISUKAI NABI MUHAMMAD SAW (3) PEMIMPIN DA KEPEMIMPINAN (3) TAHU NABI MUHAMMAD SAW (3) DIALOQ TOKOH ISLAM (2) SABAR ILMU TINGKAT TINGGI (2) SURAT TERBUKA UNTUK PEROKOK dan KORUPTOR (2) IKHLAS DAN SYUKUR (1)

Sabtu, 09 Maret 2024

DIMENSI PUASA DAN KEMBALI FITRAH (PART 2 of 5)


C.     MANUSIA ADALAH CIPTAAN DAN WAKIL ALLAH SWT.

 

Berdasarkan surat Ar Rum (30) ayat 40 berikut ini: “Allah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).Adakah di antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu? Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.” Setiap manusia adalah ciptaan Allah SWT dan yang berarti suatu ciptaan keberadaannya tidak bisa lebih dahulu ada dibandingkan dengan penciptanya. Sehingga yang berhak membuat suatu aturan main bagi manusia bukanlah ditentukan oleh manusia itu sendiri melainkan berasal dari pencipta manusia, dalam hal ini Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti kembali fitrah adalah mampunya diri kita menjadi seorang hamba (abd) dan mampunya diri kita menempatkan Allah SWT selaku Rabb.

 

Selain daripada itu, Allah SWT juga berfirman: “Dan Allah telah menciptakan kamu, kemudian mewafatkanmu, di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu lagi sesuatu yang pernag diketahuinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa. (surat Al Nahl (16) ayat 7).” Sungguh sangatlah janggal atau tidak masuk diakal sehat jika masih ada orang yang berpendirian bahwa alam semesta ini tidak ada yang menciptakannya dan yang mengaturnya. Dan ingat manusia adalah sebahagian dari alam semesta sehingga manusiapun terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT.

 

Allah SWT selaku pencipta dan pemilik manusia juga telah memberitahukan kepada kita di dalam AlQuran tentang tujuan dari menciptakan manusia, yaitu :

 

1.       Setiap manusia yang ada di muka bumi ini semuanya adalah khalifah Allah SWT. Khalifah artinya pengganti, atau perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi sehingga dengan adanya kekhalifahan di muka bumi ini terperiharalah apa apa yang ada di muka bumi. Sebagai seorang khalifah di muka bumi berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari asal usul diri kita dalam hal ini Allah SWT. Kita juga tidak bisa terlepas dan melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan pengutus diri kita di muka bumi, sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 berikut ini: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”  Kondisi ini harus kita sadari betul saat menjadi khalifah yaitu dengan diri kita tahu dan mengerti siapa diri kita yang sesungguhnya maka kitapun harus tahu dan mengerti yang siapa Allah SWT yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan antara diri kita dengan Allah SWT tidak akan bisa dipisahkan serta kedudukannya tidak sejajar. “Barangsiapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka ia akan mengenal dirinya”. Inilah pedoman yang harus kita ketahui dan pahami jika kita mengaku sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.

Selanjutnya jika kita kembali fitrah berarti kondisi dasar diri kita tidak bisa melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan pemilik dari kekhalifahan yang ada di muka bumi. Jika hal ini yang menjadi dasar dari kembali fitrah maka masihkah perilaku dari diri kita yang telah kembali fitrah sesuai dengan perilaku Allah SWT yang mencerminkan Nama Namanya Yang Indah (Asmaul Husna) ?. Allah SWT berfirman: “Shibghah Allah[91]. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. (surat Al Baqarah (2) ayat 138)

 

[91] Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.

 

2.       Setiap manusia adalah abd’ (hamba)-Nya Untuk mengabdi, beribadah serta menghambakan diri hanya kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam surat Az Zariyat (51) ayat 56 berikut ini: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepadaKu.”  Kemudian dipertegas dengan fungsi lain dari manusia yaitu untuk memakmurkan bumi atau membuat kemakmuran di bumi dengan cara menjaga, merawat apa apa yang telah diciptakan oleh Allah sebagaimana termaktub dalam surat Hud (11) ayat 61 berikut ini: “…….Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya.” serta untuk membahagiakan kehidupan manusia sebagaimana tertuang dalam surat Ar Rad (13) ayat 29 berikut ini: “orang orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat kebahagiaan dan tempat kembali yang baik. 

 

Adanya tujuan Allah SWT menciptakan manusia dan fungsi manusia yang kami kemukakan di atas ini, sampai kapanpun manusia tidak akan dapat mengetahuinya jika hanya dengan ilmunya saja. Hal ini dikarenakan hal itu tidak termasuk di dalam jangkauan ilmu manusia yang hanya sebatas obyek semata, sebab yang berhak menentukan aturan bagi kehidupan manusia, sehingga manusia mampu berfungsi dengan baik dan tercapai tujuan penciptaanya adalah Allah SWT semata.

 

Di lain sisi, berdasarkan surat Al Isra’ (17) ayat 85 berikut ini: Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”. (surat Al Isra’ (17) ayat 85).”, di dalam diri manusia ada urusan Allah, yaitu tentang masalah ruhnya manusia. Urusan Allah tentu tidak akan mungkin diketahui oleh manusia. Karena jangankan urusan Allah, urusan manusia  yang lain saja tidak dapat diketahui oleh manusia. Di lain sisi, tingkah laku manusia bersumber dari ruhaninya, karena itu untuk mengatur tingkah laku manusia, maka ruhani inilah yang harus diatur. Berdasarkan surat Al Isra’ (17) ayat 85 di atas, yang mengerti tentang ruhani manusia adalah Allah, sehingga yang berhak membuat aturan, ketentuan, hukum bagi tingkah laku manusia hanyalah Allah SWT semata.

 

Berdasarkan surat Asy Syura (42) ayat 13 berikut ini: “Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu agama yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketaqwaan) dan janganlah kamu berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka.Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya bagi orang yang kembali (kepadaNya).” Allah telah membuat dan menetapkan aturan bagi fungsi dan tingkah laku manusia, yaitu Diinul Islam sebagai agama tauhid. Ini berarti setiap manusia memiliki keterikatan yang sangat erat dengan ketetapan Allah (Diinullah) yang telah ditetapkan berlaku di alam semesta ini, kondisi inilah yang kami istilahkan dengan tahu aturan main saat hidup di muka bumi ini.

 

Agar diri kita yang sudah tahu adanya konsep aturan main yang berlaku di muka bumi ini, konsep itu harus kita lengkapi dengan konsep tahu diri dan juga konsep tahu tujuan akhir. Lalu jangan pernah keluar dari ketiga konsep ini, yaitu tahu diri, tahu aturan dan tahu tujuan akhir. Selanjutnya untuk mempertegas tentang konsep tahu diri, berikut ini akan kami kemukakan 3 (tiga) buah tingkatan dari konsep tahu diri, yaitu:  

 

a.        Tingkat pertama atau secara tersurat diri kita adalah ciptaan Allah SWT. Sebagai ciptaan maka pencipta harus lebih dahulu ada dari yang diciptakan serta pencipta lebih berkuasa dari apa yang diciptakannya. 

b.       Tingkat kedua atau secara tersirat diri kita adalah khalifah atau pengganti Allah SWT  atau wakil Allah SWT di muka bumi.

c.        Tingkat ketiga atau secara tersembunyi diri kita adalah bentuk dari penampilan Allah SWT di muka bumi; manusia adalah gambaran dari sifat dan asmaNya; manusia adalah bayangan Allah SWT di muka bumi (khalifah); manusia adalah pemandangan bagi penampilan keindahan Allah SWT; manusia adalah eksistensi Allah SWT bagi tersingkapnya hijab Allah SWT; manusia adalah gudang perbendaharaan Allah SWT.

 

Sebagai orang yang menumpang yang tidak selamanya menumpang; sebagai pemain dalam permainan yang harus menjadi pemenang dalam permainan; sebagai khalifah yang harus menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi maka kita wajib memiliki ilmu tentang Allah SWT dan juga ilmu tentang diri sendiri maka barulah kita bisa tahu diri lalu kitapun akan tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya.Tahu diri sendiri dan juga tahu tentang Allah SWT serta tahu tujuan akhir merupakan pembuka jalan menuju hidup tenteram dan tenang di muka bumi ini. Lalu cukupkah kita hanya tahu diri dan tahu Allah SWT lalu kita bisa melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi? Jawabannya adalah tidak bisa karena tahu diri harus dilengkapi dengan tahu aturan dan juga tahu tujuan akhir maka barulah kita bisa hidup di muka bumi sesuai dengan kehendak Allah SWT.

 

Kembali fitrah selain bermakna seperti yang telah kami kemukakan di atas, kembali fitrah juga bermakna ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya adalah subyek sedangkan jasmani dan juga bumi adalah obyek. Adanya kondisi ini berarti fitrah adalah suatu kondisi dimana subyek harus dapat mengendalikan obyek. Sekarang jika yang terjadi adalah obyek yang mengatur subyek berarti ada salah dari kekhalifahan yang kita laksanakan dan terjadilah apa yang dinamakan dengan keluar dari konsep awal penciptaan manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi. Agar subyek mampu mengendalikan obyek maka kemampuan dari subyek harus lebih tinggi dari kemampuan obyek.

 

Disinilah letak dari kemampuan kita untuk selalu menjaga kefitrahan diri sehingga kemampuan subyek selalu terjaga dari waktu ke waktu dengan selalu mematuhi segala apa apa yang dikehendaki Allah SWT.  Hal yang terjadi dan dapat kita rasakan jika seluruh subyek mampu mengendalikan atau mengalahkan obyek berarti yang ada di muka bumi ini hanyalah nilai-nilai kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sedangkan jika obyek sampai mampu mengendalikan subyek yang ada adalah nilai nilai keburukan yang dikehendaki oleh syaitan.

 

D.    JIWA MUTHMAINNAH ADALAH  JIWA MANUSIA YANG SESUNGGUH-NYA.

 

Untuk dapat menggambarkan jiwa muthmainnah yang ada pada diri manusia, dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Pada saat diri kita mengalami suatu cobaan atau suatu keadaan yang mengakibatkan keadaan yang membuat diri kita dalam kekurangan, maka yang dilakukan oleh manusia yang berjiwa Muthmainnah adalah ia tidak langsung memper-gunakan Hubbul Hurriyah atau Hubbul yang lainnya dan juga Amanah yang 7, melainkan terlebih dahulu mengadukan permasalahan yang dialaminya kepada Allah SWT, atau memohon terlebih dahulu kepada Allah SWT untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik atas permasalahan yang dialaminya, yang tentunya dibarengi dengan hati nurani sebagai pengendali diri, sehingga apa yang kita lakukan selalu berada di dalam kehendak Allah SWT.

 

Setelah dilaporkan, atau dikomunikasikan melalui doa dan permohonan kepada Allah SWT barulah orang tersebut menggerakkan Hubbul Hurriyah atau Hubbul lainnya serta Amanah yang 7 yang ada di dalam diri untuk berbuat sesuatu, guna keluar dari permasalahan yang dihadapinya melalui bantuan Allah SWT, atau dengan melibatkan Allah SWT yang dibarengi dengan rasa dan perasaan yang timbul dari dalam hati nurani.Adanya keterlibatan hati nurani di dalam menyelesaikan segala persoalan akan menimbulkan rasa tenang dalam diri sehingga hilang rasa gelisah, resah, tidak percaya diri serta berdasarkan kondisi inilah jiwa muthmainnah dikatakan sebagai jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram.

 

Allah SWT berfirman: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam syurga-Ku” (surat Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27). Hal yang harus kita perhatikan jika kita ingin memperoleh dan merasakan rasa jiwa muthmainnah, atau jika kita selalu ingin mempertahankan kefitrahan jiwa, kita harus selalu mendahulukan atau menomorsatukan Allah SWT terlebih dahulu sebelum berbuat sesuatu, atau sebelum mempergunakan Hubbul yang 7 dan Amanah yang 7 serta yakin bahwa Allah SWT pasti akan menolong diri kita sepanjang diri kita berada di dalam kehendak-Nya.

 

Jiwa muthmainnah merupakan bentuk kejiwaan yang paling sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang merupakan sifat dasar dari ruhani yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sehingga kita selalu berbuat dalam ketenangan, yakin, percaya diri, berilmu, menghargai orang lain, toleransi, dermawan dikarenakan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang ada di dalam diri selalu dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang dikehendaki Allah SWT.

 

Jiwa muthmainnah juga merupakan kondisi kejiwaan yang paling sempurna sebab manusia telah mampu menempatkan ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya,  atau dapat dikatakan bahwa manusia telah mampu menjadikan jati diri manusia yang sesungguhnya adalah ruhani sehingga nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT menjadi pedoman di dalam mengarungi kehidupan, atau tercermin menjadi perilaku hidupnya. Yang pada akhirnya  akan menjadikan manusia mudah dan dimudahkan menjadi khalifah di muka bumi yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Kondisi yang seperti inilah fitrah manusia yang sesungguhnya sehingga diri kita mampu menjadi cerminan dari penampilan Allah SWT di muka bumi melalui perilaku dan perbuatan kita.

 

Adanya kondisi fitrah manusia yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah maka yang seharusnya menjadi khalifah, yang seharusnya menjadi pemimpin, yang seharusnya menjadi atasan, yang seharusnya menjadi bawahan, yang seharusnya menjadi pengusaha dan penguasa, yang seharusnya menjadi rakyat adalah jiwa-jiwa muthmainnah. Apa maksud-nya? Jika pemimpin yang menjadi atasan dan yang juga menjadi penguasa adalah jiwa-jiwa muthmainnah berarti setiap pemimpin yang ada di muka bumi ini adalah pemimpin yang telah mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh buruk hawa nafsu (ahwa) kepada dirinya sendiri, sehingga pemimpin itu sudah tidak memiliki masalah lagi dengan dirinya sendiri.

 

Sehingga pemimpin itu akan mampu menjadi pemimpin bagi bawahannya, bagi rakyatnya, bagi nusa dan bangsanya. Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin saja, akan tetapi berlalu bagi seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Sekarang apa jadinya jika seorang pemimpin, atau seorang pengusaha, atau seorang legislatif, atau seorang yudikatif dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan benar jika ia sendiri belum mampu memimpin dirinya sendiri, dalam hal ini mengalahkan ahwa (hawa nafsu) nya? Orang yang telah mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah berarti orang tersebut telah mampu membebaskan dirinya sendiri dari pengaruh sifat-sifat alamiah jasmani, atau  orang yang telah mampu membebaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) nya sehingga segala perbuatannya selalu sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT selaku pencipta manusia.

 

Pemimpin yang masih terbelenggu dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu), atau pemimpin yang belum bisa keluar dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) berarti pemimpin itu tidak akan bisa memimpin sesuai dengan konsep kepemimpinan yang dikehendaki Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tidak bisa, lalu bagaimana ia akan memimpin orang lain; bagaimana ia memimpin rakyatnya.Dan jika sampai orang tersebut memimpin maka kepemimpinan yang dilakukannya akan penuh dengan nilai-nilai keburukan, akan penuh dengan intrik-intrik, akan penuh dengan hujatan, akan penuh dengan ketidaknyamanan dan lain sebagainya yang mengakibatkan pemimpin itu menjadi pimpinan yang tidak amanah dengan kepemimpinannya. 

 

Lalu bagaimana dengan profesi yang lainnya, seperti menteri, gubernur, bupati, walikota,  kepolisian, jaksa, pengacara, pengusaha, suami, istri, ataupun rakyat? Hal yang samapun berlaku kepada seluruh profesi yang ada di muka bumi, dimana seluruh profesi wajib yang ada di muka bumi harus mampu menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh/ruhani yang memiliki jiwa muthmainnah sehingga apa-apa yang diperbuatnya sudah tidak lagi memiliki masalah dengan dirinya sendiri (maksudnya setiap orang sudah tidak memiliki masalah lagi dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh syaitan) sehingga yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan yang dikehendaki oleh Allah SWT. Akhir dari ini adalah sukseklah manusia menjadi khalifah yang sekaligus makhluk yang terhormat di muka bumi ini  dan semoga itu adalah kita sendiri, itu adalah anak dan keturunan kita sendiri.

 

Di sinilah letak perjuangan manusia yang sebenarnya yaitu dengan menjadikan jiwanya menjadi jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram, jiwa yang tahu akan kebesaran Allah SWT, atau jiwa yang dapat memuluskan jalan untuk pulang ke kampung kebahagiaan. Dan jika jiwa muthmainnah yang menjadi jiwa bagi diri kita berarti pengakuan ruh kepada Allah SWT di waktu masih di dalam rahim ibu tetap teguh dan tidak tergoyangkan sehingga kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT dapat kita rasakan dalam hidup dan kehidupan kita di dunia.

 

Di dunia kita akan memperoleh kemudahan, akan mendapatkan pemeliharaan, akan memperoleh pengawasan, akan mendapatkan jaminan serta perlindungan dari Allah SWT sedangkan di akhirat kelak akan pulang ke kampung kebahagiaan untuk bertemu dengan Allah SWT. Sungguh bahagia jika ini terjadi pada diri kita.

 

Sekarang, senangkah syaitan jika setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki jiwa muthmainnah? Syaitan sebagai musuh abadi dari  umat manusia, tidak akan pernah senang jika sampai manusia yang menjadi musuhnya mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah. Syaitan akan berusaha dari waktu ke waktu tanpa mengenal lelah untuk menjadikan jiwa manusia masuk dalam kategori jiwa fujur yang sefujur fujurnya. Sebagai musuh dari syaitan maka kita harus mengetahui bahwa syaitan tidak akan suka dengan jiwa muthmainnah, akan tetapi jiwa muthmainnah itu sendiri yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sekarang semuanya terpulang kepada diri kita, apakah mau menjadikan jiwa kita sendiri menjadi jiwa muthmainnah ataukah jiwa fujur, karena hasil akhir dari ini semua kita sendirilah yang akan merasakannya, baik dalam kehidupan di dunia ini maupun di akhirat kelak.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar