C. MANUSIA ADALAH CIPTAAN DAN WAKIL ALLAH
SWT.
Berdasarkan
surat Ar Rum (30) ayat 40 berikut ini: “Allah yang menciptakan kamu, kemudian
memberimu rezeki, lalu mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali).Adakah di
antara mereka yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu
yang demikian itu? Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka
persekutukan.” Setiap manusia adalah ciptaan Allah SWT dan yang berarti
suatu ciptaan keberadaannya tidak bisa lebih dahulu ada dibandingkan dengan
penciptanya. Sehingga yang berhak membuat suatu aturan main bagi manusia
bukanlah ditentukan oleh manusia itu sendiri melainkan berasal dari pencipta
manusia, dalam hal ini Allah SWT. Adanya kondisi ini berarti kembali fitrah
adalah mampunya diri kita menjadi seorang hamba (abd) dan mampunya diri kita menempatkan
Allah SWT selaku Rabb.
Selain
daripada itu, Allah SWT juga berfirman: “Dan Allah telah menciptakan kamu, kemudian
mewafatkanmu, di antara kamu ada yang dikembalikan kepada usia yang tua renta
(pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu lagi sesuatu yang pernag
diketahuinya. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahakuasa. (surat Al Nahl (16)
ayat 7).” Sungguh sangatlah janggal atau tidak masuk diakal sehat jika
masih ada orang yang berpendirian bahwa alam semesta ini tidak ada yang
menciptakannya dan yang mengaturnya. Dan ingat manusia adalah sebahagian dari
alam semesta sehingga manusiapun terikat dengan ketentuan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT.
Allah
SWT selaku pencipta dan pemilik manusia juga telah memberitahukan kepada kita
di dalam AlQuran tentang tujuan dari menciptakan manusia, yaitu :
1. Setiap manusia yang ada di muka bumi ini
semuanya adalah khalifah Allah SWT. Khalifah artinya pengganti,
atau perpanjangan tangan Allah SWT di muka bumi sehingga dengan adanya
kekhalifahan di muka bumi ini terperiharalah apa apa yang ada di muka bumi.
Sebagai seorang khalifah di muka bumi berarti kita tidak bisa melepaskan diri dari
asal usul diri kita dalam hal ini Allah SWT. Kita juga tidak bisa terlepas dan
melepaskan diri dari Allah SWT selaku pencipta dan pengutus diri kita di muka
bumi, sebagaimana termaktub dalam surat Al Baqarah (2) ayat 30 berikut ini: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para
Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan
berfirman: “Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Kondisi ini harus kita sadari betul saat
menjadi khalifah yaitu dengan diri kita tahu dan mengerti siapa diri kita yang
sesungguhnya maka kitapun harus tahu dan mengerti yang siapa Allah SWT yang
sesungguhnya. Hal ini dikarenakan antara diri kita dengan Allah SWT tidak akan
bisa dipisahkan serta kedudukannya tidak sejajar. “Barangsiapa yang mengenal
dirinya maka ia akan mengenal Tuhannya. Barangsiapa yang mengenal Tuhannya maka
ia akan mengenal dirinya”. Inilah pedoman yang harus kita ketahui dan
pahami jika kita mengaku sebagai khalifah Allah SWT di muka bumi.
Selanjutnya jika kita kembali fitrah
berarti kondisi dasar diri kita tidak bisa melepaskan diri dari Allah SWT
selaku pencipta dan pemilik dari kekhalifahan yang ada di muka bumi. Jika hal
ini yang menjadi dasar dari kembali fitrah maka masihkah perilaku dari diri
kita yang telah kembali fitrah sesuai dengan perilaku Allah SWT yang
mencerminkan Nama Namanya Yang Indah (Asmaul Husna) ?. Allah SWT berfirman: “Shibghah Allah[91]. Dan siapakah yang lebih baik
shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah Kami menyembah. (surat Al
Baqarah (2) ayat 138)
[91]
Shibghah artinya celupan. Shibghah Allah: celupan Allah yang berarti iman
kepada Allah yang tidak disertai dengan kemusyrikan.
2.
Setiap
manusia adalah abd’ (hamba)-Nya Untuk mengabdi, beribadah serta menghambakan
diri hanya kepada Allah SWT, sebagaimana termaktub dalam
surat Az Zariyat (51) ayat 56 berikut ini: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan agar mereka beribadah kepadaKu.”
Kemudian dipertegas dengan fungsi lain dari manusia yaitu untuk
memakmurkan bumi atau membuat kemakmuran di bumi dengan cara menjaga, merawat
apa apa yang telah diciptakan oleh Allah sebagaimana termaktub dalam surat Hud
(11) ayat 61 berikut ini: “…….Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah)
dan menjadikanmu pemakmurnya.” serta untuk membahagiakan kehidupan
manusia sebagaimana tertuang dalam surat Ar Rad (13) ayat 29 berikut ini: “orang
orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka mendapat kebahagiaan dan
tempat kembali yang baik.”
Adanya
tujuan Allah SWT menciptakan manusia dan fungsi manusia yang kami kemukakan di
atas ini, sampai kapanpun manusia tidak akan dapat mengetahuinya jika hanya
dengan ilmunya saja. Hal ini dikarenakan hal itu tidak termasuk di dalam
jangkauan ilmu manusia yang hanya sebatas obyek semata, sebab yang berhak
menentukan aturan bagi kehidupan manusia, sehingga manusia mampu berfungsi
dengan baik dan tercapai tujuan penciptaanya adalah Allah SWT semata.
Di
lain sisi, berdasarkan surat Al Isra’ (17) ayat 85 berikut ini: “Dan
mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk
urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit”. (surat Al
Isra’ (17) ayat 85).”, di dalam diri manusia ada urusan Allah, yaitu
tentang masalah ruhnya manusia. Urusan Allah tentu tidak akan mungkin diketahui
oleh manusia. Karena jangankan urusan Allah, urusan manusia yang lain saja tidak dapat diketahui oleh
manusia. Di lain sisi, tingkah laku manusia bersumber dari ruhaninya, karena
itu untuk mengatur tingkah laku manusia, maka ruhani inilah yang harus diatur.
Berdasarkan surat Al Isra’ (17) ayat 85 di atas, yang mengerti tentang ruhani
manusia adalah Allah, sehingga yang berhak membuat aturan, ketentuan, hukum
bagi tingkah laku manusia hanyalah Allah SWT semata.
Berdasarkan
surat Asy Syura (42) ayat 13 berikut ini: “Dia (Allah) telah mensyariatkan kepadamu
agama yang telah diwasiatkanNya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa,
Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketaqwaan) dan janganlah kamu
berpecah belah di dalamnya. Sangat berat bagi orang orang musyrik (untuk
mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka.Allah memilih orang yang Dia
kehendaki kepada agama tauhid dan memberi petunjuk kepada (agama)Nya bagi orang
yang kembali (kepadaNya).” Allah telah membuat dan menetapkan aturan
bagi fungsi dan tingkah laku manusia, yaitu Diinul Islam sebagai agama tauhid.
Ini berarti setiap manusia memiliki keterikatan yang sangat erat dengan
ketetapan Allah (Diinullah) yang telah ditetapkan berlaku di alam semesta ini,
kondisi inilah yang kami istilahkan dengan tahu aturan main saat hidup di muka
bumi ini.
Agar
diri kita yang sudah tahu adanya konsep aturan main yang berlaku di muka bumi
ini, konsep itu harus kita lengkapi dengan konsep tahu diri dan juga konsep
tahu tujuan akhir. Lalu jangan pernah keluar dari ketiga konsep ini, yaitu tahu
diri, tahu aturan dan tahu tujuan akhir. Selanjutnya untuk mempertegas tentang
konsep tahu diri, berikut ini akan kami kemukakan 3 (tiga) buah tingkatan dari
konsep tahu diri, yaitu:
a.
Tingkat pertama atau secara tersurat diri
kita adalah ciptaan Allah SWT. Sebagai ciptaan maka pencipta harus lebih dahulu
ada dari yang diciptakan serta pencipta lebih berkuasa dari apa yang
diciptakannya.
b.
Tingkat kedua atau secara tersirat diri kita
adalah khalifah atau pengganti Allah SWT atau wakil Allah SWT di muka bumi.
c.
Tingkat ketiga atau secara tersembunyi diri
kita adalah bentuk dari penampilan Allah SWT di muka bumi; manusia adalah
gambaran dari sifat dan asmaNya; manusia adalah bayangan Allah SWT di muka bumi
(khalifah); manusia adalah pemandangan bagi penampilan keindahan Allah SWT;
manusia adalah eksistensi Allah SWT bagi tersingkapnya hijab Allah SWT; manusia
adalah gudang perbendaharaan Allah SWT.
Sebagai
orang yang menumpang yang tidak selamanya menumpang; sebagai pemain dalam
permainan yang harus menjadi pemenang dalam permainan; sebagai khalifah yang
harus menampilkan penampilan Allah SWT di muka bumi maka kita wajib memiliki
ilmu tentang Allah SWT dan juga ilmu tentang diri sendiri maka barulah kita
bisa tahu diri lalu kitapun akan tahu siapa Allah SWT yang sesungguhnya.Tahu diri sendiri dan juga tahu tentang
Allah SWT serta tahu tujuan akhir merupakan pembuka jalan menuju hidup tenteram
dan tenang di muka bumi ini. Lalu cukupkah kita hanya tahu diri dan tahu
Allah SWT lalu kita bisa melaksanakan tugas sebagai khalifah di muka bumi?
Jawabannya adalah tidak bisa karena tahu diri harus dilengkapi dengan tahu
aturan dan juga tahu tujuan akhir maka barulah kita bisa hidup di muka bumi sesuai
dengan kehendak Allah SWT.
Kembali
fitrah selain bermakna seperti yang telah kami kemukakan di atas, kembali
fitrah juga bermakna ruhani sebagai jati diri manusia yang sesungguhnya adalah subyek
sedangkan jasmani dan juga bumi adalah obyek. Adanya kondisi ini berarti fitrah
adalah suatu kondisi dimana subyek harus dapat mengendalikan obyek. Sekarang
jika yang terjadi adalah obyek yang mengatur subyek berarti ada salah dari
kekhalifahan yang kita laksanakan dan terjadilah apa yang dinamakan dengan
keluar dari konsep awal penciptaan manusia sebagai khalifah Allah SWT di muka
bumi. Agar subyek mampu mengendalikan obyek maka kemampuan dari subyek harus
lebih tinggi dari kemampuan obyek.
Disinilah letak dari
kemampuan kita untuk selalu menjaga kefitrahan diri sehingga kemampuan subyek
selalu terjaga dari waktu ke waktu dengan selalu mematuhi segala apa apa yang
dikehendaki Allah SWT. Hal
yang terjadi dan dapat kita rasakan jika seluruh subyek mampu mengendalikan
atau mengalahkan obyek berarti yang ada di muka bumi ini hanyalah nilai-nilai
kebaikan yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sedangkan jika obyek sampai
mampu mengendalikan subyek yang ada adalah nilai nilai keburukan yang
dikehendaki oleh syaitan.
D. JIWA MUTHMAINNAH ADALAH JIWA MANUSIA YANG SESUNGGUH-NYA.
Untuk dapat menggambarkan jiwa muthmainnah yang ada
pada diri manusia, dapat kami ilustrasikan sebagai berikut: Pada saat diri kita
mengalami suatu cobaan atau suatu keadaan yang mengakibatkan keadaan yang
membuat diri kita dalam kekurangan, maka yang dilakukan oleh manusia yang
berjiwa Muthmainnah adalah ia tidak langsung memper-gunakan Hubbul Hurriyah
atau Hubbul yang lainnya dan juga Amanah yang 7, melainkan terlebih dahulu
mengadukan permasalahan yang dialaminya kepada Allah SWT, atau memohon terlebih
dahulu kepada Allah SWT untuk dicarikan jalan keluar yang terbaik atas
permasalahan yang dialaminya, yang tentunya dibarengi dengan hati nurani
sebagai pengendali diri, sehingga apa yang kita lakukan selalu berada di dalam
kehendak Allah SWT.
Setelah dilaporkan, atau dikomunikasikan melalui doa
dan permohonan kepada Allah SWT barulah orang tersebut menggerakkan Hubbul
Hurriyah atau Hubbul lainnya serta Amanah yang 7 yang ada di dalam diri untuk
berbuat sesuatu, guna keluar dari permasalahan yang dihadapinya melalui bantuan
Allah SWT, atau dengan melibatkan Allah SWT yang dibarengi dengan rasa dan
perasaan yang timbul dari dalam hati nurani.Adanya keterlibatan hati nurani di
dalam menyelesaikan segala persoalan akan menimbulkan rasa tenang dalam diri
sehingga hilang rasa gelisah, resah, tidak percaya diri serta berdasarkan
kondisi inilah jiwa muthmainnah dikatakan sebagai jiwa yang tenang nan lapang
lagi tenteram.
Allah SWT berfirman: “Hai
jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi
diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, Masuklah ke dalam
syurga-Ku” (surat
Al Fajr (89) ayat 24-25-26-27). Hal yang harus kita perhatikan jika kita ingin memperoleh dan merasakan
rasa jiwa muthmainnah, atau jika kita selalu ingin mempertahankan kefitrahan
jiwa, kita harus selalu mendahulukan atau menomorsatukan Allah SWT terlebih
dahulu sebelum berbuat sesuatu, atau sebelum mempergunakan Hubbul yang 7 dan
Amanah yang 7 serta yakin bahwa Allah SWT pasti akan menolong diri kita
sepanjang diri kita berada di dalam kehendak-Nya.
Jiwa muthmainnah merupakan bentuk kejiwaan yang
paling sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang merupakan sifat dasar dari
ruhani yang sesuai dengan kehendak Allah SWT. Sehingga kita selalu berbuat
dalam ketenangan, yakin, percaya diri, berilmu, menghargai orang lain,
toleransi, dermawan dikarenakan Amanah yang 7 dan Hubbul yang 7 yang ada di
dalam diri selalu dipergunakan di dalam koridor Nilai-Nilai Kebaikan yang
dikehendaki Allah SWT.
Jiwa muthmainnah juga merupakan kondisi kejiwaan
yang paling sempurna sebab manusia telah mampu menempatkan ruhani sebagai jati
diri manusia yang sesungguhnya, atau
dapat dikatakan bahwa manusia telah mampu menjadikan jati diri manusia yang
sesungguhnya adalah ruhani sehingga
nilai-nilai kebaikan yang dikehendaki Allah SWT menjadi pedoman di dalam
mengarungi kehidupan, atau tercermin menjadi perilaku hidupnya. Yang pada
akhirnya akan menjadikan
manusia mudah dan dimudahkan menjadi khalifah di muka bumi yang sesuai dengan
kehendak Allah SWT. Kondisi yang seperti inilah fitrah manusia yang
sesungguhnya sehingga diri kita mampu menjadi cerminan dari penampilan Allah
SWT di muka bumi melalui perilaku dan perbuatan kita.
Adanya
kondisi fitrah manusia yang sesungguhnya adalah jiwa muthmainnah maka yang
seharusnya menjadi khalifah, yang seharusnya menjadi pemimpin, yang seharusnya
menjadi atasan, yang seharusnya menjadi bawahan, yang seharusnya menjadi
pengusaha dan penguasa, yang seharusnya menjadi rakyat adalah jiwa-jiwa
muthmainnah. Apa maksud-nya? Jika pemimpin yang menjadi atasan dan yang juga
menjadi penguasa adalah jiwa-jiwa muthmainnah berarti setiap pemimpin yang ada
di muka bumi ini adalah pemimpin yang telah mampu membebaskan dirinya sendiri
dari pengaruh buruk hawa nafsu (ahwa) kepada dirinya sendiri, sehingga pemimpin
itu sudah tidak memiliki masalah lagi dengan dirinya sendiri.
Sehingga
pemimpin itu akan mampu menjadi pemimpin bagi bawahannya, bagi rakyatnya, bagi
nusa dan bangsanya. Kondisi ini tidak hanya berlaku bagi pemimpin saja, akan
tetapi berlalu bagi seluruh manusia yang ada di muka bumi ini. Sekarang apa
jadinya jika seorang pemimpin, atau seorang pengusaha, atau seorang legislatif,
atau seorang yudikatif dapat melaksanakan kepemimpinannya dengan baik dan benar
jika ia sendiri belum mampu memimpin dirinya sendiri, dalam hal ini mengalahkan
ahwa (hawa nafsu) nya? Orang yang telah mampu menjadikan jiwanya jiwa
muthmainnah berarti orang tersebut telah mampu membebaskan dirinya sendiri dari
pengaruh sifat-sifat alamiah jasmani, atau
orang yang telah mampu membebaskan diri dari pengaruh ahwa (hawa nafsu)
nya sehingga segala perbuatannya selalu sesuai dengan nilai-nilai kebaikan yang
dikehendaki Allah SWT selaku pencipta manusia.
Pemimpin
yang masih terbelenggu dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu), atau pemimpin
yang belum bisa keluar dari pengaruh buruk ahwa (hawa nafsu) berarti pemimpin
itu tidak akan bisa memimpin sesuai dengan konsep kepemimpinan yang dikehendaki
Allah SWT. Hal ini dikarenakan untuk memimpin dirinya sendiri saja ia tidak
bisa, lalu bagaimana ia akan memimpin orang lain; bagaimana ia memimpin
rakyatnya.Dan jika sampai orang tersebut memimpin maka kepemimpinan yang
dilakukannya akan penuh dengan nilai-nilai keburukan, akan penuh dengan
intrik-intrik, akan penuh dengan hujatan, akan penuh dengan ketidaknyamanan dan
lain sebagainya yang mengakibatkan pemimpin itu menjadi pimpinan yang tidak
amanah dengan kepemimpinannya.
Lalu
bagaimana dengan profesi yang lainnya, seperti menteri, gubernur, bupati,
walikota, kepolisian, jaksa, pengacara,
pengusaha, suami, istri, ataupun rakyat? Hal yang samapun berlaku kepada
seluruh profesi yang ada di muka bumi, dimana seluruh profesi wajib yang ada di
muka bumi harus mampu menjadikan dirinya yang sesungguhnya adalah ruh/ruhani
yang memiliki jiwa muthmainnah sehingga apa-apa yang diperbuatnya sudah tidak
lagi memiliki masalah dengan dirinya sendiri (maksudnya setiap orang sudah
tidak memiliki masalah lagi dari pengaruh ahwa (hawa nafsu) yang didukung oleh
syaitan) sehingga yang ada hanyalah kebaikan-kebaikan yang dikehendaki oleh
Allah SWT. Akhir dari ini adalah sukseklah manusia menjadi khalifah yang
sekaligus makhluk yang terhormat di muka bumi ini dan semoga itu adalah kita sendiri, itu adalah
anak dan keturunan kita sendiri.
Di
sinilah letak perjuangan manusia yang sebenarnya yaitu dengan menjadikan
jiwanya menjadi jiwa yang tenang nan lapang lagi tenteram, jiwa yang tahu akan
kebesaran Allah SWT, atau jiwa yang dapat memuluskan jalan untuk pulang ke
kampung kebahagiaan. Dan jika jiwa muthmainnah yang menjadi jiwa bagi diri kita
berarti pengakuan ruh kepada Allah SWT di waktu masih di dalam rahim ibu tetap
teguh dan tidak tergoyangkan sehingga kenikmatan bertuhankan kepada Allah SWT
dapat kita rasakan dalam hidup dan kehidupan kita di dunia.
Di
dunia kita akan memperoleh kemudahan, akan mendapatkan pemeliharaan, akan
memperoleh pengawasan, akan mendapatkan jaminan serta perlindungan dari Allah
SWT sedangkan di akhirat kelak akan pulang ke kampung kebahagiaan untuk bertemu
dengan Allah SWT. Sungguh bahagia jika ini terjadi pada diri kita.
Sekarang,
senangkah syaitan jika setiap manusia yang ada di muka bumi ini memiliki jiwa
muthmainnah? Syaitan sebagai musuh abadi dari
umat manusia, tidak akan pernah senang jika sampai manusia yang menjadi
musuhnya mampu menjadikan jiwanya jiwa muthmainnah. Syaitan akan berusaha dari
waktu ke waktu tanpa mengenal lelah untuk menjadikan jiwa manusia masuk dalam
kategori jiwa fujur yang sefujur fujurnya. Sebagai musuh dari syaitan maka kita harus
mengetahui bahwa syaitan tidak akan suka dengan jiwa muthmainnah, akan tetapi
jiwa muthmainnah itu sendiri yang dikehendaki oleh Allah SWT. Sekarang
semuanya terpulang kepada diri kita, apakah mau menjadikan jiwa kita sendiri
menjadi jiwa muthmainnah ataukah jiwa fujur, karena hasil akhir dari ini semua
kita sendirilah yang akan merasakannya, baik dalam kehidupan di dunia ini
maupun di akhirat kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar